Story About Buying My Classmate Chapter 5 V6

Ndrii
0

Chapter 5

Hal yang Tak Ingin Miyagi Ketahui 




-Hari-hari yang spesial pun, seiring waktu, akan tenggelam dalam masa lalu. 

 

Begitu juga dengan hari Minggu itu, yang menjadi salah satu hari yang tak bisa kulupakan. 

 

Karena sengaja menyimpan kenangan itu di sudut yang tidak mencolok dalam ingatan, aku bisa menjalani hari-hari seperti biasa bersama Miyagi. Aku memang merasa sedikit tidak puas dengan rutinitas yang terasa seperti cap stempel yang terus berulang setiap harinya, tetapi justru dengan begitu, hubungan kami perlahan kembali seperti dulu. 

 

Namun, bukan berarti hari-hari kami benar-benar sama persis. 

 

— 

 

"Sensei, kuliah itu menyenangkan, nggak?" 

 

Hanamaki, yang sedang mengerjakan PR-nya, mengangkat wajah dan menatapku. 

 

"Ya… lumayanlah. Kalau kamu sendiri, senang sekolah?" 

 

Aku tidak tahu apakah aku sudah menjadi Tutor yang baik atau belum, tetapi setidaknya aku mulai terbiasa dengan pekerjaan ini, begitu juga dengan dipanggil "sensei." Aku juga sudah lebih mengerti bagaimana cara berinteraksi dengan Hanamaki, jadi tidak lagi merasa canggung seperti di awal. Meskipun aku berusaha menjaga diriku agar tidak berubah, setidaknya sebagai Tutor, aku telah mengalami perubahan. 

 

"Aku senang. Sampai rasanya ingin tetap di SMP selamanya." 

 

Hanamaki menghembuskan napas panjang seakan mengeluh, sesuatu yang tidak pantas dilakukan oleh seorang siswa yang akan menghadapi ujian masuk. 

 

"Aku ingin terus jadi anak SMP. Kelasku sekarang seru banget soalnya." 

 

"Siapa tahu SMA juga bakal menyenangkan." 

 

"Sensei sendiri dulu merasa SMA menyenangkan?" 

 

Aku memang tidak berhasil masuk ke sekolah yang kuinginkan. 

 

Jadi, awalnya aku berusaha bersikap santai dan menjalani hari-hari dengan sebaik mungkin. Aku memang cukup menikmatinya, tapi "menikmati secukupnya" tetaplah hanya sebatas itu. Namun, sejak mulai menghabiskan hampir separuh masa SMA-ku bersama Miyagi, semuanya berubah. 

 

"Pada akhirnya, menurutku SMA itu menyenangkan." 

 

"Pada akhirnya? Berarti di tengah-tengah nggak menyenangkan?" 

 

"Tengah-tengahnya juga menyenangkan, kok. Jadi mungkin nanti kamu juga akan menemukan hal-hal seru." 

 

Aku tersenyum kecil saat menjawab. 

 

"Aku tahu sih… tapi tetap saja, rasanya ingin terus berada di masa sekarang." 

 

Hanamaki sekali lagi menghela napas panjang, lalu melanjutkan, 

 

"Sensei dulu merasa SMA menyenangkan karena apa?" 

 

Hanamaki bukan tipe yang terlalu berisik atau terlalu banyak bicara, tetapi dia cukup suka ngobrol. Kalau aku terus menanggapi pertanyaannya, pembicaraan ini tidak akan ada habisnya. 

 

Dia benar-benar kebalikan dari Miyagi yang lebih sering diam. 

 

"Mm… apa ya…" 

 

Aku kesulitan menjawab pertanyaannya. 

 

Aku tidak bisa menceritakan soal Miyagi, dan sekalipun kuceritakan, itu bukan sesuatu yang akan dianggap menyenangkan oleh orang lain. 

 

"Karena sensei punya pacar, mungkin?" 

 

Begitu kudengar suara penuh rasa ingin tahu itu, wajah Miyagi langsung muncul dalam benakku. Aku buru-buru mengusirnya dan memasang senyum. 

 

"Oh, aku tahu. Kamu betah di SMP karena punya pacar, ya?" 

 

"Nggak ada yang kayak gitu, kok." 

 

Hanamaki langsung menjawab dengan cepat. 

 

"Oh ya? Kalau nanti punya, jangan lupa kasih tahu sensei, ya." 

 

Obrolan ringan seperti ini bisa menjadi selingan sekaligus mencairkan suasana. Sedikit ngobrol saat sedang belajar bisa jadi bentuk refreshing, lalu setelahnya mereka bisa kembali fokus. Biasanya, aku akan membiarkan pembicaraan ini berlanjut sebentar lagi, tapi topik ini sebaiknya segera diakhiri. 

 

"Oke, lanjut belajar lagi, yuk." 

 

Aku pun mengakhiri obrolan dan menyuruh Hanamaki kembali mengerjakan PR-nya. 

 

"Baik," jawabnya singkat, lalu menunduk menatap bukunya. 

 

Pulpen kembali bergerak di atas kertas. 

 

Setelah itu, aku tetap menemani Hanamaki belajar hingga waktu selesai, lalu meninggalkan rumahnya. 

 

Aku berjalan menuju stasiun, naik kereta, dan dalam perjalanan, aku mengingat kembali percakapan kami tadi. 

 

Kata "pacar" itu tidak pernah cocok untuk menggambarkan hubungan antara aku dan Miyagi—baik dulu maupun sekarang. Aku juga tidak tahu apakah kata itu akan pernah cocok untuk kami di masa depan. 

 

Aku tidak ingin menggunakan perasaan cintaku pada Miyagi sebagai alasan untuk membenarkan kejadian hari Minggu itu. Perasaan itu tetap sama hingga kini, tapi jika begitu, aku jadi tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk mengungkapkannya. Apapun harinya, apakah hari ini atau besok, kata "suka" yang keluar dari mulutku akan terdengar seperti hiasan untuk membuat diriku di masa lalu terlihat lebih benar. 

 

Aku tidak bisa melihat masa depan di mana perasaanku dapat tersampaikan dengan benar. 

 

Karena itu, kata "pacar" terasa begitu jauh, seakan bukan sesuatu yang berhubungan denganku. Saat ini, aku lebih takut kehilangan hubungan yang telah kami bangun selama ini daripada ingin menjadi seseorang yang Miyagi sebut sebagai pacarnya. 

 

Waktu telah membuatku jadi pengecut dan menyadarkan betapa banyak hal yang bisa hilang jika aku mengungkapkan perasaanku. 

 

Kereta berhenti, lalu berjalan lagi. 

 

Berulang kali melakukan hal yang sama hingga akhirnya mencapai tujuan. 

 

Di dalam kereta yang terus bergoyang, bayangan masa depan yang tidak pasti terlihat di jendela, lalu menghilang. 

 

Ke mana sebenarnya aku dan Miyagi ingin pergi? 

 

Aku bahkan tidak yakin apakah kami mengarah ke tujuan yang sama. 

 

Saat kereta berhenti di stasiun tujuanku, aku turun. 

 

Aku berjalan pulang, melewati jalan yang diterangi lampu-lampu kota, menaiki tangga, dan membuka pintu apartemen. 

 

Di depan pintu, ada sepasang sepatu milik Miyagi. 

 

Ketika aku masuk ke ruang bersama, ada selembar kertas memo di atas meja. 

 

"Kamu boleh makan pudingnya." 

 

Saat membuka kulkas, aku melihat dua puding di dalamnya. Tapi alih-alih mengambil puding, aku malah mengeluarkan sayuran dan daging babi, lalu menumisnya. 

 

Setelah makan malam sederhana untuk mengisi perut, aku berjalan menuju kamar Miyagi. 

 

Aku mengetuk pintunya tiga kali, dan sesaat kemudian, pemilik kamar itu muncul. 

 

"Selamat datang. Kamu udah makan pudingnya?" 

 

"Baru mau makan. Aku ke sini buat ngajakin kamu." 

 

Begitu aku bilang begitu, Miyagi keluar dari kamarnya dan duduk di kursinya dengan tenang. 

 

Aku mengeluarkan dua puding dan dua sendok, lalu ikut duduk. 

 

"Selamat makan.”

 

Suara kami bersamaan.

 

Aku membuka tutup wadah, menyendok puding, lalu memasukkannya ke dalam mulut. 

 

Puding yang agak keras itu ternyata lebih manis dari yang aku bayangkan. 

 

Saat melirik ke arah Miyagi, dia terlihat sedang makan dengan perlahan, menghancurkan puding sedikit demi sedikit dengan sendoknya. 

 

Sepertinya dia sedang dalam suasana hati yang baik. 

 

Saat bersamanya seperti ini, aku tahu kalau dia tidak membenciku. Tapi, hanya karena dia tidak membenciku, bukan berarti dia menyukaiku. 

 

Lagipula, Miyagi bukan tipe orang yang mudah percaya dengan kata-kataku. Kata "suka" pun mungkin tidak akan cukup untuk membuatnya mengakui kejadian hari Minggu sebagai sesuatu yang wajar. 

 

Membuat Miyagi percaya pada kata-kataku adalah tugas yang sulit. Bahkan, jika aku bilang, "Akhir-akhir ini kamu kelihatan lebih ceria," dia pasti langsung membantah dengan, "Nggak juga." 

 

Miyagi seperti kucing liar yang waspada dan tidak suka perubahan. 

 

Rasa suka itu sendiri adalah sesuatu yang bisa mengubah hubungan kami secara drastis. Jika aku mengatakannya sekarang, rasanya semuanya akan berakhir begitu saja. 

 

Kemungkinan besar, kami tidak akan lagi menjadi teman sekamar. Miyagi akan menjauh dariku. 

 

Kalau begitu... 

 

Kalau sampai kehilangan segalanya, mungkin lebih baik aku tetap diam saja. 

 

Kalau aku tetap menjalani hidup seperti biasa, aku masih bisa berada di sisinya sebagai teman sekamar. Memang, hubungan kami tidak akan berkembang, tapi setidaknya aku tidak akan kehilangan apa yang sudah ada. 

 

Meskipun ada rasa tidak puas dengan situasi ini, aku masih bisa menghibur diri dengan kenangan yang tersimpan di masa lalu. 

 

Sepertinya, kata "pacar" bukanlah sesuatu yang layak diperjuangkan dengan risiko kehilangan segalanya. 

 

Aku menyendok puding lagi, lalu menelannya sebelum bertanya, 

 

"Miyagi, kamu beli puding ini di mana?" 

 

"Di minimarket dekat sini." 

 

"Lain kali, aku mau makan puding almond." 

 

"Beli sendiri." 

 

"Pelit banget, sih, Miyagi." 

 

Selama aku tidak mengatakan "suka", kami bisa terus berbincang seperti ini. 

 

Dan itu sudah cukup membuatku bahagia. 

 

Kami mengobrol tentang hal-hal remeh sambil menghabiskan puding. 

 

Bahkan setelah wadahnya kosong, kami masih terus berbicara. 

 

Saat akhirnya percakapan kami terhenti, aku berdiri dan berjalan mendekatinya. 

 

Aku menyentuh rambutnya, menyelipkan helaiannya ke belakang telinga. Dia sedikit bergerak, tampak geli, lalu menggenggam ujung bajuku. 

 

Saat jari-jariku menyentuh sesuatu yang keras berbentuk bunga kecil, aku merasa seperti seseorang yang istimewa baginya. Meskipun mungkin hanya aku yang merasa begitu, tidak masalah. 

 

Aku mendekatkan bibirku ke pipinya. 

 

Sebuah kecupan ringan. 

 

Aku menyentuh bibirku dengan ibu jari. 

 

Miyagi sedikit menjauh dan menatapku. 

 

Tatapan kami bertemu. 

 

Aku menggenggam tanganku erat, mencoba menenangkan jantungku yang mulai berdegup kencang. Rasanya, kalau terus seperti ini, jantungku bisa meledak sebelum sempat menyentuhnya lagi. 

 

Aku memejamkan mata, lalu menempelkan bibirku ke bibirnya. 

 

Sungguh hanya sesaat. 

 

Hanya sentuhan ringan sebelum aku segera menjauh. 

 

Saat membuka mata, Miyagi masih ada di hadapanku seperti sebelumnya. 

 

"Besok kamu yang beli sesuatu buat dimakan, bukan puding," katanya sambil melepaskan genggamannya dari bajuku. 

 

"Baiklah." 

 

Aku hanya perlu bersabar sedikit lagi. 

 

Yang terpenting sekarang adalah Miyagi tetap berada di sisiku. 

 

 

◇◇◇ 

 

 

Aku menepati janjiku. 

 

Keesokan harinya, aku membeli puding almond sebagai pengganti puding, lalu memakannya bersama Miyagi. 

 

Puding itu bukan sesuatu yang istimewa. Rasanya juga tidak cukup enak sampai ingin aku rekomendasikan ke teman-teman kampus. Tapi, saat memakannya bersama Miyagi, semuanya terasa lebih nikmat. 

 

Malam berikutnya, aku membeli puding yang sama lagi. 

 

Makan malam bersama Miyagi—seseorang yang bukan keluargaku, di rumah tanpa keluarga—membuat makanan apa pun terasa lebih enak. 

 

Hari-hari berlalu begitu saja. 

 

Malam itu, aku duduk sendirian di kamar, menghela napas kecil. 

 

Di luar, hujan deras turun dengan angin yang berhembus kencang. 

 

Aku membuka sedikit tirai dan melihat ke luar jendela. Langit gelap, dan lampu jalan yang redup membuat suasana terlihat seperti dunia dalam film horor. Sepertinya, kalau aku keluar sekarang, bisa saja aku bertemu sesuatu yang bukan manusia. 

 

Aku menutup tirai sambil berpikir, 

 

"Kayaknya malam ini enak buat nonton film." 

 

Besok juga diprediksi akan hujan, jadi tidak ada alasan untuk bangun pagi. 

 

Aku menyalakan tablet yang ada di meja, memasang earphone, lalu memutar film horor. 

 

Bersandar ke tempat tidur, aku menonton adegan awal yang masih memperlihatkan dunia yang tenang. 

 

Malam seperti ini memang paling pas untuk film horor. 

 

Kalau saja Miyagi mau nonton bersamaku... 

 

Tapi, kalau aku memaksanya menonton film horor, dia pasti bakal marah dan menyimpan dendam seumur hidup. 

 

Lagipula, tidak mungkin Miyagi tiba-tiba masuk ke kamarku di tengah malam seperti ini. 

 

Tiga puluh menit berlalu, aku mulai merasa haus. 

 

Aku menjeda film, keluar mengambil segelas teh di ruang bersama, lalu kembali ke kamar. 

 

Saat itulah suara gemuruh terdengar dari luar. 

 

Aku membuka sedikit tirai dan melihat langit yang sesekali menyala oleh kilatan petir di kejauhan. 

 

"Miyagi takut petir, nggak, ya?" 

 

Aku mengingat-ingat. Sepertinya, saat SMA dulu, dia pernah bilang tidak suka petir. 

 

Aku melirik jam. 

 

Sudah cukup larut. 

 

Kalau dia tidur nyenyak, aku tidak mau membangunkannya. 

 

Tapi... bagaimana kalau dia sedang terjaga dan merasa tidak nyaman? 

 

Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan mondar-mandir di kamar. 

 

Hari ini, aku bermimpi tentang Miyagi. 

 

Mimpi yang membuat perasaanku tidak tenang. 

 

Aku tahu aku harusnya tetap di kamar saja, tapi aku tetap melangkah keluar dan berdiri di depan pintu kamarnya. 

 

Menarik napas dalam-dalam dua kali. 

 

Lalu mengetuk pintu sekali. 

 

Tidak ada jawaban. 

 

Mungkin dia memang sudah tidur. 

 

Aku ragu-ragu. 

 

Pergi saja? Atau mengetuk lagi? 

 

Akhirnya, aku mengetuk lebih keras. Sekali, dua kali. 

 

Masih tidak ada jawaban. 

 

Saat aku hendak menyerah dan kembali ke kamar— 

 

Pintu terbuka. 

 

Miyagi berdiri di sana, tampak mengantuk. 

 

"... Sendai-san, kamu belum tidur?”

 

Miyagi keluar dari kamarnya, mengenakan kaus lengan panjang dan celana training. Wajahnya tidak terlihat mengantuk, tapi nada suaranya terdengar malas. 

 

“Aku lagi nonton film. Kamu nggak apa-apa sama petir?” tanyaku. 

 

“Nggak apa-apa.” 

 

“Tapi, dulu pernah bilang kalau nggak suka, kan?” 

 

“…Memang nggak suka, tapi bukan berarti takut,” jawabnya. 

 

Miyagi terlihat sama seperti biasanya. Bahkan saat suara gemuruh terdengar, ekspresinya tidak berubah sedikit pun. 

 

“Begitu, ya. Kalau gitu, baguslah.” 

 

Aku merasa lega… tapi sekaligus kecewa. 

 

Aku menekan perasaan bertentangan itu jauh ke dalam hati, lalu berkata, “Selamat tidur.” 

 

Namun, tepat saat itu, suara petir menggelegar begitu dekat seakan menyambar di sekitar sini. Miyagi tiba-tiba meraih lenganku—lalu segera melepaskannya. 

 

Aku berharap dia terus memegangnya lebih lama. 

 

Seandainya petir menggelegar lebih sering dan lebih keras, mungkin dia akan terus menggenggam tanganku dan tak ingin melepaskannya. 

 

Sambil memikirkan hal-hal yang sama sekali tidak mencerminkan niat awal untuk mengecek keadaannya, aku bertanya, 

 

“Kamu nggak apa-apa?” 

 

Kalau aku bertanya, ‘Takut, ya?’, Miyagi pasti langsung menyangkalnya, lalu menutup pintu dan tidak keluar lagi. 

 

“Aku cuma kaget karena suaranya kencang,” jawabnya singkat. 

 

“Mau ke kamarku?” tanyaku. 

 

Miyagi tidak langsung menjawab. 

 

Dia terlihat sedikit waspada. 

 

“Kalau nggak bisa tidur, kita bisa nonton film buat mengisi waktu.” 

 

Aku menambahkan kata-kata itu agar dia tahu bahwa aku tidak bermaksud apa-apa. Setelah terdiam sejenak, akhirnya Miyagi berkata pelan, “Nonton,” lalu keluar dari kamarnya. 

 

Aku yang mengajaknya, tapi tetap saja terkejut melihatnya langsung menurut. 

 

Saat aku berjalan, dia mengikutiku masuk ke kamar. Kami duduk bersandar di tempat tidur, lalu dia mengambil tablet yang masih tergeletak di meja. 

 

“Kamu lagi nonton apa?” 

 

Sebelum aku sempat menjawab, Miyagi sudah menekan tombol play. 

 

Dari earphone yang masih tersambung, terdengar musik latar yang menciptakan suasana mencekam. Miyagi langsung menghentikan film yang baru saja mulai diputar. 

 

“Kalau nonton yang aneh-aneh, bilang dulu, dong!” katanya sambil menendang ringan pergelangan kakiku. 

 

Sungguh tidak adil. 

 

Aku tidak salah apa-apa. 

 

“Kamu sendiri yang buru-buru pencet tombol play, kan? Lagian, ini bukan film aneh. Ini film horor,” jelasku. 

 

“Horor itu memang aneh! Siapa juga yang kepikiran buat nonton horor di cuaca kayak gini?” 

 

“Justru karena cuaca kayak gini, suasananya makin pas, kan?” 

 

Miyagi memeluk lututnya. 

 

“Suasananya terlalu pas malah… Kayak ada sesuatu yang bakal masuk dari jendela. Serem.” 

 

Akhirnya, dia mengakui perasaannya yang sebenarnya. 

 

Melihatnya duduk meringkuk seperti itu, aku jadi ingin menepuk punggungnya dan meyakinkan kalau semuanya baik-baik saja. 

 

Tapi, kalau aku benar-benar melakukannya, dia mungkin akan lari seperti kucing liar yang ketakutan. 

 

“Kalau gitu, kamu pilih film yang mau ditonton,” kataku. 

 

Alih-alih melihat ke arah tablet, Miyagi justru menatapku. 

 

“Sendai, liburan musim panas nanti kamu bakal pulang ke rumah?” tanyanya. 

 

“Nggak. Kamu?” 

 

“Aku juga nggak ada rencana pulang.” 

 

“Begitu, ya.” 

 

Percakapan terhenti. 

 

Miyagi masih belum memilih film. 

 

Dia melonggarkan pelukannya di sekitar lutut dan menaruh kedua tangannya di lantai. 

 

“…Kenapa kamu nggak pulang?” tanyanya lagi. 

 

“Hmm… Mungkin karena di sini lebih nyaman. Lagi pula, orang tuaku juga nggak terlalu khawatir. Kalau kamu? Mereka nggak khawatir kalau kamu nggak pulang?” 

 

“Mungkin khawatir.” 

 

“…Kalau gitu, kamu yakin nggak mau pulang?” 

 

Seharusnya aku bilang, ‘Sebaiknya pulang saja’. 

 

Tapi, aku tidak ingin mengatakannya. 

 

“Nggak ada gunanya pulang… Orang tuaku juga jarang ada di rumah selama liburan musim panas,” ucapnya pelan.

 

Jarang sekali Miyagi mau bercerita tentang keluarganya. 

 

Selama ini, kami berdua memang jarang membicarakan soal keluarga. 

 

Bagiku, keluarga bukan topik yang ingin kuceritakan dengan mudah, dan mungkin Miyagi juga merasakan hal yang sama. Setiap kali aku bertanya, dia selalu menghindar dan tidak pernah benar-benar menjawab. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba dia mau berbagi sedikit cerita hari ini, tapi hanya dengan mendengar secuil kisah yang sebelumnya enggan dia ungkapkan, aku merasa dia lebih dekat dari biasanya. 

 

Aku menatap tangannya yang menempel di lantai. 

 

Tanganku terulur. 

 

Namun, sebelum sempat menyentuhnya, Miyagi berbalik menghadapku. 

 

“Sendai,” panggilnya. 

 

Aku menunggu sejenak. 

 

Tapi, dia tidak melanjutkan kata-katanya. 

 

Wajahnya terlihat seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi bibirnya tetap terkatup rapat. 

 

“Kalau ada yang mau dikatakan, bilang saja,” ujarku. 

 

“...Janji dulu kalau nggak akan melakukan hal aneh,” katanya pelan. 

 

“Hal aneh seperti film horor tadi?” tanyaku bercanda. 

 

“Bukan. Kamu tahu maksudku,” balasnya cepat. 

 

Tentu saja aku tahu. 

 

Hal aneh yang dia maksud adalah sesuatu yang pernah muncul dalam mimpiku. Aku memang sempat menginginkan hal itu menjadi nyata, tapi kalau aku melakukannya sekarang, Miyagi pasti langsung pergi meninggalkan kamar ini. 

 

Aku tidak mau itu terjadi. 

 

“Aku janji. Mau aku bersumpah pada anting ini?” 

 

Miyagi mengangguk kecil. 

 

Aku menyibak rambutnya, lalu mendekatkan bibirku. 

 

“Sekarang aku nggak akan melakukan apa pun,” bisikku di telinganya, sebelum mengecup anting berbentuk bunga yang dia kenakan. 

 

Setelah itu, aku membiarkan bibirku menyusuri kulitnya dan menggigit ringan lehernya. Aroma manis dari sampo yang digunakannya tercium samar. Saat aku menggigitnya dengan lembut, Miyagi langsung mendorong tubuhku menjauh. 

 

“Kamu tadi janji nggak akan melakukan hal aneh! Lagian, maksudnya apa ‘sekarang nggak akan melakukan apa pun’?” protesnya. 

 

“Yang aku lakukan barusan itu bukan hal aneh, tapi bagian dari sumpahku pada antingnya. Dan, Miyagi tadi nggak bilang selamanya, kan? Makanya aku bilang sekarang,” jawabku santai. 

 

“Kenapa sih kamu selalu bicara hal bodoh seperti itu?” gerutunya. 

 

“Mungkin karena aku memang bodoh?” 

 

“...Sudahlah.” 

 

Dengan nada kesal, Miyagi menyandarkan tubuhnya ke tempat tidur. 

 

“Boleh genggam tanganmu?” tanyaku. 

 

Tidak ada jawaban. 

 

Miyagi diam saja, tapi dia mengambil tablet dari meja dan—alih-alih menjauh—justru menyandarkan bahunya padaku. 

 

Aku merasa lega dengan jarak yang begitu dekat, di mana kehangatannya bisa kurasakan. Saat melirik layar tablet, film horor yang tadi kutonton sudah berganti dengan film Jepang yang dirilis beberapa tahun lalu. 

 

“Di luar sudah agak tenang, ya,” gumamku tanpa melihatnya. 

 

Suara gemuruh masih terdengar, tapi tidak ada lagi dentuman keras yang seakan hendak merobohkan tembok. 

 

“Hujannya masih turun nggak?” tanyanya. 

 

“Mungkin masih. Terus, gimana?” 

 

Aku ingin bertanya, ‘Mau balik ke kamar?’ 

 

Tapi, aku tidak mau mendengar jawabannya. 



Aku ingin mengurung Miyagi di dalam kamar ini. 

 

"Mau ngapain?" 

 

"Nggak ada apa-apa." 

 

"Sendai-san, boleh nonton ini?" 

 

Dia menunjuk ke layar tablet sambil bertanya, dan aku menjawab, "Boleh." 

Miyagi melepas earphone yang masih terpasang, lalu menekan tombol putar. 

 

Bahunya menempel ke arahku lebih dulu. 

 

Tapi dia tidak menggenggam tanganku, jadi aku yang menggenggam tangannya lebih dulu. 

 

Dia tidak protes, dan kami menonton film sambil tetap berpegangan tangan. 

 

Aku ingin lebih banyak menyentuhnya, tapi kalau aku melakukan hal yang berlebihan, bahu yang saling menempel ini, tangan yang saling menggenggam ini, mungkin akan terlepas. Jadi aku diam dan tetap menatap layar. 

 

Filmnya adalah film romansa biasa—tidak membosankan, tapi juga terasa ada yang kurang. Meski begitu, Miyagi tetap menontonnya tanpa mengeluh, jadi aku juga ikut diam dan menatap orang-orang yang berlalu-lalang di dalam tablet. 

 

Tanpa sadar, suara guntur pun sudah menghilang, dan waktu berlalu dengan tenang. 

 

"Setelah ini, mau nonton yang lain?" 

 

Aku bertanya saat layar mulai menampilkan credit film. 

 

Tapi tidak ada jawaban. 

 

Saat aku menoleh ke samping, dia memejamkan mata lebih lama dari sekadar kedipan biasa. Dua jam menonton film, wajar kalau dia mulai mengantuk. 

 

Aku berpikir, sebaiknya Miyagi tidur sekarang. 

 

Tapi kalau dia tidur di kamar ini, satu-satunya tempat tidur hanya milikku. Dan aku ragu dia mau tidur di atasnya. Kalau aku menyuruhnya tidur, kemungkinan besar dia akan memilih pergi dari sini. 

 

Aku ingin tetap menatapnya seperti ini. 

 

Aku ingin dia tetap berada di kamar ini. 

 

Tapi di sisi lain, aku juga tidak bisa membiarkannya terus mengantuk seperti ini. 

 

"Miyagi, kalau ngantuk, tidur aja." 

 

Aku meraih tablet dengan tangan yang masih bebas dan menyentuh layarnya. Layar berhenti pada adegan sang tokoh utama dalam pose aneh, lalu dari samping terdengar suara mengantuknya. 

 

"Aku nggak apa-apa." 

 

"Kamu setengah tidur." 

 

"Aku nggak tidur. Aku masih bangun." 

 

"Kamu bisa nonton filmnya sampai habis?" 

 

"…Aku balik ke kamarku." 

 

Jawaban yang sudah kuduga. 

 

Sebelum dia sempat berdiri, aku menggenggam tangannya lebih erat. 

 

"Aku ingat janji kita, jadi pakai aja tempat tidurku." 

 

"Nggak. Aku tidur di kamarku sendiri." 

 

Miyagi, yang tadi tampak mengantuk, kini berkata dengan tegas. 

 

Aku bisa mengerti kalau dia tidak mau tidur di sini, tapi aku juga tidak mau membiarkannya pergi. Aku tidak tahu bagaimana caranya agar dia tetap tinggal, jadi aku hanya bisa menggenggam tangannya lebih erat lagi. 

 

"…‘Sekarang’ yang kamu maksud itu sampai kapan?" 

 

Aku memang pernah berjanji tidak akan melakukan hal aneh dengan tambahan kata "sekarang" di depan, tapi Miyagi sepertinya tidak mau membiarkan kata itu tetap ambigu. 

 

Kalau aku salah menjawab, dia pasti akan pergi. Aku harus memilih kata-kataku dengan hati-hati. 

 

"Sampai kamu keluar dari kamar ini." 

 

Tangannya melepaskan genggamanku. 

 

Tapi dia tidak berdiri. 

 

"Aku masih mau nonton." 

 

Dia menambahkan kata-kata itu, lalu dari samping terdengar suara pelan. 

 

"Sampai kapan?" 

 

"Sampai pagi." 

 

"…Aku pinjam tempat tidurnya." 

 

Dia bergumam pelan, lalu berbaring di ranjang yang tadi dia gunakan sebagai sandaran. 

 

Di atas ranjang yang pernah kusentuh. 

 

Ranjang yang kubeli dengan uang hasil tabunganku sendiri. 

 

Saat Miyagi memejamkan mata, dia seakan terbungkus oleh sesuatu yang "istimewa" dariku, dan aku jadi ingin merasakan kehangatan tubuhnya. 

 

Pandanganku hanya dipenuhi oleh Miyagi, hingga tak ada lagi celah untuk melihat layar tablet. 

 

Aku sempat ingin mengulurkan tangan, tapi kilatan cahaya dari anting yang kupakai—yang menjadi saksi janji kami—membuatku tersadar. 

 

Aku mematikan lampu utama, menyalakan lampu tidur, lalu menyambungkan earphone ke tablet dan menekan tombol putar. Tokoh utama yang tadi berhenti dalam pose aneh mulai bergerak kembali, dan cerita pun mulai menuju ke credit scene. Tapi aku tidak bisa mengikuti alurnya. 

 

Karena pikiranku hanya terfokus pada Miyagi di belakangku. 

 

Aku berusaha mengabaikannya. 

 

Tapi sulit. 

 

Otot punggungku terasa tegang. 

 

Aku menarik napas kecil dan hendak mengembuskannya perlahan, tapi tiba-tiba sesuatu menyentuh punggungku. 

 

Saat aku melepas earphone dan menoleh ke belakang, ternyata itu adalah bantal milikku. Miyagi, yang kupikir sudah tidur, kini sedang duduk di atas ranjang. 

 

"Sendai-san." 

 

"Apa?" 

 

"Kamu beneran ingat janjinya?" 

 

Dia bertanya dengan nada ingin memastikan. 

 

"Tentu. Aku ingat." 

 

Aku menjawab dengan tegas agar dia bisa tidur dengan tenang. 

 

Lalu, dengan suara pelan, dia berkata, 

 

"…Pakai setengahnya aja." 

 

"Setengah?" 

 

"Kalau pakai cara ngomongmu, kamar ini kan teritorimu." 

 

"Iya, terus?" 

 

"Tapi, tempat tidur ini teritoriku." 

 

"Kenapa bisa begitu?" 

 

Aku tanpa sadar balik bertanya, dan dia menimpukku dengan bantal. 

 

"Sendai-san, tadi kan kamu bilang aku boleh pakai tempat tidurmu. Jadi, sekarang ini teritoriku, dan aku meminjamkan setengahnya buat kamu." 

 

Tempat tidur yang kupinjamkan tiba-tiba berpindah kepemilikan begitu saja. 

 

Tapi kepemilikan ranjang bukan masalah besar. 

 

Yang lebih mengejutkan adalah… aku diperbolehkan tidur di sampingnya. 

 

"Beneran boleh pakai setengahnya?" 

 

"Kalau nggak mau, ya nonton aja terus." 

 

Dia berkata santai, lalu membalikkan badan dan berbaring. 

 

"Aku tidur juga, deh." 

 

Aku mematikan tablet. 

 

Miyagi tidur di sisi ranjang yang menempel ke dinding, dan aku masuk ke sisi yang kosong. 

 

"Kayaknya sempit."

Punggungnya bergerak, dan terdengar suara protes pelan. 

 

Dia sendiri yang bilang aku boleh memakai setengah tempat tidurnya, tapi sekarang malah mengeluh. Ini sangat khas Miyagi, meskipun aku tetap merasa tidak terima. 

 

"Namanya juga ranjang single. Gimana kalau beli ranjang double aja?" 

 

Padahal, ranjang ini sangat berarti bagiku, jadi aku tidak benar-benar berniat menggantinya. Tapi kata-kata itu terlanjur keluar dari mulutku. 

 

"Nggak usah. Aku juga nggak bakal tidur di sini lagi." 

 

Suaranya terdengar lebih tegas, sepertinya dia sudah benar-benar terjaga. 

 

"Kalau gitu, gimana kalau aku cerita horor tiap malam?" 

 

"Kalau sampai kamu lakukan itu, aku nggak akan ngomong sama kamu lagi seumur hidup." 

 

"Cuma bercanda." 

 

Aku buru-buru menarik kembali ucapanku, tapi Miyagi sudah lebih dulu membulatkan tubuhnya dan menarik selimut kuat-kuat, membuatnya semakin menutupi dirinya. 

 

Akibatnya, selimutku sendiri jadi tersingkap. Tapi udara tidak terlalu dingin, malah sedikit hangat, jadi aku tidak masalah jika tidak berselimut. Hanya saja, aku tidak bisa melihat punggung Miyagi yang sekarang tertutup sepenuhnya oleh selimut. 

 

Aku lebih suka melihat dan menyentuh punggungnya daripada hanya menatap selimut. Lebih jauh lagi, aku ingin menyelipkan tanganku ke dalam kausnya dan menyentuh kulitnya secara langsung. 

 

Tapi aku tidak bisa melanggar janji. 

 

Jika aku mengingkarinya, Miyagi pasti akan benar-benar marah. 

 

Tapi aku tetap ingin menyentuhnya, jadi aku menarik sedikit selimutnya dan meraih kausnya. 

 

"Sendai-san, kamu nggak tidur?" 

 

Suaranya terdengar rendah. 

 

"Belum ngantuk. Miyagi, menghadap ke sini, dong." 

 

"Kenapa?" 

 

"Mau cium." 

 

Aku sengaja mengucapkan sesuatu yang pasti tidak akan dia setujui. 

 

"Nggak mau." 

 

Jawaban yang sudah kuduga, tapi nadanya lebih lembut dari yang kukira. Aku pun menyentuh punggungnya perlahan di atas kausnya. 

 

"Pelit banget sih, Miyagi." 

 

"Biarin aja." 

 

Dia tetap tidak menunjukkan tanda-tanda akan berbalik. Aku mengetuk punggungnya pelan dengan ujung jariku, dan tiba-tiba dia memanggilku dengan suara yang terdengar serius. 

 

"Sendai-san." 

 

"Apa?" 

 

"…Anting itu." 

 

Dia berhenti di tengah kalimatnya. 

 

"Kenapa dengan antingnya?" 

 

"Ada maknanya?" 

 

Suaranya sangat pelan, sampai hampir tidak terdengar jika aku tidak benar-benar menyimak. 

 

"Maksudnya?" 

 

"Anting itu kan motif bunga plumeria, kan?" 

 

Dia membalas pertanyaanku dengan pertanyaan lain. 

 

"Iya, benar." 

 

"Aku tadi cari tahu arti bunga itu." 

 

"Terus, apa katanya?" 

 

"…Martabat, dan… gadis pemalu." 

 

"Pas banget buat Miyagi." 

 

"Kamu pasti nggak benar-benar mikir begitu." 

 

Nada suaranya terdengar tidak puas, jadi aku menarik kembali tanganku dari punggungnya dan menghela napas. 

 

Aku memang sudah menduga Miyagi akan mencari tahu arti bunga itu. Ini adalah skenario yang sudah kuperhitungkan. 

 

"Anting ini cuma buat mengingatkan aku pada janji kita, nggak ada makna lebih dari itu. Jadi, kamu nggak perlu kepikiran. Atau kamu lebih suka kalau ada maknanya?" 

 

"…Nggak perlu, sih." 

 

Dia menjawab pelan, lalu terdiam. 

 

Aku merasa lega karena dia tidak bertanya lebih jauh. 

 

Miyagi tidak salah jika mencari makna dari anting itu. 

 

Tapi maknanya bukan terletak pada arti bunga plumeria, melainkan pada anting itu sendiri. 

 

Mendoakan kebahagiaan orang yang berharga. 

 

Itulah makna yang terkandung dalam anting yang kini terpasang di telinga Miyagi. 

 

Awalnya, aku hanya menyukai bentuknya. Tapi saat mencari tahu lebih lanjut, aku menemukan bahwa perhiasan Hawai yang menggunakan motif plumeria memiliki makna yang mendalam. Itulah yang membuatku memilihnya untuk Miyagi. 

 

Namun, aku tidak ingin dia tahu bahwa anting ini memiliki arti. 

 

"Anggap aja ini kayak jimat keberuntungan." 

 

Aku berkata santai, lalu menarik kembali selimut yang sempat direbut Miyagi agar bisa menutupi tubuhku. 

 

Makna di balik anting ini, cukup aku saja yang tahu. 

 

Karena kalau Miyagi tahu, dia pasti tidak akan mau memakainya lagi. 

 

—Dan bahkan jika suatu saat dia menyadarinya, aku tetap akan berpura-pura tidak tahu. 

 

"Miyagi, tadi kamu ngantuk, kan? Tidurlah." 

 

"Kamu juga tidur, Sendai-san." 

 

"Aku pasti tidur, kok." 

 

Aku pernah memikirkan sesuatu setelah tahu makna dari anting ini. 

 

Aku bisa menerima kalau Miyagi tidak akan pernah menyukaiku. 

 

Tapi aku tidak bisa menerima jika dia menyukai orang lain. 

 

Saat ini, Miyagi tidak terlihat sedang menyukai siapa pun. 

 

Kalau dia harus jatuh cinta pada seseorang, aku ingin orang itu adalah aku. 

 

Tapi, jika suatu saat Miyagi menyukai orang lain… 

 

Aku tidak cukup baik untuk bisa mendoakan kebahagiaannya. 

 

Jadi, kalau aku tidak bisa melakukannya, aku ingin anting itu yang mendoakan kebahagiaan Miyagi menggantikan aku. 

 

Dan di saat yang sama, seperti arti bunga plumeria, aku berharap dia tetap menjadi gadis pemalu yang tidak berani mengungkapkan perasaannya. 

 

Aku menarik ujung kaus Miyagi. 

 

"Selamat tidur." 

 

Pelan, terdengar suara lirih membalas, 

 

"Selamat tidur."














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !