Maigo no Onnanoko wo Ie Made Todoketara Chapter 4

Ndrii
0

Chapter 4

Imagawa Meiko Tidak Bisa Berhenti Bicara Jika Menyangkut Hal yang Disukainya




Karena kejadian kemarin, aku tidak bisa berkonsentrasi dalam pelajaran seperti biasanya. Berkali-kali aku bertanya-tanya apakah itu hanya mimpi, tapi kamarku memang sudah bersih, dan masakan yang dibuat Shirakawa masih ada di dalam kulkas.

 

"Sisa makanan hari ini aku masukin ke kulkas, ya?"

"Beneran, terima kasih."

"Sama-sama~"

 

Memikirkan kalau besok aku masih bisa makan masakan itu membuatku benar-benar senang. Tanpa sadar, sudut bibirku terangkat.

 

"Kenapa sih senyam-senyum sendiri?"

"T-tidak ada apa-apa kok……"

 

Tampaknya dia menyadari ekspresi wajahku.

 

"Hmmm, ya sudahlah."

 

Saat bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi, aku beranjak untuk pergi ke kantin membeli makan siang.

Tapi sebelum sempat keluar kelas, aku dipanggil oleh guru yang mengajar barusan.

 

"Kuroda, kau hari ini piket, kan?"

"Eh? Hmm, iya sih."

"Kalau begitu, ini."

 

Tanpa basa-basi, beliau menaruh tumpukan materi pelajaran yang baru dipakai tadi ke tanganku. Dan ternyata lumayan berat.

 

"Umm… ini?"

"Materi pelajaran, kan?"

"Iya, aku tahu… tapi, maksudku, aku harus apa dengan ini?"

"Bawa ke ruang penyimpanan materi, mungkin ada guru lain yang akan menggunakannya nanti."

"Eh, tapi—"

"Aku serahkan padamu, ya~"

 

Sebelum aku sempat membantah, beliau langsung menutup pembicaraan.

 

Sepertinya beliau tidak ingin mendengar protesku, atau lebih tepatnya, tidak berniat mendengarkanku sama sekali. Percuma mengeluh, jadi sebagai siswa piket, aku pun menurut dan berangkat untuk merapikan materi ini. Aku berjalan menuju ruang penyimpanan materi di lantai tiga, berhati-hati agar tidak tersandung.

 

"Siang hari begini, tapi tempat ini tetap terasa agak gelap, ya."

 

Aku bergumam pelan sambil masuk ke dalam ruang penyimpanan.
Karena hanya perlu mengembalikan materi ke tempatnya, pekerjaannya pun selesai dengan cepat.

 

Saat aku berbelok ke lorong untuk pergi ke kantin, tiba-tiba seseorang muncul dan kami bertabrakan. Akibat benturan itu, aku terjatuh, begitu juga orang yang menabrakku—dia terduduk di lantai.

 

"A-aku minta maaf! Aku nggak sadar ada orang di sini."

"T-tidak… a-aku yang salah…"

 

"Eh? Tunggu, kau Imagawa, kan?"

 

Awalnya aku tidak menyadarinya karena dia menunduk, tapi setelah melihat lebih jelas, aku mengenali kacamatanya, rambutnya yang dikepang, dan—walaupun aku tidak berani mengatakannya—postur tubuhnya yang terkenal di kelas.

Dia adalah Imagawa Meiko, seorang gadis yang dikenal pendiam dan sulit didekati. Aku belum pernah melihatnya berbicara akrab dengan siapapun.

"Y-ya… k-kenapa?"

"Kenapa, ya… Top 1 dengan da-- maksudku, setidaknya aku tahu nama teman sekelasku…"

 

Nyaris saja aku keceplosan menyebutkan alasan lain mengapa dia begitu dikenal.

Kalau aku benar-benar mengatakannya, kehidupanku di sekolah pasti akan dipenuhi cemoohan dari para cowok dan tatapan jijik dari para cewek.

Lebih dari itu, pasti juga akan menyinggung perasaannya.

 

"O-oh, begitu…"

 

Sementara itu, dia mulai memunguti barang-barangnya yang terjatuh akibat tabrakan tadi. Aku melihatnya, lalu ikut membantunya memungut barang-barang tersebut.

 

"T-tidak perlu repot-repot…"

 

Suaranya terdengar lemah, dan dia tampak canggung.

 

"Tidak apa, aku juga salah."

"T-terima kasih…"

 

Dia mengucapkannya dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
Mungkin ini pertama kalinya aku mendengar suaranya dengan jelas.

 

Barang-barangnya yang jatuh terdiri dari roti dan teh yang sepertinya baru dibeli dari kantin, lembar tugas, serta alat tulis.
Tapi satu benda menarik perhatianku, seolah-olah aku tertarik padanya secara otomatis—sebuah novel ringan bergenre komedi romantis.

 

"A-anu… itu…"

"Oh, ini kan novel yang heroine-nya terkenal imut?"

"Eh, k-kamu tahu…?"

 

Dia bertanya dengan ragu-ragu.

 

"Ah, aku belum pernah baca sih…"

"O-oh, begitu ya…"

 

Begitu aku menjawab, dia tiba-tiba mendekat dengan mata berbinar.
Aku sampai terkejut dan refleks mundur selangkah.

 

"Kamu suka novel ringan, ya!?"

"U-uhh, ya… aku juga suka anime dan manga."

"Aku juga!!"

 

Sikapnya berubah drastis dibandingkan sebelumnya.
Dia kini menatapku dengan penuh antusias, wajahnya begitu dekat denganku.

Aku sampai berkedip beberapa kali karena terkejut.

 

"Umm, kamu ada waktu sekarang? Ayo ngobrol sebentar!"

 

Tanpa menunggu jawabanku, dia langsung menarik lenganku dan membawaku ke ruangan yang bertuliskan "Klub Penelitian Manga."
Aku hanya bisa mengikuti arus dan duduk di kursi, meskipun aku sendiri masih belum mengerti kenapa aku dibawa ke sini. Sesuai dengan namanya, Klub Penelitian Manga dipenuhi dengan buku dan poster di sekeliling ruangan.

 

"Maaf ya, tiba-tiba menyeretmu ke sini."

"Aku juga nggak berusaha menghentikanmu sih, jadi nggak masalah. Tapi, kenapa aku?"

 

"Soalnya, kalau sudah membahas sesuatu yang kusukai, seperti novel ringan atau anime, aku jadi nggak bisa melihat keadaan sekitar. Makanya, aku pengin ngobrol banyak dan tanpa sadar membawamu ke sini."

 

Imagawa menundukkan kepala sambil berkata, "Maaf, ya."

 

"Kau benar-benar menyukainya, ya?"

"Tentu saja! Aku sangat menyukainya!"

 

Melihat senyum penuh percaya diri tanpa kebohongan darinya, aku juga ikut merasa senang karena sama-sama menyukai novel ringan dan anime.

 

"Jadi… genre apa yang paling kamu suka?"

"Hmm, aku suka romcom, tapi juga suka fantasi."

"Wah, itu genre klasik dalam novel ringan!"

 

"Kalau kamu sendiri gimana, Imagawa?"

"Aku juga suka sekali dengan fantasi! Selalu membayangkan bisa pergi ke dunia seperti itu dan menggunakan berbagai macam sihir."

 

"Kalau romcom?"

"U-umm… Aku selalu berpikir betapa enaknya kalau bisa hidup ditanggung oleh heroine cewek…"

 

"Kau ini kayak om-om aja."

"Soalnyaaa……"



"Kau kan lebih cocok jadi heroine."

 

Mendengar itu, Imagawa langsung menggeleng-gelengkan tangannya dengan panik.

 

"A-aku ini cuma karakter figuran biasa! Mana mungkin aku bisa disamakan dengan mereka!"

"T-tapi… aku rasa nggak begitu juga, sih."

"Maaf kalau aku malah membuatmu merasa harus menjaga perasaanku…"

 

Ia berkata begitu dengan wajah lesu. Namun, semakin lama aku berbicara dengannya, semakin aku merasa bahwa kami memiliki kesamaan—terutama ketika sedang membahas hal yang kami sukai, kami jadi tidak menyadari sekeliling. | Dia terlihat gelisah, seperti ingin mengatakan sesuatu.

 

"A-akhir-akhir ini aku juga lagi suka baca web novel!"

"Oh, ya? Menarik juga."

"Iya, benar kan!"

 

Aku juga membaca web novel, bahkan menulisnya, jadi aku harus bersikap biasa saja agar tidak ketahuan. Kalau sampai ketahuan, rasanya bakal sangat memalukan.

 

"Ngomong-ngomong, novel apa saja yang kamu baca?"

"Hmm… tunggu sebentar, ya? Aku cek bookmark dulu."

 

Setelah berkata begitu, dia menunjukkan daftar bookmark di ponselnya kepadaku. Aku menerima ponselnya dan mulai menggulir layar, melihat judul-judul novel yang dia simpan. Seperti yang dia katakan tadi, kebanyakan adalah fantasi. Di antara sekian banyak novel fantasi, mataku tertuju pada satu judul romcom. " Gadis Tercantik di Sekolah Tiba-tiba Menunjukan perasaan kepada Bocah Introvert Seperti Aku".

 

Itu… novel yang kutulis.

 

Begitu menyadarinya, keringat dingin mulai mengalir di punggungku. Aku buru-buru hendak menutup layar, tapi Imagawa tiba-tiba mulai membahas novel itu.

 

"Setiap kali membaca novel ini, aku jadi ingin dimanja juga."

 

Dia berkata begitu dengan ekspresi sedikit melamun.

 

"Penulisnya benar-benar tahu apa yang diinginkan pembaca. Semua hal yang bikin pembaca berpikir 'Aku ingin seperti ini!' atau 'Aku ingin punya pacar seperti ini!' ditulis dengan sangat baik."

"S-segitu, ya…"

 

Mendapatkan pujian seperti itu untuk novel buatanku sendiri rasanya lebih dari sekadar memalukan—lebih tepatnya, membuatku gelisah. Tapi, sejujurnya, aku juga merasa sangat senang.

 

Setelah memujiku habis-habisan, dia mulai merekomendasikan beberapa novel web lainnya yang menurutnya bagus. Pembicaraan ini seperti tidak ada habisnya. Merasa bahwa jika dibiarkan, dia akan terus bicara tanpa henti, aku segera mengalihkan perhatian dengan menunjuk poster yang tertempel di dinding ruangan.

 

"Oh, ternyata ada poster dan merchandise juga."

"Iya! Sebagian punyaku, tapi ada juga yang dibawa oleh para senior."

 

Aku berhasil mengalihkan perhatiannya, tapi sekarang aku baru benar-benar menyadari bahwa jumlah koleksinya banyak sekali. Jika semua ini hanya miliknya seorang, jumlahnya cukup mengejutkan.

 

"Kamu beli dari toko langsung? Kayak di Anemeito gitu?"

"Uh… anu…"

 

Imagawa mulai terlihat ragu-ragu.

 

"Aku… belum pernah ke Anemeito. Semuanya aku beli online."

"Eh? Belum pernah ke Anemeito?"

 

"I-iya… Aku ingin ke sana, tapi rasanya malu dan nggak punya keberanian."

 

Dia menjawab sambil memainkan jarinya, terlihat sangat malu.

 

Aku bisa mengerti. Pergi ke tempat seperti itu sendirian memang butuh keberanian, apalagi kalau baru pertama kali.

 

"Kenapa nggak minta ditemani seniormu?"

"Aku malu meminta mereka menemaniku. Lagipula, mereka pernah bilang lebih suka pergi ke Anemeito sendirian."

"P-punya prinsip tersendiri, ya?"

"Iya…"

 

Dia tampak murung, lalu menghela napas kecil. Seperti anak kecil yang kehilangan mainannya.

 

"U-um… kamu mau menemaniku ke sana?"

 

Dia menatapku dengan mata berbinar, memohon seperti anak kecil yang meminta sesuatu. Melihat ekspresinya, entah kenapa aku merasa kasihan dan tidak bisa menolaknya.

 

"Y-ya… kalau cuma itu sih, aku nggak keberatan."

 

"Eh? B-b-beneran?!"

"Aku sih nggak masalah pergi dengan siapa pun. Tentu saja, tergantung kamu juga."

"Aku mau! Aku ingin pergi!"

"Nggak perlu segitu semangatnya, kali…"

 

Matanya berbinar dan nafasnya sedikit memburu, seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan baru.

 

"Jadi, kapan kita pergi?"

"Hari ini saja! Hal seperti ini harus segera dilakukan!"

"H-hari ini? Hmm… Aku ada kerja paruh waktu, tapi nggak masalah."

"Hore! Tunggu aku, Anemeito!"

"Tenang saja, Anemeito nggak akan kabur…"

 

Setelah membuat janji untuk pergi ke Anemeito, aku keluar dari ruang Klub Penelitian Manga.

 

Dalam perjalanan kembali ke kelas, aku baru menyadari bahwa aku belum makan siang. Tapi ketika sadar, bel sudah berbunyi, menandakan kelas siang akan segera dimulai.

 

Di sepanjang pelajaran sore, pikiranku terus melayang ke Imagawa. Rasanya sulit dipercaya bahwa aku baru saja mendengarnya berbicara panjang lebar dan bahkan setuju untuk pergi ke Anemeito bersamanya hari ini.

 

Setelah kelas berakhir dan jam pulang sekolah tiba…

 

"Eh? Kuroda-kun?"

 

Mendengar namaku dipanggil, aku menoleh.

 

Seorang gadis dengan rambut panjang dan hitam berkilau melambai ringan ke arahku.

 

"Hari ini pulangmu lebih lama dari biasanya, ya?"

"Ah… iya, tadi aku harus menulis jurnal tugas piket."

"Oh, begitu…"

 

Dia menatapku, lalu tiba-tiba seperti teringat sesuatu dan mulai bertanya.

 

"Ah, kamu sudah makan sisa makanan kemarin dengan benar?"

"Ah, sudah, kok. Memangnya nggak boleh dimakan?"

"Bukan begitu, aku cuma lupa bilang supaya dimakan lebih cepat... Tapi kalau sudah dimakan, aku jadi tenang."

 

Mendengar jawabanku, dia menghela napas lega sambil menepuk dadanya. Sebenarnya, masakannya memang enak, jadi nggak mungkin aku lupa. Tapi, kelihatannya dia khawatir.

 

"Ah... Kalau begitu, hari ini mau pulang bareng?"

 

Aku sampai terkejut mendengarnya. Kalau nggak ada urusan setelah ini, aku pasti sudah mengiyakan. Di jam segini, kebanyakan siswa yang masih di sekolah sedang ikut kegiatan klub, jadi hampir nggak ada yang bakal melihat kami. Ini kesempatan emas untuk pulang berdua, tapi aku juga nggak bisa membatalkan janji yang sudah dibuat sebelumnya.

 

"Ah... Umm... Maaf, hari ini aku ada urusan."

"Oh, urusan yang pernah kamu bilang sebelumnya? Kerja paruh waktu, ya?"

 

Saat aku sedang berpikir bagaimana menjawabnya, dia malah lebih dulu menyebut soal kerja paruh waktu.

 

"Eh, iya... Yah, semacam itu."

 

Begitu aku menjawabnya, dia langsung menyipitkan mata dan mendekatkan wajahnya, sementara pipinya sedikit menggembung, seolah curiga.

Entah kenapa, jantungku mulai berdetak lebih cepat, dan keringat dingin mulai keluar. Rasanya seperti aku sedang berbohong padanya.

 

"Kamu bohong, ya?"

 

Saat mendengar kalimat itu, aku yakin kalau dia tipe orang yang punya insting kuat sebagai perempuan. Wajahnya semakin mendekat, sementara aku perlahan-lahan mundur.

 

"T-tidak, sungguh, aku benar-benar kerja hari ini!"


"Oh... Begitu, ya."

"Maaf, padahal kamu sudah mengajakku..."

"Aku juga mendadak ngajak, jadi nggak apa-apa. Semangat kerja, ya!"

 

Dia sempat terlihat kecewa, tapi segera tersenyum lagi dan menyemangatiku.

 

"Umm... Kalau nanti ada kesempatan, mau pulang bareng nggak?"

 

Kalau mau mengatakannya, sekaranglah saat yang tepat. Setelah aku mengatakannya, dia terdiam beberapa detik. Mungkin tidak menyangka aku akan mengatakan itu, dia terlihat terkejut.

 

"Iya! Kalau ada kesempatan, kita pulang bareng, ya!"

 

Aku hampir hanya mengatakannya tanpa berpikir, tapi akhirnya malah jadi janji. Jantungku terus berdetak kencang, seakan tak mau berhenti.

 

"B-benar nggak apa-apa?"

"Aku yang ngajak duluan, jadi kalau di hari lain, aku nggak ada alasan buat nolak, kan?"

 

Setelah itu, dia menambahkan,

 

"Tapi, ya, tergantung situasi nanti juga, sih."

Lalu, dia tersenyum lembut dan berkata,

 

"Nanti giliran Kuroda-kun yang ngajak, ya?"

 

Dia sedikit memiringkan kepalanya, sementara rambut panjangnya yang indah ikut bergoyang.

 

"...Iya, iya."

 

Aku mengangguk dua kali.

 

 

"Maaf, Imagawa. Aku terlambat karena tugas piket."

"Tidak apa-apa. Kalau begitu, ayo pergi."

 

Entah kenapa, wajahnya terlihat tegang, tapi aku tidak terlalu memikirkannya. Kami pun berjalan menuju AneMeito. Di tengah perjalanan, dia tiba-tiba berhenti dan bertanya,

 

"Umm... B-benarkah tidak apa-apa? Kalau sampai ketahuan kita pergi bersama, lalu muncul gosip aneh, bukankah itu bisa merepotkan Kuroda-san?"

 

"Hanya pergi ke Anemeito, masa bisa sampai muncul gosip aneh?"

"Ini hanya kemungkinan saja."

"Kalau itu terjadi, kita bilang saja kebetulan bertemu."

"...Baiklah."

 

Wajahnya masih menunjukkan tanda tidak sepenuhnya puas.
Aku tidak yakin bisa bertahan di suasana seperti ini, jadi dalam hati aku berharap kami bisa segera sampai di toko. Namun, aku tetap menyesuaikan langkahku dengannya.

 

"I-ini... Anemeito..."

"Bagaimana? Terasa baru, kan?"

"Banyak sekali merchandise anime... Apa ini surga?"

"Sama sekali bukan. Ini cuma toko biasa."

 

Dengan mata berbinar, dia melihat-lihat barang yang ada di sana, sementara nafasnya terdengar sedikit bersemangat.

Aku sendiri tidak terlalu sering ke sini, jadi begitu masuk, aku tetap agak terkejut melihat begitu banyaknya barang di dalamnya.
Figur, poster, gantungan kunci—rasanya berbeda dibandingkan saat melihatnya di internet.

 

"Baiklah, kita keliling, ya."

"Baik! Dimengerti!"

 

Kami pun mulai berkeliling di dalam toko.

 

"Lihat ini! Buku dengan bonus spesial, dan ada figur juga... L-lucu sekali!"

"Oh! Lihat, Imagawa! Ada tanda tangan seiyuu di sini!"

"A-apa!? Luar biasa..."

 

Sambil berkata begitu, dia menyatukan kedua tangannya dan mulai berdoa di depan tanda tangan itu.

 

Saat ini, aku merasa seperti seorang teman yang berbagi hobi dengannya.

Aku pun ikut terbawa suasana toko dan hampir saja membeli light novel yang tadi dia pegang, tapi sayangnya aku tidak membawa uang yang cukup, jadi aku mengembalikannya dengan perlahan.

 

Saat menoleh ke arahnya, dia sudah membawa banyak barang di kedua tangannya.

 

"Kamu beli semua itu?"

"Iya! Aku nggak bisa berhenti!"

 

Dia tertawa kecil sambil menunjukkan ekspresi ceria, sesuatu yang sulit dibayangkan saat melihatnya di sekolah.

 

"Gunakan uangmu dengan bijak, ya?"


"Gu... gnuu... Be-benar juga, aku harus lebih berhati-hati," katanya dengan ekspresi lesu, alisnya sedikit menurun.

 

"Tapi kalau datang ke tempat seperti ini, rasanya jadi ingin membeli barang di luar tujuan awal, kan?"

"Bahkan aku yang baru pertama kali ke sini juga kena efeknya... Anemeito benar-benar berbahaya."

 

Namun, meski tangannya penuh dengan barang, dia tetap tersenyum bahagia.

 

"Eh? Tapi, Kuroda-san malah nggak beli apa-apa?"

"Aku tadinya mau beli novel ringan yang kamu pegang tadi, tapi nggak jadi."

 

"Boleh tahu alasannya?"

"Seriesnya panjang, jadi agak sulit buat mulai."

 

Setelah mendengarnya, dia tampak berpikir keras. Lalu, seolah mendapat ide, ekspresinya menjadi cerah.

 

"Kalau begitu, mau kupinjamkan? Novel itu."

"Eh, a-apa nggak apa-apa?"

 

"T-tentu saja! Aku anggap ini sebagai ucapan terima kasih juga!"

"I-ini... rasanya aku jadi merasa nggak enak..."

 

"Tidak masalah! Jangan dipikirkan, ya!"

 

"Aku sangat terbantu, terima kasih."

 

Begitu aku mengucapkan terima kasih, tiba-tiba dia berbicara dengan cepat dan wajahnya memerah.

 

"J-jangan bilang begitu! Aku nggak terbiasa mendengar ucapan terima kasih, jadi hentikan!"

 

Dia mengatakan itu sambil menutupi wajahnya dengan kantong plastik berisi barang-barang yang baru dibelinya.

 

"Lanjut ke mana lagi sekarang?"

 

Dia tampak seperti seekor anjing yang bersemangat saat diajak jalan-jalan. Aku melirik ponselku untuk mengecek waktu saat ini.

 

"Ah, maaf. Aku harus pulang sekarang karena ada kerja paruh waktu."

 

Aku memberi tahu dia kalau aku harus segera pulang hari ini.

 

"O-oh... begitu ya..."

 

Dia tampak kecewa, ekspresinya sedikit redup.

 

"Kalau begitu, aku juga pulang saja."

 

Mungkin karena merasa tidak enak padaku, dia juga memutuskan untuk pulang.

 

"Nggak masalah kalau kamu mau tetap tinggal di sini, lho."

"Aku nggak bisa masuk ke sini sendirian! Lagipula..."

"Lagipula apa?"

"Aku takut akan menghabiskan terlalu banyak uang hari ini, jadi lebih baik pulang..."

 

Entah kenapa, meskipun ini pertama kalinya aku benar-benar berbicara dengannya, aku merasa sedikit akrab dengannya. Akhirnya, kami berdua keluar dari Anemeito.

 

"Kalau begitu, aku ke arah sini."

"Ah, baik! Semangat menjalankan tugas kerja paruh waktunya!"

 

Dia memberi hormat seperti seorang prajurit.

 

"Ah, u-um... sebelum pulang, ada sesuatu yang ingin aku lakukan..."

"Hmm? Apa itu?"

 

"A-anu... bisakah kita... bertukar LONE?"

 

Dia tampak mengumpulkan keberanian, tapi malah tergagap pada bagian paling penting, wajahnya langsung memerah. Aku tak bisa menahan diri dan tertawa kecil melihat tingkahnya yang lucu.

 

"Baiklah, ayo kita tukar."

"Y-ya!"

Aku pun bertukar kontak LONE dengannya. Sama seperti saat dengan Shirakawa, entah kenapa bertukar LONE seperti ini terasa mendebarkan. Tangan kami berdua bergetar saat mengeluarkan ponsel masing-masing.

 

"Terima kasih."

"Aku yang seharusnya bilang begitu! Aku benar-benar puas bisa membeli semua ini!"

 

"Aku ingatkan sekali lagi, pakailah uangmu dengan bijak, ya?"

 

Setelah mengatakan itu, aku pun berpisah dengannya.














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !