Maigo no Onnanoko wo Ie Made Todoketara Chapter 7

Ndrii
0

Bab 7

Light Novel, Festival Musim Panas, dan Kouhai yang Sok Tahu




Setelah sarapan, aku berdiri di depan cermin sambil merapikan rambutku. Biasanya, di jam segini aku masih terkapar di tempat tidur, tidur nyenyak tanpa gangguan. Tapi hari ini aku akan pergi ke rumah Imagawa, jadi setidaknya aku harus menjaga penampilanku sedikit lebih baik.


Pergi ke rumah seorang gadis… semakin kupikirkan, semakin gugup rasanya. Sepertinya perasaan ini tidak akan pernah hilang, tidak peduli seberapa sering aku mengalaminya.


Saat tadi aku mengecek LONE, aku mendapat pesan dari Imagawa:


"Beri tahu aku saat kau sudah dekat rumahku."


Dia juga mengirimkan sebuah gambar.


"Ini rumahku."


Dia bahkan mengirimkan lokasi rumahnya. Ternyata jaraknya lumayan jauh dari rumahku.


"Haruskah aku naik sepeda…" gumamku pelan, lalu membalas pesannya.

"Baik, aku akan mengabari saat sampai."


Aku mengecek peta untuk memastikan rute menuju rumahnya. Angin yang berhembus melewati pipiku terasa sejuk. Dengan perasaan itu, aku mengayuh pedal lebih kuat.


Perjalanan ke rumah Imagawa tidak sampai dua puluh menit dengan sepeda.


"Aku sudah sampai."


Saat aku mengirim pesan itu lewat LONE, balasannya langsung datang. Tapi dia salah ketik:


"Imakumaukeluar."


Tak lama setelah itu, pintu rumahnya terbuka. Imagawa muncul dengan sedikit terengah-engah.


Rambut panjangnya diikat ke belakang. Meski aku tidak ingin mengatakan ini secara langsung, tetapi dari balik kausnya, terlihat jelas kalau… yah, dia cukup besar.


"Ma-maaf, aku terlalu cepat sampai?"


"T-tidak! Tidak sama sekali!"

"Kalau begitu, syukurlah," ucapku lega. Aku tidak ingin tiba terlalu cepat dan merepotkannya. Tapi kalau dia bilang tidak masalah, aku bisa sedikit tenang.


"A-ano… kalau begitu… ayo masuk," katanya sambil membimbingku ke dalam rumah.


"Permisi…"


"A-ano… kita langsung ke kamarku saja, ya?"


"A-aku boleh masuk?"


Aku menarik napas dalam-dalam.


"T-tentu saja… ini kamarku…"


Kami naik tangga, dan di depan sebuah pintu terdapat tulisan besar dan lucu: "Kamar Meiko"


"Apa aku benar-benar boleh masuk?"


Bagaimanapun juga, aku ini laki-laki. Aku pikir seorang gadis pasti merasa risih membiarkan laki-laki masuk ke kamarnya. Dia bukan pacarku, hanya teman sekelas. Aku lebih memilih jika dia hanya mengambil bukunya lalu kami membacanya di ruang tamu.

"T-tidak apa-apa! Kalau aku tidak mau, aku tidak akan mengundangmu ke rumah!"


"…Benarkah?"


"Jadi, jangan khawatir dan masuklah!"


Mendengar kata-katanya, aku merasa lega.


"L-lagipula… kau yang pertama."


"Hah? Apa maksudmu?"


"A-aku belum pernah membiarkan siapa pun masuk ke kamarku sebelumnya… Kuroda-kun yang pertama…"


"S-sebenarnya… aku juga pertama kali masuk ke kamar seorang gadis…"


Itulah sebabnya aku sangat gugup dan canggung saat berdiri di depan pintu ini.


"Ayo… masuk saja…"


Akhirnya, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku masuk ke kamar seorang gadis.


Ruangan itu beraroma manis dan harum. Ada banyak koleksi anime, light novel, dan jika diperhatikan lebih lanjut, bahkan ada beberapa game di raknya.


"Hebat…"


"T-terima kasih…"


Ketika aku mengungkapkan kekagumanku, dia langsung menutupi wajahnya dengan malu.


"Jadi kau juga main game?".


"Iya! Aku suka banget main game!"


Saat dia berbicara, matanya berbinar-binar penuh semangat.


"Aku juga suka game," 


"Ka-kalau begitu… mau main bareng?"


"Baiklah…"


"Yeay! Aku menang lagi!"


"Sial…" 


"Tidak ada alasan seperti 'aku lagi nggak fokus,' ya?" 


Ini bukan sekadar 'tidak fokus'… masalahnya, aku tidak bisa berkonsentrasi sama sekali!


Dia tipe orang yang bergerak-gerak saat bermain game. Dan dengan segala gerakannya itu, sesuatu yang besar ikut bergoyang… Dengan begitu, bagaimana aku bisa berkonsentrasi pada permainan!?


"Sebagai laki-laki… ini bukan salahku…"


"Baiklah! Ini ronde terakhir!" 


Aku harus menang kali ini. Aku tidak boleh kalah oleh godaan di sebelahku. Saat ini, aku berada di posisi pertama, sementara dia di posisi ketiga. Suasana kamar mulai tegang.


"Tidaaakkk!"


"Hah!?"


Saat karakternya jatuh ke jurang dalam game, dia refleks menoleh dan bergerak ke arahku. Karena kehilangan keseimbangan, dia tiba-tiba jatuh ke bahuku.


Aku terkejut dan tanpa sadar menjatuhkan stik kontrol. Dan di lenganku… aku merasakan sesuatu yang sangat lembut. Kekuatannya… ini pasti peringkat pertama di sekolah. Meskipun ini tidak disengaja, aku merasa efeknya masih menempel di lenganku.


"Ma-maaf! Aku kalau main game, badanku juga ikut gerak sendiri!" 


"Tidak apa-apa. Lebih penting, bagaimana dengan gamenya?"


"Ah!?"


Saat dia buru-buru melanjutkan permainan, peringkatnya sudah ditentukan. Namun, saat tadi dia tiba-tiba terjatuh ke sampingku, aku sempat berpikir apa yang akan terjadi. Untungnya, suasana aneh tidak tercipta, tetapi jantungku berdetak begitu kencang hingga terasa berisik.


"Aku kalah, ya..."


Dia menatap layar permainan dengan wajah sedikit kecewa.


Aku berada di peringkat sepuluh, sementara dia di peringkat sebelas. Hasilnya, aku menang, tapi entah kenapa rasanya seperti kalah.


"Karena gamenya sudah selesai dan ada pemenang serta yang kalah, kita sudahi saja, ya?"


Dia berkata begitu sambil membereskan controller dan kaset game. Saat itulah, celah di pakaiannya memperlihatkan belahan dadanya yang indah.


"Seperti di anime..."


"Apa yang seperti di anime?"


"T-tidak... bukan apa-apa!"


Tentu saja, aku tidak bisa jujur mengatakan apa yang kupikirkan tentang dadanya. Aku hanya mengalihkan pembicaraan seadanya.


"Kalau begitu, aku pulang sekarang."


Saat aku melihat jam dan berdiri, dia juga ikut berdiri.


"Kalau begitu, sesuai janji, ini light novel-nya."


"Ah, benar, aku datang ke sini untuk meminjam light novel. Sampai lupa."

"A-aku juga. Karena asyik bermain dengan Kuroda-san, aku hampir lupa."


"Aku juga, aku juga."


Aku dan dia tertawa sambil berbicara seperti itu.


"Sungguh, aku belum pernah merasa begitu cocok dengan seseorang seperti ini."


"B-benarkah?"


"Iya!"


Dia tersenyum lebar sambil terkekeh, membuatku malu hingga aku memalingkan wajah darinya.


"Kalau begitu, ini bukunya."


"Apa aku benar-benar boleh meminjamnya?"


Saat aku menerima kantong kertas berisi light novel darinya, aku bertanya sekali lagi. Lalu, dia tersenyum lembut dan berkata,


"Aku ingin seseorang mengetahui hal yang kusukai. Tapi aku ini penakut, jadi mungkin untuk saat ini, aku hanya bisa memberitahukannya pada Kuroda-san..."



"Agar aku bisa mengatakannya pada semua orang... Ini adalah langkah pertamaku untuk maju, jadi jangan ragu dan terimalah!"

Aku bisa merasakan dengan jelas keinginannya untuk mengubah sesuatu dalam dirinya.

"Terima kasih."

"Tidak masalah! Nanti kita bahas kesannya bersama!"

Aku membawa kantong berisi light novel itu dengan hati-hati sampai ke rumah. Saat itu, ponselku bergetar dengan suara pilon!. Bukan dari LONE, melainkan sebuah email. Isinya adalah komentar tentang novel yang kuposting di web.

"Maaf mengganggu, ini komentar pertama saya!"

Bersamaan dengan itu, ada komentar singkat: "Seru!"

Pengirimnya menggunakan nama anonim "Nanashi Tarou".

"Terima kasih! Aku akan berusaha lebih keras."

Setelah itu, sebuah pesan pribadi datang dari Nanashi Tarou.

"Aku terutama suka bagian terakhir."

"Benarkah?"

Aku terkejut sekaligus senang mengetahui ada pembaca yang menghargai bagian yang paling kuberi perhatian.

"Benar!"

"Aku sangat senang mendengarnya."

"Sang heroine benar-benar polos dan imut sekali!"

"Terima kasih banyak."

Saat aku mengucapkan terima kasih, dia merespons dengan emoji.

"Heroine yang setia dan polos itu memang menarik, ya~"

"Setuju."

"Di cerita kali ini, pesona heroine benar-benar terpancar."

"Aku senang jika kepribadiannya bisa tersampaikan dengan baik."

Ini pertama kalinya ada seseorang yang begitu antusias dan bisa berempati dengan karyaku.

"Bagian ketika pakaian dalam heroine terlihat samar juga bikin gemas."

"Bisa dibayangkan, kan? Ekspresi malunya saat menyadari itu..."

"Iya, apalagi kalau yang terlihat itu bukan lingerie yang mencolok, tapi warna yang kalem... benar-benar seiso!"

Aku menutup mata, mengingat kembali adegan itu.

"Heroine yang seiso itu memang terbaik."

"Iya! Dia benar-benar imut sampai aku nggak tahan!"

"Terima kasih."

Kemudian, dia melanjutkan dengan sesuatu yang berbeda dari bahasan sebelumnya.

"Sebenarnya... aku ngobrol dengan seseorang tadi, dan aku ingin mengungkapkan rasa terima kasihku. Itulah kenapa aku meninggalkan komentar ini."

"Kamu dan temanmu pasti sangat cocok, ya?"

"Iya! Benar sekali!"

Pembicaraan pun berubah dari membahas novel menjadi obrolan tentang pengalaman pribadi si pengirim.
"Itu luar biasa. Jarang sekali bisa bertemu seseorang yang benar-benar cocok."

"Iya! Makanya, mulai sekarang aku ingin memberikan lebih banyak komentar di berbagai karya!"

"Aku juga jadi semakin termotivasi."

"Kalau begitu, aku senang! Aku menantikan kelanjutan ceritanya!"

"Terima kasih."

Setelah aku mengirim balasan itu, tidak ada lagi email yang masuk.


Setelah pulang dari rumah Imagawa, aku kembali ke rumah sebentar untuk mengganti pakaian dengan yukata. Aku mengenakan yukata yang ditinggalkan ayahku ketika aku mulai tinggal sendiri, lalu pergi ke festival musim panas.

"Shirakawa belum datang, ya..."

Aku tiba lebih awal dari waktu yang dijanjikan, tapi kupikir mungkin dia sudah ada di sini. Karena kami tidak menentukan titik pertemuan, aku memutuskan untuk mengirim pesan lewat LONE. Namun, dengan keramaian seperti ini, mencari seseorang di tengah lautan manusia adalah hal yang sangat sulit.
Karena tidak ada balasan juga, aku memutuskan untuk duduk sebentar. Saat itulah—

Tanganku tiba-tiba ditarik dengan kuat oleh seseorang.

"Eh, tunggu sebentar!"

"Senpai, pas banget!"

Orang yang menarikku adalah Ikuta Yurina, juniorku di tempat kerja paruh waktu. Karena festival, kupikir dia akan mengenakan yukata, tapi ternyata dia hanya memakai hoodie dan celana pendek biasa.

"Maksudmu 'pas banget'? Jelas-jelas kamu yang nyeret aku!"

"Eh? Masa sih~?"

Seperti biasa, dia bercanda sambil menyeringai, seolah sedang menikmati ekspresi bingungku.

"Yah, alasannya karena aku ingin keliling stan festival bareng Senpai!"

"Lagi-lagi kamu..."

"Aku nggak bohong, kok!"

"B-benarkah...?"
Karena dia mengatakannya dengan wajah yang begitu serius, aku sampai terkejut dan mengalihkan pandangan.

"Maaf, tapi aku datang ke sini bersama seorang teman."

Itu bukan kebohongan. Memang benar, meskipun aku belum bertemu dengannya.

"Eh~? Tapi kamu masih sendirian, kan? Ayo lah!"

"Tapi aku harus menemui temanku..."

"Udah, udah! Ayo pergi!"

"Eh, tunggu! Hei, jangan asal narik!"

Dia menarik lenganku dengan paksa, membawaku ke arah keramaian festival.

"Aku mau coba dapetin boneka itu!"

"Kamu pengen punya boneka itu?"

"Nggak sih, cuma dari semua pilihan, yang itu masih mending."

"Pemikiranmu beneran unik, ya..."

“Ayo pergi....”

Tembakan peluru gabus yang dia arahkan dengan mantap tepat mengenai boneka itu, tetapi karena bonekanya tidak jatuh, dia tidak mendapatkannya.

"Kenapa itu tidak jatuh!?"

"Y-ya... ini kan cuma stan permainan, tenanglah sedikit."

"Aku akan protes ke pemiliknya."

"Jangan lakukan itu."

Karena dia benar-benar bisa saja melakukannya, aku menghentikannya sekuat tenaga. Kalau sampai terjadi masalah di stan festival, itu bakal merepotkan.

"Kalau begitu, pakai cara lain..."

"Kau mau melakukan apa?"

Dia mendekat dan berbicara kepada pemilik stan yang sedang duduk.

"Onii-san~ Aku ingin yang itu."

"Wah, gadis kecil yang manis. Yang mana yang kau mau?"

"Aku mau boneka itu."

"Boleh, ambil saja."

"Terima kasih, Onii-san!"

Dia memberikan senyuman paling manis kepada pemilik stan.
Pemiliknya juga tersenyum dan melambaikan tangan padanya.

"Aku nggak terima ini."

"Cuma Senpai saja yang nggak sadar betapa imutnya aku."

"H-hah...?"

"Mana yang lebih imut, aku atau boneka ini?"

"Apa... ha...!?"

"Puahaha! Reaksinya lucu banget sih, Senpai!"

Dia menikmati reaksiku lagi.

"Baiklah, sekarang kita ke sana!"

"Hah? Eh, tunggu..."

Dia kembali menarik lenganku dengan paksa. Kali ini dia membeli yakisoba, okonomiyaki, dan cider. Tapi aku yang membawa semua belanjaannya. Dengan gerakan yang mengalir, dia memberikannya sebelum aku sempat menolak.

"Kelihatannya berat ya."

"Ya, berat banget."

"Kalau begitu, nggak ada pilihan lain..."

Lalu, dia mendekatkan yakisoba ke mulutku.

"Apa?"

"Hmm, Aku rasa aku hanya mau menyuapimu"

"Hah? Cuma itu?"

"Iya, cuma itu."

Aku merasa bersalah karena curiga padanya, tapi tetap saja aku berpikir ada sesuatu di balik ini.

"Sudahlah, ayo makan."

"T-tunggu sebentar..."

"Aa~n."

Tanpa memberiku waktu untuk berpikir, dia menyuapkanku yakisoba dengan paksa.

"Enak nggak?"

"A-ah, ya."

"Syukurlah."

Rasanya memang seperti yakisoba khas festival, tapi aku tidak terlalu bisa merasakannya.

"Ngomong-ngomong, banyak juga orang yang pakai yukata, ya."

"Senpai juga pakai yukata, kan?"

"Yah... aku cuma ingin menikmati suasana festival."
"Begitu ya."

Meskipun begitu, memang terasa lebih banyak orang yang datang ke festival dengan mengenakan yukata.

"S-Senpai juga lebih suka yukata, ya?"

"Eh...? Nggak juga sih. Aku cuma merasa itu terlihat segar saja."

"Harusnya aku pakai yukata juga, ya..."

"Kau ingin memakainya?"

Saat aku bertanya santai, dia menggelengkan kepala.

"Kalau aku ingin memakainya, aku pasti sudah pakai sejak awal."

"Lalu kenapa...?"

"Aku ingin Senpai merasa aku terlihat segar juga."

"Apa... haah!?"

"S-soalnya aku kesal karena Senpai nggak menganggapku imut!"
Biasanya aku akan langsung menanggapinya, tapi setelah banyak berjalan, wajahku terasa panas dan suaraku hampir bergetar, jadi aku urungkan niatku.

"A-aku jarang melihatmu pakai baju kasual juga, jadi... itu sudah cukup segar untukku."

"Be-benarkah...? Kalau begitu, lain kali aku akan lebih sering memperlihatkan pakaian kasualku!"

"Itu bagus."

"Aaah! Pasti Senpai nggak sungguh-sungguh, kan!"

Dia menggembungkan pipinya dan mendekatkan wajahnya padaku.
Entah kenapa aku jadi sadar akan keberadaannya. Padahal biasanya aku tidak begini...

"Aku akan pakai pakaian yang super imut dan membuat Senpai terkejut!"

"O-ooh..."

"Bersiaplah!"

Aku tidak mengatakan apa pun, meskipun sebenarnya aku hampir saja terkejut sekarang. Kalau aku menanggapinya, dia pasti akan semakin usil.
"Ah, Yurina~!"

Terdengar suara seseorang memanggil namanya dari kejauhan.

"Temanmu?"

"Umm... yah."

"Salah?"

"Bukannya begitu, tapi aku sudah bilang, kan? Aku ingin berkeliling dengan Senpai," katanya sambil manyun.

"B-benarkah...?"

Aku jadi ragu apakah dia benar-benar ingin berkeliling denganku. Tapi rasanya dia tidak berbohong.

"Kalau begitu, mulai sekarang aku akan berkeliling dengan teman-teman perempuanku."

"Eh? Ah..."

"Ada apa?"

"Nggak, nggak ada apa-apa..."
"Senpai aneh. Terima kasih ya."

Setelah berkata begitu, dia mengambil kantong belanjaannya dariku.

Aku sendiri tidak tahu kenapa tadi aku bertanya apakah temannya laki-laki atau bukan. Tapi saat itu, aku merasa harus bertanya agar hatiku lebih tenang.

"Nih, ini buat Senpai."

"Eh, bolehkah?"

"Ini sebagai ucapan terima kasih karena sudah membawakan barang-barangku."

"A-ah terima kasih..."

Dia memberikan yakisoba padaku. Masih terasa sedikit hangat.

"Sebaiknya dimakan selagi hangat!"

"...Iya juga."

Kebetulan perutku memang sudah mulai lapar, jadi kami berdua mulai makan dengan sumpit. Yakisoba di festival musim panas ini punya rasa saus yang kuat, ditambah banyak sayuran, jadi rasanya sangat enak.

"Ini enak banget, ya."

"Iya, soalnya suasananya juga mendukung."

"Memang, suasana itu penting..."

Sambil berbincang tentang yakisoba di festival musim panas, kami terus makan. Tapi dia tampaknya makan dengan terburu-buru, mungkin karena tidak ingin membuat teman-temannya menunggu.

"Nggak perlu buru-buru gitu, teman-temanmu nggak akan kabur, kan?"

"Aku ingin bersama Senpai juga, tapi teman-temanku juga penting."

"Baiklah, bersenang-senanglah, ya?"

Aku menoleh ke arahnya sambil berkata begitu.

Dia mengangguk dan tersenyum dengan pipi yang masih penuh makanan. Melihat ekspresinya yang lucu itu, aku jadi tertawa.

"Terima kasih banyak."

Dia menundukkan kepala sebagai tanda terima kasih, lalu berlari kecil menuju teman-temannya. Tapi entah kenapa, dia tiba-tiba berputar dan melihat ke arahku.
Aku menatapnya dengan bingung, dan dia malah menarik kelopak bawah matanya sambil menjulurkan lidah—"bleeee~!"

Seperti yang kuduga, aku benar-benar tidak pandai menghadapi Ikuta Yurina. Tapi anehnya, aku tidak merasa terganggu olehnya.














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !