Nee, Mou Isso Tsukiacchau? Osananajimi Chap 10 V4

Ndrii
0

Chapter 10

Jalan yang harus kutempuh adalah——




"Campfire di acara malam penutupan itu, kupikir cuma ada di dunia anime," kataku.


"Benar, kan? Makanya aku juga pengen banget ngerasain, jadi aku paksain aja di rapat panitia," jawab Sarugaya dengan santai. 


"Dulu sih, acara ini memang ada. Tapi belakangan cuma jadi pesta kecil dengan minuman dan camilan."


"Jadi, si otaku yang menyusup ke panitia itu ternyata kau."


Di tengah lapangan, api unggun besar berkobar, dikelilingi oleh kerumunan siswa yang bersorak-sorai. Ada yang berdiri dekat api sambil menatapnya, ada juga yang berlari-larian penuh semangat, para lelaki yang tertawa, dan para perempuan yang bertepuk tangan senang. Semua tampak menikmati suasana. Dari kejauhan, aku mengamati keramaian itu sambil berbincang dengan Sarugaya.


"Dulu ada seorang guru yang pernah ikut klub camping di universitas. 

Dia ngerti banget soal api unggun. Kalau bukan karena dia, mungkin ini nggak bakal terwujud. Benar-benar beruntung ada yang ahli seperti itu. Kalau amatir sih, susah banget bikin acara kayak gini."


Sarugaya mengangguk-angguk sambil menyilangkan tangan di dadanya.


"Kerja bagus juga kau ini."


Rasanya, banyak yang pasti berterima kasih pada Sarugaya atas perannya di acara ini.


"Tentu dong! Festival sekolah pertama yang digelar setelah sekolah ini jadi campuran, aku pastikan ini jadi yang terbaik!" katanya dengan bangga, dadanya membusung penuh percaya diri.


Yah... aku juga cukup menikmatinya. Dan itu, mungkin juga berkat kerja keras Sarugaya.


"Kerja bagus, ya," ucapku.


"Hehe," dia tersenyum puas.

Tiba-tiba, dari arah podium upacara terdengar keributan. Seorang siswa laki-laki naik ke atas podium, menarik napas panjang, lalu berteriak:


"Yoshida-san! Aku suka kamu! Tolong jadi pacarku!"


Ia membungkukkan badan dalam-dalam. Para siswa yang berkumpul di sekitar podium langsung ramai bersorak. Seorang gadis yang sepertinya Yoshida-san, didorong teman-temannya naik ke podium.


"…Baiklah," jawabnya pelan sambil menyatukan kedua jari di depan mulut, lalu membungkukkan kepala kecil.


Sorak-sorai menggema di sekeliling. Siswa lelaki merentangkan tangan, dan saat Yoshida-san mendekat, mereka berpelukan di depan semua orang.


"Tadi juga ada yang seperti ini, tahu? Sepertinya banyak yang terinspirasi sama aksi Kaede-chan di Couple Grand Prix tadi," ujar Sarugaya sambil tertawa kecil.


Memang, penampilan Funami tadi punya semacam kekuatan yang membangkitkan semangat para penonton.

"Di sekolah laki-laki dulu, nggak pernah ada yang begini."


"Iya, kan? Bagus banget, suasana kayak gini yang aku dambakan."


"Kau tampak bahagia sekali."


Setelah memikirkannya sebentar, aku bertanya lagi, 


"Lalu, bagaimana dengan Mayuko? Ada kemajuan selama festival ini?"


Sarugaya menatap api unggun sambil menggaruk pipinya.


"Hmm, gimana ya."


"Aku rasa Mayuko itu gadis yang baik dan tulus, lho," kataku tanpa pikir panjang.


Sarugaya menggeleng pelan. 


"Aku juga tahu itu. Tapi maksudku, sekarang ini masih tahap saling mengenal. Atau lebih tepatnya, tahap dia mengenalku lebih jauh."


"Hmm?"


"Yah, kau tahu sendiri aku kayak gimana, kan? Jadi aku pengen dia tahu semuanya dulu. Kalau dia tetap oke dengan semua itu, ya bagus. Aku cuma nggak mau dia menyesal nantinya."


Saat mengatakan itu, Sarugaya melambaikan tangannya ke arah api unggun. Di sana, Mayuko sedang melambai ke arahnya sambil berjinjit. Di sekitarnya ada Toiro, Nakasone, dan Funami.


"Kau ini baik juga, ya," gumamku pelan.


"Kenapa tiba-tiba bilang begitu? Itu kan hal biasa."


"Kukira kau tipe yang bergerak berdasarkan dorongan hati."


Sarugaya menggeleng perlahan dua kali. "Nggak bisa. Semakin kita saling mengenal, semakin kita yakin untuk melangkah lebih jauh. Itu penting. …Tapi aku nggak yakin juga sih."

"Lho, kok ujung-ujungnya jadi kayak orang Kansai?"


"Haha, ya kan aku belum pernah punya pacar sebelumnya," jawabnya sambil tertawa keras.


—Tapi kurasa, Mayuko sudah tahu banyak soal dirimu. Aku teringat obrolanku dengannya di hari pertama festival ini.


"Yah, aku pergi dulu ya, Masaichi. Masih ada urusan sedikit. Nikmati acara sampai selesai, ya!"


Sarugaya melambaikan tangan sambil berjalan pergi. Aku memandang punggungnya menjauh, dan merenungi kata-katanya tadi.


—Semakin saling mengenal, semakin yakin... Hm.


Setelah berpisah dengan Sarugaya, aku masih berdiri di tempat, memandangi api unggun dari kejauhan. Aku sedang menunggu Toiro, karena kami sudah berjanji untuk pulang bersama. Orang yang aku tunggu tampaknya memperhatikan bahwa aku kini sendirian, lalu dengan langkah kecil mendekat.

"Maaasaichi!"


"Eh, apa-apaan sih senyum itu?"


"Ayo bareng-bareng!"


Toiro tampak sangat senang, melompat kecil sambil berdiri di sampingku.


Meski kami sudah bersama, entah kenapa aku tidak langsung mengajak pulang. Sebaliknya, kami berdiri berdua memandangi lapangan sekolah yang ramai.


Tiba-tiba, Toiro menyenggol bahuku pelan, seakan mencoba merapatkan jarak.


"Heh, apa-apaan ini?"


"Kenapa?"


"Dilihat orang, tahu."

"Nggak ada yang lihat. Semua sibuk dengan masa muda mereka sendiri. …Lagi pula, kita kan sudah sering memperlihatkan momen-momen seperti ini sebelumnya, bukan?"


Memang benar. Selama ini, kami sudah sering berpura-pura jadi pasangan dan menunjukkan "momen mesra" seperti ini di depan orang lain. Namun, untuk alasan tertentu, sekarang aku merasa malu jika momen seperti ini dilihat orang lain. Sebenarnya, sebelumnya pun aku merasa malu, tapi kali ini ada rasa ingin menyembunyikan hal itu.


Aku bisa merasakan perubahan dalam diriku. Meski aku tidak bisa langsung mengungkapkan apa yang berubah, aku merasa ingin memahami perubahan ini lebih dalam.


"Semua orang pasti sudah mengira kita pasangan beneran," ujar Toiro sambil tersenyum penuh arti.


Tentu saja. Kami sudah menyatakan hal itu di depan semua orang saat final Couple Grand Prix. Hubungan kami sekarang sudah diketahui hampir semua siswa. Itu juga berarti tujuan yang kami tetapkan sejak awal telah tercapai.


Toiro tidak ingin dipandang sebagai objek cinta oleh cowok lain. Dia juga tidak mau diajak ke dalam keramaian yang didominasi para lelaki. Awalnya, dia memintaku untuk berpura-pura jadi pacarnya demi mengatasi masalah itu. Pernyataan kami di atas panggung tadi seharusnya sangat efektif dalam hal itu.


Dengan begitu, tugasku sebagai pacar sementara sudah selesai.


Namun, apa yang akan terjadi pada hubungan ini? Apakah saatnya melangkah lebih jauh? Bukan lagi sekadar pura-pura, tetapi...


"Hei, kenapa bengong?" Toiro bertanya, menatapku dengan ekspresi khawatir.


Tanpa sadar, aku menanyakannya.


"U-uh, hanya misalnya saja, kalau kita benar-benar jadi pasangan, bakal seperti apa, ya?"


Toiro membelalakkan mata, tampak terkejut.


"Aku cuma kepikiran. Hari ini kan banyak yang nembak, suasananya jadi seperti itu, jadi aku tiba-tiba terpikir saja," tambahku dengan nada gugup, mencoba mencari alasan.

"Apa maksudmu dengan 'seperti apa'? Maksudnya apa?" tanyanya dengan wajah serius.


"Ah, maksudku, seperti apa masa depan kita. Kalau kita jadi pasangan sungguhan... Aku baca di internet, katanya kebanyakan pasangan yang terbentuk di masa SMA akhirnya putus. …Apalagi kalau dari teman masa kecil jadi pasangan, itu seperti membuka kemungkinan untuk mengakhiri hubungan juga."


Aku akhirnya mengungkapkan apa yang selama ini mengganjal pikiranku.


Aku sudah lama memikirkan hal ini, bahkan sempat meminta saran dari Mayuko.


Teman masa kecil akan selalu menjadi teman masa kecil. Namun, pasangan memiliki dua kemungkinan: akhir yang bahagia atau akhir yang buruk. Pada akhirnya, hubungan itu akan sampai pada ujungnya. Dan katanya, kebanyakan pasangan SMA lebih mungkin berakhir buruk.


Awalnya, aku hanya khawatir bagaimana hubungan teman masa kecil ini akan berubah. Hubungan ini nyaman, dan status saat ini terasa aman. Aku memilih untuk menghindari kecemasan awal itu dengan tetap bertahan di zona nyaman.


Namun, saat aku mulai memikirkan lebih dalam tentang arti menjalin hubungan, mendengarkan pendapat orang, dan memutuskan untuk menghadapi kemungkinan itu, aku mulai menyadari adanya kemungkinan akhir yang buruk.


Kalau begitu—kalau ada kemungkinan berakhir dengan bad ending, mungkin lebih baik kita tidak berpacaran? Tapi, tetap saja... rasanya itu bukan pilihan yang tepat.


Aku ingin berusaha mencapai happy ending bersama Toiro.

Kalau benar-benar berpacaran, akan jadi seperti apa, ya? Pikiran itu terus berputar-putar di kepalaku.


Pertanyaannya benar-benar membuatku terkejut.


Ternyata Masaichi memikirkan hal seperti itu… Menyadari bahwa dia memikirkan hubungan kami membuat dadaku terasa hangat sekaligus bergejolak.


Belakangan ini—sejak aku mengakui bahwa aku menyukainya—perasaanku kadang sedikit tidak terkendali.


Aku memaksanya mengikuti hug challenge, menggenggam tangannya seperti pasangan sungguhan ketika tidak ada orang lain, dan tadi pun aku sengaja menyandarkan tubuhku padanya. Semua itu kulakukan karena ingin merasakan “hak istimewa” sebagai pasangan. Namun di saat yang sama, aku sering bertanya-tanya apakah dia merasa terganggu.


Tapi sekarang, aku tahu Masaichi juga sedang mencoba melangkah maju. Diam-diam, aku merasa sangat bahagia. Pertanyaan yang dia ajukan sebenarnya sudah sering kupikirkan sebelumnya. Aku mulai merapikan kata-kata dalam hati dan mencoba menjelaskannya.


"…Bukan begitu. Dalam kasus kita, kita bukan beralih dari teman masa kecil menjadi pasangan. Kita adalah pasangan teman masa kecil."


"Pasangan teman masa kecil…?"


Dia mengulang ucapanku, dan aku mengangguk.


Teman masa kecil hanyalah sebuah atribut. Menambahkan status pasangan tidak akan menjadi masalah.

"Kalau pasangan SMA biasa, mereka mungkin baru menemukan sisi buruk satu sama lain setelah mulai pacaran, kan? Tapi kita sudah saling mengenal dengan sangat baik sejak awal. Jadi, kita nggak perlu khawatir. Di sisi lain, kita tetap bisa merasakan keseruan sebagai pasangan. Bukankah selama ini kita sudah belajar banyak soal itu?"


Aku teringat berbagai kenangan bersama, seperti ulang tahunku dan momen di bianglala waktu kami ke peternakan.


"Soal bosan setelah lama pacaran… dua tahun pacaran, tiga tahun pacaran… buat kita, hal seperti itu bukan masalah sama sekali. Kita sudah bersama selama lima belas tahun. Pengalaman kita beda."


Aku tanpa sadar berbicara lebih cepat karena terlalu bersemangat. Setelah menarik napas, aku kembali berbicara dengan tenang.


"Jadi, nggak perlu khawatir, kan?"


Rasanya seperti terbuka wawasan baru.


Kabut yang menyelimuti pikiranku perlahan memudar. Mendengar langsung dari Toiro membuatku merasa lega.

Pasangan teman masa kecil… ternyata ini jauh melampaui pasangan SMA biasa. Ucapannya membuatku menyadari bahwa aku bisa menghadapi perasaanku dengan lebih jujur.


Dari arah api unggun di tengah halaman, terdengar musik yang mulai mengalun. Lagu Oklahoma Mixer. Sepertinya mereka mulai menari mengelilingi api, dan orang-orang mulai berkumpul.


"Mau menari?"


Aku bertanya sambil bersiap untuk berjalan ke sana. Tapi Toiro malah menarik ujung bajuku sambil tersenyum kecil.


"Eh, Masaichi kan bukan tipe yang suka hal-hal kayak gitu."


"Yah, benar sih, tapi…"


Aku menghentikan langkahku. Dalam situasi seperti ini, kalau di anime, mungkin ini adalah momen untuk menari canggung bersama. Tapi, aku memang tidak terlalu suka hal semacam itu.


Tapi, perasaanku mendadak terasa gelisah. Aku merasa harus melakukan sesuatu.

"Toiro!"

"Kalau begitu!"


Suara kami berdua tumpang tindih.


"Ah, Masaichi, kamu saja yang bicara dulu! Punyaku bisa nanti,"


"O-oh. Aku... aku ada tempat yang mau kudatangi. Ada sesuatu yang ingin kukonfirmasi, jadi, bisakah kamu tunggu sebentar?"


"U-uh, tentu saja! Aku akan menunggu!"


Aku segera berlari menuju gedung sekolah.


Sejak sebelum final Grand Prix Pasangan hari ini, ada sesuatu yang terus mengganjal di sudut pikiranku.


Sebuah legenda di sekolah Meihoku yang berhubungan dengan festival sekolah dan pasangan. Menurut Serina, itu ada kaitannya dengan pesta penutupan.


Dan itu berarti, saat ini adalah waktunya.

Mungkin ada sesuatu yang bisa kulakukan bersama Toiro. Namun, aku tidak tahu pasti apa isinya, jadi aku berlari menuju suatu tempat. Saat babak penyisihan Grand Prix Pasangan, aku melihat sesuatu yang mungkin memberikan petunjuk, dan aku hanya mengingat namanya. Toiro juga sempat mengatakan kalau dia tertarik.


Kelas 2-2, 'Legenda Sekolah.'


Aku menduga mereka telah mengumpulkan cerita-cerita misterius seperti tujuh keajaiban sekolah atau rumor-rumor menarik lainnya untuk dipamerkan.


Aku mengganti sepatuku di pintu masuk dan menaiki tangga dengan cepat. Di tikungan tangga, aku memegang pegangan tangan untuk berbelok tajam, nyaris jatuh, tetapi aku terus berlari tanpa memperlambat langkah hingga mencapai lantai tiga.


Pembersihan akan dilakukan besok pagi, dan karena tidak ada barang berharga di dalamnya, pintu kelas itu tidak dikunci. Aku membuka pintu dan melangkah masuk.


Seperti yang kuduga, ada papan-papan besar yang dipajang di dalam ruangan, menampilkan berbagai macam cerita misterius, legenda, dan gosip di sekolah. Ada juga poster-poster seperti "TOP 3 pria dan wanita tercantik di sekolah," "TOP 3 pelari tercepat," "TOP 3 siswa yang datang paling pagi," dan "TOP 3 senyuman paling manis" (menurut kelas 2-2).


Dimana informasi yang kucari...?


Di kelas yang remang-remang, aku menggunakan lampu ponselku untuk mencari dengan teliti. Akhirnya, aku menemukan legenda yang kucari.


"Jika kalian berhasil melewati akhir pesta penutupan tanpa diganggu oleh siapa pun, berdua saja, maka cinta kalian akan terbalas."


Aku langsung berlari keluar ke koridor. Saat hendak melewati pintu masuk utama, 


"Ah, Masaichi! Ke mana saja? Katanya cuma sebentar, tapi kamu lama sekali!"


Toiro yang sepertinya sudah bosan menunggu datang mencariku.


"Pas sekali kamu datang!" seruku sambil meraih tangannya.

"Wow!" katanya dengan suara terkejut, tetapi terdengar senang. Aku menggenggam tangannya dan kembali membawanya masuk ke koridor.


"Kemana kita akan pergi?"


"Pokoknya ikut saja dulu!"


Penjelasannya nanti. Yang terpenting adalah menemukan tempat di mana tidak ada orang lain.


"Kamu baik-baik saja?" tanyaku sambil melihat ke belakang saat menaiki tangga.


"Iya, aku baik-baik saja!" jawabnya dengan nafas terengah-engah.


Kelas bukan tempat yang aman. Siapa saja bisa masuk kapan saja. Mungkin kafe di lantai lima gedung selatan? Tapi, rasanya kurang memuaskan jika kami tidak bisa melihat suasana pesta penutupan di lapangan.


Setelah berpikir sejenak, aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan di lantai tiga gedung utara, yang menghadap ke lapangan.

Seingatku, perpustakaan juga digunakan untuk pameran rekomendasi buku pilihan siswa Meihoku. Mungkin saja...


Dengan penuh harapan, aku membuka pintu perpustakaan.

Gara-gara... Suara kaca geser yang berat bergema ketika pintu itu terbuka. Ternyata tidak terkunci!


Kami melangkah masuk ke perpustakaan yang sepi dengan hati-hati.


Keriuhan pesta yang jauh di luar sana, suasana sekelilingnya sangat hening. Api unggun yang tampak dari jendela berkilauan dengan cahaya lembut seperti lilin. Mungkin, jika di sini, tidak ada yang akan datang...


"…Kamu tidak kedinginan?"


Aku bertanya pada Toiro yang berdiri dekat jendela dan memandang ke lapangan.


"Ah, iya, memang mulai agak dingin sedikit," jawabnya.


"Tidak bisa lebih serius sedikitkah?"


"Sangat dingin!"


Toiro tertawa nakal, lalu tiba-tiba mendekatkan dirinya dan melekat pada lenganku. Aku memeluknya dengan lembut, seperti yang sudah lama kuinginkan. Toiro tidak menolaknya. Dia hanya diam dan duduk di pelukanku. Aku memeluknya lebih erat. Sudah beberapa kali kami berpelukan, tetapi setiap kali tubuhnya terasa lebih kecil dan lebih lembut dari yang aku bayangkan. Rambutnya yang menyentuh pipi terasa dingin, dan anehnya itu justru memberi rasa nyaman.


"Ini sekolah, lho?"


Toiro masih berbicara dengan suara yang terdengar seperti sedang bersenang-senang.


"Tidak ada yang melihat kok."


"Anak nakal."


"Selama belum ada yang mengamati, maka kejadian di sini belum selesai. Jadi, pelukan ini masih bisa dibilang ada dan tidak ada sekaligus. Jadi, aku tidak merasa disebut anak nakal sampai ada yang mengamatinya."


"Schrödinger!?"

Toiro tertawa kecil, lalu menggenggam bagian pinggang jas blazernya dengan erat. Aku pun memeluknya lebih erat lagi. Detak jantungku bisa kurasakan. Nafasnya pun terasa.


"Hei, hei, kamu merasa nggak, seperti ada energi yang terisi gitu?"


"Energi?"


"Iya, seperti ketika kita berpelukan begini, tubuh ini terasa seperti perlahan-lahan dipenuhi dengan sesuatu, tidak?"


"Ah, aku bisa merasakannya juga."


Meskipun aku tidak bisa menggambarkan apa yang aku rasakan, tetapi perasaan kepuasan dan kebahagiaan perlahan-lahan memenuhi diriku. Aku ingin merasakannya terus, itulah sebabnya aku ingin terus memeluknya.


"...Pesta penutupan masih berapa lama, ya?"


Aku tiba-tiba bertanya.


"Hm... Mungkin masih ada sedikit waktu lagi."

"Begitu."


Saat aku menjawab, Toiro tertawa pelan, menghela napas, lalu mengangkat wajahnya dan menatapku. Dia kemudian berkata sesuatu yang tidak aku duga.


"Sampai saat itu, semoga kita tidak ditemukan oleh siapa pun."


"Kamu itu…"


Aku langsung mengerti apa yang dia maksud. Ternyata, Toiro juga tahu tentang legenda pesta penutupan di Meihoku.


"Kenapa?"


Aku merasa malu tanpa sebab, dan wajahku memerah.


"Di sekitar waktu penutupan tadi, aku dapat pesan dari Serina. Dia bilang dia bertanya pada temannya tentang legenda itu di festival sekolah, lalu dia memberitahuku tentang isinya."


Astaga, Serina... Dia yang memulai pembicaraan tentang legenda tadi. Kalau sudah tahu, seharusnya dia mengirimkan pesan padaku juga...

"Tadi, aku hampir ingin mengatakan kita pindah tempat, tapi kebetulan Masaichi duluan yang bicara. Aku nggak nyangka kamu bakal bawa aku ke tempat kayak gini... Senang banget."


Toiro tersenyum lepas, dan aku kembali memeluknya lebih erat. Hari ini, aku tak merasa ragu lagi untuk memeluknya. Rekor pelukan kami sepertinya terus diperbarui. Perasaanku sudah pasti. Jantungku berdegup lebih kencang, seolah-olah hatiku sedang melompat.


Aku mendengarkan pandangan cinta Mayuko dan mulai berpikir lebih banyak. Apa yang dikatakan Sarugaya tentang saling mengenal untuk merasa tenang adalah kata-kata yang menguatkan antara aku dan Toiro.


Dan ketika aku melihat usaha Kasukabe yang akhirnya membuahkan hasil, aku merasakan ada sesuatu yang bergelora dalam diriku. Sekarang, aku akhirnya bisa melihat jelas apa yang harus aku lakukan dan bagaimana aku ingin menjadi apa, seolah-olah jalan hidup terbuka lebar di hadapanku.


Aku tak sadar berbisik di telinga Toiro.


"...Aku suka padamu."



Aku bisa merasakan Toiro terkejut dan matanya membesar.

“Eh…?”

Dia sedikit menjauhkan tubuhnya dan menatap wajahku. Ekspresi terkejutnya membuatku merasa sedikit menyesal, apakah aku terlalu terburu-buru? Tadi aku terhanyut dalam suasana. Bahkan aku pun tidak sengaja mengucapkannya.

Namun mungkin itu tidak apa-apa, tapi karena kami sudah lama berteman, dan hubungan kami sudah seperti saudara, aku ingin memastikan bahwa momen seperti ini dilakukan dengan tepat.

“—Maaf, sebenarnya aku ingin mengatakannya dengan lebih baik. Jadi, bisa beri aku sedikit waktu?”

Toiro menatapku, matanya masih terbelalak. Matanya yang tampak sedikit berkaca-kaca itu bersinar lembut. Dia menggigit bibirnya sedikit, lalu menelan ludah dan akhirnya suara keluar dengan susah payah.

“Ya…!”
Aku kembali memeluk Toiro dengan erat. Tanganku dengan lembut menyentuh kepalanya dan mengelus rambutnya sekali. Rasanya, ini adalah yang terbaik yang bisa aku lakukan saat ini.

“Ya, ya!”

Aku merasakan Toiro mengangguk beberapa kali, dengan wajahnya menempel di dada ku.

“Aku akan menunggu, Masaichi.”














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !