Maigo no Onnanoko wo Ie Made Todoketara Chapter 3

Ndrii
0

Bab 3

Sepertinya Bakal Jadi Istri yang Baik





"Se-sejujurnya, tempat ini jadi bersih banget."

 

Setelah melanjutkan bersih-bersih untuk waktu yang cukup lama, aku baru sadar kalau sekarang sudah lewat tengah hari. Karena terlalu fokus, aku nggak terlalu memperhatikan waktu, dan perutku juga belum terasa lapar.

 

"Kita sudah kerja cukup lama, ya~"

 

"Kalau sendirian, aku pasti nggak bakal bisa beresin ini..."

 

"Kalau Kuroda-kun sendirian, bukan cuma bakal makan waktu lama, tapi mungkin nggak akan mulai sama sekali."

 

"Gh... nggak bisa menyangkal sih."

 

"Kamu harus lebih rajin mulai sekarang."

 

Mendengar kata-kata itu, aku secara refleks menegakkan punggung, merasa harus lebih bertanggung jawab.

 

"Sebaliknya, kenapa tempat ini bisa sekotor ini tanpa pernah kepikiran buat beresin?"

 

"Uhh, itu... karena aku nggak punya waktu."

 

"Kalau memang nggak punya waktu, kamu tetap harus beresin sedikit demi sedikit. Minimal pakai vacuum cleaner, misalnya."

 

Aku benar-benar nggak bisa membalasnya.

 

"Kuroda-kun ikut klub di sekolah, nggak?"

 

"Nggak, aku nggak ikut klub. Tapi aku kerja part-time."

 

Dia mengangguk, seolah memahami jawabanku. Memang benar aku kerja part-time, tapi alasan sebenarnya adalah karena aku terlalu sibuk menulis novel web sampai melupakan hal lain. Bukan nggak punya waktu, tapi lebih tepatnya aku buruk dalam mengatur waktu.

 

Selain itu, untuk hal-hal seperti bersih-bersih dan pekerjaan rumah, aku memang susah buat termotivasi.

 

"Meski begitu, kamu tetap harus sedikit berusaha..."

 

"A-aku tahu... mulai sekarang aku bakal beresin lebih sering..."

 

"Kamu selalu bilang begitu! Mulai dari hari ini!"

 

Dia menegurku seperti seorang kakak perempuan yang peduli.

 

"Tapi aku agak kaget, pakaianmu ternyata nggak terlalu banyak."

 

"Yah, kalau di rumah, aku cuma pakai seragam sekolah atau piyama."

 

"Itu juga nggak bagus, tahu?"

 

"Kenapa? Aku kan nggak perlu tampil buat siapa-siapa atau pergi ke mana-mana."

 

"Tapi hari ini kamu nggak pakai piyama, kan?"

 

"Itu karena aku tahu Shirakawa bakal datang."

 

Kalau aku pergi atau tahu ada tamu yang datang, tentu saja aku bakal ganti pakaian.

 

Bagaimanapun juga, aku anak kelas dua SMA. Aku masih punya sedikit kesadaran soal gaya. Aku bahkan punya wax rambut dan parfum.

 

Cowok introvert bukan nggak peduli sama penampilan, mereka cuma nggak tahu caranya.

 

Shirakawa bilang kalau dia merasa nggak cocok dengan pakaiannya, tapi dari sudut pandang cowok, dia kelihatan luar biasa. Rok pendek yang memperlihatkan paha, serta tubuhnya yang ramping dan menawan—jujur saja, itu cukup menggoda.

 

Dia bahkan bisa mengenakan pakaian dengan sempurna. Kalau saja dia berpakaian dengan buruk, mungkin jumlah cowok yang naksir dia bakal berkurang...

 

Tapi meskipun aku berpikir seperti itu, aku sama sekali nggak mungkin punya perasaan padanya... kan?

 

Selain itu, dengan kesempurnaan seperti ini, aneh rasanya kalau dia belum punya pacar atau setidaknya ada rumor soal hubungan asmara. Kenapa justru orang seperti dia yang nggak paham soal cinta...?

 

Tanpa sadar, aku menghela napas.

 

"Ada apa?"

 

"Nggak, cuma merasa akhirnya kita selesai."

 

"Benar juga... eh?"

