Soshiki no Shukuteki to Kekkon Shitara Mecha Amai Chapter 4

Ndrii
0

Episode 4 




"Aku lupa bawa bekal……"

 

Saat jam makan siang, aku membuka tas kerjaku dan merasa putus asa.

 

Aku lupa memasukkan kotak bekal seperti biasanya. Sekarang kotak bekal itu mungkin sendirian di atas meja di rumah.

 

"Aduh. Lupa bawa bekal dari istri itu dosa lho, senpai?"

 

Ikoma-san mengintip wajahku. Secara pribadi, aku merasa itu bukan hanya dosa, tapi dosa besar. Bekal yang dibuatkan Ritsuka setiap pagi dengan tangannya sendiri adalah sumber vitalitasku untuk melewati jam kerja setelah makan siang.

 

Kenapa? Karena di dalamnya ada cinta──aku bergerak karena makan cinta!!

 

"Cinta……cintanya kurang……! Kalau begini aku bisa kelaparan cinta……!!"

 

"Senpai baik-baik saja? Senior terdengar seperti orang gila?"

 

Ikoma-san agak menjauhiku.

 

Untuk sementara, aku akan mengirim pesan ke Ritsuka. Aku benar-benar minta maaf……

 

Namun, meskipun aku bergerak karena cinta, sebagai manusia, aku juga tidak bisa bergerak kalau tidak makan. Melewatkan makan siang dan bekerja setelahnya adalah hal yang mustahil (aku benar-benar bisa pingsan), jadi mau bagaimana lagi.

 

"……Untuk sekarang, aku akan pergi ke minimarket. Beli onigiri atau apa pun──"

 

"Ah, kalau begitu bagaimana kalau kita makan di luar bersama? Ada beberapa tempat yang lumayan enak di sekitar sini!"

 

"Makan di luar ya. Boleh juga. Ayo pergi."

 

Aku mengangguk setuju pada usulan Ikoma-san. "Hore!" Ikoma-san berseru senang.

 

Makan siang di luar……jarang sekali terjadi. Itu juga berarti Ritsuka membuatkan bekal setiap hari. Aku benar-benar berterima kasih pada Ritsuka.

 

"Saikawa, Ikoma. Boleh makan di luar, tapi kembali sebelum jam istirahat selesai ya."

 

Kepala bagian memanggil kami saat kami akan keluar.

 

"Kami mengerti."

 

"Kami sudah mencari tempat dengan perputaran pelanggan yang cepat, jadi pasti aman!"

 

"……Saigawa."

 

"Ada apa?"

 

"Tidak──……Bukan apa-apa. Hati-hati di jalan."

 

"Baiklah. Kalau begitu kami pergi."

 

"Kami pergi!"

 

Ada jeda yang aneh dari kepala bagian. Dia membandingkanku dan Ikoma-san, seolah ada sesuatu yang dipikirkannya.

 

Yah, tidak ada gunanya dipikirkan. Bagaimanapun, kami memutuskan untuk keluar kantor.

 

 

***

 

 

"Ada restoran Italia kecil di sana, dan menu makan siangnya sangat terjangkau dan enak! Ah, senpai suka makanan Italia? Soalnya, banyak orang yang tidak suka tomat!"

"Aku bukan anak kecil, aku baik-baik saja."

 

Ikoma-san menjelaskan tentang restoran yang dituju dengan gerakan tangan. Aku sudah bekerja di perusahaan ini selama beberapa tahun, tetapi aku menyadari bahwa aku sama sekali tidak tahu tentang toko-toko di sekitarnya.

 

"Apakah senpai suka memasak?"

 

"Kenapa tiba-tiba bertanya begitu. Aku memasak di hari libur. Aku ingin pekerjaan rumah tangga dibagi rata."

 

"Oh, begitu. Soalnya, biasanya pria tidak terlalu melakukan hal seperti itu. Aku penasaran bagaimana dengan senpai."

 

"Aku kadang-kadang masak sendiri sejak masih lajang. Yah, sebenarnya aku tidak terlalu mahir memasak."

 

"Wah, enak ya. Masakan pria itu, setelah dipikir-pikir lagi, jadi bikin kagum lho!"

 

Aku hampir saja melontarkan celetukan, "Kalau begitu minta saja pacarmu yang memasak," tapi di zaman sekarang, ucapan seperti itu bisa dianggap sebagai pelecehan seksual. Jadi, aku hanya mengelak sekenanya.

 

Sambil berbincang, kami tiba di restoran Italia kecil yang kami tuju.

Aku pikir kami mungkin harus menunggu, tetapi tampaknya masih ada tempat kosong, dan kami diantar ke tempat duduk di teras.

 

"Selamat datang, apa Anda sudah siap memesan?"

 

"Aku pesan menu makan siang saja. Ikoma-san?"

 

"Saya juga sama! Ah, tolong kurangi satu roti ya!"

 

Menu makan siang seharga seribu yen itu tampaknya termasuk salad, sup, hidangan utama harian, dan kopi.

 

"Kenapa rotinya dikurangi? Kenapa?"

 

"Eh, masa aku yang harus bilang?"

 

"Ah……diet?"

 

"Iya. Aku tipe yang mudah gemuk."

 

Memang benar Ikoma-san agak berisi meskipun bertubuh kecil. Meskipun begitu, Ritsuka juga kadang-kadang berbicara tentang diet, tetapi menurutku mereka berdua kurus. Aku tahu bahwa nilai-nilai seperti itu berbeda antara pria dan wanita, tetapi rasanya sayang untuk mengurangi nasi atau roti.

 

"Menurutku Ikoma-san sudah baik-baik saja begitu. Tidak ada gunanya memaksakan diri untuk kurus."

 

Seandainya aku memikirkan tentang pertempuran, terlalu kurus itu──apa yang kupikirkan? Lagipula, bentuk tubuh adalah urusan masing-masing. Apalagi dengan bawahan, aku tidak seharusnya memberikan pendapat seperti itu.

 

"Hmm……kalau begitu, aku tidak akan memaksakan diri. Kalau senpai bilang begitu! Mau bagaimana lagi!"

 

"Tidak, tidak, maaf, maaf. Lakukan sesukamu──……!?"

Aku merasa ada sesuatu yang dingin menyentuh tengkukku, dan aku tanpa sadar menoleh ke belakang. Tetapi, tidak ada pelayan atau pelanggan yang berdiri di sana, dan tidak ada apa pun yang benar-benar menyentuh leherku.

 

(Tapi tadi itu jelas, niat membunuh……)

 

"Ada apa, senpai? Kalau mau ke toilet, ada di dalam restoran lho?"

 

"Ah, maaf, bukan apa-apa. Aku hanya berpikir ada panggilan dari kantor."

 

"Sering terjadi ya~. Ponsel kantor dibagikan ke semua orang, tapi aku benar-benar tidak ingin ada panggilan di hari libur! Meskipun kami di bagian ini jarang mengalaminya……!"

 

"Ya," jawabku sambil mengangguk, dan aku berjaga-jaga melihat sekeliling. 'Musuh' tidak ada lagi bagiku sekarang. Kalaupun ada, itu adalah pekerjaan sehari-hari, tetapi dunia ini penuh dengan hal yang tidak terduga.

 

Aku memasukkan tanganku ke saku jas dan memeriksa saku bagian dalam dengan jariku.

 

Sebagai pekerja kantoran, tentu saja aku tidak membawa senjata. Tetapi, aku membawa sesuatu yang bisa menjadi senjata.

 

"……Senpai, dulu pernah berolahraga? Semacam bela diri?"

 

"Eh? Tidak, aku selalu langsung pulang. Bukannya aku sudah pernah bilang?"

 

"Sepertinya aku pernah dengar di acara minum-minum sebelumnya, tapi aku masih agak tidak percaya. Senpai itu, agak berbeda dengan orang lain? Secara keseluruhan."

 

"……Benarkah? Aku berbeda dengan orang lain?"

 

Ikoma-san mengatakannya dengan tenang, tetapi aku cukup terkejut di dalam hati. Aku hidup dengan berpura-pura normal, bukan, aku ingin menjadi normal. Jika aku mau, berlari di antara gedung-gedung bukanlah masalah, tetapi apakah ada pekerja kantoran seperti itu di dunia ini? Tentu saja tidak ada. Aku seharusnya pekerja kantoran biasa yang diakui oleh semua orang……tetapi.

 

"Jangan-jangan maksudmu aku orang yang tidak becus dalam pekerjaan? Kalau begitu aku sangat tersinggung."

 

"Tidak, bukan tentang pekerjaan. Ini firasat wanita, atau insting. Kalau kami diibaratkan herbivora, hanya senpai yang seperti serigala. Ah, nama depan senpai tidak ada hubungannya dengan ini lho?"

 

"Hahahaha……yah, serigala juga mirip anjing, anggap saja begitu."

 

Aku sempat berpikir Ikoma-san mungkin tahu tentang masa laluku, tetapi itu tidak mungkin. Dia hanya memiliki intuisi yang tajam. Ritsuka juga begitu, wanita memang memiliki ketajaman yang aneh.

Aku bukan serigala. Aku anjing. Anjing masyarakat, anjing perusahaan. Jika disuruh memberi tangan, aku akan memberikannya dengan patuh, anjing yang taat.

 

Pekerja kantoran pasti semuanya anjing. Tidak mungkin hanya aku yang bukan anjing.

 

"Ah, makan siangnya datang! Tidak apa-apa, senpai juga lebih baik begitu!"

 

"O-oke……"

 

Sambil merasakan sesuatu yang mengganjal, kami menyelesaikan makan siang kami──

 

 

***

 

Aku berniat mentraktir, tetapi Ikoma-san bersikeras menolak, jadi kami memutuskan untuk membayar sendiri-sendiri.

 

Makanannya enak, dan karena aku senior, aku ingin mentraktirnya sebagai ucapan terima kasih karena sudah mengenalkan tempat makan ini.

 

"Kalau ditraktir, nanti kesannya aku mengajak senpai hanya karena ingin ditraktir!"

 

"Begitukah? Aku sih tidak masalah."

 

"Kalau aku ingin ditraktir, aku akan mengajak dengan niat itu kok. Ayo pergi lagi lain waktu!"

 

"Dengan niat seperti apa……? Sudahlah. Kalau aku lupa bawa bekal lagi, kita pergi lagi."

 

Itu terdengar seperti ucapan yang jarang terjadi, atau bahkan bisa diartikan sebagai ucapan yang tidak akan terjadi lagi, tetapi Ikoma-san menjawab dengan semangat, "Baik!" Kami hanya perlu kembali ke kantor sebelum jam istirahat berakhir. Waktunya masih cukup.

 

"Ikoma-san. Mampir ke minimarket, beli kopi──"

 

"Kya!"

 

Saat aku akan mengusulkan itu, Ikoma-san berteriak.

 

Seorang pria yang mengenakan topi menutupi wajahnya, mendorong Ikoma-san dengan satu tangan. Bersamaan dengan itu, dia merampas tas tangannya dan berlari kencang. Itu adalah penjambret.

 

Aku sempat ragu sejenak, tetapi aku lebih dulu menangkap Ikoma-san dengan satu tangan.

 

"Kamu tidak apa-apa? Tidak ada luka?"

 

"I-iya. Tapi, tasku! Ini, perampok!?"

 

"Itu penjambret. Apa akhir-akhir ini keamanannya buruk ……"

Dulu saat aku pergi ke toko perangkat keras dengan Ritsuka, aku juga bertemu dengan anak buah yakuza. Meskipun dunia ini damai, pasti ada sejumlah orang yang mengganggunya.

 

Aku tidak panik. Ikoma-san sepertinya tidak terluka, dan pelaku berada dalam jangkauanku.

 

"Itu, senpai ──"

 

"Tidak masalah. Aku akan segera menangkapnya."

 

Aku memasukkan tangan yang kosong ke dalam jas dan mengeluarkan sebuah pulpen. Hanya dengan sebuah pulpen, bisa menjadi senjata tergantung bagaimana cara menggunakannya. Untung aku sudah memeriksanya tadi.

 

(Niat membunuh tadi, mungkinkah dari orang itu? Tidak mungkin……)

 

Aku mengayunkan lenganku dengan ringan dan melempar pulpen itu. Tidak ada orang yang lewat di antara aku dan pria itu.

 

Pulpen yang kulempar menancap di betis pria itu, dan pria itu tersandung dan jatuh.

 

"Tunggu sebentar. Kalau ada kesempatan, laporkan, kalau tidak, tetap di sini saja."

 

"B-baik. Eh, cepat──"

 

Aku melepaskan Ikoma-san dari lenganku dan berlari kecil mendekati pria yang mencoba bangun.

 

"Hei, jangan bergerak. Apa yang kau lakukan di siang hari bolong seperti ini."

 

"A……!? Guh!"

Aku membanting pria itu ke tanah. Lebih mudah daripada melipat kardus. Usia pria itu sekitar 30-an. Aku tidak tertarik atau tahu alasannya melakukan kejahatan, tetapi merampas tas bawahan ku adalah akhir dari keberuntungannya.

 

Orang-orang di sekitar mulai berkerumun. Mungkin agak mencolok……

 

(Tidak, aku tidak melakukan gerakan aneh, dan ini demi Ikoma-san. Seorang pekerja kantoran yang baik menangkap penjambret. Bukankah itu cerita yang umum?)

 

Sekitar sepuluh menit kemudian, polisi (sepertinya Ikoma-san yang melapor. Hebat) datang dan membawa pria itu pergi.

 

Mereka meminta aku dan Ikoma-san untuk ikut ke kantor polisi untuk dimintai keterangan, tetapi kami menolak dengan alasan "harus bekerja." Aku sudah memberikan kartu nama, jadi mereka akan menghubungi jika ada sesuatu.

 

──Akhirnya, kami kembali ke kantor tepat sebelum jam makan siang berakhir.

 

"Hai, Saigawa-senpai. Ada waktu sebentar?"

 

"Hm? Ada apa, Ootaka. Bukannya kau sedang survei pasar?"

 

Segera setelah kembali ke kantor, Ootaka, bawahanku, memanggilku.

 

"Saya kembali sebelum makan siang. Begini, tadi……kira-kira saat senpai pergi makan dengan Ikoma, saya bertemu istri senpai di pintu masuk kantor."

 

"………… Hah? Ritsuka?"

 

"Ya. Orang dengan rambut perak? Orang Jepang……ah, sudahlah. Sepertinya dia datang untuk mengantarkan bekal, tapi saya tahu senpai pergi makan di luar, jadi saya beritahu dan dia langsung pergi. Senpai tidak bertemu istri di luar?"

 

"Tidak bertemu……"

 

"Begitu ya. Tapi istrinya sangat perhatian."

 

Ootaka memuji Ritsuka dengan nada "wah, hebat", tapi aku sangat khawatir.

 

Aku sudah mengirim pesan ke Ritsuka, "Maaf, aku lupa bawa bekal." Ritsuka membalas dengan "OK!" dan stiker misterius yang tidak kumengerti (karakter boneka yang pernah kulihat sebelumnya).

 

Memikirkan waktu dari rumah ke kantor, dia pasti sudah menyadari aku lupa bekal sebelum aku mengirim pesan dan bergegas mengantarkannya saat jam makan siang. Dia sengaja tidak memberitahuku, mungkin ingin memberi kejutan.

 

"Aaaaa! Aku sudah melakukan hal yang sangat buruk!!"

 

"Jangan khawatir. Kalau begitu saya permisi."

 

"Dingin sekali kau!!"

 

Ootaka adalah bawahan yang berbeda dari Ikoma-san, dia sangat santai dan sulit ditebak. Dia cukup kompeten dalam pekerjaan, jadi dia termasuk orang yang hebat……ah, sudahlah, dia sudah pergi.

 

Pasti Ritsuka datang ke sini di sela-sela pekerjaannya. Dan aku menyia-nyiakannya……

 

Aku akan minta maaf secepat kilat begitu pulang. Ah, kenapa pekerjaan tidak cepat selesai……aku ingin pulang cepat……

 

"Itu, senpai."

 

"Eh……? Ada apa, Ikoma-san. Aku sedang agak stres sekarang……"

 

"………… Tidak, bukan apa-apa. Terima kasih untuk tadi."

 

"Ah, tidak apa-apa. Siapa pun pasti akan melakukan hal yang sama dalam situasi itu……"

 

Saat aku mengatakannya dengan lesu, Ikoma-san membungkuk dan kembali ke tempat duduknya. Aku mendengar dia berkata pelan, "Tidak juga," tapi aku tidak peduli saat ini.

 

 

***

 

 

"Selamat datang kembali, Rou-kun Terima kasih atas kerja kerasnya"

 

"Ah, ah. Aku pulang, Ritsuka."

 

Tepat di hari seperti ini, lembur terjadi, dan aku pulang lebih lambat dari biasanya. Begitu sampai di rumah, Ritsuka menyambutku dengan senyum lebar, membuatku terkejut.

 

Aku pikir Ritsuka mungkin marah, tapi ternyata tidak juga.

 

"Kamu pasti lapar kan? Aku hangatkan makanannya!"

 

"Terima kasih. Soal siang tadi……maaf, kita tidak bertemu."

 

"Tidak apa-apa, jangan dipikirkan! Aku juga ada urusan ke kantor hari ini, jadi sekalian saja mengantarkannya! Hal seperti ini bisa terjadi!"

 

"Begitu ya. Tapi tetap saja, aku benar-benar minta maaf. Sebagai permintaan maaf, lain kali aku akan membelikan sesuatu yang kamu suka."

 

"Tidak perlu dipikirkan~"

 

Ritsuka tertawa riang. Aku pun tanpa sadar ikut tersenyum.

 

Memaafkan adalah hal yang penting dalam hubungan suami istri. Kali ini aku sepenuhnya salah. Dan Ritsuka memaafkanku dengan hati yang lembut. Ah, betapa cintanya aku pada istriku. Malaikatkah dia?

Jadi, aku mengganti pakaian dan pergi ke meja makan.

 

──Hanya nasi instan dalam kemasan yang ada di sana.

 

"………… Ritsuka. Ini……?"

 

"Nasi. Sudah kuhangatkan."

 

"Eh?"

 

Memang benar itu nasi, dan memang untuk dihangatkan dan dimakan. Dia tidak berbohong.

 

Namun, begitu aku melihat nasi instan yang mengepul ini, aku merasa suhu ruangan turun beberapa derajat. Kalau tidak salah Ritsuka punya Breath of Blessing bertipe es. Sudah lama tidak kulihat……

 

Bukan itu intinya. Aku tidak menyangka pemandangan meja makan yang dingin seperti pasangan suami istri yang sudah lama menikah akan terjadi di antara kami, yang bahkan belum setahun menikah.

 

"Ehー……ah, Ritsuka juga pergi ke kantor ya. Jadi tidak sempat masak?"

 

"Tidak juga…… Aku sudah pulang sore kok."

 

"Ah, begitu…… Ngomong-ngomong, makanan untuk Ritsuka……?"

 

"Aku sudah makan. Bekal yang kemarin masih ada."

 

"Ah ah"

 

Tidak salah lagi. Aku yang salah.

 

Ritsuka……sangat marah……!!

 

Eh, lalu kenapa dia menyambutku dengan senyum di awal? Untuk membuatku senang lalu menjatuhkanku? Ibliskah dia?

 

Ritsuka berbaring di sofa tanpa melihat ke arahku. Dia memancarkan aura yang sulit didekati.

 

‘Apa kau melakukannya?’

 

"…………"

 

‘Itu…… Apa kau melakukannya?’

 

"Hei, diamlah."

 

Setelah makan, aku mencuci piring dengan tenang, dan Nyan-kichi berbicara padaku. Lonceng di kalungnya yang baru-baru ini dipasangkan oleh Ritsuka berdering kecil. Sepertinya dia sedang tertawa.

 

‘Hei, apa yang kau lakukan pada wanita itu? Dia memancarkan niat membunuh yang luar biasa sejak kembali dari luar. Aku sangat ketakutan…… aku bahkan mengompol di dekat sana hari ini.’

 

"Itu hanya karena dia tidak terlatih dengan benar……!!"

 

Dengan frekuensi satu dari tiga kali, Nyan-kichi buang air bukan di pasir toilet. Ritsuka berkata, "Kita akan mempelajarinya perlahan," tapi dia hanya menertawakan orang yang membersihkan kotorannya.

 

Meskipun Nyan-kichi sangat menyebalkan──namun, untungnya aku bisa berbicara dengannya saat seperti ini.

 

Aku selesai mencuci piring dan keluar ke lorong, memberi isyarat pada Nyan-kichi.

 

‘Oh, kau meniru kucing yang memanggil keberuntungan? Tidak mirip.’

 

"Bukan itu…… Kau pasti melihat Ritsuka kan? Beritahu aku bagaimana keadaannya, kumohon."

 

Ritsuka cukup lama merajuk kalau sedang kesal.

Aku sudah beberapa kali bertengkar dengannya, dan setiap kali aku mencari cara untuk berbaikan. Nyan-kichi pasti punya informasi yang tidak aku miliki, jadi pertama-tama aku akan menanyakannya lalu menyusun rencana.

 

‘Ini sikap meminta bantuan pada kucing? Begitukah……?’

 

"……Aku akan memberimu makanan kucing diam-diam nanti."

 

‘Hmm……baiklah kalau begitu.’

 

"Tiba-tiba berbicara normal."

 

‘Entah kenapa wanita itu terus mengatakan 'bodoh'. Kecerdasan ku berbisik, 'bodoh' itu tentangmu, dan kau bodoh…… singkatnya, bodoh itu kau, dan kau bodoh.’

 

"Itu sepenuhnya benar, jadi aku tidak bisa berkata apa-apa, ada lagi?"

 

‘Entahlah…… sepertinya dia mengatakan sesuatu tentang papan. Aku lupa yang lainnya.’

 

"Papan…… mungkinkah?"

 

Mungkinkah tentang restoran Italia itu. Kalau dipikir-pikir, niat membunuh tajam yang kurasakan saat itu bukanlah sesuatu yang bisa dipancarkan orang biasa. Jika itu berasal dari Ritsuka yang marah, semuanya masuk akal.

 

(Dia sangat marah melihat suaminya makan di luar dengan seenaknya, bukan bekal yang sudah susah payah dibuatnya……wajar dia marah.)

 

‘Sebagai senpai dalam kehidupan kucing, aku beri saran──aku suka daging. Aku juga suka ikan.’

 

"Itu saran yang tidak perlu……baiklah, akan kuingat."

 

Tidak diragukan lagi dia lebih senpai darinya dalam hal kehidupan kucing, tapi sudahlah.

Aku segera kembali ke ruang tamu dan perlahan mendekati Ritsuka yang berbaring di sofa.

 

"Itu, Ritsuka……tidak, Ricchan? Boleh bicara sebentar?"

 

Aku mencoba dengan sebutan yang jarang kugunakan. Dan aku mencoba mengeluarkan suara setinggi mungkin.

 

"Aku sedang sibuk."

 

"Tidak terlihat begitu sih……? Sebentar saja?"

 

"Hmph. Singkat saja."

 

Aku tidak ingin dia menggunakan bahasa formal. Aku merasa ada jarak……

 

Ritsuka bangkit dan memeluk bantal sambil menatapku dengan curiga. Ada kemungkinan untuk berbicara, jadi dia mungkin tidak terlalu marah.

 

Dulu, saat Ritsuka benar-benar marah, aku bahkan tidak bisa berbicara dengannya. Artinya, kali ini……aku bisa melewatinya!

 

"Aku benar-benar minta maaf, Ritsuka. Padahal kamu sudah mengecek setiap pagi, tapi aku malah lupa…… Tapi, aku selalu berpikir masakan Ritsuka yang paling enak, apa pun yang kumakan. Aku tidak akan pernah lupa bekal lagi, dan kalaupun lupa, aku tidak akan makan di luar. Aku bersumpah di sini──"



Paan!

 

Sebuah bantal menghantam wajahku. Kekuatan benturannya begitu besar hingga terdengar suara ledakan, jika aku tidak sekuat ini, tulang hidungku mungkin sudah patah.

 

Bukan itu intinya. Tunggu dulu? Aku sudah meminta maaf dengan benar, mengidentifikasi masalah, dan menyampaikan poin perbaikan kan? Lalu kenapa jadi begini……Ritsuka memancarkan aura yang sangat gelap?

 

"Eh, itu, Ricchan……?"

 

Ritsuka berjalan dengan langkah cepat menuju kamarnya. Tanpa sadar aku mengulurkan tangan ke arah Ritsuka.

 

"Jangan sentuh──Feather Hunter"

 

"Eee~……"

 

Ujung yang tajam diarahkan padaku. Entah sejak kapan Ritsuka memegangHibari. Mungkin hanya di rumahku pertengkaran suami istri melibatkan katana sungguhan. Setidaknya aku berharap dia tidak menghunusnya.

 

Ritsuka memanggilkuFeather Hunter──itu berarti dia benar-benar sangat marah.

 

Aku sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa pada Ritsuka yang seperti ini, dan pada akhirnya hanya bisa melihat punggungnya menjauh.

 

(Tidak tidak tidak tidak! Apa yang salah denganku!? Tadi dia memang marah, tapi tidak sampai semarah ini kan!? Kenapa bisa memburuk secepat ini!?)

 

Aku bukanlah suami yang bisa memahami sepenuhnya perasaan istrinya.

 

Jadi, aku sama sekali tidak tahu kapan dan di mana aku menginjak ranjau Ritsuka.

(Ini gawat……padahal sebentar lagi hari ulang tahun pernikahan, membuat masalah di sini sangat tidak baik!!)

 

Hari ulang tahun pernikahan tinggal kurang dari dua minggu lagi. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, Ritsuka yang benar-benar marah akan berlangsung selama beberapa hari, dan bahkan setelah itu masih akan ada dampaknya. Untuk menyambut hari ulang tahun pernikahan dalam kondisi yang baik, aku harus meredakan amarahnya secepat mungkin.

 

‘Hei, manusia jantan.’

 

"Apa……"

 

‘Ternyata kadang-kadang──aku juga ingin makan sayur.’

 

"Lah……!!"

TLN: Kucingnya juga takut cok awokaokwoakwk

 

 

***

 

 

Keesokan paginya. Tidak ada percakapan antara aku dan Ritsuka. Pagi yang berat dan menyakitkan.

 

Ritsuka tidak mau menatap mataku, jika diungkapkan dengan onomatope, dia sedang "tsun". Bibirnya tertutup rapat membentuk garis lurus, dan pipinya terlihat sedikit menggembung. Jika aku dengan gegabah memeluknya sambil berkata, "Maaf untuk kemarin. Ritsuka juga cantik hari ini, aku mencintaimu," apa yang akan terjadi?

 

Jawabannya adalah Breath of Blessing dan Swirling Ice Ritsuka akan berterbangan dari segala arah.

 

Dulu, saat kami baru mulai berpacaran, hal seperti itu sering terjadi saat kami bertengkar hebat.

 

Ritsuka menunjukkan cintanya padaku secara langsung, tapi dia sama sekali bukan wanita murahan.

 

"Nee, Ritsuka──"

 

Don!

 

Seolah memotong perkataanku, Ritsuka meletakkan kotak bekal di atas meja.

 

Eh……dalam situasi seperti ini pun dia masih membuat bekal? Tapi, ada sesuatu yang aneh, aku merasa aura yang sangat gelap terpancar dari kotak bekal itu.

 

"Ah, terima kasih. Aku selalu terbantu."

 

Saat aku mengucapkan terima kasih sambil menatap matanya, Ritsuka membuang muka. Sepertinya masih belum ada celah untuk mendekatinya. Dia tidak membawaHibari, jadi sepertinya puncak amarahnya sudah lewat.

 

Perutku terasa sakit. Perutku sudah sering sakit di kantor, jika di rumah pun seperti ini, mungkin suatu hari nanti aku benar-benar akan muntah darah……

 

 

***

 

 

Isi kotak bekal itu hanyalah nasi putih polos. Tidak ada lauk. Tidak ada umeboshi atau furikake.

 

Apakah ini makanan untuk pemain bisbol SMA yang ingin memperbesar tubuhnya? Aku bergumam dalam hati sambil menghabiskan semuanya, dan segera menelepon seseorang saat jam makan siang.

 

"──begini kejadiannya……"

 

"Hee, begitu ya. Rikka masih kekanak-kanakan."

Tidak ada reaksi besar yang diberikan. Orang yang sangat mengenal Ritsuka──aku sedang berkonsultasi dengan sahabatnya, Kuri Yoshino-san.

 

Kuri-san selalu menjadi penengah antara aku dan Ritsuka sejak dulu, dia wanita yang sangat cakap. Meskipun seumuran dengan Ritsuka, mentalnya sangat dewasa. Bukan berarti Ritsuka kekanak-kanakan.

 

"Hei, Saigawa-san. Aku ingin memastikan sesuatu, dengan siapa kamu makan siang?"

 

"Dengan bawahanku di departemen yang sama."

 

"……Boleh kutebak? Apa dia gadis muda yang wajahnya cukup imut?"

 

"Ah. Dia gadis muda. Kalau dilihat secara umum, wajahnya cukup imut."

 

Dia bisa menebak sejauh itu dalam sekejap. Aku sekali lagi menyadari bahwa daya pengamatan Kuri-san sangat cocok untuk dukungan dari belakang.

 

"Sekali lagi aku ingin memastikan, Saigawa-san meminta maaf karena Rikka marah karena kamu makan di luar padahal kamu lupa membawa bekal, kan?"

 

"Begitu……"

 

"Baiklah. Kalau begitu aku akan memberitahu jawabannya, dengarkan baik-baik. Rikka mungkin cemburu melihatmu makan dengan gembira bersama bawahanmu itu. Mengerti? Aku tutup teleponnya ya?"

 

"Tunggu sebentar. Hah? Kenapa cemburu?"

 

Mungkinkah, dia mencurigaiku selingkuh? Tentu saja tidak, aku selalu memakai cincin tunanganku saat bekerja. Ikoma-san pun tahu bahwa aku sudah menikah. Lagipula, aku sama sekali tidak tertarik pada Ikoma-san, dan dia pun begitu. Kami hanya senpai dan kouhai di tempat kerja.

"Aku berniat setia pada Ritsuka sampai mati. Ini kesalahpahaman yang besar."

 

"Saigawa-san…… sudahlah. Coba pikirkan sebaliknya. Kalau Saigawa-san mengantarkan barang Rikka yang ketinggalan, lalu melihat Rikka makan dengan akrab bersama senpaii tampan di tempat kerjanya, apa yang akan kamu pikirkan?"

 

"Eh? Membunuh. Membunuh orang itu."

 

"Kalau begitu kamu sudah mengerti kan! Menyebalkan sekali pasangan ini! Urus saja sendiri!!"

 

Dia mengatakannya setengah membentak dan memutus panggilan.

 

Seperti yang dikatakan Kuri-san, jika dipikirkan dari sudut pandang Ritsuka, bagaimanapun keadaannya, itu memang situasi yang menimbulkan rasa tidak nyaman. Hanya saja, jika aku, aku akan bergerak untuk menghajar senior tampan imajiner itu, tetapi Ritsuka melampiaskan amarahnya padaku, bukan pada Ikoma-san.

 

……………… Ya. Semuanya salahku.

 

"──Kepala Departemen. Bolehkah saya pulang lebih awal siang ini?"

 

"Katakan alasannya."

 

"Saya ingin meminta maaf pada istri saya."

 

"Bodohkah kau. Kembali bekerja."

 

Sial, biarkan aku pulang, perusahaan hitam……!! Akan kulaporkan ke pengawas tenaga kerja……!!

 

Namun, entah karena doaku terkabul, hari ini aku bisa pulang tepat waktu. Saat pulang, aku membeli kue sus kesukaan Ritsuka dan bergegas pulang.

 

"Aku pulang—"

"Ah, selamat data──……"

 

Entah karena dia lengah atau kebetulan ada di dekat pintu masuk, Ritsuka membalas sapaanku. Tapi, dia segera memalingkan wajahnya dan mengangkat Nyan-kichi yang sedang berjalan di dekatnya, seolah berkata 'Aku sedang marah sekarang'.

 

Ritsuka lalu bergegas pergi sambil menyembunyikan wajahnya dengan Nyan-kichi.

 

"Selamat datang kembali, Tuan"

 

(Hanya saat seperti ini dia membalas dengan sopan.)

 

Meskipun begitu──Ritsuka memang punya sisi kekanak-kanakan, tapi dia tidak bodoh. Dia tidak akan berpikir aku benar-benar selingkuh, dan dia sendiri pun tahu bahwa ini hanya amarah sesaat. Hanya saja, setelah terlanjur marah, mungkin sulit baginya untuk tahu bagaimana cara berbaikan. Itu hal yang wajar bagi manusia. Maka sebagai suami, aku harus mendekati Ritsuka dengan benar.

 

"Ritsuka."

 

Setelah selesai berganti pakaian, aku duduk di sofa dan memanggil Ritsuka.

 

Aku menepuk-nepuk tempat di sebelahku. Maksudku, 'kemarilah'.

 

──Nyan-kichi yang datang.

 

"Bukan kau……!!"

 

‘Eh……?’

 

Biasanya kau tidak terlalu datang walau dipanggil……! Sengaja ya……!?

 

Namun, Ritsuka datang ke arahku, mengangkat Nyan-kichi, dan duduk.

 

"Mari kita bicara baik-baik. Begini, aku minta maaf atas kesalahpahamanku kemarin. Tapi, akan kujelaskan lagi, wanita yang bersamaku adalah bawahanku, Ikoma-san. Ingat, aku pernah bilang ada bawahan yang sangat hebat? Dia orangnya, dan tentu saja aku sama sekali tidak punya perasaan aneh padanya. Serius. Aku hanya setia pada Ritsuka."

 

"Kamu sudah dengar dari Yoshino kan."

 

"U…… Maaf karena aku kurang peka. Memang benar."

 

Tajam sekali…… Dia pasti berpikir aku tidak mungkin menyadari masalahnya secepat itu.

 

Ritsuka memasang wajah agak tidak puas. Aku menatapnya lekat-lekat, tapi dia memalingkan muka.

 

"………… Aku tidak pernah dengar kalau bawahmu itu gadis muda."

 

"Iyakah aku tidak bilang?"

 

"Kamu hanya bilang dia anak tahun kedua."

 

"Ah……"

 

Karena aku hanya memberikan informasi minimum karena tidak perlu menceritakan detail tentang Ikoma-san, Ritsuka salah paham mengira Ikoi-san adalah laki-laki.

 

"Meskipun begitu, sudah kubilang berkali-kali, Ikoma-san hanya bawahanku──"

 

Saat aku akan melanjutkan, Ritsuka mengangkat Nyan-kichi dan meletakkannya di depan wajahnya.

 

"Aku mengerti."

 

Dan begitu saja, dia melanjutkan seolah-olah Nyan-kichi yang berbicara, seperti boneka ventriloquist.

"Eh?"

 

‘Aku mengerti.’

 

(Jangan katakan hal yang sama.)

 

"Rou-kun tidak salah, dan aku mengerti ada hubungan senpai-kouhai di kantor. Hanya saja, saat aku melihat Rou-kun memeluknya, aku langsung kesal. Padahal Ritsuka yang salah, tapi malah bersikap jahat dan menjadi wanita yang menyebalkan. Aku harus minta maaf…… begitu kata Nyan-kichi."

 

"Ritsuka──"

 

‘Hah? Aku tidak bilang begitu.’

 

(Katakan hal yang sama)

 

Kucing yang tidak peka. Ritsuka menggeser Nyan-kichi dan menatapku seolah mengintip.

 

"……Maaf, Rou-kun. Padahal Rou-kun tidak akan pernah selingkuh."

 

"Tidak, aku juga salah. Tapi jika kita berdua merasa bersalah, bagaimana kalau kita tidak perlu saling meminta maaf lagi?"

 

"Um……"

 

"Jadi hanya aku yang tidak salah?"

 

Aku mengabaikan Nyan-kichi yang menghela nafas dan meletakkan tanganku di bahu Ritsuka, menariknya mendekat. Ritsuka pun bersandar padaku dengan jujur. Berat dan panas tubuh Ritsuka terasa di tubuhku, dan aku langsung merasa pertengkaran ini sudah berakhir. Baik aku maupun Ritsuka tidak ingin melanjutkan pertengkaran ini lebih lama.

 

"Entah kenapa. Aku merasa sudah lama tidak bertengkar dengan Ritsuka."

"Mungkin……"

 

"Dulu lebih parah lagi, Ritsuka. Kamu membekukan semua barang pribadiku, lalu hanya membekukan bagian bawah pergelangan kakiku hingga aku tidak bisa bergerak. Cara marahnya sangat teknis. Kurasa kucing yang tidak jinak akan mengamuk seperti itu jika dipaksa mandi."

 

"I-itu……! Aku masih muda waktu itu! Ah, aku masih muda sekarang juga! Aku tidak akan melakukan hal berbahaya seperti itu lagi! Lagipula, Rou-kun juga, waktu itu entah kenapa……entah bagaimana gitu!"

 

"Aku dalam kondisi apa waktu itu……"

 

Misterius. Ritsuka menatap kosong ke udara sejenak, lalu bergumam pelan.

 

"Aku takut Rou-kun menghilang."

 

"Aku juga takut Ritsuka menghilang."

 

"Aku akan selalu berada di sisimu."

 

"Aku juga."

 

Berapa banyak orang yang bisa memahami kita sepenuhnya yang bisa kita temukan selama hidup? Bagiku, Ritsuka, dan bagi Ritsuka, aku, adalah orang seperti itu. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa satu sama lain.

 

Untuk beberapa saat, aku dan Ritsuka saling mendekat tanpa bicara. Di tengah-tengah, Nyan-kichi pergi entah ke mana, mungkin karena bosan.

 

"Nee, Rou-kun."

 

"Hmm?"

 

"Bawahanmu itu……punya pacar?"

"Eh? Ah, entahlah."

 

"Tanyakan padanya."

 

"Kenapa……?"

 

Saat aku mengungkapkan keraguanku, Ritsuka menempelkan wajahnya ke perutku. Lalu dia mencubitku.

 

"Panas! Iya iya, aku mengerti! Akan kutanyakan!"

 

"Lalu, peluk aku lebih erat. Lebih erat dari yang kamu lakukan padanya."

 

"Baik baik."

 

Entah kenapa, Ritsuka tampaknya memiliki semacam kewaspadaan aneh terhadap Ikoi-san. Padahal itu hanya kekhawatiran yang tidak berdasar.

 

Yah, tidak ada alasan untuk menolak, jadi aku memeluk Ritsuka dengan erat.

 

"Dan──menangkap penjambret itu, kamu harus melakukannya dengan lebih diam-diam."

 

"Eh? Kurasa aku melakukannya dengan cukup diam……"

 

"Kurasa itu cukup mencolok."

 

"Mau bagaimana lagi, kan sedang kecopetan."

 

"Hmm……ya sudahlah."

 

Dari mana Ritsuka memataiku? Aku merasakan niat membunuh saat berada di restoran Italia, jadi mungkin di sekitar sana. Tapi, tidak ada gunanya mengetahui itu sekarang……

 

"Rou-kun, katakan 'aku mencintaimu' 10.000 kali."

"Tidak terlalu banyak……? Tenggorokanku bisa sakit……"

 

"Katakan~~!"

 

Di dalam pelukanku, Ritsuka meronta-ronta seperti Nyan-kichi saat sedang kesal.

 

Ada banyak hal yang tidak bisa tersampaikan tanpa diucapkan──itu kalimat yang kadang diucapkan Ritsuka. Aku, atau sebagian besar pria, merasa malu atau enggan dengan kalimat-kalimat langsung seperti itu. Mungkin kami berpikir jika terlalu mudah diucapkan, kata-kata itu akan terdengar murahan. Tapi pada akhirnya, tidak ada ruginya membisikkan cinta. Setidaknya, bagi mereka yang saling mencintai.

 

"Aku mencintaimu, Ritsuka."

 

"…………"

 

Rontaan itu berhenti. Kupikir dia sudah puas……tapi, Ritsuka menatapku.

 

"Aku ingin kamu mengatakannya dengan lebih keren, seperti adegan di drama."

 

"Ritsuka selalu menyampaikan segalanya dengan kata-kata……"

 

"Dengan suara yang keren"

 

"Apakah permintaannya tidak meningkat?"

 

Haruskah kupikir ini lebih mudah daripada mengatakan 10.000 kali? Lagipula, ini juga kesempatan yang tepat untuk melanjutkan 'rencana'ku. Aku mengulurkan tanganku ke telinga kiri Ritsuka.

 

Rambutnya yang seperti benang perak berayun lembut. Tidak ada tanda-tanda rambut bercabang atau rusak, dan rambut itu berkilauan terkena cahaya, warna yang tidak mungkin didapat dari pewarnaan rambut.

Rambut asli Ritsuka, yang tampaknya berubah kualitasnya karena efek Breath of Blessing, bisa dibilang merupakan ciri khas terbesarnya.

 

Teksturnya juga bagus, aku pernah menyentuh sutra sebelum diproses karena pekerjaan, dan teksturnya mirip. Dia sendiri juga sangat merawat rambutnya, sangat berbeda dengan rambut hitamku yang agak kasar.

 

"Ritsuka──"

 

Aku sedikit mengangkat rambut peraknya yang menjuntai seperti tirai dan mendekatkan wajahku. Aroma manis memenuhi rongga hidungku. Mungkin aroma perawatan rambut yang hanya digunakan Ritsuka. Pasti sesuatu yang tidak mungkin didapatkan pria. Aku mengendus. Aku ingin paru-paruku dipenuhi dengan Ritsuka.

 

"Tu-tunggu sebentar, Rou-kun?"

 

"Hmm."

 

Aku menjawab setengah hati. Aku ingin terus menciumnya selamanya. Aku sangat menyukai aroma ini……tidak, aroma Ritsuka. Aku sendiri tidak begitu mengerti, tapi setiap kali aku menciumnya, aku merasa otakku meleleh.

 

Aku meletakkan daguku di bahu Ritsuka, dan kali ini menggerakkan hidungku dari leher hingga tengkuknya. Aromanya berubah, dari manis menjadi lebih segar, berbeda dengan aroma rambutnya. Ini mungkin aroma sabun mandi. Aku sama sekali tidak berpikir kami menggunakan sabun yang sama.

 

"Ge-geli tahu."

 

"Hmm……"

 

Aku tidak tahu seberapa tajam penciumanku, tapi aroma Ritsuka semuanya berbeda tergantung tempatnya. Sayangnya, masih banyak tempat yang belum pernah kucium. Terutama bagian bawah tubuhnya──

"Hentikan!!"

 

"Uwa!"

 

──Saat aku sedang memikirkan di mana aku akan menciumnya selanjutnya, Ritsuka mendorongku dengan keras.

 

Saat jarak memisahkanku darinya, pikiranku kembali. Kabut Ritsuka yang memenuhi otakku menghilang.

 

"Mengendus-endus itu melanggar aturan tahu! Sekarang ini waktunya 'aku mencintaimu'!"

 

"Benarkah?"

 

"Mencium sebanyak itu agak aneh tahu. Dasar mesum!"

 

"Tidak, aku terlalu suka aroma Ritsuka, jadi terbawa suasana."

 

Aku berkata dengan polos, tapi wajah Ritsuka memerah. Mungkin karena harapannya tidak terpenuhi, dia sedikit marah. Yah, dibandingkan dengan sebelumnya, itu seperti senyuman.

 

"Rou-kun benar-benar……mirip anjing."

 

"Mungkin banyak yang bilang begitu."

 

"Kalau terus mengendus-endus, nanti telinga dan ekornya tumbuh lho!"

 

"Seperti Ritsuka yang sebelumnya?"

 

"…… Benar!"

 

Dia tetap bersikeras dengan telinga kucing dan anjing yang tumbuh. Kalau begitu, mungkin suatu hari aku juga akan punya.

 

Bagaimanapun, aku dan Ritsuka akhirnya bertengkar dan berbaikan setelah sekian lama.

Suami istri seharusnya hidup rukun, tetapi terkadang ada juga perselisihan. Hanya saja, setelah berselisih, hubungan harus lebih erat dari sebelumnya.

 

Aku ingin terus bermesraan dengan Ritsuka selamanya, tapi aku belum makan malam setelah pulang kerja. Saat aku mulai rileks, perutku berbunyi, dan Ritsuka terkikik.

 

"Mari kita makan! Hari ini aku sudah masak dengan benar."

 

"Benar. Terima kasih selalu, Ritsuka. Setelah makan, kita makan kue sus."

 

"Hore!"

 

‘Makan! Makan!’

 

Nyan-kichi terbang entah dari mana. Dia sama sekali tidak tertarik dengan kemesraan manusia, tetapi sangat peka terhadap makanan.

 

"Nyan-kichi juga, waktunya makan. Aku akan menyiapkan makanan kering untukmu~"

 

‘Hah? Mana makanan kalengnya?’

 

(Bukankah aku bilang nanti diam-diam……)

 

"……Ah! Aku lupa menanak nasi! Maaf, Rou-kun, nasi putih ini tidak apa-apa?"

 

"Ugh……"

 

Ritsuka memegang sebungkus nasi di tangannya dan menunjukkannya padaku. Suaraku keluar tanpa sadar.

 

Rasanya tidak terlalu buruk, bahkan rasanya enak...

 

Untuk saat ini, aku memutuskan untuk tidak melihat makanan kemasan untuk sementara waktu.














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !