Story About Buying My Classmate Chapter 7 V6

Ndrii
0

Chapter 7

Aku di Mata Miyagi




Flu itu memang bukan hal yang menyenangkan. 

 

Saat sakit, aku harus berdiam diri di rumah, terjebak di tempat yang sama dengan ibuku—seseorang yang bahkan dalam keadaan normal pun hampir tidak pernah berusaha untuk berinteraksi denganku. Sekalipun aku sakit, dia hanya melakukan hal-hal sebatas kewajiban. Jadi meskipun tinggal di rumah yang sama, kami jarang bertatap muka. Dan tentu saja, itu bukan sesuatu yang menyenangkan. 

 

Tapi sekarang, semuanya berbeda. 

 

Ibuku tidak ada. Yang ada di sini hanyalah Miyagi. 

 

Di antara dunia mimpi dan kesadaranku yang samar karena demam, aku menyadari sesuatu. 

 

Dulu, pikiranku sering dipenuhi oleh hal-hal buruk. Tapi dengan Miyagi di sisiku, aku tidak perlu memikirkan hal-hal itu lagi. Dia menemaniku sampai aku tertidur, mengusir mimpi-mimpi buruk yang biasanya datang. Miyagi memang seperti kucing liar yang sulit didekati, tapi hari itu, dia membiarkanku membelai rambutnya yang lembut sepuasnya. 

 

Sekarang, setelah aku sembuh, dia pasti tidak akan mengizinkanku melakukan itu lagi. 

 

"Ngomong-ngomong, kira-kira kucing itu masih ada nggak, ya?" 

 

Aku memperlambat langkah dan mulai melihat sekeliling. 

 

Kadang-kadang, di perjalanan pulang dari kampus seperti ini, aku bertemu dengan seekor kucing di dekat rumah. 

 

Tentu saja, yang kumaksud adalah kucing sungguhan, bukan Miyagi. 

 

Kalau boleh memilih, aku lebih suka bertemu dengan Miyagi, tapi bertemu kucing juga bukan hal yang buruk. Aku sebenarnya bukan penggemar kucing, tapi karena tinggal serumah dengan seseorang yang seperti kucing liar, aku jadi lebih sering memperhatikan mereka. 

 

Ada… tidak ada… ada… 

 

Saat aku terus melihat ke sekitar, akhirnya aku menemukannya—seekor kucing berbulu tiga warna sedang sibuk menjilati bulunya di pinggir jalan. Kucing ini memang tidak selalu ada, jadi hari ini bisa dibilang hari keberuntunganku. 

 

"Heii, Mikenya~" 

 

Aku berjongkok di dekatnya. 

 

"Hari ini mau kasih aku kesempatan buat mengelusmu nggak?" 

 

Kalau ini Miyagi, dia pasti akan langsung menolak. Tapi saat aku mengulurkan tangan, si kucing malah mengeong pelan dan membiarkanku membelai punggungnya. 

 

Kucing ini memang seperti kucing liar, tapi dia cukup ramah. Dia tidak selalu membiarkan dirinya disentuh, tapi sekalipun tidak mau, dia juga tidak pernah mencakar. 

 

Jauh berbeda dengan Miyagi. 

 

Hari itu, saat aku sakit, Miyagi pun diam saja ketika kubelai. Kalau dipikir-pikir, menyamakan Miyagi dengan kucing liar mungkin tidak adil bagi kucing liar. 

 

Toh, kucing liar tetap membiarkanku mengelusnya meskipun aku tidak sedang sakit. 

 

Dia bahkan cukup ramah. 

 

Yah… Miyagi memang hanya tidak ramah padaku saja. 

 

Tapi, meskipun dia terlihat dingin, dia sebenarnya cukup baik. 

 

Salah satu buktinya, aku bisa cepat sembuh berkat dia yang merawatku. 

 

Dia yang biasanya jarang sekali memperhatikan orang lain, hari itu mau repot-repot mengurusku. Hasilnya, keesokan harinya demamku langsung turun. Sepertinya, dia memang lebih lembut pada orang yang sedang sakit. Kalau tahu begini, aku hampir berharap sakitku lebih lama sedikit. 

 

"Coba kalau sama aku yang sehat juga bisa sebaik itu, ya…" 

 

Hal seperti ini mungkin tidak bisa kukatakan langsung pada seseorang, tapi kepada seekor kucing, rasanya tidak masalah. 

 

Sambil mengelus punggungnya, aku berbicara pada kucing berbulu tiga warna yang jauh lebih ramah dibanding Miyagi. 

 

Sepertinya hari ini dia sedang dalam suasana hati yang baik. Saat aku membelai lehernya, dia berguling ke samping, memperlihatkan perut putihnya padaku. 

 

"Wow, hari ini murah hati banget, nih." 

 

Aku pun mulai mengelus perutnya yang lembut. 

 

Kucing ini sepertinya dirawat oleh seseorang, karena bulunya tampak bersih dan halus saat kusentuh. 

 

Ngomong-ngomong soal perut… 

 

Dulu, aku pernah membelai perut Miyagi. 

 

Dia bukan tipe yang terlalu kurus ataupun gemuk—perutnya memiliki kelembutan yang pas, nyaman di tanganku.



"Aku ingin bisa menyentuhnya dengan lebih santai." 

 

Begitu pikiran itu muncul, seolah-olah kucing itu bisa membacanya, dia langsung kabur. 

 

"Jadi, bahkan kucing pun bisa tahu kalau ada niat tersembunyi, ya?" 

 

Setelah memastikan si kucing benar-benar pergi, aku pun berdiri dan kembali berjalan. Tak butuh waktu lama untuk sampai di rumah. Begitu membuka pintu masuk, aku melihat bahwa lampu di area bersama masih mati, tapi sepasang sepatu Miyagi ada di sana. 

 

Aku berjalan ke depan kamarnya dan mengetuk pintu. Miyagi langsung muncul. 

 

"Aku pulang. Masak bareng, yuk?" 

 

Saat aku bertanya, dia hanya mengangguk pelan. 

 

Kami pun sepakat untuk menjadikan siomay beku sebagai menu utama. Aku masuk ke kamar sebentar untuk meletakkan barang-barang, lalu kembali ke dapur. Miyagi sudah mulai menyiapkan bahan-bahan untuk membuat salad tauge ala Cina. Aku yang memotong mentimun dan ham, sementara Miyagi merebus tauge. Saat siomay dipanaskan di microwave, aku mencampurkan bahan-bahan salad ke dalam mangkuk dan membumbuinya. 

 

Dalam sekejap, makan malam pun siap. Kami makan bersama, lalu beres-beres bersama juga. Setelah itu, kami membuat teh dan pergi ke kamarku. Miyagi duduk bersandar di tempat tidur, sementara aku meletakkan dua cangkir teh di atas meja dan duduk di sebelahnya. 

 

Aku menyalakan AC dan menaikkan suhunya satu derajat. 

 

Meskipun musim panas masih belum tiba, suhu mulai naik menjelang bulan Juli. Miyagi sering mengeluh kalau kamarku terlalu dingin. Sekarang dia sudah mulai datang ke sini dengan sendirinya, jadi menaikkan suhu sedikit sepertinya tidak masalah. 

 

Aku menyesap tehku sedikit. 

 

Di sebelahku, Miyagi juga sedang minum dengan tenang. 

 

Dia memang seperti kucing liar, tapi saat sedang makan atau minum, dia lumayan anteng. Aku hampir saja mengulurkan tangan untuk menyentuhnya seperti yang kulakukan pada si kucing tadi, tapi akhirnya aku hanya menyesap tehnya lagi. Kalau aku benar-benar menyentuhnya, dia pasti akan langsung merespons seperti kucing yang bulunya berdiri saat terancam—atau lebih parah, menggigitku. 

 

"Miyagi." 

 

"Apa?" 

 

"Kalau aku minta izin buat menyentuh perutmu sekarang, kamu bakal ngizinin nggak?" 

 

"Jangan harap." 

 

Miyagi meletakkan cangkirnya di meja dengan suara yang jelas-jelas kesal. 

 

"Ya, aku sih udah bisa nebak. Cuma nanya aja." 

 

Aku memang tidak mengharapkan dia benar-benar setuju. 

 

Aku juga nggak berniat memaksanya melakukan sesuatu yang dia nggak suka. Tapi tetap saja, rasanya menyenangkan kalau dia bisa sedikit lebih ramah… setidaknya seperti si kucing tadi. 

 

"Sendai, kamu mesum banget. Jangan tiba-tiba ngomong yang aneh-aneh, deh." 

 

Miyagi langsung sedikit menjauh dariku. 

 

"Ngomong-ngomong, kamu tahu nggak, di sekitar sini ada kucing?" 

 

Aku tidak ingin dia benar-benar kabur seperti kucing liar, jadi aku mencoba menjelaskan kenapa aku tiba-tiba mengajukan pertanyaan tadi. 

 

"Kucing? Aku nggak pernah lihat." 

 

"Serius? Kadang-kadang, pas aku pulang, aku ketemu kucing berbulu tiga warna di dekat sini. Kamu beneran nggak pernah lihat?" 

 

"Nggak pernah. Memangnya ada hubungan apa antara kucing itu sama perutku?" 

 

"Kucing itu suka kasih perutnya buat dielus, jadi aku pikir… siapa tahu kamu juga mau." 

 

"Logikanya di mana, sih? Aku ini bukan kucing. Kalau kucing itu suka dielus, ya elus aja dia." 

 

Miyagi, yang selama ini kusamakan dengan kucing liar, justru menolak disamakan dengan kucing. 

 

"Ya, aku tahu… Tapi dia kan nggak selalu ada di sana." 

 

Bukan berarti aku mau menggantikan kucing dengan Miyagi. 

 

Kalau mau jujur, aku ingin menyentuhnya karena dia Miyagi. 

 

Dan sebenarnya, tidak harus perutnya juga. 

 

"Kalau kamu yang ngizinin aku buat elus perutmu, aku bakal pertimbangkan," kata Miyagi tiba-tiba. 

 

"Oke." 

 

Aku langsung menjawab tanpa ragu. 

 

"Hah?" 

 

"Kan kamu bilang, kalau aku kasih izin buat perutku dielus, kamu bakal pertimbangkan. Jadi, silakan, elus aja sesukamu." 

 

"Kamu beneran mesum. Jauhin aku!" 

 

Miyagi langsung mengernyit dan mendorong pundakku. 

 

Padahal dia sendiri yang menawariku pertukaran ini, tapi reaksinya malah seperti ini. 

 

Kalau dibandingkan dengan hal-hal yang pernah dia lakukan padaku, sebenarnya dia yang lebih pantas disebut mesum. Aku kan tidak pernah menyuruhnya menjilat kakiku atau mengikat pergelangan tanganku. 

 

Sebenarnya, di matanya, aku ini seperti apa, sih? 

 

Aku penasaran, tapi kalau aku bertanya secara langsung, dia pasti cuma bakal menjawab, "mesum." Jadi, aku mencoba pertanyaan lain yang mungkin akan memberiku jawaban yang lebih jelas. 

 

"Miyagi, menurutmu, aku mirip hewan apa?" 

 

"Kenapa tiba-tiba nanya itu?" 

 

"Nggak ada alasan khusus. Aku juga nggak tahu mau ngomong apa lagi, jadi jawab aja." 

 

"Anjing." 

 

Dia menjawab dengan nada datar, tanpa berpikir lama. 

 

Jawaban yang terlalu simpel. 

 

"Kenapa anjing?" 

 

"Karena kamu selalu nurut sama perintahku." 

 

Ya, itu memang alasan yang masuk akal. 

 

Selama ini, aku memang selalu mengikuti perintahnya. Tapi tetap saja, jawaban itu terasa membosankan. 

 

"Kalau anjing, maksudnya anjing yang kecil gitu? Kayak pudel atau corgi?" 

 

"Bukan. Kenapa kamu malah mikir ke anjing-anjing yang imut?" 

 

"Ya, karena lebih bagus kalau imut, kan?" 

 

"Tapi kamu itu bukan anjing kecil. Kamu lebih mirip anjing yang besar." 

 

"Anjing besar?" 

 

Aku agak terkejut. 

 

Aku memang tidak kecil, tapi aku juga bukan tipe yang tinggi besar. 

 

"Contohnya anjing apa?" 

 

Miyagi tidak langsung menjawab. 

 

Aku semakin penasaran. 

 

"Serius, anjing jenis apa yang kamu maksud?" 

 

Setelah aku mendesaknya lagi, dia akhirnya menjawab dengan sedikit enggan. 

 

"Anjing yang mukanya panjang dan badannya kurus." 

 

Deskripsinya terlalu samar, aku jadi tidak bisa membayangkan. 

 

Apa ada karakter anjing di kartun yang seperti itu? 

 

"Aku nggak bisa membayangkan… Emang ada anjing seperti itu?" 

 

"Ada. Aku pernah lihat di TV." 

 

"Itu sih nggak jelas. Sebut aja namanya, biar aku bisa tahu." 

 

"Pinjamkan aku tabletmu.”

 

Begitu diminta, aku menyerahkan tablet yang tergeletak di atas meja. Miyagi langsung mulai mencari sesuatu, lalu dengan cepat berkata, "Ini," sambil menunjukkan layar kepadaku. Aku mencondongkan tubuh untuk melihat, dan di sana ada gambar seekor anjing yang bukan Golden Retriever atau Siberian Husky—jenis anjing besar yang kukenal. 

 

Anjing itu memang seperti yang Miyagi deskripsikan: tubuh dan wajahnya ramping, telinganya terkulai, kakinya panjang banget, dan bulunya yang lebat didominasi warna putih dengan sedikit corak cokelat. Nama rasnya tertulis "Borzois," tapi aku belum pernah mendengarnya sebelumnya. 

 

"Kayak anjing bangsawan gitu, tapi menurutmu aku tuh mirip begini?" 

 

Anjing ini lebih terlihat anggun daripada menggemaskan, dengan aura yang terkesan aristokrat. Setelah melihatnya, aku merasa nggak bakal bisa lagi menyebut Miyagi seperti kucing liar. Malah, rasanya seperti aku yang salah karena berpikir begitu. 

 

"Cuma karena ukurannya aja. Kamu kan lebih tinggi dari aku," jawab Miyagi santai. 

 

Memang sih, aku lebih tinggi dari Miyagi, tapi kalau dianalogikan ke anjing, paling aku tuh setara anjing ukuran sedang. Dibilang anjing besar rasanya agak berlebihan, dan aku tetap nggak merasa mirip dengan Borzois. 

 

"Tapi bedanya cuma empat atau lima sentimeter, kan?" tanyaku. 

 

"Berapa tinggi kamu?" 

 

"163 cm. Kamu?" 

 

"157 cm." 

 

"Jarak enam sentimeter aja kayaknya nggak cukup buat bikin aku kelihatan segede anjing besar, deh." 

 

"Tetep aja besar," gumamnya pelan. 

 

Lalu Miyagi langsung menghapus gambar Borzois dari tablet, seperti ingin menghindari pembicaraan lebih lanjut. "Cuma sekadar perasaan aja," tambahnya, seakan mencari alasan. 

 

Aku mengambil cangkir dan melihat isinya yang tinggal sedikit. Bayangan Borzois tadi masih melekat di benakku. 

 

Aku benar-benar nggak ngerti gimana jalan pikirannya Miyagi. 

 

Kenapa dia bisa langsung terpikir tentang Borzois? Dan kenapa dia merasa anjing itu mirip denganku? Aku pengen tahu alasannya, tapi setelah jawaban setengah hati barusan, aku tahu Miyagi nggak bakal mau menjelaskannya lebih jauh. Lagipula, alasan dia masih di sini sekarang cuma karena dia belum selesai minum tehnya. Begitu selesai, dia pasti bakal balik ke kamarnya. 

 

Miyagi nggak pernah datang ke kamarku kalau nggak ada alasan. 

 

Jadi aku memilih buat menikmati tehnya pelan-pelan, biar dia tetap di sini lebih lama. 

 

"Miyagi, kamu suka binatang, kan?" tanyaku. 

 

"Biasa aja," jawabnya datar. 

 

"Masa sih? Kamu kayaknya lumayan tahu soal anjing. Aku aja nggak tahu Borzois itu apa. Terus, tempat tisu kamu juga bentuknya hewan—buaya sama platipus." 

 

Aku meraih tempat tisu berbentuk platipus yang sekarang tinggal di kamarku, lalu mengelus kepalanya. Miyagi tiba-tiba mengulurkan tangan dan menarik selembar tisu dari sana. 

 

"Itu cuma kebetulan," katanya sambil tetap bersikap cuek. 

 

Nada suaranya nggak membantu menjelaskan apakah dia benar-benar nggak tertarik dengan binatang atau cuma berusaha menghindari obrolan. Tapi rasanya kalau dia nggak suka, dia nggak akan tahu banyak soal mereka atau memilih tempat tisu berbentuk hewan, kan? 

 

"Jadi kamu nggak ada hewan favorit? Misalnya anjing?" tanyaku lagi. 

 

"Biasa aja. Kalau kamu?" 

 

Aku meletakkan cangkir dan menatap Miyagi, yang lebih mirip kucing dibandingkan anjing. 

 

"Aku lebih suka kucing, sih," jawabku. 

 

"Oh ya? Kukira kamu bakal jawab anjing, soalnya kamu sendiri kayak anjing." 

 

Miyagi mengambil tisu lagi, lalu menggulungnya jadi bola kecil. 

 

"Aku nggak ngerasa kayak anjing, sih." 

 

"Kamu anjing," tegasnya tanpa ragu. 

 

Lalu dia melempar bola tisu itu ke arah tempat sampah. 

 

Tuk! 

 

Tisu itu terpental dari tepi tempat sampah dan menggelinding di lantai. 

 

"Ambilin," katanya santai sambil menunjuk bola tisu yang jatuh. 

 

"Aku nggak bakalan lakuin itu," sahutku malas. 

 

"Ya udah, aku cuma iseng aja nyuruh," katanya ringan, tapi dia tetap nggak bergerak. 

 

Bola tisu masih tergeletak di lantai. 

 

"Miyagi, kamu yang buang, kamu yang harus pungut sendiri," tegurku. 

 

"Kalau kamu mau buang, ambil aja sendiri," balasnya, masih tanpa niat bergerak. 

 

Sepertinya dia benar-benar nggak peduli, dan aku bisa lihat dari raut wajahnya kalau dia nggak akan memungut tisu itu. Aku bukan anjing, apalagi anjing peliharaan, tapi akhirnya aku tetap bangkit dan mengambilnya. 

 

"Nih," ujarku sambil menyerahkan bola tisu ke tangannya. "Udah puas sekarang?" 

 

"Belum," katanya santai. 

 

Dia meletakkan bola tisu itu di lantai lagi. 

 

"Mau nyuruh aku ngapain lagi?" tanyaku. 

 

"Kasih 'tangan'," katanya sambil mengulurkan tangannya ke arahku, jelas-jelas memperlakukanku seperti anjing. 

 

Ini benar-benar konyol. 

 

Harusnya aku nggak nurutin. 

 

Tapi akhirnya aku mengulurkan tanganku dan meletakkannya di telapak tangannya. Lalu, sebelum dia bisa bereaksi, aku mencengkeram tangannya dan menariknya ke arahku. 

 

Miyagi kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke dalam pelukanku. 

 

"Silakan kasih lebih banyak perintah," bisikku di dekat telinganya. 

 

Jarak yang semakin dekat membuat detak jantungku sedikit kacau, tapi aku pura-pura nggak peduli. 

 

"Udah cukup. Dan lagi, itu bukan perintah yang tadi aku maksud. Lepasin," katanya sambil berusaha mendorongku menjauh. 

 

Tapi aku nggak mau melepaskannya. 

 

"Bukannya perintah juga, tuh? Kecuali soal melepaskan, aku bakal nurut semua yang kamu suruh," ujarku sambil tetap memeluknya. 

 

Miyagi terdiam. 

 

Aku cuma ingin dia tetap di sini, sedekat ini. Perintah atau tidak, yang penting aku bisa menahan momen ini sedikit lebih lama. 

 

"Miyagi," panggilku lembut di dekat telinganya. 

 

Dia menggigit bibirnya sebentar, lalu akhirnya berbisik pelan, "...Kalau gitu, biarin aku pegang perutmu." 

 

Begitu dia bilang itu, bahkan sebelum aku sempat mengiyakan, tangannya sudah menyentuh perutku dari atas kaus yang kupakai. 

 

Aku refleks langsung mendorong tubuhnya menjauh karena nggak menyangka dia bakal benar-benar melakukannya. Tapi tangannya tetap mencengkeram kausku erat-erat, nggak mau lepas. 

 

"Apa-apaan sih perintah itu?" tanyaku heran. 

 

"Tadi kan kamu sendiri yang bilang bakal ngasih aku pegang perutmu," katanya dengan ekspresi polos.

 

Miyagi menarik kausku dengan ekspresi tak puas. 

 

Memang, tadi dia bilang, "Kalau Sendai-san membiarkan aku mengelus perutmu, aku akan mempertimbangkannya." Dan aku menjawab, "Boleh." Tapi aku sama sekali nggak menyangka dia benar-benar serius. Aku juga nggak kepikiran kalau dia bakal meminta hal kayak gitu dengan wajah datar. Tapi kalau memang itu bagian dari kesepakatan, ya sudah, biarkan saja dia menyentuh perutku sebentar. 

 

"Kalau aku juga boleh mengelus perutmu, silakan sesuka hati." 

 

"Aku cuma mau menyentuh perutmu. Perutku nggak boleh disentuh. Kamu sendiri yang bilang aku boleh kasih perintah, jadi nurut aja." 

 

Dia benar-benar egois dan kekanak-kanakan. Aku tahu ini bukan sesuatu yang harus dituruti. Tapi... 

 

Aku nggak bisa menolak Miyagi yang seperti ini. 

 

"Ya udah, kalau memang mau, silakan." 

 

Mungkin ini kebiasaan yang terbawa sejak SMA, tapi pada akhirnya, aku selalu nurut sama Miyagi. Nggak peduli dia benar atau salah. 

 

Lagipula, Miyagi ini tipe yang gampang mundur. Aku yakin, dia bakal menyentuh sebentar lalu bosan. 

 

"Jadi, gimana?" 

 

Dia akhirnya melepaskan genggamannya di bajuku. Perlahan, dia menyelipkan tangannya ke dalam dan mulai menepuk-nepuk perutku pelan, seperti anak kecil yang menyentuh boneka atau sesuatu yang baru pertama kali dia lihat. 

 

Entah kenapa, aku merasa diperlakukan seperti anjing. Tapi di sisi lain, aku juga senang karena ini berarti Miyagi punya ketertarikan padaku. 

 

"Seru?" tanyaku sambil melihatnya yang sedang menunduk. 

 

"Biasa aja." 

 

Nada suaranya terdengar datar, tapi tangannya terus bergerak, menepuk dan membelai perutku. Saat jemarinya menyentuh pinggangku, rasanya agak geli. Tapi anehnya, sentuhannya juga terasa nyaman. 

 

Kuduga dia bakal berhenti dalam beberapa detik. Tapi tangannya nggak juga lepas dari perutku. Awalnya, caranya menyentuh terasa seperti mempermainkan mainan. Tapi lama-lama, gerakannya lebih mirip seperti seseorang yang mengelus kain sutra mahal. 

 

Jarinya mulai bergerak naik, menyusuri sisi pinggangku, lalu turun lagi ke pusar. 

 

"Eh... cara nyentuhnya kok agak aneh ya?" 

 

Gerakannya pelan, halus, dan membangkitkan perasaan yang nggak seharusnya. Aku sih nggak masalah, tapi kalau Miyagi sadar apa yang dia lakukan, dia pasti bakal panik. 

 

"Nggak aneh." 

 

Dia menjawab tegas, lalu tiba-tiba menekan perutku dengan telapak tangannya. 

 

"Miyagi. Aku baru aja makan, tolong jangan tekan perutku begitu." 

 

Nggak sampai bikin makanan di dalam perut naik sih, tapi tetap aja rasanya nggak nyaman. 

 

"Kalau gitu, lepasin tanganku." 

 

Begitu aku melepaskannya, dia kembali menyentuh perutku. 

 

Aku jadi penasaran. 

 

Apa Miyagi juga merasakan sesuatu dari ini? 

 

Apa dia juga merasa nyaman? 

 

Apa dia ingin menyentuh lebih lama? 

 

Tapi aku nggak punya waktu buat bertanya, karena tangannya sudah hampir mencapai ujung bawah bajuku. 

 

"Miyagi, itu bukan perut lagi." 

 

Aku segera menggenggam tangannya. 

 

"Kamu sendiri yang bilang boleh menyentuh perutmu. Sekarang kenapa protes?" katanya dengan nada tak senang. 

 

"Kalau kamu memang mau terus nyentuh, ya silakan. Tapi jangan salahkan aku nanti." 

 

"Maksudnya?" 

 

Aku menarik pelan rambutnya, memaksanya menatapku. 

 

Saat mata kami bertemu, aku mendekatkan wajahku ke pipinya, lalu... menjilatnya, seperti anjing. 

 

"Kalau kamu terus kayak gini, aku nggak bakal bisa nahan diri." bisikku di telinganya, lalu melepaskan genggaman di tangannya. 

 

Dia langsung menarik tangannya keluar dari bajuku dengan gerakan cepat. 

 

"Kamu mesum! Aku balik ke kamar!" 

 

Miyagi mengambil boneka platipus yang ada di lantai dan memukulkannya ke tubuhku. 

 

"Eh, tunggu. Aku belum habis minum tehnya." 

 

Aku mengangkat cangkirku dan menyeruput teh yang sudah mulai dingin. 

 

Miyagi hanya mengelap pipinya dengan tisu tanpa berusaha kabur dariku. Dia juga nggak menuntut janji atau hal lain seperti biasanya. Tapi dia menunduk, menatap lantai seakan itu adalah hal paling menarik di dunia. 

 

"Sendai-san." 

 

"Hmm?" 

 

"Menurutmu, aku mirip hewan apa?" 

 

Tanyanya dengan suara kecil. 

 

Aku menatapnya sebentar, lalu tersenyum. 

 

"Kucing, mungkin?" 

 

Aku sengaja nggak menambahkan kata "liar" di belakangnya. 

 

"Kenapa?" 

 

"Kamu kan dingin dan suka menyendiri. Terus, kamu juga gampang kedinginan. Kalau ada kotatsu, pasti bakal betah seharian di dalamnya." 

 

Aku memberikan tawaran kecil. 

 

"Mau beli kotatsu buat musim dingin nanti?" 

 

"Nggak perlu!" jawabnya cepat.

 

 

Miyagi langsung menjawab tanpa ragu. 

 

Sesuai dugaanku. Aku pun menghabiskan sisa tehnya. 

 

 

◇◇◇ 

 

 

"Emangnya kucing itu beneran ada? Lagian, ayo pulang aja. Aku juga bukan yang pengen banget lihat kucing." 

 

Hari Minggu siang. Kami baru keluar sekitar lima belas menit, tapi Miyagi sudah mulai mengeluh. 

 

Aku yang mengajaknya keluar buat mencari kucing, dan sejak awal dia memang nggak terlalu antusias. 

 

"Santai aja. Lagian, kalau pulang sekarang juga kita nggak bakal ngapa-ngapain. Jalan bentar lagi, yuk." 

 

Sambil berjalan di bawah naungan pepohonan di pinggir jalan, aku mencoba menyemangatinya. 

 

Kami berdua berjalan tanpa arah, tapi sejauh ini, nggak ada tanda-tanda keberadaan kucing berbulu tiga warna itu—baik di pinggir jalan maupun di balik bayangan mobil. 

 

Ya, aku juga sih sebenarnya nggak terlalu berharap bakal ketemu. 

 

Selama ini, aku hanya melihat kucing itu saat pulang dari kampus. Aku bahkan nggak tahu apakah dia sering muncul di sekitar sini di siang hari atau nggak. 

 

"Jalan bentar lagi tuh berapa lama?" 

 

"Ya, bentar lagi ya bentar lagi." 

 

Miyagi bukan tipe yang mau keluar rumah tanpa alasan. 

 

Kalau nggak ada yang harus dibeli, dia nggak akan ikut ke supermarket. Kalau nggak ada makanan yang dia pengen, dia juga nggak bakal mau makan di luar. 

 

Buat ngajak dia keluar, selalu harus ada alasan. 

 

Karena itu, aku sengaja menciptakan alasan ini—mencari kucing—hanya supaya aku bisa menikmati waktu jalan-jalan berdua dengannya. 

 

Andai aja aku bisa pergi keluar sama dia tanpa perlu alasan apa pun… 

 

Mungkin kalau aku adalah Utsunomiya, aku bisa melakukannya. Tapi aku bukan Utsunomiya. Aku juga nggak ingin jadi Utsunomiya. 

 

Aku menatap langit. 

 

Meskipun musim hujan belum berakhir, matahari bersinar terik. Udara terasa gerah, dan bahkan pepohonan di sepanjang jalan pun tampak diam tanpa ada angin yang bertiup. Kalau dipikir-pikir, mungkin lebih nyaman di rumah aja daripada berkeliaran di luar kayak gini. 

 

Tapi tetap saja, aku ingin menikmati waktu ini sedikit lebih lama. 

 

Kalau ini benar-benar puncak musim panas, mungkin aku sudah terkapar kepanasan di jalanan. Tapi suhu hari ini masih cukup bisa ditoleransi, jadi aku memutuskan buat terus mencari kucing. 

 

"Sendai-san, tadi bilangnya cuma mau lihat sekitar rumah aja, kan? Kamu bohong!" 

 

Miyagi merajuk sambil mendorong pundakku. 

 

Memang, biasanya aku melihat kucing itu di dekat rumah—sekitar lima menit dari sini. Tapi setelah mencari di sekitar area itu dan nggak menemukannya, kami terus berjalan makin jauh. 

 

Kalau dipikir-pikir, ini memang sudah di luar batas "sekitar rumah". 

 

"Ya, aku memang bilang gitu. Tapi kamu udah dandan rapi hari ini, masa nggak mau jalan agak jauh?" 

 

Aku sengaja membujuknya buat pakai rok dengan alasan biar lebih adem di cuaca panas ini. Dan sekarang, kami berdua sama-sama mengenakan rok. 

 

Sayangnya, aku nggak berhasil membujuknya buat pakai riasan sedikit. Tapi setidaknya, aku sudah berhasil melihat Miyagi dalam pakaian yang lebih manis dari biasanya. Itu aja udah cukup bikin puas. 

 

"Ini semua gara-gara kamu maksa aku pakai ini!" 

 

"Ya kan bener, jadinya bagus, kan? Lagian, sebentar lagi kita bakal sampai restoran keluarga. Mau mampir?" 

 

"Nggak. Panas, aku mau pulang." 

 

Dia memang nggak tampak kesal, tapi suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya. 

 

Sepertinya dia benar-benar ingin pulang. Aku cuma bisa menghela napas dalam hati. 

 

"Oke, kalau nggak mau ke restoran, ayo kita cari kucingnya sedikit lagi. Kucing itu imut, loh. Kalau dia lagi mood bagus, kita bisa elus dia." 

 

Meskipun Miyagi ingin pulang, aku belum mau. 

 

"Emangnya beneran ada kucing di sini?" 

 

"Ada kok!"

 

Mungkin memang nggak ada kucing di sekitar sini. 

 

Kami sudah menjauh dari tempat biasanya aku melihat kucing berbulu tiga warna itu. 

 

Waktunya juga berbeda dari biasanya. 

 

Mungkin saja dia pernah muncul di sekitar sini atau mungkin dia keluar lebih awal dari dugaanku, tapi kemungkinannya kecil. 

 

Aku merasa sedikit nggak jujur. 

 

Aku membuat Miyagi mencari sesuatu yang hampir mustahil ditemukan. 

 

Tapi, kurasa ketidakjujuranku masih bisa dimaafkan. 

 

Mungkin memang nggak bisa dibilang sepenuhnya bijak, tapi selama ini aku sudah cukup menahan diri, berusaha menjalani peran sebagai teman sekamar yang biasa-biasa saja. Kalau dalam keseharian aku selalu menghargai keinginannya, rasanya aku berhak menikmati momen kecil seperti ini. 

 

"Oh iya, Miyagi. Menurutmu anjing borzoi biasa diajak jalan-jalan di sekitar kota?" 

 

Aku bertanya pada Miyagi, yang jalannya mulai melambat drastis. Maksudku, supaya dia nggak sempat lagi bilang ingin pulang. 

 

"Mungkin aja. Kenapa nanya gitu?" 

 

"Soalnya aku nggak pernah lihat borzoi jalan-jalan seumur hidupku." 

 

"Aku juga nggak pernah." 

 

"Oh, gitu." 

 

Percakapan kami berakhir begitu saja. Aku mengarahkan pandangan ke seberang jalan. Tidak ada borzoi, dan tentu saja, tidak ada kucing berbulu tiga warna. 

 

Aku mencari topik lain, sesuatu yang bisa menutup mulut Miyagi dari kata pulang. Aku berpikir tentang kuliah, kehidupan di rumah, dan akhirnya menyebut nama yang tadi sempat terlintas di kepalaku. 

 

"Miyagi, kapan Utsunomiya datang?" 

 

"…Belum diputuskan." 

 

Suara Miyagi kecil sekali, hampir tenggelam oleh suara anak-anak yang bermain di kejauhan. 

 

"Sekarang sudah bulan Juli, cepat tentuin dong." 

 

"Tapi kan, Sendai-san bilang kapan aja boleh. Emangnya beneran kapan aja boleh?" 

 

Tentu aja nggak. 

 

Atau lebih tepatnya, aku malah berharap Utsunomiya nggak datang sama sekali. 

 

Nada suaranya seakan meminta aku untuk bilang begitu, tapi aku nggak akan memberi jawaban yang dia harapkan. 

 

Sebaliknya, aku memilih mengatakan sesuatu yang mungkin akan membuatnya kecewa. 

 

"Kapan aja boleh, sih. Tapi kalau bisa, hari Minggu depan aja. Soalnya, nanti di pertengahan bulan kita bakal sibuk ujian, kan?" 

 

"Oke, aku bakal diskusiin sama Maika dulu." 

 

Dia menjawab dengan nada seolah-olah pendapatku nggak ada pengaruhnya. 

 

Mungkin memang begitu. 

 

Tapi, kalau mempertimbangkan jadwal ujian di akhir Juli, mereka kemungkinan besar memang akan memutuskan bertemu hari Minggu nanti. 

 

Tetap saja, Miyagi yang lebih memprioritaskan pendapat Utsunomiya bikin perasaanku sedikit nggak enak. Aku tahu dia lebih mengutamakan temannya, tapi tetap aja, rasanya nggak menyenangkan. 

 

"Kalau sudah ada kepastian, kasih tahu aku, ya." 

 

Aku menarik diri dari perasaan yang mulai tenggelam, seperti batu yang perlahan jatuh ke dasar air. 

 

Satu langkah maju. 

 

Kanan, kiri, kanan. 

 

Aku terus berjalan perlahan. 

 

Miyagi tetap berjalan di sisiku. 

 

Setiap kali dia melangkah, rok berwarna lembut yang dikenakannya berkibar sedikit. 

 

Tentu saja, Miyagi bebas memakai apa pun yang dia mau. 

 

Tapi kalau boleh memilih, aku ingin melihatnya memakai rok lebih sering. 

 

Aku bukan tipe orang yang punya ketertarikan khusus pada kaki, tapi karena perintah Miyagi, mungkin saja aku jadi menyukainya. 

 

"Sendai-san, lagi lihat apa?" 

 

Kaki. 

 

Kalau aku menjawab begitu, dia pasti bakal menendangku. 

 

"Ubin di trotoar." 

 

Aku mengalihkan pandangan dan menjawab sesuatu yang letaknya nggak jauh dari kaki. 

 

"Menarik?" 

 

"Cukup, sih." 

 

──Daripada terus memikirkan Miyagi dan Utsunomiya. 

 

Aku menyimpan kata-kata yang sebenarnya ingin kuucapkan di dalam hati dan kembali menatap ke depan. 

 

Terlalu lama menatap ke bawah juga nggak bagus. 

 

Tapi melihat lurus ke depan pun nggak membuatku lebih tertarik. Saat aku melirik Miyagi, aku melihat lengannya ikut bergerak perlahan seirama dengan langkah kakinya—bukan seperti orang yang sedang berbaris dengan semangat, tapi tetap bergerak mengikuti irama. 

 

"Miyagi." 

 

"Apa?" 

 

"Gandengan, yuk." 

 

Aku menyenggol lengannya yang sedang bergerak. 

 

"Nggak mau." 

 

"Kenapa?" 

 

"Panas." 

 

"Jadi, kalau di rumah boleh gandengan?" 

 

"Bukan itu maksudnya." 

 

Jawabannya persis seperti yang aku perkirakan. Dan memang seharusnya begitu. Kalau Miyagi tiba-tiba setuju, rasanya malah aneh. 

 

"Kucingnya nggak ada, kita pulang aja?" 

 

"Katanya mau cari sedikit lagi?" 

 

"Lebih enak di tempat yang adem. Kayaknya lebih baik pulang sekarang aja." 

 

Aku sebenarnya ingin menunjukkan kucing berbulu tiga warna yang lebih ramah daripada Miyagi. 

 

Tapi kalaupun kami terus mencari, aku nggak yakin bisa menemukannya. 

 

Aku pun memilih untuk pulang. 

 

"Terserah." 

 

Suaranya terdengar datar dan tanpa emosi. 

 

Aku mempercepat langkahku. 

 

Miyagi tetap berjalan di sampingku dengan kecepatan yang sama. 

 

Aku ingin cepat sampai rumah. 

 

Meskipun, sebenarnya, di rumah pun menggenggam tangannya nggak akan mengubah apa pun.














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !