Shouwaru Tensai Osananajimi to no Shoubu Epilog

Ndrii
0

Epilog




Ketika aku masih kecil, orangtuaku sering mengatakan, "Tidak ada manusia yang sempurna."

Kalau begitu, aku ini apa?

 

Aku selalu menyimpan pertanyaan itu dalam hati, tak pernah terucap. Sejak kecil, aku selalu dianggap luar biasa. Apa pun yang aku lakukan, aku bisa melakukannya dengan sempurna.

 

Bahkan hal yang pertama kali aku coba, bisa aku lakukan lebih baik daripada orang yang sudah melakukannya bertahun-tahun. Karena itu, semua orang menyebutku jenius, sempurna. Penampilanku yang katanya sempurna mungkin juga berperan dalam anggapan itu.

 

Namun, aku benci disebut sempurna. Mungkin terdengar mewah, tapi aku ingin bisa berjalan seiringan dengan orang lain, melakukan sesuatu bersama-sama. Tapi, karena aku sudah sempurna, aku tak bisa bekerja sama dengan teman-teman. Apa pun yang aku lakukan, mereka bilang cukup aku saja yang melakukannya. Tapi kalau aku menurunkan sedikit saja kualitas kerjaku, mereka marah dan menganggapku meremehkan. Aku jadi tidak tahu harus berbuat apa.

 

"Komaki! Ayo tanding!"

 

Meski kemampuanku yang luar biasa membuat jarak dengan orang-orang sekitarku semakin lebar, ada satu hal yang tetap sama. Hubunganku dengan Wakaba Yoshizawa. Dia adalah anak misterius yang selalu menantangku dalam segala hal. Aku tidak ingat sejak kapan dia ada di dekatku. Tiba-tiba saja dia sudah ada di sisiku dan tidak pernah pergi. Kenapa?

 

Aku tidak mengerti dia. Setiap kali dia tersenyum cerah padaku, dadaku terasa sesak. Aku baru menyadari perasaan ini ketika aku kelas dua SD. Saat itu, aku tahu aku berbeda jauh dari orang lain. Ada jarak yang tak terjembatani antara aku dan mereka, dan aku menyadari aku tak akan pernah menjadi "normal." Aku mulai membenci diriku sendiri.

 

"Aku ini manusia kan? Semua orang bilang aku sempurna, apa pun yang aku lakukan selalu benar, tapi mereka malah marah dan membenciku. Aku ini benar-benar manusia?"

 

Orang yang bisa aku ajak bicara soal ini hanya Wakaba. Orangtuaku sendiri seakan kewalahan menghadapiku. Wakaba adalah satu-satunya yang memandangku langsung, menyebut namaku dengan suara jernih tanpa kebingungan.

 

"Apa yang kamu bicarakan? Sempurna atau tidak, kamu tetap manusia, Komaki! Kamu tidak perlu khawatir soal itu!"

 

Aku masih ingat napasku sempat terhenti melihat senyumnya yang begitu indah, agak khawatir, sedikit bingung, tapi tulus ingin menenangkanku. Kata-katanya masuk ke dalam diriku dengan begitu halus dan meleleh di hatiku. Sejak saat itulah aku mulai percaya kalau aku adalah manusia. Karena Wakaba tersenyum, aku bisa menjadi manusia. Karena dia mengatakan aku manusia, aku tak lagi merasa takut.

 

Aku mulai bangga dengan diriku sendiri. Karena Wakaba mengakui diriku, aku mulai percaya bahwa aku bisa hidup dengan tegak dan mencintai diri sendiri yang biasa saja. Seiring waktu, aku jadi tidak dibenci orang lagi. Ketika pandanganku menjadi lebih luas, aku menyadari bahwa manusia itu ternyata sederhana, dan mengendalikannya menjadi mudah.

 

Aku bisa disukai oleh siapa saja. Kecuali satu orang.

 

"Komaki, berapa nilai total tes kamu?"

 

Perasaan Wakaba adalah satu-satunya yang tidak bisa aku kendalikan. Ketika aku kelas dua SD, aku menyadari aku menyukai dia. Aku rasa dia juga menyukaiku, tapi cara kami menyukai berbeda. Bagaimana pun aku mencoba menarik perhatiannya, aku tak pernah bisa menjadi yang istimewa baginya, bahkan tidak menjadi teman terdekatnya. Aku selalu hanya menjadi teman ketiga terdekat.

 

Saat SMP, dia jatuh cinta untuk pertama kalinya pada seorang senior setahun di atas kami. Ketika dia melihat senior itu, matanya memancarkan warna yang tidak pernah dia tunjukkan padaku. Warna yang hanya ditunjukkan pada teman terdekat atau pada orang yang dicintainya. Warna yang tidak pernah diarahkan padaku. Perasaan kami tidak akan pernah sejalan. Jika aku memintanya untuk mencintaiku, mungkin kami bahkan tidak akan menjadi teman lagi.

 

Aku memikirkan hal itu terus-menerus. Jika aku tidak bisa dicintai, tidak bisa menjadi yang pertama, apa warna perasaan Wakaba yang bisa aku dapatkan?

 

Jawabannya sederhana. Aku hanya bisa mendapatkan warna kebenciannya. Wakaba tidak pernah membenci orang. Aku tidak pernah melihat dia dendam pada siapa pun. Jadi, aku memutuskan untuk menjadi orang yang dia benci, supaya aku bisa melihat warna khusus itu yang hanya diarahkan padaku.

 

Aku mendekati senior itu, menjalin hubungan dengannya, dan kemudian memutuskannya dengan kejam. Lalu, aku melaporkannya pada Wakaba. Warna di matanya berubah drastis. Dari warna yang biasa dia tunjukkan pada teman-temannya, menjadi warna kebencian yang membara. Itulah perasaan khusus yang selalu aku inginkan, yang hanya dia tunjukkan padaku.

 

Namun, kebencian itu pun memudar seiring waktu. Hanya menjadi kebencian biasa, seperti ketidaksukaannya pada sayur pahit atau herbal. Aku masuk dalam kategori itu. Bagaimana caranya agar dia lebih membenciku? Bagaimana aku bisa mempertahankan perasaan khusus itu? Aku berpikir keras dan memutuskan untuk merusak harga dirinya. Mengambil semua yang berharga baginya dan meninggalkan luka yang tak terlupakan. Itu satu-satunya hal yang bisa aku lakukan.

 

Wakaba, walaupun di masa depan kamu mencintai seseorang, menikah, dan punya anak, tetap ingatlah. Ciuman pertama kamu dengan aku, pertama kali kamu melihat seseorang telanjang juga dengan aku, dan kencan pertama kamu juga denganku. Tolong, jangan pernah lupakan itu.

 

***

 

Cuaca hari ini cerah. Musim hujan sudah berlalu, dan seminggu ke depan diperkirakan tidak akan ada hujan. Meski sedikit merepotkan, aku berharap hujan turun. Pada hari ketika Wakaba lupa membawa payung, aku bisa membawa payung plastik besar dan berbagi dengannya. Pada hari dia membawa payung, aku bisa menggunakan payung lucu yang pernah dia puji, dan kami bisa berjalan bersama. Meskipun mungkin dia tidak akan pernah memuji payungku lagi.

 

“...Haaah.”

 

Aku memasukkan payung lipat bermotif bunga ke dalam tas dan keluar rumah. Aku sedikit bimbang apakah aku akan mampir ke rumah Wakaba atau tidak.

 

Terakhir kali aku ke sana, dia menarikku yang setengah mengantuk ke tempat tidurnya, dan kami tidur bersama. Jika aku pergi ke kamarnya di pagi hari, mungkin aku bisa tidur bersamanya lagi. Tapi hari ini aku tidak ingin melakukannya.

 

Akhir-akhir ini, aku sering ragu. Jika aku tidak terus melakukan hal-hal yang membuat Wakaba membenciku, aku tidak akan bisa menjadi luka yang tak terlupakan baginya. Aku tahu itu, tapi sering kali aku malah bertindak seolah ingin dia menyukaiku. Mungkin karena dia masih bersikap baik padaku. Meskipun dia membenciku, dia masih mau makan makanan pedas untukku, dan menjadi bantal pelukanku. Aku jadi berharap dia akan bersikap lebih baik lagi padaku.

 

Lalu, aku sering berpikir, bagaimana jika saat itu aku tidak memilih untuk dibenci, tapi mengatakan aku menyukainya. Mungkin dia akan menerimaku. Tapi waktu itu, aku tahu Wakaba benar-benar menyukai senior Yuki. Jadi, mungkin tidak mungkin. Aku rasa.

 

Namun, aku tidak tahu apakah kemungkinannya benar-benar nol. Karena aku tidak tahu, aku menyesal.

 

Meski cuaca cerah, aku tetap membuka payung lipatku. Meskipun itu bukan payung untuk melindungi dari matahari. Aku berharap Wakaba akan melihatku dari belakang dan mengejarku. Tapi saat aku menoleh, tidak ada siapa pun. Aku menghela napas dan mulai berjalan perlahan.

 

“...Ah.”

 

“...Hm.”

Saat berjalan, aku melihat Wakaba di depan mesin penjual otomatis. Hari ini, dia juga membeli soda melon sejak pagi. Jika dia ingin soda melon, ada banyak di rumahku. Bahkan aku punya banyak camilan rasa melon. Tapi karena jarang mengundangnya, banyak yang sudah kadaluarsa.

 

“Kenapa kamu pakai payung di hari yang cerah? Itu bukan payung untuk matahari, kan?”

 

“Bukan apa-apa.”

 

Aku berharap Wakaba akan menyadari dan menemukan aku. Tapi aku tidak bisa mengatakan itu.

 

Namun, aku senang bisa bertemu dengannya pagi ini.

 

Tapi, aku harus menjaga ekspresiku tetap datar seperti biasanya.

 

“Dasar aneh. Tapi kamu memang selalu aneh.”

 

“Wakaba juga aneh. Selalu minum soda melon, dasar aneh.”

 

“Aku bukan aneh, aku hanya lahir di negeri melon.”

 

“Apa yang kamu bicarakan? Kita ini tinggal di kota terpencil.”

 

Wakaba menatapku dengan matanya yang besar.

 

Pandangan itu selalu membuat hatiku berdesir.

 

Aku selalu berpikir Wakaba itu cantik.

 

Rambut hitamnya yang lembut, matanya yang besar, tubuh kecilnya. Kalau aku bilang aku suka semuanya, gimana reaksinya ya?

 

Aku gak bisa membayangkan. Meskipun sudah lama bersamanya, aku sama sekali gak bisa mendekati hatinya.

 

Itu membuatku frustasi, tapi menjadi pasangan yang saling suka sepertinya sudah gak mungkin.

 

Jadi, paling tidak, aku gak pengen merusak hubungan dimana kami saling benci ini. Kalau aku bilang aku suka, atau aku ingin dicintai. Mungkin dia akan menghilang dari hadapanku.

 

Hubungan kami sekarang ini sangat rapuh, seperti es tipis.

 

Dan itu semua karena ulahku.

 

"Umezon."

 

"Na..."

 

Sebelum sempat menyelesaikan kata, botol PET dilempar ke arahku.

 

Aku menangkapnya dan itu terasa dingin.

 

Aku berkedip dan menatapnya.

 

Dia, tidak seperti biasanya, tampak tertawa dengan riang.

 

"Kuberikan ini padamu."

 

"…Ada yang kamu campur di dalamnya?"

 

"Mana mungkin. Aku baru aja belinya. Ini semacam misi penyebaran agama, gitu. Aku berencana membuat Umezon pindah ke negeri melon."

 

"Apa itu, enggak ah. Denger aja udah kaya orang gila."

 

"Enggak apa-apa jadi orang gila, ayo diminum. Lagian, hari ini panas, kan?"

 

Meskipun seharusnya dia benci aku, di momen-momen seperti ini dia tetap menunjukkan kebaikannya. Kebaikan yang tidak berubah sejak dulu itu membuatku merasa frustasi dan sakit hati.

 

Aku membuka botol PET itu seperti untuk menutupi perasaanku dan meneguk isinya.

 

Rasa soda melon yang biasa, tidak ada yang spesial. Tidak suka tapi juga tidak benci, rasa murahan yang jadi suka karena Wakaba suka.

 

"Enak?"

 

"Biasa aja. Wakaba juga coba minum."

 

Kutunjukkan botol itu padanya, tapi dia menggeleng.

 

"Enggak, gak usah. Aku mau beli yang baru."

 

"…Oke."

 

Sebenarnya tidak masalah. Aku tidak lagi anak kecil yang akan senang hanya karena sesuatu semacam indirect ciuaman.

 

…Itu bohong.

 

Aku ingin melakukan kontak apapun dengan Wakaba. Indirect ciuaman, bergandengan tangan, ciuman. Aku suka semua itu dan tidak pernah bosan.

 

"Ya, memang soda melon itu yang terbaik."

 

Dia membeli soda melon baru dan langsung meneguk setengahnya.

 

Senyum cerianya yang langka itu mencuri perhatianku sejenak. Tubuh kecilnya yang terkena sinar matahari tampak begitu bersinar.

 

"Yuk, udah cukup adem nih, sekarang harus ke sekolah. …Umezon mau gimana? Mau terus adem-adem di sini?"

 

"Enggak, panas juga. Aku juga ke sekolah. Wakaba sih yang seharusnya tetap di sini."

 

"Enggak bisa. AC sekolah menungguku."

 

Dia berkata sambil mendekatiku.

 

Melihatnya, aku berpikir mungkin aku tidak terlalu suka dengan seragam musim panas.

 

Musim semi ada blazer dan dasi, jadi aku merasa lebih senang karena terasa kita memakai seragam yang sama. Tapi, seragam musim panas tidak punya dasi atau blazer.

 

Blus putihnya tidak terlalu berbeda dengan seragam sekolah lain, dan yang sama hanyalah roknya saja.

 

Hanya rok yang sama itu tidak cukup. Aku ingin merasakan bahwa aku dan Wakaba berada di tempat yang sama dengan seluruh tubuhku. Tapi selama musim panas, itu tidak mungkin. Apalagi kalau libur musim panas dimulai, aku akan semakin tidak bisa sama dengan dia.

 

Libur seharusnya tidak perlu datang.

 

Aku merasa sedikit begitu.

 

Kami hanya terhubung oleh perasaan saling benci dan dunia kecil bernama sekolah. Kehilangan salah satunya, meskipun hanya untuk sementara, membuatku cemas.

 

"Hei. Masukkin payung itu."

 

"…Enggak apa-apa kok."

 

Kalau dulu dia sempat keluar dari payungku, kali ini dia yang mendekatiku. Itu saja sudah membuatku senang.

 

"Meski bukan payung matahari, setidaknya bisa sedikit melindungi dari sinar UV, kan?"

 

"Enggak tahu."

 

"…Jadi bukan karena itu kamu memakai payung?"

 

"Enggak penting."

 

"Tapi ya, Umezono memang aneh, itu sudah jelas."

 

Wakaba ingin aku menemukannya.

 

Aku bertanya-tanya apa yang akan terjadi kalau aku mengungkapkan alasan anak-anak itu padanya. Aku tidak pernah bisa mengungkapkan perasaanku padanya.

 

Sudah terlalu jauh untuk mundur.

 

Setelah aku memutuskan untuk dibenci, tidak ada jalan kembali. Aku tahu tidak mungkin dia akan menyukaiku.

 

Semua usahaku sia-sia. Mungkin Wakaba bahkan tidak menyadari bahwa itu adalah pendekatan.

 

"…Kamu lucu ya."

 

"Eh?"

 

"Enggak, aku cuma berpikir, payung ini terlihat sangat lucu saat cuaca cerah."

 

"Hmm."

 

Senang rasanya mendapat pujian dari Wakaba tentang sesuatu yang aku miliki.

 

Hanya fakta bahwa dia tergerak oleh sesuatu yang berkaitan denganku sudah membuat hatiku berdebar. Itulah mengapa aku suka apa yang dia suka.

 

"Wakaba. Mendekatlah."

 

"Kenapa?"

 

"Kalau kamu mau menghindari sinar matahari, lebih baik di bawah payung. Tubuhmu kelihatan terpapar."

 

"Itu karena Umezon yang terlalu besar. …Tapi ya sudahlah. Jangan sentuh bagian yang aneh ya."

 

"Kata-kata itu malah membuatku ingin menyentuh."

 

"Dasar tukang onar."

 

Wakaba mengerutkan alisnya.

 

Tapi berbeda dengan sebelumnya, dia tidak keluar dari payung, malah mendekatkan tubuhnya padaku.

 

Panas. Memang panas, tapi aku ingin tetap seperti ini sekarang.

 

"Umezon, apa rencanamu untuk musim panas tahun ini?"

 

"Main sama Wakaba."

 

"Aku bukan mainanmu."

 

Di hari yang cerah, berjalan dengan menggunakan payung lipat biasa untuk dua orang.

 

Dari luar mungkin terlihat konyol, tapi Wakaba kelihatannya nggak peduli.

 

"Jadwalnya kosongin ya. Jadwal Wakaba itu milikku."

 

"Yah, yang bisa aku lakuin aja."

 

"…Wakaba."

 

Aku yakin Wakaba bakal menghabiskan sebagian besar liburan musim panasnya sama Marin.

 

Kalau itu yang terjadi, aku nggak suka.

 

Marin itu nomor satu bagi Wakaba. Dan Wakaba pasti juga nomor satu bagi Marin. Sedangkan aku yang bahkan nggak nomor satu dalam hal saling benci, nggak bisa bersaing sama Marin.

 

Kalau aku kehilangan Wakaba ke Marin, pikiran itu aja udah bikin aku gak tenang.

 

"Udah tau kok. Aku bakal utamain Umezon. Itu udah cukup kan?"

 

"…Itu sikap yang baik."

 

Apa pun alasannya, aku senang Wakaba mengutamakan aku. Tapi, aku nggak bisa terus-terusan senang.

 

Tanpa berkata apa-apa lagi, Wakaba mulai berjalan sejajar denganku. Dia yang berusaha keras menyelaraskan langkahnya dengan aku, terlihat menggemaskan.

 

Sebenarnya, aku pengen jalan lebih pelan. Tapi kalau aku lakukan itu, akan terlalu mencolok.

 

Aku terus berjalan seperti biasa, seolah-olah tak peduli.

 

Stasiun nggak terlalu jauh, jadi kami segera sampai. Aku melipat payung dan memasukkannya kembali ke dalam tas.

 

Setelah melewati gerbang tiket, kami berdua berdiri di peron stasiun.

 

Kereta akan tiba dalam dua menit lagi.

 

Aku mencari kata-kata yang harus kukatakan pada Wakaba, tapi pada akhirnya nggak menemukan apa-apa.

 

"Ne, Umezon."

 

"Apa?"

 

"Acara musim panas apa yang paling Umezon suka?"

 

"Enggak ada yang aku suka khusus… Wakaba suka apa?"

 

"Aku? Aku suka… festival kah."

 

Festival.

 

Aku nggak suka bunyi kata itu.

 

Aku tahu Marin bukan acara musim panas jadi konteksnya beda. Tapi meski aku tahu, hatiku nggak bisa ikut. Soalnya, aku yakin Wakaba suka sama Marin.

 

Dengan lembut, aku menempatkan tanganku di dagu Wakaba. Kemudian, aku menekan ibu jari ke bibir lembutnya. Sensasi yang berbeda dari saat mencium terasa di jari-jariku.



"Wakaba, aku akan mengajari kamu sesuatu yang lebih baik daripada festival."

 

"Umezon?"

 

"Itu sebabnya, kamu akan berhenti menyukai festival."

 

Aku tahu itu mustahil. Menambah hal yang disukai tidak berarti akan membenci apa yang sebelumnya disukai.

 

Wakaba menatapku dengan matanya yang jernih.

 

Aku menatap balik ke dalam matanya.

 

"Kalau kamu bisa melakukannya, kenapa nggak coba saja? Toh, aku nggak punya hak untuk menolak."

 

"...Benarkah. Kalau begitu, siap-siap saja."

 

Aku ingin merebut hati Wakaba.

 

Dibenci, dimusuhi, ditolak. Hanya dengan memberinya luka yang tak terhapuskan di hatinya, aku bisa merebut hatinya. Aku bisa menjadi yang utama baginya.

 

Makanya, aku harus melakukan hal-hal yang lebih dibenci, tanpa ragu.

 

Bukan berusaha setengah-setengah untuk disukai, tapi secara total.

 

Apa aku bisa melakukannya atau tidak, aku sendiri tidak tahu.

 

Sambil merasakan sentuhan bibirnya, aku memikirkan apa yang harus kulakukan selanjutnya. Jujur, hatiku sangat kacau, dan terlalu tidak stabil untuk mengeluarkan jawaban apapun.














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !