Chapter
6
Bolehkah Aku Sedikit Lebih Percaya pada Sendai-san?
Si Kucing Hitam Tidak Ada.
Aku meraba-raba di samping bantal, mencari boneka yang
seharusnya ada di sana.
Tubuhku yang masih setengah tertidur terasa berat, seolah-olah
direkatkan ke tempat tidur dengan lakban. Sambil berusaha membuka mata yang
enggan terbuka, aku menggerakkan tanganku yang terasa kaku, sampai akhirnya
menyentuh sesuatu yang keras tapi terasa halus.
Jelas bukan boneka.
Bentuknya juga terasa lebih besar dari yang seharusnya.
Tanpa tahu apa yang sebenarnya kusentuh, aku menggenggamnya
erat.
Aku bisa merasakan kehangatan yang nyata di telapak
tanganku.
Lalu, samar-samar aku mendengar suara seperti dengkuran
kecil.
Mata yang sebelumnya sulit terbuka kini langsung
terbelalak.
"…Hah?"
Di hadapanku bukanlah si kucing hitam, melainkan seseorang
yang seharusnya tidak ada di sini—Sendai-san.
Dan jaraknya… sangat dekat.
Tubuh kami memang tidak bersentuhan, tapi jika aku mengulurkan
tangan sedikit saja, aku bisa menyentuh pipinya.
Sepertinya, yang tadi kupegang adalah kepalanya.
Aku menggerakkan jari, menyelipkan tanganku di antara helai
rambutnya.
Rambut panjang itu terasa halus, dengan mudah lolos dari
sela-sela jariku.
Matanya tetap tertutup.
Benar juga, tadi malam aku tidur di kamar Sendai-san.
Malam itu cuacanya buruk. Angin bertiup kencang.
Aku tidak suka malam-malam seperti itu. Dalam drama dan manga,
saat sesuatu yang menakutkan terjadi, latarnya sering kali adalah malam yang
berangin dan hujan. Kalau tetap terjaga di malam seperti itu, rasanya sesuatu
yang menyeramkan bisa terjadi kapan saja.
Tapi, sekarang aku sudah tidak sepenakut dulu.
Alasannya ada tepat di depan mataku.
"…Sendai-san."
Aku memanggilnya pelan, lalu menyentuh pipinya dan mencubitnya
sedikit.
Dia menggeliat, tapi tetap tidak bangun.
Dulu, aku selalu melewati malam sendirian. Tapi kemarin, hanya
dengan mengetahui bahwa ada orang lain di dalam rumah, aku merasa lebih
tenang.
Aku juga tidak suka suara petir, tapi kali ini aku tidak perlu
bersembunyi di balik selimut.
Padahal, awalnya aku berencana melewati malam itu
sendirian.
Tapi kemudian, Sendai-san datang.
Daripada hanya merasakan keberadaan seseorang di balik
dinding, lebih menenangkan jika dia benar-benar ada di sampingku.
Aku menggeser tanganku dari pipinya, lalu menyentuh bibirnya
dengan ujung jari.
Bibir yang sudah beberapa kali menyentuhku.
Bibir yang juga menyentuhku di atas tempat tidur ini.
Ingatan itu muncul begitu jelas, sampai rasanya ingin segera
bangun dari tempat tidur. Tapi aku menahannya.
Sudah cukup lama berlalu.
Aku ingin bisa tetap bersikap biasa saja meskipun mengingat
hari itu.
Kalau terus-terusan memikirkannya, hari itu akan terasa
semakin istimewa, seolah-olah itu adalah hari yang harus disimpan sebagai
kenangan berharga.
Tapi aku tidak boleh menyimpannya seperti itu.
Tidak boleh ada jejaknya di kalender.
Lebih baik menjalani semuanya seperti biasa.
Aku menutup mata, mencoba menenggelamkan ingatan yang
muncul.
Kemarin, aku sudah mengumpulkan keberanian untuk memutuskan
tetap tinggal di kamar ini. Aku juga tidak mau merebut tempat tidur Sendai-san
sampai membuatnya terjaga semalaman.
Makanya, dia ada di sampingku sekarang.
Tidak apa-apa.
Aku membuka mata dan menatap Sendai-san.
Dia tertidur dengan tenang, terlihat begitu damai.
Berbaring di ujung tempat tidur, tubuhnya tampak kecil.
Bukan terlihat cantik, tapi lebih ke… imut.
Aku mencubit pipinya lagi.
Masih tidak bangun.
Aku sendiri sulit tidur tadi malam, jadi melihat Sendai-san
tidur nyenyak seperti ini membuatku sedikit iri.
Wajar sih, ini tempat tidurnya sendiri. Tapi kalau
dipikir-pikir lagi, aneh juga dia bisa tidur dengan santai seperti ini.
Toh, dia sendiri yang membuatku harus menghadapi lebih banyak
situasi yang membutuhkan keberanian.
Tiba-tiba, aku menyelipkan jariku ke dalam mulutnya
sedikit.
Jari telunjukku menyentuh giginya, lalu tangannya bergerak
seolah berusaha menepis gangguan itu.
Dari bibirnya keluar suara malas, "Hn… apa?"
Tepat saat dia membuka mulut untuk berbicara, aku dengan
sengaja mendorong jariku lebih dalam.
Ujung jariku menyentuh lidahnya yang terasa hangat.
Begitu aku menekannya sedikit, dia menggigitnya pelan.
Aku menggerakkan jari, menyusuri bagian dalam giginya, tapi
kali ini dia menggigit lebih kuat, membuatku buru-buru menarik jari
keluar.
"Jangan bangunin orang dengan cara aneh
begitu."
Sendai-san menggerutu, wajahnya sedikit mengernyit, sesuatu
yang jarang kulihat darinya.
"Aku nggak niat bangunin. Sendai-san aja yang kebangun
sendiri."
"Ya jelas lah, siapa sih yang nggak bangun kalau
tiba-tiba ada jari masuk ke mulutnya?"
Nada suaranya masih terdengar malas, lalu dia menguap lebar di
akhir kalimatnya.
Aku menarik sedikit poni rambutnya, dan dia merapikannya
dengan gerakan malas sebelum kembali memejamkan mata.
"Sendai-san, mau tidur lagi?"
"Ngantuk."
"Udah bangun, ya bangun aja dong."
"Nggak bisa."
Jawaban pendek itu terdengar mantap, dan matanya tetap
tertutup.
Aku menyentuh telinganya pelan.
"Miyagi juga tidur aja, gih."
Suara pelan terdengar bersamaan dengan tangan yang
menepisnya.
Sebagai gantinya, aku kembali menyentuh telinga Sendai. Aku
mengikuti bentuknya, meraba lekukannya.
Jari-jariku meluncur turun, menjepit daun telinganya yang tak
memiliki anting—berbeda denganku. Bagian itu lebih dingin daripada pipinya,
tapi tetap lembut dan nyaman disentuh. Aku terus meremasnya pelan, tapi Sendai
tetap tidak membuka mata. Saat aku memasukkan sedikit ujung jariku ke dalam
telinganya, tanganku langsung ditangkap.
“Geli,” katanya.
Tapi waktu aku mengatakan hal yang sama di atas ranjang ini,
dia tidak mau berhenti.
Aku menarik telinganya sedikit lebih kuat.
Lalu, tiba-tiba aku bertanya-tanya—kalau aku mencium bagian
ini, bagaimana reaksinya?
Pikiran itu memenuhi kepalaku, tapi aku menekannya dalam-dalam
dan melepaskan tanganku. Sebagai gantinya, aku mencondongkan tubuh dan
menempelkan bibirku di leher Sendai.
Tubuhnya sedikit tersentak.
Aku tidak tahu apakah dia membuka mata atau tidak.
Aroma manisnya menggelitik hidungku.
Sendai selalu punya wangi yang enak.
Seperti mencicipi sesuatu, aku menjilat lehernya, lalu
menggigitnya dengan cukup kuat. Tidak hanya kulit lembutnya yang terjepit di
antara gigiku, tapi juga bagian bawah yang sedikit lebih keras. Tangannya
menepuk bahuku sebagai protes. Aku mulai melonggarkan gigitan, lalu menjilatnya
pelan. Kali ini, dia mendorong bahuku lebih keras.
Karena tak punya pilihan lain, aku menjauhkan wajahku—dan saat
itu juga, aku melihat Sendai hampir jatuh dari tempat tidur. Panik, aku
langsung menarik kausnya.
Aku menariknya lebih kuat.
Sebelum kausnya meregang, tubuh Sendai sudah kembali ke kasur,
lalu ia rebahan dengan lemas.
“Kenapa sih, cara banguninmu selalu aneh?” katanya sambil
mengusap bekas gigitan di lehernya.
“Bosan aja,” jawabku santai.
“Orang bosan itu biasanya nggak nyari mangsa buat digigit,”
balasnya.
“Kamu tetap nggak mau bangun?” tanyaku.
“Nggak,” jawabnya cepat.
“Kalau gitu, aku balik ke kamarku.”
Gerakannya langsung berhenti. Sendai yang tadi tengkurap kini
berbalik menghadapku.
“Tinggal sebentar lagi aja. Kamu nggak ada rencana hari ini,
kan?”
Sekarang dia yang menarik kausku.
“Memang sih, nggak ada,” aku mengaku.
Tanpa perlu membuka tirai, aku tahu cuaca di luar sedang
buruk. Bahkan kalaupun aku punya rencana, aku tetap tidak akan ingin ke
mana-mana. Tapi kalau terus diam di ranjang bersama Sendai juga rasanya agak
aneh.
“Tenang aja. Aku masih ingat janji kemarin,” katanya.
Sampai aku benar-benar keluar dari kamarnya, dia tidak akan
melakukan hal yang aneh.
Itu yang dia janjikan kemarin.
Dan sampai sekarang, aku memang belum keluar.
Sendai memang sering melanggar janjinya. Tapi anehnya, hal
yang ia sumpahkan pada anting itu selalu ia tepati—walaupun tidak
sepenuhnya.
Itu cukup membuatku tenang.
Cukup untuk membuatku lebih percaya padanya.
Anting itu memang sesuatu yang istimewa.
Seperti yang dia bilang, mungkin itu semacam jimat
keberuntungan.
Aku menyentuh antingku, lalu menjawab, “Tiga puluh menit lagi,
ya.”
“Gimana kalau satu jam?” Sendai sedikit mendekat, tapi aku
mendorong dadanya dengan lembut agar dia tidak jatuh dari kasur.
“Tiga puluh menit,” tegasku.
“Ya udah, tiga puluh menit deh,” katanya pasrah, lalu
memejamkan mata.
Kalau ditanya, aku mengantuk atau nggak, jawabannya sih,
iya.
Tapi kalau ditanya apakah aku bisa langsung tidur, aku
ragu.
Nyatanya, setelah sekian lama, rasa kantuk itu tidak juga
datang.
Aku sudah setuju untuk tidur lagi, tapi pada akhirnya aku
hanya berbaring dan menutup mata tanpa benar-benar tidur. Sementara itu, Sendai
langsung terlelap begitu saja. Kucubit pun dia tetap tidak bangun, kusentuh pun
dia bahkan tidak mengeluarkan suara.
Aku menghela napas sambil menatap langit-langit.
Sudah sepuluh menit berlalu? Atau dua puluh menit?
Aku tadi tidak melihat jam, jadi tidak tahu persis. Tapi satu
hal yang jelas, rasa kantukku seperti berpindah ke Sendai. Dan entah bagaimana,
dia terlalu dekat sampai aku terus memperhatikannya—padahal, kalaupun aku
ngantuk, aku pasti tetap tidak bisa tidur.
Kesal, aku menendang kakinya.
“Bangun, dong.”
“Udah tiga puluh menit?” tanyanya dengan suara mengantuk,
tanpa membuka mata.
“Nggak tahu,” aku mengaku.
Satu-satunya hal yang aku tahu adalah sekarang sudah hampir
jam sebelas.
“Kalau nggak tahu, tidur aja lagi,” katanya.
“Kenapa kamu ngantuk banget, sih?”
“Karena tadi malam susah tidur.”
Dia perlahan membuka mata dan menatapku.
“Tapi tadi kamu tidur nyenyak banget,” aku
mengingatkannya.
“Itu karena aku tidurnya telat,” jawabnya santai.
“Kenapa telat?” tanyaku lagi.
“Nggak tahu. Mungkin karena tempat tidurnya sempit?”
Jawabannya terdengar asal-asalan.
“Lapar. Aku bangun, ya,” kataku.
Jujur, aku belum terlalu lapar. Tapi tetap diam di ranjang
tanpa bisa tidur juga rasanya tidak nyaman, jadi aku memilih untuk bangun.
“Kamu mau makan sesuatu?” tanyaku pada Sendai.
“Kayaknya, iya,” katanya sambil menguap. Ia mulai bangkit,
turun dari tempat tidur lebih dulu dariku. Setelah berdiri, ia meregangkan
tubuhnya sambil melirik jam.
“Jam segini tanggung banget, ya? Kita mau sarapan atau makan
siang?” tanyanya.
Waktu yang nanggung banget. Kalau dibilang sarapan, sudah agak
telat. Tapi kalau dibilang makan siang, masih terlalu awal. Tapi kalau harus
pilih, lebih baik makan yang sekaligus bisa menghemat tenaga untuk
memasak.
“Makan siang,” jawabku singkat sambil turun dari tempat
tidur.
“Oke. Aku siapin dulu, kamu santai aja,” kata Sendai-san.
“Nggak. Aku bantuin,”
“Kalau gitu, ganti baju dulu, baru kita masak bareng.”
Aku mengangguk menanggapi usulan Sendai dan menuju kamar
mandi. Setelah menggosok gigi dan mencuci muka, aku kembali ke kamar. Setelah
berganti pakaian, aku pergi ke ruang bersama, di mana Sendai sudah mulai
menyiapkan makanan sambil mengenakan rok panjang.
Berbeda denganku yang memakai kaus lengan panjang dan celana
denim.
Tapi jujur, itu cocok banget buat dia.
“Apa yang mau kita masak?” tanyaku sambil berdiri di
sebelahnya.
“Aku bakal goreng sosis dan telur. Kamu bagian roti, ya.”
Sesuai instruksinya, aku memasukkan roti ke dalam pemanggang.
Sambil menyiapkan piring, selai, dan mentega, aku melihat telur dan sosis sudah
matang. Kami menata semuanya di meja, lengkap dengan segelas jus jeruk, lalu
duduk berhadapan.
“Itadakimasu.”
Kami mengucapkannya bersamaan.
Saat aku mengoleskan mentega dan selai ke roti panggang,
Sendai yang sedang menggigit sosis menatapku.
“Kamu hari ini ada rencana?”
“Enggak ada.”
“Kalau gitu, yuk lanjut nonton film kemarin.”
“Filmnya gak terlalu seru, sih. Gak ditonton juga gak
masalah.”
Aku memang gak ada agenda apa pun, dan menghabiskan hari
Minggu sama Sendai juga bukan ide buruk. Tapi buat nonton film itu lagi? Aku
gak begitu tertarik. Tapi di sisi lain, aku juga gak kepikiran mau ngajak dia
ngelakuin apa. Aku hanya menggigit roti panggang dan meneguk jus jerukku.
“Gak masalah, kan? Biarpun gak seru, setidaknya bisa buat
ngisi waktu.”
“Mungkin sih.”
“Udah, kita lanjutin aja. Abis makan langsung nonton,
ya.”
Begitu saja hari Mingguku terisi dengan agenda Sendai. Dia
memang sedikit memaksa, tapi kalau dipikir-pikir, kalau aku masih ingin
menghabiskan hari Minggu berdua dengannya seperti dulu, kepribadian dominannya
itu justru memudahkan segalanya.
Kalau masih ada rasa canggung di antara kami, hidup sebagai
teman sekamar bakal jadi sulit. Justru saat dia seperti sekarang ini, aku
merasa lebih nyaman. Terlalu banyak basa-basi malah bikin hubungan kami jadi
aneh dan melelahkan.
“Kemarin kamu sempat ketiduran, kan? Ingat sampai bagian
mana?”
“Aku gak tidur. Cuma merem bentar aja.”
“Jadi masih ingat ceritanya?”
“Kurang lebih.”
Sambil ngobrol soal film yang biasa aja itu, kami
menyelesaikan makanan kami. Setelah mencuci piring bersama, kami pindah ke
kamar Sendai dan duduk seperti kemarin.
“Mulai dari sini aja?” tanyanya sambil mengoperasikan
tablet.
Aku mengangguk, dan film yang kami tonton kemarin kembali
terputar di layar. Kami menonton sampai kredit akhir bergulir.
“Gimana menurutmu?”
Aku menjawab dengan jujur.
“...Ternyata emang gak terlalu seru.”
“Padahal kemarin kamu yang pengin nonton.”
“Iya, tapi ternyata gak sesuai ekspektasi.”
Aku bersandar ke tempat tidur sementara Sendai mulai memainkan
tabletnya.
“Mau nonton yang lain?”
“Gak usah.”
“Terus mau ngapain?”
“Gak ngapa-ngapain juga gak apa-apa, kan?”
“Kalau gak ngapa-ngapain, nanti bosen.”
Meski berkata begitu, Sendai juga menghentikan tangannya di
atas tablet dan ikut bersandar.
“Kalau kamu mau keluar, kita bisa jalan-jalan di tengah
hujan.”
“Gak bakal.”
“Kalau gitu, kamu yang pikirin sesuatu buat ngisi waktu.”
“Main game aja?”
“Aku gak jago main game.”
Sendai langsung memasang ekspresi malas.
Dulu, waktu kami masih SMA, kami pernah main game bareng, dan
dia memang gak terlalu mahir. Lagipula, dia bukan tipe yang tertarik sama game.
Bahkan buat sekadar iseng pun dia pasti enggan.
“Kalau gitu, kita gak punya pilihan lain, dong.”
“Bukan berarti gak ada, sih.”
Nada bicaranya terdengar penuh arti.
“...Maksudnya?”
“Nih, lihat aku.”
Dia gak menjawab pertanyaanku secara langsung.
Aku merasa sedikit waspada, tapi tetap menghadapnya seperti
yang dia minta. Saat itulah dia meraih tanganku. Rasanya seperti aliran listrik
kecil mengalir ke ujung jariku, membuatku otomatis menatap tangan kami yang
saling menggenggam.
“Sendai...”
Saat aku mengangkat wajah, bibirnya langsung menempel di
bibirku.
Tapi hanya sebentar.
Aku memang punya banyak hal yang kupikirkan soal ciuman di
kamar ini, tapi kalau cuma seperti ini, rasanya gak perlu terlalu
dipermasalahkan.
Lagi pula, kami sudah sering melakukannya sebelumnya. Kalau
aku menunjukkan reaksi berlebihan, justru bakal kelihatan seperti aku terlalu
sadar akan hal ini.
Jadi, gak apa-apa.
Sendai mendekat lagi, kali ini menjilat bibirku.
Aku refleks menarik diri, tapi lidahnya sudah berhasil
menyelinap ke dalam mulutku. Aku berusaha menolaknya, tapi dia lebih cepat,
langsung menguasai ruang yang tadinya milikku.
Kami belum pernah berciuman seperti ini lagi sejak hari
itu.
Ingatan tentang hari Minggu itu mulai muncul di kepalaku, dan
aku berusaha keras mengusirnya. Tapi saat aku masih sibuk dengan pikiranku
sendiri, sesuatu yang hangat dan lembut masuk lebih dalam, melilit
lidahku.
Suhu tubuhku terserap olehnya, dan aku menerima panas tubuhnya
sebagai gantinya. Rasanya seperti seluruh pikiranku menguap begitu saja.
Tanpa sadar, aku menggenggam bajunya, hampir menariknya lebih
dekat. Tapi sebelum itu terjadi, aku menggigit lidahnya—tidak sampai
menyakitinya, tapi cukup untuk membuatnya berhenti.
Sendai akhirnya menarik diri sedikit, lalu mendekat lagi. Kali
ini, dia menggigit bibirku sebagai balasan.
Memang, sifat dominannya itu sangat mencerminkan dirinya. Tapi
kali ini, aku gak butuh dia jadi seagresif ini.
“Kalau yang kamu maksud dengan ‘ngisi waktu’ adalah ini,
mending gak usah.”
Aku melepas genggamanku dan mendorongnya menjauh.
“Kamu gak suka ciuman?”
Pertanyaan yang gak kuduga meluncur dari bibirnya.
“Bukan gak suka, cuma... bukan sekarang.”
“Jadi, kamu gak benci, kan?”
“Sendai, kamu kenapa sih? Katanya gak bakal aneh-aneh.”
“Janji yang kemarin berlaku sampai kamu keluar dari kamar,
kan? Tapi tadi kamu udah keluar, jadi janjinya udah gak berlaku.”
Aku ingat betul isi janji itu.
Aku juga tahu kalau dia bakal beralasan seperti ini.
Tapi tetap saja, aku berharap dia tetap menepati janjinya,
meski masa berlakunya sudah habis.
Gak apa-apa kalau dia gak mau.
Kalau janjinya sudah gak berlaku, aku hanya perlu membuat
janji baru.
“Kalau gitu, janji lagi.”
Aku ingin dia bersumpah pada antingnya setiap kali terjadi hal
seperti ini.
“Oke.”
Sendai kembali mendekat, kali ini ke arah telingaku, lalu
berbisik,
“Tapi, Miyagi... janjinya nanti aja, ya.”
“Nanti gimana maksudnya?”
“Tenang aja, aku gak bakal ngelakuin yang aneh-aneh.”
Tanpa memberikan jawaban yang jelas, dia malah mencium
antingnya, lalu turun ke leherku.
Rasanya tempat yang dia sentuh jadi panas sekali.
Dia mendorong pundakku, membuatku kehilangan
keseimbangan.
Sebelum aku sempat mendorongnya balik, punggungku sudah
menempel di lantai.
Tiba-tiba, tangannya menyelinap ke dalam kausku.
“Sendai-San!”
Aku memanggilnya dengan suara tegas.
Dia pasti mendengarnya, tapi tangannya tetap menekan
pinggangku. Tangannya bergerak perlahan ke bawah tulang rusuk, membuatku
refleks menahannya di atas kain bajuku.
"Tangan ini, maksudnya apa?"
"Kamu nggak suka kalau aku nyentuh?"
Pertanyaanku dibalas dengan pertanyaan lain.
"Kalau aku bilang nggak suka?"
"Aku bakal berhenti nyentuh."
Lagi-lagi, dia seperti ini.
Setiap kali situasinya seperti ini, Sendai selalu memberiku
pilihan, tapi pilihan itu hanya membuatku mengatakan jawaban yang sudah dia
tentukan sejak awal.
"Sekarang aku nggak mau, jadi tolong minggir. Lagipula,
udah waktunya kamu menepati janji."
Aku mendorong tubuhnya.
Tapi dia tetap tidak bergerak.
Aku mencengkeram bahunya, menekan kuku cukup kuat hingga bisa
meninggalkan bekas.
"Miyagi, ayo suit."
"Hah?"
Aku nggak nyangka orang yang sedang menindihku malah tiba-tiba
ngajak suit, sampai cengkeramanku melemah.
"Ayo, jan-ken!"
"Tunggu dulu!"
"Pon!"
Sebelum aku siap, dia sudah mengeluarkan telapak tangan,
sementara aku yang panik malah mengeluarkan dua jari—gunting.
"Kamu menang, jadi aku minggir."
Begitu katanya, lalu dia benar-benar menjauh dariku dengan
mudahnya. Aku buru-buru merapikan ujung kaosku yang sempat terangkat dan
duduk.
"Oh ya, aku juga bakal nepatin janji."
Sendai tersenyum cerah.
"… Kalau aku yang kalah, kamu bakal ngapain?"
"Hmm, aku juga nggak tahu."
Jawabannya masih samar, tapi aku yakin dia memang sengaja
membiarkanku menang dengan suit tadi. Bahkan kalau aku kalah, pada akhirnya dia
pasti tetap akan menepati janjinya.
Dulu waktu masih SMA, aku sempat menjenguknya.
Tapi sekarang, aku nggak perlu lagi menjenguknya.
Karena dia ada di kamar sebelah, dan aku bisa melihat
keadaannya kapan pun aku mau—atau lebih tepatnya, aku nggak punya pilihan lain
selain melihatnya.
"Tuh kan, ini karma. Gara-gara sering ngelakuin hal
aneh."
Aku duduk di samping tempat tidurnya dan meletakkan handuk
dingin di keningnya yang lebih merah dari biasanya.
"Kamu kejam."
"Udah minum obat?"
"Udah."
Suaranya terdengar serak.
Sudah beberapa hari berlalu sejak malam hujan itu, dan
sekarang suhu tubuhnya sudah lebih dari 38 derajat.
Pagi tadi dia memang terlihat nggak enak badan. Dia memang
nggak batuk, tapi sempat bilang tenggorokannya sakit dan wajahnya sedikit
pucat. Meski begitu, dia tetap bilang baik-baik saja dan berangkat kuliah. Saat
aku pulang, dia sudah terkapar di kamar, dan sekarang pun wajahnya masih
terlihat sangat lemas.
Aku memang bukan dokter, tapi jelas ini flu.
"Sendai, kamu gampang banget kena flu, ya?"
"Nggak juga."
"Dulu pas SMA, kamu juga pernah sampai nggak masuk
sekolah gara-gara flu."
"Tapi waktu itu kamu datang jenguk aku dan cium aku,
kan?"
"Enggak. Itu kamu aja yang nyium aku
sembarangan!"
Aku sebenarnya nggak berusaha mengingatnya, tapi aku tetap
ingat kejadian waktu itu. Aku datang menjenguknya karena khawatir, dan dia
tiba-tiba menarikku ke dekatnya, minta dipasangkan plester kompres, lalu
menciumku begitu saja.
Sendai memang tipe orang yang bahkan dalam kondisi sakit pun
tetap nggak bisa dianggap remeh.
"Waktu itu aku pengen nularin flunya ke kamu, tapi
ternyata kamu nggak ketularan."
"… Jangan bilang sekarang kamu mau ngulangin hal yang
sama?"
"Nggak, kok. Aku nggak mau kamu kena flu juga."
Kali ini, berbeda dari waktu SMA dulu.
Suaranya terdengar lebih lemah dari biasanya, lalu dia batuk
kecil.
"Gimana bisa sampai kena flu?"
"Aku tidur sambil nyalain AC."
"Emangnya kemarin sepanas itu?"
Begitu aku tanya, dia yang tadi menatap langit-langit langsung
membalikkan badan menghadapku. Handuk dingin yang tadi ada di keningnya
melorot, jadi aku buru-buru menaruhnya kembali di pelipisnya.
"… Kayaknya sih, panas."
Suaranya terdengar sangat lemah.
"Kalau pun panas, ya matiin dulu sebelum
tidur."
"Aku nyesel, kok."
Dia berkata pelan, lalu batuk kecil lagi.
Aku tahu dia gampang gerah, tapi tadi malam udara nggak
terlalu panas. Meskipun sudah hampir masuk bulan Juli, malam masih terasa
sejuk.
"Oke, aku kasih tahu dari awal. Aku nggak bisa masak
bubur atau makanan buat orang sakit, jadi jangan berharap."
Aku yakin dia juga sudah tahu ini, tapi aku tetap
mengatakannya. Sejak tinggal bareng dia, aku memang sedikit lebih sering
memasak, tapi aku sama sekali nggak punya skill buat bikin makanan yang cocok
buat orang sakit.
Sebenarnya, aku juga sedikit kesal. Kalau dia merasa nggak
enak badan, seharusnya tadi dia kirim pesan sebelum aku pulang, jadi aku bisa
mampir ke toko buat beli sesuatu.
"Nggak usah. Aku juga nggak mau dapurku berantakan atau
panci gosong, jadi lebih baik kamu nggak usah masak apa pun."
"Bilang gitu bikin aku kesel, tahu nggak."
Aku memang payah soal masak, dan jujur aku mungkin memang
bakal bikin berantakan kalau maksa masak bubur. Tapi tetap aja, mendengarnya
langsung dari dia bikin aku jengkel.
"Aku juga nggak nafsu makan, jadi nggak usah
repot-repot."
"Aku beliin sesuatu, deh. Yogurt atau bubur instan gitu
gimana?"
Aku memang nggak bisa masak, tapi aku bisa beliin sesuatu
buatnya. Aku juga pengen sekalian beli plester kompres buat ganti handuk dingin
ini. Aku mungkin nggak bisa banyak bantu, tapi setidaknya aku nggak bisa
tinggal diam. Kalau dia nggak makan apa pun, dia malah bakal tambah parah.
"Nggak usah."
"Kalau ada yang pengen dimakan, bilang aja. Aku bakal
beliin."
"Nggak ada, jadi… bisa nggak kamu di sini aja
sebentar?"
Dia membuka matanya yang terlihat lesu dan berbicara pelan.
Lalu, setelah jeda sesaat, dia buru-buru meralat ucapannya.
"Eh, lupakan aja tadi."
"Kenapa tiba-tiba bilang 'lupakan'?"
"Soalnya aku nggak mau kamu ketularan. Lebih baik kamu
balik ke kamar."
Suara yang terdengar sekarang jauh lebih jelas dibanding
tadi.
Memang benar, kalau aku tetap di kamar ini, kemungkinan
tertular flu akan semakin besar. Tapi aku sudah membuka jendela untuk ventilasi
begitu masuk tadi, dan kalaupun aku keluar sekarang, aku juga tidak punya hal
lain untuk dilakukan. Makan malamku? Cukup dengan makanan instan atau mi cup,
yang bisa cepat disiapkan dan dimakan. Tugas kuliah hari ini juga tidak terlalu
banyak.
"Karena aku lagi nggak ada kerjaan, aku bakal di sini
sebentar lagi. Nanti aja pergi belanja."
Daripada duduk di kamarku sendiri sambil terus-terusan
khawatir dengan keadaan Sendai, lebih baik aku tetap di sisinya.
"Kembali ke kamarmu. Nanti ketularan," ucapnya
lagi.
Kata-kata yang dulu tidak akan pernah diucapkan oleh Sendai
saat masih SMA.
"Aku jarang kena flu. Aku bakal di sini sampai kamu
tidur."
"… Itu artinya kamu khawatir?"
"Kalau kamu lagi sakit begini, wajar kan kalau aku
khawatir?"
Aku pun mengucapkan kata-kata yang dulu, saat SMA, pasti tidak
akan pernah keluar dari mulutku.
Hari ini, aku terus membandingkan masa lalu dan masa
kini.
Sejak masuk universitas dan menjadi teman sekamar, aku mulai
menyadari bahwa ada banyak hal yang tampak serupa, tapi sebenarnya berbeda
dengan masa SMA dulu.
"Cepat tidur."
Aku menepuk ringan ujung selimutnya.
"Kamu jadi baik gini, rasanya aneh."
"Kamu bawel. Tidur aja, deh."
"Kalau aku tidur, kamu boleh balik ke kamar,
kan?"
"Iya."
Begitu aku menjawab, Sendai perlahan memejamkan mata.
Tak lama kemudian, napasnya mulai teratur, menandakan ia sudah
tertidur. Aku membalik kain lap dingin di dahinya agar tetap bisa meredakan
panasnya.
Hari ini, Sendai benar-benar terlihat sakit parah. Aku tidak
tega meninggalkannya sendirian. Meski tanpa menyentuhnya, aku bisa merasakan
tubuhnya panas. Napasnya juga terdengar berat, meskipun tidak separah habis
olahraga.
Saat dia selemah ini, rasanya dia tidak akan melakukan hal-hal
aneh seperti biasanya. Aku tidak perlu mengingat sumpah soal anting itu.
Aku bisa duduk di sampingnya dengan tenang.
Aku duduk bersandar ke tempat tidur.
Tadi aku bilang ingin tetap di sini karena sedang tidak ada
kerjaan, tapi setelah Sendai tertidur, aku jadi benar-benar kehabisan
aktivitas.
Aku mengambil majalah fashion yang tergeletak di lantai dan
mulai membolak-balik halamannya tanpa benar-benar membacanya. Saat aku masih
tenggelam dalam pikiranku, aku mendengar suara lirih dari napas Sendai yang
tampak sedikit berat.
Aku menoleh ke arahnya dan melihat kain lap dingin yang tadi
kutaruh sudah terjatuh. Sepertinya aku harus membeli plester kompres juga.
"… Kamu baik-baik saja?"
Aku tidak berniat membangunkannya, hanya sekadar bertanya. Aku
pikir dia tidak akan menjawab, tapi ternyata dia bergumam sesuatu yang tidak
bisa kupahami.
Tidurnya sepertinya tidak terlalu nyenyak.
Aku jadi penasaran, kalau aku terus bicara padanya seperti
ini, apakah dia akan bermimpi tentang aku?
"Sendai."
Aku memanggil pelan di dekat telinganya.
Suara lirih terdengar sebagai jawaban.
"Sendai."
"…Hmm."
Dia tetap merespons suaraku.
Mungkin ini bukan sesuatu yang pantas dilakukan kepada orang
yang sedang sakit, tapi karena dia terus menjawab, aku jadi ingin menggodanya
lebih lama.
Aku tahu ini sedikit jahat, tapi dia yang seperti ini terlihat
menggemaskan.
Lalu—
Aku tahu ini tidak pantas, tapi suara orang yang kesulitan
bernapas itu terdengar sangat mirip dengan suara seseorang yang sedang merasa
nyaman.
Aku sudah berada di tempat yang bisa memunculkan
pikiran-pikiran seperti ini.
Pernah terlintas di pikiranku bagaimana suara Sendai dalam
situasi tertentu.
Dan sekarang, dengan napasnya yang berat seperti ini, aku jadi
semakin tergoda untuk membayangkannya.
Aku tahu ini jahat.
Tapi sejak hari Minggu itu, sesuatu dalam diriku berubah.
Ada jalur baru dalam pikiranku yang terbentuk sejak hari itu,
membuatku semakin sering memikirkan Sendai.
Sejak dulu pun dia sering mengganggu pikiranku, tapi sekarang,
rasanya lebih parah.
Aku kesal, tapi aku tidak bisa membangunkannya hanya untuk
mengeluh.
Bagaimanapun, dia sedang sakit.
"Aku ke kamar dulu, ya."
Aku tahu dia pasti tidak benar-benar mendengarkan, tapi aku
tetap mengucapkannya sebelum berdiri.
Kalau aku terus berada di sini, aku akan semakin memikirkan
hal-hal yang tidak pantas.
Lebih baik aku pergi belanja dulu untuk menenangkan
kepala.
"… Mau ke mana?"
Saat aku sudah memegang kenop pintu, suara lemah terdengar
dari belakangku.
Aku menoleh dan melihat Sendai menatapku.
"Belanja. Aku bakal cepat balik."
Berbeda dengan tadi, kali ini dia tidak menjawab apa pun.
"Kalau mau bilang sesuatu, bilang aja."
"Selamat jalan."
Sendai mengucapkannya dengan pelan.
Aku berjalan kembali ke tempat tidurnya dan duduk di
tepinya.
"Kalau kamu tetap di sini, nanti ketularan."
"… Aku bilang kan, aku bakal di sini sampai kamu
tidur."
"Tapi aku tadi sudah tidur."
"Ya, tapi sekarang kamu bangun lagi."
"Jangan nyalahin aku kalau nanti ketularan."
"Kalau aku sakit, nanti kamu yang jaga aku."
Aku lalu duduk di lantai dan kembali melihat ke arahnya.
Dia menjawab pelan, "Hmm," sambil mengulurkan tangan
dan mengusap rambutku.
Aku bisa saja menepis tangannya, tapi dia sedang demam.
Tidak tega rasanya bersikap kasar pada orang sakit.
Jadi aku membiarkannya.
Benar-benar merepotkan, ya, menghadapi orang sakit.
Bahkan mengeluh pun rasanya tidak bisa seenaknya.
Jadi, tidak ada pilihan lain.
Sampai tangannya berhenti bergerak, aku akan tetap di sini.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.