 

Sambil berkata begitu, Shirakawa mengambil selembar kertas yang tampak seperti print-out.

Sepertinya kertas itu sempat terkubur di antara barang-barang lain, sehingga agak terlipat. Tapi itu adalah satu-satunya hal di ruangan ini yang nggak boleh dilihat orang lain—baik teman maupun keluargaku.

 

Bukan sesuatu yang sangat berharga, tapi cukup memalukan untuk diperlihatkan. Aku buru-buru mencoba merebutnya dari tangan Shirakawa.

 

"Shirakawa! Itu..."

 

Tapi terlambat.

 

Dia sudah mulai membaca tulisan di kertas itu.

 

"Uhh... 'Aku adalah siswa SMA biasa? Bocah penyendiri tanpa teman?'"

 

Dia membaca dengan lantang, tapi dari ekspresinya, dia jelas nggak mengerti. Sambil memiringkan kepalanya, dia bertanya, "Apa ini?"

 

Malu bukan main, aku langsung menutup wajah dan berguling-guling di lantai. Aku ingin sekali menghapus ingatan dia tentang ini.

 

Ya... Hal yang aku sembunyikan di ruangan ini adalah naskah novel ringan yang aku tulis.

Sebagai hobi, aku menulis novel web. Alasanku mencetak naskah ini adalah untuk mengirimkannya ke kompetisi penulis baru di sebuah penerbit.

 

Judulnya: "Gadis Tercantik di Sekolah Tiba-tiba Menunjukkan Perasaan pada Bocah Introvert Seperti Aku"—sebuah kisah romansa komedi.

 

Bahkan kejadian hari ini, saat aku ke rumahnya, sudah kucatat sebagai bahan untuk cerita.

 

Aku mulai menulis hanya karena satu komentar pembaca yang bilang kalau ceritaku menarik.

 

Mereka bahkan berkata, "Aku ingin melihat ini menjadi buku suatu hari nanti."

 

Itu alasan sederhanaku.

 

"Ini... novel?"

 

"Kamu pernah baca light novel?"

 

"Light novel? Nggak, aku belum pernah baca."

 

"Ugh... Pasti kedengarannya aneh, kan? Cowok yang nulis kayak gini..."

Orang-orang sering punya kesan negatif tentang light novel. Aku yakin dia juga sama.

 

Selesai sudah. Dia pasti bakal menganggapku aneh. Atau setidaknya, itu yang kupikirkan—

 

"Kamu suka anime?"

 

"Bukan cuma anime, tapi juga manga dan light novel-nya."

"Menarik, ya?"

"Tentu saja! ...Maaf, aku tiba-tiba ngomong keras."

 

Aku tidak bisa menahannya. Aku tidak bisa berbohong tentang sesuatu yang kusukai.

 

"Fufu. Lucu, tahu?"

"Apa yang lucu?"

"Kalau sudah membahas hal yang kamu suka, kamu jadi bersemangat seperti anak kecil."

"Itu cuma kelihatan aneh, kan?"

"Sama sekali tidak. Aku memang tidak begitu paham, tapi aku tidak akan meremehkan sesuatu yang disukai orang lain."

 

Jawaban yang tak terduga itu membuatku terdiam karena terkejut.
Meskipun mungkin hanya basa-basi, aku tetap merasa senang. Itu saja sudah cukup.

 

"Hm? Ini, di bagian akhirnya masih kosong?"

Dia membolak-balik naskahku dan menunjukkannya padaku.

 

"Belum selesai. Aku belum terpikirkan adegan terakhirnya."

"Begitu ya, kalau sudah selesai, boleh aku baca?"

"Uhh... tapi..."

"Kamu nggak mau kubaca?"

"Bukan begitu..."

"Aaah! Aku tahu! Kamu malu, ya?"

"Yah... itu juga, tapi ya sudahlah."

 

Karena sudah ketahuan, aku memutuskan untuk pasrah saja.
Shirakawa terlihat penasaran dan bertanya, "Kalau begitu kenapa?"

Aku tidak bisa bilang kalau aku tidak mau membiarkan orang lain membacanya. Pendapat dari orang lain itu berharga, jadi aku ingin mendengarnya sebanyak mungkin. Tapi bukan itu masalahnya.

 

"Sebenarnya, kalau aku mulai menulis light novel, aku jadi terlalu fokus dan nggak bisa mengerjakan hal lain. Jadi akhir-akhir ini aku membatasinya."

 

Saat aku mengatakannya dengan hati-hati, Shirakawa langsung paham semuanya.

 

"Jadi, itu sebabnya kamu jadi mengabaikan bersih-bersih dan pekerjaan rumah, ya?"

"Benar sekali."

"Tapi tetap saja, lakukan hobimu dengan sewajarnya, ya?"

"Iya, aku akan berusaha."

 

Shirakawa hanya berkata, "Aku tunggu kalau sudah selesai, ya."

 

"Sudah cukup, kan?"

 

Begitu Shirakawa berkata begitu, aku menghentikan tanganku.
Rumahku kini jauh lebih bersih dibandingkan saat dia datang tadi.

Sekali lagi, aku menyadari kenapa Shirakawa Ayano begitu dihargai oleh orang-orang di sekitarnya. Dia pandai mengurus rumah, baik hati, pintar, dan juga cantik.


Siapa pun pasti akan jatuh hati padanya.

 

Karena itulah, aku merasa dia berasal dari dunia yang berbeda dariku.
Seperti bunga di puncak gunung yang tinggi, begitu jauh untuk kugapai.

 

"Terima kasih, hari ini benar-benar membantu."

"Nggak apa-apa. Aku juga merasa lebih lega sekarang. Eh, jadi lapar, ya."

"Sudah lewat jam satu siang, sih."

"Boleh aku buka kulkasmu?"

"Boleh aja, tapi kayaknya nggak ada apa-apa di dalamnya."

 

Shirakawa membuka kulkasku dan entah kenapa menghela napas.

 

"Aku memang nggak berharap banyak, tapi ini beneran kosong, ya..."

"Kulkasku udah berubah jadi kotak kosong, ya."

Sambil melihat kulkas yang gagal menjalankan tugasnya, dia kembali menghela napas dengan ekspresi pasrah.

 

"Kita pergi ke supermarket sekarang."

"Eh? Supermarket?"

 

Seolah bisa membaca pikiranku, dia langsung memutuskan untuk pergi ke supermarket. Saat aku mengulang pertanyaanku, dia mengangguk dengan wajah serius.

 

Setelah membersihkan rumah, aku sudah cukup lelah, jadi rasanya malas untuk pergi lagi.

Aku memang tidak terlalu bersemangat, tapi dari ekspresinya aku bisa merasakan bahwa dia ingin aku ikut.

 

"Ya. Kita pergi ke supermarket terdekat sekarang."

"Itu... maksudnya aku juga ikut, kan?"

"Tentu saja! Kita akan membeli bahan makanan untuk rumahmu."

"Ya... benar juga."

 

Dia mulai bersiap untuk pergi ke supermarket.

 

"Selain itu, mumpung kita lagi bareng, lebih seru kalau kita pergi bersama, kan?"

"Mumpung, ya..."

"Berdua lebih menyenangkan, kan?"

 

Mendengar dia mengatakan itu, tiba-tiba aku jadi ingin pergi.
Aku pun bangkit dan menuju pintu depan.

 

"Kamu bawa uang?"

"Aman, aku jarang pakai uang, jadi nggak perlu khawatir."

"Kalau kurang, aku bisa bayarin, tapi kayaknya nggak perlu, ya."

 

Setelah memeriksa kunci dan lainnya, kami pun pergi ke supermarket bersama.

 

"Kuroda-kun sering pergi ke supermarket?"

"Lebih murah daripada konbini. Tapi kalaupun belanja, paling cuma beli jus doang."

"Tapi kamu tetap memperhatikan harga, ya? Bagus, bagus."

 

Dia memujiku dengan nada manja. Aku jadi sedikit malu dan menggaruk pipiku.

 

Tiba-tiba, aku menyadari sesuatu.

Seorang pria dan wanita berjalan bersama ke supermarket.
Bukankah itu bisa disalahartikan sebagai pasangan?

 

Begitu aku memikirkannya, aku jadi terlalu sadar akan situasi ini.
Rasanya, orang-orang juga mulai memperhatikan kami lebih dari biasanya.

 

"Kenapa? Wajahmu merah, lho?"

"N-nggak, nggak ada apa-apa..."

"Serius? Jangan-jangan kamu demam?"

 

Dia menatap wajahku dengan cermat, lalu menempelkan tangan kecilnya yang halus dan lembut ke dahiku.

 

“Eh! Panas, lho?”

“Aku nggak apa-apa! Ini bukan karena demam!”

 

Padahal wajahku memanas gara-gara dia, tapi dia sama sekali nggak menyadarinya.

“Kalau bukan demam, lalu kenapa?”

“Itu… um…”

 

Mana mungkin aku bisa bilang kalau aku jadi panas hanya karena secara nggak sadar memikirkannya dan dia tiba-tiba menempelkan tangannya ke dahiku.

 

“Yah, sudahlah.”

“Eh, apaan tuh?”

 

Saat aku menghindari pertanyaan, dia malah mengernyitkan alis, tampak khawatir. Begitu sampai di supermarket, dia langsung mengambil keranjang belanja dan masuk ke dalam.

 

“Ada sesuatu yang pengin kamu makan?”

“Enggak, nggak ada yang spesifik, sih…”

“Kalau gitu, kamu lebih pengin makan daging atau ikan?”

 

Aku berpikir sejenak, tapi jujur aja, aku nggak ada preferensi tertentu.

 

“‘Terserah’ nggak boleh jadi jawaban, ya?”

Dia menatapku dengan tajam, seolah memojokkanku tanpa jalan keluar.

 

“Kalau gitu… ikan aja, deh.”

 

Soalnya tadi aku sempat baca artikel tentang ikan di internet.

 

“Oke, kalau gitu kita cari ikan!”

 

Kami mulai berkeliling supermarket. Tapi tetap aja, berduaan seperti ini bisa bikin orang salah paham kalau kami itu sepasang kekasih. Kalau sampai ada anak sekolah yang kenal melihat kami, pasti besok bakal langsung jadi bahan gosip. Tapi dia sama sekali nggak peduli soal itu, dan melihat aku yang masih kepikiran, rasanya aku jadi bodoh sendiri.

 

“Oh, ketemu!”

“Eh, tunggu.”

 

Waktu aku mau mengambil seekor ikan, Shirakawa tiba-tiba menghentikanku.

 

“Kalau beli ikan, ada trik buat milih yang masih segar.”

“Oh ya? Gimana caranya?”

“Yang pertama, lihat matanya.”

“Matanya?”

 

Dia mengangguk kecil, lalu menunjuk matanya sendiri sambil berkata, “Mata.”

 

Ekspresi polos itu begitu menggemaskan sampai aku terdiam sejenak. Begitu mata kami bertemu, aku merasa seperti tersedot ke dalam tatapan besarnya yang indah.

 

“Ikan yang bagus itu matanya bening dan bagian hitamnya jelas.”

“Oh… aku baru tahu.”

“Tapi sekarang kamu udah tahu, jadi lain kali nggak bakal salah pilih lagi, kan?”

 

Dia mengedipkan sebelah mata dengan manis, membuatku refleks ingin mengusap kepalanya.

 

“Terus, kalau ada cairan yang keluar dari ikan, itu tandanya kesegarannya udah turun.”

“Wah, hebat juga. Kalau nggak biasa belanja, hal kayak gitu memang susah diperhatiin.”

“Ehehe, aku kan memang hebat!”

 

Sepertinya dia senang dipuji. Dia membusungkan dada dengan bangga, dan karena hanya memakai kaus lengan pendek, lekuk tubuhnya jadi terlihat jelas. Aku langsung kebingungan harus melihat ke mana.

 

Dengan wajah secantik itu, dia memang menarik perhatian banyak orang. Tolong, sadar diri sedikit, dong…

 

Setelah itu, kami juga membeli sayur-sayuran dan beberapa kebutuhan sehari-hari yang kurang di kamarku sebelum akhirnya keluar dari supermarket.

 

“Wah, kita beli lumayan banyak, ya.”

“Kalau nggak segini, kulkasnya bakal tetap kosong.”

“Tapi pasti berat, kan? Aku bantu bawain satu, deh.”

 

Saat aku membawa belanjaan di kedua tangan, dia mencoba membantuku.

 

“Nggak apa-apa, kok. Ini lumayan berat…”

“Aku juga lumayan kuat, lho?”

“Kalau urusan kayak gini, serahin aja ke cowok.”

Aku mencoba meyakinkannya.

 

“Kalau gitu! Masaknya serahin ke aku, ya? Aku bakal masakin yang super enak!”

“Baiklah, aku serahin padamu.”

“Hehe, sip!”

 

Dan sekarang, Shirakawa sedang memasak.

 

Untungnya, di rumah masih ada pisau dapur dari toko serba seratus yen yang belum pernah dipakai. Dari kursi, aku memperhatikan dia memasak.


Dia memotong sayuran dengan cepat, membersihkan ikan, lalu mulai mengolahnya. Semua gerakannya terlihat efisien dan tanpa celah. Aku benar-benar terkejut melihat betapa terampilnya dia memasak. Aku nggak menyangka dia seahli ini. Tanpa sadar, aku bergumam,

 

“Shirakawa pasti bakal jadi istri yang baik, ya.”

 

Saat aku berkata begitu, tiba-tiba terdengar suara ‘dug’ dari pisau yang terhenti di talenan.

 

“A-a-a-apa yang kamu bilang barusan!?”

 

“Eh? Aku cuma bilang kamu bakal jadi istri yang baik, sih…”


“I-i-istri!? Hahaha….”

 

Dia tiba-tiba jadi canggung, gerakannya mendadak kikuk. Wajahnya merah padam, dan dia mulai mengipas dirinya sendiri dengan tangan.

 

Sementara itu, aroma masakan yang sedap mulai memenuhi ruangan, membuat perutku yang sejak tadi kosong semakin keroncongan.

 

“Yay, makanannya siap~!”

“Wow, kelihatan enak banget!”

 

Di depanku kini terhidang ikan meuniere yang baru saja kami beli tadi.

 

Aku menelan ludah, lalu berkata, “I-ikadakimasu.”

 

Dengan penuh rasa syukur pada bahan makanan dan sang koki, aku menyuapkan satu gigitan ke mulutku.

 

“Wah, ini enak banget! Jadi pengin coba versi dagingnya juga, deh.”

“Beneran? Senang dengarnya!”

 

“Kelihatannya seimbang dan juga bagus buat kesehatan.”

“Tentu saja, aku juga memikirkan hal-hal seperti itu.”

 

Setelah merasakan masakan ini, aku merasa bakal sulit lagi makan mi instan dalam cup. Itu agak menakutkan.

 

“Yap! Kayaknya aku berhasil masak dengan baik.”

 

Dia memberikan kesimpulan tentang masakannya sendiri.

 

“Ini sih sukses besar… Terima kasih ya, udah masakin buatku.”

“Enggak kok, nggak perlu terima kasih. Yang paling bikin senang seorang koki itu adalah saat masakannya dibilang enak.”

 

“Dewi masak…!”

 

Aku berkata begitu sambil bercanda, tapi dia langsung memerah dan berteriak,

 

“Jangan bilang gitu! Malu, tahu!”

 

Dia pun memalingkan wajahnya dengan pipi yang masih merah. Itu juga terlihat sangat imut.

 

Entah kenapa, aku berharap momen hangat seperti ini bisa bertahan lebih lama. Aku nggak pernah kepikiran sebelumnya, tapi suasana ini terasa sangat nyaman.

 

“Ah, maaf! Aku ada urusan setelah ini, jadi aku pulang dulu ya?”

 

Namun, begitu aku berpikir seperti itu, aku langsung tersadar kembali pada kenyataan.

 

“Eh? Ah… Maaf, udah merepotkanmu.”

“Nggak kok! Tapi sebagai gantinya, kamu harus rajin bersih-bersih.”

“Akan kuusahakan…”

“Janji, ya.”

 

Setelah berkata begitu, Shirakawa tampak puas dan pergi dengan senyum lebar.

 

Aku langsung menuliskan kejadian hari ini sebagai inspirasi untuk novel web-ku, dan ternyata responsnya sangat bagus. Rasanya makin banyak orang yang bilang kalau heroine-nya imut di kolom komentar.

 

Hanya mengandalkan imajinasi sendiri ada batasnya dalam membuat cerita. Berkat dia, aku bisa memperluas dunia dalam tulisanku.













Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !