Chapter
7
Flu itu memang bukan hal yang menyenangkan.
Saat sakit, aku harus berdiam diri di rumah, terjebak di
tempat yang sama dengan ibuku—seseorang yang bahkan dalam keadaan normal pun
hampir tidak pernah berusaha untuk berinteraksi denganku. Sekalipun aku sakit,
dia hanya melakukan hal-hal sebatas kewajiban. Jadi meskipun tinggal di rumah
yang sama, kami jarang bertatap muka. Dan tentu saja, itu bukan sesuatu yang
menyenangkan.
Tapi sekarang, semuanya berbeda.
Ibuku tidak ada. Yang ada di sini hanyalah Miyagi.
Di antara dunia mimpi dan kesadaranku yang samar karena demam,
aku menyadari sesuatu.
Dulu, pikiranku sering dipenuhi oleh hal-hal buruk. Tapi
dengan Miyagi di sisiku, aku tidak perlu memikirkan hal-hal itu lagi. Dia
menemaniku sampai aku tertidur, mengusir mimpi-mimpi buruk yang biasanya
datang. Miyagi memang seperti kucing liar yang sulit didekati, tapi hari itu,
dia membiarkanku membelai rambutnya yang lembut sepuasnya.
Sekarang, setelah aku sembuh, dia pasti tidak akan
mengizinkanku melakukan itu lagi.
"Ngomong-ngomong, kira-kira kucing itu masih ada nggak,
ya?"
Aku memperlambat langkah dan mulai melihat sekeliling.
Kadang-kadang, di perjalanan pulang dari kampus seperti ini,
aku bertemu dengan seekor kucing di dekat rumah.
Tentu saja, yang kumaksud adalah kucing sungguhan, bukan
Miyagi.
Kalau boleh memilih, aku lebih suka bertemu dengan Miyagi,
tapi bertemu kucing juga bukan hal yang buruk. Aku sebenarnya bukan penggemar
kucing, tapi karena tinggal serumah dengan seseorang yang seperti kucing liar,
aku jadi lebih sering memperhatikan mereka.
Ada… tidak ada… ada…
Saat aku terus melihat ke sekitar, akhirnya aku
menemukannya—seekor kucing berbulu tiga warna sedang sibuk menjilati bulunya di
pinggir jalan. Kucing ini memang tidak selalu ada, jadi hari ini bisa dibilang
hari keberuntunganku.
"Heii, Mikenya~"
Aku berjongkok di dekatnya.
"Hari ini mau kasih aku kesempatan buat mengelusmu
nggak?"
Kalau ini Miyagi, dia pasti akan langsung menolak. Tapi saat
aku mengulurkan tangan, si kucing malah mengeong pelan dan membiarkanku
membelai punggungnya.
Kucing ini memang seperti kucing liar, tapi dia cukup ramah.
Dia tidak selalu membiarkan dirinya disentuh, tapi sekalipun tidak mau, dia
juga tidak pernah mencakar.
Jauh berbeda dengan Miyagi.
Hari itu, saat aku sakit, Miyagi pun diam saja ketika kubelai.
Kalau dipikir-pikir, menyamakan Miyagi dengan kucing liar mungkin tidak adil
bagi kucing liar.
Toh, kucing liar tetap membiarkanku mengelusnya meskipun aku
tidak sedang sakit.
Dia bahkan cukup ramah.
Yah… Miyagi memang hanya tidak ramah padaku saja.
Tapi, meskipun dia terlihat dingin, dia sebenarnya cukup
baik.
Salah satu buktinya, aku bisa cepat sembuh berkat dia yang
merawatku.
Dia yang biasanya jarang sekali memperhatikan orang lain, hari
itu mau repot-repot mengurusku. Hasilnya, keesokan harinya demamku langsung
turun. Sepertinya, dia memang lebih lembut pada orang yang sedang sakit. Kalau
tahu begini, aku hampir berharap sakitku lebih lama sedikit.
"Coba kalau sama aku yang sehat juga bisa sebaik itu,
ya…"
Hal seperti ini mungkin tidak bisa kukatakan langsung pada
seseorang, tapi kepada seekor kucing, rasanya tidak masalah.
Sambil mengelus punggungnya, aku berbicara pada kucing berbulu
tiga warna yang jauh lebih ramah dibanding Miyagi.
Sepertinya hari ini dia sedang dalam suasana hati yang baik.
Saat aku membelai lehernya, dia berguling ke samping, memperlihatkan perut
putihnya padaku.
"Wow, hari ini murah hati banget, nih."
Aku pun mulai mengelus perutnya yang lembut.
Kucing ini sepertinya dirawat oleh seseorang, karena bulunya
tampak bersih dan halus saat kusentuh.
Ngomong-ngomong soal perut…
Dulu, aku pernah membelai perut Miyagi.
Dia bukan tipe yang terlalu kurus ataupun gemuk—perutnya
memiliki kelembutan yang pas, nyaman di tanganku.
"Aku ingin bisa menyentuhnya dengan lebih
santai."
Begitu pikiran itu muncul, seolah-olah kucing itu bisa
membacanya, dia langsung kabur.
"Jadi, bahkan kucing pun bisa tahu kalau ada niat
tersembunyi, ya?"
Setelah memastikan si kucing benar-benar pergi, aku pun
berdiri dan kembali berjalan. Tak butuh waktu lama untuk sampai di rumah.
Begitu membuka pintu masuk, aku melihat bahwa lampu di area bersama masih mati,
tapi sepasang sepatu Miyagi ada di sana.
Aku berjalan ke depan kamarnya dan mengetuk pintu. Miyagi
langsung muncul.
"Aku pulang. Masak bareng, yuk?"
Saat aku bertanya, dia hanya mengangguk pelan.
Kami pun sepakat untuk menjadikan siomay beku sebagai menu
utama. Aku masuk ke kamar sebentar untuk meletakkan barang-barang, lalu kembali
ke dapur. Miyagi sudah mulai menyiapkan bahan-bahan untuk membuat salad tauge
ala Cina. Aku yang memotong mentimun dan ham, sementara Miyagi merebus tauge.
Saat siomay dipanaskan di microwave, aku mencampurkan bahan-bahan salad ke
dalam mangkuk dan membumbuinya.
Dalam sekejap, makan malam pun siap. Kami makan bersama, lalu
beres-beres bersama juga. Setelah itu, kami membuat teh dan pergi ke kamarku.
Miyagi duduk bersandar di tempat tidur, sementara aku meletakkan dua cangkir
teh di atas meja dan duduk di sebelahnya.
Aku menyalakan AC dan menaikkan suhunya satu derajat.
Meskipun musim panas masih belum tiba, suhu mulai naik
menjelang bulan Juli. Miyagi sering mengeluh kalau kamarku terlalu dingin.
Sekarang dia sudah mulai datang ke sini dengan sendirinya, jadi menaikkan suhu
sedikit sepertinya tidak masalah.
Aku menyesap tehku sedikit.
Di sebelahku, Miyagi juga sedang minum dengan tenang.
Dia memang seperti kucing liar, tapi saat sedang makan atau
minum, dia lumayan anteng. Aku hampir saja mengulurkan tangan untuk
menyentuhnya seperti yang kulakukan pada si kucing tadi, tapi akhirnya aku
hanya menyesap tehnya lagi. Kalau aku benar-benar menyentuhnya, dia pasti akan
langsung merespons seperti kucing yang bulunya berdiri saat terancam—atau lebih
parah, menggigitku.
"Miyagi."
"Apa?"
"Kalau aku minta izin buat menyentuh perutmu sekarang,
kamu bakal ngizinin nggak?"
"Jangan harap."
Miyagi meletakkan cangkirnya di meja dengan suara yang
jelas-jelas kesal.
"Ya, aku sih udah bisa nebak. Cuma nanya aja."
Aku memang tidak mengharapkan dia benar-benar setuju.
Aku juga nggak berniat memaksanya melakukan sesuatu yang dia
nggak suka. Tapi tetap saja, rasanya menyenangkan kalau dia bisa sedikit lebih
ramah… setidaknya seperti si kucing tadi.
"Sendai, kamu mesum banget. Jangan tiba-tiba ngomong yang
aneh-aneh, deh."
Miyagi langsung sedikit menjauh dariku.
"Ngomong-ngomong, kamu tahu nggak, di sekitar sini ada
kucing?"
Aku tidak ingin dia benar-benar kabur seperti kucing liar,
jadi aku mencoba menjelaskan kenapa aku tiba-tiba mengajukan pertanyaan
tadi.
"Kucing? Aku nggak pernah lihat."
"Serius? Kadang-kadang, pas aku pulang, aku ketemu kucing
berbulu tiga warna di dekat sini. Kamu beneran nggak pernah lihat?"
"Nggak pernah. Memangnya ada hubungan apa antara kucing
itu sama perutku?"
"Kucing itu suka kasih perutnya buat dielus, jadi aku
pikir… siapa tahu kamu juga mau."
"Logikanya di mana, sih? Aku ini bukan kucing. Kalau
kucing itu suka dielus, ya elus aja dia."
Miyagi, yang selama ini kusamakan dengan kucing liar, justru
menolak disamakan dengan kucing.
"Ya, aku tahu… Tapi dia kan nggak selalu ada di
sana."
Bukan berarti aku mau menggantikan kucing dengan Miyagi.
Kalau mau jujur, aku ingin menyentuhnya karena dia
Miyagi.
Dan sebenarnya, tidak harus perutnya juga.
"Kalau kamu yang ngizinin aku buat elus perutmu, aku
bakal pertimbangkan," kata Miyagi tiba-tiba.
"Oke."
Aku langsung menjawab tanpa ragu.
"Hah?"
"Kan kamu bilang, kalau aku kasih izin buat perutku
dielus, kamu bakal pertimbangkan. Jadi, silakan, elus aja sesukamu."
"Kamu beneran mesum. Jauhin aku!"
Miyagi langsung mengernyit dan mendorong pundakku.
Padahal dia sendiri yang menawariku pertukaran ini, tapi
reaksinya malah seperti ini.
Kalau dibandingkan dengan hal-hal yang pernah dia lakukan
padaku, sebenarnya dia yang lebih pantas disebut mesum. Aku kan tidak pernah
menyuruhnya menjilat kakiku atau mengikat pergelangan tanganku.
Sebenarnya, di matanya, aku ini seperti apa, sih?
Aku penasaran, tapi kalau aku bertanya secara langsung, dia
pasti cuma bakal menjawab, "mesum." Jadi, aku mencoba pertanyaan lain
yang mungkin akan memberiku jawaban yang lebih jelas.
"Miyagi, menurutmu, aku mirip hewan apa?"
"Kenapa tiba-tiba nanya itu?"
"Nggak ada alasan khusus. Aku juga nggak tahu mau ngomong
apa lagi, jadi jawab aja."
"Anjing."
Dia menjawab dengan nada datar, tanpa berpikir lama.
Jawaban yang terlalu simpel.
"Kenapa anjing?"
"Karena kamu selalu nurut sama perintahku."
Ya, itu memang alasan yang masuk akal.
Selama ini, aku memang selalu mengikuti perintahnya. Tapi
tetap saja, jawaban itu terasa membosankan.
"Kalau anjing, maksudnya anjing yang kecil gitu? Kayak
pudel atau corgi?"
"Bukan. Kenapa kamu malah mikir ke anjing-anjing yang
imut?"
"Ya, karena lebih bagus kalau imut, kan?"
"Tapi kamu itu bukan anjing kecil. Kamu lebih mirip
anjing yang besar."
"Anjing besar?"
Aku agak terkejut.
Aku memang tidak kecil, tapi aku juga bukan tipe yang tinggi
besar.
"Contohnya anjing apa?"
Miyagi tidak langsung menjawab.
Aku semakin penasaran.
"Serius, anjing jenis apa yang kamu maksud?"
Setelah aku mendesaknya lagi, dia akhirnya menjawab dengan
sedikit enggan.
"Anjing yang mukanya panjang dan badannya
kurus."
Deskripsinya terlalu samar, aku jadi tidak bisa
membayangkan.
Apa ada karakter anjing di kartun yang seperti itu?
"Aku nggak bisa membayangkan… Emang ada anjing seperti
itu?"
"Ada. Aku pernah lihat di TV."
"Itu sih nggak jelas. Sebut aja namanya, biar aku bisa
tahu."
"Pinjamkan aku tabletmu.”
Begitu diminta, aku menyerahkan tablet yang tergeletak di atas
meja. Miyagi langsung mulai mencari sesuatu, lalu dengan cepat berkata,
"Ini," sambil menunjukkan layar kepadaku. Aku mencondongkan tubuh
untuk melihat, dan di sana ada gambar seekor anjing yang bukan Golden Retriever
atau Siberian Husky—jenis anjing besar yang kukenal.
Anjing itu memang seperti yang Miyagi deskripsikan: tubuh dan
wajahnya ramping, telinganya terkulai, kakinya panjang banget, dan bulunya yang
lebat didominasi warna putih dengan sedikit corak cokelat. Nama rasnya tertulis
"Borzois," tapi aku belum pernah mendengarnya sebelumnya.
"Kayak anjing bangsawan gitu, tapi menurutmu aku tuh
mirip begini?"
Anjing ini lebih terlihat anggun daripada menggemaskan, dengan
aura yang terkesan aristokrat. Setelah melihatnya, aku merasa nggak bakal bisa
lagi menyebut Miyagi seperti kucing liar. Malah, rasanya seperti aku yang salah
karena berpikir begitu.
"Cuma karena ukurannya aja. Kamu kan lebih tinggi dari
aku," jawab Miyagi santai.
Memang sih, aku lebih tinggi dari Miyagi, tapi kalau
dianalogikan ke anjing, paling aku tuh setara anjing ukuran sedang. Dibilang
anjing besar rasanya agak berlebihan, dan aku tetap nggak merasa mirip dengan
Borzois.
"Tapi bedanya cuma empat atau lima sentimeter, kan?"
tanyaku.
"Berapa tinggi kamu?"
"163 cm. Kamu?"
"157 cm."
"Jarak enam sentimeter aja kayaknya nggak cukup buat
bikin aku kelihatan segede anjing besar, deh."
"Tetep aja besar," gumamnya pelan.
Lalu Miyagi langsung menghapus gambar Borzois dari tablet,
seperti ingin menghindari pembicaraan lebih lanjut. "Cuma sekadar perasaan
aja," tambahnya, seakan mencari alasan.
Aku mengambil cangkir dan melihat isinya yang tinggal sedikit.
Bayangan Borzois tadi masih melekat di benakku.
Aku benar-benar nggak ngerti gimana jalan pikirannya
Miyagi.
Kenapa dia bisa langsung terpikir tentang Borzois? Dan kenapa
dia merasa anjing itu mirip denganku? Aku pengen tahu alasannya, tapi setelah
jawaban setengah hati barusan, aku tahu Miyagi nggak bakal mau menjelaskannya
lebih jauh. Lagipula, alasan dia masih di sini sekarang cuma karena dia belum
selesai minum tehnya. Begitu selesai, dia pasti bakal balik ke kamarnya.
Miyagi nggak pernah datang ke kamarku kalau nggak ada
alasan.
Jadi aku memilih buat menikmati tehnya pelan-pelan, biar dia
tetap di sini lebih lama.
"Miyagi, kamu suka binatang, kan?" tanyaku.
"Biasa aja," jawabnya datar.
"Masa sih? Kamu kayaknya lumayan tahu soal anjing. Aku
aja nggak tahu Borzois itu apa. Terus, tempat tisu kamu juga bentuknya
hewan—buaya sama platipus."
Aku meraih tempat tisu berbentuk platipus yang sekarang
tinggal di kamarku, lalu mengelus kepalanya. Miyagi tiba-tiba mengulurkan
tangan dan menarik selembar tisu dari sana.
"Itu cuma kebetulan," katanya sambil tetap bersikap
cuek.
Nada suaranya nggak membantu menjelaskan apakah dia
benar-benar nggak tertarik dengan binatang atau cuma berusaha menghindari
obrolan. Tapi rasanya kalau dia nggak suka, dia nggak akan tahu banyak soal
mereka atau memilih tempat tisu berbentuk hewan, kan?
"Jadi kamu nggak ada hewan favorit? Misalnya
anjing?" tanyaku lagi.
"Biasa aja. Kalau kamu?"
Aku meletakkan cangkir dan menatap Miyagi, yang lebih mirip
kucing dibandingkan anjing.
"Aku lebih suka kucing, sih," jawabku.
"Oh ya? Kukira kamu bakal jawab anjing, soalnya kamu
sendiri kayak anjing."
Miyagi mengambil tisu lagi, lalu menggulungnya jadi bola
kecil.
"Aku nggak ngerasa kayak anjing, sih."
"Kamu anjing," tegasnya tanpa ragu.
Lalu dia melempar bola tisu itu ke arah tempat sampah.
Tuk!
Tisu itu terpental dari tepi tempat sampah dan menggelinding
di lantai.
"Ambilin," katanya santai sambil menunjuk bola tisu
yang jatuh.
"Aku nggak bakalan lakuin itu," sahutku malas.
"Ya udah, aku cuma iseng aja nyuruh," katanya
ringan, tapi dia tetap nggak bergerak.
Bola tisu masih tergeletak di lantai.
"Miyagi, kamu yang buang, kamu yang harus pungut
sendiri," tegurku.
"Kalau kamu mau buang, ambil aja sendiri," balasnya,
masih tanpa niat bergerak.
Sepertinya dia benar-benar nggak peduli, dan aku bisa lihat
dari raut wajahnya kalau dia nggak akan memungut tisu itu. Aku bukan anjing,
apalagi anjing peliharaan, tapi akhirnya aku tetap bangkit dan
mengambilnya.
"Nih," ujarku sambil menyerahkan bola tisu ke
tangannya. "Udah puas sekarang?"
"Belum," katanya santai.
Dia meletakkan bola tisu itu di lantai lagi.
"Mau nyuruh aku ngapain lagi?" tanyaku.
"Kasih 'tangan'," katanya sambil mengulurkan
tangannya ke arahku, jelas-jelas memperlakukanku seperti anjing.
Ini benar-benar konyol.
Harusnya aku nggak nurutin.
Tapi akhirnya aku mengulurkan tanganku dan meletakkannya di
telapak tangannya. Lalu, sebelum dia bisa bereaksi, aku mencengkeram tangannya
dan menariknya ke arahku.
Miyagi kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke dalam
pelukanku.
"Silakan kasih lebih banyak perintah," bisikku di
dekat telinganya.
Jarak yang semakin dekat membuat detak jantungku sedikit
kacau, tapi aku pura-pura nggak peduli.
"Udah cukup. Dan lagi, itu bukan perintah yang tadi aku
maksud. Lepasin," katanya sambil berusaha mendorongku menjauh.
Tapi aku nggak mau melepaskannya.
"Bukannya perintah juga, tuh? Kecuali soal melepaskan,
aku bakal nurut semua yang kamu suruh," ujarku sambil tetap
memeluknya.
Miyagi terdiam.
Aku cuma ingin dia tetap di sini, sedekat ini. Perintah atau
tidak, yang penting aku bisa menahan momen ini sedikit lebih lama.
"Miyagi," panggilku lembut di dekat telinganya.
Dia menggigit bibirnya sebentar, lalu akhirnya berbisik pelan,
"...Kalau gitu, biarin aku pegang perutmu."
Begitu dia bilang itu, bahkan sebelum aku sempat mengiyakan,
tangannya sudah menyentuh perutku dari atas kaus yang kupakai.
Aku refleks langsung mendorong tubuhnya menjauh karena nggak
menyangka dia bakal benar-benar melakukannya. Tapi tangannya tetap mencengkeram
kausku erat-erat, nggak mau lepas.
"Apa-apaan sih perintah itu?" tanyaku heran.
"Tadi kan kamu sendiri yang bilang bakal ngasih aku
pegang perutmu," katanya dengan ekspresi polos.
Miyagi menarik kausku dengan ekspresi tak puas.
Memang, tadi dia bilang, "Kalau Sendai-san membiarkan aku
mengelus perutmu, aku akan mempertimbangkannya." Dan aku menjawab,
"Boleh." Tapi aku sama sekali nggak menyangka dia benar-benar serius.
Aku juga nggak kepikiran kalau dia bakal meminta hal kayak gitu dengan wajah
datar. Tapi kalau memang itu bagian dari kesepakatan, ya sudah, biarkan saja
dia menyentuh perutku sebentar.
"Kalau aku juga boleh mengelus perutmu, silakan sesuka
hati."
"Aku cuma mau menyentuh perutmu. Perutku nggak boleh
disentuh. Kamu sendiri yang bilang aku boleh kasih perintah, jadi nurut
aja."
Dia benar-benar egois dan kekanak-kanakan. Aku tahu ini bukan
sesuatu yang harus dituruti. Tapi...
Aku nggak bisa menolak Miyagi yang seperti ini.
"Ya udah, kalau memang mau, silakan."
Mungkin ini kebiasaan yang terbawa sejak SMA, tapi pada
akhirnya, aku selalu nurut sama Miyagi. Nggak peduli dia benar atau salah.
Lagipula, Miyagi ini tipe yang gampang mundur. Aku yakin, dia
bakal menyentuh sebentar lalu bosan.
"Jadi, gimana?"
Dia akhirnya melepaskan genggamannya di bajuku. Perlahan, dia
menyelipkan tangannya ke dalam dan mulai menepuk-nepuk perutku pelan, seperti
anak kecil yang menyentuh boneka atau sesuatu yang baru pertama kali dia
lihat.
Entah kenapa, aku merasa diperlakukan seperti anjing. Tapi di
sisi lain, aku juga senang karena ini berarti Miyagi punya ketertarikan
padaku.
"Seru?" tanyaku sambil melihatnya yang sedang
menunduk.
"Biasa aja."
Nada suaranya terdengar datar, tapi tangannya terus bergerak,
menepuk dan membelai perutku. Saat jemarinya menyentuh pinggangku, rasanya agak
geli. Tapi anehnya, sentuhannya juga terasa nyaman.
Kuduga dia bakal berhenti dalam beberapa detik. Tapi tangannya
nggak juga lepas dari perutku. Awalnya, caranya menyentuh terasa seperti
mempermainkan mainan. Tapi lama-lama, gerakannya lebih mirip seperti seseorang
yang mengelus kain sutra mahal.
Jarinya mulai bergerak naik, menyusuri sisi pinggangku, lalu
turun lagi ke pusar.
"Eh... cara nyentuhnya kok agak aneh ya?"
Gerakannya pelan, halus, dan membangkitkan perasaan yang nggak
seharusnya. Aku sih nggak masalah, tapi kalau Miyagi sadar apa yang dia
lakukan, dia pasti bakal panik.
"Nggak aneh."
Dia menjawab tegas, lalu tiba-tiba menekan perutku dengan
telapak tangannya.
"Miyagi. Aku baru aja makan, tolong jangan tekan perutku
begitu."
Nggak sampai bikin makanan di dalam perut naik sih, tapi tetap
aja rasanya nggak nyaman.
"Kalau gitu, lepasin tanganku."
Begitu aku melepaskannya, dia kembali menyentuh perutku.
Aku jadi penasaran.
Apa Miyagi juga merasakan sesuatu dari ini?
Apa dia juga merasa nyaman?
Apa dia ingin menyentuh lebih lama?
Tapi aku nggak punya waktu buat bertanya, karena tangannya
sudah hampir mencapai ujung bawah bajuku.
"Miyagi, itu bukan perut lagi."
Aku segera menggenggam tangannya.
"Kamu sendiri yang bilang boleh menyentuh perutmu.
Sekarang kenapa protes?" katanya dengan nada tak senang.
"Kalau kamu memang mau terus nyentuh, ya silakan. Tapi
jangan salahkan aku nanti."
"Maksudnya?"
Aku menarik pelan rambutnya, memaksanya menatapku.
Saat mata kami bertemu, aku mendekatkan wajahku ke pipinya,
lalu... menjilatnya, seperti anjing.
"Kalau kamu terus kayak gini, aku nggak bakal bisa nahan
diri." bisikku di telinganya, lalu melepaskan genggaman di tangannya.
Dia langsung menarik tangannya keluar dari bajuku dengan
gerakan cepat.
"Kamu mesum! Aku balik ke kamar!"
Miyagi mengambil boneka platipus yang ada di lantai dan
memukulkannya ke tubuhku.
"Eh, tunggu. Aku belum habis minum tehnya."
Aku mengangkat cangkirku dan menyeruput teh yang sudah mulai
dingin.
Miyagi hanya mengelap pipinya dengan tisu tanpa berusaha kabur
dariku. Dia juga nggak menuntut janji atau hal lain seperti biasanya. Tapi dia
menunduk, menatap lantai seakan itu adalah hal paling menarik di dunia.
"Sendai-san."
"Hmm?"
"Menurutmu, aku mirip hewan apa?"
Tanyanya dengan suara kecil.
Aku menatapnya sebentar, lalu tersenyum.
"Kucing, mungkin?"
Aku sengaja nggak menambahkan kata "liar" di
belakangnya.
"Kenapa?"
"Kamu kan dingin dan suka menyendiri. Terus, kamu juga
gampang kedinginan. Kalau ada kotatsu, pasti bakal betah seharian di
dalamnya."
Aku memberikan tawaran kecil.
"Mau beli kotatsu buat musim dingin nanti?"
"Nggak perlu!" jawabnya cepat.
Miyagi langsung menjawab tanpa ragu.
Sesuai dugaanku. Aku pun menghabiskan sisa tehnya.
"Emangnya kucing itu beneran ada? Lagian, ayo pulang aja.
Aku juga bukan yang pengen banget lihat kucing."
Hari Minggu siang. Kami baru keluar sekitar lima belas menit,
tapi Miyagi sudah mulai mengeluh.
Aku yang mengajaknya keluar buat mencari kucing, dan sejak
awal dia memang nggak terlalu antusias.
"Santai aja. Lagian, kalau pulang sekarang juga kita
nggak bakal ngapa-ngapain. Jalan bentar lagi, yuk."
Sambil berjalan di bawah naungan pepohonan di pinggir jalan,
aku mencoba menyemangatinya.
Kami berdua berjalan tanpa arah, tapi sejauh ini, nggak ada
tanda-tanda keberadaan kucing berbulu tiga warna itu—baik di pinggir jalan
maupun di balik bayangan mobil.
Ya, aku juga sih sebenarnya nggak terlalu berharap bakal
ketemu.
Selama ini, aku hanya melihat kucing itu saat pulang dari
kampus. Aku bahkan nggak tahu apakah dia sering muncul di sekitar sini di siang
hari atau nggak.
"Jalan bentar lagi tuh berapa lama?"
"Ya, bentar lagi ya bentar lagi."
Miyagi bukan tipe yang mau keluar rumah tanpa alasan.
Kalau nggak ada yang harus dibeli, dia nggak akan ikut ke
supermarket. Kalau nggak ada makanan yang dia pengen, dia juga nggak bakal mau
makan di luar.
Buat ngajak dia keluar, selalu harus ada alasan.
Karena itu, aku sengaja menciptakan alasan ini—mencari
kucing—hanya supaya aku bisa menikmati waktu jalan-jalan berdua dengannya.
Andai aja aku bisa pergi keluar sama dia tanpa perlu alasan
apa pun…
Mungkin kalau aku adalah Utsunomiya, aku bisa melakukannya.
Tapi aku bukan Utsunomiya. Aku juga nggak ingin jadi Utsunomiya.
Aku menatap langit.
Meskipun musim hujan belum berakhir, matahari bersinar terik.
Udara terasa gerah, dan bahkan pepohonan di sepanjang jalan pun tampak diam
tanpa ada angin yang bertiup. Kalau dipikir-pikir, mungkin lebih nyaman di
rumah aja daripada berkeliaran di luar kayak gini.
Tapi tetap saja, aku ingin menikmati waktu ini sedikit lebih
lama.
Kalau ini benar-benar puncak musim panas, mungkin aku sudah
terkapar kepanasan di jalanan. Tapi suhu hari ini masih cukup bisa ditoleransi,
jadi aku memutuskan buat terus mencari kucing.
"Sendai-san, tadi bilangnya cuma mau lihat sekitar rumah
aja, kan? Kamu bohong!"
Miyagi merajuk sambil mendorong pundakku.
Memang, biasanya aku melihat kucing itu di dekat rumah—sekitar
lima menit dari sini. Tapi setelah mencari di sekitar area itu dan nggak
menemukannya, kami terus berjalan makin jauh.
Kalau dipikir-pikir, ini memang sudah di luar batas
"sekitar rumah".
"Ya, aku memang bilang gitu. Tapi kamu udah dandan rapi
hari ini, masa nggak mau jalan agak jauh?"
Aku sengaja membujuknya buat pakai rok dengan alasan biar
lebih adem di cuaca panas ini. Dan sekarang, kami berdua sama-sama mengenakan
rok.
Sayangnya, aku nggak berhasil membujuknya buat pakai riasan
sedikit. Tapi setidaknya, aku sudah berhasil melihat Miyagi dalam pakaian yang
lebih manis dari biasanya. Itu aja udah cukup bikin puas.
"Ini semua gara-gara kamu maksa aku pakai ini!"
"Ya kan bener, jadinya bagus, kan? Lagian, sebentar lagi
kita bakal sampai restoran keluarga. Mau mampir?"
"Nggak. Panas, aku mau pulang."
Dia memang nggak tampak kesal, tapi suaranya terdengar lebih
rendah dari biasanya.
Sepertinya dia benar-benar ingin pulang. Aku cuma bisa
menghela napas dalam hati.
"Oke, kalau nggak mau ke restoran, ayo kita cari
kucingnya sedikit lagi. Kucing itu imut, loh. Kalau dia lagi mood bagus, kita
bisa elus dia."
Meskipun Miyagi ingin pulang, aku belum mau.
"Emangnya beneran ada kucing di sini?"
"Ada kok!"
Mungkin memang nggak ada kucing di sekitar sini.
Kami sudah menjauh dari tempat biasanya aku melihat kucing
berbulu tiga warna itu.
Waktunya juga berbeda dari biasanya.
Mungkin saja dia pernah muncul di sekitar sini atau mungkin
dia keluar lebih awal dari dugaanku, tapi kemungkinannya kecil.
Aku merasa sedikit nggak jujur.
Aku membuat Miyagi mencari sesuatu yang hampir mustahil
ditemukan.
Tapi, kurasa ketidakjujuranku masih bisa dimaafkan.
Mungkin memang nggak bisa dibilang sepenuhnya bijak, tapi
selama ini aku sudah cukup menahan diri, berusaha menjalani peran sebagai teman
sekamar yang biasa-biasa saja. Kalau dalam keseharian aku selalu menghargai
keinginannya, rasanya aku berhak menikmati momen kecil seperti ini.
"Oh iya, Miyagi. Menurutmu anjing borzoi biasa diajak
jalan-jalan di sekitar kota?"
Aku bertanya pada Miyagi, yang jalannya mulai melambat
drastis. Maksudku, supaya dia nggak sempat lagi bilang ingin pulang.
"Mungkin aja. Kenapa nanya gitu?"
"Soalnya aku nggak pernah lihat borzoi jalan-jalan seumur
hidupku."
"Aku juga nggak pernah."
"Oh, gitu."
Percakapan kami berakhir begitu saja. Aku mengarahkan
pandangan ke seberang jalan. Tidak ada borzoi, dan tentu saja, tidak ada kucing
berbulu tiga warna.
Aku mencari topik lain, sesuatu yang bisa menutup mulut Miyagi
dari kata pulang. Aku berpikir tentang kuliah, kehidupan di rumah, dan akhirnya
menyebut nama yang tadi sempat terlintas di kepalaku.
"Miyagi, kapan Utsunomiya datang?"
"…Belum diputuskan."
Suara Miyagi kecil sekali, hampir tenggelam oleh suara
anak-anak yang bermain di kejauhan.
"Sekarang sudah bulan Juli, cepat tentuin
dong."
"Tapi kan, Sendai-san bilang kapan aja boleh. Emangnya
beneran kapan aja boleh?"
Tentu aja nggak.
Atau lebih tepatnya, aku malah berharap Utsunomiya nggak
datang sama sekali.
Nada suaranya seakan meminta aku untuk bilang begitu, tapi aku
nggak akan memberi jawaban yang dia harapkan.
Sebaliknya, aku memilih mengatakan sesuatu yang mungkin akan
membuatnya kecewa.
"Kapan aja boleh, sih. Tapi kalau bisa, hari Minggu depan
aja. Soalnya, nanti di pertengahan bulan kita bakal sibuk ujian,
kan?"
"Oke, aku bakal diskusiin sama Maika dulu."
Dia menjawab dengan nada seolah-olah pendapatku nggak ada
pengaruhnya.
Mungkin memang begitu.
Tapi, kalau mempertimbangkan jadwal ujian di akhir Juli,
mereka kemungkinan besar memang akan memutuskan bertemu hari Minggu nanti.
Tetap saja, Miyagi yang lebih memprioritaskan pendapat
Utsunomiya bikin perasaanku sedikit nggak enak. Aku tahu dia lebih mengutamakan
temannya, tapi tetap aja, rasanya nggak menyenangkan.
"Kalau sudah ada kepastian, kasih tahu aku,
ya."
Aku menarik diri dari perasaan yang mulai tenggelam, seperti
batu yang perlahan jatuh ke dasar air.
Satu langkah maju.
Kanan, kiri, kanan.
Aku terus berjalan perlahan.
Miyagi tetap berjalan di sisiku.
Setiap kali dia melangkah, rok berwarna lembut yang
dikenakannya berkibar sedikit.
Tentu saja, Miyagi bebas memakai apa pun yang dia mau.
Tapi kalau boleh memilih, aku ingin melihatnya memakai rok
lebih sering.
Aku bukan tipe orang yang punya ketertarikan khusus pada kaki,
tapi karena perintah Miyagi, mungkin saja aku jadi menyukainya.
"Sendai-san, lagi lihat apa?"
Kaki.
Kalau aku menjawab begitu, dia pasti bakal menendangku.
"Ubin di trotoar."
Aku mengalihkan pandangan dan menjawab sesuatu yang letaknya
nggak jauh dari kaki.
"Menarik?"
"Cukup, sih."
Aku menyimpan kata-kata yang sebenarnya ingin kuucapkan di
dalam hati dan kembali menatap ke depan.
Terlalu lama menatap ke bawah juga nggak bagus.
Tapi melihat lurus ke depan pun nggak membuatku lebih
tertarik. Saat aku melirik Miyagi, aku melihat lengannya ikut bergerak perlahan
seirama dengan langkah kakinya—bukan seperti orang yang sedang berbaris dengan
semangat, tapi tetap bergerak mengikuti irama.
"Miyagi."
"Apa?"
"Gandengan, yuk."
Aku menyenggol lengannya yang sedang bergerak.
"Nggak mau."
"Kenapa?"
"Panas."
"Jadi, kalau di rumah boleh gandengan?"
"Bukan itu maksudnya."
Jawabannya persis seperti yang aku perkirakan. Dan memang
seharusnya begitu. Kalau Miyagi tiba-tiba setuju, rasanya malah aneh.
"Kucingnya nggak ada, kita pulang aja?"
"Katanya mau cari sedikit lagi?"
"Lebih enak di tempat yang adem. Kayaknya lebih baik
pulang sekarang aja."
Aku sebenarnya ingin menunjukkan kucing berbulu tiga warna
yang lebih ramah daripada Miyagi.
Tapi kalaupun kami terus mencari, aku nggak yakin bisa
menemukannya.
Aku pun memilih untuk pulang.
"Terserah."
Suaranya terdengar datar dan tanpa emosi.
Aku mempercepat langkahku.
Miyagi tetap berjalan di sampingku dengan kecepatan yang
sama.
Aku ingin cepat sampai rumah.
Meskipun, sebenarnya, di rumah pun menggenggam tangannya nggak
akan mengubah apa pun.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.