Bab 6
Fashion Show Piyama 2
Pada hari itu, setelah jam pelajaran selesai, aku pulang bersama Makura-san.
“Kalau melihat jangkrik yang terbaring di tanah karena musim panas hampir berakhir, rasanya jadi kepikiran buat makan es krim, ya,” ujar Makura-san dengan pemikiran khasnya yang unik.
Dari situ, kami memutuskan untuk mampir ke minimarket dan membeli es krim.
Sepertinya, Makura-san sudah terbiasa dan mulai menikmati kebiasaan membeli camilan di luar.
Begitu kami melangkah melewati pintu otomatis minimarket, Makura-san dengan penuh semangat berkata, “Yosh, pilih yang mana, ya!”
Dia berlari kecil menuju bagian belakang toko. Aku mengikutinya dari belakang, melewati rak majalah, dan saat itulah aku tanpa sadar berucap, “Ah,” dengan suara pelan.
Aku buru-buru menutup mulut dan mencoba bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, tapi Makura-san sudah menoleh dengan wajah penasaran.
“Hmm? Ada apa?” tanyanya.
Aku menggelengkan kepala sedikit. “Enggak, enggak ada apa-apa.”
“Benarkah? Aku tadi dengar kamu bilang ‘ah’,” ujarnya sambil menyipitkan mata.
“Mungkin cuma perasaanmu saja?”
“Benarkah? Kalau begitu ya sudah...” balasnya, meski wajahnya masih menunjukkan keraguan, ia mulai melirik ke sekeliling.
Dan akhirnya, dia menemukannya.
“Ah, ini rupanya,” ucapnya sambil menunjuk dengan dagu ke salah satu majalah di rak.
Itu adalah majalah yang baru saja kutemukan sebelumnya. Majalah tersebut menampilkan foto anggota grup idol “Shichininnokobito-chan” di sampul depannya—grup yang dulu pernah diikuti oleh Makura-san.
“Aku... maaf, tadi reaksiku berlebihan.”
“Tidak apa-apa, santai saja,” jawabnya sambil tersenyum lembut.
“Ayo, cepat! Es krimnya ada di sebelah sana!” Dia langsung berjalan terburu-buru menuju bagian es krim.
Aku mengikutinya dengan sedikit khawatir, berharap dia tidak terlalu memikirkan hal tadi.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆
Kami masing-masing membeli stik es krim dan meninggalkan toko. Makura-san tersenyum lebar setelah membuka bungkus es krim dan membuangnya ke tempat sampah di minimarket.
“Makan es krim di luar saat cuaca panas seperti ini memang paling enak, ya, Gakudou-kun.”
“Padahal sudah hampir musim gugur. Mungkin ini terakhir kali kita makan es krim tahun ini,” jawabku.
“Kalau dipikir-pikir, itu agak disayangkan juga, ya...”
Kami berjalan pulang sambil memakan es krim. Suasana hening sesaat, dan tidak ada yang berbicara.
“—Tadi itu... rasanya sangat nostalgia,” tiba-tiba Makura-san memecah keheningan.
“Tadi?”
“Iya, wajah teman-teman di sampul majalah tadi. Sudah lama sekali aku tidak melihat mereka.”
“Oh, begitu...”
Aku sedikit terkejut karena Makura-san memulai pembicaraan tentang itu. Dia melihat ekspresiku, lalu tersenyum pelan.
“Tentang masa lalu ku itu, tidak masalah kok. Lagipula, Gakudou-kun sudah tahu semuanya, kan?”
“B-benarkah? Kalau begitu, aku lega. ...Sudah lama tidak bertemu ya?”
“Iya. Sekarang aku sudah tidak pernah bertemu dengan dia, dan aku juga tidak pernah cek SNS nya lagi. Jadi, aku sama sekali tidak tahu apa yang dia lakukan sekarang.”
“Begitu ya. Kamu juga tidak berhubungan dengan anggota lainnya?”
“Jelas saja. Aku ini kan sudah ‘menghilang’. Aku juga sudah merepotkan mereka.”
“Aku mengerti...”
Dari sudut pandang Makura-san, memang wajar jika dia tidak bisa menghubungi mereka lagi.
“Kamu punya teman dekat di sana?”
Aku berusaha melanjutkan pembicaraan dengan pertanyaan yang tidak terlalu menyinggung.
Aku pikir ini adalah kesempatan bagus.
Aku ingin tahu lebih banyak tentang masa lalu Makura-san, sekecil apa pun itu.
“Oh, ada! Ada satu adik kelas yang sangat dekat denganku.”
“Heh, adik kelas?”
“Iya, iya! Jadi, awalnya dia adalah penggemarku, tapi karena dia terlalu suka sama Kamakura Koyuna, akhirnya dia memutuskan jadi idol dan bergabung dengan grup kami. Dia selalu bilang, ‘Senpai, senpai!’ dan mengidolakan aku. Kamu tahu, waktu SMP aku tidak ikut kegiatan ekstrakurikuler, jadi dipanggil ‘senpai’ itu rasanya menyenangkan, makanya aku sangat menyayanginya.”
“‘Penggemar’?”
“Iya, maksudku, dia adalah salah satu fansku.”
“Aku mengerti. Itu pasti kenangan yang menyenangkan.”
“Ya! Aku jadi penasaran, sekarang dia sedang apa ya?”
Makura-san tersenyum lembut dengan mata yang menyipit.
Saat itu, tiba-tiba terdengar suara seorang gadis di belakang kami, memanggil, “Senpai!”
Mungkin itu suara adik kelas yang memanggil seniornya di kegiatan ekstrakurikuler.
“Benar, seperti itulah rasanya. Bukankah lucu kalau ada adik kelas yang datang dan memanggilmu begitu?”
“Ah, aku belum pernah mengalaminya, tapi mungkin ada rasa seperti diandalkan.”
Kami terus berbincang santai seperti itu, ketika...
“Senpai!”
Suara itu terdengar lebih keras kali ini, begitu jelas di telinga.
Karena penasaran, jadi aku menoleh untuk melihat siapa yang memanggil.
Seorang gadis berdiri di sana. Dia mengenakan hoodie hitam kebesaran, yang membuat kakinya yang ramping terlihat jelas dalam celana skinny hitamnya. Meskipun bertubuh mungil, postur tubuhnya sangat proporsional. Dia memakai topi hitam dan potongan rambut pendeknya tampak mengintip dari bawah topi itu.
“Senpai!”
Sepertinya tidak salah lagi, gadis inilah yang sejak tadi memanggil seseorang. Namun, di sekitar kami tak ada orang lain… Sebenarnya, mata gadis itu tampak mengarah langsung ke arah kami berdua.
Gadis itu bukan gadis biasa, dia sangat cantik. Wajahnya yang bulat memberikan kesan imut, namun dengan fitur wajah yang sangat teratur. Bibirnya yang tipis berwarna merah muda cerah, dan matanya yang berkilau memancarkan cahaya yang hidup.
“Ku-Kuruha-chan...”
Suara yang terdengar seperti bisikan itu datang dari sebelahku.
Aku terkejut, menoleh ke arah Makura-san. Dia membuka matanya lebar-lebar, menatap gadis itu dengan penuh keterkejutan.
“Senpai...”
Eh, senpai? Bukankah baru saja tadi... kami membicarakan hal ini?
Apa mungkin, gadis ini...?
“Ke-kenapa? Ka-kamu kok bisa ada di sini?”
Dengan nada ragu-ragu, Makura-san bertanya, “Kuruha-chan, kenapa kamu ada di sini?”
“Jujur, aku juga tidak menyangka bisa bertemu Senpai di sini! Senpai tiba-tiba menghilang, tidak bisa dihubungi lagi, dan rumah yang dulu Senpai tinggali juga sudah kosong. Kebetulan hari ini aku ada pekerjaan pemotretan di dekat sini. Aku ingat Senpai pernah bilang kalau nenek dan sepupu Senpai tinggal di sekitar sini, jadi aku berpikir untuk jalan-jalan sebentar. Dan siapa sangka—”
Gadis itu menghentikan ucapannya sejenak, lalu menatapku dengan mata yang menyipit tajam.
“Siapa sangka Senpai berjalan-jalan dengan seorang laki-laki—!”
“Eh—”
Aku terkejut dan tidak bisa berkata apa-apa, hanya membuka dan menutup mulut tanpa suara.
Sepertinya, dari situasi yang ada, gadis ini telah salah paham tentang sesuatu yang serius.
“Tu-tunggu, Kuruha-chan—”
“Senpai, aku tahu pasti ada alasan mengapa Senpai tiba-tiba menghilang. Aku yakin ada sesuatu yang sulit untuk dibicarakan. Tapi, apa ini semua karena Senpai punya laki-laki?”
“Tu-tunggu, tunggu, Kuruha-chan.”
“Aku tidak bisa menunggu! Senpai yang sangat aku sayangi... Siapa kamu sebenarnya, hah?!”
Gadis itu menatapku tajam lagi, kali ini lebih menusuk.
“Kuruha-chan, kamu salah paham. Dengarkan aku dulu,” Makura-san berkata sambil melangkah maju.
“Muu...”
Gadis itu, dengan pipi yang menggembung, menatap Makura-san dari bawah. Tanpa berkata apa-apa, Makura-san tiba-tiba memeluknya erat.
“Sudah lama sekali, Kuruha-chan. Maaf karena tiba-tiba menghilang. Aku juga sangat ingin bertemu denganmu.”
“Se-Senpai...”
Meskipun tampak terkejut, gadis itu tetap tidak melawan.
“Orang ini benar-benar hanya temanku. Namanya Negoro Gakudou-kun, dia juga teman sekelasku. Jadi, dia juga senpai-mu, Kuruha-chan. Jangan mengatakan hal buruk tentang dia—kamu harus berteman baik dengannya,” kata Makura-san.
“...Ne...Ne-ne...Negoro-Senpai...”
Akhirnya, gadis itu menurut. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku seseorang memanggilku ‘senpai’, meski dia masih terlihat sedikit waspada, seperti seekor hewan yang terus siaga.
Tak lama kemudian, gadis itu mengalihkan pandangannya dariku dan menatap Makura-san.
“...Tapi, Senpai, kapan Senpai akan kembali? Kalau Senpai tidak ada, aku...”
“Ada apa?”
“Aku... Aku tidak tahu lagi kenapa aku menjadi idol...”
Kata-kata terakhirnya terdengar bergetar.
Makura-san menatapku dengan wajah kebingungan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala,
Maafkan aku, tapi situasi ini terlalu tiba-tiba dan aku sulit mengikutinya.
Sepertinya gadis ini sedang menghadapi masalah serius.
“Kuruha-chan...”
Sambil mengelus kepala gadis itu, Makura-san tampak berpikir sejenak.
Kemudian, dengan tiba-tiba, wajahnya berubah cerah seolah dia baru saja menemukan ide bagus.
“Kuruha-chan, bagaimana kalau kamu mampir ke rumah ku dulu?”
Gadis itu menatapnya dengan mata yang terbelalak, tampak terkejut.
“Ke rumah Senpai?”
Makura-san tersenyum cerah dan mengangguk dengan semangat.
“Ya! Rasanya nyaman, lho.”
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆
Ada pepatah yang mengatakan, “Membicarakan tentang serigala, dan serigalanya pun datang.”
Begitulah keadaannya saat ini. Kami sedang berjalan menuju kamar Makura-san, bersama dengan gadis idol yang tiba-tiba muncul, mengikuti kami dari belakang.
“Itu tadi, dia adalah Uyama Kuruha-chan. Oh, saat menjadi idol, dia pakai nama panggung ‘Momomori Kuruha, dan semua orang biasa memanggilnya ‘Kuruha-tan’.”
“Oooh. Kamu bilang dia lebih muda, kan?”
“Iya! kalau aku tidak salah ingat mungkin sekarang dia sudah kelas dua SMP.”
Sambil mendengarkan penjelasan Makura-san, aku mengeluarkan ponsel dan mencari nama ‘Momomori Kuruha'. Tidak butuh waktu lama sebelum deretan foto gadis berambut pendek hitam itu muncul di layar.
Memang benar, dia seorang idol, anggota dari grup bernama “Shichininnokobito-chan”. Mungkin dia juga ada di sampul majalah yang tadi kami lihat.
“…Apa ini baik-baik saja?”
Aku berbisik pelan pada Makura-san.
“Maksudnya?”
“Ya, maksudku, apa tidak masalah membawa dia ke kamar? Aku khawatir dia merasa tidak nyaman atau terbebani…”
Sambil berkata begitu, aku melirik ke belakang. Uyama-san berjalan dengan topi yang ditarik rendah, sedikit menundukkan kepala.
“Kuruha-chan adalah orang yang paling dekat denganku di grup itu. Meskipun aku pergi tanpa memberitahu siapa pun, bertemu dengannya tadi membuatku merasa bisa bicara dengan normal lagi.”
“Begitu, kalau begitu tidak masalah…”
Melihat Makura-san yang tampak santai tanpa tekanan, aku merasa sedikit lega.
“Selain itu, dia terlihat sedang tidak baik-baik saja.”
“Ah.”
Uyama-san tampaknya memendam sesuatu. Saat Makura-san memeluknya tadi, aku bisa merasakan emosinya yang hampir tumpah.
Memang tidak bisa diabaikan begitu saja. Mungkin Makura-san berencana untuk mengundangnya ke kamarnya agar bisa menghiburnya.
Saat aku memikirkan itu, tiba-tiba Makura-san mendekat dengan senyum lebar, menatapku dengan tatapan penuh godaan.
“Aduh, Gakudou-kun, kamu pasti kecewa ya, waktu berduaan kita jadi berkurang?”
“Jangan bercanda...”
“Haha, tapi kamu tidak menyangkalnya, ya!”
Makura-san tertawa kecil dengan senyum lebar yang tampak sangat puas.
“Tidak, aku tidak berpikir sejauh itu—”
Aku buru-buru menjawab, meskipun terdengar seperti aku panik.
Namun, saat aku berusaha menemukan kata-kata yang tepat,
“Aku juga sedikit kecewa, sih.”
Makura-san tiba-tiba berbisik dengan nada pelan.
“Eh?”
Jantungku berdebar kencang. Rasanya seperti ritme detaknya tiba-tiba bertambah cepat.
“Aku juga berpikir kalau kita akan bersantai berduaan lagi hari ini.”
“Oh...”
“Tapi, maaf, sebentar saja... dia benar-benar adik junior yang sangat penting bagiku. Jadi...”
“Ah, aku mengerti.”
Uyama-san tampaknya merasa khawatir tentang situasi ini. Bahkan dari sudut pandang yang objektif, aku bisa memahami perasaannya.
Setelah aku mengangguk, Makura-san dengan singkat mengucapkan “terima kasih” dan sekali lagi tersenyum kecil.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆
Tak sampai lima menit, kami tiba di depan kamar Makura-san.
Sepertinya Makura-san memiliki rencana, karena ia berkata, “Ruangannya berantakan, jadi aku butuh waktu untuk merapikannya,” dan kemudian meninggalkan Uyama-san di depan pintu.
Setelah itu, dia mengajakku masuk ke dalam kamar.
“Wah, kenapa Gakudou-senpai ada di dalam!?”
Uyama-san terkejut dan bersuara. Mungkin ia mempertanyakan mengapa aku, seorang pria, boleh masuk ke dalam kamar yang berantakan, sedangkan dia tidak.
“Aku cuma butuh bantuan untuk menyiapkan sesuatu, kok.”
Dengan senyum ceria, Makura-san menutup pintu.
“Tunggu, kalian berdua, apa hubungan kalian sebenarnya!?”
Suara Uyama-san terdengar dari luar.
Sesuai instruksi Makura-san, aku bersiap-siap di lorong. Saat itu, aku mulai bisa menebak apa yang ingin dilakukan Makura-san.
Ini... benar-benar akan dilakukan?
Rasanya agak mendesak, tapi apakah ini benar-benar aman?
Namun, karena ini adalah sesuatu yang Makura-san lakukan demi Uyama-san, aku memutuskan untuk mengikuti perintahnya dan mengawasi dari samping.
Tak lama kemudian, persiapan Makura-san selesai, dan dia menuju pintu depan untuk memanggil Uyama-san.
“Maaf sudah menunggu! Silakan masuk!”
“O-oh, permisi.”
Uyama-san mengintip dari celah pintu yang terbuka. Ia tampak sedikit tegang dan mulai mengamati ruangan dengan hati-hati sebelum akhirnya masuk.
“Eh? Kalian berdua sudah berganti pakaian, ya? Tapi, Senpai, kamu pakai pakaian apa!?”
Uyama-san terkejut dan berseru saat melihat penampilan Makura-san.
“Ini? Hehehe, imut kan?”
Makura-san mengenakan piyama berbentuk gaun dengan renda yang melambai. Dia tersenyum ceria sambil mengangkat ujung rok piyama dan memperlihatkannya.
“Bagaimana? Bagaimana?”
“Y-ya, meskipun sangat imut... tapi kenapa senpai mengenakan pakaian seperti itu di depan pria? Dan bagian dadanya terlalu longgar...”
“Itu tidak masalah. Gakudou-kun sudah terbiasa.”
“Te-terbiasa!?”
Uyama-san langsung menatapku dengan tajam. Tatapannya penuh curiga.
Makura-san, apa kamu sadar bahwa pernyataanmu bisa disalahartikan... Aku buru-buru mencoba menjelaskan.
“T-tapi maksudku, dia sudah terbiasa dengan pakaian piyama.”
“Terbiasa dengan pakaian piyama!? Apa maksudnya!? Kalian kan hanya teman!?”
Ah, ini buruk. Mungkin ini malah membuat keadaan semakin rumit.
“Lagipula, kenapa kalian berpakaian piyama di siang hari? Tunggu, jangan-jangan itu celana training yang dipakai Gakudou-senpai setelah mengganti baju?”
“Oh, sebenarnya ini piyama...”
“Piyama! Memang benar ini piyama!”
Saat itu, Makura-san mulai tertawa, “Fufufufufu, sepertinya dia sudah menyadarinya, Gakudou-kun.”
“Karakter apa ini...”
“Di rumah ini, ada dress code. Jadi, untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya, kamu perlu berganti pakaian menjadi piyama.”
“Jadi, kamu tidak bisa masuk tanpa piyama!?”
“Benar. Ini bukan sekadar rumah biasa. Ini adalah fasilitas ultimate untuk bermalas-malasan!”
“Bermalas-malasan...”
Ketika Makura-san mengucapkan itu, Uyama-san terdiam dengan mulut sedikit ternganga, tampaknya tidak bisa mengikuti penjelasannya.
“Bagaimana pun, kamu tidak membawa piyama, kan? Apakah hoodie yang kamu pakai saat ini dianggap piyama? Jika dalam penilaian Uyama-san, itu bisa diterima.”
Makura-san mengembalikan nada bicaranya dan bertanya.
“Penilaian? Konsep piyama!?”
Uyama-san masih tampak bingung.
“Tenang, tidak perlu khawatir! Aku sudah menyiapkan banyak.”
Makura-san lalu membuka pintu ke kamar mandi dengan tangan kirinya. Dia masuk dan keluar dengan membawa tumpukan piyama berwarna-warni.
“Apakah semua ini piyama?”
“Ya! Ayo, Kuruha-chan, kita ganti baju! Ini adalah awal dari fashion show piyama!”
Dengan semangat, Makura-san meletakkan piyama di lantai dan menggenggam tangan Uyama-san. Lalu dia mengangkat tangannya ke atas sambil berseru, “Banzai!” Uyama-san hanya bisa mengikuti.
Sepertinya mereka akan berganti pakaian di sini. Aku membaca situasinya dan memutuskan untuk mundur ke ruang tamu.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆
Beberapa menit kemudian, Uyama-san masuk ke ruang tamu dengan mengenakan piyama berwarna dasar merah yang dihiasi bentuk hati.
“Bagaimana? Gakudou-kun. Imut, kan?”
Makura-san yang berdiri di pintu masuk tampak senang saat bertanya.
Uyama-san sudah melepas topinya. Rambut pendeknya yang berwarna hitam, dengan poni yang tergerai ke samping, sangat cocok dengan penampilannya.
Piyama yang dipinjam dari Makura-san tampak sedikit kebesaran, dan Uyama-san dengan sedikit kikuk mengeluarkan jari-jarinya dari lengan yang longgar sambil menutup mulutnya. Tatapannya sedikit teralihkan, tampak malu-malu. Entah mengapa, pipinya juga tampak sedikit memerah.
“A-aku tidak pernah menunjukkan penampilan piyama kepada orang lain, bahkan di tempat kerja!”
Dengan tampak bingung, Uyama-san berbalik ke arah Makura-san.
“Wah, sayang sekali. Seharusnya penampilan piyama Kuruha-chan ditunjukkan kepada seluruh warga negara! Kan, Gakudou-kun?”
“Y-ya, memang benar.”
“Ah, jangan lihat, Gakudou-senpai!”
Uyama-san tampaknya baru tersadar, lalu meringkuk untuk menutupi piyamanya.
Namun, sepertinya ini adalah ciri khas seorang idol. Selain wajahnya yang cantik, ada sesuatu yang bersinar, seolah ada aura yang memancar darinya.
Aku belum pernah melihat gadis seperti ini dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan gadis tercantik di sekolah pun, jika berdiri di samping Uyama-san, keberadaannya mungkin akan terasa redup.
—Sekolah kami memang memiliki satu siswi level bos akhir di ruang kesehatan, jadi ini adalah pengecualian...
Setelah mendengar jawabanku, Makura-san mengangguk dengan puas. Kemudian, dia berkata kepada Uyama-san, “Baiklah, sekarang yang berikutnya!”
“B-berikutnya!?”
Yah, dia memang mengatakan ini adalah fashion show. Aku mengamati punggung Uyama-san yang seperti boneka ganti baju, saat dia ditarik pergi ke koridor.
Uyama-san yang muncul berikutnya mengenakan setelan piyama dengan motif teddy bear yang menyeluruh. Bahannya terasa sangat nyaman dan santai. Di kepalanya, terdapat headband dengan telinga beruang berwarna cokelat.
“Ya! Ini adalah piyama beruang!” kata Makura-san.
Aku merasakan tatapan Uyama-san yang penuh harap, meminta pendapatku dengan mata berkilau. Aku pun menjawab, “S-sangat bagus.”
Seharusnya aku memilih kata-kata yang lebih tepat. Misalnya, “Gaya piyama imut ini sangat cocok untuk gadis tomboy!” atau “Ekor beruang yang menggemaskan ini membuatku ingin mengelus kepalanya!”
Sayangnya, di samping Makura-san, tatapan mata besar penuh malu dari Uyama-san yang wajahnya merah kini mengarah padaku...
Aku belum cukup kuat secara mental untuk melontarkan kata-kata semacam itu kepada gadis yang sedang malu-malu. Apakah itu sesuatu yang perlu disesalkan?
Makura-san hanya mengangguk puas sambil melipat tangannya. “Baiklah, sekarang kita ganti lagi bajunya!”
“L-lagi!? Bukankah sudah waktunya kita masuk ke dalam?”
“Tapi, aku baru saja bertemu Uyama-san yang imut setelah sekian lama. Aku harus menikmatinya sebanyak mungkin!”
“Menikmati? Apa maksudnya!? ...Aduh.”
Mungkin saat mereka masih di dunia idol, Makura-san sering memperlakukan Uyama-san seperti ini—menggoda dan memanjakannya.
Bisa kubayangkan Uyama-san, meskipun tampak enggan, pada akhirnya selalu mengalah dan mengikuti Makura-san.
Fakta bahwa dia datang jauh-jauh ke sini untuk bertemu lagi dengan Makura-san, menunjukkan bahwa Uyama-san sangat menghormati dan menyayanginya. Mungkin memang ada ikatan kepercayaan yang kuat di antara mereka.
Uyama-san kemudian muncul dengan kostum berikutnya—sebuah kostum piyama berbentuk kelinci. Warnanya merah muda dengan telinga kelinci putih yang panjang, serta kantong berbentuk hati di bagian perut.
Ini pertama kalinya aku melihatnya. Ternyata Makura-san punya piyama seperti itu juga.
Saat aku melihatnya dengan serius, Uyama-san bertanya pelan sambil memiringkan kepalanya sedikit, “B-bagaimana menurutmu, kelinci kecil ini...?”
Aku tak tahu apakah gaya bicara yang imut ini alami atau dipaksa oleh Makura-san.
“Apakah ini cukup?” katanya sambil menoleh ke Makura-san. Tampaknya memang itu perintah dari Makura-san. Sambil berusaha menutupi kostum kelinci dengan kedua tangannya, Uyama-san menatapku dengan mata yang sedikit sinis.
Tampaknya aku diminta memberikan pendapat... “Yah, imut sih...”
Itu adalah jawaban jujurku. Meskipun aku berusaha menjawab sesederhana mungkin, itu yang keluar.
Uyama-san mengangkat wajahnya, mengerjapkan mata beberapa kali.
“T-terima kasih.”
Ketika dia menundukkan kepala, telinga kelinci yang panjang itu jatuh ke depan. Ketika dia mengangkat kepalanya lagi, tampaknya dia masih belum puas dan memalingkan pandangannya dengan bibir sedikit mengerucut.
Sepertinya dia gadis yang polos dan bukan orang yang buruk.
Saat aku memikirkan hal itu, tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu.
“Nee, Gakudou-kun...?”
Tentu saja, aku menyadari bahwa Makura-san juga telah mengganti bajunya. Kali ini, dia muncul dengan kostum piyama berbentuk hiu, sesuatu yang pernah kulihat sebelumnya.
Tapi karena tadi aku lebih terpana oleh kostum kelinci yang baru pertama kali kulihat, reaksiku terhadap Makura-san agak terlambat.
“A-ah. Kau juga terlihat imut.”
Setelah aku memberikan komentar itu, Makura-san mengeluh dengan nada bercanda, “Itu saja? Tadi pada si kelinci, kau bilang ‘imut sekali, kelinci kecilku’, tapi sekarang hanya begitu pada hiu ini?”
“Kenapa ada ‘hiu’ di akhir kalimat!?”
“Dasar bodoh!”
Makura-san menggerutu, pipinya mengembung seperti anak kecil, lalu menarik tangan Uyama-san dan membawanya kembali ke koridor.
Sepertinya aku telah membuat Makura-san marah.
Tentu saja, kostum hiu yang dikenakan Makura-san... tidak buruk, sebenarnya.
Dari arah lorong, terdengar suara Uyama-san yang panik. “Tunggu, Koyuna-senpai! Ini tidak bagus! Kenapa kau punya pakaian seperti ini!?”
Makura-san menjawab dengan nada ceria, “Hehe, imut kan? Aku sengaja membelinya dengan warna yang berbeda.”
Aku mendengar kegaduhan dari balik pintu kaca buram, siluet mereka berdua tampak sibuk.
Uyama-san terdengar cemas. “Ini berbahaya, senpai! Ukuran kita berbeda, bagaimana jika terselip?”
“Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja. Coba saja dulu. Aku yakin Kuruha-chan akan terlihat sempurna mengenakannya.”
Sepertinya Makura-san memaksa Uyama-san untuk mengenakan pakaian yang agak... berisiko.
Sesekali aku melihat sekilas kulit mereka melalui kaca buram, membuatku panik dan segera mengalihkan pandanganku.
Pakaian macam apa yang mereka pakai...?
Aku tanpa sadar menelan ludah.
Tak lama kemudian, pintu terbuka dengan tiba-tiba, dan keduanya muncul dengan berdampingan.
“Tadaaa!”
Bagian bahu pakaian mereka berbentuk tali.
Makura-san mengenakan warna merah, sementara Uyama-san mengenakan warna putih. Mereka mengenakan camisole tipis dengan jubah beludru berlengan panjang.
“Lihat, seksi kan?” Makura-san berpose memutar pinggangnya untuk menunjukkan keseluruhan penampilannya.
Meskipun dia memintaku untuk “melihat,” aku tidak tahu ke mana harus memalingkan mata.
Bagian dadanya... terlihat jelas. Dari belahan dadanya, dua tonjolan putih yang indah menonjol dengan begitu menantang.
“S-sungguh luar biasa,” jawabku.
“Hm? Luar biasa seperti apa?”
Makura-san melangkah maju, dengan senyum jahil mendekatkan wajahnya ke arahku. Tunggu, jika dia membungkuk lebih jauh, aku akan bisa melihat lebih jelas... pipinya yang sedikit memerah menunjukkan bahwa dia mungkin sedikit malu.
Kenapa dia begitu berani...?
Jika dia bersikap seperti ini, aku merasa harus membalasnya dengan jawaban yang sepadan.
“Sungguh... kamu terlihat sangat cantik,” jawabku jujur.
Makura-san tertawa kecil, “Hehehe, terima kasih. Aku jarang memakai ini, jadi rasanya seperti ‘SSR Makura Koyuna’ nih.”
“SSR?”
“Super Super Rare, seperti itulah.”
Sementara aku dan Makura-san berbincang, suara pelan terdengar dari belakang.
“A-apa kita bisa selesai sekarang...?”
Uyama-san terus gelisah di belakang Makura-san. Dia sudah lama menarik rapat jubahnya dan memegangnya erat-erat dengan kedua tangan.
“Kuruha-chan juga sangat imut, jangan sembunyikan!”
“Ah!”
Makura-san menarik lengan Uyama-san, dan jubah yang menutupi tubuhnya terbuka. Tersingkaplah tubuh mungil Uyama-san yang dibalut kain satin putih. Karena ukurannya sedikit lebih besar, bagian lengan dan kerahnya terlihat longgar, memperlihatkan sedikit kulit di beberapa tempat.
“Dulu kita pernah melakukan pemotretan dengan pakaian seperti ini kan, dan kita saling berpelukan begini,” kata Makura-san sambil memeluk Uyama-san.
“Ah! Tunggu, senpai!”
Namun, saking kuatnya dorongan Makura-san, Uyama-san tak bisa menahannya dan mereka berdua pun terjatuh bersama ke lantai.
“Kyaa!”
Uyama-san terduduk di lantai, sementara Makura-san menindihnya dari atas.
Dari posisiku, pemandangan ini terlihat... sungguh luar biasa.
Di balik gaun merah Makura-san yang tersingkap, tampak renda putih yang menghiasi tepi pakaiannya, dan di antara kakinya yang terbuka, ada warna biru langit cerah yang mengintip.
Makura-san buru-buru bangkit dan menarik ujung camisolenya ke bawah. Uyama-san, yang juga cepat-cepat bangun, menutup kedua kakinya dengan tangan, tampak sangat malu.
Keduanya lalu menatapku dengan tajam.
“K-kau melihatnya?” tanya Makura-san.
“Dasar mesum!” tambah Uyama-san.
“T-tidak, aku tidak melihat apa-apa!” Aku mengibaskan tanganku di depan dada, mencoba meyakinkan mereka bahwa aku tidak bersalah.
“Bohong. Pasti terlihat, kan?” desak Makura-san.
“Tidak, sungguh tidak ada apa-apa.”
“Tenang saja, aku tidak marah kok. Itu tidak disengaja, kan?”
“Y-ya, memang tidak bisa dihindari, sih...”
“Aku hanya perlu menghapus ingatanmu saja.”
“Aku sungguh tidak melihat apa pun!”
Gawat. Hampir saja aku tertipu oleh nada lembutnya. Bagaimana caranya dia akan “menghapus ingatan”? Jangan-jangan, secara fisik?
“Hmm... Ngomong-ngomong, Gakudo-kun, dari mana asalmu? Ibumu sehat-sehat saja, kan?”
“Hei, ini seperti interogasi polisi yang mencoba membuat tersangka nyaman!”
Begitulah, setelah kejadian itu, diputuskan bahwa pakaian camisole yang mereka kenakan terlalu berbahaya untuk dilihat oleh seorang pria. Dengan begitu, Makura-san dan Uyama-san pun kembali ke lorong untuk mengganti pakaian.
Sementara menunggu mereka di dalam kamar, bayangan dua warna cerah itu berulang kali muncul dalam benakku, dan setiap kali aku mencoba menghapusnya, justru semakin kuat aku mengingatnya.
... Ini di luar kendaliku.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆
“Kenapa bisa seperti ini...”
Uyama-san yang baru saja kembali ke dalam kamar, tampak lesu dan langsung duduk di lantai dengan menghela napas panjang.
Sepertinya, mengikuti keinginan Makura-san membuatnya sangat kelelahan. Aku sungguh bisa memahami perasaannya.
Dia sudah berganti pakaian kembali ke hoodie yang dia kenakan sejak awal, karena sebentar lagi harus kembali bekerja.
Dari luar, terdengar suara Makura-san, “Maaf ya, sepertinya cuma ada teh.”
Melihat ke arahnya, aku melihat seekor “hiu” sedang mencari-cari sesuatu di dalam kulkas. Dia benar-benar menyukai kostum itu.
“Ah, tidak apa-apa. Maaf sudah merepotkan,” panggil Uyama-san dari dalam kamar.
Makura-san kembali ke ruang tamu dengan membawa dua botol minuman di tangan, menutup kulkas menggunakan pinggulnya.
“Maaf ya, aku akan tuangkan tehnya.”
“Terima kasih banyak. Maafkan aku karena tiba-tiba datang mengganggu,” balas Uyama-san dengan sopan.
“Tidak, tidak sama sekali, sebenarnya aku ingin kalian lebih lama tinggal di sini—. Oh ya, Gakudo-kun, botol air yang kamu bawa dua hari lalu, masih belum dibuka. Jadi, aku masukkan ke dalam kulkas. Apakah itu oke?”
“Ah, terima kasih.”
Dua hari lalu, aku memang membeli dua botol air, tapi hanya minum satu botol. Karena kupikir aku akan datang lagi, aku biarkan saja botol yang tersisa di sini.
Setelah semua aktivitas ini, aku merasa haus, jadi langsung membuka botol yang diberikan Makura-san dan meminumnya.
Tiba-tiba, Uyama-san yang sedari tadi memperhatikan, membuka suara.
“Sebenarnya, kalian berdua ini punya hubungan seperti apa? Sebentar lagi aku harus pergi, tapi sebelum itu, tolong beritahu aku. Sepertinya, Gakudou-senpai sering ke sini, kan?”
Mata Uyama-san yang tajam, mirip kucing, menatapku penuh perhatian. Sepertinya, dia mencoba meredam rasa curiganya dan ingin mendapatkan jawaban yang jelas.
“Hubungan...”
Aku bergumam, lalu melirik ke arah Makura-san. Bagiku, lebih baik Makura-san yang menjelaskan. Apa yang harus diungkapkan dan sejauh mana, biar dia yang memutuskan.
“Kalau misalnya kalian berdua memang pacaran atau punya rahasia lain, aku tidak akan membocorkannya. Kalau ternyata kalian pacaran dan itu alasan Makura-senpai berhenti jadi idol, yah... itu sih sangat mengecewakan. Mungkin aku akan sedikit merasa kesal.”
Uyama-san menatapku dengan wajah cemberut, kemudian melanjutkan,
“Meski begitu, aku akan tetap jaga rahasia kalian. Bagaimanapun juga, aku ingin selalu berada di pihak Makura-senpai.”
Kali ini, tatapan Uyama-san diarahkan ke Makura-san.
Ada jeda singkat, lalu Makura-san menghela napas, duduk bersila di depan Uyama-san.
“Ya, sepertinya aku harus memberitahu Kuruha-chan tentang ini.”
Secara refleks, aku juga memperbaiki posisiku.
“Aku di kamar ini, bersama Gakudo-kun—”
Makura-san menggantungkan kalimatnya sejenak. Aku bisa mendengar Uyama-san menahan napas.
Aku sendiri mulai merasa tegang. Di tengah suasana itu, suara Makura-san yang tenang memenuhi ruangan.
“—jatuh ke dalam kemalasan.”
Aku langsung memperhatikan reaksi Uyama-san.
Tampaknya, Uyama-san tidak langsung mengerti. Dia berkedip beberapa kali, lalu mengulang kata yang baru saja didengarnya.
“…kemalasan?”
“Ya, kemalasan.”
“Kemalasan...”
Uyama-san mengerutkan kening dan memiringkan kepalanya.
Wajar, siapa pun akan bingung mendengar jawaban seperti itu tanpa penjelasan lebih lanjut.
“Intinya, di sini kami lebih banyak bersantai, bermalas-malasan, dan bermain.” Aku memberikan sedikit penjelasan.
“Malas-malasan, ya?”
Makura-san mengangguk dengan semangat. “Betul! Kami bersantai dan bermalas-malasan. Melakukan hal-hal yang kami suka, tidur siang, dan pada hari libur, kami tidak keluar rumah sama sekali. Hanya berdiam di ruangan ber-AC sambil bersembunyi di balik selimut yang hangat.”
“Um... lalu, kalian makan dengan baik, kan?”
Uyama-san tampak kebingungan, mencoba mengatasi rasa herannya dengan mengajukan pertanyaan sederhana yang terlintas di benaknya.
“Kalian makan dengan baik, kan?”
“Tentu saja! Meskipun lebih sering makan mi instan atau makanan beku.”
“Kalian bahkan tidak keluar saat akhir pekan?”
“Betul sekali. Kami menghabiskan sepanjang hari dalam balutan piyama.”
“Eh? Lalu, bagaimana dengan rutinitas latihan fisik yang dulu senpai katakan dilakukan setiap hari tanpa absen?”
“Oh, itu memang cukup melelahkan ya. Entah sekarang aku masih sanggup melakukannya atau tidak.”
“A-apa!? Ini tidak bisa diterima! Senpai bisa jatuh sakit jika begini terus! Dimana senpai yang dulu—senpai idolaku?”
Uyama-san berteriak, mungkin tidak mampu menerima perubahan drastis pada Makura-san yang sekarang. Aku ingat Makura-san pernah bercerita kalau Uyama-san dulu adalah penggemar beratnya saat dia masih aktif sebagai idol.
“Kemalasan? Aku tidak mengerti! Bagaimana bisa senpai berubah seperti ini?”
Uyama-san terus berbicara, sementara Makura-san hanya tersenyum tipis.
“Tapi, Kuruha-chan, kamu tahu? Saat ini, kamu sudah terjebak di markas besar aliran kemalasan. Ayo, ikutlah, ‘dilarrr’.”
“Dilarrr.”
Aku mengikuti, seolah ini bagian dari ritual aneh kami.
“Ulangi setelah aku, ‘dilarrrrr’.”
“Dilarrrrr.”
Wajah Uyama-san tampak penuh ketakutan. Dia bergantian menatap aku dan Makura-san, bingung dengan situasi yang dia hadapi.
“T-tunggu, apa yang kalian lakukan? Ini menakutkan...”
“Dilarrr.”
“Dilarrrrr.”
“M-maaf, sepertinya waktuku sudah habis, aku harus pergi sekarang!”
Dengan tergesa-gesa, Uyama-san mengenakan topinya dan cepat-cepat keluar dari ruang tamu. Jelas sekali, dia mencoba melarikan diri.
“Tunggu, kamu tahu jalan pulang, kan?”
Makura-san berteriak, tapi hanya terdengar suara pintu yang terbuka dari lorong.
Aku langsung bangkit dan mengejar Uyama-san. Setelah menyambar sepatuku dan berlari keluar dari apartemen, aku berhasil mengejarnya di tangga.
“Kamu baik-baik saja? Kamu tahu jalan pulang? Perlu aku antar?”
Uyama-san berhenti, melirikku sekilas dari sudut matanya.
“Tidak perlu.”
Dia mulai berjalan lagi, tapi aku masih sempat mendengar gumamannya yang pelan.
“Kenapa... Senpai yang dulu aku kagumi—”
Tanpa sengaja, aku bertanya, “Kagumi?”
Tak terduga, Uyama-san berhenti dan berbalik menatapku.
“Tolong jangan bilang hal itu pada senpai. Itu hanya suara hati yang tak sengaja terucap...”
“Oh, baiklah. Jadi, kamu mengaguminya?”
“Iya. Aku tidak bisa membicarakan itu dengan senpai yang sekarang—jadi tolong rahasiakan.”
Setelah berkata demikian, Uyama-san menunduk sedikit dan mulai berjalan menuju stasiun, meninggalkanku yang berdiri diam di tempat.
Ketika aku naik kembali ke lantai atas, Makura-san sudah berdiri di depan pintu, mengintip ke luar. Kami berdua pun masuk kembali ke dalam ruangan.
“Apa tadi berlebihan?” tanya Makura-san dengan nada ragu.
“Mungkin saja…” jawabku.
Aku juga sedikit terlalu terbawa suasana. Rasa khawatir muncul dalam benakku, apakah Uyama-san baik-baik saja. Tapi di saat yang sama, percakapan kami tadi terus terngiang di kepalaku.
Kagum...
Ruangan seketika menjadi hening.
Seolah ingin memecah keheningan, Makura-san bersuara dengan ceria.
“Yah, sebagian besar orang memang bereaksi seperti itu pada awalnya. Tidak masalah. Mungkin, jika kemalasan ini lebih meluas, tanggapannya akan berbeda.”
“Kamu terdengar seperti pemimpin aliran sesat yang sedang memikirkan pengikutnya!” candaku.
Memang, awalnya aku juga tidak paham dan sedikit mundur terkejut...
“Hahaha. Yah, itu hanya bercanda. Sebenarnya, aku hanya ingin membuatnya merasa lebih baik dengan caraku yang sekarang.”
Makura-san menyipitkan mata, menatap kosong ke langit-langit.
Aku bingung harus menjawab apa, tetapi kemudian Makura-san berbicara lagi, suaranya lembut.
“Kira-kira, aku bisa bertemu dengannya lagi nggak, ya...”
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.