Kurasu de Nibanme ni Kawaii Onnanoko to Tomodachi ni Natta chap 2 V6

Ndrii
0

Bab 2

Saatnya Liburan Musim Panas




“Apa-apan sih, ih, Asanagi-chan. Ternyata kamu lebih usil dari yang aku duga. Kalau memang mau datang buat memberi jawaban hari ini, kenapa nggak bilang dulu ke aku?”


“Eh? Umm… aku sudah bilang ke Nakamura-san, kok?”


“…Hah?”


Mendengar itu, Umi memiringkan kepala dengan bingung, sementara ekspresi Nakamura-san tiba-tiba membatu.


“…Serius?”


“Serius.”


“Kapan?”


“Sepertinya sebelum HR pagi tadi. Oh, Ryouko-san dan Miku-chan dan yang lainnya juga ada di dekatku waktu itu, jadi kalau nggak percaya, coba tanya mereka saja.”


Nakamura-san, yang tadinya terlihat bingung, buru-buru mengambil ponselnya dan mulai mengetik di sudut ruangan dengan raut wajah aneh—sangat berbeda dari biasanya. Dia memang sedikit eksentrik, tapi biasanya selalu tenang dan penuh percaya diri. Situasi seperti ini seharusnya tidak membuatnya canggung.


“Ryouko-san, Ryouko-san! Aku lagi di ruang OSIS nih, ketemu Asanagi-chan… Eh? Oh, begitu ya… Baiklah, maaf sudah membuatmu repot-repot mengangkat telepon.”


Selesai memastikan, Nakamura-san menoleh ke arah kami dengan wajah yang kelihatan sedikit malu.


“Maaf. Ternyata aku salah.”


“Baguslah. Tapi, ngomong-ngomong, sejak tadi pagi aku memang merasa kamu agak aneh. Sepanjang hari cuma melamun sambil menatap keluar jendela, sampai-sampai aku nggak yakin kamu benar-benar mendengarkan obrolan kami.”


“Ugh… Yah, begini, bahkan orang sekuat aku juga punya hari-hari buruk setahun sekali. Ehm… ya, mungkin karena—ah bukan, itu cuma bercanda.”


Meskipun berusaha keras menutupi rasa malunya dan kembali ke ‘Nakamura Mio’ yang biasanya, tindakannya justru membuat suasana semakin canggung. Wajahnya memerah, dan dia terlihat mencuri pandang ke arah seorang siswa laki-laki di sebelahnya—Takizawa-kun.


Belum jelas apa hubungan di antara mereka, tapi dari sikap Nakamura-san, kelihatan jelas kalau kehadiran Takizawa-kun ada hubungannya dengan perubahan perilakunya hari ini.


“Aku sangat senang kamu bersedia mempertimbangkan posisi ketua OSIS. Tapi, boleh jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Wakil Ketua?”


Tomoo-senpai tersenyum ramah, tapi aku bisa merasakan ada perasaan rumit di balik sikapnya. Seharusnya tugas membawa Nakamura-san ke ruang OSIS ini menjadi tanggung jawabnya sebagai ketua, jadi wajar jika dia merasa sedikit tidak nyaman.


Takizawa-kun, yang menyadari maksud dari kata-kata Tomoo-senpai, segera membetulkan posisinya dan menunduk dalam-dalam.


“Maaf, Ketua. Seharusnya aku tidak menemui Nakamura-san tanpa memberitahumu lebih dulu. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk fokus pada tugas-tugasku sebagai wakil ketua dan menyerahkan urusan ini sepenuhnya padamu. Tapi… aku terlalu senang bisa bertemu lagi dengan Nakamura-san setelah sekian lama, dan aku tidak bisa menahan diri.”


“Panggil aku ‘Mio-senpai’ saja, Souji. Kurasa semua orang di sini sudah paham situasinya, jadi tidak ada gunanya menyembunyikan apa-apa.”


“Ba-baik, Mio-senpai. Maaf.”


“Haha, kamu masih suka minta maaf berlebihan, ya. Padahal sudah lama nggak ketemu, sekarang kamu berubah jadi lebih tinggi dan ganteng. Saking kagetnya, aku hampir jatuh dari kursi. Aku nggak nyangka kamu bakal masuk ke sekolah ini. Bukannya kamu bisa dapat sekolah yang lebih bagus?”


“Ini yang paling dekat dari rumah. Dan, tentu saja, ada Senpai juga.”


“Heh, kamu sekarang pandai gombal ya. Kalau memang masuk sini, kenapa nggak bilang dari awal?”


“Maaf. Aku sengaja nggak bilang karena ingin membuat Senpai terkejut.”


“Hah… Bocah kecil yang dulu seperti biji kedelai sekarang sudah jadi anak gaul. Aku sampai bingung mau sedih atau bangga.”


“Penampilan mungkin berubah, tapi aku rasa aku masih orang yang sama, kok.”


Melihat interaksi mereka, jelas mereka sudah saling kenal sejak lama. Mungkin mereka punya hubungan senior-junior sejak SMP. Tapi, dari cara mereka bicara, hubungan mereka tampak jauh lebih dekat daripada sekadar teman lama.


“Maaf mengganggu nostalgia kalian, tapi bisakah kita kembali ke topik utama? Nakamura Mio-san, apakah aku bisa menganggap bahwa kamu menerima tawaran sebagai ketua OSIS baru?”


“Iya. Sejujurnya, sampai sekarang Nakamura masih kurang antusias... Tapi kalau memang posisi ini harus diisi seseorang, kurasa tidak ada yang lebih pantas daripada Nakamura—siswa terbaik di angkatan kami dan satu-satunya yang mendapat nilai sempurna di semua mata pelajaran pada ujian akhir kemarin (rencananya). Sebenarnya, bisa saja menyerahkannya pada Asanagi-chan, tapi sayangnya jadwal musim panasnya sudah penuh dengan cowok disebelahnya.... Oh, tentu saja bukan dalam arti mesum, ya. Maksudku, hanya dalam arti sehat dan normal.”


“Selain makna sehat, memang ada makna lain apa?”


Aku mengabaikan ucapan Nakamura-san yang nyaris menjadi candaan cabul. Dan kini dia sudah kembali ke dirinya yang biasa, bicara dengan lancar seperti sebelumnya. 


Umi pernah bilang bahwa ketika Nakamura-san sedang dalam suasana hati yang baik, dia akan menyebut dirinya sendiri dengan ‘Nakamura,’ bukan ‘aku’.


“Haha, ini benar-benar seperti Mio-senpai yang biasa. Senang rasanya bisa melihatmu lagi.”


Takizawa-kun tersenyum hangat melihat tingkahnya, tampak terharu. Namun, tingkah laku Nakamura-san yang eksentrik tetap membuat reaksi beragam dari anggota OSIS lainnya. Meski begitu, setidaknya formasi anggota OSIS sudah lengkap.


Dengan ini, Tomoo-senpai bisa fokus menghadapi ujian masuk universitasnya tanpa beban.


“Umi, urusan kita sudah selesai. Ayo kita pergi?”


“Ah, iya. Terima kasih, Tomoo-senpai. Maaf kami tidak bisa banyak membantu, tapi kami akan selalu mendukungmu dari jauh.”


“Terima kasih, Asanagi-san. Dan Maehara-kun, terus jaga hubungan baik dengan adikku, ya.”


“Tentu saja.”


Setelah berpamitan dengan Tomoo-senpai dan anggota OSIS lainnya, aku dan Umi bangkit dari kursi. 


Meski belum sempat mengucapkan terima kasih yang pantas pada Tomoo-senpai, aku akan mencari kesempatan lain untuk melakukannya—tentu saja, dengan bantuan Nozomi juga.


“Asanagi-chan, nikmati liburan musim panas bersama Maehara-kun sepenuhnya, ya.”


“Terima kasih, Nakamura-san. Kalau ada masalah, jangan ragu untuk meminta tolong. Kami semua akan membantu sebisanya.”


“Terima kasih. Tapi kurasa selama ada aku dan Souji, semuanya akan baik-baik saja.”


“Mio-senpai memang tidak berubah. Ini pertama kalinya kami terlibat dalam kegiatan OSIS, lho.”


“Haha, ya, kita lihat saja nanti bagaimana jadinya.”


Mendengar percakapan mereka, aku mulai merasa cemas dengan bagaimana persiapan untuk festival olahraga nanti. Tapi dengan kemampuan mereka dan dukungan dari Tomoo-senpai serta anggota OSIS lama, seharusnya tidak ada masalah.


Jadi, aku dan Umi akan tetap fokus menyelesaikan tugas yang ada di depan mata, satu per satu. Untuk saat ini, kami harus membantu ‘salah satu teman’ kami yang melakukan kesalahan besar di ujian akhir.


◆   ✧ ₊ ✦ ₊ ✧   ◆


Di penghujung minggu, ketika semua kelas di semester satu telah berakhir dan hanya menyisakan upacara penutupan setelah libur tiga hari, aku dan Umi berada di restoran keluarga dekat stasiun. 


Biasanya, kami menghabiskan waktu santai berdua di rumah, tapi kali ini, kami berkumpul di sini bersama Amami-san, Nitta-san, dan Nozomi, yang akhirnya ikut serta setelah sekian lama. Kami berencana membahas apa yang akan dilakukan selama liburan musim panas.


Namun suasana di meja kami terasa suram.


“Ugh… Maaf ya, teman-teman. Semua ini gara-gara kebodohanku…”


Restoran dipenuhi siswa dari sekolah kami, tapi hanya meja kami yang dipenuhi atmosfer muram, karena Amami-san—yang biasanya ceria—terlihat lesu dengan bahunya yang merosot.


Di atas meja, terbentang lembar jawaban ujian bahasa Jepang dan bahasa Inggris miliknya. Di sudut atas tertulis namanya, Amami Yuu, dan tepat di sebelahnya, angka merah mencolok: 38 dan 39.


Sekolah kami menetapkan nilai di bawah 40 sebagai nilai merah. Itu artinya, Amami-san gagal dalam dua mata pelajaran.


“...Dua sekaligus.”


“Yah, jangan terlalu sedih, Yuu-chi. Ujian kali ini memang lebih sulit dari biasanya, dan nilai rata-ratanya juga lebih rendah. Mungkin gurunya akan bermurah hati dan tidak memberi kelas remedial untuk kedua pelajaran ini.”


“Tapi Nitta-chan dan Nozomi-kun bisa lolos tanpa masalah… Maaf ya, Maki-kun. Padahal kamu sudah susah payah mengajariku.”


“Ah, nggak apa-apa. Justru aku yang merasa gagal membantumu.”


Sebenarnya, nilai Amami-san tidak terlalu buruk jika dilihat secara keseluruhan. Berkat bimbingan Umi, dia berhasil mendapatkan hasil yang baik di mata pelajaran sains dan matematika—yang bahkan banyak siswa lain kesulitan. Selain itu, di bidang seni, musik, dan olahraga, dia juga mencetak nilai tinggi.


Saat sesi belajar bersama kemarin, Amami-san sebenarnya sudah berusaha keras dengan caranya sendiri. Bahkan dalam hati, aku sempat berpikir bahwa yang lebih mungkin mendapat nilai merah adalah Nozomi atau Nitta-san.


Aku sudah mengajarinya seperti biasa, tapi tetap merasa bahwa kegagalan Amami-san dalam pelajaran ini mungkin juga ada kesalahanku. Bisa jadi cara mengajarku kali ini kurang tepat.


“Terlepas dari siapa yang salah, sepertinya liburan musim panas Yuu harus tertunda sebentar... Ngomong-ngomong, kapan remedial bahasa Jepang dan Inggris akan diadakan?”


“Remedial bahasa Jepang akan diadakan setelah upacara penutupan dan dilanjutkan dengan ujian ulang keesokan paginya. Untuk bahasa Inggris, remedialnya langsung menyusul setelah itu, dan ujian ulangnya juga diadakan pada sore hari di hari sama. Kalau nilai kami mencapai 60 atau lebih, kami boleh pulang... Begitu kata Miki-chan, wali kelas kami.”


“Yagisawa-sensei, maksudmu?”


“Iya, benar…”


Sudah jelas sejak awal, bahwa siswa yang mendapat nilai merah di ujian semester harus mengikuti remedial selama liburan musim panas hingga akhir Juli. 


Dari cerita Nozomi, yang pernah menjalani remedial tahun lalu, jika siswa gagal mencapai nilai 60 di ujian ulang, mereka harus terus mengikuti siklus ‘kelas → ujian → kelas → ujian’ sampai lulus—dan dalam beberapa kasus, bisa berlanjut hingga Agustus.


Tentu saja, baik siswa maupun guru, ingin semua ini selesai dalam satu kali percobaan.


“Berdasarkan pengalamanku tahun lalu, sih, guru-guru sebenarnya merasa ribet juga. Jadi, asal kalian memperhatikan saat remedial, seharusnya aman.”


“...Memperhatikan dengan baik, ya.”


“Dan mendengarkan dengan sungguh-sungguh...”


“Aaah! Kenapa sih kalian berdua menatapku seperti itu?!”


Sebagai orang yang paling dekat dengan Amami-san, aku dan Umi tahu betul kalau dia benar-benar benci belajar. Bahkan dalam sesi belajar kemarin, kalau kami tidak terus mengawasinya, dia pasti akan ketiduran. Sulit membayangkan dia bisa fokus mendengarkan pelajaran remedial seharian penuh, apalagi jika dia harus benar-benar berkonsentrasi.


Belum lagi, tahun ini jumlah peserta remedial cukup banyak, jadi perhatian guru tentu tidak bisa hanya tertuju pada Amami-san.


Bulan Juli sebenarnya adalah satu-satunya waktu tanpa kegiatan sekolah, sebelum latihan dan persiapan untuk festival olahraga dimulai pada Agustus. 


Ini adalah waktu bagi siswa untuk bersantai, bepergian ke pantai atau kolam renang dengan teman-teman, atau menghabiskan waktu bersama orang tercinta.


Secara teknis, remedial Amami-san bukan urusanku. Jadwalku dan Umi tidak akan berubah, dan kami bisa menikmati liburan seperti yang sudah kami rencanakan.


Namun, Amami-san adalah teman penting bagiku—dan lebih dari itu, dia adalah satu-satunya sahabat dekat Umi. Dia juga sangat menantikan liburan bersama kami dan sudah berusaha keras dalam ujian demi itu. 


Meskipun remedialnya mungkin hanya berlangsung dua hari, rasanya sulit bagiku untuk mengabaikan dan bersikap seolah ini bukan masalah kami.


Aku dan Umi, yang sama-sama punya sifat terlalu baik, pasti tidak akan bisa menikmati liburan dengan tenang jika teman kami harus berjuang sendirian.


Idealnya, kami ingin menikmati liburan bersama semua orang dan, setelah itu, bisa dengan bebas menghabiskan waktu berdua.


“Untuk saat ini, sepertinya kita cuma bisa berharap Yuu-chi berusaha sebaik mungkin. Tapi kalau kita bisa menemani dan membantunya, mungkin hasilnya akan berbeda... Atau, bagaimana kalau kita ikut hadir di kelas remedial dan memastikan Yuu-chi tidak ketiduran?”


“Ikut remedial meski nggak wajib? Itu lelucon, kan, Nitta?”


“Ya ampun, aku cuma coba bilang aja. Seki, makanya kamu nggak laku di kalangan cewek.”


“Iya, iya. Dasar cerewet.”


Meski sekolah tetap buka selama liburan, ikut ke sekolah hanya untuk menemani Amami-san mungkin tidak akan jadi masalah. Tapi ikut dalam kelas remedial sebagai peserta? Itu bisa dianggap mengganggu siswa lain dan guru.


Atau… benarkah begitu?


“Nozomi, aku mau tanya sedikit. Berdasarkan pengalamanmu tahun lalu, berapa banyak siswa yang ikut remedial?”


“Hmm, waktu aku ikut remedial matematika, jumlahnya sekitar sepuluh sampai lima belas orang. Mungkin ada juga yang bolos atau menundanya karena kegiatan ekstrakurikuler.”


“Jadi, kursinya lumayan banyak yang kosong ya?”


“……”


Ketika aku bergumam pelan, keempat temanku langsung terdiam dan menatapku dengan waspada. Mereka pasti sadar—aku, Maehara Maki, sedang memikirkan sesuatu yang aneh lagi.


“Maki, coba jelaskan idemu.”


“Iya, aku tahu ini mungkin sulit, tapi bagaimana kalau kita ikut remedial juga? Tergantung jumlah pesertanya, tapi kalau kursi di kelas cukup, mungkin bisa.”


Di sekolah kami, satu kelas biasanya berisi sekitar tiga puluh siswa. Jika untuk matematika saja hanya ada sepuluh sampai lima belas peserta, kemungkinan besar jumlah peserta remedial untuk pelajaran seperti sastra bahasa tidak akan lebih dari dua puluh orang. Dengan begitu, pasti masih ada kursi kosong. Empat orang tambahan seharusnya tidak jadi masalah.


Aku memang punya jadwal kerja paruh waktu selama liburan, tapi kalau hanya sehari dua hari, jadwal itu masih bisa diubah.


“Benar-benar ide yang Maki banget sih. Tapi mungkin Yagisawa-sensei masih bisa kita ajak bicara. Soal sastra Jepang, mungkin bisa dipertimbangkan.”


“Tunggu, jadi Asanagi serius mau ikut juga? Aku sih nggak ikut ya. Aku sudah berusaha biar nggak kena remedial, jadi ikut itu sama aja buang-buang usaha. Gimana dengan kamu, Seki?”


“Aku ada latihan klub, tapi kalau kamu mau coba, aku bisa bantu bicara sama gurunya. Kebetulan dia juga pelatih tim bisbol kami.”


“Kalau sekadar bantu bicara, aku juga bisa.”


Kalau Nozomi sibuk dengan klub dan Nitta-san tidak ikut, berarti yang akan ikut hanya aku dan Umi. Pasti para guru bakal bingung kenapa siswa berprestasi—apalagi Umi yang mendapat peringkat tiga besar—mau ikut remedial.


Tapi, aku adalah Maehara Maki, dan melakukan hal-hal seperti ini sudah jadi kebiasaanku. Umi, yang selalu mendukungku tanpa ragu, juga tak pernah mengeluh. Aku benar-benar bersyukur punya dirinya di sisiku.


“Jadi, Yuu, kayaknya kami sudah mutusin ini secara sepihak. Tapi, kamu nggak keberatan, kan? Kalau kamu merasa nggak perlu, kami bisa lanjut dengan rencana liburan kami.”


“Nggak mau! Tolong, Umi, ikut remedial bareng aku! Maki-kun juga, pasti lebih seru kalau kita bertiga!”


“Seru? Kurasa remedial nggak bakal seseru itu sih…”


Tapi ya, pada akhirnya tugas utama kami sebagai pelajar memang belajar. Jadi, ikut remedial ini bisa juga jadi kesempatan untuk mengulang pelajaran.


Bahkan kalau kami sampai ikut ujian ulang, aku dan Umi mungkin bisa dapat nilai tinggi tanpa perlu belajar keras. Itu berarti kami bisa fokus membantu Amami-san. 


Tentu saja, kami tak boleh lengah, tapi kurasa ini akan jadi pengalaman yang menyenangkan.


“Hehe, kalau ada dua guruku di sini, remedial pasti jadi mudah. Aku harus segera kasih tahu Sanae-chan dan Manaka-chan. Umi, tahun ini kita pasti bisa main bareng mereka, kan?”


“Sepertinya begitu. Mereka ada turnamen musim panas, jadi tergantung jadwal. Tapi kalau bisa, aku mau main ke villa mereka lagi. Ada pantai pribadi, jadi kita bisa bebas berenang dan bersenang-senang.”


“Dan bisa main kembang api juga. Wah, jadi makin nggak sabar nih. Kalian semua ikut juga, kan? Nina, Maki-kun, Seki?”


“Serius nih? Bukannya kami kenal dekat hanya karena main bareng di pertandingan kelas waktu itu?”


“Gak apa-apa! Aku sudah tanya soal ini, dan mereka bilang nggak masalah kalau bawa beberapa orang lagi. Lagipula, nanti ada staff mereka yang menemani, jadi nggak usah khawatir.”


“Wah, gila. Sasuga, anak orang kaya.”


Kata-kata seperti pelayan, villa, dan pantai pribadi jelas bukan bagian dari keseharianku sebagai orang biasa. Tapi kalau kami bisa berenang tanpa harus berdesakan dengan banyak orang, itu jelas lebih baik.


Terutama karena aku tidak perlu khawatir Umi dilihat oleh sembarang orang saat memakai baju renang.


Selain Nozomi, tidak ada cowok lain di antara kami. Dan kalaupun ada, aku yakin perhatian Nozomi bakal tertuju ke tempat lain.


Seperti sekarang, misalnya.


“Maki…”


“Ada apa, Nozomi?”


“Maki, Maki, Makasih! Serius, makasih banget. Aku janji, suatu hari nanti aku pasti bakal balas budi ini.”


“Aku nggak tahu kamu ngomong apa, tapi ya… terserah kamu aja, selama itu nggak berlebihan. Eh, tapi kalau bisa, jangan genggam tanganku terlalu kuat, sakit nih.”


Walaupun aku membiarkannya melakukan apa pun yang dia mau, aku harus memastikan dia tidak bertindak nekat, seperti waktu musim dingin lalu saat dia tiba-tiba menyatakan cinta pada Amami-san. 


Sebagai teman baiknya, aku harus bisa menjadi remnya.


Bagaimanapun juga, minggu depan akan jadi awal dari liburan musim panas yang sudah kami tunggu-tunggu. 


Ini adalah pertama kalinya aku merasa begitu antusias menyambut musim panas.


◆   ✧ ₊ ✦ ₊ ✧   ◆


Upacara penutupan semester pertama berjalan lancar, dimulai dengan sambutan dari kepala sekolah, pemberian penghargaan kepada klub yang berprestasi dalam kompetisi musim panas, serta penyampaian harapan dan janji dari klub yang akan menghadapi turnamen besar berikutnya.


“Besok kita memasuki liburan musim panas. Ingatlah untuk tetap menjaga perilaku yang baik sebagai bagian dari sekolah ini. Selain itu, latihan untuk festival olahraga akan segera dimulai, jadi hindari cedera atau sakit agar kalian bisa ikut berpartisipasi.”


Di atas panggung, Tomoo-senpai—yang hari ini resmi melepas jabatannya sebagai ketua OSIS—memberikan pesan dan nasihat kepada kami, para siswa. 


Di dekatnya, terlihat Nakamura-san dan Takizawa-kun menunggu giliran dengan wajah tegang. Mereka akan menjadi ketua dan wakil ketua OSIS yang baru mulai September nanti, dan hari ini merupakan momen perkenalan awal bagi mereka.


“Sekian sambutan dari saya sebagai mantan ketua OSIS. Selanjutnya, mari kita dengarkan perkenalan singkat dari dua orang yang akan mengambil alih tugas kami. Calon ketua dan wakil ketua OSIS, silahkan.”


Dengan anggukan kecil, Nakamura-san melangkah maju ke podium.


“Hei, Umi, kamu kira Nakamura-san bakal baik-baik aja? Jangan-jangan dia tiba-tiba ngelempar candaan nggak jelas dan bikin semua orang bingung.”


“Dia kelihatan tegang, jadi kurasa nggak bakal seburuk itu. Lagian, Takizawa-kun ada di sampingnya.”


Aku dan Umi, yang kebetulan duduk bersebelahan, memperhatikan Nakamura-san dengan seksama. Melihatnya tegang justru terasa melegakan—itu benar-benar Nakamura-san banget.


Setelah berdeham pelan, Nakamura-san mulai berbicara di depan mikrofon.


“Halo semuanya, perkenalkan, nama saya Nakamura Mio dari kelas 2-11. Mulai hari ini, saya akan mengambil alih posisi ketua OSIS. Ini pertama kalinya saya terlibat dalam kegiatan OSIS, tapi saya akan berusaha tanpa terlalu tegang. Pertama-tama, saya ingin mengusulkan perubahan jadwal festival olahraga… Eh, meski mungkin kurang pantas bilang ini di depan para guru, tapi menyelenggarakan festival di musim panas dan mengorbankan liburan itu jelas… uh, maaf, saya tadi hampir keceplosan.”


Seisi aula mendadak riuh dengan tawa dan gumaman setuju. Apa yang dikatakan Nakamura-san memang mewakili perasaan kebanyakan siswa. Meski gugup, dia berhasil meninggalkan kesan kuat dengan caranya sendiri.


“Sekian dari saya. Selanjutnya, saya serahkan kepada wakil ketua.”


Setelah mendapatkan tepuk tangan, Nakamura-san mundur dan memberi ruang bagi Takizawa-kun. Begitu Takizawa-kun maju, suara gemuruh mulai terdengar dari arah kelompok siswi.


──Eh, itu anak kelas satu, kan? Dia keren banget!

──Ya ampun, tinggi juga. Jangan-jangan dia artis?

──Wajahnya imut banget… sumpah, ini sih nggak tahan.


Tadi, saat Nakamura-san berpidato, sebagian besar siswa senior hanya mendengarkan setengah hati. Namun, begitu Takizawa-kun muncul, perhatian mereka langsung tertuju padanya. Popularitas Takizawa-kun memang sudah tersebar di kalangan siswi kelas satu, tapi hari ini namanya akan dikenal oleh seluruh sekolah—terutama para siswi.


Penasaran, aku melirik Nitta-san yang berdiri di barisan kelas 2-7. 


Dengan tubuh tinggi, penampilan rapi, dan wajah tampan, Takizawa-kun benar-benar cocok dengan tipe ideal Nitta-san.


Seperti yang kuduga, reaksinya tidak mengecewakan.


“Uh… uh…”


“Lihat deh, Nina. Dia sampai nggak bisa berhenti buka-tutup mulut.”


“Iya. Entah dia sadar atau nggak, tapi mukanya memerah seperti belum pernah aku lihat sebelumnya.”


Dari ekspresinya yang terpana saat menatap Takizawa-kun, jelas terlihat kalau di dalam hati Nitta-san mungkin sedang bersorak, “Akhirnya aku menemukannya!”. Namun, mengingat sikap dan perilaku Takizawa-kun sejauh ini, sepertinya butuh waktu lama sebelum cinta mulai mekar di hati Nitta-san.


Di atas panggung, Takizawa-kun melanjutkan sambutannya. Tapi aku bertanya-tanya, seberapa banyak dari para siswa yang benar-benar mendengarkannya? Padahal dia terlihat sangat bersemangat, meski masih kelas satu, dan ingin menunjukkan kesungguhannya dalam tugas sebagai wakil ketua OSIS. 


Sayangnya, dengan penampilannya yang mencolok, wajar jika banyak yang lebih fokus pada wajahnya daripada isi perkataannya. Hal ini bisa membuatnya jadi sasaran kecemburuan, yang tentu saja menyedihkan.


Aku dan Umi memutuskan untuk mendengarkan dengan serius. Saat aku memperhatikan Takizawa-kun, tanpa sengaja tatapan kami bertemu.


(Takizawa-kun, bagus sekali.)


Aku menggerakkan bibirku untuk menyampaikan pesan itu. Tentu dia tidak akan mendengar, tapi aku harap dia bisa menangkap maksudku dari ekspresiku. Jika tidak, aku akan menyampaikan langsung setelah acara selesai. Meski menjadi pusat perhatian bukanlah hal buruk, akan sangat disayangkan jika pesan penting yang ingin disampaikan justru tak tersampaikan. Aku merasa kasihan pada Takizawa-kun.


Saat seorang guru di samping panggung akhirnya meminta ketenangan dengan nada tegas, suasana di dalam aula pun mulai hening.


“Meskipun baru beberapa bulan sejak saya masuk sekolah ini, saya akan bekerja sama dengan Ketua Nakamura-san dan anggota OSIS lainnya untuk memberikan yang terbaik. Jadi, saya harap kalian semua bisa mendukung kami.”


Takizawa-kun mengakhiri sambutannya, dan acara dilanjutkan dengan pengumuman dari berbagai komite. Namun, sebagian siswa tetap asyik bergosip tentang Takizawa-kun. 


Aku dan Umi hanya bisa saling memandang dan menghela napas. Kami sudah pernah mengalami situasi serupa dengan Amami-san, dan meskipun bisa memprediksi hal seperti ini, tetap saja rasanya tidak menyenangkan.


Aku melirik ke depan untuk melihat Amami-san, yang seharusnya memperhatikan jalannya acara. Tapi—


“Hwaa… lapar… Nagi-chan, aku mau makan…”


“Hah? Mana ada makanan di sini. Oi, Yamashita, kamu urus deh.”


“Hah? Aku? Duh, ya sudahlah… Amami-san, sabar ya, sebentar lagi selesai kok.”


Kelihatannya Amami-san tak nyaman dengan suasana serius seperti ini. Lehernya terkulai lemas, dan dia ditopang oleh Arae-san yang duduk di depannya dan Yamashita-san di belakangnya. Sepertinya dia sempat tertidur sebentar—benar-benar tak berubah, tetap dengan caranya sendiri.


Acara penutupan berlangsung selama sekitar satu jam, termasuk menyanyikan lagu sekolah. Setelah selesai, kami akhirnya terbebas dari “siksaan” dan kembali ke kelas masing-masing untuk class meeting. Begitu class meeting selesai, liburan musim panas yang ditunggu-tunggu pun dimulai.


◆   ✧ ₊ ✦ ₊ ✧   ◆


“Baik, semua duduk! Saya tahu kalian ingin cepat-cepat liburan, tapi masih ada pengumuman penting tentang festival olahraga. Jadi, tolong bersabar sebentar lagi.”


Di kelas, Yagisawa-sensei membagikan selebaran berisi informasi tentang persiapan festival olahraga yang akan dimulai Agustus nanti. Jadwal latihannya seperti yang sudah kuduga, tapi satu hal yang langsung menarik perhatianku adalah pembagian kelompok.


(Pembagian Kelompok – Kelas 2)


Tim Merah: Kelas 2-4, 2-5


Tim Putih: Kelas 2-2, 2-3, 2-8


Tim Kuning: Kelas 2-1, 2-6, 2-9


Tim Biru: Kelas 2-7, 2-10, 2-11



“Ah, asyik! Aku sama Umi!”


Begitu aku melihat pembagian kelompoknya, suara Amami-san langsung terdengar di belakangku. Meski aku tak bisa mengekspresikan rasa senang seperti dia, dalam hati aku juga melakukan selebrasi kecil. Aku mengepalkan tangan di bawah meja, merasakan kebahagiaan yang sama karena berada di tim yang sama dengan Umi.


Dan baru beberapa saat kemudian, aku menyadari bahwa aku juga sekelompok dengan Nitta-san. Sayangnya, hanya Nozomi dari kelas 2-4 yang terpisah, tapi mengingat setiap angkatan hanya bisa dibagi maksimal tiga kelas per tim, itu sudah tak bisa dihindari.


“Oh iya, sekarang setelah pembagian kelompok selesai, kita juga harus memilih anggota tim pemandu sorak. Apakah ada yang berminat? Ini berdasarkan sukarela, jadi tidak wajib bagi setiap angkatan untuk mengirim anggota.”


“Ya! Aku ikut! Bersama Nagi-chan juga!”


“Hah? Eh, Amami, kenapa kamu asal ngomong? Aku belum bilang ‘iya’ sama sekali, kan?”


“Eh? Tapi tadi kamu bilang, ‘Mau ikut atau tidak, sama saja sibuknya, jadi terserah.’”


“Itu cuma karena kamu terus memaksa! ...Oi, Yamashita.”


“Menurutku sih, kalian cocok pakai seragam pemandu sorak. Apalagi Arae-san pasti bakal populer banget. Ah, aku sih lewat aja, badanku kecil begini.”


Amami-san tampak sangat senang berada di tim yang sama dengan Umi sehingga dia langsung mengangkat tangan dengan penuh semangat. Arae-san juga ikut terseret ke dalam rencana itu, tapi karena dia tidak terlalu keberatan, mungkin urusan selanjutnya bisa diserahkan ke Yamashita-san.


“Kalian yakin? Jadi pemandu sorak itu dihitung sebagai salah satu cabang perlombaan. Memang kalian boleh ikut di lomba lain juga, tapi aku dengar latihannya cukup berat.”


“Tidak apa-apa. Aku memang payah dalam pelajaran, tapi aku suka kegiatan fisik seperti ini. Lagi pula, Nagi-chan pasti bisa, kan?”


“...Kamu sengaja memancingku, ya?”


“Nggak juga~. Tapi kalau Nagi-chan merasa kesulitan, aku bisa bantu ngajarin. Kalau ragu, kita bisa batal ikut. Aku sih ingin ikut bareng Nagi-chan, tapi aku nggak mau memaksamu.”


“...Tantangan diterima.”


Arae-san, yang langsung terpancing oleh provokasi Amami-san, menuliskan nama mereka berdua di papan tulis: “Arae, Amami.” Meski biasanya Arae-san terlihat lesu dan dikenal sering bersikap dingin pada semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, dia selalu jadi emosional jika berhadapan dengan Amami-san.


Dari sudut pandang orang lain, hubungan mereka kadang terlihat seolah akan berakhir dengan pertengkaran. Namun, tampaknya itulah dinamika yang cocok bagi mereka berdua—bukan musuh bebuyutan, melainkan sepasang teman yang saling mengakui satu sama lain dengan cara mereka sendiri.


Situasinya berjalan lancar, berbeda dengan beberapa hari lalu. Aku pun mengirim pesan seperti biasa pada Umi.


◆   ✧ ₊ ✦ ₊ ✧   ◆


(Maehara): Umi


(Asanagi): Iya


(Asanagi): Kita sekelompok, ya. Semangat!


(Maehara): Yah, setidaknya aku bakal berusaha seperti biasa.


(Asanagi): Nakamura-san bilang program finalnya akan diputuskan di rapat OSIS. Menurutmu kita ikut lomba apa? Dua orang tiga kaki, mungkin? Biasanya ada lomba pasangan campuran, kan?


(Maehara): Mungkin. Ngomong-ngomong, gimana dengan pemandu sorak di kelasmu? Di kelasku, Amami-san dan Arae-san sangat antusias.


(Asanagi): Begitu, ya. Pasti Yuu memancing Arae-san, kan?


(Maehara): Tepat sekali.


(Asanagi): Hehe, sudah kuduga.


(Asanagi): Kelas kami ini kan kelas khusus persiapan kuliah, jadi semangatnya biasa saja. Tapi karena tidak mungkin tanpa perwakilan, akhirnya Ryouko-san yang mau ikut.


(Maehara): Hayakawa-san, ya? Pantas saja.


(Maehara): Lomba klasik seperti tarik tambang dan estafet pasti ada. Kita putuskan saja nanti mau ikut apa.


(Asanagi): ...Berdua?


(Maehara): Maksudku, bersama-sama dengan semua orang.


(Asanagi): ...Berdua?


(Maehara): Kamu nggak bakal lanjut sebelum aku jawab ‘iya’, kan?


(Maehara): Tapi kalau bisa lebih sering berduaan sama kamu, aku sih senang-senang saja.


(Asanagi): Ehehe.


(Maehara): Pacarku memang suka menggoda, ya.


(Maehara): Tapi sebelum itu, kita masih ada kelas tambahan.


(Asanagi): Iya, sih. Sebenarnya kan Cuma menemani Yuu, tapi kita sudah putuskan ikut, jadi harus serius juga.


Sebagian besar siswa sebentar lagi akan menikmati liburan musim panas, tapi bagi kami, remedial pelajaran Sastra Jepang sudah menanti. 


Ngomong-ngomong, soal remedial ini, kami sempat meminta izin lebih awal kepada guru Bahasa Jepang dan Yagisawa-sensei, guru Bahasa Inggris. Mereka menyetujui dengan mudah, tapi anehnya, hampir semua guru di ruang guru malah memandang kami dengan tatapan aneh.


...Yah, kalau aku jadi mereka, mungkin aku juga bakal berpikir, “Apa-apaan anak-anak ini...?”


Setelah selesai bertukar pesan dengan Umi, kurasa semua tugas kami sejauh ini sudah beres. Teman-teman sekelas, yang akhirnya terbebas dari rutinitas sekolah, segera keluar kelas dengan wajah cerah, seakan berlomba meninggalkan gedung. 


Sebelum itu, kami hanya sempat mendapat peringatan terakhir dari guru agar tidak bertindak berlebihan selama liburan.


“Maki-kun.”


“Amami-san... Jadi, kita harus pindah ke kelas 7 sekarang, ya?”


“Iya. Maaf, ya, jadi merepotkan kalian berdua.”


“Tidak apa-apa. Selama aku bisa bersama Umi, entah itu bermain atau belajar, semuanya sama saja buatku.”


“Hihi, kalian tetap romantis seperti biasa, ya. Melihat kalian, aku jadi kepikiran, mungkin aku juga ingin merasakan hal yang sama. Rasanya iri melihat kalian akur begitu... aneh, ya?”


“Enggak kok, itu wajar.”


“Makasih, Maki-kun. Cuma ya... sayangnya, aku belum nemu orang yang tepat.”


Wajar saja jika Amami-san, yang juga seorang siswi SMA, punya perasaan seperti itu. Apalagi dia adalah orang yang paling dekat dan paling memahami bagaimana aku dan Umi akhirnya menjadi pasangan. Dia juga tahu betul bagaimana sikap dan ekspresi Umi berubah jadi jauh lebih lembut sejak kami pacaran, jadi mungkin tak salah kalau dia juga ingin mengalami hal serupa.


Tentu saja, menemukan orang yang dicintai adalah syarat utama.


Selesai berbincang ringan, kami pun keluar kelas dan menuju kelas 2-11 untuk bertemu Umi. 


Di sana, kegiatan class meeting nya juga sudah selesai, dan sama seperti di kelas kami, ruangan itu hampir kosong.


“Umi, aku datang menjemput.”


“Hehe, terima kasih. Maaf, ya, Maki, akhir-akhir ini aku terus merepotkanmu datang ke sini.”


“Santai saja. Lagipula, melihat Nakamura-san di belakangmu, aku bisa menebak kalau kamu sibuk.”


“Hahaha, ketahuan, ya. Nakamura-san, kami harus pergi ke tempat remedial, jadi tolong lepaskan seragamku, ya?”


“Ugh... Kalian ini aneh juga, ikut remedial padahal nggak perlu. Ya sudah, kalian boleh pergi, tapi bisakah kamu tinggalkan lengan kananmu di sini, Asanagi-chan?”


“Itu nggak ada gunanya, kan...?”


Sementara sebagian besar siswa sedang larut dalam suasana liburan, Nakamura-san tampak lelah di meja kerjanya. Tidak perlu bertanya, kami tahu penyebabnya adalah tugas berat sebagai anggota OSIS. 


Belum lama ini, dia menggantikan Tomoo-senpai sebagai ketua OSIS. Meski di awal tampak penuh semangat, kini dia sudah kewalahan.


“Astaga... Aku nggak nyangka benar-benar ingin pinjam tangan kucing seperti ini. Aku tahu jumlah anggota OSIS memang minim, tapi pekerjaan ini terlalu banyak, rasanya otakku mau meledak.”


Dari luar, kegiatan seperti festival olahraga atau budaya mungkin terlihat sebagai acara sehari saja. Tapi di balik itu, OSIS sudah bekerja keras menyiapkan segalanya jauh-jauh hari. 


Festival budaya biasanya disusul dengan pesta Natal, yang berarti mereka juga harus berkoordinasi dengan sekolah lain, menyusun konsep acara, dan memesan tempat jauh sebelum hari H.


Di sekolah kami, hampir semua kegiatan tahunan dikelola oleh OSIS, jadi tak heran jika ruang OSIS sekarang mungkin penuh dengan tumpukan dokumen. Pasti bukan hanya Nakamura-san saja, anggota OSIS yang lainnya pun juga akan kaget melihat seberapa efektif Tomoo-senpai dan anggota lama bekerja dulu.


“Sial, kalau tahu bakal seberat ini, aku nggak bakal asal bilang ‘Aku mau jadi ketua.’ Harusnya sekarang aku di rumah, makan es krim sambil nonton TV... meskipun itu juga nggak cocok dengan citra siswi SMA.”


“Kalau begitu, kenapa tidak jujur saja dan menolak seperti aku? Bukankah kamu sebenarnya tidak begitu tertarik dengan pekerjaan OSIS?”


“...Iya. Tapi, tolong rahasiakan ini hanya di antara kita berempat, ya.”


Meskipun di ruang OSIS kemarin Nakamura-san tampak penuh semangat, ternyata dia belum merasakan kepuasan atau kesenangan dari pekerjaannya sejauh ini. Mungkin dia tahu, setelah menyatakan kesediaannya di depan semua orang, dia tidak bisa begitu saja menyerah kecuali ada alasan yang sangat mendesak. 


Namun, apa sebenarnya yang membuat Nakamura-san memutuskan untuk menerima posisi ketua OSIS?


“Oh iya, Nakamura-san, aku baru bertemu dia hari ini... anak yang jadi wakil ketua OSIS yang baru, Takizawa-kun, kan? Dia kelihatan keren banget! Setelah acara penutupan, temanku Nit... eh, maksudku, Nina-chan, semangatnya tinggi sekali.”


“Oh, Nitta-chan, ya? Aku tahu kok, kamu bisa panggil dia Nina-chan saja. Lagipula, dia sendiri pernah bilang kalau dia suka sekali sama cowok ganteng. Pantas saja kalau dia tepat di sasarannya.”


Aku memang tidak terlalu memerhatikan, tapi obrolan grup kami berlima juga ramai setelah acara penutupan—kebanyakan karena Nitta-san. Akhir-akhir ini dia memang terlihat lebih santai dan tidak terlalu terobsesi mencari pacar, tapi kemunculan Takizawa-kun sepertinya kembali membangkitkan semangatnya.


“Kalau kalian mau, nanti aku kenalkan dia. Dia agak manja, jadi mungkin dia lebih cocok berteman dengan yang sedikit lebih tua.”


“Benarkah? Boleh! Aku tidak punya teman laki-laki dari adik kelas, jadi kalau bisa akrab, pasti menyenangkan. Apalagi Nina-chan pasti senang sekali.”


“Baiklah, nanti kubicarakan dengan dia. Kalau cocok, kita bisa ajak jalan-jalan di hari libur. Mungkin kita bisa pergi ramai-ramai dengan Maehara-kun dan Asanagi-chan juga. Kalau begitu, dia pasti tidak menolak.”


Aku dan Umi hanya bisa menyaksikan bagaimana rencana ini berjalan dengan mulus. Tapi, apakah Nakamura-san benar-benar tidak keberatan?


Tentu saja, jika kesempatan ini membuat kami bisa mengenal Takizawa-kun lebih jauh, aku pun juga ikut senang. Aku memang diam-diam ingin menambah teman laki-laki selain Nozomi, dan rasanya Takizawa-kun bisa jadi teman yang baik, terlepas dari status senior-junior.


Namun, di sisi lain, Nakamura-san pasti juga ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama Takizawa-kun, adik kelas yang sangat dia sayangi.


“Ah! Maki, Yuu, waktunya kita berangkat. Kita nggak bisa terlambat di hari pertama remedial.”


“Eh? Wah, benar juga. Nakamura-san, maaf ya. Kalau bisa, kami sebenarnya mau bantu tapi...”


“Wah, Amami-chan, kamu yakin? Jangan coba-coba basa-basi sama aku. Sedikit saja lengah, aku bisa langsung menarik kalian ke jurang tugas OSIS, lho.”


“Oi, jangan bicara seperti itu! Ketua OSIS tidak boleh mengancam. Kalau kamu benar-benar kewalahan, kami pasti bantu, jadi bersabarlah sedikit lagi, ya.”


“Baiklah. Kalau ada masalah, aku akan panggil kalian. Dan terima kasih juga untuk Maehara-kun yang tiba-tiba ikut masuk hitungan.”


“Haha... Ya, Nakamura-san sudah banyak membantu kami, jadi pasti kami bantu.”


Melihat situasinya, tampaknya kami akan ikut terlibat sebagai pekerja tambahan OSIS suatu hari nanti.


Itu sebabnya, kami harus menikmati bulan Juli ini sepuas-puasnya, terutama waktuku bersama Umi.


◆   ✧ ₊ ✦ ₊ ✧   ◆


Hari pertama liburan musim panas tiba setelah acara penutupan semester. 


Sementara sebagian besar siswa menikmati liburan mereka, kami tetap harus bangun pagi dan pergi ke sekolah untuk remedial di kelas yang berbeda dari biasanya.


Hari kedua remedial ini akan diisi dengan ujian ulang sastra Jepang, diikuti dengan remedial dan ujian ulang Bahasa Inggris setelahnya.


Jika ujian ulang ini bisa kami lewati dengan baik, terutama Amami-san, kami akhirnya bisa memulai liburan dengan tenang. Jadwal kami sudah diatur dengan asumsi bahwa semuanya akan lulus dalam satu kali percobaan, jadi penting bagi Amami-san untuk berhasil kali ini.


“Mm... mm...”


“Yuu, jangan tidur! Kamu harus semangat! Kalau lulus ujian ulang ini, kita bisa pergi ke pantai bersama teman-teman, kan? Sanae dan Manaka juga sudah menantikannya.”


“Amami-san, semangat!”


“Mm... mm... A-aku akan berusaha...”


Aku berada di depan dan Amami-san di belakangku, berjuang melawan pelajaran sastra kuno dan rasa mengantuk yang mengganggu Amami-san. Aku berusaha mendukungnya. Meskipun aku terlalu sibuk membantu hingga hampir tidak mendengarkan penjelasan guru, soal yang ada di ujian ulang ini sama persis dengan yang ada di ujian akhir, jadi tidak ada masalah bagi kami.


Setelah pelajaran tambahan yang dimulai sejak pagi selesai, saatnya untuk ujian ulang.


(...Hmm, sepertinya Amami-san bisa melakukannya.)


Lembar soal yang dibagikan tampak jelas dirancang agar siswa bisa mendapatkan nilai di atas 60. Jika Amami-san bisa mengikuti instruksi dengan baik, seharusnya tidak ada masalah. Melihat Amami-san yang dengan cekatan menggerakkan pensil mekaniknya, sepertinya kami bisa melewati ujian pertama ini dengan baik.


“Yeay, aku berhasil, Umi!”


“Bagus! Hebat sekali, Yuu! Teruskan semangat ini untuk ujian Bahasa Inggris!”


“U-uh, iya...”


Saat Amami-san mengangguk dengan semangat, sepertinya ada sehelai rambut yang melenceng ke samping akibat gaya rambutnya yang masih berantakan.


“Yuu, kenapa kamu tidak merapikan rambutmu pagi ini?”


“Ehehe, meskipun ini hanya pelajaran tambahan, tetap saja ini masih liburan musim panas, jadi aku agak begadang semalam.”


“Yah, tidak bisa dipungkiri...”


“Maki, aku akan ke toilet sebentar bareng Yuu, jadi kamu bisa pergi duluan. Kami akan kembali sebelum pelajaran Bahasa Inggris dimulai.”


“Baiklah. Aku akan menyampaikan ini kepada Yagisawa-sensei.”


Meskipun kami diberi peringatan untuk tidak lengah, ujian ulang ini sebenarnya tidak terlalu sulit, sehingga semua peserta lainnya juga tampak santai. 


Biasanya, di waktu pagi seperti ini, sekolah dipenuhi suara bising dari banyak siswa, tetapi koridor, halaman, bahkan area depan kantin pun sunyi.


Setiap sudut sekolah ini seolah hanya menunjukkan pemandangan “sekolah di hari libur.” 


Rasanya aneh.


Setelah berpisah dengan Umi dan yang lainnya, aku menuju ke kelas 2-10, di mana pelajaran Bahasa Inggris akan diadakan. 


Masih ada sedikit waktu sebelum kelas dimulai, dan sepertinya belum ada siswa lain yang datang.


Seharusnya Yagisawa-sensei sudah membuka pintu untuk bersiap-siap, tetapi pintu itu tidak bergerak sedikit pun saat aku mencoba membukanya.


“...Apakah sensei belum membuka kuncinya?”


Di waktu seperti ini, aku mengira Yagisawa-sensei sudah siap, tetapi tampaknya persiapan kelasnya tertunda atau mungkin dia hanya tidak bersemangat. 


Bagaimanapun, jika pintunya terkunci, lebih cepat untuk memeriksa dan mengambil kunci di ruang guru. Lagipula, berdiri di koridor yang pengap ini cukup menyiksa.


Sambil mengayunkan alas buku merah sebagai kipas, aku berjalan menuju ruang guru. Meskipun siang hari yang terang, berjalan sendirian di koridor ini membuatku merasa cemas. Suara langkahku terpantul dan seolah-olah ada seseorang yang mengikutiku dari belakang, sensasi ini sangat khas di gedung sekolah yang besar.


...Bayangkan jika saat ini sudah tengah malam.


“Kalau aku hanya berdua dengan Umi, sepertinya aku tidak mau mencoba menakutinua...”


Rencananya, akhir Juli atau awal Agustus, kami akan pergi ke villa yang dimiliki secara bersama oleh Nitori-san dan Houjo-san. Menurut cerita Umi, di puncak gunung tempat villa itu ada sebuah kuil... ah, sebaiknya jangan pikirkan itu lebih lanjut.


Sambil merenung tentang rencana mendatang, aku tiba di depan ruang guru.


“...Huff, baiklah.”


Setelah menghela napas dalam-dalam, aku meletakkan tangan di pegangan pintu ruang guru. 


Sejak festival budaya tahun lalu, aku sudah beberapa kali datang ke ruang guru sendirian, tetapi memikirkan banyak orang dewasa di dalamnya membuatku perlu sedikit keberanian hanya untuk masuk.


“—Permisi. Maaf, Yagisawa-sensei.”


“Hm! Oh, Maehara-kun, maaf, maaf. Kunci kelas, kan? Aku juga berencana pergi ke sana, tapi tiba-tiba ada telepon mendesak.”


Melihat meja Yagisawa-sensei yang duduk di dekat pintu, tampak hampir seluruhnya tertutup buku mengajar, file, dan dokumen lain yang akan digunakan untuk pelajaran. Di samping telepon, ada kertas catatan yang penuh dengan tulisan tangan merah, menunjukkan betapa terburu-burunya dia mempersiapkan pelajaran tambahan ini.


“Ini dia, kunci kelasnya. Aku akan berusaha agar sampai tepat waktu.”


“Baik, terima kasih. ...Meskipun ini liburan, sensei terlihat sangat sibuk.”


“Ya, kami sudah dewasa, jadi lebih banyak tanggung jawab daripada kalian yang masih remaja.”


“Kalau terlambat, tolong urus semuanya, ya, siswa teladan.”


“Tidak, aku tidak mau mengurus itu... Aku hanya ingin memberi tahu jika ada keadaan darurat yang membuat sensei terlambat.”


Setelah memberi anggukan singkat kepada Yagisawa-sensei yang sedang mengangkat gagang telepon untuk melakukan panggilan, aku segera membawa kunci kelas dan melangkah cepat menuju pintu keluar.


Masih ada sekitar sepuluh menit sebelum pelajaran tambahan Bahasa Inggris dimulai, jadi mungkin Umi, Amami-san, dan peserta lainnya sudah menunggu. Tentu saja, aku sudah memberitahu Umi bahwa aku pergi mengambil kunci.


“Permisi—wah,”


“Whoa...!”


Saat aku terburu-buru keluar dari ruang guru, tiba-tiba seorang siswa laki-laki muncul di hadapanku. Kami bertabrakan ringan karena dia hendak masuk saat aku keluar.


“Ah, maaf.”


“Ah, tidak apa-apa... Eh, Maehara-kun?”


“Eh? Oh, ternyata Ooyama-kun.”


Di depanku, berdiri teman sekelasku, Ooyama-kun. Kami memang jarang bicara akhir-akhir ini, dan pertemuan di tempat dan waktu seperti ini terasa agak aneh. Aku datang untuk pelajaran tambahan, tetapi Ooyama-kun, yang termasuk siswa berprestasi, seharusnya menikmati liburan musim panas. Setahuku, dia juga tidak aktif di klub.


“Ooyama-kun, kenapa kamu ada di sini?”


“Ada urusan sedikit... Lalu, kamu sendiri kenapa ada di sini?”


“Aku ikut pelajaran tambahan. Sebenarnya nilainya tidak perlu diperbaiki, tapi aku hanya menemani seseorang.”


“Teman... maksudnya Amami-san?”


“Iya.”


Aku menjelaskan situasinya secara singkat, dan meskipun dia tampak sedikit bingung, sepertinya dia bisa mengerti.


“Oh, begitu. Berarti aku sedikit terlambat ya.”


“Hm? Terlambat... Maksudnya kamu juga mau mengambil kunci?”


“Iya. Tapi, aku tidak ikut pelajaran tambahan.”


“...Kamu ambil kunci meski tidak ikut?”


“Begitulah. Kita lanjutkan sambil jalan saja.”


Mengikuti ajakan Ooyama-kun, aku berjalan menuju kelas 2-10 tempat Umi dan Amami-san menunggu. Rasanya ini pertama kalinya aku mengobrol dengannya di luar kelas seperti ini. Biasanya kami hanya berbicara di kelas, tapi begitu keluar, dia sering menghilang begitu saja.


“Aku sebenarnya ke sini juga untuk menemani teman. Kami sudah janji mau main hari ini, jadi setelah pelajaran selesai, rencananya kami mau ke arcade.”


“Begitu ya... Ngomong-ngomong soal tadi, kenapa kamu disuruh ambil kunci?”


“Yah, salah satu temanku bilang, ‘Kamu kan nganggur, jadi ambil kunci saja.’ Hal seperti itu biasa terjadi kalau sering nongkrong bareng.”


“...Begitu ya.”


Teman-temanku tidak pernah memberikan perintah aneh seperti itu. Bahkan Nitta-san atau Nozomi sekalipun tidak pernah memintaku melakukan hal semacam itu. Entah bagaimana, aku jadi bertanya-tanya apakah hubungan seperti itu bisa benar-benar disebut persahabatan. 


Ooyama-kun hanya tersenyum kecil seakan sudah terbiasa, tapi aku tidak yakin itu persahabatan yang ideal.


Tanpa melanjutkan pembicaraan, kami tiba di kelas 2-10. Saat menaiki tangga dan melangkah ke koridor, aku melihat Umi dan Amami-san mendekat. Rambut Amami-san yang tadi berantakan kini sudah rapi, berkat bantuan Umi.


“Maki, terima kasih. Bagaimana dengan gurunya?”


“Dia ada urusan mendadak dan masih di ruang guru. Katanya dia akan usahakan tepat waktu.”


“Oh, begitu ya... Ehehe, kalau begitu, kita bisa santai sedikit lebih lama, kan... A-aduh!”


“Yuu, jangan malas begitu.”


“Fuaaai~ Ehehe.”


Amami-san tertawa kecil setelah mendapat sentilan pelan di dahinya. Meskipun dia pasti lebih suka tidak ada pelajaran tambahan, bisa menghabiskan waktu bersama Umi membuatnya tampak sangat bahagia.


Karena sedang liburan musim panas, tentu saja mereka berdua—Umi dan Amami-san—punya banyak kesempatan untuk bermain bersama. Namun, jika dibandingkan dengan tahun lalu atau dua tahun sebelumnya, jelas bahwa kesempatan itu akan semakin jarang.


Meskipun Amami-san yang lembut selalu tersenyum dan menerima keinginan kami dengan lapang hati, aku yakin, dalam hatinya dia ingin lebih sering bermain bersama Umi dan teman-temannya, serta membuat lebih banyak kenangan indah.


Mungkin bagi banyak orang, ikut pelajaran tambahan di musim panas terdengar aneh, tapi aku merasa ini keputusan yang tepat.


“…Maehara-kun, sepertinya aku mengganggu. Jadi, aku pergi dulu.”


“Ah, iya. Umm... mungkin kita ketemu lagi di hari masuk sekolah nanti?”


“Mungkin. Tapi, kamu kan orang populer, jadi sepertinya kamu nggak punya banyak waktu untuk ngobrol sama orang kayak aku.”


“…Hah?”


“Ya, sudah.”


Tanpa menunggu jawabanku, Ooyama-kun buru-buru menjauh, seakan menghindari kami bertiga. Aku agak terlambat bereaksi karena tidak menyangka dia akan mengatakan hal seperti itu. Kata-katanya barusan terasa seperti sindiran halus.


“Nee, Umi. Menurutmu, kenapa Ooyama-kun terlihat agak murung hari ini? Rasanya dia berbeda dari biasanya.”


“Benarkah? Soalnya, ini pertama kalinya aku ketemu dia lagi setelah sekian lama, jadi aku nggak terlalu menyadarinya. Kamu gimana, Maki?”


“Aku juga nggak begitu dekat dengannya… Tapi, apa tidak apa-apa dia pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun ke temannya?”


Aku sempat menoleh ke arah peserta lain yang mengikuti pelajaran tambahan. 


Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang terlihat peduli atau memperhatikan kepergian Ooyama-kun. Jika teman yang dimaksud Ooyama-kun ada di antara mereka, aku tidak bisa tahu siapa orangnya.


Teman yang menyuruhnya mengambil kunci tanpa memberinya sedikit pun apresiasi… Lagi-lagi, aku bertanya-tanya, apakah hubungan seperti itu bisa benar-benar disebut persahabatan?


Tak lama kemudian, Yagisawa-sensei bergegas masuk ke kelas, tepat sebelum pelajaran dimulai. Kelas tambahan Bahasa Inggris kali ini terasa jauh lebih santai dibandingkan dengan kelas Bahasa Jepang sebelumnya. Sepertinya, setiap guru diberi kebebasan untuk menentukan metode mengajarnya.


Yagisawa-sensei, yang tampaknya ingin semua siswanya lulus dalam sekali ujian ulang, bahkan memberi petunjuk secara terang-terangan.


“Bagian kalimat ini nanti keluar di soal, jadi hafalkan baik-baik. Kata-katanya mungkin aku ubah, tapi susunan kalimatnya akan mirip.”


Ia menandai bagian penting di papan tulis dengan lingkaran merah. Sepertinya, jika fokus hanya pada bagian-bagian tersebut, para siswa sudah cukup untuk meraih nilai lulus.


“Ugh, ngantuk… Lapar juga...”


“Yuu, sebentar lagi kita istirahat makan siang. Jadi, tahan dulu ya?”


“Amami-san, semangat ya.”


“Umm, ya… Baiklah, aku akan berusaha...”


Sambil menemani Umi menyemangati Amami-san, aku juga mulai merasa kantuk mulai menyerangku juga. Pelajaran yang sudah aku pahami sejak awal membuatku bosan, dan rasa lelah dari kegiatan pagi tadi mulai terasa memberatkan mataku. Aku menahan diri agar tidak menguap, dan akhirnya, pelajaran pertama berhasil kami lalui.


Begitu bel istirahat berbunyi, kami segera meninggalkan kelas dan menuju tempat biasa untuk beristirahat. Meskipun kami bisa saja menikmati istirahat di halaman sekolah, kantin, atau bahkan di gedung olahraga—tempat yang biasanya jarang kami kunjungi—aku lebih suka tempat kami biasa berkumpul. 


Selain sudah terasa nyaman, tempat itu juga berada di bawah naungan bayangan yang sejuk, jadi meski tanpa AC, udara di sana tetap menyegarkan.


“Eh, Maki-kun. Bekalmu hari ini besar sekali! Apa ini buat dimakan bareng Umi juga?”


“Iya. Tadi malam aku dan Umi memikirkannya, mumpung liburan, enak juga kalau bawa bekal lebih banyak. Karena porsinya agak kebanyakan, Amami-san juga bisa ikut makan.”


“Benarkah? Wah, terima kasih! Kalau begitu, aku akan makan dengan senang hati!”


Kami duduk di bangku tua di bawah naungan pohon, membuka kotak bekal besar yang sudah kusiapkan. Bekal itu berisi onigiri kecil, karaage, tamagoyaki yang agak manis, beberapa sisa lauk makan malam tadi, serta sayuran seperti tomat ceri dan brokoli untuk menambah warna.


“Ah, tamagoyaki buatanmu tetap enak, ya. Sudah lama nggak makan ini, tapi rasanya memang cocok dijadikan lauk.”


“Iya, Maki. Rasanya kamu makin jago memasak, deh.”


“Benarkah? Yah, kalau memasak setiap hari, lama-lama memang jadi terbiasa.”


Aku bangun sekitar satu jam lebih awal dari biasanya. 


Namun, melihat mereka berdua menikmati bekal dengan begitu lahap membuat rasa lelahku terbayar dan hatiku terasa senang.


“Ah, Maki-kun! Mumpung lagi makan bareng, mau coba bekal punyaku juga? Ini sih dibikinin mama, tapi ada yang kamu suka?”


“Ah, iya. Kalau begitu, aku pilih omelet bayam itu.”


“Oke. Nih, ambil ya.”


Namun, bukannya meletakkan omelet di atas tutup kotak bekal seperti piring, Amami-san justru langsung menyodorkannya ke arah mulutku.


“Eh… Amami-san?”


“Hm? Ada apa, Maki-kun? Nih, makan.”


“Ah, iya… Tapi, aku bisa makan sendiri kok.”


“Eh? Oh…!”


Menyadari tindakannya, Amami-san tampak terkejut. Tapi pada saat itu, aku sudah membuka mulut dan menerima omelet tersebut, yang secara teknis berarti ‘suapan’ itu sudah terjadi. 


Mungkin bagi Amami-san, ini hanyalah kebiasaan seperti saat makan bersama Umi. Tapi, meski kami teman, ada beberapa hal yang mungkin terasa berbeda ketika dilakukan dengan lawan jenis.


Seandainya Umi yang melakukannya, tentu ini bukan masalah besar. Namun, ketika aku menoleh ke Umi yang duduk di sampingku, ekspresinya terlihat sedikit menakutkan.


“…Yuu, hal seperti itu biar aku saja yang melakukannya.”


“Ma-maaf! Iya, ya... Aku lupa kalau Maki-kun sudah punya Umi. Duh, kebiasaan, ya... Hahaha.”


Dengan wajah memerah karena malu, Amami-san buru-buru mengembalikan omelet tersebut ke tempat semula. Awalnya, ketika kami mulai berteman, sepertinya dia cukup menjaga jarak dariku karena aku adalah teman laki-laki pertamanya. Namun, setelah setahun berada di kelas yang sama dan lebih sering berinteraksi, jarak itu perlahan mulai menghilang.


Meskipun merasa terhormat karena dia semakin percaya padaku, kedekatan berlebihan juga bukan hal yang baik... karena Umi bisa jadi cemburu.


“Maki.”


“Ya?”


“…Aahhn.”


Umi mengambil sepotong karaage dari bekal dan menyodorkannya ke mulutku. Sebenarnya, aku bisa makan sendiri, tapi kali ini aku memilih menurutinya dan melahapnya dalam satu gigitan.


“…………”


“Kenapa, Umi? Kok kamu menatapku begitu tanpa bicara?”


“Komentarnya mana?”


“Komentar… soal rasanya?”


“Siapa tahu?”


Sudah kuduga dari tadi bahwa Umi sedang tidak dalam suasana hati yang baik. Tampaknya, tindakanku tadi membuatnya kesal. Dari luar, mungkin situasi ini terlihat seperti pria beruntung dikelilingi dua gadis cantik. Tapi bagiku, ini bukan hal yang mudah.


“Karena aku yang bikin, ya rasanya enak. Tapi bisa makan dari suapanmu juga bikin aku senang, Umi. Walau terus diawasi Amami-san itu bikin agak malu.”


“Hmm… Baiklah. Nih, yang ini selanjutnya.”


“Masih lanjut?”


“Ya. Sampai aku puas… Boleh, kan?”


“Baiklah.”


Dan begitulah, sampai bekal habis, makan siangku diwarnai dengan serangan ‘aahhn’ dari Umi. Saat akhirnya selesai dan Umi kembali ceria, aku sedikit menyesal karena terlalu bersemangat membuat bekal pagi tadi.


“Fiuuuh, makasih buat makan siangnya... Nah, kita masih punya waktu sekitar 30 menit sebelum istirahat selesai. Kalian mau ngapain? Kembali ke kelas lebih awal buat siap-siap pelajaran?”


“Aku sih terserah. Kalau Yuu gimana?”


“…………”


“Yuu? Kamu dengerin?”


“…Zzz.”


“Dia tidur.”


“Yah, wajar. Dari tadi pagi dia sudah berusaha keras.”


Saat kami sedang bersantai menikmati teh dingin, rasa kantuk tampaknya menyerang Amami-san. Tanpa sadar, dia bersandar erat pada Umi dan mulai tertidur, napasnya terdengar lembut dan teratur.


“Yah, biar saja dia tidur siang sampai waktunya habis. Kalau kamu juga ngantuk, Maki, bersandar juga ke aku. Nanti aku bangunin pas waktunya masuk.”


“Enggak, aku baik-baik saja… Tapi, boleh enggak aku bersandar sedikit?”


“Fufu, kamu memang ngga tertolong, ya. Ayo, sini.”


“Iya.”


Aku bergerak mendekat dan duduk menempel di sisi Umi, lalu meletakkan tanganku di atas tangannya. 


Meskipun udara terasa panas karena musim ini, aku lebih suka tetap berada sedekat ini daripada harus menjaga jarak darinya. Terasa aneh mungkin, tapi aku suka segala hal tentang Umi—bahkan wangi tubuhnya atau keringatnya.


Aku sendiri termasuk orang yang mudah berkeringat, dan saat ini pun leherku sudah terasa lembab. 


Namun, Umi sama sekali tidak menunjukkan rasa terganggu. Malahan, dia mendekatkan wajahnya dan mulai mengendus pelan.


“Maki, kamu bau keringat.”


“Maaf, Umi… Mau aku bersihkan dulu pakai saputangan?”


“Nggak usah. Aku suka begini saja.”


“Kalau kamu suka, ya sudah.”


Kami berdua pun saling menempel, sesekali mencuri kesempatan untuk menghirup aroma satu sama lain. Ini jelas bukan sesuatu yang biasa kami lakukan di sekolah, tapi karena suasana di sekitar begitu sepi dan Amami-san terlihat nyenyak tidur, kami berpikir tak masalah melakukannya sebentar.


“Umi, boleh nggak aku tidur sebentar juga?”


“Tidur aja. Aku juga mulai ngantuk. Mungkin kita semua tidur saja, ya? Pasang alarm, pasti aman kok.”


“Jangan-jangan kita malah tidur kelewat waktu dan kena marah guru nanti.”


“Haha, mungkin aja. Ya sudah, kalau gitu kita pasrah aja, ya?”


“Setuju.”


Aku dan Umi saling melingkarkan tangan di pinggang masing-masing, mempererat posisi kami, lalu perlahan memejamkan mata. Perut yang kenyang dan angin sepoi-sepoi yang berhembus di antara gedung sekolah membuat rasa kantuk datang lebih cepat dari perkiraan.


“Nggh...”


“Suu...”


“Funyaa...”


Terdengar napas tidur kami yang berbeda-beda, dan tanpa sadar kami bertiga pun tenggelam dalam tidur siang singkat.


Saat alarm berbunyi dan membangunkan kami, rasa lelah yang tadinya terasa kini seolah menghilang. Namun, Amami-san ternyata tidak bangun, dan akhirnya aku dan Umi harus bekerja sama untuk membawanya kembali ke kelas. Hal ini, tentu saja, kami simpan sebagai rahasia kecil kami.


Adapun soal ujian remedial, berkat upaya (atau keberuntungan) kami, ujian susulan tidak perlu diulang lagi. Dengan begitu, Amami-san akhirnya resmi memulai liburan musim panasnya. Meski, ya… nilainya memang tipis sekali dari batas nilai merah.















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !