Chapter 6
Tidak Sembarang Orang Bisa Meminjamkan Payung
"Baik,
dengan ini home room selesai. Berdiri—salam!"
Wali kelas
menyelesaikan home room sore dan keluar dari kelas. Saat home room berakhir,
ternyata ramalan cuaca meleset—hujan turun cukup deras.
"Duh,
seriusan?"
"Aku nggak
bawa payung..."
Suara keluhan
terdengar dari berbagai penjuru kelas. Aku sendiri salah lihat ramalan cuaca,
kukira hari ini bakal hujan, jadi aku bawa payung.
"Sebaiknya
pulang sebelum hujan makin deras..."
Aku bergumam
pelan, mengambil tasku, lalu keluar kelas. Di dekat rak sepatu, beberapa siswa
terlihat menelepon orang tua mereka untuk dijemput, sementara yang lain
meminjam payung sekolah.
Tapi, mataku
justru tertuju pada satu orang.
Bukan hanya aku,
siswa lain pun juga memperhatikannya.
"Shirakawa-san!
Kalau mau, pakai payungku aja!"
Seorang siswa
laki-laki, dengan gerakan sedikit canggung, menawarkan payungnya pada gadis
itu.
"Ah, nggak
perlu! Kalau aku pakai, kamu malah kehujanan, kan?"
"Ah...
iya..."
Dengan senyum
lembut, dia menolak tawaran itu dengan sopan.
Meskipun senang melihat kebaikan hatinya, ekspresi siswa itu menunjukkan
sedikit rasa kecewa.
Aku sempat ragu
apakah harus menghampirinya atau tidak. Tapi, karena masih banyak siswa di sekitar,
aku enggan menarik perhatian dan memilih untuk langsung pulang.
Namun, sepertinya
dia menyadari kehadiranku dan sejak tadi terus melihat ke arahku.
A-apa? Tatapan
itu... seolah-olah menyuruhku untuk peka...
"Aduh, ada
nggak ya orang yang bawa payung~?"
Dia berkata
dengan nada manja, sambil sedikit memiringkan kepalanya, lalu berjalan perlahan
mendekatiku. Aku menunduk, mencoba menghindari tatapan matanya.
"Hmm~?"
Tiba-tiba, dia
jongkok dan menatapku dari bawah. Sepasang mata besar itu berkedip-kedip
menatapku lekat-lekat.
"Ka-kamu kan
bisa minta ke cowok tadi."
"Itu... iya
sih..."
Aku bisa
merasakan tatapan siswa lain mengarah ke kami.
Shirakawa
Ayano—gadis cantik yang dikenal oleh semua orang di sekolah—sedang berbicara
dengan seseorang yang bahkan tidak mereka kenal, yaitu aku. Aku ingin segera
lepas dari situasi ini, jadi...
"A-ah,
baiklah! Nih, pakai aja!"
"Hah?"
"Pakai
payung ini. Aku nggak apa-apa kehujanan."
"Mana
mungkin nggak apa-apa!"
"Lalu gimana
dong?"
Kalau begini terus,
kami hanya akan saling mendorong tanggung jawab tanpa ada solusi.
"U-umm...
g-gimana kalau kita pakai berdua?"
"Kenapa
harus begitu?"
"Kan bisa
barengan pakai satu payung."
"Tapi ada
satu syarat."
"Apa?"
Kalau kami pulang
bersama sekarang, besok pasti bakal muncul gosip. Jadi aku mengajukan syarat:
menunggu sampai sebagian besar siswa pulang.
"Udah mulai
sepi."
"Sisanya
paling anak-anak klub yang masih ada."
"Ka-kalau
gitu... ayo pulang."
"...Iya."
Entah kenapa,
saat menjawab, dia menunduk sedikit. Aku merasa wajahnya agak memerah. Karena
situasi ini agak canggung, aku jadi terlalu berhati-hati—memiringkan payung
sedikit ke arahnya agar dia nggak basah, dan memastikan badan kami nggak
bersentuhan.
"Eh! Bahumu
basah, tuh!"
"Ah... nggak
apa-apa, cuma segini doang."
"Nggak
boleh! Nih, deketan lagi!"
Dia langsung
mendekat padaku, dan saat aku mencoba menjauh, dia malah menempel semakin erat.
"Hei, kalau
gitu kamu yang bakal basah, kan!"
"Nggak
masalah~"
"Ugh...
baiklah..."
Karena jarak di
antara kami semakin dekat, aku jadi lebih sadar akan keberadaannya. Dan karena
kami saling menempel... ada beberapa bagian tubuhnya yang menyentuhku. Lembut
banget...
“Are, Senpai?"
Suara itu
tiba-tiba menyadarkanku. Di depan halte beratap, berdiri Ikuta dengan rambutnya
sedikit basah.
"Ikuta..."
Biasanya dia suka
menggoda dan bersikap seperti gadis kecil yang usil. Tapi kali ini, dia
terlihat lebih serius. Matanya beralih dari wajahku ke gadis di sebelahku.
"Temannya
Kuroda-kun?"
"Ah, dia Kouhai
di tempat kerja part-time, namanya Ikuta."
"Aku Ikuta
Yurina~!"
Dengan suara
ceria, Ikuta memperkenalkan dirinya pada Shirakawa.
"Aku
Shirakawa Ayano, satu sekolah dengan Kuroda-kun."
Shirakawa
menjawab dengan tenang, lalu membungkuk dengan sopan.
"Kalau
begitu, kami pergi dulu..."
Saat aku hendak
pergi, Ikuta menahanku. Sepertinya dia tidak akan membiarkanku pergi begitu
saja.
"Senpai,
bukannya dulu bilang kalau nggak punya pacar?"
"Hah? Kenapa
tiba-tiba ngomongin itu..."
"Udah, jawab
aja."
Melihat ekspresi
Ikuta yang tiba-tiba sedikit kesal, aku jadi takut apakah aku telah melakukan
sesuatu yang salah. Tapi, ini bukan ekspresi kesal seperti biasanya—lebih
seperti ekspresi seseorang yang merasa kecewa.
"Nggak
ada..."
"Jadi,
perempuan cantik yang ada di sebelah Senpai ini bukan pacar Senpai?"
Perempuan di
sebelahku?
Begitu dia
mengatakan itu, aku langsung sadar. Dari sudut mana pun, situasi ini pasti
terlihat seperti sepasang kekasih...
"Kenapa kamu
kelihatan kecewa begitu..."
"Senpai
punya pacar... dan dia secantik ini..."
"Cantik..."
Shirakawa
bergumam pelan, lalu mulai memainkan rambutnya dengan jari—mungkin karena malu
setelah dipuji.
"Tentu saja
bukan begitu!"
"Yah,
bagaimanapun juga, aku lebih dulu akrab dengan Senpai!"
"Kamu
ngapain bersaing segala? Dan jangan asal bilang kita akrab begitu!"
"Eh~?
Kenapa, sih~?"
Aku hanya
mengatakan yang sebenarnya.
Faktanya, aku
memang tidak pacaran dengan Shirakawa.
Entah kenapa,
Ikuta terlihat lega. Tapi kali ini, justru Shirakawa yang tiba-tiba menunjukkan
ekspresi kesal.
Jadi begini, ya,
perasaan seorang gadis?
Sekarang aku
mulai mengerti.
"Umm...
Shirakawa?"
"Apa?"
"Bisa nggak
berhenti nusuk-nusuk pinggangku?"
"Kita bukan
teman, ya?"
Sejak tadi,
Shirakawa terus menusuk pinggangku dengan ekspresi cemberut.
"Aku nggak
pernah bilang begitu!"
"Hmm, yah,
kita memang baru akrab belakangan ini."
"Kenapa kamu
marah, sih?"
Entah kenapa dia
malah semakin kesal dan mulai menusuk pinggangku lebih keras.
"Itu lumayan
sakit, lho."
"Hmph."
Akhirnya dia
berhenti, tapi ekspresinya masih kesal.
"Kalian
benar-benar nggak pacaran?"
"Nggak, kok.
Kenapa nanya gitu?"
"Nggak,
cuma... iya, kan?"
"Apa,
sih?"
Ikuta tersenyum
masam sambil menatapku.
"Oh iya!
Senpai, datang ke kerja paruh waktu hari ini, ya~!"
"Hah?
Kenapa?"
"Kita
mungkin kekurangan orang~"
"Minta
tolong ke orang lain aja."
Kalau dia pikir
aku bakal selalu melakukan apa pun yang diminta, dia salah besar. Dan jangan
minta tolong kalau cuma 'mungkin' kekurangan orang!
"Aku mau
pergi kerja, jadi sampai ketemu lagi!"
"Ah...
oke."
"Sampai kita
dapat shift yang sama lagi!"
Aku meninggalkan
Ikuta yang melambaikan tangan dengan penuh semangat.
"Kalian
akrab juga, ya."
"Ya? Aku
rasa nggak sedekat itu, kok..."
"Aku cuma
kepikiran... Ikuta-san tahu sisi dirimu yang aku nggak tahu..."
Setelah
mengatakan itu, dia mengembungkan pipinya. Bukan seperti tadi saat dia kesal,
tapi ada ekspresi yang sedikit sendu—seperti dia merasa sedikit sedih. Entah
kenapa, dadaku terasa sedikit nyeri.
"Ngomong-ngomong,
Ikuta-san itu imut, ya?"
"Banyak yang
bilang begitu, termasuk manajer."
"Lalu,
menurutmu?"
Aku nggak pernah
benar-benar memikirkan itu. Bagiku, dia cuma rekan kerja di tempat paruh waktu.
"Hmm, aku
nggak pernah kepikiran soal itu."
Begitu aku
menjawab, dia menyipitkan mata dengan tatapan curiga.
"Hei, tadi
kamu bilang kan, kalau soal payung, siapa pun nggak masalah?"
"Oh... iya,
aku memang bilang gitu."
"Tapi, tahu
nggak? Aku bahkan nggak tahu siapa anak itu. Aku bahkan nggak tahu
namanya."
Saat itu, aku
sadar sesuatu.
Shirakawa
terkenal di sekolah karena kecantikannya, jadi hampir semua orang tahu nama dan
wajahnya. Tapi dari sudut pandangnya, dia justru nggak tahu sebagian besar
orang. Nama, wajah, bahkan kelas mereka.
Dia menggenggam
lenganku dengan erat.
"Meminjamkan
payung... itu bukan sesuatu yang bisa dari siapa saja, lho."
"Uh...
o-oke..."
Tatapan matanya
yang besar, bibir merahnya yang sedikit mengerucut, pipinya yang mulai
memerah—semuanya terasa seolah ingin menghancurkan kewarasanku.
Aku berusaha
sekuat tenaga menenangkan diri.
Lalu, sebuah
mobil melintas cepat di samping kami. Karena berbahaya, aku refleks bergerak ke
kanan—ke arah tempat Shirakawa berdiri.
Tubuhku pun tanpa
sengaja menyentuh tubuhnya.
"Wah, gila!
Mereka beneran patuh batas kecepatan nggak, sih?"
"U-umm..."
Dia terlihat
canggung, wajahnya semakin memerah.
"Ma-maaf,
aku cuma refleks..."
"Itulah..."
"Hah? Kamu bilang
apa?"
"Nggak,
bukan apa-apa."
Kurasa dia sempat
bergumam sesuatu, tapi mungkin aku cuma salah dengar. Aku buru-buru menjaga
jarak, tapi dia malah kembali mendekat dan menyandarkan tubuhnya padaku.
"Ka-kalau
nggak, aku bakal kena hujan..."
Dia mengatakan
itu dengan wajah yang kini sampai ke ujung telinganya memerah. Aku bisa saja
menolak, tapi aku juga nggak punya alasan untuk melakukannya.
"...Baiklah."
Suara kecilku
tenggelam oleh suara hujan. Saat kami berjalan, aku melihat sesuatu yang familiar.
Sama seperti sebelumnya, di dinding dan tiang listrik ada pengumuman tentang
festival musim panas minggu ini.
"Hei,
Kuroda-kun tertarik dengan festival musim panas?"
"Kenapa
tiba-tiba nanya?"
"Cuma
penasaran."
"Festival
musim panas, ya... Akhir-akhir ini aku cuma nonton kembang apinya dari
rumah."
"Begitu..."
Ketika dia
menyebut festival musim panas, hal pertama yang terlintas dalam pikiranku bukan
kembang api, bukan juga kios jajanan—tapi Shirakawa Ayano dalam balutan yukata.
Kalau aku bisa melihat Shirakawa dengan yukata, mungkin tahun ini aku akan
pergi ke tempat festival, bukan hanya melihat kembang api dari rumah.
"Kalau
Shirakawa sendiri gimana?"
"Aku? Hmm,
adikku suka festival, jadi kadang aku menemani dia. Kalau diajak teman juga aku
pergi, sih."
"K-Kamu
pakai yukata?"
"Eh…?
Yukata, ya? Kadang aku pakai juga, sih."
"H-Hmmm…"
Mengetahui bahwa
kemungkinan itu tidak nol, aku mulai benar-benar mempertimbangkan untuk pergi
ke festival musim panas tahun ini.
"U-Uhm…"
Dia berhenti
berjalan dan memanggilku.
"Ada apa?
Aku jalan terlalu cepat?"
"Kamu
menyesuaikan langkah kakimu denganku, jadi itu sangat membantu… Maksudku, bukan
itu!"
"Terus,
kenapa?"
"Itu…
Umm…"
Di akhir
kalimatnya, dia menggumam pelan hingga aku tak bisa mendengarnya.
"Eh? Apa
tadi?"
Saat aku bertanya
kembali, dia menarik napas dalam-dalam.
"Adikku
ingin pergi, jadi… bagaimana kalau kamu ikut juga, Kuroda-kun?"
"…Hah?"
"Jangan
'hah'. Jadi, gimana? Kamu nggak suka pergi sama cewek?"
"Nggak,
b-bukan itu… Ini bukan bercanda, kan?"
Aku bertanya
hati-hati, tapi dia malah mengembungkan pipinya dan menatapku tajam.
"Tentu saja
bukan bercanda!"
"M-Maaf…
Soalnya ini pertama kalinya aku diajak cewek, jadi… aku nggak tahu harus jawab
apa…"
"Pfft,
haha!"
"H-Hey! Kamu
ketawa, ya!"
"Maaf, maaf.
Reaksimu lucu sih, jadinya spontan aja."
Dia masih
tersenyum, tapi entah kenapa aku tidak merasa kesal sama sekali.
"Jadi,
artinya nggak masalah, kan?"
"Ah… Ya,
nggak masalah."
"Baiklah!
Berarti hari Minggu ini kita keliling festival musim panas bareng, ya!"
Dia mengangkat
tinjunya ke udara dengan senyum lebar. Setelah itu, aku mengantarnya sampai ke
rumahnya. Begitu sampai di depan pintu, dia berhenti.
"Maaf, ya,
hari ini?"
"Nggak
apa-apa, kok…"
"Tapi aku
udah bersikap manja."
Dia menunduk
lesu, mungkin karena merasa bersalah sudah memintaku untuk berbagi payung.
"Itu manja
yang imut. Lagipula, aku juga nggak keberatan…"
"Benarkah?"
"Awalnya aku
kaget, tapi aku nggak keberatan."
"Begitu…"
Dia masih
terlihat sedikit menyesal.
"Shirakawa,
kamu bakal pakai yukata?"
"Eh?
Yukata?"
"Ehm…
Soalnya, aku ingin melihatnya."
"Aku bakal
pakai! Pasti pakai yukata!"
"O-Oke…
Makasih."
Dia tiba-tiba
mendekat dan dengan semangat memastikan bahwa dia akan mengenakan yukata.
Sekarang aku benar-benar tak sabar menunggu festival musim panas.
"Kalau
begitu, sampai jumpa, Kuroda-kun."
"Ya, sampai
jumpa."
Dia masuk ke
rumahnya. Setelah melihat punggungnya menghilang, aku pun berbalik untuk
pulang. Namun, baru saja melangkah, terdengar suara pintu terbuka.
"Tunggu,
Kuroda-kun!"
Aku menoleh, dan
dia kembali memanggilku.
"Makasih,
ya, untuk payungnya hari ini!"
"Nggak, aku
nggak melakukan sesuatu yang besar, kok."
"Untukmu
mungkin biasa aja, tapi buatku itu sesuatu yang bikin senang!"
Dia tersenyum
lebar. Seperti yang kuduga, senyuman memang cocok untuknya. Setelah melambaikan
tangan, aku akhirnya pulang ke rumah.
Setelah makan
malam dan mandi, aku mendapat pesan di LONE dari Imagawa.
"Bagaimana
kalau minggu ini datang untuk mengambil novel ringan yang kita janjikan?"
Aku membalas,
"Minggu pagi nggak masalah?"
Tak lama
kemudian, dia langsung membalas, "Ya! Bisa!"
Jawabannya yang
cepat membuatku terkejut. Aku pun membalas singkat, "Oke."
Tiba-tiba, dia
mengirim stiker karakter anime.
Aku sempat ragu
apakah sebaiknya aku melanjutkan percakapan atau tidak. Saat aku masih berpikir
selama sekitar lima menit, pesan lain masuk dari Imagawa.
"Selamat
tidur!"
Aku melihat jam,
ternyata sudah lewat pukul sebelas malam.
"Oh, selamat
tidur juga."
Kali ini, dia
mengirim stiker karakter anime yang sedang masuk ke dalam selimut.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.