Chapter 5
Ikuta Yurina, Iblis Kecil di Tempat Kerja Paruh Waktu
Dari Anemeito,
aku langsung menuju tempat kerja paruh waktuku di restoran keluarga. Aku sudah
menjalani pekerjaan ini selama setahun sejak musim panas tahun pertama SMA.
Alasanku mulai bekerja
paruh waktu adalah karena seorang teman mengajakku. Tapi pada akhirnya, dia
hanya bertahan beberapa bulan sebelum berhenti. Selain itu, aku juga berpikir
kalau dengan berinteraksi dengan orang lain, mungkin aku bisa sedikit berubah.
Itulah sebabnya aku masih bertahan dengan pekerjaan ini hingga sekarang.
"Selamat
sore!"
Setelah menyapa,
aku segera berganti ke seragam, mencatat kehadiran dengan kartu waktu, lalu
keluar ke area restoran.
Hari ini hari
biasa, jadi jumlah pelanggan lebih sedikit dibandingkan akhir pekan, tapi tetap
cukup ramai. Karena aku sudah hampir setahun bekerja, aku sudah terbiasa. Dulu,
bahkan hari biasa terasa seperti neraka bagiku, tapi sekarang, entah bagaimana
aku bisa menanganinya dengan baik. Orang-orang di sekitarku juga semuanya baik.
Sekitar tiga
puluh menit setelah aku mulai bekerja di area restoran, tiba-tiba terdengar
suara nyaring dan penuh semangat.
"Selamat
soreee~!!"
Begitu aku
mendengar suara itu, rasanya seperti ada beban berat yang tiba-tiba menekan
pundakku. Giliran kerja yang awalnya damai pasti akan berubah menjadi kelelahan
setelah ini.
"Eh?
Senpaaai~ Ternyata kita satu shift hari ini!"
"Y-ya,
memang kenapa?!"
"Aku nggak
bilang itu buruk, kan~?"
Gadis SMA dengan
suara menyebalkan dan jago mengusik orang ini adalah Ikuta Yurina.
Dia adalah
juniorku di tahun pertama SMA. Tubuhnya kecil, tapi memiliki ciri khas rambut
cokelat terang sedikit pudar. Sikapnya benar-benar menyebalkan.
"S-sudahlah, cepat kerja!"
"Iya, iya,
aku tahu kok."
Sambil menggerutu
padaku, dia merapikan kerutan di seragamnya lalu pergi untuk mengambil pesanan.
Daripada membuang waktu dengan ocehannya, lebih baik dia bekerja.
Ikuta benar-benar
seperti anak SMA zaman sekarang. Dia selalu mengikuti tren, aktif di media
sosial, dan pernah menunjukkan beberapa unggahan di aplikasi Onsta kepadaku.
Aku sendiri tidak
terlalu paham dengan tren-tren terbaru. Apa semua siswi SMA zaman sekarang
seperti Ikuta? Termasuk Shirakawa dan Imagawa juga?
"Jangan cuma
berdiri di situ, cepat ganti baju!"
"Eh? Kenapa,
Senpai? Penasaran dengan cara aku berganti baju?"
"A-apa?!
Tentu saja tidak!"
"Kyaa~
Menakutkan sekali~"
Sambil berkata
begitu, dia berjalan menuju ruang ganti, tasnya yang penuh gantungan kunci
berbunyi saat dia melangkah Saat kembali dengan seragam, penampilannya ternyata
lumayan cocok.
"Senpai, kok
ngelihatin aku terus?"
"T-tidak,
aku tidak melihat apa-apa."
"Eeh~? Tadi
jelas-jelas ngelihatin aku, kan?"
"Baiklah,
ayo bekerja hari ini!"
Aku meregangkan
tubuh dan bersiap mengambil pesanan, tetapi tiba-tiba dia menarik kerah
seragamku.
"Guehh!"
Aku mengeluarkan
suara aneh karena kaget.
"A-apa sih!
Itu berbahaya tahu!"
"Aku nggak
akan lepasin sampai Senpai jawab!"
"Haa...
baiklah."
Saat aku
menyerah, dia akhirnya melepaskan genggamannya.
"Jadi?
Kenapa tadi ngelihatin aku terus?"
"I-iya...
soalnya seragammu kelihatan cocok aja..."
"Hanya
itu?"
"Y-ya."
Saat aku menjawab
dengan sedikit malu, dia tertawa dengan suara tinggi.
"Senpai,
baru sadar sekarang? Harusnya udah biasa, kan?"
"T-tidak
juga..."
"Yah, aku
paham kalau Senpai terpesona, sih. Jujur saja, aku memang imut, kan?"
"T-tunggu,
aku nggak bilang sampai segitu—"
"Baiklah,
aku ambil pesanan dulu ya~"
Dia dengan ceria
berlari mengambil pesanan, memotong ucapanku dengan sengaja. Aku yakin itu
disengaja.
"Pernah
nggak sih, merasa capek cuma karena datang ke tempat kerja?"
"Y-ya...
kadang aku juga malas sih..."
"Aku capek
sekolah, jadi mau istirahat sebentar."
Sambil berkata
begitu, dia menyandarkan tubuhnya ke dinding.
"Hei, jangan
malas-malasan!"
Saat aku
menegurnya, dia merajuk.
"Aku kan
sudah kerja, tahu!"
"Hei, belum
satu jam pun berlalu."
"Iya, iya,
aku kerja kok. Senpai nggak bisa diajak bercanda ya..."
Sambil mengembungkan
pipinya, dia berjalan pergi untuk membersihkan ruangan. Karena pekerjaanku agak
longgar, aku pergi untuk memeriksa apakah dia benar-benar bekerja.
Ternyata, dia
meletakkan sikat di samping dan asyik bermain ponsel.
"Kamu
malas-malasan lagi, ya?"
"T-tidak!
Aku tadi kerja kok!"
"Kata
kuncinya 'tadi' ya."
Saat aku
menegurnya, dia hanya bisa menggerutu tanpa bisa membantah.
"Senpai
sendiri belum istirahat, tapi malah keluyuran ke sini, kan?"
"A-aku cuma
khawatir kamu nggak kerja..."
Begitu aku
mengatakan itu, dia menyeringai.
"Eeeh~?
Senpai khawatir padaku~?"
"Bukan kamu!
Aku khawatir dengan toko ini..."
"Eh? Aku
nggak ngomong soal diriku, loh~?"
"......"
"Diam saja
ya? Imut sekali~"
"C-cepat
kerja!"
Suaraku sedikit
bergetar saat memarahinya, tapi aku tidak yakin apakah sebagai senior aku
berhasil menegurnya dengan baik.
Justru, aku yang
sering dijahili olehnya, sampai rasanya dia lebih seperti senior daripada aku. Setelah
kembali dari membersihkan ruangan, dia menatap sekeliling dan berkata,
"Senpai,
kayaknya pelanggan makin banyak, deh?"
Memang, tiba-tiba
saja restoran menjadi ramai.
"Y-ya, mulai
sibuk. Jangan bercanda lagi, kerja yang benar!"
"Senpai
menganggap aku apa sih!"
"Langsung
saja, Pemalas. Nyebelin."
"Hei!
'Nyebelin' itu keterlaluan!"
"Harusnya
kamu menyangkal bagian 'pemalas' dulu, dong."
Sial, aku malah
terpancing untuk menanggapi. Ini yang membuatnya makin besar kepala. Bukan
berarti dia tidak bisa bekerja, tapi dia selalu saja mencari alasan untuk
malas-malasan.
Selain itu, entah
kenapa dia selalu mulai malas-malasan di tempat yang pasti ketahuan olehku,
jadi akulah yang harus menegurnya, dan itu yang paling merepotkan.
Kalau mau malas-malasan, lakukan di tempat yang tidak ketahuan, itulah yang
selalu kupikirkan. Memang ada hari-hari sepi, jadi aku bisa sedikit
memakluminya.
"Sungguh
jahat," katanya sambil berpura-pura menangis. Dengan suara lirih, ia mulai
mengeluarkan tangisan palsu, seperti "Gusun gusun~".
"Tapi,
yah... setidaknya dia ceria? Aku tahu kalau dia bukan orang yang benar-benar
jahat."
Saat aku
mengatakan itu, dia menatapku dengan senyum menyeringai.
"Jadi, pada
akhirnya, Senpai juga menyukaiku, ya~?"
"Kok bisa
kesimpulannya seperti itu...?"
Setelah itu,
karena restoran mulai sibuk, aku tidak punya waktu untuk mengurusi dia. Dia
pun, tidak seperti sebelumnya, mulai bekerja dengan serius tanpa
bermalas-malasan.
"Kuroda-kun,
Ikuta-chan, kalian bisa istirahat dulu," kata manajer.
"Baik,"
jawabku, merasa lega karena akhirnya bisa melepas sedikit ketegangan dari
bahuku.
"Oh iya,
Manajer. Menurut Anda, bagaimana Ikuta?"
Sekalian saja,
aku bertanya pendapat manajer tentang dirinya.
"Ikuta-chan?"
"Ya.
Akhir-akhir ini, menurut saya dia sering malas-malasan..."
"Tidak juga,
kok? Ikuta-chan itu ceria dan selalu bekerja dengan baik. Selain itu, dia cukup
populer di sini."
Saat mendengar
kata-kata manajer, aku langsung punya firasat buruk.
"Manajer...
jangan-jangan, banyaknya pelanggan tiba-tiba di jam ini itu..."
"Ya,
kemungkinan besar banyak pelanggan yang datang karena ingin bertemu dengan
Ikuta-chan."
Mendengar hal
itu, aku tanpa sadar menoleh ke arahnya.
Dia tampak bercakap-cakap dengan pelanggan dengan ceria, sambil dengan sigap
membersihkan meja dan mengangkat piring-piring kotor.
"Manajer,
permisi. Saya akan masuk istirahat dulu,"
"Heh? Oh,
baiklah," jawabnya ketika kusampaikan kalau kami mendapat giliran
istirahat.
Kupikir dia akan
menggodaku seperti biasa, tapi sepertinya dia cukup kelelahan kali ini. Melihatnya
seperti itu, aku teringat kembali saat pertama kali bertemu dengannya.
Itu terjadi pada
bulan April tahun ini.
"Kuroda-kun,
ini Ikuta Yurina-chan. Mulai hari ini, dia akan bekerja di sini," kata
manajer saat memperkenalkannya kepadaku sebelum mulai bekerja.
"Mohon
kerjasamanya”.
“Mohon
kerjasamanya juga”.
Saat itu, kami
hanya bertukar sapaan ringan.
"Umm...
Kuroda-senpai, sebenarnya apa saja yang harus kulakukan dalam pekerjaan
ini?"
"Eh? Oh, aku
ya?"
"Iya."
"Umm...
Kurasa lebih baik kau bertanya langsung ke manajer?"
Aku bukan tipe
orang yang pandai mengajarkan sesuatu. Lagi pula, aku sendiri baru satu tahun
di sini. Lebih baik bertanya langsung ke manajer. Namun, dia malah berkata,
"Manajer
bilang aku harus bertanya ke Kuroda-senpai..."
"Serius?"
"Lagipula,
aku juga diberi tahu kalau Senpai akan jadi pembimbingku."
Aku sama sekali
tidak menyangka akan ditunjuk sebagai pembimbingnya.
"Yah, kalau
itu perintah manajer, mau bagaimana lagi..."
"Jadi,
pekerjaannya..."
"Baiklah,
pertama-tama..."
Akhirnya, aku
mulai mengajarinya pekerjaan dari awal. Aku memintanya untuk mulai dari
membersihkan restoran terlebih dahulu.
Awalnya, semuanya
berjalan lancar. Karena kami selalu mendapat jadwal kerja yang sama, aku bisa
membimbingnya, dan dia cukup cepat belajar. Namun, ketika dia mulai terbiasa
dengan pekerjaannya, suatu hari—
PRAANG!
Terdengar suara
piring pecah, diikuti teriakan marah seorang pria paruh baya.
"Apa yang
kau lakukan?! Makananku jadi berantakan, dan pecahannya berbahaya! Apa yang
akan kau lakukan?!"
Hari itu,
restoran sangat ramai, dan aku tidak bisa memperhatikannya dengan baik.
"Ma-maaf..."
"Bagaimana
dengan waktuku yang terbuang sia-sia, hah?!"
Saat dia hendak
meminta maaf, pria itu malah menyelanya dengan teriakan marah. Aku selalu
berpikir, kenapa orang-orang seperti ini selalu memotong pembicaraan orang yang
sedang meminta maaf?
"Kasihan
sekali Ikuta-chan..."
Para staf lain
menatapnya dengan penuh simpati.
Dia tampak benar-benar
panik karena tiba-tiba dimarahi seperti itu.
Aku melihatnya tergesa-gesa menundukkan kepala berkali-kali, meminta maaf
dengan suara yang semakin lama semakin kecil. Yang bisa kulakukan saat ini
bukanlah sekadar menonton dari jauh.
Sebagai pembimbingnya, aku seharusnya berdiri di sisinya dan mencari solusi
bersamanya.
"Toh, aku
ini pembimbingnya..."
Aku bergumam
pelan, lalu melangkah mendekatinya. Sejujurnya, aku tidak ingin terlibat dalam
masalah ini. Tapi, aku merasa tidak boleh mengabaikannya. Jantungku berdebar
kencang karena gugup.
"Per-permisi,
ada... ada apa ini?"
Karena gugup, aku
malah berbicara terlalu cepat seperti seorang otaku yang bicara di acara
diskusi anime.
"Anak ini
menjatuhkan makananku, memecahkan piring, dan membuat pecahan berserakan!
Selain itu, dia sudah membuang waktuku!"
"S-Saya
mengerti, sungguh maaf atas kejadian ini..."
Aku membungkukkan
badan dalam-dalam, meminta maaf kepada pelanggan yang sedang marah itu.
"Sebentar,
saya akan segera menyiapkan yang baru, mohon tunggu sebentar."
"Cepatlah!"
Aku segera pergi
ke dapur dan meminta mereka untuk menyiapkan ulang hidangan yang sama, ditambah
dengan makanan penutup sebagai permintaan maaf.
"Maaf
menunggu, ini pesanannya."
"Apa
ini?"
Pelanggan itu
tampak bingung melihat hidangan yang tidak dipesannya.
"Ini sebagai
permintaan maaf kami, jadi ini diberikan secara gratis."
"Ka-Kalau
ini gratis, ya sudah, aku terima saja."
Meskipun tadi
sempat mengeluh, dia tetap menyantap makanan penutup itu.
"Benar-benar,
kenapa mempekerjakan anak yang tidak bisa diandalkan seperti itu?"
Bapak itu
mengatakannya dengan suara yang cukup keras hingga terdengar oleh Ikuta.
"Dia sudah
bekerja dengan sangat baik."
"Tapi dia
tetap saja melakukan kesalahan, kan?"
"Semua orang
pasti pernah melakukan kesalahan."
Aku berkata
begitu, lalu membungkuk sedikit sebelum meninggalkan tempat itu.
"A-Aku...
Maaf ya. Padahal ini salahku..."
"Sudahlah,
semua orang bisa melakukan kesalahan."
"Tapi...
soal laporan..."
Kepada manajer,
aku berbohong bahwa akulah yang membuat kesalahan, bukan Ikuta. Laporan pun
kutulis sendirian.
"Kesalahan
kali ini tanggung jawabku."
"Tapi..."
"Kesalahan
anak baru adalah tanggung jawab senior yang mengajarinya."
"T-Terima
kasih..."
"Ah, dan... t-tentang
yang tadi dikatakan pelanggan, jangan dipikirkan, ya."
Setelah
mengatakannya, aku merasa malu sendiri dan membuang muka agar dia tidak melihat
wajahku.
"Aha, Senpai
baik banget, ya?"
Ikuta malah
tertawa sendirian.
◆
"Senpai?
Nggak istirahat?"
"Sekarang
mau istirahat."
Kami masuk ke
ruang istirahat dan duduk di kursi.
"Hei, lain
kali kerja yang bener, jangan malas-malasan."
"Aku nggak
pernah malas-malasan kalau Senpai nggak ada."
"Kenapa
kalau aku ada malah malas-malasan?"
Barusan manajer
juga bilang begitu, jadi kurasa dia nggak bohong. Tapi kalau memang begitu,
kenapa dia cuma malas-malasan kalau aku ada? Apa karena reaksiku yang
menyenangkan baginya, atau ini cuma keisengan belaka?
"Rahasia."
Jawaban yang sama
sekali tidak terdengar imut.
Dalam situasi
seperti ini, lebih baik aku tidak menekan lebih jauh.
Karena capek, percakapan pun berakhir begitu saja. Ruang istirahat terasa
sangat hening, tidak seperti suasana yang biasa ada di antara dua anak SMA.
Sambil membaca
berita online di ponsel dan minum kopi kaleng, aku menyadari kalau Ikuta terus
mencuri pandang ke arahku.
"Kenapa sih,
dari tadi?"
"Ah... Umm,
itu..."
"Apa? Kok
jadi aneh begini?"
Biasanya dia
lebih cerewet dan percaya diri, tapi kali ini dia tampak malu-malu.
"Senpai
punya pacar nggak?"
Tanpa basa-basi,
dia langsung bertanya.
"Guh!
K-Kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu?!"
Aku terbatuk
karena kaget dengan pertanyaannya yang terlalu blak-blakan. Kupikir dia hanya
ingin mengejekku, tapi kali ini dia tidak menunjukkan tanda-tanda mengejek sama
sekali.
"Nggak ada.
Mana mungkin aku bisa punya pacar."
"Oh... gitu
ya..."
Sambil berkata
begitu, dia memutar-mutarkan ujung rambutnya dengan jarinya.
"Kenapa
nanya kayak gitu?"
"Cuma
penasaran aja."
Apa cewek memang
suka penasaran soal kehidupan cinta cowok?
"Terus,
kalau kamu sendiri gimana?"
"Hah?"
"Kamu punya
pacar, kan?"
"Nggak
punya."
Kupikir dia bakal
bilang, "Ya iyalah, pacarku banyak!" atau semacamnya, tapi dia malah
menjawab dengan santai. Aku yang kaget sampai diam terpaku, sementara Ikuta
malah menghela napas.
"Kenapa sih,
sampai segitunya kaget?"
"Soalnya,
kamu kelihatan populer."
Itu bukan kebohongan,
tapi kesan yang kudapat setelah mengenalnya selama ini. Dia ceria, peduli
terhadap penampilannya, dan yang paling penting, tahu cara menjaga jarak yang
pas dengan cowok.
Bisa dibilang, dia punya kemampuan sosial yang tinggi. Dia juga paham kapan
harus berhenti menggoda orang, nggak pernah melewati batas.
Semua itu sudah
lebih dari cukup untuk membuatnya populer. Tapi ternyata, komentarku malah
membuatnya makin semangat.
"Wah? Jadi
beda sama Senpai yang nggak laku, aku tuh sebenarnya super populer, lho? Sampai
bingung sendiri gimana harus menolak cowok-cowok yang nembak!"
"Sekali jadi
nyebelin banget."
Aku kembali
menyadari bahwa inilah salah satu alasan aku kurang suka dengan dia. Punya
kepercayaan diri itu bagus, tapi kalau terlalu berlebihan, rasanya malah bikin
risih.
"Akhirnya, Senpai
sadar juga dengan betapa imutnya aku?"
"Aku nggak
bilang begitu sama sekali."
"Gak apa-apa
kok, gak usah malu-malu."
"Udah, gak
nyambung ngomong sama kamu."
Begitu dikasih
celah, dia langsung menyerang kayak ikan yang nemu air. Aku merasa ngobrol
dengannya cuma buang-buang waktu, jadi aku cuma menanggapi sekadarnya dan
membiarkan dia ngoceh sendiri.
"Senpai,
dengerin aku nggak sih?"
"Aaah—dengerin,
dengerin."
"Itu sih
cara ngomong orang yang nggak dengerin sama sekali!"
Aku pikir dia
bakal nyerah dan berhenti ngomong, tapi ternyata dia masih punya banyak tenaga
buat lanjut.
"Senpai, kan
nggak punya pacar, ya?"
Dia mengulang
pertanyaan yang sama, dan aku menjawab dengan nada malas.
"Yaah, kan
tadi juga udah aku bilang, nggak ada."
"Eh~ Kalau
gitu, gimana kalau aku yang jadi pacar Senpai?"
"Tunggu, apa
yang baru aja kamu bilang?"
Aku nggak bisa
langsung mencerna kata-katanya. Begitu aku mengalihkan pandangan dari ponsel
dan melihat ke arahnya, dia malah menatapku dengan senyum licik seperti iblis
kecil. Saat itu juga aku sadar kalau dia cuma iseng ngerjain aku.
"Jangan-jangan
Senpai kepikiran beneran?"
"Mana
mungkin! Bodoh!"
"Beneran,
yaa~ Kayaknya tadi sempet percaya, deh~"
"Udah ah, cukup
bercandanya!"
"Kyaa~ Senpai
galak banget, nih~ Aku sampai mau nangis~"
Dia pura-pura
nangis, yang entah kenapa malah bikin aku makin kesall.
"Senpai,
istirahatnya udah selesai!"
Begitu dia bilang
begitu, aku langsung bangkit dari kursi dan kembali ke area kerja. Aku merasa lebih
capek daripada sebelum istirahat tadi, seolah-olah ngobrol sama dia malah lebih
melelahkan daripada kerja.
"Ayo, sisa
kerjaannya dikit lagi..."
Aku menghela
napas, suaraku perlahan menghilang di ruangan istirahat. Setelah shift selesai,
aku ganti baju dan menunggu di depan toko.
"Maaf~ Aku
telat!"
Yang datang
dengan permintaan maaf adalah Ikuta Yurina, yang sekarang memakai seragam
sekolah yang belum pernah kulihat sebelumnya. Melihat seragam sekolah lain
terasa agak segar juga.
"Udah, nggak
apa-apa. Udah malam, ayo pulang."
"Oke~"
Karena arah
pulang kami sama, setiap kali shift bareng, kami juga pulang bareng seperti
ini. Biasanya, kami nggak pernah mengulang obrolan yang sama. Tapi entah
kenapa, hari ini kami malah membicarakan soal cinta lagi.
"Senpai,
emang nggak ada orang yang disuka?"
"Untuk
sekarang sih nggak ada. Tapi waktu TK dulu, mungkin ada."
"Siapa!?"
Dia tiba-tiba
tertarik banget.
"Nggak
tahu... Aku juga udah lupa. Lagian, waktu TK perasaan 'suka' itu beneran atau
bukan juga nggak jelas."
"Eh~ Masa
sih lupa?"
"Kalau gitu,
Kamu inget nggak?"
Begitu aku balik
bertanya, dia malah menggumam sambil berpikir.
"Kalau
dipikir-pikir..."
"Tuh kan?
Biasanya nggak keinget, kan?"
Saat aku meminta
persetujuannya, dia mengangguk.
"Aku sih,
kayaknya waktu TK nggak punya perasaan suka sama siapa pun."
"Oh
ya?"
"Iya. Aku
bahkan jarang main sama anak laki-laki."
Setelah ngobrol
soal masa kecilnya, kami melanjutkan perjalanan pulang melewati jalan yang
gelap. Saat itu, ponselku berbunyi. Ada pesan dari Imagawa di LINE: "Hari
ini makasih banget ya!"
"Oooh~
Ternyata Senpai juga dapet chat dari cewek, ya~"
"Hiih!
K-Kenapa tiba-tiba ngomong gitu?"
Ikuta mengintip
ponselku.
"Itu pacar Senpai?"
"Kenapa aku
harus jawab?"
Begitu aku bilang
begitu, dia mencubit pinggangku.
"Sakit,
sakit! Dia bukan pacarku!"
"Oh
gitu..."
Begitu dengar
jawabanku, dia terlihat lega, sementara aku sibuk mengusap bagian yang dicubit
tadi.
"Apa sih,
nih..."
"Eh? Nggak
ada apa-apa kok?"
Saat aku menoleh
ke arahnya, dia malah membuang muka.
"Kenapa
tiba-tiba badmood?"
Dibanding tadi,
aku bisa merasakan kalau mood Ikuta semakin buruk. Tapi aku nggak tahu
alasannya. Aku pernah lihat di TV kalau perempuan itu sering marah, tapi kalau
ditanya kenapa, malah makin marah karena kita nggak ngerti.
Jadi, aku memilih
diam dan mendengarkan saja.
"Kalau
misalnya ketemu lagi sama orang itu, pasti super romantis, kan?"
"Nggak juga
sih, tapi kalau kejadian, ya bagus lah."
"Curang! Aku
juga pengen punya pertemuan kayak gitu. Rasanya kesel deh."
"Loh, kenapa
kamu yang kesel?"
Aku nggak tahu
harus ngapain kalau dia tiba-tiba ngarahin kekesalannya ke aku. Lagipula, aku
udah lupa sama cewek itu, dan dia juga pasti udah lupa sama aku. Entah kenapa,
hari ini jadi banyak banget ngobrolin soal cinta.
"Ah! Senior,
lihat deh, kucing!"
Tiba-tiba dia
menunjuk seekor kucing liar dengan suara yang naik satu oktaf karena
kegirangan. Melihat mata kucing itu bersinar di kegelapan, aku malah sedikit
merinding.
"Nyaa~
nyaa~"
Dia mulai meniru
suara kucing dan mencoba berkomunikasi dengan kucing liar itu.
"...Kamu
ngapain sih?"
"Ngapain
gimana, aku lagi ngobrol sama kucing~"
"Emang
bisa?"
Begitu aku
bertanya, dia malah cemberut seolah merasa tersinggung.
"Ah! Aku
tahu! Senior nggak bisa bahasa kucing ya?"
Aku hampir saja
nyeletuk 'apa-apaan sih itu', tapi kutahan dalam hati.
"Nggak bisa
lah."
"Kalau aku
bisa! Nyaa~"
Begitu dia
kembali meniru suara kucing, kucing itu benar-benar mengeong.
"Tuh kan?
Tuh kan? Aku bilang juga apa!"
"O-oh...
Hebat juga."
"Ehehe~ Aku
emang hebat!"
Dia tersenyum
bangga seakan baru saja melakukan sesuatu yang luar biasa.
Seperti biasa,
dia tetaplah junior yang bisa dibilang imut, atau mungkin lebih tepatnya
menyebalkan. Mungkin cowok lain bakal menganggapnya imut dan menggemaskan?
"Kalau gitu,
makasih banyak buat hari ini!"
Begitu sampai di
stasiun, dia mengucapkan terima kasih dengan suara ceria.
"Hati-hati
di jalan."
"Oke~ Oh
iya, senior jangan lupa belajar bahasa kucing ya!"
Setelah
mengatakan itu, dia melewati gerbang tiket dengan langkah ringan. Aku hanya
bisa tersenyum kecut dan berpikir, itu sih, nggak mungkin bisa.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.