Kurasu de Nibanme ni Kawaii Onnanoko to Tomodachi ni Natta chap 3 V6

Ndrii
0

Bab 3

Malam di Pantai dan Kembang Api




Setelah berhasil menyelesaikan kelas tambahan, kami pun segera berdiskusi tentang rencana ke depan pada keesokan harinya. Aku, Umi, Amami-san, Nitta-san, dan Nozomi—ini adalah kumpulan teman yang sudah sangat akrab bagiku. 


Biasanya, kami akan berkumpul di restoran keluarga dekat sekolah. Namun, kali ini kami memilih tempat yang berbeda.


Di sebelahku, Nozomi terlihat sedikit kebingungan dan menyikut pelan pinggangku.


“Hei, Maki.”


“Ada apa, Nozomi?”


“Ini... kita lagi di mana?”


“Seperti yang tadi aku bilang, di rumah Nitori-san.”


“Ini bukan hotel atau semacamnya gitu?”


“Bukan. Ada lapangan basket yang waktu itu kita pakai buat latihan juga, jadi aku yakin ini tempat yang benar. Iya kan, Umi?”


“Tentu saja. Meski waktu pertama kali ke sini, aku juga kaget sih.”


“Ya, aku juga! Rasanya kayak masuk ke rumah orang kaya persis seperti yang kubayangkan.”


Hari ini, kami berlima diundang ke rumah Nitori-san, yang sebelumnya juga meminjamkan lapangan basket saat persiapan pertandingan antar kelas. 


Kali ini, kami berkumpul untuk membahas rencana kegiatan di Villa dan persiapan lainnya, yang dijadwalkan mulai awal minggu depan. Tentu saja, pemilik bersama Villa itu, Houjo-san, juga akan bergabung.


Ini kali kedua aku berkunjung ke rumah Nitori-san. Jika sebelumnya kami hanya melihat lapangan basket di ujung area, sekarang kami berdiri di depan bangunan utamanya. Ukurannya sungguh mengesankan, membuat kami semua terdiam kagum. 


Rumah keluarga Nitori, yang katanya sudah lama dikenal sebagai keluarga terpandang di daerah ini, terlihat megah dan penuh sejarah. Meski sebagian bangunan sudah direnovasi, beberapa bagian seperti atap dan paviliun tetap mempertahankan nuansa tradisionalnya. Benar-benar seperti rumah bangsawan.


“Selamat datang, semuanya. Kami sudah menunggu kalian. Oh, dan Manaka juga sudah datang. Sambil ngobrol, kita bisa menikmati beberapa camilan.”


“Terima kasih banyak!”


Kami diantar menuju ruang tamu di bagian dalam rumah. Ruang tamu ini jauh lebih luas daripada yang pernah kulihat di rumah Amami-san. Mungkin dua atau tiga kali lebih besar.


“Eh-he, terima kasih, Sanae-chan, Manaka-chan. Tapi, kalian yakin nggak apa-apa? Kalian nggak bisa ikut acara kita karena ada turnamen basket, tapi kita malah memakai Villa kalian.”


“Jangan khawatir. Villa itu kan memang sebaiknya digunakan, setidaknya setahun sekali. Kalau kalian senang, kami juga ikut senang.”


“Benar! Tapi, sebagai gantinya, kalian harus bantu bersih-bersih ya. Hehe.”


“Itu sih nggak masalah. Sanae, Manaka, terima kasih banyak. Aku benar-benar berterima kasih atas semuanya.”


Umi menunduk sedikit dan tersenyum tulus, matanya sedikit berkaca-kaca.


“Jangan sungkan, Umi-chan. Kalau ada apa-apa, jangan ragu buat bilang pada kami, ya.”


“Iya, ayo kita main bareng lagi suatu hari nanti!”


“Itu pasti! Janji, ya!”


Melihat Umi tersenyum lega, aku juga ikut merasa tenang. Setelah sekian lama, hubungan mereka berempat yang mulai terjalin kembali sejak pertandingan kelas tampaknya berjalan dengan baik.


“Baiklah, cukup obrolan santainya. Sekarang kita masuk ke topik utama. Maehara-san, untuk memastikan aja, Villa akan kalian pakai mulai Senin hingga Selasa sore, benar?”


“Ah, iya, sementara itu rencananya. Maaf kalau harus memastikan lagi, tapi kami nggak perlu menyediakan pendamping, kan?”



“Ya. Kami akan menyiapkan satu orang dari pihak keluarga kami dan keluarga Manaka untuk mendampingi, jadi tidak perlu khawatir. Perjalanan ke Villa juga akan menggunakan mobil, dan itu sudah kami urus,” ujar Nitori-san. 


Saat dia bicara, seorang pelayan wanita yang sedang menyiapkan camilan di ruang makan menundukkan kepala dengan sopan kepada kami.


Sepertinya segala persiapan dari pihak Nitori-san sudah matang.


“Nee, Yuu-chin, kok rasanya pelayanan mereka ini kelewat mewah, ya? Jangan-jangan nanti kita bakal dilempar ke kapal nelayan kepiting atau tuna?” bisik Nitta-san sambil bercanda.


“Haha, kamu ada-ada saja, Nina-chan. Dulu aku dan Umi juga kaget dan sempat merasa sungkan, tapi buat Sanae-chan dan Manaka-chan, ini semua sudah biasa,” jawab Amami-san sambil tertawa.


“Benar. Bagi mereka, menjamu tamu dengan sepenuh hati sudah seperti tradisi, kan? Iyakan, Sanae, Manaka?”


“Tentu saja,” jawab keduanya serempak.


Sikap mereka seperti menyiratkan bahwa menolak keramahan ini bukanlah pilihan. Umi dan Amami-san hanya bisa tersenyum canggung. Meski tampak segan, mereka tahu tak ada gunanya menolak. 


Sepertinya kami pun harus menerima kebaikan ini sepenuh hati. Toh, kami hanya perlu membantu membersihkan Villa sebagai gantinya, tapi kurasa itu terlalu ringan untuk semua fasilitas yang kami terima.


Setelah itu, Nitori-san memberikan penjelasan singkat tentang Villa kepada kami bertiga—aku, Nitta-san, dan Nozomi—yang akan berkunjung untuk pertama kalinya. Villa itu dimiliki bersama oleh keluarga Nitori dan Houjo, terletak di sebuah kota tepi pantai sekitar dua jam perjalanan dengan mobil dari tempat tinggal kami. 


Di sekeliling Villa terdapat pepohonan hijau, dan pantai pribadinya berbentuk teluk kecil, menjadikannya aman dari gangguan luar. Kami bisa bersenang-senang tanpa khawatir mengganggu orang lain, bahkan bermain kembang api—yang kini sering dilarang di pantai umum—dengan leluasa.


Bangunan Villa terdiri dari tiga lantai, masing-masing dilengkapi dengan kamar mandi dan toilet. Terdapat banyak kamar tamu, dan fasilitas seperti ruang karaoke serta billiard tersedia untuk hiburan. Dari penjelasannya saja, aku merasa kegiatan kami tidak akan cukup dalam satu hari.


“Fufu, mendengar semua ini jadi membuatku bersemangat. Siang-siang kita bisa main di pantai sepuasnya, lalu malamnya makan barbeque sambil main kembang api. Ah, kalau saja aku tidak ada turnamen basket... Rasanya aku ingin ikut bersenang-senang dengan kalian,” keluh Houjo-san.


“Benar juga... Kadang-kadang ingin libur, tapi kalau bilang begitu ke kapten, habislah aku,” tambah Nitori-san dengan nada pasrah.


Sebagai siswa kelas dua, mereka kini menjadi pemain inti dan harus menjadi panutan bagi anggota klub lainnya, jadi tidak bisa seenaknya absen dari latihan. Begitulah dilema para atlet muda.


“Untuk pembagian kamar, kalian bisa menentukannya sendiri. Tapi untuk memastikan, peserta yang ikut hanya lima orang ini saja, kan? Kami butuh kepastian jumlah orangnya agar bisa mempersiapkan makanan dan minuman selama menginap,” tanya Nitori-san.


“Ah, iya. Untuk sekarang, kami berlima sudah pasti ikut,” jawabku.


Namun, saat pembahasan mulai memasuki detail kecil, Umi tiba-tiba mengangkat tangannya.


“Umi-chan, ada apa?”


“Maaf, Sanae, Manaka. Aku ingin bertanya, bolehkah jumlah peserta diubah? Maksudku, menambah beberapa orang lagi.”


“Oh, tentu saja. Nggak masalah kalau kalian ingin menambah peserta. Tapi, siapa yang ingin kamu ajak?”


Nitori-san terlihat tidak keberatan, tetapi dia melirik kami untuk memastikan bahwa perubahan ini tidak menjadi masalah bagi orang lain. 


Kami semua pun terdiam, karena ini pertama kalinya kami mendengar rencana Umi untuk menambah peserta.


“Maaf ya, Maki. Sebenarnya aku harusnya bilang dari awal. Tapi ini pun belum pasti... Aku bahkan baru akan mengundangnya.”


“Oh, begitu... Aku sih nggak masalah, tapi siapa yang ingin kamu ajak?”


“......Nakamura-san.”


“Nakamura-san? Maksudmu... Nakamura yang itu?”


“Ya, dia.”


Nakamura Mio. Teman sekelas Umi sekaligus ketua OSIS baru. Keinginan Umi untuk mengundangnya di saat seperti ini cukup mengejutkan.


Meskipun keduanya sering terlihat mengobrol di kelas, aku jarang mendengar mereka bertemu di luar sekolah atau menghabiskan waktu bersama di hari libur. Kalaupun ada, biasanya hanya untuk urusan penting seperti latihan pertandingan kelas.


Tentu saja, aku tidak keberatan sama sekali soal mengajak Nakamura-san. Kami semua sudah cukup mengenalnya, dan kesempatan ini bisa menjadi ajang untuk mempererat hubungan kami. 


Meskipun karakternya agak unik, dia pada dasarnya orang baik dan menyenangkan.


“Nakamura-san, ya. Aku kaget juga karena tiba-tiba, tapi kalau dia yang datang, aku sih oke banget. Dia memang agak aneh, tapi ngobrol dengannya selalu seru dan nggak pernah bikin bosan,” kata Nitta-san sambil tertawa.


“Aku juga setuju. Sebenarnya enak sih bersantai berlima, tapi kalau cuma satu-dua hari, ramai-ramai akan lebih seru,” tambah Amami-san.


“Ketua OSIS yang baru, kan? Aku sih belum pernah ngobrol langsung, tapi pas dengar pidatonya di upacara kemarin, dia kelihatan menarik. Aku nggak masalah,” jawab Nozomi.


Karena semuanya menerima dengan baik, tak ada alasan bagiku untuk menolak. 


Meski begitu, mungkin nanti aku perlu bertanya lebih lanjut kepada Umi soal alasan mendadak ini.


“Baiklah. Kalau begitu, kami akan menyiapkan makanan dan minuman lebih untuk satu atau dua orang tambahan. Kalau ternyata Nakamura-san tidak bisa ikut, sisanya tinggal dibawa pulang saja,” ujar Houjo-san dengan sikap tenang.


“Terima kasih, Sanae. Nanti aku pasti akan membalas kebaikanmu ini.”


“Begitu? Kalau begitu, aku harus pikir-pikir dulu bagaimana caranya kamu membalas, ya. Anggap saja ini utang satu, oke?” Houjo-san tersenyum licik.


“…Iya, tentu.”


Berhutang berarti hubungan ini akan terus berlanjut. Saat satu utang dibayar, bisa jadi balasan yang terlalu banyak akan berujung pada utang baru. Dengan cara seperti itu, mereka menjaga agar ikatan di antara mereka tak pernah benar-benar berakhir.


Apakah itu cara yang baik atau tidak, aku tak tahu pasti. Tapi sejauh ini, cara itu berjalan dengan baik di antara kami. Jadi, kurasa ini sudah cukup.


“Wah, seru banget! Aku juga mau punya utang sama Umi-chan! Sanae-chan, biar aku yang ganti kali ini, ya?” pinta Nitori-san dengan wajah memelas.


“Hm, boleh saja sih, tapi ini urusan antara aku dan Umi-chan, tahu,” jawab Houjo-san sambil menggoda.


“Ah, Manaka, jangan bikin tambah ribet!” protes Nitori-san.


“Yah, nggak adil! Kalian bertiga asyik sendiri. Umi, aku juga mau utang banyak ke kamu!”


“…Yuu, sebelum itu, kamu harus bayar dulu utang-utang besarmu sejak SD. Udah banyak sekali, kan?” Umi menyipitkan matanya, menatap tajam dengan senyum penuh arti.


“Ugh… A-aku akan… berusaha…” jawab Amami-san dengan suara pelan sambil mengalihkan pandangan.


Keempatnya mulai bercanda lagi, mengingat masa-masa lama yang pernah mereka lalui bersama. Sebagai teman yang baru bergabung sejak SMA, aku dan yang lain hanya bisa menyaksikan mereka dari luar lingkaran itu. 


Tapi, kadang-kadang mengamati seperti ini juga menyenangkan.


Saat suasana mulai tenang, Nitta-san yang duduk di sebelahku tiba-tiba bergumam pelan.


“Nee, Ketua.”


“Hm?”


“Seru, ya, hubungan seperti itu.”


“Ya, kelihatannya begitu. Meski aku sendiri nggak pernah punya teman masa kecil seperti itu, tapi kamu pasti punya, kan?”


“Nggak ada.”


“Oh… eh?”


Jawabannya terlalu santai sampai hampir tak kuperhatikan.


“Kaget, ya? Seki juga begitu, kan?”


“Hmm, nggak juga. Aku punya, sih. cuma, sekolah kami beda, jadi sudah jarang ketemu.”


“Nitta, kamu pindahan, ya?”


“Nggak, kok. Dari lahir sampai sekarang, aku tinggal di kota ini. Jadi, kayaknya aku juga nggak punya hak banyak buat ngomongin orang lain, ya?”


Apakah tidak punya teman masa kecil atau sahabat dekat adalah sesuatu yang aneh? Pertanyaan itu berputar di pikiranku saat aku memandangi senyuman Nitta-san yang samar.


Menurutku, bahkan sekadar mendapatkan teman saja sudah sulit.


“Maaf, maaf. Aku cuma merasa sedikit melankolis karena jadi satu-satunya yang nggak ikut obrolan di kelompok cewek. Tapi, ngomong-ngomong, ngobrol sama dua cowok aja nggak menarik, ya. Aku ikut ke sana, deh. Yuu-chin, tega banget sih ninggalin aku sendirian begini!”


Dengan cepat, Nitta-san menggelengkan kepala, kembali ke sikap biasanya, lalu berlari kecil ke arah Amami-san dan memeluknya erat. 


Meski Nitta-san belum lama berteman dengan keempat gadis dari kelompok Tachibana, tapi dia berhasil masuk ke lingkaran itu dengan mudah, berkat kemampuan komunikasinya yang luar biasa.


Apakah yang dia katakan sebelumnya hanya gurauan semata? Sulit untuk dipastikan.


“...Maki, kita ngobrol juga, yuk? Nggak ada yang bisa kita kerjakan.”


“...Iya.”


Kami, sebagai kelompok cowok, mencoba untuk ikut mengobrol, tetapi obrolan kami jarang cocok. Kalaupun ada, biasanya itu topik yang sulit dibahas di depan para gadis. Akibatnya, percakapan kami terhenti di tengah jalan, dan akhirnya kami hanya duduk diam, menikmati camilan yang disediakan.


Meskipun berkat Umi aku berhasil memiliki ‘pacar,’ sepertinya urusan mencari ‘sahabat’ masih akan jadi perjalanan panjang.


◆   ✧ ₊ ✦ ₊ ✧   ◆


Akhirnya, tiba juga hari yang kami tunggu-tunggu—liburan ke pantai. Setelah libur akhir pekan, kami berkumpul pagi-pagi di rumah Nitori-san dan mulai memuat barang-barang ke dalam mobil.


“Maki, semua barang kita udah masuk. Kamu nggak ada yang ketinggalan? Handuk, barang-barang penting, semuanya sudah di tas, kan?”


“Iya, udah... Eh, tunggu. Aku lupa minum obat anti mabuk perjalanan!”


“Sudah kuduga. Makanya, aku bawa ekstra. Nih, minum sekarang.”


“Terima kasih, Umi. Kamu selalu siap, ya.”


“Hehe, seharusnya nggak perlu khawatir sih, tapi karena kita pakai mobil keluarga Sanae, lebih baik untuk berjaga-jaga. Air minum juga sudah kusiapkan di termos, jadi pakai itu saja.”


“Oke.”


Aku dan Umi sudah biasa berinteraksi seperti ini, jadi teman-teman kami tidak lagi menggodaku atau memperhatikan setiap gerak-gerik kami. Hubungan kami sudah cukup akrab, dan tidak ada yang merasa aneh dengan sikap kami.


“Hm, barang-barangnya sudah hampir selesai dimuat, ya. Umi-chan, sepertinya Nakamura-san belum sampai?” tanya Nitori-san sambil memeriksa daftar barang.


“Oh, iya. Dia sempat nyasar di jalan tadi, tapi... Ah, itu dia! Nakamura-san, sini!”


Umi melambaikan tangan, dan Nakamura-san, yang berjalan mendekat, membalas dengan senyum. 


Awalnya aku tidak mengenalinya karena hari ini dia tidak memakai kacamata, tapi senyum ramah itu jelas milik Nakamura-san.


“Maaf ya, teman-teman. Sudah diundang mendadak, malah telat pula,” katanya dengan santai.


“Ah, Nakamura-san! Lupakan urusan OSIS dulu, hari ini kita bersenang-senang, ya!”


“Pastinya. Kapan lagi aku bisa menikmati liburan dua hari di Villa orang kaya? Bagi rakyat jelata sepertiku, kesempatan seperti ini sangatlah amat langka. Benar, kan, Souji?”


“Senpai, aku juga senang sih, tapi... Bukannya lebih baik kalau kata-katamu disampaikan dengan lebih halus?” jawab Takizawa-kun, wakil ketua OSIS, yang ternyata ikut bergabung.


Umi rupanya tak hanya mengundang Nakamura-san, tapi juga Takizawa-kun. Semua teman sudah diberi tahu, tapi tampaknya Nitta-san tak terlalu memperhatikan pesan tersebut. Dia menganggap itu bukan urusannya, dan kini terlihat jelas betapa terkejutnya dia.


“Eh... tunggu... Ketua! Ketua! Kamu beneran ngundang Takizawa-kun?” serunya panik sambil mendorongku dengan sikutnya.


“Aduh... Tenanglah, Nitta-san. Aku ngerti, kok. Tapi, coba kamu tenang dulu.”


“Nggak bisa! Ini gawat! Aku pikir kita cuma main dengan kelompok yang biasa, makanya aku santai dan nggak dandan sama sekali! Aduh, gimana ini?”


Dia buru-buru mengeluarkan cermin kecil dan merapikan penampilannya dengan panik. Di sisi lain, tidak ada yang aneh dengan kehadiran Takizawa-kun. Umi memang sudah mengundangnya, dan semua orang seharusnya sudah tahu.


“Terima kasih banyak sudah mengajakku, Senpai. Ini pertama kalinya aku ikut kegiatan seramai ini, jadi sejak dihubungi oleh Umi-senpai, aku benar-benar menantikannya.”


Kata-kata Takizawa-kun disampaikan dengan senyum tulus, menunjukkan bahwa dia juga sangat antusias dengan perjalanan ini.



“Oh begitu. Kalau begitu, sebagai senior, aku harus memastikan adik kelas bisa menikmati waktu mereka. Aku Amami-san Yuu. Senang bertemu denganmu, Takizawa-kun.”


“Ya, Amami-senpai. Senang bertemu dengan Anda. Mohon bimbingannya di masa mendatang.”


Amami-san dan Takizawa-kun bertukar salam dengan sangat alami dan menyenangkan. Pemandangan itu tampak begitu serasi, seolah-olah adegan dari sampul majalah model. 


Amami-san, gadis yang dikenal sebagai salah satu yang tercantik di sekolah, dan Takizawa-kun, siswa baru yang akhir-akhir ini sering jadi pembicaraan. 


Namun, di antara kami, ada satu orang yang tak bisa menyembunyikan perasaannya saat melihat pemandangan itu.


“……...”


“Eh, Nozomi juga? A-aduuuh, sakit, sakit. Tenang, aku selalu ada di pihakmu kok.”


Seperti Nitta-san sebelumnya, Nozomi mulai menyikutku, seolah-olah ingin menyampaikan sesuatu. 


Aku bisa memahami keresahannya. Amami-san dan Takizawa-kun terlihat begitu serasi, seperti pasangan ideal. Meski aku tak tahu apa yang sebenarnya ada di pikiran mereka, siapa pun yang melihat pemandangan ini pasti akan merasa ada kecocokan antara mereka.


Bagi Nozomi—yang pernah ditolak oleh Amami-san dan masih terus menyimpan perasaan padanya (meski sudah jelas terlihat oleh semua orang)—kehadiran Takizawa-kun bisa dibilang seperti kemunculan pesaing yang tangguh.


Saat aku masih memikirkan hal itu, Nakamura-san datang mendekat dengan senyum jahil di wajahnya.


“Hehe, gimana? Keren kan, junior dari klub kami? Kamu setuju, kan, Ace dari klub baseball, Seki-kun?”


“Iya sih... Tapi ketua, gimana denganmu sendiri? Kamu biarin gitu aja? Yah, walaupun dia memang junior yang manis, tapi bisa-bisa dia jadi suka sama Amami-san.”


“Terima kasih atas perhatiannya. Tapi itu bukan urusanku. Aku nggak berhak mengatur perasaan orang lain. Selama dia nggak jatuh ke tangan cewek yang nggak baik, aku nggak mempermasalahkannya. Kalau itu Amami-chan, aku yakin semuanya baik-baik saja. Yah, dia memang sedikit ceroboh dan suka bertindak bodoh, tapi Souji pasti bisa menerima itu. Karena dari dulu, dia itu anak yang sangat baik hati.”


“Wah, kamu kelihatan sangat mempercayainya, ya.”


“Tentu saja. Dia adalah junior yang sangat kubanggakan. Aku sudah mengenalnya sejak kecil.”


Meski ekspresinya terlihat seperti menggoda, aku merasa Nakamura-san benar-benar tulus menyayangi Takizawa-kun. Dia tampak berusaha tetap menganggap Takizawa-kun sebagai adik kelas yang berharga, tidak lebih. 


Aku tak tahu seperti apa masa lalu Takizawa-kun saat SMP, tapi kalau sekarang dia terlihat sangat berbeda, wajar jika banyak yang mulai melihatnya sebagai sosok yang menarik secara romantis.


Namun, ikatan seperti teman masa kecil atau hubungan senior-junior sering kali jadi penghalang untuk melangkah lebih jauh. 


Mungkin itulah yang membuat hubungan mereka tak berkembang ke arah romantis.


◆   ✧ ₊ ✦ ₊ ✧   ◆


Setelah semua barang dimuat dan salam perkenalan selesai, kami pun bersiap berangkat ke Villa. 


Karena ada tujuh orang dan barang bawaannya jadi makin banyak, kami memutuskan akan pergi dengan dua mobil. 


Sesuai rencana, kedua mobil akan dikendarai oleh sopir dari keluarga Nitori dan keluarga Houjo.


Masing-masing mobil bisa memuat lima orang, jadi seharusnya kami bisa membagi tiga orang di satu mobil dan empat orang di mobil lainnya. Tapi...


“Eh, kalian mau naik mobil yang mana? Aku sih pengin bareng Umi. Boleh, kan, Umi?”


“Tentu. Kalau begitu, aku, Maki, dan Yuu satu mobil. Sisanya di mobil yang satunya. Aku harus tetap di dekat Maki biar bisa membantu kalau dia mabuk perjalanan.”


“Hoo, Asanagi-chan perhatian banget, ya. Padahal, aku sih lebih suka kalau kita berempat, para cewek, ngobrol bareng di satu mobil. Lagian, kalau begitu, para cowok nggak perlu canggung. Gimana, Souji?”


“Aku sih bebas. Tapi, kalau boleh jujur, aku ingin lebih banyak ngobrol dengan Seki-senpai dan Maehara-senpai. Mereka berdua sangat kuhormati.”


“Oh... K-kalau begitu, aku nggak masalah juga. Iya kan, Maki?”


“Nozomi, kamu benar-benar orang yang sederhana, ya... Tapi aku juga nggak keberatan.”


Sebenarnya, pilihan yang paling wajar adalah membagi kami berdasarkan kelompok cewek dan cowok. Tapi karena ada pasangan seperti aku dan Umi, pembagian itu jadi tidak terlalu praktis. 


Kalau mengikuti keinginanku, naik bersama Umi dan Amami-san lebih nyaman, apalagi Umi bisa membantuku kalau mual di jalan.


Namun, kalau kami memutuskan begitu, suasana di mobil yang satunya mungkin jadi canggung, dan aku tidak ingin membuat teman-teman merasa tak nyaman selama perjalanan.


Kombinasi senior-junior antara Nakamura-san dan Takizawa-kun sejak masa SMP memang terlihat baik-baik saja. Namun, dengan kehadiran Takizawa-kun, situasi menjadi lebih rumit: Nitta-san menatap dengan mata berbinar penuh ketertarikan, sementara Nozomi, yang tampak kurang cocok dengan Nakamura-san, jelas memperlihatkan ketidaksukaannya pada Takizawa-kun. 


Takizawa-kun memang menghormati kami para senior lebih dari yang kami harapkan. Kalau suasana jadi tegang, mungkin dia bisa meredamnya. Namun, sebagai senior, tentu tidak baik membiarkan adik kelas menanggung beban seperti itu.


Seandainya hanya berlima seperti biasa, kami tidak perlu memikirkan hal-hal ini. Tapi saat sedang mempertimbangkan pembagian mobil, Nitta-san tiba-tiba menyodok punggungku.


“Uh... ketua, boleh bicara sebentar?”


“Hm? Ada apa, Nitta-san?”


“Aku juga punya permintaan soal mobil yang mau kutumpangi...”


“Oh, tentu. Kamu ingin satu mobil dengan Takizawa-kun, kan?”


“Bukan... malah sebaliknya, sebenarnya...”


“Eh?”


Berarti dia ingin menghindari berada di mobil yang sama dengan Takizawa-kun. Mengingat cara Nitta-san bersikap sebelumnya, kukira dia pasti akan berusaha sekuat mungkin agar bisa duduk di dekat Takizawa-kun.


“Boleh aku tanya kenapa? Kamu benar-benar tidak mau satu mobil dengannya?”


“Tentu saja aku mau. Menurutku dia cowok paling keren yang pernah aku temui. Kalau bisa lebih dekat dengannya, aku bahkan mungkin lupa soal renang atau apapun juga.”


“Kalau begitu, bukankah kamu seharusnya justru satu mobil dengannya?”


“Aw sakit, sakit, jangan cubit aku! Kenapa sih kalian suka nyerang pinggang?”


Entah kenapa, baik Umi maupun Nitta-san sering menyerang pinggangku. Apakah aku memang punya titik lemah di sana? 


Namun, kupikirkan nanti saja soal itu. Sekarang, Nitta-san menatapku dengan wajah cemberut.


“Ketua, kamu tuh nggak paham sama sekali soal perasaan cewek, ya? Padahal kamu satu-satunya yang punya pacar.”


“Ya, syukurnya hubungan kami baik-baik saja...”


Soal Umi, dia selalu mengungkapkan perasaannya dengan jujur, jadi aku hanya perlu menerimanya apa adanya tanpa harus terlalu banyak berpikir. 


Meski aku mungkin tidak paham tentang perasaan perempuan pada umumnya, aku cukup mengerti perasaan Umi dan terus belajar agar hubungan kami berjalan baik.


“Maksudku gini, ketua, aku juga bisa gugup, lho. Bayangin deh, kayak kalau kamu duduk di sebelah selebriti atau orang yang kamu kagumi. Rasanya senang, tapi di sisi lain, kamu jadi mikir ‘Harus ngomong apa ya?’ atau ‘Jangan-jangan aku bakal bilang hal yang salah dan dia jadi membenciku.’ Akhirnya malah nggak ngomong apa-apa sampai selesai. Kamu pernah ngalamin kayak gitu?”


“Hmm… mungkin aku nggak pernah sih. Tapi, aku bisa membayangkannya.”


Jadi, bagi Nitta-san, Takizawa-kun adalah sosok yang begitu penting. Dia ingin berhati-hati dan tidak ingin terburu-buru mendekatinya. 


Mungkin dia berencana mendekat secara perlahan saat renang atau barbeque nanti. Kukira dia akan lebih agresif terhadap cowok, tapi melihatnya kini gugup dan memintaku secara sembunyi-sembunyi cukup mengejutkan.


“Pokoknya, begitulah permintaanku. Jadi kita atur aja: aku, kamu, Umi, dan Yuu-chan di satu mobil. Lalu, Nakamura-san, Takizawa-kun, dan Nozomi di mobil lain. Beres, kan?”


“Setidaknya panggil Nozomi dengan nama Seki.”


Jika kuperhatikan sejauh ini, berikut pembagian dan permintaan dari masing-masing:


Aku: Selama bersama Umi, aku fleksibel dengan siapa pun.


Umi: Harus bersamaku, tanpa kompromi.


Amami-san: Ingin bersama Umi (mungkin lebih nyaman).


Nitta-san: Ingin terpisah dari Takizawa-kun.


Sisanya: Belum ada permintaan khusus (atau tidak jelas).



Meski tujuan utama kami adalah liburan, siapa yang naik mobil bersama siapa juga cukup penting, karena perjalanan yang panjang bisa mempengaruhi suasana selama dua hari ke depan.


Sesuai dengan usulan Nitta-san, pembagian tadi memang yang paling masuk akal. Namun, kalau begitu, tiga orang lainnya bisa merasa terisolasi. Aku ingin memastikan semuanya menikmati perjalanan ini, jadi aku harus mempertimbangkan lagi sebelum membuat keputusan akhir.


Mungkin aku juga termasuk di dalamnya, tapi kalau dipikir-pikir, sepertinya kami semua cukup egois. Dan yang paling dewasa di antara kami adalah Nozomi.


“Maehara, persiapan sudah selesai, jadi ayo kita berangkat. Soal pembagian kelompok di mobil, kami serahkan padamu sebagai pemimpin. Kamu setuju juga, Takizawa-kun?”


“Ya. Ehm, Maehara-senpai, tolong jangan terlalu memikirkan aku. Sesuaikan saja dengan rencana yang terbaik menurut senpai.”


“Jadi, aku memang dianggap sebagai pemimpin di sini, ya...? Yah, dari tadi juga sudah mulai terasa.”


Bertahan terlalu lama di halaman rumah Nitori-san bukanlah ide bagus, jadi lebih baik aku putuskan semuanya sekarang. 


Tidak mungkin bisa memenuhi keinginan semua orang, tapi kalau aku yang mengambil keputusan dengan matang, kurasa tidak akan ada masalah.


“Baiklah, mobil pertama: aku, Umi, Nakamura-san, dan Takizawa-kun. Mobil satunya lagi: Amami-san, Nitta-san, dan Nozomi. Gimana? Setuju?”


Karena tidak ada yang mengajukan protes, kurasa semua setuju dengan pembagian ini. Mengatur kelompok besar seperti ini ternyata lebih melelahkan daripada yang kubayangkan.


“Huaah, sayang sekali... Aku harus terpisah dari Umi, ya.”


“Soalnya nggak bisa dihindari soal jumlah. Nanti pas perjalanan pulang kita satu mobil, jadi sabar dulu ya?”


“...Janji, ya?”


“Iya, janji. Mau pake janji kelingking sekalian?”


“Ehehe, ayo kalau gitu.”


Amami-san memang harus menahan diri sekarang, tapi aku akan memastikan dia bisa menikmati perjalanan pulang bersama Umi nanti.


“Nozomi, kamu duduk di kursi depan, ya. Dan kalau sampai kamu bilang mau duduk di sebelah Yuu-chin, aku lempar kamu dari jendela.”


“Iya, iya, aku paham. Lagipula... jujur, aku juga lebih nyaman begini.”


“Hah? Tadi ngomong apa?”


“Eh, nggak, nggak apa-apa...”


Ketiga orang di mobil itu mungkin akan baik-baik saja tanpa perlu banyak pengawasan. Walaupun Nozomi cenderung pendiam kalau Amami-san ada di dekatnya, Nitta-san pasti bisa mencairkan suasana.


Masalah yang tersisa justru ada padaku, si “pemimpin” yang ditunjuk secara tidak resmi ini.


“Maehara-kun, meski kita beda kelas, ayo kita akur selama perjalanan ini.”


“Senpai, sekali lagi, aku harap kerja sama kita berjalan baik.”


“Eh, iya... A-aku akan... berusaha?”


“Sudahlah, Maki. Mereka berdua baik, jadi tarik napas dulu, tenanglah sedikit.”


Meskipun aku sendiri yang menentukan pembagian ini, rasanya tetap saja menegangkan. Menghabiskan waktu berjam-jam di mobil bersama Nakamura-san dan Takizawa-kun—yang tidak terlalu kukenal—membuatku kembali merasa seperti anak penyendiri di masa lalu.


Selama Umi ada di sampingku, aku merasa masih bisa bertahan, tapi aku tahu kalau di masa depan, aku tidak bisa terus bergantung padanya.


Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada Nitori-san dan Houjo-san, yang tidak bisa ikut karena harus mengikuti kompetisi, kami pun akhirnya berangkat. Dua mobil kami meluncur dengan aman menuju Villa di pinggir pantai.


Dari luar, mobil ini memang sudah terlihat seperti kendaraan mewah. Namun, saat duduk di kursinya, aku benar-benar menyadari betapa jauh perbedaan antara mobil ini dengan kendaraan yang biasa kami naiki.


“Nee, Maki! Di samping kursi ini ada kulkas kecil. Air dan jus di dalamnya boleh diminum nggak ya?”


“Wow, kursi belakangnya juga ada TV, dan aplikasi streaming-nya lengkap. Ayo, Souji, kita nikmati! Kapan lagi kita yang rakyat biasa bisa merasakan ini?”


“Ah, nggak apa-apa. Kalian nikmati saja, Umi-senpai. Maehara-senpai, maaf kalau ketua kami merepotkan.”


“Ah, nggak masalah. Aku juga sama kayak kalian, kok.”


Di grup chat kami, foto-foto fasilitas mobil ini sudah mulai bermunculan, hasil unggahan Amami-san atau Nitta-san. Mereka berdua selalu menyelipkan wajah dalam foto, ciri khas dari kelompok itu.


Sebelum berangkat, aku sempat khawatir bagaimana cara memecah suasana, tapi tampaknya kekhawatiranku tidak diperlukan.


“Ngomong-ngomong, soal kerjaan OSIS nggak masalah, kan?”


“Sibuk sih, tapi karena ini liburan musim panas, sesekali harus main juga. Biasanya, aku malah menghabiskan musim panas sendirian, jadi terima kasih karena sudah mengajakku.”


“Eh, Nakamura-san sendirian? Aku kira kamu punya rencana bareng Ryoko-san dan yang lain...”


“Nggak seperti aku, yang nggak punya klub dan hobi khusus, mereka lumayan sibuk. Ryoko-chan sibuk dengan klubnya, Miku-chan ada jadwal manggung dengan band di luar sekolah, dan Kaede-chan ikut acara Comiket. Jadi, sekarang ini yang masih mau menemani aku ya cuma Asanagi-chan.”


Mungkin memang begitu jadinya kalau seseorang terlibat dalam banyak aktivitas, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Justru kelompokku yang aneh—yang tetap kompak berlima dan bahkan merencanakan perjalanan menginap bersama.


Mendengar kisah seperti ini, aku semakin sadar betapa diriku yang ketinggalan dalam pergaulan. Bermain dengan teman-teman memang menyenangkan, tapi sepertinya masa-masa seperti itu harusnya sudah dijalani dengan maksimal saat SD atau SMP.


“Eh, Takizawa-kun, kamu nggak apa-apa ikut kami? Jujur, aku nggak terlalu paham, karena selama ini aku jarang bergaul. Tapi... biasanya nggak kangen sama teman-teman SMP?”


“Beberapa teman sih begitu. Soalnya, pas masuk SMA, banyak yang terpencar ke sekolah berbeda. Kadang-kadang, ada juga yang merasa kesepian.”


“Oh... jadi kamu nggak begitu, ya?”


“Aku nggak terlalu merasa kehilangan. Lagipula, aku juga tipe orang yang jarang keluar rumah.”


“Begitu, ya...”


Aku merasa tidak sepatutnya menggali lebih dalam, jadi kuputuskan untuk mengganti topik. Jika Umi dan Amami-san saja memiliki masalah dalam pergaulan, tentu Takizawa-kun juga punya masa lalu atau rahasia yang tidak ingin ia ungkap.


Penampilan menarik dan populer di mata orang lain tidak berarti hidupnya bebas dari masalah.


“Oh iya, hari ini kan rencananya kita berenang. Asanagi-chan, kamu sudah beli baju renang baru buat impress Maehara, kan? Yang seksi, ya?”


“Jangan bilang yang aneh-aneh. Terus, Nakamura-san sendiri gimana? Jangan-jangan kamu nggak bawa baju renang karena nggak ikut berenang, ya?”


“Bawa kok. Nih, baju renang sekolah. Masih yang dari SMP.”


“Hah...?”


Nakamura mengeluarkan baju renang berlabel nama “Nakamura” di bagian dada, jelas terlihat sebagai baju renang dari sekolah. Itu pilihan yang benar-benar mencerminkan dirinya, tapi aku tidak menyangka dia akan membawa sesuatu dari masa SMP.


Karena SMA kami tidak ada kelas renang, tidak ada seragam resmi untuk olahraga air, jadi wajar jika dia memilih ini. 


Mungkin ia mempertimbangkan kepraktisan—karena bentuk tubuhnya tidak banyak berubah, dan merasa baju itu masih muat. Namun, bahkan Umi pun terlihat sedikit bingung melihatnya.


“Heh? Kenapa? Baju renang sekolah itu kan fungsional dan kuat. Iya, kan, Maehara?”


“Ehm... kalau ditanya begitu... ya, beli baju baru memang butuh biaya. Jadi, ya... terserah masing-masing, kan? Benar, Takizawa-kun?”


“Ah! I-iya, benar... ahaha...”


Karena tidak tahan dengan tekanan diam-diam dari Umi—yang mencubit pinggangku tanpa suara—aku spontan melibatkan Takizawa-kun dalam percakapan. 


Namun, ekspresi Takizawa-kun yang tiba-tiba memerah membuatku sadar.

Dari awal, aku sudah curiga bahwa Takizawa-kun tertarik pada Nakamura-san, dan sekarang hal itu semakin jelas.


Tentu saja, mungkin Nakamura-san memiliki sisi manis yang hanya diperlihatkan kepada orang tertentu. Tapi sejauh ini, perasaannya tampak lebih kuat dari yang ia biarkan terlihat.


Melihat Takizawa-kun seperti ini, aku merasa tergoda untuk mendukung kisah cintanya. Mungkin, Umi juga mengundang mereka berdua karena alasan itu.


“Nah, aku sudah memperlihatkan punyaku. Sekarang giliran Asanagi-chan menunjukkan baju renangmu. Yang sudah kamu siapkan buat duel dengan Maehara, kan?”


“Jangan ngomong seperti itu! O-oke, tapi cuma Nakamura-san yang boleh lihat, ya...”


Saat itu juga, aku dan Takizawa-kun, yang masing-masing duduk di kursi depan dan dekat jendela belakang, dengan kompak mengalihkan pandangan ke luar.


Kami berdua berpura-pura menikmati pemandangan jalan tol, menghindari apa pun yang akan terjadi selanjutnya.


Aku bisa menebak bahwa Umi kemungkinan membawa bikini berwarna biru tua yang dibelinya bulan lalu. 


Namun, gumaman Nakamura-san yang sesekali terdengar membuatku sedikit terganggu.


“O-oh... Asanagi-chan, aku nggak bermaksud macam-macam, tapi ini lumayan... mesum, ya.”


“Nakamura-san, kayaknya caramu ngomongmu jadi beda, ya? Ng-nggak apa-apa, kan? Lagipula, aku bawa hoodie buat dipakai di atasnya.”


“Oh, jadi kalau nanti berduaan sama Maehara kamu akan lepas hoodie itu, ya? Baiklah, aku paham. Serahkan Amami-san dan yang lain padaku dan Souji. Kalian berdua bisa nikmati waktu berdua dengan tenang.”


“Jangan asal bicara gitu, Mio-senpai... Kalau keterlaluan, nanti mulutmu bisa dijahit, lho.”


“Kamu pasti sering kewalahan, ya, Wakil Ketua?”


“Yah, itu memang bagian dari tugasku.”


Meskipun ia hanya tersenyum kecut, Takizawa-kun tampak benar-benar menikmati suasana ini. Mungkin tidak semua orang bisa cocok dengan kepribadian Nakamura-san, tapi tampaknya Takizawa-kun justru menyukai sisi lain itu darinya.


“Hoo? Sudah lama tak bertemu ternyata Souji jadi makin berani sekarang. Oke, dalam dua hari ini, aku akan ajarkan padamu lagi apa itu hubungan senior-junior!”


“Aku siap kapan saja! Setahun terakhir ini, aku juga sudah banyak berkembang. Jadi, silakan lihat sendiri, Senpai.”


“Oh, begitu? Kalau begitu, bagaimana kalau sekarang langsung buka celana dan ─ hmmph!”


“Nakamura-san? Sudahi sampai di sini, ya?”


“Mmm...!”


Mungkin merasa situasi mulai keterlaluan, Umi—yang biasanya hanya melakukan ini pada Nitta-san—kali ini menjatuhkan iron claw-nya tepat di kepala Nakamura. Sepertinya perjalanan dua hari ini akan penuh tawa dan kekacauan. Namun, aku juga bisa membayangkan betapa lelahnya kami nanti setelah semuanya selesai.


◆   ✧ ₊ ✦ ₊ ✧   ◆


Dengan Umi yang berhasil menenangkan suasana, mobil yang membawa kami pun tiba di Villa tepi pantai. 


Villa ini dirancang untuk menampung banyak orang dan bahkan tidak kalah megah dibanding rumah keluarga Nitori-san. Garasinya luas, cukup untuk beberapa mobil. Di luar, ada kolam renang dan lapangan basket, sementara di dalam Villa terdapat ruang kebugaran lengkap dengan berbagai alat olahraga. Tempat ini benar-benar memberikan kesan mewah dan nyaman.


Kami meletakkan semua barang di ruang tamu yang luas, lalu bergegas menuju pantai. Hanya butuh beberapa detik berjalan menuruni tangga dari Villa hingga mencapai pasir pantai.


“...Bagaimana, Maki?”


“...Luar biasa.”


Begitu aku menggenggam tangan Umi dan menginjakkan kaki di pasir pantai, hanya kata itu yang keluar dari mulutku. 


Sebenarnya, ada banyak cara untuk menggambarkan pemandangan ini, tapi hanya kata “luar biasa” yang terasa paling pas.


Pantai ini terbentuk secara alami selama bertahun-tahun karena ombak dan proses erosi yang tersembunyi di balik pepohonan hijau. Air lautnya jernih berwarna zamrud, memantulkan cahaya matahari musim panas dan berkilauan indah. Meskipun tidak luas, pantai ini lebih dari cukup untuk kami.


Ada juga beberapa batu besar di sana-sini, tempat yang cocok untuk istirahat dan... mungkin bisa jadi lokasi untuk menyelinap berduaan sebentar—tentu saja, tetap dalam batas wajar.


“Hmm, aroma lautnya nyaman sekali... Udah lama nggak ke sini, tapi tempat ini masih luar biasa. Eh, Umi, meskipun sebentar lagi makan siang, gimana kalau kita main dulu? Aku nggak tahan, lho, sampai-sampai udah pakai baju renang dari tadi di balik bajuku.”


Entah karena terlalu antusias dengan suasana pantai privat ini atau memang sudah lama menantikannya, tiba-tiba Amami-san melepas kausnya.


“Eh!? Yuu, aku ngerti kamu lagi semangat-semangatnya, tapi ganti bajunya kan bisa di kamar dulu... Dan kalian, jangan bengong aja! Siapkan peralatan!”


“Baik, siap! Ayo, Takizawa-kun, kita ambilkan barang-barangnya.”


“Oke... Tapi serius, Amami-san bikin jantungku hampir copot.”


Sementara para gadis kembali ke Villa untuk berganti baju, aku dan yang lain mulai mempersiapkan peralatan seperti parasol dan kotak pendingin minuman. Dengan begini, kami bisa menikmati hari ini sepenuhnya.


Saat kami bertiga cepat-cepat berganti pakaian renang di atas pasir dan menyiapkan tempat untuk keempat gadis yang akan datang, Nozomi tiba-tiba menepuk pundakku dan berbisik pelan.


“Eh, Maki... Dari awal sih aku udah menduga, tapi Amami-san... gimana ya, dia benar-benar luar biasa.”


“Yah... Amami-san memang punya postur yang bagus.”


Aku sebenarnya tidak terlalu memperhatikan secara detail, tapi berdasarkan cerita teman-teman saat kelas olahraga, penampilan Amami-san memang cukup menonjol.


Meskipun pesona seseorang tidak bisa hanya diukur dari penampilan atau bentuk tubuhnya, di usia seperti kami ini, wajar saja jika perhatian sering kali tertuju pada hal-hal semacam itu. Jadi, aku bisa memahami kenapa Nozomi sampai terkesan seperti itu.



…Sekarang aku memang berbicara dengan santai, tetapi bahkan aku tidak bisa memikirkan hal lain ketika melihat Umi mengenakan pakaian renang di depan mataku.


Setelah itu, bersama para pelayan yang ikut menemani kami, kami pun mulai menyiapkan makan siang berupa barbeque sambil menunggu beberapa menit.


“──Ehehe, maaf membuat kalian para pria menunggu! Kami juga sudah mempersiapkan banyak hal, lho~!”


Amami-san, yang berada di depan, dengan percaya diri memamerkan pakaian renangnya yang menawan. Di belakangnya, tiga gadis lain yang sudah berganti pakaian renang bergabung dengan kami. 


Mereka membawa bola pantai, pelampung berbentuk hiu, dan pistol air—semua perlengkapan yang menunjukkan semangat penuh untuk menikmati hari di pantai.


“Maaf sudah membuatmu menunggu, Maki. Terima kasih sudah menyiapkan semuanya.”


“Ya... Umi, hari ini kau mengenakan jaket pelindung, ya? Itu namanya rash guard, bukan?”


“Benar, itu namanya. Tapi di baliknya, aku tetap mengenakan ‘itu,’ kok.”


“Ah, ya... ‘Itu,’ ya...”


Meskipun aku sudah melihatnya saat kami berbelanja bulan lalu dan juga saat perjalanan sebelumnya, tetap saja penampilan Umi dengan pakaian renang selalu membuat hatiku berdebar dan perasaan gembira meledak.


Meskipun aku tidak merasakan apa-apa saat melihat Amami-san, wajah Umi yang sedikit memerah membuat jantungku berdegup kencang dan sulit tenang.


“Heii, kalian berdua! Ini masih siang bolong, tahu! Kalian sadar itu, kan?”


“Pantai sepi tanpa orang asing, tempat tenang di balik batu atau bayangan pohon, berduaan dengan pasangan tanpa gangguan… Hm, jadi ini yang orang-orang sebut sebagai masa…”


“Eh? Nakamura-san, ‘masa’ apa?”


“Yuu, jangan terlalu ditanggapi perkataannya. Ayo, kita bermain saja! Maki, kamu jangan melamun terus.”


“Ya, baiklah. Karena sudah di sini, aku akan ikut bermain juga.”


Aku masuk ke dalam air dengan dipandu Umi. 


Karena aku tidak terlalu pandai berenang, aku tidak pergi terlalu jauh ke tengah. Namun, sekadar mengapung di atas pelampung sudah cukup membuatku merasa nyaman.


Air laut yang dingin terasa pas untuk menenangkan kepalaku yang sempat panas karena membayangkan kulit Umi di balik jaket rash guard-nya.


“Orya, orya! Yuu-chin, kena kau!”


“Uwaa... Kalau Nina-chan tidak menahan diri, aku juga tidak akan kalah! Doryaa!”


“Ahh! Amami-chan, aku kan temanmu! Jangan ikut-ikutan menyerangku!”


“Takizawa-kun, bagaimana kalau kita balapan sampai ke batu di sana? Kau bisa berenang, kan?”


“Siap! Walaupun aku junior, aku akan berusaha semampuku.”


Para gadis bermain ciprat-cipratan di air dangkal, sementara para pria balapan menuju laut yang lebih dalam. Semua orang menikmati hari di pantai tanpa khawatir dengan pandangan orang lain, seolah-olah kembali ke masa kecil.


“Maki, bagaimana kalau kita berenang sebentar? Di sekitar batu sana, mungkin ada ikan-ikan cantik.”


“Sepertinya begitu. Peralatannya juga sudah disiapkan. Ayo kita nikmati ini bersama.”


Setelah kembali ke bawah payung untuk mengambil perlengkapan snorkeling, aku dan Umi memutuskan untuk menjelajahi kehidupan bawah laut bersama.


Walau situasinya membuat kami berduaan, Amami-san dan yang lain tampaknya sengaja memberi kami ruang dengan pura-pura mengolok-olok sebagai pasangan mesra.


“Selama kau menggigit erat mouthpiece-nya, tidak akan ada masalah. Bernapaslah perlahan dan tenang, ya? Kalau sampai terminum air laut atau ada masalah lain, segera beri tahu aku, oke?”


“Ya, mengerti.”


Supaya tidak terpisah, aku dan Umi saling berpegangan tangan erat. 


Ini adalah pengalaman snorkeling pertamaku, dan meskipun peralatannya sederhana, aku mulai dengan membiasakan diri bernapas sambil menempelkan wajah ke permukaan air.


(…Oke?) 👌? 


(Ya, oke.) 👌


Sambil bertukar isyarat mata dan tanda tangan, aku dan Umi menelusuri celah-celah batu, sesekali melihat ikan-ikan kecil berenang melintas di sudut pandang kami.


(Jadi begini ya, dunia bawah laut…)


Meskipun sebelumnya aku hanya melihatnya di televisi, tapibmenyaksikannya langsung adalah pengalaman pertama yang membuatku sangat kagum. 


Tanpa perlu mencari sesuatu yang istimewa, setiap pemandangan yang kulihat terasa begitu baru dan menakjubkan.


Ikan berwarna cerah berenang di antara celah-celah batu, sementara makhluk laut lainnya dan tumbuhan seperti rumput laut berdiam tenang di dasar laut. Dunia penuh warna dan keindahan itu terbentang di depan mataku.


“…Puh!”


“Fuh… Maki, bagaimana? Apa kau menikmati pengalaman pertama di pantai?”


“Yah, lumayan.”


“Ah, tsundere sekali. Sekarang ini hanya kita berdua, jadi kau bisa tertawa ceria seperti anak kecil, kan?”


“…Saat ini, aku justru ingin merasakan ini sendirian.”


“Begitu. Kalau begitu, aku tidak perlu melepas rash guard ini.”


“…Kenapa pemikiran itu bisa muncul?”


Sekarang adalah kesempatan untuk bermesraan, tetapi Umi selalu menjadi sedikit nakal di saat-saat seperti ini.


Umi mengungkapkan hal itu, dan kini pikiranku yang tadinya dipenuhi dengan keindahan pemandangan bawah laut menjadi sepenuhnya terisi dengan gambaran dirinya dalam bikini.


Pada akhirnya, aku juga adalah seorang remaja laki-laki yang sehat.


Setelah selesai snorkeling, kami berdua perlahan-lahan bergerak menuju arah bebatuan yang kasar, berusaha agar tidak terlihat oleh yang lain. 


Meskipun mungkin mereka sudah tahu, teman-teman kami hanya melirik sejenak sebelum kembali bermain, jadi tidak masalah.


Setelah ini, pasti kami akan digoda habis-habisan.


Aku tahu kalau kami akan diolok-olok oleh mereka, tetapi jika kami tidak sampai pada titik itu, berarti kami tidak akan disebut sebagai pasangan bodoh.


“Umi, hati-hati ya, di sini batu-batunya licin.”


“Ya, aku akan menempel padamu agar tidak terjatuh.”


Kami bergerak ke lokasi yang agak tersembunyi dari lima orang teman kami dan duduk berdampingan di atas batu yang relatif datar dan nyaman.


“Uh… sebaiknya aku menghadap ke sana, ya?”


“Begitu… eh, tidak, tunggu sebentar.”


“Mm?”


Umi tiba-tiba memegang wajahku dengan kedua tangannya dan menarikku ke arahnya.


“U-Umi, ada apa?”


“…Um,”


Sepertinya dia akan mengungkapkan sesuatu yang berani.


Ketika dia mengalihkan pandangan dan wajahnya memerah hingga ke leher, itu pertanda bahwa dia sedang memikirkan sesuatu yang berani. 


Aku teringat saat kami berendam di onsen campuran beberapa waktu lalu, dia menunjukkan ekspresi yang sama.


“Kalau kau ingin melihatnya, Maki bisa membukanya… maksudku…”


“…Jadi, itu berarti rash guard yang kau kenakan sekarang...”


“Tentu saja.”


“Tapi, jika Maki benar-benar ingin membukanya lebih banyak atau melakukan hal-hal mesum, aku…” tambahnya


“Eh, tidak, itu terlalu…”


Kalau sudah sampai pada tahap itu, olokan yang kami terima bukanlah hal sepele, jadi aku harus menahan diri untuk tidak terjerumus lebih jauh.


…Kami sedang di pantai, jadi tentu saja kami tidak membawa ‘itu.’


Namun, aku memang menyimpan satu di dompetku hanya untuk berjaga-jaga.


“Tapi, baiklah. Jadi, jika aku… maksudku, membukanya, itu baik-baik saja?”


“Jika Maki benar-benar mau melakukannya.....”


“…Kenapa rasanya kayak aku yang minta?”


Ini semua sudah disepakati, dan jika Umi ingin, aku akan mengikuti kata-katanya tanpa ragu, tetapi rasanya sangat memalukan untuk diucapkan.


Aku baru sadar bahwa seluruh wajahku juga memerah, sama seperti Umi. Jika dibiarkan, sepertinya asap akan keluar dari kepalaku.


“Jadi, aku lakukan ya.”


“U-uhm.”


“Umi, bolehkah aku membukanya?”


“…Ah.”


“Jawablah dengan jelas.”


“Ya, walaupun… tapi, itu…”


Umi hanya bisa terdiam, menundukkan wajahnya dengan ekspresi malu.


Walaupun kami terlihat seperti pasangan bodoh, sebenarnya kami masih cukup polos, sehingga tindakan kami masih terasa canggung.


“Aku tanya sekali lagi, Umi. …Apa aku boleh membuka rash guard ini?”


“…Mm.”


Umi mengangguk pelan dan mendekat ke arahku, tangannya terkulai, menunjukkan bahwa dia dalam keadaan tidak melawan.


“Kalau begitu, aku akan membuka resletingnya, ya?”


“nggak perlu diomongin…”


Sambil merasakan degupan jantungku yang semakin cepat, aku mulai memperlihatkan kulit Umi yang selama ini tersembunyi di balik rash guard.


Suara ombak yang menghantam bebatuan dan suara teman-teman yang berisik di kejauhan seolah menghilang dari pendengaranku.


Segala sarafku seolah terkonsentrasi hanya pada gadis yang kucintai di depanku.


“…Ngugh.”


“Hehe, Maki, kamu baru saja menelan ludah, kan? Gerakan tenggorokanmu jelas sekali!”


“Itu wajar, mengingat gadis yang aku cintai mengenakan bikini.”


Setelah membuka resleting, bikini berwarna biru tua yang dikenakan Umi pun muncul. 


Meskipun bukan pertama kali aku melihatnya, saat ini adalah pemandangan terindah yang pernah ku lihat. 


Aku menyadari bahwa bikini seharusnya dikenakan di pantai atau kolam renang, bukan di ruang ganti toko atau di kamarku.


Tentu saja, ada keindahan tersendiri di situasi lain.


Segera setelah resleting terbuka, perut dan lekuk dada Umi yang putih dan halus menjadi pusat perhatian mataku.


“Ah, Maki, kamu terlalu bernafsu. Nanti aku akan menunjukkan semuanya, jadi jangan hanya berhenti di resleting.”


“U-uh, maaf…”


Saat Umi memberikan jentikan lembut di dahiku, aku dengan hati-hati meletakkan tangan di bahunya dan melepas rash guard yang melindungi tubuh bagian atasnya.


Pemandangan di depanku adalah sesuatu yang jauh lebih menakjubkan dari yang bisa ku bayangkan.


“Maki, bagaimana menurutmu? Aku cantik?”


“Ya. Aku rasa kau sangat cantik, dan… sangat menggoda.”


“Hehe, kamu terlalu jujur. Tapi itu bagus.”


Melihat Umi dalam bikini yang berani ini setelah sebulan terasa sangat menggoda, dan kenyataan bahwa aku hanya bisa melihatnya menambah rasa ingin tahuku. Jika kami benar-benar sendirian dalam situasi ini, aku pasti sudah berbuat lebih jauh.


Di sisi lain, aku bisa merasakan bahwa tubuh Umi sudah siap, terbukti dari tatapannya yang terus menerus mengarah ke ‘itu.’


Walaupun aku merasa malu dan ingin menutupinya, kami berdua telah sepakat untuk tidak menyembunyikan apa pun saat hanya berduaan.


Buktinya, Umi pun kini memutar lengannya ke belakang.


“T-tolong jangan katakan pada yang lain… um, aku… sedikit lebih besar sekarang.”


“Benarkah? Itu nggak masalah bagi ku… malah membuatku senang.”


Sebelumnya, apa yang ditunjukkan Amami-san juga luar biasa, tetapi ketika dilihat dengan seksama, mungkin punya Umi lebih unggul.


Dan aku merasa senang karena hanya aku yang tahu.


“Umi, bisakah kamu sedikit membalikkan badan? Aku ingin melihat punggungmu juga.”


“…Maki, kamu nakal.”


Meskipun ia mengeluh, Umi tetap mengikuti permintaanku dan memalingkan punggung indahnha.


Keindahan kulitnya yang sempurna tidak ada cacatnya, dan aku semakin terpesona.


Tanpa sadar, aku sudah memeluknya dari belakang.


“Ah… meskipun ini bukan pertama kalinya, kamu jadi terangsang, ya?”


“M-maaf. Sebenarnya aku tidak seharusnya, tapi aku nggak bisa menahan diri…”


“Nggak apa-apa, tapi hanya sedikit ya?”


“U-uhm.”


Setelah memastikan Umi menyerahkan dirinya kepadaku, aku memberikan ciuman lembut di lehernya.


Rasa asin dari air laut membuat mulutku terasa aneh seketika, tetapi dalam situasi seperti ini, aku tidak peduli selama Umi tidak mengatakan “tidak.”


“Mm… Maki terlalu egois… aku juga mau…”


Sementara aku terpesona dengan kulit halus Umi, tampaknya dia juga mulai tergerak, membalas dengan menggigit leherku lembut.


Aku tahu teman-teman kami mungkin akan khawatir dan datang memeriksa kami, tetapi meskipun kami sedang bersenang-senang, kami sepenuhnya terjebak dalam dunia kami sendiri.


“Umi, itu….”


“Ada apa? Jika kamu jujur, aku mau mendengarnya.”


“Ya… um, aku ingin melepaskan tali di atas.”


“…Hehe.”


Tanpa mengatakan ya atau tidak, Umi hanya tersenyum kecil pada permintaanku yang penuh kecabulan.


Bikini Umi adalah tipe yang diikat dengan tali, sehingga jika aku melepaskan dua simpul yang mendukung leher dan punggungnya, tidak ada lagi yang akan menutupi kulitnya.


“……Umi, bolehkah aku menyentuhmu sedikit?”


“……Mm.”


Umi tidak mengucapkan lebih dari itu, jadi aku perlahan mulai membuka simpul di lehernya. Dengan lembut, aku meraba bagian pinggang dan sisi tubuhnya, berusaha mengundangnya melalui tindakan, bukan hanya kata-kata, seperti saat kami hampir melanggar batas di jalan setapak ‘Shimizu’ beberapa hari lalu.


Aku mencengkeram simpul yang diikat dengan baik, menghindari agar tidak terlepas selama bermain, dan menariknya sedikit. 


Simpul itu mulai terurai, dan bagian yang menahan payudara Umi perlahan-lahan mengendur, tetapi Umi hanya sedikit meliuk tanpa menunjukkan tanda-tanda keberatan.


Dengan penuh ketegangan, aku berhasil melepaskan simpul pertama sepenuhnya.


Kulit halus Umi dan kelembutan yang terasa dari seluruh tubuhnya, ditambah aroma manis yang samar, membuatku terpesona.


“Maki, apakah teman-teman kita nggak melihat ke sini? Apakah ini aman?”


“Mungkin nggak kelihatan. Tapi kalaupun ada yang melihat, itu semua karena aku yang memintanya, jadi nanti aku yang minta maaf.”


“Jika ini sampai diketahui Sanae dan yang lainnya, mungkin kita bakal dilarang datang lagi…”


Meskipun aku tidak akan melanggar batas terakhir di sini, kami sudah melakukan hampir semua hal dalam perjalanan sebelumnya, jadi tidak ada lagi penghalang psikologis bagi kami.


Biasanya, dalam situasi seperti ini, akan ada sesuatu yang tak terduga terjadi, tetapi hari ini hanya ada teman-teman kami yang benar-benar memahami kami di sekitar.


…Entah bagaimana, semua ini terasa terlalu berlebihan.


Tentu saja, aku akan menikmati perhatian mereka dengan rasa syukur.


Setelah puas menikmati kebersamaan berdua di balik bebatuan, akhirnya kami mulai mendapatkan kembali ketenangan saat aroma sesuatu yang dibakar mulai tercium.


Sementara kami terjebak dalam dunia kami sendiri, kelima teman kami sudah selesai bermain air di pantai dan mulai mengadakan pesta barbeque di tepi pantai.


“──Oh, Maehara, Asanagi-chan, selamat datang kembali. Dari kelihatannya, sepertinya kalian telah menikmati waktu berdua di pantai dengan baik. …Sungguh, membuatku iri!”


“……Maki sama Umi mesra banget!!!.”


“Kalian berdua memang penuh energi, ya. Yah, selama nggak mengganggu, lakukan saja sesuka kalian.”


“……Maki, meskipun kau punya karakter yang berbeda, kau cukup berani juga ternyata.”


“Ahaha… oh, kalau kalian mau, silahkan. Daging dan sayuran hampir semuanya sudah matang.”


Mereka mungkin tidak melihat apa yang kami lakukan, tapi dari ekspresi mereka, jelas mereka tahu apa yang terjadi. Mereka menyambut kami dengan senyum setengah menggoda dan setengah pasrah, memperlakukan kami seperti pasangan bodoh yang tak terpisahkan.


Meski aku sudah berusaha memperbaiki penampilan agar terlihat rapi, namun, rona merah di pipi kami tak bisa disembunyikan, membuat usaha kami berpura-pura tak terjadi apa-apa jadi sia-sia.


Aku merasa seharusnya tidak berlebihan dari awal, tetapi aku tidak menyesalinya.


Setidaknya, aku bisa bertahan tanpa berbuat mesra hingga malam tiba.


“Umi, aku lapar. Haruskah kita makan juga?”


“Y-ya, Yuu bolehkan aku duduk di sebelahmu?”


“Ya, mari kita makan bersama, Umi.”


Sambil mendapat sedikit ejekan dari teman-teman, kami pun bergabung dengan mereka dan mulai menikmati makanan lezat yang dipanggang di atas grill.


Ada steak dengan marbling yang belum pernah kulihat sebelumnya, lidah sapi tebal, tiram dan kerang seukuran telapak tangan, sosis besar, serta sayuran panggang khas barbeque.


…Sebagian besar makanan ini ditanggung oleh keluarga Nitori-san dan yang lainnya, tetapi melihat porsi yang sangat melimpah untuk tujuh remaja yang sedang masa perkembangan, aku tidak bisa tidak bertanya-tanya berapa banyak biaya yang dikeluarkan.


…Tapi, lebih baik aku tidak memikirkan itu lebih lanjut.


“Mew~ Umi, maukah kau bermain bersama kami? Kami ingin pergi ke pantai!”


“Yuu, aku tahu lidah sapi itu enak, tapi tolong telan dulu sebelum bicara. Tapi… usulan untuk pergi berlayar sepertinya seru. Aku setuju.”


“Yang paling lucu adalah kalian bisa berkomunikasi dengan baik, itu khas Umi dan Yuu-chin.”


Setelah mendengar penjelasan lebih lanjut, tampaknya salah satu pelayan yang memiliki izin mengemudikan kapal menawarkan untuk mengajak kami naik kapal pesiar, dan mereka mengusulkan untuk menjelajahi sedikit ke tengah laut.


Cuaca di sekitar juga tenang hari ini, dan mereka mengatakan kami bisa memancing, jadi mungkin ini akan menjadi cara yang baik untuk mengisi waktu hingga sore. Tentu saja, ikan yang kami tangkap bisa ditambahkan ke menu makan malam nanti.


“Maki, aku akan pergi dengan Yuu, bagaimana denganmu? Jika kamu khawatir mabuk laut, kamu bisa tetap di Villa dan beristirahat.”


“yah, rasanya sayang sekali kalau nggak ikut. Meskipun aku sedikit lelah setelah bermain seharian, jarang-jarang bisa naik kapal pesiar.”


“kalau Yuu-chin ikut, aku juga ingin ikut… Eh, Takizawa-kun, bagaimana denganmu?”


“Umm, aku akan kembali ke Villa untuk menyambut senpai nanti. …Mio-senpai juga sepertinya udah mengantuk.”


“Seperti biasa, kamu paham diriku ya Souji… Hahh, aku sudah nggak bisa menahan ngantuk sejak pagi, dan perutku juga kenyang, rasanya bahagia sekali.”


“Kalau begitu, Nakamura-san dan Takizawa-kun bisa beristirahat di Villa, dan kita berlima akan naik kapal… Nitta-san, kamu tampak sangat bingung, tapi pada akhirnya, kamu mau ikut atau tidak?”


“……Aku juga mau naik.”


Dengan begitu, kami memisahkan diri menjadi kelompok lima orang yang biasa menghabiskan waktu hingga sore hari dan sementara dua anggota dari OSIS akan beristirahat di villa. 


Nitta-san sebenarnya punya kesempatan bagus untuk menghabiskan waktu bersama Takizawa-kun, tapi mungkin dia sadar akan suasana antara Nakamura-san dan Takizawa-kun, sehingga memilih bergabung dengan kami.


Bagi Nitta-san, ini pasti kesempatan sempurna untuk lebih akrab dengan Takizawa-kun yang sesuai dengan seleranya… Namun mungkin saja, sesuatu sudah terjadi di antara mereka saat aku dan Umi sibuk berduaan.


Setelah bersantai di Villa hingga persiapan kapal selesai, kami berganti pakaian dari bikini ke pakaian kasual seperti biasa. 


Kami kemudian naik ke kapal pesiar yang dikemudikan oleh salah satu pelayan dan berlayar dari perairan dangkal berwarna hijau zamrud menuju cakrawala biru yang membentang jauh.


Di atas kapal, meskipun gelombang dan angin cukup tenang, kaki kami sedikit bergoyang. 


Namun, saat menikmati pemandangan jauh di depan, aku tidak merasakan mabuk laut seperti yang aku khawatirkan.


“Maki, aku sudah meminjamkan satu set alat pancing dari pelayan. Ayo kita coba memancing. Aku cukup berpengalaman, jadi aku bisa mengajarimu.”


“Oh ya?  Terima kasih. Kalau begitu, mohon bimbingannya.”


“Eh, kalian berdua tidak adil! Kami juga ingin ikut. Kan, Umi?”


“Boleh, tapi Yuu, apakah kamu tidak keberatan memegang umpan? Melihatnya saja cukup menjijikkan.”


“Eh? Umpan untuk memancing itu kan pakai ikan atau udang iya kan? Memancing dengan udang, seperti pepatah!”


“Pemula nggak bisa langsung memancing ikan besar. …Seki, tunjukkan kenyataan pada Yuu.”


“Eh? apa maksudmu?”


“Begini… kalau ikan kecil, pakai umpannya seperti ini…”


“・・・・・・・・・・・・・・・・”


Ketika Nozomi menunjukkan sekumpulan makhluk bergetar yang dimasukkan dalam kotak transparan, wajah Amami-san seketika menjadi pucat saat melihatnya.


“……U-Umi.”


“Ya?”


“Aku… aku hanya akan melihat dari belakang.”


“…Kalau begitu, aku juga begitu. Nina, bantu Yuu ya.”


“Baik.”


Bahkan Amami-san pun tampaknya tidak tahan dengan dampak melihat umpan hidup untuk pertama kalinya. 


Aku sendiri sebenarnya juga kurang nyaman dengan makhluk-makhluk semacam ini, tetapi karena aku punya pacar yang aku cintai, Umi, aku ingin menunjukkan sedikit keberanian.


“Baiklah, kita mulai, Maki!”


“Ya… ayo!”


Dengan meniru Nozomi di sampingku, aku mengayunkan pancing ke arah laut. 


Ini adalah pengalaman pertamaku memancing, baik di laut maupun di sungai, tetapi aku merasa berhasil sebagai pemula.


Namun, apakah aku akan mendapatkan ikan atau tidak, itu beda cerita.


Sesuai ajaran Nozomi, aku sesekali menggerakkan pancing sambil menunggu ikan terjebak di kail.


“Maaf menunggu, Maki. Bagaimana hasilnya?”


“Di sini nggak ada yang tertangkap… bagaimana dengan Amami-san?”


“Dia sempat sedikit pusing, tapi sekarang sudah baik-baik aja. Ayo, Yuu, aku sudah mengembalikan yang bergetar ke dalam kotak, jadi datanglah ke sini.”


“U-uhm… maaf ya, kalian berdua, aku terkejut melihat yang seperti itu karena itu adalah pengalaman pertamaku.”


Nitta-san kembali bersama Amami-san yang dipandu oleh Umi. Setelah sedikit waktu berlalu dan Amami-san tampaknya lebih tenang, wajahnya kini terlihat sedikit lebih baik, namun sepertinya umpan sebaiknya dipasang di tempat yang tidak terlihat oleh Amami-san untuk sementara waktu.


“Seki, kamu diam-diam aja, belum menangkap ikan juga? Aku pikir jika kamu seorang yang berpengalaman, harusnya bisa menangkap ikan dengan cepat.”


“Ya, meskipun ada sedikit perbedaan teknik dibandingkan pemula, tapi bukan berarti semuanya bisa jadi mudah. Mencari pertemuan baru sama sulitnya seperti yang kamu alami.”


“Kau menantangku? …Yah, itu benar, jadi aku tidak bisa membalas.”


Melihat wajah Nitta-san yang masam, sepertinya dia belum berhasil mendekati Takizawa-kun. Dia tampaknya berhati-hati mengatur jarak agar tidak terlihat terlalu mendesak.


“Nina, bagaimana kalau kamu coba untuk sedikit melupakan Takizawa-kun? Kamu juga sudah paham, kan, bahwa cinta Takizawa-kun pada Nakamura-san cukup kuat?”


“Tentu saja. Aku merasa cukup percaya diri dengan penampilanku, tapi Takizawa-kun lebih sering melihat ke arah Nakamura-san yang mengenakan bikini di sampingku. Bahkan saat barbeque tadi, dia terus tersenyum saat melayani Nakamura-san.”


“Aku juga sudah berusaha berbicara padanya, tetapi sepertinya agak sulit untuk mengandalkan usaha sendiri.”


Aku berpikir bahwa di antara tujuh orang yang ada, hanya aku dan Umi yang merupakan ‘pasangan bodoh’, tetapi tanpa aku sadari, ternyata ada satu pasangan lagi yang terselip di antara kami.


“Nee, Asanagi, apakah kamu memang merencanakan ini saat mengundang kedua orang itu?”


“…Kamu sudah tahu. Yah, sebagai ucapan terima kasih dan penghargaan untuknya yang sudah menggantikanku maju sebagai ketua OSIS, itu adalah alasan utamanya.”


Dari sudut pandangku, hubungan antara mereka berdua terlihat sangat mengesankan. 


Dengan begitu, bagi teman sekelasnya seperti Umi yang mengamati mereka baik secara sadar maupun tidak, tentu hal ini sangat mengganggu.


…Meskipun begitu, perilaku Umi kali ini cukup diluar kebiasaannya.


“Tentu saja, jika Nina tidak berniat menyerah pada Takizawa-kun, itu terserah padamu. …Tapi melihat wajahmu, sepertinya semangatmu masih menyala.”


“Apa? Itu jelas. Aku sudah sangat mengerti bahwa mereka saling menyukai satu sama lain, tapi mereka masih belum ‘berpacaran’, bukan? Jika begitu, masih ada peluang bagiku.”


Meskipun memiliki keunggulan sebagai senior yang sudah mengenal sejak SMP, tetap saja tidak semudah itu untuk berubah dari ‘senior’ menjadi ‘pacar’, itulah yang membuat hubungan antarmanusia menjadi rumit.


Takizawa-kun jelas-jelas memiliki perasaan tersimpan untuk Nakamura-san, berdasarkan apa yang sudah terjadi, tetapi sebaliknya… tidak semudah itu, dan ini menjadi salah satu penyebab ketegangan antara mereka saat ini.


Sikap Nakamura-san yang tampak setengah hati adalah masalah utama.


“Kalau begitu, berarti ada celah untuk masuk. Sekarang mungkin sulit, tetapi kedepannya siapa yang tahu? Jadi, mungkin lebih baik tetap bersikap sebagai ‘senior yang baik’ untuk saat ini. Lalu, ketika ada kesempatan, baru kita bisa menyerang.”


“Itu memang Nina sekali… tapi kali ini sepertinya kamu sangat berusaha.”


“Tentu saja, tanpa usaha, tidak mungkin bisa mengubah situasi dengan anak laki-laki selevel itu. Berbeda dengan Yuu-chin atau Asanagi, aku seperti nggak bisa mendapatkan perhatian jika hanya diam saja. Jika aku menginginkannya, aku harus berpikir dan bertindak.”


Dengan itu, meskipun dia sangat menyadari bahwa posisinya kurang menguntungkan, Nitta-san sepertinya akan tetap bertahan sedikit lebih lama. 


Penampilannya sudah tidak perlu diragukan lagi, dan dia bersikap ramah kepada semua orang yang baru dikenal. Dengan sifatnya yang lembut dan baik, sepertinya bukan sesuatu yang mudah untuk menyerah.


Itu membuktikan bahwa Nitta-san serius dalam perjuangannya kali ini.


“Tapi, kalau kamu seserius ini, kenapa ikut dengan kami? Bukankah lebih baik kamu tinggal di villa bersama Nakamura-san dan Takizawa-kun? Saat kami kembali nanti, bisa saja mereka sudah jadi pasangan.”


Tergantung sikap Nakamura-san, namun mengingat kedekatan mereka, jika waktunya tepat, mungkin dalam beberapa jam ini mereka akan menyambut kami dengan status ‘baru berpacaran’ seperti aku dan Umi beberapa waktu lalu… 


Meskipun itu mungkin terlalu jauh untuk dibayangkan.


“Yah, aku tahu ini adalah taruhan yang berisiko, dan jika saat itu tiba, aku akan dengan tulus menyerah… tapi, agak ragu untuk mengatakan itu, pastikan untuk tidak membuat suasana menjadi canggung—eh? Hei, Ketua, pancingmu... Kenapa tiba-tiba melengkung seperti itu?”


“Eh? …Oh, benar juga!”


Saat kami asyik mengobrol, tiba-tiba saja, kail pancingku ditarik kuat oleh sesuatu dari dalam laut. Aku hampir saja melepaskan kail tersebut karena rasanya sangat kuat, menunjukkan bahwa aku berhasil mendapatkan ikan dengan ukuran yang cukup besar.


“Nozomi, sepertinya ini cukup besar. Apa yang harus kulakukan?”


“Jangan menariknya terlalu keras, karena itu bisa membuat umpannya lepas. Kita jaga posisi ini sambil perlahan-lahan menggulung tali pancingnya. …Aku akan pergi mengambil jaring sebentar.”


“Apakah ini yang disebut dengan keberuntungan pemula? Maki, yang penting, semangat!”


“Kenapa ikan-ikan dan gadis-gadis datang kepadamu seperti tanpa usaha? Ketua, itu curang~. Ayo, Yuu-chin juga ikut semangatin.”


“Ah, ya. Maki-kun, semangat!”


Dengan sorakan teman-teman yang mendorongku, aku berusaha sekuat tenaga menarik ikan itu ke atas. Aku dengan cermat mengikuti saran dari Nozomi, mengangkat ikan yang berenang di dasar laut satu meter demi satu meter, perlahan namun pasti──.


“Oh, untuk umpan yang sederhana, ini cukup besar. Bagus sekali, Maki!”


“Hebat, Maki! Kamu sudah berjuang keras!”


“U-uh, terima kasih.”


Menurut pelayan, ikan yang berhasil kutangkap bisa dimakan sebagai sashimi dan cukup enak, jadi ini adalah keberhasilan besar untuk pengalaman pertamaku.


Kami berencana untuk memasak kari untuk makan malam nanti, jadi untuk sementara waktu, kami hanya akan mengolah ikan ini menjadi fillet. Namun, dengan ini, sarapan besok pasti akan menjadi lebih istimewa.


Melihat teman-teman yang mengagumi ikan yang kutangkap dengan seruan “O~,” aku merasa sedikit bangga. 


Mungkin ini hanya keberuntungan pemula dan mungkin tidak akan terjadi lagi, tetapi yang pasti, aku telah berhasil menangkapnya dengan usahaku sendiri.


“Maki, bolehkah aku ikut memancing di sampingmu? Seki, apakah peralatannya masih ada?”


“Oh, sepertinya di kursi pengemudi sudah disiapkan peralatan sesuai jumlah orang, jadi jika mau, silakan ambil saja. Nitta juga, kalau mau pake.”


“Ha? Aku belum mengatakan mau ikut, lho… Tapi, jika aku hanya duduk diam begini, pasti akan membosankan. Kalau Ketua yang pemula saja bisa menangkap ikan, mungkin aku juga harus mencobanya.”


Mungkin terpengaruh oleh keberhasilanku, Umi dan Nitta-san, yang sebelumnya hanya berada di belakang untuk memberi dukungan, kini masing-masing pergi mengambil peralatan mereka.


Nozomi, yang berencana untuk menangkap ikan yang lebih besar dari yang kutangkap, juga kelihatan sudah siap, sehingga tampaknya kami akan menghadapi sedikit kompetisi memancing.


Hanya ada satu orang yang terlihat berbeda dari biasanya, yaitu Amami-san dengan wajah yang murung. 


“Maki-kun.”


“Hm! Amami-san. …Jika kamu masih merasa tidak enak badan, kamu bisa beristirahat sedikit lagi, lho.”


“Ah, nggak perlu khawatir, aku udah baik-baik aja sekarang. Saat pertama kali melihatnya, itu memang mengejutkanku, tapi kalau dilihat lebih dekat, ternyata cukup imut. Lihat, kalau hanya satu ekor, aku bisa mengangkatnya begini.”


Dengan gerakan yang hati-hati, meskipun wajahnya tampak sama seperti biasanya, sepertinya tidak ada masalah.


Amami-san selalu cepat beradaptasi, dan aku sangat terkesan karenanya. Dengan begini, dia pasti akan segera menikmati memancing bersama Umi dan Nitta-san.


“…Amami-san, nggak mau ikut memancing bersama Umi dan yang lainnya?”


“Hmm… Ya, hari ini aku hanya ingin mendukung kalian dari belakang. Itu saja sudah cukup menyenankan bagiku.”


Meskipun dia sudah mulai beradaptasi, sepertinya dia belum sepenuhnya pulih. Meskipun dia bersikap ceria, ada sesuatu di wajah Amami-san yang terlihat suram.


Biasanya, dia akan langsung terjun ke dalam kerumunan (atau lebih tepatnya, ke arah Umi), tetapi kini pandangannya tertuju pada Nitta-san yang sedang bersiap-siap dengan ceria, mengobrol riang dengan Umi.


“Begini, Maki-kun. Ada sesuatu tentang Nina.”


“? Ada apa dengan Nitta-san?”


“Yah, tentang pembicaraan kita sebelumnya… Dia tidak akan menyerah pada Takizawa-kun.”


“Hm! Oh, tentang itu.”


Menurutku pribadi, aku tidak berniat untuk berpihak kepada salah satu dari mereka, jadi aku hanya akan mendengarkan saja. 


Namun, tampaknya Amami-san memiliki perasaan yang mengganjal.


“Yah, aku mengerti perasaan Nina yang suka pada Takizawa-kun dan aku bisa merasakan keseriusannya, jadi aku ingin mendukungnya sebagai teman… tetapi, caranya terasa sedikit tidak menyenangkan, ya?”


“Hmm… yah, mungkin ada orang yang merasa seperti itu.”


Menunggu kesempatan datang mungkin terdengar baik, tetapi pada kenyataannya, aku sedang menunggu terjadinya kesenjangan antara Nakamura-san dan Takizawa-kun, yang bisa disebut sebagai keadaan “menunggu kegagalan.” 


Meskipun Nitta-san adalah teman baik ku, Namun aku tahu bahwa sifat Amami-san membuatnya sulit untuk memberikan dukungan dengan tulus.


“Nee, Maki-kun.”


“Ada apa?”


“Ternyata, cinta itu sangat sulit ya. Selama ini, bayangan ‘cinta’ buatku hanyalah tentang Maki-kun dan Umi. Kupikir cinta itu akan selalu sesederhana itu.”


“Yah… mungkin kasus kita tidak bisa dijadikan acuan.”


Jika cinta pertama berujung pada perasaan paling tulus dan kita bisa bersatu dengan orang yang paling kita sayangi, mungkin akan terdengar ideal. Tapi kenyataannya, cinta tak selalu berjalan sebaik itu. Karena terlalu memikirkan orang yang kita suka, kita justru bisa salah paham, dan perasaan cinta itu perlahan berubah menjadi sesuatu yang mirip kebencian.


Ingin memiliki orang yang kita cintai hanya untuk diri kita sendiri—siapa pun yang pernah jatuh cinta pasti pernah membayangkan hal ini setidaknya sekali, dan itu membuat cinta menjadi sesuatu yang sangat rumit dan sulit.


“...Seenggaknya, jangan terus menerus merasa bingung sendirian. Cobalah berbicara jujur kepada Umi dan Nitta-san. Nggak harus sekarang, bisa setelah kembang api nanti, atau sebelum tidur malam ini, akan ada banyak kesempatan untuk berkonsultasi.”


Jika ingin bertindak, lakukanlah dengan jujur dan terbuka, berpikirlah seperti Amami-san, sementara Nitta-san meski sedikit licik, tidak segan menggunakan berbagai cara demi mencapai tujuannya. 


Tentu saja, pendapat mereka akan berbenturan, tetapi jauh lebih konstruktif daripada hanya menyimpan perasaan yang membingungkan. Lagipula, Umi juga ada di antara mereka, jadi sepertinya suasana tidak akan menjadi tegang. Tentu saja, di belakang masih ada aku dan Nozomi yang siap mendukung.


“Begitu ya. ...Ya, benar. Terima kasih, Maki-kun. Aku, sepertinya harus berbicara dengan Nina dan Umi bertiga saja.”


“Ya, itu bagus kan? Apakah mau mendukung Nitta-san atau nggak, bisa diputuskan saat itu.”


Karena mereka teman, dan juga sahabat, tidak perlu memaksakan diri untuk memberikan dukungan. Yang penting adalah melakukannya saat kita merasa ingin memberikan dukungan.


Setelah waktu makan siang, kami menghabiskan waktu dengan bersantai dan memancing di laut. 


Kami kembali ke villa tempat Nakamura-san dan yang lainnya menunggu untuk mempersiapkan makan malam. Kami berenang di perairan dangkal yang indah dan menikmati pengalaman memancing di tengah laut untuk pertama kalinya—sungguh, kami semua sangat lelah saat turun dari perahu.


Masih ada sedikit waktu sebelum jadwal makan malam, jadi sebaiknya kami tidur siang selama sekitar satu jam.


“—Ooo, selamat datang kembali semuanya. Melihat keadaan kalian, sepertinya banyak yang sudah kalian nikmati.”


“Senpai, terima kasih atas kerja kerasnya. Aku sudah menyelesaikan persiapan untuk makan malam, jadi silahkan istirahat sebentar.”


“Terima kasih. Jadi, aku akan melakukannya... huaah, ngantuk... Umi, jadi aku pamit lebih dulu.”


“Ya. Aku juga akan segera kembali, jadi tidurlah lebih dahulu. Yuu, kita harus mandi terlebih dahulu, jadi bersabarlah sedikit lagi... ah, jangan bersandar padaku dan berdirilah dengan kaki sendiri. Oh, dan Nina juga.”


“Hmm~ Umi, gendong~”


“Asanagi, aku sudah tidak bisa bergerak lagi~”


“Wah, nggak bisa dihindari ya…”


Saat aku melihat ketiga gadis itu pergi ke kamar mandi, aku dan Nozomi berbaring di sofa ruang tamu yang luas. Sensasi sofa yang memiliki keseimbangan sempurna antara tidak terlalu keras dan tidak terlalu lembut membuat kelopak mataku semakin berat.


“—Maki, masih terjaga?”


“Nozomi? ...Ya, sebenernya aku sudah sangat mengantuk.”


“Aku juga. Dengan kondisi seperti ini, aku pikir aku sudah terbiasa karena latihan, tetapi berlarian dengan sepenuh tenaga tetap membuatku kelelahan.”


Bahkan Nozomi yang tergeletak di sofa sebelahku pun merasakan kelelahan, jadi aku merasa sudah berusaha dengan baik.


Aku khawatir kalau besok seluruh tubuhku akan sakit otot, tetapi hari ini, aku benabermain lebih banyak bermain dibandingkan dengan liburan musim panas sebelumnya. Sepertinya, catatan ini tidak akan terpecahkan dan akan terus tinggal dalam ingatanku.


“...Nozomi, terima kasih. Meskipun kamu sibuk dengan latihan, kamu mau menerima ajakanku.”


“Jangan khawatir. Ini mungkin terakhir kalinya aku bisa bermain seperti ini, dan aku akan mengembalikan semua waktu yang hilang dalam latihan selanjutnya. ...Meskipun sulit untuk diungkapkan, soal Amami-san... juga berjalan sangat baik.”


Rupanya, dia harus memaksakan diri untuk memperpanjang waktu istirahat aktivitas klubnya, yang awalnya seharusnya hanya satu hari, dan meminta dia memperpanjangnya untuk satu hari tambahan, jadi itu pasti sepadan. 


Mungkin sulit dipahami oleh beberapa orang, tetapi bagi seorang siswa laki-laki SMA, melihat gadis yang disukainya dalam pakaian renang yang imut (apalagi di waktu privat) memiliki nilai yang luar biasa.


“Nah, Maki.”


“Hm?”


“Apakah kamu sudah memutuskan pembagian kamar hari ini?”


“Belum, tapi aku rasa lebih baik dibagi menjadi dua kamar, satu untuk cewek dan satu untuk cowok.”


Sebenarnya, ada keinginan untuk berbagi satu kamar dengan Umi, dan dengan jumlah kamar yang ada, itu sangat memungkinkan. 


Namun, karena tidak ingin merepotkan yang lain lebih jauh, aku menahan diri untuk tidak mengungkapkan keinginan itu.


“Oh, begitu. Kalau gitu, kita bisa ngobrol lagi sebelum tidur. Tentu saja, termasuk Takizawa-kun.”


“Boleh, tapi apa kita punya topik pembicaraan yang bisa dibicarakan bertiga? Takizawa-kun mungkin juga, tetapi kita bertiga ini sepertinya nggak memiliki minat yang sama.”


Nozomi terlibat dalam kegiatan klub dan olahraga, sedangkan aku lebih suka main game dan nonton film, dan Takizawa-kun mungkin lebih kepada sastra dan misteri. Jadi, sulit untuk menemukan topik yang bisa dibahas secara mendalam.


Meskipun ada beberapa topik yang bisa dibicarakan antar laki-laki, aku tidak tahu apakah Takizawa-kun bisa berpartisipasi dalam pembicaraan semacam itu. 


Sebelum kita mulai berbagi hal-hal pribadi, kami harus mengenal Takizawa-kun lebih baik, dan dia juga harus mengenal kami.


“...Baiklah, mari kita tidur sejenak dan memikirkan ini. Jujur, kepalaku sudah mulai berat.”


“...Aku juga.”


Kami tidak dapat menahan kantuk yang terus menerus menyerang, dan setelah beberapa percakapan yang tidak jelas, kami perlahan-lahan terlelap. Di tengah tidur, aku merasa seseorang dengan lembut mengusap kepalaku, tetapi dalam keadaan tertidur, tubuhku tidak bisa bergerak sedikit pun.


──“Terima kasih atas kerja kerasmu, tidurlah dengan nyenyak.”


Bisikan lembut dari seseorang itu meresap ke telingaku, dan aku tertidur nyenyak hingga waktu makan malam selesai.


Setelah tidur selama sekitar dua jam dan merasa segar kembali, aku bergabung dengan yang lain untuk menikmati kari yang mereka siapkan, dan kami menghabiskan waktu santai di ruang tamu.


Di waktu makan malam, langit masih cerah, tetapi kini sudah gelap, dan laut biru yang terlihat dari luar berubah menjadi kegelapan total.


Malam itu tenang dan damai, hanya terdengar suara ombak dari kejauhan. 


Biasanya, setelah ini hanya tinggal mandi dan tidur... tetapi kali ini, malam belum berakhir.


Ternyata, Amami-san datang kembali ke ruang tamu dengan membawa ember penuh kembang api yang siap digunakan.


“Hehehe, teman-teman, sudah siap? Dengan bangga aku mengumumkan dimulainya acara utama malam ini, yaitu festival kembang api!”


“Yuu, pengumuman itu bagus, tetapi pertama-tama kita harus turun ke pantai dulu. Ayo, Maki.”


“Ya. Sudah lama sekali aku nggak melihat kembang api, jadi sedikit bersemangat juga.”


Agar tidak tersandung atau jatuh di tangga atau di pantai, aku menggenggam tangan Umi dengan erat, dan kami melangkah menuju pantai setelah sekian lama.


Di malam yang gelap, pantai berubah drastis dari siang hari, tetapi tidak ada masalah dengan penerangan karena pelayan sudah menyiapkan api unggun.


Api yang berkobar di dalam kaleng di pantai, dan ketika aku menatap langit malam, bulan serta bintang-bintang bersinar. Malam di laut, jika dilihat dari sini, memiliki pesona yang berbeda dibandingkan siang hari.


“Eh, eh, kalian semua! Untuk tembakan pertama yang bersejarah, mau pilih yang mana? Yang besar? Atau yang naga? Hmm, terlalu banyak pilihan jadi bingung!” Amami-san bertanya dengan ceria.


“Jika kita lakukan satu per satu, kita bisa sampai tengah malam. Lebih baik semua bebas memilih sesuai keinginan mereka, kan? Maki, kita bisa coba kembang api kecil saja dan bersantai.”


“Iya. Meskipun kembang api yang besar terlihat menggoda, melihat yang lain dari jauh juga menyenangkan.”


Setelah berdiskusi, kami memasukkan pilihan kami ke dalam ember, dan masing-masing akan bersenang-senang dengan cara mereka sendiri.


Amami-san dan Nitta-san, bersama Nozomi, memilih kembang api besar seperti naga dan kembang api tembak yang mencolok, sementara Takizawa-kun dan Nakamura-san memilih kembang api tangan sebagai fokus mereka, menyebarkan bunga api berwarna-warni yang cerah dan bersenang-senang seolah kembali ke masa kecil mereka.


Di sinilah, pemandangan yang sesuai dengan imajinasiku tentang liburan musim panas, yang aku alami untuk pertama kalinya di tahun kedua SMA.


“Maki, kita juga harus coba, kan?”


“Iya. Aku akan menyalakan apinya.”


“Terima kasih.”


Dengan pemantik yang dibawa dari Villa, aku menyalakan api di ujung masing-masing kembang api. Kami berdua dengan tenang menyaksikan bunga api kecil yang berdesir dan meletup.


Kami duduk agak jauh dari lima orang lainnya, saling berdekatan dan menyatukan tubuh kami.


“...Cantik.”


“Iya. ...Oh, bukan hanya kembang apinya, tapi, tentu saja Umi juga...”



“Cantik, maksudnya? Haha, terima kasih. Meskipun masih agak canggung, Maki juga mulai bisa mengatakan hal-hal yang manis, ya... Jika tidak sedang bermain kembang api, aku mungkin sudah menciummu karena terpaksa.”

“Sayang sekali... Haha.”

Kami tertawa kecil secara diam-diam, menikmati kembang api untuk pertama kalinya sejak bertemu. Meskipun tidak terlalu mencolok, suasana ini terasa lebih cocok untukku. Namun, pada akhirnya, yang terpenting adalah laut yang ada di sampingku.

“kamu tahu, Maki...”

“...Hmm?”

“Tadi, saat kamu tidur, aku berbicara dengan Yuu dan Nina bertiga.”

“...Hmm.”

Kemungkinan besar, ini berkaitan dengan apa yang Amami-san bicarakan padaku sebelumnya. Ketika aku tertidur nyenyak di sofa ruang tamu, Amami-san ternyata telah menyampaikan pikirannya dengan baik kepada mereka berdua.

“Aku berharap, dengan perjalanan singkat ini, hubungan antara Nakamura-san dan Takizawa-kun bisa sedikit ada kemajuan. Mereka jelas saling menyukai, jadi kalau ini bisa menjadi pemicu untuk mereka bersatu... seperti yang terjadi pada kakakku dan Shizuku-san.”

“...Ooh, jadi begitu.”

Langkah tiba-tiba yang jarang diambil oleh Umi ini tampaknya terpengaruh oleh peristiwa perjalanan pulang kampung baru-baru ini. Saat momen di mana perasaan Riku-san dan Shizuku-san saling menyatu masih terukir jelas dalam ingatan dan hati kami berdua. Momen itu begitu menyentuh, hingga aku hampir meneteskan air mata. 

Namun, kali ini, tindakan itu justru berujung pada masalah yang tidak diinginkan.

“Tapi, rasanya sulit sekali untuk berhasil. Aku hanya ingin Nakamura-san menjadi lebih terbuka, tapi tanpa sadar aku malah membuat Nina dan Yuu merasa nggak nyaman. Itu yang membuatku sedikit kepikiran. Oh, tapi nggak sampai berdebat, jadi Maki nggak perlu khawatir tentang itu.”

“Hmm. Tapi, aku mengerti... Nggak berjalan lancar, ya.”

“...Iya. Aku nggak bisa melakukannya seperti Maki.”

Setelah Umi selesai berbicara, bunga api yang sebelumnya berdesir kencang tiba-tiba mereda dan segera padam di tanah.

“...Maki, bolehkah aku sedikit manja?”

“Hmm. Silahkan.”

“Terima kasih.”

Saat aku sedikit membuka tangan, Umi segera menyandarkan wajahnya di dadaku. Belakangan ini, aku sering manja padanya, jadi kali ini aku perlu bersikap tegas dan membalutnya dengan dukungan.

“...Enak, ya. Aku bisa selalu bersamamu, dan saat ada yang membuatku sedih, aku bisa dihibur seperti ini. Aku tahu ini egois, tapi aku nggak bisa berhenti untuk bersikap manja padamu.”

“Yah, itu... Nggak masalah, kan? Memiliki seseorang untuk bersandar dan bisa berbagi masalah tidaklah buruk, dan itu bukan hal yang egois.”

Pengalamanku menunjukkan bahwa jika seseorang menyimpan masalah sendirian, hal itu dapat berdampak buruk baik secara fisik maupun mental, jadi jika ada orang yang bisa dipercaya, sebaiknya mereka bisa berbagi. 

Tentu saja, ada orang yang harus memikul beban sendirian seperti aku sebelumnya, dan mungkin lebih banyak yang mengalami hal itu, tetapi bukan berarti kita perlu menjadikan itu sebagai patokan.

Aku rasa, seseorang seharusnya lebih sering bersikap manja kepada orang lain. Baik kepada keluarga atau teman, terkadang kita memang merepotkan orang lain, tetapi saat itu tiba, kita hanya perlu membalas kebaikan mereka. 

Selama beberapa bulan berteman dengan Umi dan bertemu banyak orang, aku belajar hal ini.

“Nggak masalah. Umi hanya melakukan yang terbaik dengan caramu, dan nggak melakukan hal yang salah.”

“...Benarkah?”

“Iya. Aku jamin itu. ...Mungkin nggak banyak artinya memiliki kepercayaan dari orang sepertiku, tapi...”

“Itu nggak benar. Kalau Maki yang mengatakannya, itu sudah cukup membuatku merasa tenang. ...Ehehe.”

Mungkin karena merasa tenang, Umi mulai berubah dalam cara dia memelukku. Dia melingkarkan kedua tangannya di punggungku, seolah menjadi anjing yang manja, menggosokkan pipinya di leherku sambil menghirup aromaku.

Aku pun membalasnya dengan mengalungkan tanganku di pinggang Umi dan menariknya lebih dekat, sembari mengusap lembut kepalanya. Kadang-kadang, dia mengeluarkan suara geli, tetapi wajahnya tampak sangat puas.

“...Umi, masih ada kembang api yang tersisa, jadi bagaimana kalau kita lanjut?”

“Haha, setuju. Ah, seandainya kita hanya berdua di sini, aku mungkin akan memaafkan apa pun yang Maki lakukan saat ini.”

“Sayang sekali... Baiklah, aku akan menyalakannya.”

“Ya, masih banyak sisa, jadi aku akan menggunakan dua batang sekaligus.”

“Bagus sekali. Aku juga.”

Setelah kami saling mencium pipi, kami kembali ke posisi semula dan mulai menyalakan kembang api yang tersisa. 

Meskipun cara kami menikmati kembang api ini tidak terlalu tradisional, pemandangan kedua tangan kami yang meletuskan percikan api dengan ceria terasa indah dan tidak buruk sama sekali. Begitu juga dengan pemandangan di sana, di mana teman-teman kami sedang bersenang-senang dengan kembang api yang lebih besar.

“Baiklah, saatnya aku mengajarkan cara menikmati kembang api versi Nakamura!”

“Mio-senpai, sebaiknya kita berhenti sebelum melakukan hal yang terlalu berisiko, ya?”

“Nee, Nina, lihat ini! Ayo, tembakkan!”

“Oh, Yuu, kamu hebat! Seki, jangan hanya melongo aja, bantu aku menyalakan juga. Itu tugasmu, kan?”

“Ah, sial, kenapa aku harus melakukan ini... Hei Maki, jangan terlalu mesra dengan Asanagi di sana, datanglah ke sini dan bantu aku. Kita akan menyalakan yang besar sekarang!”

“Oh, iya, iya... Umi, semua orang memanggil kita, mau pergi?”

“Ya, tetapi aku masih sedikit canggung saat bersama Yuu, jadi bolehkah kamu tetap di sampingku?”

“Tentu saja. Jika aku bisa, aku akan selalu menjadi tembok bagimu.”

“Terima kasih... Haha, aku memang egois.”

Tangan Umi yang awalnya terasa dingin perlahan-lahan kembali hangat saat aku menggenggamnya dengan erat. 

Meskipun kami bertujuh selalu bersama, semakin dekat hubungan kami, semakin banyak juga konflik dan kesalahpahaman yang mungkin terjadi. 

Ini bukan sekadar pertemanan biasa, kami harus mengenal pikiran masing-masing, berdiskusi, dan lebih memahami satu sama lain untuk memperkuat ikatan kami—aku yakin kami masih dalam proses itu.

Jadi, setelah tidur dan bangun di pagi hari, kami pasti bisa kembali menjadi seperti biasa.

Setelah sekitar satu jam, kami telah menghabiskan hampir semua kembang api yang ada di dalam ember, dan akhirnya kami menyelesaikan sebagian besar rencana untuk hari pertama di villa. Kami pun kembali ke kamar masing-masing.

Pembagian kamar tetap standar, dengan tiga laki-laki dan empat perempuan. 

Tentu saja, aku dan Umi tidak mendapatkan perlakuan istimewa dengan berbagi kamar.

Sebuah rahasia kecil adalah, aku sempat bingung hingga akhir mengenai hal ini.

“Hah, hari ini... benar-benar seru banget...”

Setelah selesai mandi malam yang sedikit terlambat, aku berbaring di tempat tidur dan merasakan kelelahan dari seluruh tubuhku. 

Meskipun aku sudah tidur siang, satu atau dua jam tidaklah cukup untuk memulihkan tenagaku kembali. Jadi, aku perlu tidur malam agar tidak kelelahan keesokan harinya.

...Meskipun aku tahu itu, aku merasa ingin begadang sedikit lebih lama malam ini.

“Walaupun sudah dipastikan kita bertiga sekamar, sepertinya ini pertama kalinya aku tidur bersama Maki seperti ini. Rasanya seperti perjalanan sekolah, sedikit mendebarkan.”

“Aku juga merasa begitu... Meskipun aku belum pernah pergi dalam perjalanan sekolah.”

“Eh? Maehara-senpai belum pernah ikut perjalanan sekolah? Ah, apakah mungkin karena sedang sial sampai jatuh sakit atau cedera saat itu...”

“Nggak, aku benar-benar sehat... Itu kebetulan aja waktu ayahku pindah kerja, jadi aku harus ikut pindah sekolah. Oh iya, kayaknya aku belum pernah cerita ini ke kamu, Takizawa-kun.”

Karena aku yakin Takizawa-kun tidak akan membocorkan ceritaku, aku meminta kepada Nozomi untuk menjelaskan situasinya, sementara aku sedikit menjelaskan tentang latar belakangku.

Aku menceritakan tentang masalah keluargaku seperti perceraian orang tuaku secara hati-hati, tetapi tampaknya dia bisa merasakan suasana canggung di antara kami, jadi dia tidak mengajukan pertanyaan lebih jauh dan hanya mendengarkan dengan serius. Dia benar-benar junior yang baik.

Jadi begitu, ya… Maaf, Senpai. Aku nggak tahu dan malah menanyakan hal yang mungkin kurang pantas.”

“Enggak apa-apa. Itu semua sudah berlalu. Sekarang aku bisa menjalani hari-hariku dengan damai bersama kalian. Kalau kamu mau tahu lebih lanjut, aku bisa menceritakannya lagi.”

“Ah, tidak perlu, Senpai. Tapi kalau boleh, sebagai gantinya, aku ingin bercerita sedikit tentang masa SMP-ku.”

Karena ini adalah kisah masa SMP, mungkin percakapan ini akan berkaitan dengan saat dia bertemu Nakamura-san dan bagaimana dia berubah dari sosok yang dianggap mungil (menurut pengakuan Nakamura-san) menjadi seorang pemuda tampan yang menarik perhatian banyak orang. 

Masa lalu Takizawa-kun, yang hampir sepenuhnya diselimuti misteri kecuali dia adalah junior Nakamura-san, pasti menjadi hal yang menarik untukku dan Nozomi.

“Nozomi, bagaimana menurutmu?”

“Sepertinya bagus. Aku juga penasaran tentang Takizawa, dan kita tidak boleh memaksanya untuk menceritakan sesuatu yang tidak ingin dia bagikan.”

“Kalau begitu... Eh? Nozomi, kamu baru saja menyebut ‘Takizawa’?”

“Iya. Sementara kamu bersenang-senang dengan pacarmu, aku juga sudah cukup akrab dengannya. Benar, kan?”

“Iya. Oh,  silahkan panggil aku dengan cara yang nyaman juga, Senpai. Tanpa embel-embel ‘kun’ juga tidak apa-apa, itu lebih akrab,”

Aku hampir lupa tentang mencari teman baru dari kalangan laki-laki, karena semua pemikiran di kepalaku sebelumnya dipenuhi oleh bayangan Umi dalam bikini dan berbagai hal tentangnya.

...Sejujurnya, mungkin ini adalah keburukanku; jika aku tidak hati-hati, pikiranku akan segera terfokus pada Umi saja.

“—Baiklah, ayo kita masuk ke pokok pembahasan. Pertama-tama, ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan kepada kalian, senpai...”

“??”

Dengan tiba-tiba, Takizawa mengeluarkan smartphone dari sakunya dan menunjukkan foto kepada kami. 

Di foto itu terdapat dua orang, seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kami tidak tahu kapan foto itu diambil, tetapi ada seorang gadis tinggi yang mengenakan kacamata bingkai hitam dan seorang anak laki-laki dengan penampilan yang sangat pemalu.

“Ini, jangan-jangan—”

“Benar, seperti yang kalian duga, ini adalah fotoku bersama Mio-senpai saat di SMP. Saat itu aku masih kelas satu, dan Mio-senpai sudah kelas dua.”

Nakamura-san tampak sama seperti yang kami kenal sekarang, tetapi Takizawa, jika dibandingkan dengan penampilannya yang sekarang, seolah dia adalah dua orang yang berbeda.

Dia tidak lebih tinggi dari bahu Nakamura-san, dengan rambut panjang yang menutupi sebagian wajahnya yang tampak tertegun. 

Tak kusangka anak kecil pemalu itu bisa tumbuh menjadi sosok tampan yang sekarang duduk di sampingku. Nakamura-san pasti sangat terkejut ketika pertama kali bertemu lagi dengannya setelah bertahun-tahun.

“Foto ini adalah harta bagiku. Meski dulu, aku pendek, lemah, dan sifatku juga sangat rendah diri. Tapi, Mio-senpai tetap memperlakukanku dengan ramah tanpa pernah membedakan... Itulah alasan pertama kalinya aku menikmati hari-hari di sekolah. Dia adalah orang pertama yang benar-benar mengakui keberadaanku.”

Dalam latar belakang rak buku yang dipenuhi dengan novel misteri, Nakamura-san tampak ceria saat berpose dengan Takizawa yang memeluk bahunya. 

Meskipun terkadang Nakamura-san bisa menimbulkan ketidaksukaan, dia tidak pernah mengubah sikapnya terhadap orang-orang disekitarnya, jadi bisa dipastikan kalau Takizawa merasa sangat beruntung pada saat itu.

Kami tidak akan bertanya lebih jauh, tetapi pasti dia pernah merasakan kesepian sebelumnya.

“Jadi, Takizawa menyukai Nakamura-san?”

“Iya. Sebagai senior dan juga sebagai ketua, dan tentu saja, aku menyukainya sebagai seorang wanita. Semua yang aku lakukan hingga saat ini adalah untuk bisa menjadi sosok yang dia akui sebagai pria sejati. Tapi, aku tidak menyangka aku akan berubah begitu drastis dan menjadi perhatian banyak orang. Beberapa dari mereka bahkan membuatku merasa terganggu.”

“Serius? Wah, kamu mengalami banyak hal sulit, ya. Takizawa, kalau boleh tahu, sudah berapa kali kamu... ya, didekati cewek sejak masuk sekolah?”

“Hmm, jika hanya dari surat yang aku terima atau pengakuan langsung, nggak terlalu banyak. Tapi, kalau menghitung pertanyaan tentang kontak yang diajukan berulang kali, atau DM dari teman-teman yang terus-menerus menanyakan hal yang sama, jujur saja, itu sangat menyebalkan... Haha.”

Karena penampilannya yang mencolok, mungkin itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. 

Namun, membuat seorang murid baru yang masih di kelas satu merasa “terganggu” adalah hal yang aneh. Jika dia memiliki alasan yang sah, seperti sudah memiliki pacar, mungkin Takizawa akan lebih mudah untuk menolak.

“Eh, aku ingin meminta saran dari kalian, senpai. Bagaimana caranya aku bisa mendekatkan diriku dengan Mio-senpai? Hari ini aku rasa aku sudah berusaha keras, tetapi setiap kali aku ingin mengungkapkan perasaanku, rasanya selalu ditolak dengan halus...”

Sebenarnya, sebelum makan malam atau saat bermain kembang api tadi, ada beberapa kesempatan yang bisa dimanfaatkan untuk menciptakan suasana romantis berdua. 

Namun, tampaknya bagi Takizawa, hasilnya masih belum memuaskan.

Seperti yang Umi katakan, hampir tidak diragukan lagi bahwa perasaan mereka berdua saling terikat. Hanya perlu satu momen yang tepat untuk mengubah hubungan mereka dari “senpai dan kouhai” menjadi “sepasang kekasih.”

...Mungkinkah ada sesuatu yang menahan Nakamura-san? Atau mungkin dia hanya sangat lamban menyadari perasaannya sendiri? Sejujurnya, itu sangat mungkin terjadi jika melihat kepribadiannya.

“Jadi, bagaimana menurutmu, Maki?”

“Eh, aku?”

“Tentu saja. Di antara kita bertiga, hanya kamu yang sudah punya pacar. Kalau kamu merasa ini sulit, ya, aku yang harus memberi nasihat.”

“...Tapi itu mungkin malah membuat masalahnya jadi tambah rumit.”

Sebagai senior yang baik, aku ingin sekali membantu junior kami. Tapi Nozomi, yang tidak punya pengalaman berpacaran, dan aku, yang jelas-jelas hanya beruntung dalam hal asmara, tidak memiliki cukup pengetahuan untuk memberikan nasihat cinta. 

Soal pelajaran atau olahraga, kami mungkin bisa memberikan saran. Namun, kalau urusan cinta itu bukan bidang kami.

Sebenarnya, aku ingin sekali berkonsultasi dengan Umi. Tapi aku tidak tahu bagaimana situasi di kamar perempuan sekarang. 

Setelah meminta izin dari Takizawa dan Nozomi, aku memutuskan untuk mengirim pesan pada Umi.

(Maehara) “Umi.”

(Asanagi) “Hmm? Ada apa?”

(Asanagi) “Apa kamu nggak bisa tidur karena rindu sama aku, ya?”

(Asanagi) “Hehe, Maki memang manja di mana-mana, ya.”

(Maehara) “...Iya, sih. Tapi kali ini bukan itu masalahnya.”

(Asanagi) “Oh? Lalu, ada apa?”

(Maehara) “Bagaimana dengan Nakamura-san? Dia masih di kamar, kan?”

(Asanagi) “Nakamura-san? Sepertinya dia sudah tidur... Mungkin.”

(Maehara) “Mungkin?”

(Asanagi) “Iya.”

(Asanagi) “Baru saja kami ngobrol berempat, tapi begitu topiknya jadi tentang cinta, dia langsung menyusup ke dalam selimut.”

(Asanagi) “Saat kami panggil, dia bilang selalu tidur jam sebelas, lalu mulai pura-pura mendengkur.”

(Maehara) “Begitu, ya.”

Entah dia memang disiplin soal jam tidur atau hanya ingin menghindari topik tentang cinta. Sepertinya lebih condong ke yang kedua. Tapi kalau dia sudah tidur, ini kesempatan bagus untuk membicarakan masalah ini dengan Umi.

“Takizawa, bolehkah aku bicarakan ini dengan Umi?”

“Tidak masalah. Aku serahkan sepenuhnya kepada Maehara-senpai dan Asanagi-senpai.”

“Terima kasih. Kalau begitu, aku akan coba bicara dengan Umi.”

Setelah mendapat izin dari Takizawa, aku mengirim pesan pada Umi agar datang ke kamar kami.

(Maehara) “Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Bisa datang ke kamar kami sekarang?”

(Asanagi) “Eh, mesum.”

(Maehara) “Percakapan ini sudah sering terjadi, ya... Tapi bukan itu maksudku.”

(Asanagi) “Hehe, tenang. Aku sudah bisa menebak isi permbicaraannya.”

(Asanagi) “Ini soal Takizawa, kan?”

(Maehara) “Benar sekali. Kamu hebat.”

(Asanagi) “Hehe. Kebetulan kami juga sempat bicara tentang hal yang mirip tadi.”

(Asanagi) “Aku bisa datang sekarang. Tapi apakah nggak apa-apa kalau aku ajak Yuu? Dia nggak mau jauh-jauh dariku sejak tadi.”

(Maehara) “Tentu saja nggak masalah dengan Amami. Tapi bagaimana dengan Nitta-san?”

(Asanagi) “Nina mungkin nggak ingin dengar hal-hal seperti ini. Aku akan minta dia menemani Nakamura-san saja.”

(Asanagi) “Anggap saja dia sebagai ‘pengawas.’”

(Maehara) “Benar juga. Maaf ya, Umi. Jadi merepotkanmu.”

(Asanagi) “Nggak apa-apa.”

(Asanagi) “Aku siap-siap sekarang. Sepuluh menit lagi aku ke sana.”

(Maehara) “Terima kasih. Sampai nanti.”

Sudah sekitar lima belas menit sejak aku memberitahu dua teman sekamar bahwa Umi dan Amami-san akan datang, dan kegelisahan mulai terasa.

Kemudian, terdengar ketukan pelan di pintu. 

*Tok, tok.

“Sepertinya mereka sudah datang. …Nozomi, aku pastikan sekali lagi, boleh kan mereka masuk?”

“O-ooh.”

Sejak mendengar kabar bahwa Amami-san akan datang, Nozomi terus saja memperhatikan poni nya dan alisnya lewat kamera ponsel.

Biasanya, kami selalu bersama di sekolah, tapi karena kali ini situasinya berbeda, mungkin wajar jika dia merasa gugup.

Aku sendiri tidak terlalu gugup, tapi diam-diam merasa senang karena Umi mau datang di jam seperti ini.

“Silahkan masuk. Tempat tidurku sudah aku kosongkan, jadi kalian bisa duduk di sana.”

“Baik. …Selain Takizawa-kun, ini memang orang-orang yang biasa kita temui, tapi karena waktunya sudah malam, suasananya terasa agak aneh.”

“Ehehe, maaf mengganggu malam-malam begini. Waa, jadi ini kamar anak laki-laki ya… Tata ruangnya sih hampir sama, tapi baunya jelas berbeda.”

Sepertinya mereka datang setelah siap-siap untuk tidur, karena Umi dan Amami-san sudah berganti pakaian tidur.

Umi memakai T-shirt murah dan celana training abu-abu longgar, sama sepertiku. Sementara itu, Amami-san mengenakan piyama berwarna pink pucat dengan motif bunga yang imut.

Begitu dua gadis itu masuk, aroma lembut yang manis mulai menyelimuti kamar yang tadi penuh dengan bau khas laki-laki.

Dan kini, gerakan Nozomi tampak semakin canggung.

“Takizawa-kun, selamat malam juga.”

“Terima kasih banyak, Asanagi-senpai dan Amami-senpai. Maaf merepotkan kalian untuk datang malam-malam begini hanya demi diriku.”

“Takizawa-kun, tidak perlu merasa seperti itu! Hehe~. Setelah sekian lama, akhirnya ada obrolan cinta lagi… Karena sudah malam, suasananya bikin makin bersemangat.”

“Yuu, ingat ya, ini obrolan serius, jadi kita harus membantu dia dengan baik.”

“Tentu saja! Soal cinta… memang aku belum punya pengalaman pacaran, tapi setidaknya aku bisa berbagi dari sudut pandang seorang gadis yang pernah menerima pernyataan cinta.”

Nozomi, yang duduk di sebelahku, tiba-tiba mengeluarkan suara tercekik karena pernyataan tak terduga itu, tapi kuharap dia bisa menahan diri sampai obrolan ini selesai.

Pertama-tama, Takizawa mulai menjelaskan kepada Umi dan Amami-san tentang situasinya agar mereka bisa lebih memahami sebelum masuk ke topik utama.

“Jadi begitu ya… Nakamura-san ternyata gadis yang membuat orang lain kesulitan tanpa disadari.”

“Tapi, kurasa aku bisa sedikit memahami perasaan Nakamura-san. Takizawa-kun itu keren sekali, jadi mungkin berada terlalu dekat dengannya malah membuatnya gugup. Mungkin rasanya seperti Nina-chan saat dekat dengan orang yang dia suka.”

“Jadi, dia tidak benar-benar membenciku atau merasa terganggu?”

“Benar. Sebagai teman sekelasnya, aku bisa jamin itu.”

“Begitukah? Syukurlah…”

Takizawa akhirnya menunjukkan ekspresi lega setelah mendengar kata-kata Umi.

Meski aku tidak tahu pasti apa yang Nakamura-san katakan saat mereka berduaan, kemungkinan dia khawatir telah melakukan sesuatu yang membuatnya tidak disukai.

Kadang-kadang, seseorang bisa terlalu menjaga hubungan saat ini sampai-sampai tidak punya keberanian untuk melangkah maju.

Belum lama ini, aku juga menemui situasi serupa.

“Hmm, ini manis tapi sekaligus bikin geregetan… Tapi kenapa Nakamura-san tidak tegas saja? Kan mereka sama-sama suka, jadi tinggal jadian saja seperti Umi dan Maki-kun. Misalnya, ‘Aku suka kamu, Umi.’ Lalu Umi bilang, ‘Senang sekali, aku juga suka kamu, Maki.’ Kemudian mereka berdua berciuman mesra… Kyaa~!”

“…Yuu, bisa nggak berhenti membuat drama aneh seperti itu? Lagi pula, jauh berbeda dari kenyataan.”

“Eh? Iyakah? Padahal menurutku adegannya mirip seperti itu…”

“Maki?”

“…Eh, sepertinya aku salah. Amami-san, membuat cerita palsu itu nggak baik, lho.”

Dengan hanya dua suku kata, Umi bisa memberi tekanan luar biasa, dan aku pun langsung menurutinya.

Sudah lebih dari enam bulan sejak kami mulai berpacaran, dan rasanya aku sudah sangat terbiasa dengan dinamika ini—ditundukkan olehnya, bahkan di masa SMA seperti sekarang.

“Lupakan soal kami. Takizawa-kun, menurutku, lebih baik kamu jujur mengungkapkan perasaanmu saat ini, tanpa memikirkan perasaan Nakamura-san terlebih dahulu.”

“Untuk diriku sendiri, maksudnya?”

“Iya. Aku mengerti kamu ingin menghormati perasaan Nakamura-san, tapi aku nggak mau melihatmu terus-menerus menderita karena hal ini.”

Meskipun penting untuk menghormati perasaan Nakamura-san, aku tetap merasa bahwa yang paling utama adalah hati Takizawa sendiri.

Aku paham kalau untuk mengungkapkan perasaan diperlukan waktu dan kesiapan mental. Aku sendiri pernah merasakannya ketika mulai menyadari perasaanku pada Umi dan butuh lebih dari satu bulan hingga akhirnya bisa menyatakannya. Jadi, aku bukan berada dalam posisi untuk berbicara sok tahu.

Namun, menahan perasaan terlalu lama bukanlah hal yang baik bagi kesehatan mental.

Aku pun sering berpikir, bagaimana jadinya kalau aku tidak mengakui perasaanku pada Umi saat Natal tahun lalu dan membiarkan semuanya berlalu begitu saja?

“Aku pernah bilang sebelumnya... Rasanya sangat luar biasa waktu orang yang kita suka menjadi pasangan kita. Mungkin ini bukan hal yang sering diungkapkan di depan umum, tapi sebagai pasangan, ada banyak hal yang bisa kita lakukan, yang nggak mungkin dilakukan sebagai teman biasa.”

“Jadi, Umi-san, Maki-kun bilang begitu, tapi menurutmu bagaimana?”

“N-no comment!”

Aku merasa sedikit bersalah karena membuat Umi jadi malu, tapi seperti yang pernah kusampaikan pada Riku-san, inilah perasaanku yang sebenarnya.

Menjalin hubungan sebagai teman biasa memanglah menyenangkan, tapi jika kita sama-sama saling menyukai, dan ketika menjadi pasangan, akan jauh lebih membahagiakan dan penuh dengan perasaan sukacita.

“Aku setuju untuk menyampaikan perasaan secara jujur, banyak orang bilang soal momen yang tepat atau suasana yang pas, tapi kalau benar-benar menyukai seseorang, hal-hal seperti itu tidak begitu penting.” kata Umi.

“Aku juga sependapat, kalau tiba-tiba, mungkin aku juga akan terkejut, tapi ini bukan sesuatu yang mendadak, kan? Kalau begitu, kurasa Nakamura-san akan senang menerimanya... Eh? Seki-kun, kamu kenapa? Ngantuk?” tambah Amami.

“A-ah, rasanya aku tak sanggup lagi menghadapi kenyataan di depan mataku...”

“??”

Nozomi, yang terkena serangan mental akibat ucapan Amami-san, akhirnya menyerah. Kini dia sudah terbaring telentang di belakangku, nyaris seperti sekarat. Kasihan sekali.

“Aku mengerti maksud kalian, Senpai, kalau memang suka, mungkin lebih baik nggak terlalu banyak berpikir dan langsung menyampaikan perasaan. Tapi, bagaimana caranya agar Mio-senpai merespon? Mungkin semakin cepat semakin baik, ya?” kata Takizawa-kun sambil merenung.

Seperti yang dikatakan Takizawa, sebaiknya dia segera menyelesaikan masalah ini selagi tekadnya masih kuat. Tidak harus hari ini, tapi paling tidak sebelum liburan musim panas berakhir.

“Soal itu, sebenarnya aku punya ide,” ucapku.

“Benarkah?!” Takizawa menatapku dengan mata penuh harapan.

Ada satu cara untuk menarik perhatian Nakamura-san, yang saat ini pura-pura tidur di atas ranjang. Sebuah alasan yang kemungkinan besar akan membuatnya tertarik—terutama karena ini musim panas, dan waktu seperti ini sangat cocok.

“Kalau begitu, bagaimana kalau kita begadang lebih lama lagi?” tanyaku pada semua orang.

Sepertinya mereka mulai menangkap maksudku.

Kami sudah menikmati berbagai kegiatan di villa: berenang, barbeque, memancing di tengah laut dengan kapal pesiar. Tapi ada satu tempat yang belum kami kunjungi—sebuah kuil kecil di puncak bukit di belakang villa.

◆   ✧ ₊ ✦ ₊ ✧   ◆

Di tengah malam yang hampir berganti hari, kami bertujuh berkumpul di depan gerbang torii yang terletak tak jauh dari villa.

“Umi, anu...”

“Tidak.”

“Aku bahkan belum bilang apa-apa.”

“Kamu mau membatalkan uji nyali, kan? Memang sih, auranya cukup menyeramkan.”

Di bawah sorot senter, terlihat deretan tangga batu yang panjang menuju puncak, dan sebuah gerbang torii merah menyala yang berdiri mencolok di kegelapan. 

Di kedua sisi gerbang, terdapat patung rubah kecil yang lucu, tanda bahwa kuil itu memuja dewa Inari.

Menurut salah satu pelayan villa, tempat ini terkenal sebagai lokasi spiritual di daerah tersebut.

Kalau hanya untuk berdoa, seharusnya tidak ada masalah baik siang maupun malam, kata pelayan villa tersebut. 

Namun, jujur saja, aku mulai sedikit menyesal.

“Hei, Yuu, kamu pernah ke sini bareng Sanae dan yang lainnya?”

“Iya. Tapi waktu itu kami datang pagi-pagi saat jalan-jalan. Kalau malam begini, seingatku kami belum pernah ke sini... Aku dan Manaka-chan memang sempat memiliki rencananya, tapi Sanae-chan dan Umi katanya takut.”

“Oh, begitu ya.”

“Iya!”

“Kamu mengiyakan dengan wajah begitu bersemangat...”

“Hehe~”

Dengan kombinasi antara semangat uji nyali dan suasana malam, Amami-san tersenyum cerah seperti belum pernah kulihat sepanjang hari ini.

Dan orang yang tadi berpura-pura tidur pun kini tampak segar kembali.

“Jadi, ini kuil Inari yang penuh misteri dan terkenal di daerah ini... Bayangkan, di tengah malam yang sunyi, saat cahaya bulan menyinari altar utama, ditemukan mayat misterius dengan pesan aneh yang tertinggal di lokasi. Apakah ini kutukan, atau mungkin—”

“Mio-senpai, aku tahu kamu suka misteri, tapi tolong jangan mengarang-ngarang cerita seperti itu.”

Seperti dugaanku, Nakamura-san yang tadi berpura-pura tidur langsung terbangun begitu mendengar usulan uji nyali.

“Aku nggak bisa tidur, jadi ikut kalian saja!” katanya, dengan mata berbinar penuh antusias, seperti Amami-san.

Meski dia terbujuk untuk ikut, kalau ini hanya berakhir sebagai uji nyali biasa, akan terasa kurang menarik. Aku harus memastikan ini berjalan sesuai rencanaku.

“Baik, sekarang kita akan tentukan pasangan lewat undian. Ada tiga warna—merah, putih, dan kuning—masing-masing dua batang. Mereka yang mendapat warna sama akan jadi pasangan. Tugas kalian adalah berdoa di puncak dan mengambil omikuji untuk dibawa kembali.”

“Ketua, kalau begitu akan ada satu orang yang tidak kebagian pasangan. Bagaimana? Jadi penjaga? Atau jalan sendirian?”

“Awalnya aku mau bilang sendiri saja, tapi rasanya sedikit kejam. Jadi, yang mendapatkan batang tanpa warna boleh memilih pasangan mana pun untuk bergabung.”

Aku harus berjaga-jaga agar tidak sendirian. Manajemen risiko itu penting.


Setelah undian dengan sumpit buatanku, hasilnya adalah:

1. Maehara dan Nakamura


2. Asanagi dan Amami


3. Takizawa dan Nitta

Nozomi, yang mendapat sumpit tanpa warna, akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan kelompokku dan Nakamura-san.

“Sebenarnya aku ingin bersama Maki...”

“Maaf ya, Asanagi-chan. Aku sudah mengambil ‘pengalaman pertama’ Maehara.”

“Nakamura-san, tolong jangan bilang seperti itu.”

“Maki... kamu selingkuh.”

“Ini cuma undian...”

Aku juga sebenarnya ingin berpasangan dengan Umi, tapi karena aku tidak curang dalam undian, hasil ini mau tak mau harus kuterima. Umi pasti mengerti.

“Kalau begitu, Umi, aku pergi dulu ya.”

“Maki, nanti kalau kamu kembali, gantian sama aku, ya.”

“Aku harus dua kali jalan? Baiklah, akan kupikirkan dengan positif.”

Setelah berpamitan, aku, Nozomi, dan Nakamura-san mulai mendaki tangga batu dengan bantuan senter.

“Kasihan kalian, para lelaki. Bukannya dapat pasangan yang kalian inginkan, malah berakhir denganku, si aneh ini.”

“Yah, situasimu juga tak jauh berbeda, kan?”

“Benarkah? Bagaimana menurutmu, Maehara?”

“Nakamura-san, tolong hentikan candaan seperti itu.”

Meskipun sudah jauh dari kelompok lain, entah kenapa aku merasa ada ‘tekanan’ dari belakang.

Sepertinya, akan lebih baik jika tadi kami memilih pasangan lewat diskusi, bukan undian. Nakamura-san pun sepertinya menyadari maksud kami.

Baiklah, aku akan langsung menanyakannya saja.

“Nakamura-san.”

“Ada apa?”

“Barusan, Takizawa curhat padaku.”

“Tentang apa?”

“Apa kamu tidak suka dengan Takizawa?”

Saat menapaki tangga batu, aku melontarkan pertanyaan dengan nada biasa saja. Mendadak, langkah Nakamura-san terhenti.

“...Hehe, Maehara, meski kelihatannya kalem, ternyata pertanyaanmu cukup jahat, ya.”

“Aku cuma kalem waktu di sekolah. Kalau di luar, aku biasanya begini. Jadi, bagaimana?”

“Hehe...”

Setelah hening beberapa saat, Nakamura-san tersenyum masam seolah menyerah.

“Aku nggak benci dia, kok... Eh, tapi jawaban itu agak licik ya.”

“Kalau begitu—”

“Iya... Aku suka dia. Sangat.”

Sangat suka. Artinya, Nakamura-san memikirkan Takizawa bukan hanya sebagai teman, tapi sebagai lawan jenis. Takizawa menyukai Nakamura-san, dan Nakamura-san juga menyukai Takizawa.

Namun entah kenapa, meski saling menyukai, hubungan mereka tidak berjalan mulus.

“Aku memang menyukainya, tapi... yah, aku juga punya alasan sendiri. Soal masa depan, soal sekolah, dan hal-hal lainnya. Kamu sendiri kan juga nggak langsung jadian dengan Asanagi-chan, kan?”

“Eh, kasusku nggak begitu rumit, sih. Kami awalnya berteman biasa sejak semester dua, tapi waktu libur musim dingin, aku sudah menginap di rumah Umi. Dari akhir tahun sampai awal tahun, kami bareng terus.”

“Maaf, sepertinya aku salah pilih orang buat dijadikan contoh.”

Walaupun dalam kasusku dan Umi, ada sedikit waktu sebelum kami resmi berpacaran, hubungan kami selalu terasa lebih dari sekadar teman. Tidak seperti Nakamura-san, yang terlihat sengaja menghindari perasaannya.

“Pokoknya, aku juga punya rencana sendiri. Nanti, kalau waktunya tiba, aku akan menerima perasaan dia dengan baik.”

“Waktu yang tepat... maksudmu kapan, persisnya?”

“Se... secepatnya. Yah, sebelum aku lulus, lah!”

Setelah berkata demikian, Nakamura-san bergegas menaiki tangga dengan langkah dua-dua, meninggalkanku dan Nozomi di belakang.

“Sebelum lulus... Itu sama saja kayak waktu SMP, kan?”

“Iya, aku juga merasa begitu.”

Dari sikap gugup Nakamura-san, aku bisa menebak bahwa perasaannya masih bimbang antara “senior-junior” dan “kekasih.”

Sekarang, bagaimana keadaan Umi dan yang lainnya? Apakah mereka bisa mengatasinya dengan baik?

Setelah kami akhirnya menyusul Nakamura-san yang lebih dulu naik, kami bertiga melakukan sembahyang bersama. Tidak lupa, kami juga mengambil kertas ramalan (seharga sepuluh yen sekali ambil, dan hasilnya adalah shokichi—peruntungan kecil) sebelum perlahan menuruni jalan setapak.

“Hah, kalau tahu bakal begini, mending aku terus pura-pura tidur saja... Kenapa semuanya selalu ada di pihak Souji? Padahal aku juga... ah, sudahlah...”

Nakamura-san tampak mengambil jarak dari kami sambil bergumam kesal, wajahnya menunjukkan ketidakpuasan.

Sepertinya, kali ini aku sudah bertindak terlalu jauh. Tapi jika tidak didorong seperti ini, hubungan mereka tidak akan pernah berkembang dari sekadar senior dan junior. Sama seperti kasus Umi sebelumnya, terkadang hubungan yang terlalu akrab dalam jangka panjang malah bisa menjadi penghambat.

“Ah, Umi, lihat! Maki dan yang lainnya sudah kembali!”

“Ah! Selamat datang! Jadi, bagaimana? Ketemu hantu nggak?”

“Sayangnya, nggak ada apa-apa. Bagaimana dengan kalian, Amami-san?”

“Kami sih cuma ngobrol sepanjang waktu... Oh ya, Souji-kun, kamu masih ingat foto yang tadi kita ambil berempat? Gimana hasilnya?”

“Ah, itu... Ehm...”

“Takizawa-kun, nggak usah sampai nyari-nyari alasan segala demi aku.”

“Eh, Souji-chi, coba aku lihat juga! Wah, fotonya bagus banget, nih!”

Sepertinya, selama menunggu, keempat orang itu sudah makin akrab satu sama lain. Namun, ada satu gadis yang terlihat kurang senang dengan pemandangan ini.

“Hah? Foto? Kalian berempat? Hasilnya bagus? Dan... panggil nama?”

Seperti ingin memastikan, Nakamura-san mengulang kata-kata yang baru saja didengarnya. Ia menatap Amami-san, lalu Umi, kemudian Nitta-san, dan akhirnya matanya tertuju pada Takizawa-kun yang dikelilingi oleh tiga gadis itu.

“Tsk.”

Sebuah dengusan kesal, cukup keras hingga terdengar jelas oleh kami. Meski wajahnya tak terlihat jelas di bawah cahaya remang, tak diragukan lagi ia sedang dalam suasana hati yang buruk.

Sepertinya, mereka berempat sedikit kebablasan dalam memainkan peran “teman akrab.”

“Kalau begitu, sekarang giliranku dan Umi. Gimana, Umi? Mungkin Maki bisa kita ajak juga, biar nggak takut.”

“Iya. Maki, takut. Temani kami.”

“Kenapa kamu tiba-tiba jadi ngomong kayak gitu? Yah, baiklah, kalau kamu mau, aku yang temenin.”

Meski ini membuat undian jadi sia-sia, tak masalah selama tujuan awal sudah tercapai.

Takizawa-kun, kalau terus lengah, bukan tidak mungkin hatinya akan terpikat oleh gadis lain. Yang terpenting, Nakamura-san harus mulai merasa sedikit khawatir.

“Apa-apaan sih Souji... Seru banget sama cewek-cewek selain aku... Amami-san, Nitta-san... Kenapa sih yang cantik selalu menang? Jadi selama ini aku capek-capek usaha buat apa? Bodoh... Aku ini benar-benar bodoh...”

Tentu, kesal dan cemburunya itu nanti akan aku bantu luruskan.

Dan di tengah campur aduknya perasaan semua orang, malam musim panas ini pun perlahan terus berlalu.

















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !