Muboubi kawaii pajama sugata no bishoujo to heya de futarikiri chap 5 v2

Ndrii
0

Bab 5

Siang Hari yang Tenang




Pov Makura koiro

Waktu menunjukkan 14:00.

 

Perawat sekolah sedang tidak ada di tempat, tidak ada siswa atau pasien di ruang kesehatan, hanya tinggal aku seorang diri.

 

Ditemani sinar matahari yang lembut masuk dari jendela, aku duduk di depan lembar tugas yang perlahan membuatku terkantuk-kantuk.

 

Kesadaranku terputus-putus, kadang hilang, kadang kembali.

 

Haruskah aku menyerah dan tidur saja? Ini salah guru yang menempatkan meja belajar di dekat jendela, bukan salahku. Semua ini hampa... hampa...

 

Saat pikiran-pikiran itu berputar di kepalaku dan aku perlahan menyerah pada rasa kantuk, pintu ruang kesehatan terdengar perlahan dibuka. Kesadaranku langsung bangkit, tubuhku menegang dan mencoba menahan nafasku.

 

Namun, bertentangan dengan ketegangan yang kurasakan, yang terdengar adalah suara santai yang sangat kukenal.

 

“Koiro-chan? Kamu di sini?”

 

Yang masuk ke dalam ruangan adalah sepupuku yang lebih tua, Satomi-chan.

 

“Ah, kamu bikin kaget aja! Ternyata Satomi-chan.”

 

“Di sekolah panggil aku dengan ‘sensei’, ya.”

 

“Satomi-chan sensei?”

 

“Kumada-sensei!”

 

Satomi-chan, yang muncul dari balik tirai tempat tidur, menaruh kedua tangannya di pinggang sambil menggumamkan “Mou” kecil.

 

“Lihat nih, lembar tugasmu nggak ada yang dikerjain sama sekali. Kamu pasti ketiduran, kan?”

 

“Aku udah berusaha sebaik mungkin, kok?”

 

“Jangan bohong. Lihat deh, nggak ada bekas coretan pensil sama sekali.”

 

“Ah, bukan itu maksudku...”

 

Lawan yang sebenarnya bukanlah lembar tugas, melainkan kantuk yang sulit dilawan.

 

Namun, karena aku tahu Satomi-chan yang berada di posisi sebagai guru pasti akan memarahiku, aku memutuskan untuk mengganti topik.

 

“Bagaimana dengan Kumada-sensei? Sedang membolos? Bukannya seharusnya lagi mengajar?”

 

“Tentu saja tidak. Aku hanya kebetulan sedang jam kosong. Aku datang untuk melihat keadaanmu.”

 

“Oh, terima kasih banyak ya, sensei.”

 

Saat aku tersenyum dan mengucapkannya, Satomi-chan juga tersenyum lembut.

 

“Bagaimana? Sudah terbiasa belajar di ruang kesehatan?”

 

“Hmm, ya, aku sudah cukup terbiasa sekarang.”

 

“Baguslah. Lagipula, kabar bahwa mantan idol Koyuna Kamakura ada di sekolah ini belum menyebar, jadi sepertinya semuanya berjalan lancar.”

 

Hmm, kalau memang tidak ada yang tahu, itu melegakan.

 

Informasi seperti ini adalah hal yang tak mungkin ku ketahui karena aku tidak berinteraksi dengan siswa lain di sekolah, jadi mendapat kabar ini benar-benar sangat membantu ku.

 

Sejak berhenti dari dunia idol, aku juga sudah menghapus akun media sosialku dan berhenti melihatnya.

 

Pada awalnya, membuka aplikasi sudah menjadi kebiasaan, tetapi sekarang aku tidak terlalu memikirkannya lagi. Jadi, tidak ada rumor tentangku yang sampai ke telingaku.

 

“Kalau ada masalah, jangan ragu buat cerita, ya? Aku akan membantu semampuku.”

 

“Benarkah? Kalau begitu, bisa nggak ya sensei menghapus konsep nilai merah dari ujian semester?”

 

“Untuk yang satu itu... lebih baik kamu berusaha supaya nggak dapat nilai merah.”

 

“Eh, tapi sensei bilang apa saja bisa, loh...”

 

“Tidak bisa, yang tidak mungkin tetap tidak mungkin. Itu seperti aku berkata, ‘Aku ingin punya pacar ganteng, jadi tolong atur supaya itu terjadi!’”

 

“Itu sih sepertinya kalau Satomi-chan serius berusaha, bisa aja dapet. Ngomong-ngomong, Satomi-chan dan Yako-chan juga, sebaiknya segera cari pasangan yang stabil deh.”

 

“Aku nggak bisa-bisa nih. Sejak putus dengan mantan pacar ku dulu, aku jadi terlalu berhati-hati. Sementara Yako-chan, dia itu pacaran nggak pernah lama. Memang gampang bikin pacar baru, tapi nggak pernah bertahan lama.”

 

“Sepertinya bakal butuh waktu lama, ya... Tapi jangan sampai kalian berantem kalau salah satu dari kalian menikah duluan, ya?”

 

“Nggak, nggak bakal. Waktu itu, kami pergi ke supermarket bareng dan lihat makanan yang ditempeli stiker diskon setengah harga. Tiba-tiba, kami merasa sedih banget. Kami kan sekarang udah di usia yang mungkin aja dapat stiker setengah harga juga, kayak makanan sisa itu. Jadi, kami sepakat bahwa salah satu dari kami harus bahagia, lalu nanti bisa berbagi aura kebahagiaan itu dengan yang lain.”

 

“Itu sih terdengar cukup menyedihkan...”

 

Padahal, menurutku mereka masih belum di usia yang perlu mengkhawatirkan soal itu. Lagi pula, usia rata-rata untuk menikah pertama kali juga terus meningkat.

 

Yah, mungkin orang dewasa punya kekhawatiran atau rasa terburu-buru sendiri yang tidak kumengerti.

 

Saat aku berpikir begitu, tiba-tiba Satomi-chan melontarkan pertanyaan yang tidak kuduga.

 

“Lalu, bagaimana denganmu? Hubunganmu dengan Negoro-kun?”

 

“Apakah itu maksudnya... dalam arti romantis, sesuai alur pembicaraan?”

 

“Tentu saja! Kalian kan bahkan liburan bareng saat libur musim panas, dan setelah masuk semester baru, kalian masih terus dekat. Padahal awalnya aku cuma minta tolong dia untuk menemanimu saat kelas remedial.”

 

Satomi-chan mendekat dengan senyum kecil dan duduk di tepi tempat tidur.

 

“Itu cuma karena kami cocok aja, sih.”

 

Padahal, sebenarnya ada lebih banyak hal yang terjadi.

 

Namun, meskipun begitu, kami tidak pernah menjalin hubungan dalam arti romantis. Kami bahkan tidak pernah membahas soal itu.

 

“Benarkah cuma itu?”

 

“Iya.”

 

“Atau mungkin... sebenarnya sudah cukup jauh, tapi kamu menyembunyikannya?”

 

“Nggak, serius, nggak ada apa-apa.”

 

“Tenang aja, aku nggak akan bilang sama tante—ibu kamu! Jadi, sudah sejauh mana?”

 

“Tunggu, tunggu, ayo santai dulu.”

 

Walaupun dia terus bertanya, kalau memang nggak ada apa-apa, ya nggak ada apa-apa.

 

“Memang, Negoro-kun orang yang sangat penting untukku. Tapi soal cinta? Aku nggak terlalu paham. Selama ini, aku selalu dibilang nggak boleh pacaran. Jadi, cinta? Apa itu? Aku nggak ngerti. Jadi, ya udah selesai.”

 

Aku benar-benar tidak mengerti soal cinta.

 

Yang jelas, untuk sekarang, waktu yang kuhabiskan bersama Negoro-kun sangatlah berharga―.

 

“Orang yang penting, ya?”

 

Satomi-chan bergumam, lalu tersenyum geli entah kenapa.

 

“Sudahlah, kamu pulang sana. Bel nanti bunyi.”

 

“Hah, udah waktunya? Waduh, aku belum selesai sama sekali!”

 

“Kamu benar-benar bolos, kan?”

 

Melihat punggung Satomi-chan yang buru-buru keluar dari ruang kesehatan, aku menarik napas lega.

 

Hari-hari yang tenang.

 

Aku masih bisa bersekolah, meskipun hanya sedikit, dan kehidupan sehari-hariku pun berjalan dengan baik.

 

Saat Gakudou-kun datang ke kamar, aku sering memikirkan apa yang bisa kami lakukan untuk menghabiskan waktu, dan itu membuatku bersemangat.

 

Gakudou-kun ternyata cukup antusias dengan permainan, dan diam-diam aku senang melihatnya begitu. Memang ada ujian persiapan yang akan dia hadapi, jadi aku tak bisa terlalu mengganggu waktu belajarnya.

 

—Kebahagiaan yang sederhana.

 

Meski di sudut hatiku ada sedikit kekhawatiran, untuk saat ini, aku berharap hari-hari santai ini bisa terus berlangsung.

 

Apakah tidak apa-apa kalau aku merasa seperti ini?

 

     

 

Pov Gakudou Negoro

Di siang hari yang cerah pada hari Minggu, aku berjalan menuju apartemen Makura-san setelah mendapat undangan darinya.

 

‘Besok kamu ada les? Kalau tidak, bagaimana kalau kita bermalas-malasan saja?’

 

Itulah pesan yang aku terima di malam sebelumnya.

 

Hari ini memang tidak ada jadwal les, dan aku berencana menghabiskan waktu di ruang belajar.

 

Karena tidak ada kegiatan penting, aku memutuskan untuk menerima ajakannya.

 

Sejak semester dua dimulai, aku sering datang ke kamarnya sekitar dua atau tiga kali dalam seminggu. Sebenarnya, aku bisa lebih sering untuk datang, tapi entah kenapa, aku memilih memberi jarak.

 

Sepertinya Makura-san memperhatikan kondisiku dan berusaha untuk tidak mengganggu kegiatan les atau belajarku.

 

Liburan musim panas terasa seperti masa yang istimewa, penuh dengan kesenangan yang tidak biasa. Namun, sekarang setelah semester baru dimulai, kehidupan kembali ke realita. Setiap hari terasa harus dijalani dengan serius.

 

Jika tujuan kami adalah melanjutkan hubungan ini, maka stabilitas dalam kehidupan sehari-hari adalah kunci yang diperlukan.

 

Agar bisa terus bersama, kami harus bisa menjalani kehidupan sehari-hari dengan baik.

 

Aku pun menyadari bahwa Makura-san juga memikirkan hal yang sama. Dan aku mulai menyadari, betapa aku juga selalu bersemangat setiap kali pergi ke kamarnya, setelah sekian lama tidak bertemu.

 

Saat aku semakin mendekati apartemen Makura-san, aku melihat pintu di ujung lantai satu terbuka.

 

Di waktu yang kebetulan itu, seorang wanita berambut pirang yang sudah aku kenal baik muncul sambil mengenakan sepatunya.

 

“Selamat siang,” sapaku, berpikir bahwa berpura-pura tidak melihatnya akan terasa aneh.

 

Yako-san, dalam pakaian kasualnya, mendongak kearahku. Sepertinya dia akan pergi kencan, karena riasannya tampak lebih sempurna dari biasanya.

 

“Oh? Wah, seorang pemuda menyapaku! Ah, ternyata cuma kamu, anak muda... sayang sekali.”

 

“Jangan berharap menemukan jodoh begitu baru saja keluar rumah.”

 

“Mereka bilang kamu tak pernah tahu kapan jodohmu akan muncul. Harus selalu waspada tentang itu. Lalu, kamu mau ke rumah Koiro-chan ya?”

 

“Ya,” jawabku sambil melirik ke arah lantai dua apartemen.

 

Yako-san mendekatiku sambil tersenyum geli.

 

“Ah, begitu. Wah, mesranya... bagus sekali, anak muda.”

 

“...Apa sih?”

 

Saat aku mencoba melangkah menjauh agar tidak terlalu diganggu, seperti yang kuduga, Yako-san berhasil menyusul dan dengan santainya merangkul bahuku.

 

“Jadi, gimana? Tentang Koiro-chan?” tanyanya.

 

“Gimana maksudnya?” aku balik bertanya.

 

“Kamu tahu maksudku. Sebagai pacar, maksudnya.”

 

“Pacar...”

 

Ya, aku sudah menduga dia akan menanyakan hal semacam itu.

 

“Tapi, kami nggak seperti punya hubungan seperti itu,”

 

“Begitu ya... Kalau begitu, menurutmu sendiri, bagaimana perasaanmu terhadap Koiro-chan? Kamu suka dia? Apa kamu jatuh cinta?”

 

“Ah, tidak, tidak seperti itu.”

 

Jujur saja, rasanya aneh jika langsung menyukai seseorang hanya karena kebetulan bertemu dengan mantan idola terkenal yang tiba-tiba muncul di sekitarku. Cinta itu lebih dari sekadar perasaan instan seperti itu, bukan?

 

Yako-san cemberut dan berkata, “Hmmm...”

 

“Aku dan Satomi-chab sering membicarakan kalian berdua. Kami penasaran, sebenarnya kalian itu gimana sih?”

 

Kumada-sensei, ya... Dua orang dewasa ini memang sangat suka membicarakan hal-hal seputar asmara. Tapi aku bertanya-tanya, gosip seperti apa yang mereka bicarakan saat aku dan Makura-san tidak ada.

 

“Kamu selalu memperhatikan Koiro-chan, bukan? Bahkan di hari libur pun kamu datang menemuinya. Kalau sampai rela melakukan itu untuk seseorang, bukankah itu artinya kamu menyukainya?”

 

“Suka, ya...”

 

Sebenarnya aku juga tidak terlalu paham. Perasaan yang kumiliki terhadap Makura-san ini, kalau diungkapkan dalam kata-kata, entah apa namanya. Pengalamanku terlalu sedikit untuk mengerti hal semacam ini.

 

Yang kutahu, saat ini aku merasa bahagia saat menghabiskan waktu bersamanya.

 

Sebagai sosok yang dulu kukagumi dan sekarang menjadi teman di mana aku bisa bermalas-malasan bersama, aku hanya ingin terus berada di sisinya.

 

Saat aku terdiam, Yako-san menatapku cukup lama sebelum akhirnya tertawa kecil.

 

“Aduh, anak-anak muda yang polos memang menggemaskan. Mungkin kamu simpan ‘rasa cinta’ di sakumu, ya? Dulu aku juga pernah merasakan hal seperti ini, meski rasanya sudah terlalu lama untuk diingat.”

 

“Polos? Rasa cinta?” Aku tidak begitu paham apa maksudnya, tapi dia tampak sangat menikmati saat menepuk-nepuk punggungku dengan semangat.

 

“Nah, semoga beruntung ya, Nak. Aku mau pergi ke kencan buta.”

 

“Kencan buta, ya. Pantas saja dandananmu rapi banget. Semoga berhasil, Yako-san.”

 

“Terima kasih. Doakan aku bertemu cowok tampan, ya.”

 

“Mungkin lebih baik mampir ke kuil untuk berdoa.”

 

“Benar juga, ide bagus! Aku akan ke sana dulu. Sampai jumpa, Nak.”

 

Tunggu, dia serius mau ke kuil? Doa semacam itu mungkin bisa membuat dewa-dewa geleng kepala...

 

Yako-san melambaikan tangan dan pergi.

 

Setelah dia menghilang dari pandanganku, aku melangkah menaiki tangga besi apartemen yang sudah agak berkarat.

 

Akhir-akhir ini, aku merasa hari-hariku berjalan dengan tenang.

 

Meskipun orang-orang di sekitarku terbilang cukup unik, dibanding beberapa bulan yang lalu, hati ini terasa jauh lebih damai.

 

Namun, ketenangan dalam kehidupan sehari-hariku sedikit terusik oleh badai kecil yang datang di minggu berikutnya.














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !