Chapter
1
Ini
hanyalah, hal yang biasa terjadi pada pasangan
"Hei, kita bakal berpisah, ya...?"
Sambil berpikir, apa-apaan ini, aku melihat sekeliling.
Toiro ini, suaranya keras sekali. Memang sudah waktu pulang sekolah, tapi masih ada jeda sebelum kegiatan klub dimulai, jadi teman sekelas kami masih banyak yang ada di dalam kelas. Mudah-mudahan mereka tidak salah paham gara-gara lelucon aneh ini...
Orang yang baru saja mengucapkan kalimat itu, Toiro, berdiri di depanku dengan senyum jahil. Sepertinya dia sudah bersiap pulang, mengenakan blazer dengan syal berwarna camel melilit di lehernya.
"Jangan lebay..."
Sambil menanggapinya, aku kembali menatap kertas di tanganku.
Formulir survei pilihan jurusan. Toiro pasti melihatku menatap formulir itu, lalu sengaja melontarkan lelucon dramatis tadi.
"Lagian, belum tentu kita bakal terpisah. Kamu sendiri mau pilih jurusan apa? Sosial atau Sains?"
Aku melanjutkan pertanyaanku.
Meskipun disebut survei pilihan jurusan, ini bukan sesuatu yang menentukan universitas atau masa depan kami. Sebagai siswa kelas satu, kami hanya diminta memilih jalur sosial atau sains, yang akan mempengaruhi mata pelajaran yang kami pelajari di tahun kedua nanti. Pemilihan ini juga yang akan menentukan pembagian kelas.
"Ah... Aku belum mikirin, sih. Tiba-tiba banget. Baru kemarin kita semua sibuk sama festival sekolah, sekarang mendadak harus kembali ke realita."
Toiro tertawa kecil dengan senyum kecut.
Memang, festival sekolah baru saja diadakan selama dua hari pekan lalu. Setelah libur akhir pekan, hari ini hari Senin, sekaligus awal bulan Desember. Suasana kelas pun masih terasa santai, seolah euforia festival belum sepenuhnya hilang.
Selama beberapa minggu terakhir, kami selalu tinggal di sekolah seusai jam pelajaran untuk mempersiapkan festival. Rasanya seperti dunia yang berbeda. Lalu saat festival tiba, seluruh sekolah dipenuhi kegembiraan. Pasti di acara penutupnya, di berbagai sudut sekolah, ada banyak kisah masa muda yang terukir.
Setelah semua itu, langsung kembali ke rutinitas sekolah seperti biasa... Jujur saja, rasanya sulit. Mungkin teman-teman yang lain juga merasakan hal yang sama. Dan di tengah suasana seperti ini, formulir survei ini dibagikan, seolah-olah menarik kami kembali ke realita.
"Sosial atau sains, ya... Aku sih nggak ada preferensi khusus."
Aku tidak punya mata pelajaran yang sangat aku kuasai atau benci. Juga, tidak punya impian yang bergantung pada pilihan ini. Kalau boleh jujur, aku agak enggan memilih sains, karena harus menghadapi matematika dan fisika tingkat lanjut yang lebih sulit. Aku tidak ingin menghabiskan terlalu banyak waktu untuk belajar...
Tapi, demi memberinya lebih banyak pilihan, aku tidak mengatakannya secara langsung.
"Aku juga belum tahu mau jadi apa di masa depan."
Toiro menatap ke atas dengan tatapan menerawang. Aku menatap pipinya yang bulat, lalu berkata,
"Kalau begitu, mungkin kita nggak bakal terpisah, kan?"
Aku bisa melihat ujung bibirnya perlahan terangkat dalam senyuman.
"Ahaha, iya, ya! Semoga kita bisa satu kelas lagi!"
"Iya."
Masa depan memang masih samar. Tapi kalau bersama Toiro, aku merasa kehidupan sekolah akan tetap menyenangkan.
Batas waktu pengumpulan formulir ini adalah sampai upacara penutupan semester dua. Untuk saat ini, aku memasukkannya kembali ke dalam meja dalam keadaan kosong. Lalu, aku berdiri, bersiap pulang bersama Toiro.
*
"Hari ini, nggak apa-apa kalau kamu nggak bareng Nakasone dan yang lain?"
Toiro biasanya mengobrol dulu dengan Nakasone, Mayuko dan Funami sepulang sekolah, baru setelah itu pulang. Aku dan dia selalu janjian di depan pintu masuk sekolah untuk bertemu. Aku pikir hari ini juga sama. Sambil bersiap pulang dengan santai di bangkuku, aku melihat formulir survei pilihan jurusan. Lalu, tiba-tiba Toiro menyapaku.
"Iya! Urara-chan kan belakangan ini sibuk banget sama persiapan festival sekolah, jadi dia jarang datang ke klub. Makanya, hari ini dia mau pergi lebih awal. Mayu-chan juga, katanya tadi tiba-tiba ada yang batal kerja di tempat part-time, jadi dia langsung lari buat gantiin. Kaede-chan, dia pergi menemui Kasukabe-kun sebelum klub dimulai."
"Ah... pada sibuk semua, ya."
Sambil mengobrol santai, kami pun melewati gerbang sekolah.
"Bener banget. Semua orang sibuk banget. Ini nih, namanya suasana akhir tahun!"
"Tapi kayaknya, kesibukan mereka nggak ada hubungannya sama bulan Desember, sih..."
Saat aku menanggapi dengan nada santai—
"... Eh, eh, tadi kita cukup diperhatiin, ya?"
Toiro tiba-tiba berkata begitu.
"Hm?"
"Pas kita jalan di lorong tadi."
"Ah..."
Memang, aku juga merasakan tatapan orang-orang menusuk-nusuk dari berbagai arah.
Kami baru saja ikut serta dalam Couple Grand Prix di festival sekolah. Di babak final, aku secara terang-terangan mengumumkan bahwa aku dan Toiro pacaran. Mungkin karena itu, setiap kali kami berdua bersama di sekolah, orang-orang jadi melirik kami dan berbisik-bisik di belakang.
Kami jadi pusat perhatian. Dan memang, itulah yang aku inginkan.
Menjadi pasangan yang diakui secara resmi di depan banyak orang. Menjadi pasangan yang diketahui oleh semua siswa. Agar cowok-cowok yang tidak kukenal tidak datang mendekati Toiro hanya karena mendengar rumor.
Tujuan itu, berhasil kucapai.
"Menurutmu, mereka nganggep kita pasangan yang mesra?"
Toiro bertanya sambil berjalan dengan langkah ringan di sampingku.
"Mungkin, iya."
Saat aku menjawab, Toiro menatapku sambil sedikit menurunkan syalnya dengan jari telunjuknya.
"Masaichi, kamu senang? Dipikir orang-orang kalau kita ini pasangan mesra?"
"......Ya, kalau boleh dibilang begitu."
Bibirnya melengkung membentuk senyum cerah.
"Tapi ya, rasanya lebih banyak malu sih, daripada senang."
"Ahaha, itu benar juga...Tapi sekarang udah nggak ada yang lihat,lho."
Sekarang waktu kegiatan klub. Jalanan pulang sekolah jadi relatif sepi. Seperti yang Toiro bilang, di sekitar kami hampir tidak ada orang.
Perumahan yang diterpa warna jingga matahari terbenam. Di pinggir jalan, ada rumput liar yang tinggi—kalau tidak salah, namanya seitaka awadachisou. Tanaman itu bergoyang tertiup angin. Tiba-tiba, jari Toiro yang sedikit menyembul dari lengan blazernya menyentuh punggung tanganku. Aku pun menggenggam tangannya, lalu saling mengaitkan jari-jari kami.
Entah sejak kapan, menggenggam tangan seperti ini jadi hal yang biasa bagi kami. Tanpa harus saling mengingatkan.
Awalnya, ini hanya dilakukan demi menunjukkan sesuatu kepada orang lain. Tapi sekarang, meskipun tak ada siapa pun yang melihat, kami tetap melakukannya. Sebuah kebiasaan yang lahir dari kepura-puraan, kini telah menjadi sesuatu yang nyata.
"Masaichi, tangan kamu hangat, ya."
"Ah, tanganmu selalu dingin, ya."
"Ahahaha, aku ini gampang kedinginan, soalnya. Angetin, dong?"
"Hm."
Aku menggenggam tangannya lebih erat.
"Wah, jadi nggak perlu beli penghangat tangan, nih!" katanya sambil tertawa. Entah bagaimana, suasana di antara kami mulai terasa seperti pasangan yang sesungguhnya.
Meskipun aku sendiri tidak pernah punya pacar sebelumnya, aku merasa jelas bahwa hubungan kami sudah berbeda dari sebelumnya.
Namun, setelah festival sekolah, hubungan ini tidak berkembang lebih jauh secara resmi.
Sebenarnya, aku masih memikirkan banyak hal.
"Maaf... Sebenarnya, aku ingin mengungkapkan ini dengan lebih baik. Jadi, bisakah kamu memberiku sedikit waktu?"
Di malam pesta penutupan festival, aku hampir saja terbawa suasana dan menyatakan perasaanku dengan status "teman masa kecil" sebagai alasan.
Tapi, aku merasa itu bukan cara yang benar.
Saat itu, aku baru saja menyaksikan bagaimana Kasukabe mendapatkan hasil dari perjuangannya. Itu membuatku semakin sadar—aku ingin mencapai sesuatu lebih dulu, menyelesaikan sesuatu dengan tanganku sendiri, lalu menyatakan perasaan dengan caraku sendiri.
Bukan sekadar mengandalkan status "teman masa kecil." Aku ingin menghadapinya sebagai seorang pria yang berdiri sendiri.
Itulah sebabnya aku mengatakan kata-kata itu di malam festival.
Namun, hingga kini, aku masih belum tahu harus bertindak seperti apa.
Toiro tidak pernah menanyakan apa pun. Dia tidak pernah mendesakku, tidak pernah berusaha mencari tahu. Dia hanya menunggu. Dan jujur saja, aku merasa bersyukur sekaligus merasa bersalah.
*
Hari itu, Toiro bermain di kamarku, lalu pulang ke rumahnya saat waktu makan malam. Aku pun makan malam dengan masakan ibuku, kemudian mandi. Setelah itu, aku menyalakan konsol dan mulai bermain game sambil mengeringkan rambut.
Saat tengah malam, tepat ketika aku berhenti bermain game dan berbaring di tempat tidur sambil memainkan ponsel, tiba-tiba ponselku bergetar dengan suara "bzz-bzz," menandakan panggilan masuk. Aku terkejut karena jarang sekali ada yang menelepon ke ponsel ini. Terlebih lagi, orang yang menelepon adalah Toiro, yang baru saja bersamaku beberapa jam lalu.
"Ada apa tiba-tiba?"
Aku menekan tombol panggil dan mengaktifkan mode speaker.
『Hmm, sebenarnya nggak ada apa-apa sih. Cuma kepikiran pengen ngobrol aja~.』
"Kita kan udah ngobrol banyak waktu pulang sekolah tadi… Atau kalau ada yang mau dibicarain, aku keluar ke depan rumah sekarang? Bukannya lebih enak kalau ngobrol langsung?"
『Nggak, bukan gitu kok... Dengar-dengar nih, katanya pasangan itu biasanya suka nelepon tengah malam gini, ngobrolin apapun. 』
Oh… Jadi dia sedang mencoba melakukan sesuatu yang biasa dilakukan pasangan?
"Ini semacam aksi pasangan?"
『Tidak sih, 'aksi pasangan' itu kan kita lakuin buat nipu orang waktu masih jadi pasangan pura-pura. Sekarang udah nggak perlu, kan? 』
"Hmm…"
『Jadi ini lebih ke… 'kebiasaan pasangan' gitu, kali ya. 』
"Kebiasaan pasangan, huh…"
Sepertinya Toiro hanya ingin mencoba melakukan sesuatu yang biasa dilakukan pasangan sungguhan. Tapi apakah ini masih dalam konteks hubungan pura-pura, atau sudah masuk ke hubungan yang lebih serius?
"Kita kan belum resmi jadi pasangan, kan?"
Aku sengaja menyelipkan peringatan itu.
『Tapi tetap aja, kita kan pasangan. Walaupun sementara. 』
Toiro berkata begitu sambil terkekeh kecil.
Yah, kalau cuma ngobrol lewat telepon sih, memang nggak masalah. Malah, mendengar suaranya secara tak terduga begini membuatku cukup senang. Suara Toiro yang kudengar melalui speaker ponsel terasa segar dan berbeda. Saat aku sedang memikirkan hal itu, tiba-tiba—
『Ne, ne, Masaichi, coba tempelin ponselmu ke dadamu. 』
"Ke dada?"
『Dada sebelah kiri. Tempelin erat-erat. 』
Aku mengikuti instruksinya dan menekan ponsel ke dadaku.
"…Kenapa?"
『Aku penasaran, bisa kedengeran nggak ya, detak jantungnya. 』
"Detak jantung?"
『Iya. Katanya, mendengarkan detak jantung pacarnya bisa bikin tenang. 』
"Hmm… begitu ya."
Pasangan beneran memang melakukan hal-hal seperti ini, ya…? Mereka memikirkan banyak hal juga, rupanya.
Aku tetap menekan ponsel ke dadaku seperti yang diminta. Namun—
『Hmm… Kedengeran sih, tapi nggak jelas. Antara kedengeran atau enggak. 』
Sepertinya eksperimen ini tidak berjalan dengan baik.
"Ya, wajar aja. Ini kan bukan stetoskop."
『Masaichi mau coba dengerin punyaku juga? 』
Setelah Toiro mengatakan itu, suara di seberang telepon menjadi hening. Mungkin dia juga sedang menempelkan ponselnya ke dadanya.
"……"
Membayangkan bahwa aku sedang berusaha mendengar suara dari dalam tubuh Toiro membuatku merasa aneh dan gugup. Aku mencoba menahan napas dan fokus, tapi seperti yang dia bilang tadi—aku sama sekali tidak mendengar apa pun.
『Giliranku lagi ya! Aku mau coba sekali lagi! 』
Begitu katanya, aku pun kembali menempelkan ponsel ke dadaku. Entah kenapa, rasanya sedikit sayang untuk berhenti.
『…… Kalau diam-diam begini, aku bisa dengar napasmu juga. Rasanya jadi lebih dekat sama Masaichi. Keren banget. 』
"……"
『Aku jadi tahu kalau hari ini pun kamu masih hidup dengan baik. 』
"Konfirmasi kelangsungan hidup!? Bukannya itu juga bisa diketahui hanya dengan menelepon saja…?"
『Juga, kira-kira ada aritmia nggak ya? 』
"Pemeriksaan kesehatan, kah!?"
Mendengar protesku, Toiro tertawa lepas, "Ahaha." Lalu, dengan nada yang sedikit lebih serius, dia berkata,
『Yah, intinya… Masaichi, terima kasih karena hari ini pun kamu tetap hidup. 』
"U-uh, kok jadi berlebihan gitu…"
『Berkatmu, aku bahagia setiap hari. 』
Aku juga merasa begitu.
Akhir-akhir ini, hari-hariku terasa menyenangkan—dan itu jelas berkat Toiro. Pergi ke sekolah dan melihat wajahnya. Secara tak sengaja bertemu pandang saat jam istirahat, lalu saling bertukar pandangan singkat. Menunggu hingga pulang sekolah tiba, saat akhirnya bisa mengobrol banyak dengannya. Semuanya terasa penuh semangat, dan setiap hari menjadi begitu berarti.
Kalau kami hanya tetap berteman sebagai sahabat masa kecil, mungkin aku tak akan pernah merasakan perasaan seperti ini.
Mungkin ini semua terjadi karena pada hari di musim semi itu, kami memutuskan untuk menjadi pasangan sementara—meskipun hanya sementara.
☆
Masaichi
Panggilan berakhir – 46 menit
Saat melihat layar ponsel setelah menutup telepon, tulisan itu terpampang di sana. Aku menghela napas pelan. Meskipun aku meneleponnya tiba-tiba, dia tetap mengobrol denganku selama ini.
Ya, Masaichi memang baik…
Aku membanting diri ke tempat tidur dalam posisi telentang dengan boof, lalu menutup mata sejenak sambil menempelkan tangan kiri ke kening.
Sudah beberapa hari berlalu sejak festival sekolah berakhir.
Malam penutupan itu terasa seperti mimpi, namun kenangan tentangnya masih begitu jelas di pikiranku—terus-menerus teringat kembali. Dan jawaban atas perasaan itu… masih belum kudengar.
Kapan ya? Masih belum ya? Aku menunggu dengan penuh antusias.
Aku pun sempat mengalami masa-masa penuh kebimbangan tentang hubunganku dengan Masaichi. Jika dia juga sedang memikirkan hal yang sama, maka… rasanya, aku benar-benar bahagia.
Tapi jika hanya menunggu terus, perasaan cemas itu kadang muncul sedikit demi sedikit.
Mungkin, pasti, seharusnya… itu hanya kekhawatiran yang berlebihan. Masaichi itu orang yang baik. Dia selalu menepati janji. Semuanya akan baik-baik saja. Aku terus meyakinkan diri sendiri sambil menunggu.
Kapan, ya? Kalau bisa secepatnya… Aku sempat berpikir seperti itu juga, tapi…
Tidak, tidak boleh! Aku harus memikirkan hal lain.
Kalau nanti kami benar-benar berpacaran, hal-hal apa yang ingin kulakukan dengannya? Sebagai pacar, apa saja yang bisa kuberikan untuknya?
Saat waktunya tiba, aku ingin Masaichi merasakan perbedaannya—bahwa ini bukan lagi seperti dulu, saat kami hanya berpura-pura sebagai pasangan.
Telepon santai di malam hari tadi—salah satu aksi pasangan—itu juga bagian dari rencanaku.
Apa lagi, ya, yang bisa membuatnya senang? Memikirkan hal itu saja membuat dadaku berdebar dengan rasa gembira.
Sambil tersenyum kecil tanpa sadar, aku mulai membuka browser di ponsel dan menggeser layar dengan ujung jariku.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.