Chapter
5
Hal yang Tak Ingin Miyagi Ketahui
-Hari-hari yang spesial pun, seiring waktu, akan tenggelam
dalam masa lalu.
Begitu juga dengan hari Minggu itu, yang menjadi salah satu
hari yang tak bisa kulupakan.
Karena sengaja menyimpan kenangan itu di sudut yang tidak
mencolok dalam ingatan, aku bisa menjalani hari-hari seperti biasa bersama
Miyagi. Aku memang merasa sedikit tidak puas dengan rutinitas yang terasa
seperti cap stempel yang terus berulang setiap harinya, tetapi justru dengan
begitu, hubungan kami perlahan kembali seperti dulu.
Namun, bukan berarti hari-hari kami benar-benar sama
persis.
—
"Sensei, kuliah itu menyenangkan, nggak?"
Hanamaki, yang sedang mengerjakan PR-nya, mengangkat wajah dan
menatapku.
"Ya… lumayanlah. Kalau kamu sendiri, senang
sekolah?"
Aku tidak tahu apakah aku sudah menjadi Tutor yang baik atau
belum, tetapi setidaknya aku mulai terbiasa dengan pekerjaan ini, begitu juga
dengan dipanggil "sensei." Aku juga sudah lebih mengerti bagaimana
cara berinteraksi dengan Hanamaki, jadi tidak lagi merasa canggung seperti di
awal. Meskipun aku berusaha menjaga diriku agar tidak berubah, setidaknya
sebagai Tutor, aku telah mengalami perubahan.
"Aku senang. Sampai rasanya ingin tetap di SMP
selamanya."
Hanamaki menghembuskan napas panjang seakan mengeluh, sesuatu
yang tidak pantas dilakukan oleh seorang siswa yang akan menghadapi ujian
masuk.
"Aku ingin terus jadi anak SMP. Kelasku sekarang seru
banget soalnya."
"Siapa tahu SMA juga bakal menyenangkan."
"Sensei sendiri dulu merasa SMA menyenangkan?"
Aku memang tidak berhasil masuk ke sekolah yang
kuinginkan.
Jadi, awalnya aku berusaha bersikap santai dan menjalani
hari-hari dengan sebaik mungkin. Aku memang cukup menikmatinya, tapi
"menikmati secukupnya" tetaplah hanya sebatas itu. Namun, sejak mulai
menghabiskan hampir separuh masa SMA-ku bersama Miyagi, semuanya berubah.
"Pada akhirnya, menurutku SMA itu
menyenangkan."
"Pada akhirnya? Berarti di tengah-tengah nggak
menyenangkan?"
"Tengah-tengahnya juga menyenangkan, kok. Jadi mungkin
nanti kamu juga akan menemukan hal-hal seru."
Aku tersenyum kecil saat menjawab.
"Aku tahu sih… tapi tetap saja, rasanya ingin terus
berada di masa sekarang."
Hanamaki sekali lagi menghela napas panjang, lalu
melanjutkan,
"Sensei dulu merasa SMA menyenangkan karena
apa?"
Hanamaki bukan tipe yang terlalu berisik atau terlalu banyak
bicara, tetapi dia cukup suka ngobrol. Kalau aku terus menanggapi
pertanyaannya, pembicaraan ini tidak akan ada habisnya.
Dia benar-benar kebalikan dari Miyagi yang lebih sering
diam.
"Mm… apa ya…"
Aku kesulitan menjawab pertanyaannya.
Aku tidak bisa menceritakan soal Miyagi, dan sekalipun
kuceritakan, itu bukan sesuatu yang akan dianggap menyenangkan oleh orang
lain.
"Karena sensei punya pacar, mungkin?"
Begitu kudengar suara penuh rasa ingin tahu itu, wajah Miyagi
langsung muncul dalam benakku. Aku buru-buru mengusirnya dan memasang
senyum.
"Oh, aku tahu. Kamu betah di SMP karena punya pacar,
ya?"
"Nggak ada yang kayak gitu, kok."
Hanamaki langsung menjawab dengan cepat.
"Oh ya? Kalau nanti punya, jangan lupa kasih tahu sensei,
ya."
Obrolan ringan seperti ini bisa menjadi selingan sekaligus
mencairkan suasana. Sedikit ngobrol saat sedang belajar bisa jadi bentuk
refreshing, lalu setelahnya mereka bisa kembali fokus. Biasanya, aku akan
membiarkan pembicaraan ini berlanjut sebentar lagi, tapi topik ini sebaiknya
segera diakhiri.
"Oke, lanjut belajar lagi, yuk."
Aku pun mengakhiri obrolan dan menyuruh Hanamaki kembali
mengerjakan PR-nya.
"Baik," jawabnya singkat, lalu menunduk menatap
bukunya.
Pulpen kembali bergerak di atas kertas.
Setelah itu, aku tetap menemani Hanamaki belajar hingga waktu
selesai, lalu meninggalkan rumahnya.
Aku berjalan menuju stasiun, naik kereta, dan dalam
perjalanan, aku mengingat kembali percakapan kami tadi.
Kata "pacar" itu tidak pernah cocok untuk
menggambarkan hubungan antara aku dan Miyagi—baik dulu maupun sekarang. Aku
juga tidak tahu apakah kata itu akan pernah cocok untuk kami di masa
depan.
Aku tidak ingin menggunakan perasaan cintaku pada Miyagi
sebagai alasan untuk membenarkan kejadian hari Minggu itu. Perasaan itu tetap
sama hingga kini, tapi jika begitu, aku jadi tidak tahu kapan waktu yang tepat
untuk mengungkapkannya. Apapun harinya, apakah hari ini atau besok, kata
"suka" yang keluar dari mulutku akan terdengar seperti hiasan untuk
membuat diriku di masa lalu terlihat lebih benar.
Aku tidak bisa melihat masa depan di mana perasaanku dapat
tersampaikan dengan benar.
Karena itu, kata "pacar" terasa begitu jauh, seakan
bukan sesuatu yang berhubungan denganku. Saat ini, aku lebih takut kehilangan
hubungan yang telah kami bangun selama ini daripada ingin menjadi seseorang
yang Miyagi sebut sebagai pacarnya.
Waktu telah membuatku jadi pengecut dan menyadarkan betapa
banyak hal yang bisa hilang jika aku mengungkapkan perasaanku.
Kereta berhenti, lalu berjalan lagi.
Berulang kali melakukan hal yang sama hingga akhirnya mencapai
tujuan.
Di dalam kereta yang terus bergoyang, bayangan masa depan yang
tidak pasti terlihat di jendela, lalu menghilang.
Ke mana sebenarnya aku dan Miyagi ingin pergi?
Aku bahkan tidak yakin apakah kami mengarah ke tujuan yang
sama.
Saat kereta berhenti di stasiun tujuanku, aku turun.
Aku berjalan pulang, melewati jalan yang diterangi lampu-lampu
kota, menaiki tangga, dan membuka pintu apartemen.
Di depan pintu, ada sepasang sepatu milik Miyagi.
Ketika aku masuk ke ruang bersama, ada selembar kertas memo di
atas meja.
"Kamu boleh makan pudingnya."
Saat membuka kulkas, aku melihat dua puding di dalamnya. Tapi
alih-alih mengambil puding, aku malah mengeluarkan sayuran dan daging babi,
lalu menumisnya.
Setelah makan malam sederhana untuk mengisi perut, aku
berjalan menuju kamar Miyagi.
Aku mengetuk pintunya tiga kali, dan sesaat kemudian, pemilik
kamar itu muncul.
"Selamat datang. Kamu udah makan pudingnya?"
"Baru mau makan. Aku ke sini buat ngajakin
kamu."
Begitu aku bilang begitu, Miyagi keluar dari kamarnya dan
duduk di kursinya dengan tenang.
Aku mengeluarkan dua puding dan dua sendok, lalu ikut
duduk.
"Selamat makan.”
Suara kami bersamaan.
Aku membuka tutup wadah, menyendok puding, lalu memasukkannya
ke dalam mulut.
Puding yang agak keras itu ternyata lebih manis dari yang aku
bayangkan.
Saat melirik ke arah Miyagi, dia terlihat sedang makan dengan
perlahan, menghancurkan puding sedikit demi sedikit dengan sendoknya.
Sepertinya dia sedang dalam suasana hati yang baik.
Saat bersamanya seperti ini, aku tahu kalau dia tidak
membenciku. Tapi, hanya karena dia tidak membenciku, bukan berarti dia
menyukaiku.
Lagipula, Miyagi bukan tipe orang yang mudah percaya dengan
kata-kataku. Kata "suka" pun mungkin tidak akan cukup untuk
membuatnya mengakui kejadian hari Minggu sebagai sesuatu yang wajar.
Membuat Miyagi percaya pada kata-kataku adalah tugas yang
sulit. Bahkan, jika aku bilang, "Akhir-akhir ini kamu kelihatan lebih
ceria," dia pasti langsung membantah dengan, "Nggak juga."
Miyagi seperti kucing liar yang waspada dan tidak suka
perubahan.
Rasa suka itu sendiri adalah sesuatu yang bisa mengubah
hubungan kami secara drastis. Jika aku mengatakannya sekarang, rasanya semuanya
akan berakhir begitu saja.
Kemungkinan besar, kami tidak akan lagi menjadi teman sekamar.
Miyagi akan menjauh dariku.
Kalau begitu...
Kalau sampai kehilangan segalanya, mungkin lebih baik aku
tetap diam saja.
Kalau aku tetap menjalani hidup seperti biasa, aku masih bisa
berada di sisinya sebagai teman sekamar. Memang, hubungan kami tidak akan
berkembang, tapi setidaknya aku tidak akan kehilangan apa yang sudah ada.
Meskipun ada rasa tidak puas dengan situasi ini, aku masih
bisa menghibur diri dengan kenangan yang tersimpan di masa lalu.
Sepertinya, kata "pacar" bukanlah sesuatu yang layak
diperjuangkan dengan risiko kehilangan segalanya.
Aku menyendok puding lagi, lalu menelannya sebelum
bertanya,
"Miyagi, kamu beli puding ini di mana?"
"Di minimarket dekat sini."
"Lain kali, aku mau makan puding almond."
"Beli sendiri."
"Pelit banget, sih, Miyagi."
Selama aku tidak mengatakan "suka", kami bisa terus
berbincang seperti ini.
Dan itu sudah cukup membuatku bahagia.
Kami mengobrol tentang hal-hal remeh sambil menghabiskan
puding.
Bahkan setelah wadahnya kosong, kami masih terus
berbicara.
Saat akhirnya percakapan kami terhenti, aku berdiri dan
berjalan mendekatinya.
Aku menyentuh rambutnya, menyelipkan helaiannya ke belakang
telinga. Dia sedikit bergerak, tampak geli, lalu menggenggam ujung bajuku.
Saat jari-jariku menyentuh sesuatu yang keras berbentuk bunga
kecil, aku merasa seperti seseorang yang istimewa baginya. Meskipun mungkin
hanya aku yang merasa begitu, tidak masalah.
Aku mendekatkan bibirku ke pipinya.
Sebuah kecupan ringan.
Aku menyentuh bibirku dengan ibu jari.
Miyagi sedikit menjauh dan menatapku.
Tatapan kami bertemu.
Aku menggenggam tanganku erat, mencoba menenangkan jantungku
yang mulai berdegup kencang. Rasanya, kalau terus seperti ini, jantungku bisa
meledak sebelum sempat menyentuhnya lagi.
Aku memejamkan mata, lalu menempelkan bibirku ke
bibirnya.
Sungguh hanya sesaat.
Hanya sentuhan ringan sebelum aku segera menjauh.
Saat membuka mata, Miyagi masih ada di hadapanku seperti
sebelumnya.
"Besok kamu yang beli sesuatu buat dimakan, bukan
puding," katanya sambil melepaskan genggamannya dari bajuku.
"Baiklah."
Aku hanya perlu bersabar sedikit lagi.
Yang terpenting sekarang adalah Miyagi tetap berada di
sisiku.
Aku menepati janjiku.
Keesokan harinya, aku membeli puding almond sebagai pengganti
puding, lalu memakannya bersama Miyagi.
Puding itu bukan sesuatu yang istimewa. Rasanya juga tidak
cukup enak sampai ingin aku rekomendasikan ke teman-teman kampus. Tapi, saat
memakannya bersama Miyagi, semuanya terasa lebih nikmat.
Malam berikutnya, aku membeli puding yang sama lagi.
Makan malam bersama Miyagi—seseorang yang bukan keluargaku, di
rumah tanpa keluarga—membuat makanan apa pun terasa lebih enak.
Hari-hari berlalu begitu saja.
Malam itu, aku duduk sendirian di kamar, menghela napas
kecil.
Di luar, hujan deras turun dengan angin yang berhembus
kencang.
Aku membuka sedikit tirai dan melihat ke luar jendela. Langit
gelap, dan lampu jalan yang redup membuat suasana terlihat seperti dunia dalam
film horor. Sepertinya, kalau aku keluar sekarang, bisa saja aku bertemu
sesuatu yang bukan manusia.
Aku menutup tirai sambil berpikir,
"Kayaknya malam ini enak buat nonton film."
Besok juga diprediksi akan hujan, jadi tidak ada alasan untuk
bangun pagi.
Aku menyalakan tablet yang ada di meja, memasang earphone,
lalu memutar film horor.
Bersandar ke tempat tidur, aku menonton adegan awal yang masih
memperlihatkan dunia yang tenang.
Malam seperti ini memang paling pas untuk film horor.
Kalau saja Miyagi mau nonton bersamaku...
Tapi, kalau aku memaksanya menonton film horor, dia pasti
bakal marah dan menyimpan dendam seumur hidup.
Lagipula, tidak mungkin Miyagi tiba-tiba masuk ke kamarku di
tengah malam seperti ini.
Tiga puluh menit berlalu, aku mulai merasa haus.
Aku menjeda film, keluar mengambil segelas teh di ruang
bersama, lalu kembali ke kamar.
Saat itulah suara gemuruh terdengar dari luar.
Aku membuka sedikit tirai dan melihat langit yang sesekali
menyala oleh kilatan petir di kejauhan.
"Miyagi takut petir, nggak, ya?"
Aku mengingat-ingat. Sepertinya, saat SMA dulu, dia pernah
bilang tidak suka petir.
Aku melirik jam.
Sudah cukup larut.
Kalau dia tidur nyenyak, aku tidak mau membangunkannya.
Tapi... bagaimana kalau dia sedang terjaga dan merasa tidak
nyaman?
Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan mondar-mandir di
kamar.
Hari ini, aku bermimpi tentang Miyagi.
Mimpi yang membuat perasaanku tidak tenang.
Aku tahu aku harusnya tetap di kamar saja, tapi aku tetap
melangkah keluar dan berdiri di depan pintu kamarnya.
Menarik napas dalam-dalam dua kali.
Lalu mengetuk pintu sekali.
Tidak ada jawaban.
Mungkin dia memang sudah tidur.
Aku ragu-ragu.
Pergi saja? Atau mengetuk lagi?
Akhirnya, aku mengetuk lebih keras. Sekali, dua kali.
Masih tidak ada jawaban.
Saat aku hendak menyerah dan kembali ke kamar—
Pintu terbuka.
Miyagi berdiri di sana, tampak mengantuk.
"... Sendai-san, kamu belum tidur?”
Miyagi keluar dari kamarnya, mengenakan kaus lengan panjang
dan celana training. Wajahnya tidak terlihat mengantuk, tapi nada suaranya
terdengar malas.
“Aku lagi nonton film. Kamu nggak apa-apa sama petir?”
tanyaku.
“Nggak apa-apa.”
“Tapi, dulu pernah bilang kalau nggak suka, kan?”
“…Memang nggak suka, tapi bukan berarti takut,” jawabnya.
Miyagi terlihat sama seperti biasanya. Bahkan saat suara
gemuruh terdengar, ekspresinya tidak berubah sedikit pun.
“Begitu, ya. Kalau gitu, baguslah.”
Aku merasa lega… tapi sekaligus kecewa.
Aku menekan perasaan bertentangan itu jauh ke dalam hati, lalu
berkata, “Selamat tidur.”
Namun, tepat saat itu, suara petir menggelegar begitu dekat
seakan menyambar di sekitar sini. Miyagi tiba-tiba meraih lenganku—lalu segera
melepaskannya.
Aku berharap dia terus memegangnya lebih lama.
Seandainya petir menggelegar lebih sering dan lebih keras,
mungkin dia akan terus menggenggam tanganku dan tak ingin melepaskannya.
Sambil memikirkan hal-hal yang sama sekali tidak mencerminkan
niat awal untuk mengecek keadaannya, aku bertanya,
“Kamu nggak apa-apa?”
Kalau aku bertanya, ‘Takut, ya?’, Miyagi pasti langsung
menyangkalnya, lalu menutup pintu dan tidak keluar lagi.
“Aku cuma kaget karena suaranya kencang,” jawabnya
singkat.
“Mau ke kamarku?” tanyaku.
Miyagi tidak langsung menjawab.
Dia terlihat sedikit waspada.
“Kalau nggak bisa tidur, kita bisa nonton film buat mengisi
waktu.”
Aku menambahkan kata-kata itu agar dia tahu bahwa aku tidak
bermaksud apa-apa. Setelah terdiam sejenak, akhirnya Miyagi berkata pelan,
“Nonton,” lalu keluar dari kamarnya.
Aku yang mengajaknya, tapi tetap saja terkejut melihatnya
langsung menurut.
Saat aku berjalan, dia mengikutiku masuk ke kamar. Kami duduk
bersandar di tempat tidur, lalu dia mengambil tablet yang masih tergeletak di
meja.
“Kamu lagi nonton apa?”
Sebelum aku sempat menjawab, Miyagi sudah menekan tombol
play.
Dari earphone yang masih tersambung, terdengar musik latar
yang menciptakan suasana mencekam. Miyagi langsung menghentikan film yang baru
saja mulai diputar.
“Kalau nonton yang aneh-aneh, bilang dulu, dong!” katanya
sambil menendang ringan pergelangan kakiku.
Sungguh tidak adil.
Aku tidak salah apa-apa.
“Kamu sendiri yang buru-buru pencet tombol play, kan? Lagian,
ini bukan film aneh. Ini film horor,” jelasku.
“Horor itu memang aneh! Siapa juga yang kepikiran buat nonton
horor di cuaca kayak gini?”
“Justru karena cuaca kayak gini, suasananya makin pas,
kan?”
Miyagi memeluk lututnya.
“Suasananya terlalu pas malah… Kayak ada sesuatu yang bakal
masuk dari jendela. Serem.”
Akhirnya, dia mengakui perasaannya yang sebenarnya.
Melihatnya duduk meringkuk seperti itu, aku jadi ingin menepuk
punggungnya dan meyakinkan kalau semuanya baik-baik saja.
Tapi, kalau aku benar-benar melakukannya, dia mungkin akan
lari seperti kucing liar yang ketakutan.
“Kalau gitu, kamu pilih film yang mau ditonton,” kataku.
Alih-alih melihat ke arah tablet, Miyagi justru
menatapku.
“Sendai, liburan musim panas nanti kamu bakal pulang ke
rumah?” tanyanya.
“Nggak. Kamu?”
“Aku juga nggak ada rencana pulang.”
“Begitu, ya.”
Percakapan terhenti.
Miyagi masih belum memilih film.
Dia melonggarkan pelukannya di sekitar lutut dan menaruh kedua
tangannya di lantai.
“…Kenapa kamu nggak pulang?” tanyanya lagi.
“Hmm… Mungkin karena di sini lebih nyaman. Lagi pula, orang
tuaku juga nggak terlalu khawatir. Kalau kamu? Mereka nggak khawatir kalau kamu
nggak pulang?”
“Mungkin khawatir.”
“…Kalau gitu, kamu yakin nggak mau pulang?”
Seharusnya aku bilang, ‘Sebaiknya pulang saja’.
Tapi, aku tidak ingin mengatakannya.
“Nggak ada gunanya pulang… Orang tuaku juga jarang ada di
rumah selama liburan musim panas,” ucapnya pelan.
Jarang sekali Miyagi mau bercerita tentang keluarganya.
Selama ini, kami berdua memang jarang membicarakan soal
keluarga.
Bagiku, keluarga bukan topik yang ingin kuceritakan dengan
mudah, dan mungkin Miyagi juga merasakan hal yang sama. Setiap kali aku
bertanya, dia selalu menghindar dan tidak pernah benar-benar menjawab. Aku
tidak tahu kenapa tiba-tiba dia mau berbagi sedikit cerita hari ini, tapi hanya
dengan mendengar secuil kisah yang sebelumnya enggan dia ungkapkan, aku merasa
dia lebih dekat dari biasanya.
Aku menatap tangannya yang menempel di lantai.
Tanganku terulur.
Namun, sebelum sempat menyentuhnya, Miyagi berbalik
menghadapku.
“Sendai,” panggilnya.
Aku menunggu sejenak.
Tapi, dia tidak melanjutkan kata-katanya.
Wajahnya terlihat seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi
bibirnya tetap terkatup rapat.
“Kalau ada yang mau dikatakan, bilang saja,” ujarku.
“...Janji dulu kalau nggak akan melakukan hal aneh,” katanya
pelan.
“Hal aneh seperti film horor tadi?” tanyaku bercanda.
“Bukan. Kamu tahu maksudku,” balasnya cepat.
Tentu saja aku tahu.
Hal aneh yang dia maksud adalah sesuatu yang pernah muncul
dalam mimpiku. Aku memang sempat menginginkan hal itu menjadi nyata, tapi kalau
aku melakukannya sekarang, Miyagi pasti langsung pergi meninggalkan kamar
ini.
Aku tidak mau itu terjadi.
“Aku janji. Mau aku bersumpah pada anting ini?”
Miyagi mengangguk kecil.
Aku menyibak rambutnya, lalu mendekatkan bibirku.
“Sekarang aku nggak akan melakukan apa pun,” bisikku di
telinganya, sebelum mengecup anting berbentuk bunga yang dia kenakan.
Setelah itu, aku membiarkan bibirku menyusuri kulitnya dan
menggigit ringan lehernya. Aroma manis dari sampo yang digunakannya tercium
samar. Saat aku menggigitnya dengan lembut, Miyagi langsung mendorong tubuhku
menjauh.
“Kamu tadi janji nggak akan melakukan hal aneh! Lagian,
maksudnya apa ‘sekarang nggak akan melakukan apa pun’?” protesnya.
“Yang aku lakukan barusan itu bukan hal aneh, tapi bagian dari
sumpahku pada antingnya. Dan, Miyagi tadi nggak bilang selamanya, kan? Makanya
aku bilang sekarang,” jawabku santai.
“Kenapa sih kamu selalu bicara hal bodoh seperti itu?”
gerutunya.
“Mungkin karena aku memang bodoh?”
“...Sudahlah.”
Dengan nada kesal, Miyagi menyandarkan tubuhnya ke tempat
tidur.
“Boleh genggam tanganmu?” tanyaku.
Tidak ada jawaban.
Miyagi diam saja, tapi dia mengambil tablet dari meja
dan—alih-alih menjauh—justru menyandarkan bahunya padaku.
Aku merasa lega dengan jarak yang begitu dekat, di mana
kehangatannya bisa kurasakan. Saat melirik layar tablet, film horor yang tadi
kutonton sudah berganti dengan film Jepang yang dirilis beberapa tahun
lalu.
“Di luar sudah agak tenang, ya,” gumamku tanpa
melihatnya.
Suara gemuruh masih terdengar, tapi tidak ada lagi dentuman
keras yang seakan hendak merobohkan tembok.
“Hujannya masih turun nggak?” tanyanya.
“Mungkin masih. Terus, gimana?”
Aku ingin bertanya, ‘Mau balik ke kamar?’
Tapi, aku tidak mau mendengar jawabannya.
Aku ingin mengurung Miyagi di dalam kamar ini.
"Mau ngapain?"
"Nggak ada apa-apa."
"Sendai-san, boleh nonton ini?"
Dia menunjuk ke layar tablet sambil bertanya, dan aku
menjawab, "Boleh."
Miyagi melepas earphone yang masih terpasang, lalu menekan
tombol putar.
Bahunya menempel ke arahku lebih dulu.
Tapi dia tidak menggenggam tanganku, jadi aku yang menggenggam
tangannya lebih dulu.
Dia tidak protes, dan kami menonton film sambil tetap
berpegangan tangan.
Aku ingin lebih banyak menyentuhnya, tapi kalau aku melakukan
hal yang berlebihan, bahu yang saling menempel ini, tangan yang saling
menggenggam ini, mungkin akan terlepas. Jadi aku diam dan tetap menatap
layar.
Filmnya adalah film romansa biasa—tidak membosankan, tapi juga
terasa ada yang kurang. Meski begitu, Miyagi tetap menontonnya tanpa mengeluh,
jadi aku juga ikut diam dan menatap orang-orang yang berlalu-lalang di dalam
tablet.
Tanpa sadar, suara guntur pun sudah menghilang, dan waktu
berlalu dengan tenang.
"Setelah ini, mau nonton yang lain?"
Aku bertanya saat layar mulai menampilkan credit film.
Tapi tidak ada jawaban.
Saat aku menoleh ke samping, dia memejamkan mata lebih lama
dari sekadar kedipan biasa. Dua jam menonton film, wajar kalau dia mulai
mengantuk.
Aku berpikir, sebaiknya Miyagi tidur sekarang.
Tapi kalau dia tidur di kamar ini, satu-satunya tempat tidur
hanya milikku. Dan aku ragu dia mau tidur di atasnya. Kalau aku menyuruhnya
tidur, kemungkinan besar dia akan memilih pergi dari sini.
Aku ingin tetap menatapnya seperti ini.
Aku ingin dia tetap berada di kamar ini.
Tapi di sisi lain, aku juga tidak bisa membiarkannya terus
mengantuk seperti ini.
"Miyagi, kalau ngantuk, tidur aja."
Aku meraih tablet dengan tangan yang masih bebas dan menyentuh
layarnya. Layar berhenti pada adegan sang tokoh utama dalam pose aneh, lalu
dari samping terdengar suara mengantuknya.
"Aku nggak apa-apa."
"Kamu setengah tidur."
"Aku nggak tidur. Aku masih bangun."
"Kamu bisa nonton filmnya sampai habis?"
"…Aku balik ke kamarku."
Jawaban yang sudah kuduga.
Sebelum dia sempat berdiri, aku menggenggam tangannya lebih
erat.
"Aku ingat janji kita, jadi pakai aja tempat
tidurku."
"Nggak. Aku tidur di kamarku sendiri."
Miyagi, yang tadi tampak mengantuk, kini berkata dengan
tegas.
Aku bisa mengerti kalau dia tidak mau tidur di sini, tapi aku
juga tidak mau membiarkannya pergi. Aku tidak tahu bagaimana caranya agar dia
tetap tinggal, jadi aku hanya bisa menggenggam tangannya lebih erat lagi.
"…‘Sekarang’ yang kamu maksud itu sampai
kapan?"
Aku memang pernah berjanji tidak akan melakukan hal aneh
dengan tambahan kata "sekarang" di depan, tapi Miyagi sepertinya
tidak mau membiarkan kata itu tetap ambigu.
Kalau aku salah menjawab, dia pasti akan pergi. Aku harus
memilih kata-kataku dengan hati-hati.
"Sampai kamu keluar dari kamar ini."
Tangannya melepaskan genggamanku.
Tapi dia tidak berdiri.
"Aku masih mau nonton."
Dia menambahkan kata-kata itu, lalu dari samping terdengar
suara pelan.
"Sampai kapan?"
"Sampai pagi."
"…Aku pinjam tempat tidurnya."
Dia bergumam pelan, lalu berbaring di ranjang yang tadi dia
gunakan sebagai sandaran.
Di atas ranjang yang pernah kusentuh.
Ranjang yang kubeli dengan uang hasil tabunganku sendiri.
Saat Miyagi memejamkan mata, dia seakan terbungkus oleh
sesuatu yang "istimewa" dariku, dan aku jadi ingin merasakan
kehangatan tubuhnya.
Pandanganku hanya dipenuhi oleh Miyagi, hingga tak ada lagi
celah untuk melihat layar tablet.
Aku sempat ingin mengulurkan tangan, tapi kilatan cahaya dari
anting yang kupakai—yang menjadi saksi janji kami—membuatku tersadar.
Aku mematikan lampu utama, menyalakan lampu tidur, lalu
menyambungkan earphone ke tablet dan menekan tombol putar. Tokoh utama yang
tadi berhenti dalam pose aneh mulai bergerak kembali, dan cerita pun mulai
menuju ke credit scene. Tapi aku tidak bisa mengikuti alurnya.
Karena pikiranku hanya terfokus pada Miyagi di
belakangku.
Aku berusaha mengabaikannya.
Tapi sulit.
Otot punggungku terasa tegang.
Aku menarik napas kecil dan hendak mengembuskannya perlahan,
tapi tiba-tiba sesuatu menyentuh punggungku.
Saat aku melepas earphone dan menoleh ke belakang, ternyata
itu adalah bantal milikku. Miyagi, yang kupikir sudah tidur, kini sedang duduk
di atas ranjang.
"Sendai-san."
"Apa?"
"Kamu beneran ingat janjinya?"
Dia bertanya dengan nada ingin memastikan.
"Tentu. Aku ingat."
Aku menjawab dengan tegas agar dia bisa tidur dengan
tenang.
Lalu, dengan suara pelan, dia berkata,
"…Pakai setengahnya aja."
"Setengah?"
"Kalau pakai cara ngomongmu, kamar ini kan
teritorimu."
"Iya, terus?"
"Tapi, tempat tidur ini teritoriku."
"Kenapa bisa begitu?"
Aku tanpa sadar balik bertanya, dan dia menimpukku dengan
bantal.
"Sendai-san, tadi kan kamu bilang aku boleh pakai tempat
tidurmu. Jadi, sekarang ini teritoriku, dan aku meminjamkan setengahnya buat
kamu."
Tempat tidur yang kupinjamkan tiba-tiba berpindah kepemilikan
begitu saja.
Tapi kepemilikan ranjang bukan masalah besar.
Yang lebih mengejutkan adalah… aku diperbolehkan tidur di
sampingnya.
"Beneran boleh pakai setengahnya?"
"Kalau nggak mau, ya nonton aja terus."
Dia berkata santai, lalu membalikkan badan dan berbaring.
"Aku tidur juga, deh."
Aku mematikan tablet.
Miyagi tidur di sisi ranjang yang menempel ke dinding, dan aku
masuk ke sisi yang kosong.
"Kayaknya sempit."
Punggungnya bergerak, dan terdengar suara protes pelan.
Dia sendiri yang bilang aku boleh memakai setengah tempat
tidurnya, tapi sekarang malah mengeluh. Ini sangat khas Miyagi, meskipun aku
tetap merasa tidak terima.
"Namanya juga ranjang single. Gimana kalau beli ranjang
double aja?"
Padahal, ranjang ini sangat berarti bagiku, jadi aku tidak
benar-benar berniat menggantinya. Tapi kata-kata itu terlanjur keluar dari
mulutku.
"Nggak usah. Aku juga nggak bakal tidur di sini
lagi."
Suaranya terdengar lebih tegas, sepertinya dia sudah
benar-benar terjaga.
"Kalau gitu, gimana kalau aku cerita horor tiap
malam?"
"Kalau sampai kamu lakukan itu, aku nggak akan ngomong
sama kamu lagi seumur hidup."
"Cuma bercanda."
Aku buru-buru menarik kembali ucapanku, tapi Miyagi sudah
lebih dulu membulatkan tubuhnya dan menarik selimut kuat-kuat, membuatnya
semakin menutupi dirinya.
Akibatnya, selimutku sendiri jadi tersingkap. Tapi udara tidak
terlalu dingin, malah sedikit hangat, jadi aku tidak masalah jika tidak
berselimut. Hanya saja, aku tidak bisa melihat punggung Miyagi yang sekarang
tertutup sepenuhnya oleh selimut.
Aku lebih suka melihat dan menyentuh punggungnya daripada
hanya menatap selimut. Lebih jauh lagi, aku ingin menyelipkan tanganku ke dalam
kausnya dan menyentuh kulitnya secara langsung.
Tapi aku tidak bisa melanggar janji.
Jika aku mengingkarinya, Miyagi pasti akan benar-benar
marah.
Tapi aku tetap ingin menyentuhnya, jadi aku menarik sedikit
selimutnya dan meraih kausnya.
"Sendai-san, kamu nggak tidur?"
Suaranya terdengar rendah.
"Belum ngantuk. Miyagi, menghadap ke sini,
dong."
"Kenapa?"
"Mau cium."
Aku sengaja mengucapkan sesuatu yang pasti tidak akan dia
setujui.
"Nggak mau."
Jawaban yang sudah kuduga, tapi nadanya lebih lembut dari yang
kukira. Aku pun menyentuh punggungnya perlahan di atas kausnya.
"Pelit banget sih, Miyagi."
"Biarin aja."
Dia tetap tidak menunjukkan tanda-tanda akan berbalik. Aku
mengetuk punggungnya pelan dengan ujung jariku, dan tiba-tiba dia memanggilku
dengan suara yang terdengar serius.
"Sendai-san."
"Apa?"
"…Anting itu."
Dia berhenti di tengah kalimatnya.
"Kenapa dengan antingnya?"
"Ada maknanya?"
Suaranya sangat pelan, sampai hampir tidak terdengar jika aku
tidak benar-benar menyimak.
"Maksudnya?"
"Anting itu kan motif bunga plumeria, kan?"
Dia membalas pertanyaanku dengan pertanyaan lain.
"Iya, benar."
"Aku tadi cari tahu arti bunga itu."
"Terus, apa katanya?"
"…Martabat, dan… gadis pemalu."
"Pas banget buat Miyagi."
"Kamu pasti nggak benar-benar mikir begitu."
Nada suaranya terdengar tidak puas, jadi aku menarik kembali
tanganku dari punggungnya dan menghela napas.
Aku memang sudah menduga Miyagi akan mencari tahu arti bunga
itu. Ini adalah skenario yang sudah kuperhitungkan.
"Anting ini cuma buat mengingatkan aku pada janji kita,
nggak ada makna lebih dari itu. Jadi, kamu nggak perlu kepikiran. Atau kamu
lebih suka kalau ada maknanya?"
"…Nggak perlu, sih."
Dia menjawab pelan, lalu terdiam.
Aku merasa lega karena dia tidak bertanya lebih jauh.
Miyagi tidak salah jika mencari makna dari anting itu.
Tapi maknanya bukan terletak pada arti bunga plumeria,
melainkan pada anting itu sendiri.
Mendoakan kebahagiaan orang yang berharga.
Itulah makna yang terkandung dalam anting yang kini terpasang
di telinga Miyagi.
Awalnya, aku hanya menyukai bentuknya. Tapi saat mencari tahu
lebih lanjut, aku menemukan bahwa perhiasan Hawai yang menggunakan motif
plumeria memiliki makna yang mendalam. Itulah yang membuatku memilihnya untuk
Miyagi.
Namun, aku tidak ingin dia tahu bahwa anting ini memiliki
arti.
"Anggap aja ini kayak jimat keberuntungan."
Aku berkata santai, lalu menarik kembali selimut yang sempat
direbut Miyagi agar bisa menutupi tubuhku.
Makna di balik anting ini, cukup aku saja yang tahu.
Karena kalau Miyagi tahu, dia pasti tidak akan mau memakainya
lagi.
—Dan bahkan jika suatu saat dia menyadarinya, aku tetap akan
berpura-pura tidak tahu.
"Miyagi, tadi kamu ngantuk, kan? Tidurlah."
"Kamu juga tidur, Sendai-san."
"Aku pasti tidur, kok."
Aku pernah memikirkan sesuatu setelah tahu makna dari anting
ini.
Aku bisa menerima kalau Miyagi tidak akan pernah
menyukaiku.
Tapi aku tidak bisa menerima jika dia menyukai orang
lain.
Saat ini, Miyagi tidak terlihat sedang menyukai siapa
pun.
Kalau dia harus jatuh cinta pada seseorang, aku ingin orang
itu adalah aku.
Tapi, jika suatu saat Miyagi menyukai orang lain…
Aku tidak cukup baik untuk bisa mendoakan kebahagiaannya.
Jadi, kalau aku tidak bisa melakukannya, aku ingin anting itu
yang mendoakan kebahagiaan Miyagi menggantikan aku.
Dan di saat yang sama, seperti arti bunga plumeria, aku
berharap dia tetap menjadi gadis pemalu yang tidak berani mengungkapkan
perasaannya.
Aku menarik ujung kaus Miyagi.
"Selamat tidur."
Pelan, terdengar suara lirih membalas,
"Selamat tidur."
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.