Bab 7
Mengagumi dan Dikagumi
Suasana di tempat les terasa agak menegangkan. Para siswa kelas tiga SMA yang akan menghadapi ujian di awal tahun baru, memancarkan atmosfer ketegangan yang khas.
Bagi diriku, yang sudah mengikuti bimbingan ini sejak kelas satu SMA, ini adalah kali pertama merasakan suasana seperti ini.
Rasanya seperti berada di garis depan perang ujian.
—Kalau ini adalah diriku sebelum liburan musim panas, mungkin aku tidak akan bisa menyesuaikan diri dengan atmosfer ini.
Aku pasti sudah kabur dari ruang belajar dengan perasaan muak dan bertanya-tanya kenapa aku harus bekerja keras di sini.
Meskipun saat ini aku belum punya mimpi atau tujuan pasti, setidaknya aku sudah punya target untuk meraih hasil baik di ujian nasional bulan depan.
Ini semua karena Makura-san yang mengajarkanku bahwa belajar tidak akan sia-sia.
Jam sudah menunjukkan pukul 19:00.
Saat keluar dari tempat les, matahari sudah sepenuhnya tenggelam. Aku menyipitkan mata ke arah sisa-sisa sinar matahari yang memudar di langit barat.
Aku menarik napas dalam-dalam, merasakan udara sejuk yang masuk ke tenggorokan dan memenuhi paru-paruku.
Aku berniat membeli minuman sebagai bentuk istirahat sejenak.
Namun, saat aku mengeluarkan ponsel dari saku sambil berjalan, langkahku terhenti sejenak.
Di layar, tertera nama Makura Koiro.
Aku segera mengetuk pesan yang ia kirimkan.
(Makura “Nee, nee, Kuruha-chan mau datang kesini. Bagaimana denganmu, Gakudo-kun?”)
Itu adalah ajakan dari Makura-san.
...Tapi, mungkin juga permintaan bantuan.
Sebelumnya, ketika Uyama-san datang, kami membuat kejutan yang hampir seperti undangan ke sekte baru di kamar Makura-san.
Aku sempat khawatir kalau itu memberi trauma pada Uyama-san, tapi ternyata tidak sama sekali.
“Aku datang untuk memastikan kalau senpai tidak bermalas-malasan!”
Uyama-san, junior yang tegas, muncul kembali di kamar Makura-san dengan kata-kata seperti itu.
“Kuruha-chan, selamat datang! Hari ini mau ngapain? Main game? Baca manga?”
“Tentu saja, kita akan latihan! Ini rutinitas harian!”
“Eh, nggak mau ah, aku nggak bisa bergerak.”
“Tidak boleh! Kamu harus semangat! Kalau tidak, nanti fisikmu menurun!”
“Oke, kalau kamu bisa mengalahkanku di game, aku akan latihan.”
Pada akhirnya, Makura-san tidak pernah kalah dari Uyama-san di game, jadi pemandangan Makura-san dipaksa latihan fisik tidak pernah terjadi.
Di hari lain, Uyama-san kembali datang di sore hari pada hari Sabtu.
“Hari ini kita benar-benar akan latihan! Tidak ada malas-malasan!”
“Eh, ini kan hari libur...”
“Justru karena hari libur! Ayo kita lari seperti dulu! Otot-ototmu pasti sudah rindu berolahraga!”
“Tidak bisa... aku tadi cuma makan roti satu lembar saat makan siang, kalau aku lari, nanti kalorinya minus dan aku bisa pingsan.”
“Kalori minus itu justru bagus! Ayo, kita pergi sekarang!”
“Ugh, a-aku pusing karena lapar... Hari ini aku harus bermalas-malasan di rumah... Sebenarnya, aku sudah memesan makanan. Kalau aku bisa makan dulu, aku akan menemanimu lari setelah itu.”
“Y-ya sudah kalau begitu...”
Uyama-san akhirnya menyerah, tapi ternyata Makura-san telah memesan pizza. Malam itu, aku berencana berkunjung, jadi Makura-san memesan pizza lebih banyak. Tentu saja, Uyama-san ikut bergabung dalam pesta pizza itu, dan setelah semuanya kekenyangan, rencana untuk lari pun terlupakan begitu saja.
Suatu malam lainnya.
“Karena di luar sudah gelap, kita akan latihan di dalam rumah! Kita coba menu latihan yang dulu diajarkan Koyuna-senpai, menu paling kuat!”
“Ah, tapi Gakudo-kun juga di sini.”
“Negoro-senpai juga akan ikut, kan?”
“Aku juga!?”
“Tentu saja kamu ikut!!”
Uyama-san memberikan tekanan yang luar biasa.
“Siapa yang ada di sini harus bertanggung jawab dan ikut semuanya!”
Saat Uyama-san bersemangat, tiba-tiba pintu depan yang tidak terkunci terbuka tanpa peringatan, dan Yako-san masuk.
“Osu, Koiro-chan! Eh, ada orang lain? Seorang pemuda... dan gadis manis?”
“Yako-chan! Osu! Ini junior dari masa aku jadi idol, Kuruha-chan.”
“Sa-senang bertemu denganmu.”
“Oh, Koiro-chan punya teman di kamarnya... Jadi, sedang ngapain kalian?”
Yako-san melirik Uyama-san dengan saksama sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke Makura-san.
“Sekarang? Yah, seperti biasa, bermalas-malasan di kamar.”
“Begitu. Lalu, ada rencana apa setelah ini?”
“Hmm? Tidak ada yang penting.”
“Eh, tunggu sebentar.”
Uyama-san menyela dengan suara panik.
“Oh, bagus! Kalau begitu, mari kita adakan pesta minum!”
“Yay! Pesta minum! Meskipun hampir semua di sini belum cukup umur, mari kita bersenang-senang!”
“Ya, benar juga... Kalau pakai metode Othello, mungkin aku juga bisa jadi di bawah dua puluh tahun lagi. Dengar nih, makanan ringan hari ini adalah cerita tentang pacarku yang selingkuh dengan gadis lebih muda.”
“Baiklah, aku akan lihat dulu apa yang bisa kita buat dari kulkas untuk makanan ringan!”
“Oh, terima kasih, Koiro-chan! Nah, dengar ini baik-baik, anak muda. Ada seorang gadis yang sering berinteraksi dengan pacarku di komentar SNS. Aku berpikir, ‘Siapa dia?’ Tapi suatu hari, interaksi mereka tiba-tiba berhenti. Jangan lengah. Justru itu adalah tanda bahaya. Jika mereka tidak berinteraksi lagi di SNS, kemungkinan besar mereka sudah mulai bertemu langsung. Sial, sejak kapan mereka sejauh itu?”
“U-uhm, latihan...”
Akhirnya, malam itu berubah menjadi pesta minum yang penuh cerita cinta Yako-san, meskipun hanya Yako-san orang dewasa nya.
Begitulah, Uyama-san beberapa kali datang ke kamar dan terus melancarkan “pertempuran” melawan sang guru besar kemalasan, Makura-san.
Makura-san sendiri selalu terlihat ceria dan sering tersenyum saat Uyama-san berkunjung, tampak benar-benar menikmatinya.
Lagipula, aku belum pernah melihat Uyama-san benar-benar berhasil membuat Makura-san melakukan latihan fisik.
Hanya saja, kalau Uyama-san mulai terlalu gigih, Makura-san akan memanggil, “Gakudo-kuuuuun, tolong akuuuuu~” dan di situlah aku masuk untuk mengalihkan topik pembicaraan.
Aku mendengar bahwa Uyama-san sangat mengagumi Kamakura Koyuna. Mungkin saja, dengan seringnya ia datang ke sini, Uyama-san berharap bisa membujuk Makura-san untuk kembali menjadi idol.
Yah, itu hanya dugaanku saja.
“Aku akan sekalian beli minuman di perjalanan menuju kamarnya nanti,” gumamku sambil berbalik untuk kembali ke ruang belajar dan mengambil tasku.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆
(Makura “Aku akan biarkan pintunya tidak terkunci, jadi masuk saja langsung!”)
Setelah mengirim pesan bahwa aku akan datang, itulah balasan yang aku terima dari Makura-san.
'Ceroboh sekali' pikirku.
Apakah Uyama-san sudah tiba? Di bawah penerangan lampu jalan di kawasan perumahan, aku mempercepat langkah menuju rumah Makura-san.
Sesampainya di depan pintu kamar Makura-san, aku memegang gagang pintu.
Seperti yang dia katakan, pintunya tidak terkunci.
Pelan-pelan aku membukanya dan hendak memanggil dari luar—tapi aku terdiam seketika.
Terdengar suara aneh dari dalam.
“Ahh... ahh... enak... di situ, di situ.”
Apa yang sedang terjadi!? Itu suara Makura-san, kan? Tunggu, apa-apaan ini?
Dalam kepanikan, aku segera masuk dan menutup pintu dengan cepat. Suaranya tak boleh terdengar keluar. Tapi, apa aku harus masuk lebih dalam?
Suaranya terdengar sangat menggoda, memicu imajinasi yang tak seharusnya.
Tapi, tidak mungkin ada sesuatu yang salah, kan? Aku sudah memberi tahu mereka kalau aku akan datang, jadi mereka pasti tidak sedang melakukan hal-hal yang tidak sepatutnya.
Lagipula, siapa lagi yang bisa ada di sini selain aku? Orang yang biasanya mengunjungi Makura-san sangat terbatas jumlahnya.
“Kalau Gakudo-kun nggak ada, aku main game sendiri. Susah banget kalau harus berburu sendirian.”
Makura-san pernah bilang begitu.
―Tunggu, berburu sendirian? Apa dia sedang main game solo?
Aku menelan ludah tanpa sadar. Apa yang sebenarnya terjadi di dalam?
Karena tak mungkin aku terus-terusan berdiri di lorong begini. Aku pun mendekati pintu kamar dengan hati-hati, meraih gagangnya perlahan, dan tanpa suara, aku mengintip ke dalam.
“Ahh, di situ. Sakit! Sakit, tapi enak!”
Di atas ranjang, seseorang terlihat duduk di atas orang lain.
Itu Makura-san—dan Uyama-san.
Uyama-san duduk di atas Makura-san, dan setiap kali ia menekan tubuhnya, Makura-san mengeluarkan suara secara refleks.
Apa ini...?
“Apa yang kalian lakukan?”
Tanyaku, membuat keduanya menoleh kaget.
“Oh, Gakudo-kun! Kami menunggumu! Kuruha-chan sedang memberikan pijatan padaku,” jawab Makura-san.
“Pijatan...?”
Tentu saja! Aku sudah menduga itu. Untung saja, jika bukan pijatan, aku pasti akan sangat kebingungan dan salah paham.
Kalau bukan pijatan, pikiranku akan mengarah ke hal-hal yang tak pantas...
“Tapi, kenapa tiba-tiba pijatan?” tanyaku, sambil melihat Uyama-san yang mulai bangkit.
Hari ini, ia mengenakan seragam sailor berwarna biru tua yang jarang kulihat. Mungkin itu seragam SMP-nya.
Belakangan ini, sepertinya anak-anak SMP sering mampir ke tempat seperti ini setelah sekolah. Atau, mungkin hanya Uyama-san yang terlalu unik.
“Sudah jelas, kan? Pijatan adalah cara untuk berinteraksi dengan otot!” jawab Uyama-san dengan tegas.
“Berinteraksi... dengan otot?”
“Benar! Dengan menyentuhnya seperti ini, kita bisa merilekskan, menyembuhkan, dan memperkuat kepercayaan diri. Lalu setelah itu, kita bisa lanjut ke latihan berikutnya! Ayo, Koyuna-senpai, kita mulai!”
Sambil tetap duduk di atas Makura-san, Uyama-san mengepalkan tangannya dengan penuh semangat.
“Ah, ini gawat. Sepertinya kepercayaan ototku belum cukup kuat, mereka masih menolak untuk bangun,” jawab Makura-san yang berbaring lemas di atas ranjang dengan piyama bermotif polkadot.
Suaranya terdengar lesu dan penuh kesengajaan, sementara wajahnya tampak tenang dan puas, menikmati pijatan yang diberikan Uyama-san.
“Nee, senpai! Jangan malas lagi! Kita kan sudah sepakat, setelah pijatan, kita akan berlatih!”
“Tapi badanku benar-benar nggak mau bangun. Aku ini perempuan lemah yang tak bisa melawan gravitasi.”
“Tidak, senpai! Aku masih ingat betul tadi ketika kamu bilang, ‘Aku bawa kue cokelat sebagai oleh-oleh, mau kutaruh di kulkas,’ kamu langsung melompat dari tempat tidur dan berlari ke lorong dengan sangat lincah. Jadi, jangan membantah!”
“Yah, cokelat memang hebat. Setiap kali aku ke minimarket, entah kenapa aku selalu tertarik ke bagian rak cokelat. Mungkin cokelat memiliki daya tarik yang lebih kuat dari gravitasi.”
“Jangan mengada-ada! Cepat bangun sekarang juga!”
Sementara Uyama-san menarik lengannya dengan penuh tenaga, Makura-san hanya tersenyum dan berkata, “Tapi, aku sangat menyukai Raiha-chan yang ingat kalau aku suka cokelat dan membawakanku kue cokelat!”
“S-senpai bilang... suka?”
Uyama-san mendadak kaku, masih memegang lengan Makura-san dengan kaget.
“Aku suka. Kamu sangat penting bagiku, semoga kamu tidur nyenyak malam ini. Selamat malam~”
“Tunggu! Jangan membuat suasana seolah kita mau tidur bersama! Ayo bangun sekarang! Aku kan sudah datang jauh-jauh ke sini!”
“Ah, ketahuan... Gakudo-kun, tolong aku~”
Seperti biasa, Makura-san akhirnya meminta bantuanku untuk mengalihkan situasi.
Meskipun begitu, aku lega melihat Makura-san tampak benar-benar menikmati kebersamaannya dengan Uyama-san.
“Uyama-san, setiap hari selalu olahraga, ya? Kelihatannya kamu sangat menyukai latihan fisik,” kataku, mencoba mengalihkan pembicaraan dari Makura-san.
“Benar! Penting sekali menjaga tubuh agar selalu bisa bergerak dengan baik!” jawab Uyama-san dengan antusias.
Oh, tampaknya kalau sudah bicara tentang hal yang ia sukai, ia jadi lebih terbuka meskipun berbicara denganku.
“Begitu, ya. Barusan kamu juga bilang sesuatu yang terdengar seperti kata-kata bijak. Tentang interaksi dan kepercayaan otot, kamu benar-benar menyukai ini, ya?”
“Tepat sekali, itu semua adalah kata-kata bijak, kan? Semua ini aku pelajari dari Koyuna-senpai,” ujar Uyama-san dengan antusias.
“Hm? Makura-san?” tanyaku heran.
“Ya! Sebenarnya, kecintaanku pada latihan fisik semuanya karena Koyuna-senpai yang mengajariku. Senpai selalu berkata, ‘Kamu harus latihan setiap hari, tidak boleh bolos’.”
Aku memandang Makura-san. Ia tampak sedikit canggung, memalingkan pandangannya dari ranjang, seolah menghindari tatapanku.
“Kamu suka latihan, ya?” tanyaku, mencoba memastikan.
“Yah, cerita masa muda sih sudah berlalu,” jawabnya, mencoba mengelak dengan nada santai.
“Kamu ini masih siswi SMA, apa yang kamu bicarakan?”
Aku langsung mengomentari cara bicaranya yang terdengar seperti orang tua. Tak kusangka, Uyama-san pun ikut menambahkan,
“’Dalam grup ini, aku adalah ototnya.’ ‘Aku merasa gelisah kalau ototku tidak diberi beban.’ ‘Protein, itu adalah bubuk suci dari para dewa.’ Koyuna-senpai pernah berkata begitu kepadaku.”
Itu adalah ungkapan yang terdengar heroik, tapi aneh di saat yang sama.
“’Aku hanya mempercayai ototku sendiri. Otot tak pernah mengkhianati, mereka selalu ada bersamaku di setiap situasi.’ Bagaimana menurutmu? Mungkin senpai juga bisa mulai melatih ototmu. Rasanya luar biasa ketika kamu tahu bahwa kamu selalu didampingi oleh sesuatu yang bisa kamu percayai.”
“....Hebat juga,” gumamku kagum.
“Bagiku, latihan otot adalah cara untuk berdialog dengan diriku yang sebenarnya. Ketika ototku dilatih, aku sering menemukan sisi diriku yang tak kuketahui sebelumnya. Ketika tubuh mencapai batasnya, aku bertanya: apakah aku bisa melakukan satu repetisi lagi? Satu lagi saja. Dalam momen itu, aku menggali lebih dalam tentang diriku. Dan percayalah, hal ini berlaku dalam banyak hal dalam hidup.”
Ini sudah seperti kalimat dari seorang ahli filsafat otot. Nada bicaranya pun berbeda dari biasanya.
“Jadi, Makura-san ini memang sosok yang ahli dalam otot, ya?” tanyaku, sambil melihatnya dengan tatapan penuh penasaran. Wajahnya pun memerah.
“T-tidak! Bukan begitu! Aku memang latihan, tapi itu hanya demi pekerjaan. Benar-benar tidak seperti yang kalian bayangkan!”
Ia langsung bangkit dan mulai membela diri.
“Sebenarnya, dulu aku suka sekali dengan karakter dalam manga yang berotot. Lalu aku mulai melontarkan kalimat-kalimat keren itu sendiri. Semakin lama, aku merasa asyik dan terus melakukannya,” jelasnya.
“Oh begitu. Jadi, kalimat aneh tadi terinspirasi dari situ, ya?”
“Ya, waktu itu aku ingin terlihat keren dan mengajarkan latihan ke Kuruha-chan yang baru bergabung. Tapi dia benar-benar serius dan sangat bersemangat.”
“Dan akhirnya, Uyama-san jadi kecanduan latihan...”
Sekarang aku mulai memahami keseluruhan ceritanya.
“Jadi, pada dasarnya, sekarang ketika Uyama-san memaksamu latihan, ini sebenarnya karena ulahmu sendiri, bukan?”
“Ugh...”
Makura-san mengeluarkan suara kesal. Sepertinya, dia menyadari kebenarannya.
“Benar! Senpai harus bertanggung jawab!” seru Uyama-san, memanfaatkan kesempatan ini.
“Tapi sekarang aku sudah tidak muda lagi untuk latihan-latihan seperti itu. Tolong, selamatkan aku,” kata Makura-san, memohon padaku.
Sepertinya, dia hanya ingin bermalas-malasan...
Aku mulai merasa bahwa mengikuti saran Uyama-san untuk berolahraga mungkin bukan ide yang buruk.
“Yah, meskipun aku tahu betapa teguhnya niatmu untuk bersantai, faktanya tetap bahwa bahkan kemalasan yang berkualitas hanya bisa dinikmati di atas kesehatan yang baik, bukan?” ujarku.
“Gakudou-kun…”
Makura-san menatapku dengan bingung.
“Dan juga, sebenarnya aku khawatir dengan kondisi kesehatanmu,” tambahku.
Bagaimana tidak? Saat liburan, dia selalu mengurung diri di rumah, dan ketika di sekolah, dia juga sering melewatkan pelajaran olahraga.
Makura-san menatapku dengan ekspresi tertekan, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu.
Lalu, dengan enggan, ia berkata, “Hm… kalau Gakudou-kun yang bilang begitu… satu kali saja, deh…”
Tentu saja, ketika mendengar itu, wajah Uyama-san langsung berbinar.
Setelah membereskan meja kecil di ruang tengah, kami bertiga berdiri di ruangan sempit itu dan bersiap untuk mulai bergerak.
Latihan yang akan kami lakukan adalah semacam tarian otot yang pernah diajarkan Makura-san kepada Uyama-san. Latihan ini dikatakan mampu melatih otot-otot seluruh tubuh.
Kami menonton video seorang selebritas otot yang sedang menari di sebuah situs video, lalu mengikuti gerakannya sambil melihat layar televisi.
Uyama-san dan Makura-san sudah hafal gerakannya dengan sempurna, tetapi aku, sebagai pemula, hanya bisa menirukan gerakan dari video semampuku.
“Gakudou-senpai! Putar badanmu lebih kuat! Sentuh jari kakimu dengan benar!” perintah Uyama-san.
“O-oke.”
“Apa yang kamu lakukan! Pinggulmu masih melayang! Dengan begitu, tidak ada beban yang mengenai otot dadamu!”
“B-baik…”
Uyama-san sangat disiplin. Dan, latihan ini terlalu berat! Gerakan-gerakan dalam tarian ini dirancang untuk melatih berbagai otot, dan dengan musik yang cepat, tidak ada waktu untuk beristirahat.
Aku tidak bisa mengeluh, karena aku juga jarang berolahraga, jadi tiba-tiba mengikuti latihan ini memang terasa sangat berat.
“Hahaha, Gakudou-kun sudah kelelahan,” ujar Makura-san sambil tertawa kecil saat dia bergerak mengikuti ritme musik. Satu, dua, satu dua tiga. Satu, dua, satu dua tiga. Dia melakukan gerakan meninju bergantian, kemudian melangkah ke kiri dan kanan sambil bertepuk tangan di atas kepalanya.
“Ya! Ya! Menyatu dengan musik adalah hal yang paling penting! Ya! Ya!” serunya bersemangat.
“Kamu… kenapa bisa se-energik itu…”
Orang yang biasanya menjadi pemimpin ‘sekte’ kemalasan, kini menari dengan semangat penuh.
Gerakannya sangat lincah, seolah dia belum pernah berhenti dari masa jayanya sebagai idol.
“Ayo, Raiha-chan, ikuti terus! Ya! Ya!” seru Makura-san.
“Senpai benar-benar luar biasa! Tidak kelihatan capek sama sekali! Senpai betulan nggak pernah latihan?”
“Enggak sih, tapi… entah kenapa kalau mendengar lagu ini, badanku langsung bergerak sendiri.”
“Monster stamina…”
Bahkan Uyama-san terkejut melihat betapa kuatnya Makura-san. Dia sama sekali tidak terlihat kelelahan. Sebaliknya, dia tersenyum cerah seperti ketika berdiri di atas panggung.
Apakah itu bakat alami, atau hasil dari usaha kerasnya selama ini?
Aku tak bisa mengalihkan pandanganku dari Makura-san yang tengah menari dengan penuh percaya diri, seolah memperlihatkan sekilas sosok mantan top idol yang dulu dia miliki.
“Eh, Gakudou-senpai, jangan malas-malasan! Memalukan sekali!”
Tiba-tiba suara keras dari Uyama-san menyadarkanku kembali.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆
Tiga hari setelah kami bertiga berolahraga bersama, Uyama-san kembali lagi ke kamar Makura-san pada suatu sore hari setelah jam sekolah berakhir.
Uyama-san, yang sepertinya juga baru pulang dari sekolah, datang dengan masih mengenakan seragamnya langsung ke kamar Makura-san. Sementara itu, aku dan Makura-san sudah lebih dulu sampai di rumah dan sedang asyik bermain game.
“Hei! Kalian berdua bermalas-malasan lagi! Ayo, kita olahraga lagi seperti kemarin!” seru Uyama-san dengan semangat.
“Eh, nggak bisa hari ini, aku capek...” jawab Makura-san malas.
“Apa!? Padahal waktu itu kamu menari dengan begitu bersemangat! Senpai sendiri yang bilang kalau kekuatan berasal dari konsistensi, kan, Senpai!”
“Apa aku benar-benar mengatakan hal bijak seperti itu, seperti seorang atlet profesional?”
“Astaga... Negoro-senpai, tolong bantu aku lagi seperti kemarin!” Uyama-san beralih kepadaku, memohon dukungan.
“Yah... masalahnya, kemarin itu ada momennya sendiri yang pas buat olahraga, dan Makura-san sudah berkali-kali bilang kalau itu hanya sekali saja,” jawabku dengan ragu.
Rasanya hari ini akan sulit untuk mengulang momen yang sama.
Namun, mendengar jawabanku yang samar, Uyama-san malah berbalik menyerangku. “Negoro-senpai juga, cuma nongkrong di sini terus tanpa melakukan apa-apa... Kenapa sih sering banget datang ke sini? Kamu bukan pacarnya Koyuna-senpai, kan? Kalau begitu kenapa... apa senpai benar-benar gabut?”
Uyama-san sekarang malah mengarahkan kritikannya kepadaku.
Sebelum aku sempat menjawab atau mencari alasan, tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang.
“Raiha-chan...”
...Eh?
Suara tenang yang keluar dari mulut Makura-san terdengar berbeda dari biasanya. Aku melirik ke arahnya, dan melihat wajahnya yang cemberut dengan pipi yang sedikit menggembung.
“Gakudou-kun itu orang yang sangat hebat, tahu! Dia sangat pintar! Dia ikut les dan di sekolah juga yang paling jago dalam pelajaran!” Makura-san berkata dengan nada tegas, seolah sedang membelaku.
Apakah ini berarti dia marah karena aku diremehkan? Rasanya ada sesuatu yang hangat menjalar di dadaku.
“Dia benar-benar seorang jenius. Orang sekeren itu datang ke sini berkali-kali! Dan tempat ini adalah... pusat kemalasan kita yang paling nyaman!” tambah Makura-san dengan percaya diri.
Pusat kemalasan...?
Tunggu, apa ini sebenarnya hanya ajang promosi tempat santainya Makura-san? Aku sempat merasa tersentuh, tapi ternyata aku dibohongi!
“Eeh, masa sih?” Uyama-san menatapku dengan sedikit penasaran.
“Ah, tidak, aku nggak sejenius itu... Sungguh,” jawabku sambil menggaruk kepala.
Aku memang belajar dengan giat, tapi aku belum melakukan sesuatu yang luar biasa. Aku tidak merasa ada hal yang perlu dibanggakan.
Tiba-tiba, Makura-san bertepuk tangan dengan semangat.
“Oh, iya! Raiha-chan, kamu kan sempat bilang kalau kamu ketinggalan pelajaran karena sering nggak bisa masuk sekolah? Gimana kalau kamu belajar sama Gakudou-kun?”
“E-eh?”
Uyama-san langsung memandangku dengan ekspresi terkejut.
Untuk pelajaran tingkat SMP, aku yakin tidak ada masalah. Lagipula, aku punya waktu, jadi kalau dia butuh bantuan, aku tidak keberatan untuk mengajarinya.
Namun, Uyama-san justru menatapku dengan sedikit curiga dan berkata, “Beneran, Negoro-senpai bisa ngajarin?”
“Kenapa dari tadi kelihatan curiga gitu sih?” balasku dengan sedikit kesal.
Tadi aku sempat merendah, tapi ketika mulai dicurigai seperti ini, ceritanya jadi berbeda.
“Soalnya, aku nggak percaya. Maksudku, selama ini nggak ada tanda-tanda kalau kamu sepintar itu. Nggak ada kata-kata yang terdengar seperti seorang yang jenius begitu.”
“Ini yang namanya ‘elang yang berbakat menyembunyikan cakarnya’, tahu.”
Sungguh, benar-benar nggak sopan.
Yah, sejujurnya, memang belum ada kesempatan untuk menunjukkan kemampuan otak atau pengetahuanku sejauh ini.
Akhir-akhir ini, aku lebih sering jadi orang yang menenangkan Makura-san saat dia heboh gara-gara kedatangan Uyama-san. Mungkin itu sebabnya.
“Cakar yang tersembunyi...? Maksudnya, pemalu?” Uyama-san tampak kebingungan.
Sepertinya dia memang benar-benar kesulitan dalam pelajaran.
“Ngomong-ngomong, mata pelajaran apa yang kamu mau pelajari? Kamu kan kelas 2 SMP, ya?”
“Benarkah kita akan belajar? ...Kalau begitu, aku masih ada PR matematika, jadi kita mulai dari itu,” jawabnya dengan ragu sambil mengambil tasnya yang ditaruh di dekat pintu, tampak enggan namun tetap melakukannya.
Sementara itu, Makura-san, yang sedari tadi diam, kini menghela napas lega seolah baru saja menyelesaikan satu tugas besar. Dia mengambil controllee game yang tergeletak di lantai, lalu duduk bersandar di kasur.
“Eh, Senpai, kamu nggak ikut belajar?” tanya Uyama-san sambil menaruh buku pelajaran, catatan, dan alat tulis di atas meja rendah.
“Oh, belajar? Aku sih, NG soal belajar,” jawab Makura-san santai.
“Not Good? Bukankah begitu juga dengan olahraga? Ayo, Negoro-senpai akan mengajari kita, kan? Lagi pula, kamu sendiri yang tadi mengusulkan untuk belajar, Senpai!” seru Uyama-san, tidak mau kalah.
“Itu... maksudku agar kamu yang belajar, Raiha-chan,” jawab Makura-san gugup.
Sekali lagi, adu argumen antara junior yang disiplin dan senior yang malas terjadi di depan mataku.
Rupanya, Uyama-san tidak bisa membiarkan Makura-san terus-menerus bermalas-malasan, baik dalam olahraga maupun dalam belajar.
Di satu sisi, aku ingin membela Makura-san, tetapi di sisi lain, aku melihat ini sebagai kesempatan.
“Benar juga. Ini kesempatan bagus, kenapa kita nggak belajar bertiga?” aku mencoba mengusulkan.
“Apa!? Gakudou-kun!?”
“Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, kamu berhasil lolos dari ujian remedial musim panas kemarin, tapi kamu tetap harus belajar untuk ujian akhir nanti. Kamu juga dengar sendiri kan, Kumada-sensei bilang kamu harus berusaha lebih keras?”
“Ugh, ya... tapi...”
“Kalau sekarang, aku bisa mengajarkanmu,” tawarku tegas.
Sejak musim panas kemarin, aku memang berencana untuk memastikan Makura-san belajar dengan baik.
Alasannya cukup sederhana, seperti yang sudah kukatakan tadi—jika dia tidak mendapatkan nilai yang cukup baik pada ujian akhir, dia akan kembali terjebak dalam remedial. Dan yang terburuk, dia bisa saja terancam tinggal kelas.
Aku tidak mau hal itu terjadi. Dia harus bisa mendapatkan nilai di atas kkm.
Namun, setiap kali aku mencoba membicarakan soal belajar, Makura-san selalu menghindar dengan alasan yang samar-samar.
Hari ini, aku merasa ini adalah momen yang tepat. Arus sedang mengalir ke arah yang kuinginkan, dan kali ini, aku punya sekutu di sisiku.
“Baiklah, Senpai! Kamu harus bertanggung jawab sekarang! Ayo kita belajar bersama!” seru Uyama-san dengan semangat.
“Betul, ayo kita mulai! Hari ini kita harus belajar!” aku menambahkan.
Dengan dorongan dari Uyama-san dan diriku, akhirnya Makura-san mengalah juga.
“Baiklah... kalau demi kebaikanku sendiri... aku harap kalian nggak terlalu keras, ya, Gakudou-kun,” jawabnya dengan pasrah sambil meletakkan controllee game dan menjatuhkan tubuhnya ke atas bantal di sampingnya.
Kami bertiga duduk mengelilingi meja kecil, dan mulai belajar bersama.
Aku memantau soal-soal yang sedang dikerjakan mereka, sesekali menyelipkan bantuan saat kelihatannya mereka mulai kesulitan.
Setelah beberapa saat, Makura-san menghentikan penanya, lalu bertanya dengan nada santai kepada Uyama-san.
“Raiha-chan, kamu nggak terlalu sering masuk sekolah ya?”
“Benar. Karena aku lebih mengutamakan pekerjaan.”
“Hmm, ya wajar sih. Sejak debut besar, kamu makin sibuk ya.”
“Begitulah, untuk saat ini.”
“Kamu hebat, semangat terus ya,” ujar Makura-san sambil meraih kepala Uyama-san yang duduk di sebelahnya, dan mengusapnya lembut.
Uyama-san tampaknya tidak keberatan, bahkan tampak senang dengan usapan di atas kepalanya.
Aku mulai bertanya-tanya bagaimana sebenarnya perasaan Makura-san terhadap kesuksesan grup yang dulu ia ikuti. Dari yang kulihat, ia hanya tersenyum tipis, namun perasaan terdalamnya masih sulit kutebak.
Setelah beberapa menit belajar, Makura-san tampaknya mulai kehilangan konsentrasinya. Dia meregangkan tubuh sambil menghela napas, lalu tiba-tiba menelungkup di atas meja.
“Nee, Gakudou-kun. Aku sama sekali nggak paham soal ini,” keluhnya.
“Hm? Maksudmu cara menyelesaikannya? Ini ada rumusnya, jadi—”
“Bukan, maksudku, aku nggak paham kenapa seorang gadis SMA sepertiku harus mengerjakan soal ini. Apa manfaatnya bagi masyarakat?”
“Kamu mandek di dasar pemikirannya!?”
Serius, Makura-san ini kelihatannya bakal kesulitan lulus tahun ini… Ujian akhir nanti benar-benar mengkhawatirkan untuknya. Aku hanya bisa berharap pihak sekolah punya solusi darurat kalau-kalau situasi makin memburuk.
Saat aku sedang sibuk mengajari Makura-san. Di lain sisi, Uyama-san mulai bertingkah aneh dengan meletakkan pensil di antara hidung dan bibirnya, wajahnya tampak berpikir keras.
“Ada apa?” tanyaku.
“Ini, aku nggak paham maksud soal ini,” jawabnya.
Hampir sama seperti Makura-san tadi.
“...Coba aku dengar.”
“‘Pertanyaan : Dari rumah ke taman, perjalanan pergi ditempuh dengan berlari pada kecepatan 150 meter per menit, dan perjalanan pulang ditempuh dengan berjalan pada kecepatan 60 meter per menit, dengan waktu pulang yang memakan 10 menit lebih lama dari perjalanan pergi. Tentukan jarak dari rumah ke taman.’ Tapi, kenapa nggak sekalian lari juga waktu pulang?”
“Yah, karena itu soalnya...”
Tipe yang sering mengkritisi soal matematika rupanya selalu ada di setiap kelas. Saat aku berpikir begitu dalam hati...
“Ini nggak masuk akal, harusnya mereka lari juga saat pulang! Menantang diri sendiri itu penting! Di taman juga harus ambil istirahat yang benar. Selalu ingat untuk berdialog dengan otot.”
“Tunggu, kamu lihat ini dari perspektif latihan fisik!?”
Tampaknya, baik senior maupun junior, keduanya sama-sama unik.
“Jangan bawa teori otot ke soal matematika...”
“Otot... otak pun otot? Wah, itu bagus sekali, berarti bisa dilatih juga!”
“Kamu... jangan-jangan kamu mengira ‘sindiran’ itu jenis otot?”
“Enggak kok! Aku tahu semua bagian otot di tubuh, dan nggak ada yang namanya ‘sindiran’!”
“Luar biasa, kamu benar-benar berlebihan.”
Tanpa sadar, aku menoleh ke arah Makura-san.
“Raiha-chan, apakah kamu berencana untuk menjual dirimu sebagai karakter otot?”
Makura-san juga tampak terkejut dan bertanya pada Uyama-san.
“Sebenarnya aku tidak ada niat seperti itu. Tapi, tentang betapa luar biasanya latihan, itu kan kamu yang mengajarkannya, iya kan, Senpai?” jawab Uyama-san.
“Y-ya, itu benar, dan aku juga tahu pentingnya latihan itu sendiri. Tapi, kamu sudah lama melampaui diriku.”
“Serius? Yay! Ini pengesahan dari Koyuna-senpai!”
Dia tampak sangat senang, dan dari sikapnya, jelas terlihat bahwa dia sangat mengagumi Makura-san. Dia bahkan sampai meniru karakter otot misterius yang Makura-san lakukan untuk bersenang-senang.
Melihat Uyama-san yang tersenyum ceria, Makura-san tampak menghela napas sambil tersenyum dengan penuh keheranan.
Ekspresi wajah Makura-san saat itu sangat lembut, seperti sedang mengawasi sesuatu yang sangat berharga.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆
Saat kami keluar, suasana sekitar sudah gelap sepenuhnya. Setiap kali aku pergi ke rumah Makura-san setelah sekolah, pasti sudah malam saat pulang.
Ketika Uyama-san datang ke kamarnya, kami biasanya berpisah sekitar pukul 20:00 untuk menyesuaikan dengan waktunya. Lagipula, kami masih SMA, jadi tidak mungkin berlama-lama.
Pernah sekali aku menawarkan untuk mengantar dia ke stasiun karena jalanan malam sangat berbahaya, tapi dia langsung menolak dengan refleks, “Kenapa harus bersama Negoro-senpai?” Setelah aku mendengarnya, dia menjelaskan bahwa dia lebih takut difoto saat berjalan bersama seseorang. Meskipun dia mengenakan hoodie hitam besar dan menutupi wajahnya dengan topi atau masker agar wajahnya tidak terlihat, tetap saja dia merasa khawatir.
Oleh karena itu, dia selalu berusaha keluar dari rumah Makura-san secara terpisah.
Hari itu, Uyama-san pulang lebih dulu, dan setelah itu aku mulai berjalan menuju rumahku sendirian.
“..........”
Aku menyadari ada keanehan setelah berjalan sekitar 20 meter.
Saat aku berhenti melangkah, sosok itu juga berhenti pada jarak yang sama dan tidak bergerak.
“... Tak kusangka, hari ini aku akan diikuti oleh seorang idol.”
Saat aku mengucapkan itu, sosok itu dengan mudah muncul dari balik tiang listrik.
“Terlalu cepat terungkap. Aku mencari tempat yang bagus untuk memanggilmu,” katanya.
Kemudian, Uyama-san berlari kecil ke arahku.
“Ada apa? Butuh sesuatu?”
“Ya, sedikit. Bagaimana kalau kita pergi ke belakang mobil di tempat parkir koin itu?”
“B-bagaimana maksudnya itu?”
Ini tiba-tiba dan membuatku bingung.
“Kalau dipikir-pikir, aku merasa kamu tidak menerima kehadiranku.”
“Yah, tentu saja aku curiga. Maksudku, kamu ini siapa yang berani masuk ke rumah mantan idol tanpa izin, sebagai seorang siswa laki-laki yang mencurigakan?”
Siswa laki-laki yang mencurigakan... Ternyata ada kategori seperti itu di dalam kategori pencurigaan.
“Namun, aku ingin membicarakan semua ini lebih lanjut,” lanjutnya.
“Bicara?”
“Benar.”
Untuk sementara, berdiri di tengah jalan dan berbicara seperti ini tidaklah tepat. Aku pun memutuskan untuk berpindah ke arah tempat parkir koin seperti yang disarankan oleh Uyama-san.
“Nee, Senpai, bolehkah aku bertanya sesuatu?” Uyama-san mulai membuka percakapan saat kami berjalan.
“Pertanyaan?”
“Ya! Apakah ada yang ingin kamu tanyakan kepada Raiha-chan?”
“... Apa makanan favoritmu?”
Uyama-san terkejut dan langsung menatapku.
“Eh, Senpai, kamu tampak kurang tertarik! Aku ini idol yang cukup terkenal, lho! ... Udon.”
Yah, aku harus menjaga agar pertanyaannya tidak terlalu menyentuh, kan?
“Sekarang giliranmu! Kenapa Senpai sering sekali datang ke rumah Koyuna-senpai? Apa hubungan kalian?”
“Bisakah kamu menjadikannya pertanyaan yang selevel dengan makanan favorit?”
“Tidak bisa. Satu pertanyaan artinya satu pertanyaan.”
Aku sudah mencoba untuk bertahan, tetapi itu tidak berarti apa-apa. Dia langsung melontarkan pertanyaan yang lebih dalam.
Kami tiba di tempat parkir koin dan berlindung di balik mobil. Ada lampu jalan, jadi tidak terlalu gelap.
Bagaimana seharusnya aku menjawab...?
Saat aku sedikit ragu, dia bertanya, “Senpai, apa kamu menyukai Koyuna-senpai?”
Kalimat itu meluncur keluar dari mulut Uyama-san, dan aku terkejut.
“T-tidak, bukan seperti aku menyukainya...”
“Jawablah dengan jujur. Aku tidak akan marah. Tidak ada yang bisa dilakukan jika seseorang seimut itu ada di dekatmu dan kamu jadi suka.”
“Bukan begitu. Maksudku, Makura-san itu... orang yang ideal.”
“Orang yang ideal...”
Bagiku, Makura-san memang orang yang ideal. Tidak ada kebohongan dalam hal itu. Dia melakukan apa yang ingin dia lakukan dengan penuh keinginan dan tekad.
Aku mengagumi semangatnya dan itulah yang membuatku ingin mendekatinya.
Oh, dan Uyama-san juga—
Aku teringat kata-kata yang sempat Uyama-san lontarkan sebelumnya.
“Ah, jadi itu maksud dari ideal—suatu kekaguman.”
Ketika aku mengulangi kata-kata itu, matanya membesar seolah terkejut.
“Kekaguman...? Apakah itu berarti tentang Koyuna-senpai yang sekarang?”
“A-ah, ya.”
'Yang sekarang...’ Kata-kata itu sedikit mengganggu pikiranku, tetapi sebelum aku sempat mengatasinya,
“Aku ingin mendengar lebih banyak tentang itu!”
Uyama-san mendekat dengan tubuhnya, cahaya lampu jalan memantul dan menciptakan kilau di matanya yang besar saat wajahku tercermin di sana.
“Kenapa kamu ingin tahu tentang diriku dan Makura-san...?”
“Tolong, aku mohon!”
Seketika, Uyama-san membungkukkan badannya dengan penuh semangat.
Aku tidak bisa menahan diri untuk mundur selangkah.
Dia tampak sangat serius karena dia tak kunjung mengangkat wajahnya.
Uyama-san selalu berbicara dengan bahasa yang sopan. Bahkan terhadapku, yang pernah dianggap sebagai orang yang tidak disukai. Aku sudah tahu sebelumnya, tetapi ternyata dia adalah anak yang serius dan baik hati.
Dengan sikap seperti itu, ditambah dia meminta dengan menundukkan kepala, aku tak mungkin bisa menolak.
“...Aku dan Makura-san bertemu di awal liburan musim panas, saat aku diminta oleh guru untuk menyerahkan pr sekolah kepada Makura-san.”
Saat mendengar suaraku, Uyama-san langsung menengok ke arahku dengan cepat dan mengangguk-angguk penuh perhatian.
Aku pun mulai menjelaskan hubungan antara diriku dan Makura-san, dengan hati-hati agar tidak ada kesalahpahaman yang muncul. Tentu saja, aku tetap menyimpan informasi tentang masa lalu Makura-san.
“Seperti yang bisa kamu lihat, Makura-san terlihat santai, tetapi itu adalah cara hidup yang dia pilih sendiri. Apapun yang orang katakan, dia menjalani hidupnya sesuai keinginannya dan tidak goyah sedikitpun. Hal itu adalah sesuatu yang tidak bisa aku lakukan... Karena itulah aku mengaguminya dan mulai sering mengunjungi rumahnya.”
Aku tak bisa mengatakan bahwa aku merasa tertarik dengan kata “kejatuhan” yang keluar dari mulut Makura-san, tetapi penjelasan ini setidaknya tidak sepenuhnya salah.
Sejak saat itu, kami menghabiskan liburan musim panas bersama.
Uyama-san mendengarkan beberapa cerita musim panas yang aku sampaikan dengan tenang, dan sesekali mengangguk. Pandangannya tertuju pada tanah kosong sekitar satu meter di depan kami.
Aku juga menyampaikan kisah-kisah yang perlu aku ceritakan tentang masa lalu diriku.
“Setelah kami menonton kembang api bersama, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bolos les. Meskipun itu hal sepele, tapi aku merasa sedikit ada perubahan pada diriku. Semua ini benar-benar berkat Makura-san.”
“Begitu, ya. Jadi, kamu masih...”
Setelah aku selesai berbicara, Uyama-san akhirnya mengalihkan pandangannya ke arahku. Tatapannya lembut, dan aku terkejut di dalam hati. Tak kusangka, akan ada hari di mana Uyama-san menatapku seperti itu.
“Begitu ya. Aku mengerti sekarang. Terima kasih.”
“Apakah ada yang bisa dijadikan referensi dari cerita ini? Tapi aku rasa kamu sudah mengerti bahwa aku tidak memiliki hubungan suka atau tidak suka dengan Makura-san.”
“Hmm, apakah itu benar?”
“Apa maksudmu?”
“—Aku pertama kali tahu tentang Koyuna-senpai saat masih di SD.”
Uyama-san mulai berbicara, mengabaikan pertanyaanku.
Mungkin ini adalah cerita tentang Uyama-san dan Makura-san. Aku segera memperhatikan dengan saksama.
“Dari kecil, aku sudah terpengaruh oleh anime yang kutonton, sehingga aku menjadi penggemar idol. Aku tidak puas hanya dengan yang populer, bahkan sampai menyukai artis indie. Dengan bakat aneh khas anak kecil, aku menghafal banyak nama grup idol dan nama-nama anggotanya, sampai membuat ibuku terheran-heran.”
“Kamu sangat menyukai idol, ya.”
“Ya! Saat masih di SD, aku tidak banyak bisa pergi ke konser, jadi hampir semua yang aku tonton adalah versi video rekaman konser. Aku mengabaikan belajar dan terus menatap ponsel ku. Akhirnya, ibuku pun mulai marah. Dia bilang, ‘Tidak apa-apa jika tidak belajar, tapi lakukan hal yang lebih berguna untuk masa depan!’”
“Setidaknya dia tidak bilang ‘Belajarlah’.”
Sejujurnya, aku merasa sedikit iri.
“Yah, bisa dibilang begitu. Ibuku memahami perasaan anak-anak.”
Uyama-san tertawa ringan, lalu wajahnya segera kembali serius. Dia menghela napas sejenak.
“‘Shicininnokobitochan’, dengan Kamakura Koyuna sebagai pusatnya. Perbedaan Koyuna dari idol lainnya sangat terlihat jelas, bahkan di mata anak-anak. Penampilan, suara, performa tarian, semuanya adalah yang terbaik di dunia idol saat itu. Tidak masuk akal dia berada di panggung Underground. Pada waktu itu, ibuku yang cenderung anti-idol memohon padaku dengan ‘satu permintaan seumur hidup’, membawaku ke konser idol indie pertamaku. Itu adalah pengalaman pertamaku memasuki tempat yang bukan aula atau arena besar, tetapi sebuah live house kecil. Namun, justru semangat penonton yang penuh sesak membuat suasananya luar biasa, dan panggungnya sangat dekat serta berkilauan. Saat melihat Kamakura Koyuna secara langsung, aku benar-benar terpesona. Itu adalah waktu yang terasa seperti mimpi.”
Saat membayangkan Makura-san yang selalu bersantai di dalam kamarnya, aku merasa bingung dengan perbedaan yang begitu mencolok. Namun, kenyataannya, Makura-san adalah seorang idola top.
Uyama-san pun mengatakan bahwa di masa kecilnya, dia pernah menemui Makura-san. Cerita tentang waktu yang seolah mimpi itu tidak berhenti di situ.
“Setelah konser, ada waktu untuk bersalaman dengan anggota idol dan berfoto. Meskipun antreannya sangat panjang, aku tentu saja pergi ke arah Koyuna-senpai. Begitu bertemu, dia langsung berkata, ‘Terima kasih sudah datang! Eh, tunggu, kamu imut! Seperti idol saja! Serius!’ Itu membuatku sangat senang. Mengingat aku masih kecil, aku menyadari bahwa pujian itu mungkin hanya basa-basi belaka, tetapi aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya, ‘Eh, bisa jadi idol nggak ya?’”
Kini, saat dia menceritakan itu di depanku, Uyama-san terlihat sedikit malu dan meremas tangannya.
“Idol itu sesuatu yang hanya bisa dilihat, didukung, dan diterima. Sebelumnya, aku tidak pernah berpikir untuk menjadi idol. Namun, terpengaruh oleh semangat konser, aku mengucapkannya tanpa sadar... Namun, setelah itu, Koyuna-senpai memberi tanggapan yang luar biasa.”
“Hmm, bagaimana itu...?”
“Koyuna-senpai berjongkok dan menatapku langsung. Dia berkata, ‘Hanya orang yang sudah berusaha keras yang bisa menjadi idol. Orang yang berusaha keras akan bisa menjadi idol. Itu sederhana, tapi itu yang terpenting. Jika kamu menginginkannya, berusahalah! Aku akan mendukungmu!’”
“Intinya, dia menyuruhmu untuk berusaha, ya?”
“Yah, bisa dibilang begitu. Tapi memang, itu sangatlah benar. Jika tidak berusaha, tidak ada yang akan dimulai. Hanya mereka yang bisa memulai usaha yang bisa menjadi idol, dan itu adalah hal yang pasti. Selain itu... karena dia bilang ‘Aku akan mendukungmu!’ aku jadi ingin suatu hari bersinar di panggung seperti Koyuna-senpai... Ada sesuatu yang membuat hati penonton tergerak ketika melihat idola nya yang luar biasa.”
Sejak hari itu, Uyama-san mulai mengejar mimpinya dan berusaha keras.
“Seperti yang dia katakan, aku berusaha sangat keras. Latihan menari, latihan vokal, semuanya dilakukan. Selama itu, targetku adalah Kamakura Koyuna. Idola yang aku kagumi. Berulang kali aku menonton video penampilannya, berusaha keras agar bisa seperti dia. Tak terbayangkan aku bisa menjadi anggota dari ‘Shicininnokobitochan’. Ketika berhasil melewati audisi dan diterima, aku benar-benar senang. Aku bisa berdiri di panggung yang sama dengan Koyuna-senpai. Dengan melihat sosoknya dari belakang, aku bisa berusaha lebih keras—”
“... Kamu benar-benar berusaha keras, ya?”
“Ya. Itu semua seperti yang Koyuna-senpai katakan. Namun, apa yang terjadi setelah itu... Kamu pasti sudah tahu, kan—”
Uyama-san terdiam sejenak.
Aku bisa membayangkan apa yang ingin dia katakan. Makura-san tiba-tiba menghilang. Di mata masyarakat—dan tentu saja, alasan tersebut juga belum dijelaskan kepada Uyama-san.
“Seakan-akan sosok yang aku idolakan tiba-tiba menghilang... Ketika aku akhirnya bisa menjadi seorang idol, aku bertekad untuk berjuang di dunia ini, tetapi tidak memiliki tujuan konkret berikutnya. Aku hanya berpikir untuk terus mengejar bayangannya. Selama ini, aku hanya melihat sosoknya. Tiba-tiba, aku bahkan tidak tahu lagi apa yang aku inginkan, untuk apa aku menjadi seorang idol...”
“Begitu ya...”
Dengan anggukan yang dalam, Uyama-san melanjutkan.
“Sebenarnya, aku ingin Koyuna-senpai kembali, jadi aku berpikir untuk berjalan di sekitar sini berharap bisa bertemu dengannya. Namun, meskipun ada kesempatan untuk bertemu, aku tidak bisa mengungkapkan apa-apa. Pasti ada alasan mengapa dia keluar dari grup. Dan ketika aku berpikir bahwa mungkin dia juga sedang menghadapi masalah, aku jadi merasa tidak enak untuk bertanya... Jika bisa, aku ingin sekali melihat Koyuna-senpai bersinar kembali. Mungkin itu bisa menjadi panduan bagiku untuk terus berjuang.”
“Maaf karena sudah mengganggu waktu kalian,” kata Uyama-san sambil menundukkan kepala dengan hormat.
Pertemuan kembali antara Uyama-san dan Makura-san bukanlah kebetulan. Ada alasan yang jelas mengapa Uyama-san sering mengunjungi kamar ini.
Namun, memikirkan Makura-san, Uyama-san tampaknya tidak dapat mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya.
Sebelumnya, ada saat di mana Uyama-san secara tidak sengaja melontarkan sebuah kalimat yang sempat aku dengar. Dia berkata bahwa Kamakura Koyuna adalah idolanya—dan saat itu, Uyama-san memintaku untuk merahasiakannya. Sejak awal, dia sudah berusaha untuk tidak menyakiti perasaan Makura-san.
Sekarang, setelah mendengar harapan dan keinginan Uyama-san, aku tidak memiliki kata-kata yang bisa kuucapkan kembali. Apa yang menjadi perhatian Uyama-san adalah, bagi Makura-san saat ini...
“Aku sangat menghormati Koyuna-senpai saat masa bersinarnya. Tapi, sekarang, Negoro-senpai mengagumi Koyuna-senpai yang sekarang, kan? Mendengar itu, aku jadi sedikit merasa senang.”
“Senang?” tanyaku kembali.
Saat aku bertanya, Uyama-san menatap mataku.
“Aku jadi bisa menyadari lagi bahwa Koyuna-senpai adalah orang yang luar biasa.”
Uyama-san tersenyum cerah. Namun, terlihat bayangan rapuh yang samar di balik senyumannya, sepertinya bukan perasaanku saja.
“Aku sangat berterima kasih karena pernah mendapat dorongan darinya. Berkat itu, aku bisa melihat pemandangan yang indah. Itu adalah harta karun dalam hidupku. Jadi, aku rasa aku tidak seharusnya meminta sesuatu yang lebih dari ini kepada senpai.”
Sejak hari pertama kami bertemu, Uyama-san selalu menyebut Makura-san sebagai sosok yang dia kagumi.
Dan sekarang, alasan mengapa dia muncul di hadapan kami pun mulai terungkap. Kami saling terbuka sedikit demi sedikit dan mulai saling memahami, namun—
Aku merasa perlu mengatakan sesuatu.
Namun, saat aku kebingungan mencari kata-kata, Uyama-san menunduk lagi.
“Terima kasih untuk hari ini, Negoro-senpai. Maafkan aku karena perlakuanku yang mencurigakan.”
Setelah berkata demikian, dia melambaikan tangan dan berlari pergi.
Aku berdiri sendirian di tempat itu dan menghela napas.
Pendiri sekte kemalasan ini, tampaknya pernah mengubah kehidupan seseorang di pekerjaan lamanya. Seperti Uyama-san, aku pun kembali berpikir bahwa dia adalah orang yang hebat.
Tentu saja, ada banyak orang lain yang terpesona oleh dirinya. Dia pasti telah menjadi pusat perhatian banyak orang, menerima sorakan, dicintai, dan diidolakan—menjadi sosok yang dikagumi.
Namun, apakah ada di antara mereka yang benar-benar memahami isi hatinya?
Aku dapat memahami perasaan Uyama-san.
Namun, aku juga tahu situasi Makura-san.
Jika aku menyampaikan cerita Uyama-san kepada Makura-san, pasti dia akan merasa terbebani lagi. Itu akan menjadi beban yang sangat berat baginya. Semua kepedulian Uyama-san akan menjadi sia-sia.
Mungkin aku berada di sisi Makura-san adalah cara curang seperti jalan belakang bagi para penggemarnya.
Tapi, ini adalah hak istimewaku—.
Hanya aku yang ingin menemani dia, melihat bagaimana dia menjalani hidup sesuai keinginannya.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.