Bab 1
Menuju Musim Panas
Banyak siswa mungkin mulai merasa bersemangat menjelang liburan musim panas,
Tapi bagi siswa SMA, mereka tak bisa lagi bersikap seperti anak SD yang hanya tahu bersenang-senang saja.
Saat memasuki musim panas di kelas dua SMA, sebagian siswa mulai menyadari pentingnya kata “ujian masuk universitas.”
Di kelas kami, sudah ada yang mulai membahas soal “mau ikut kursus musim panas atau tidak.”
Maka dari itu, aku pun harus mulai memikirkan masa depanku juga.
Aku sudah memastikan rencanaku untuk melanjutkan kuliah. Tapi, satu-satunya hal yang sudah aku tetapkan selain itu adalah kehidupan yang akan kujalani bersama Umi, pacarku.
Aku berharap kami bisa masuk universitas yang sama pada musim semi dua tahun mendatang, lalu memulai hidup bersama. Setelah itu—bayangan tentang hal-hal yang ingin kulakukan bersama Umi begitu jelas dalam benakku.
Namun, anehnya, ketika harus memikirkan hal-hal di luar itu, pikiranku langsung buntu.
Selama bisa hidup bersama Umi, jenis pekerjaan apa pun tak masalah bagiku. Meski begitu, aku sadar, sudah waktunya aku mulai memikirkan apa yang sebenarnya menarik minatku. Tapi, sebelum itu, ada masalah yang lebih mendesak di depan mata—ujian akhir semester.
“Nee, Umi. Sebagai sahabatku, kamu pasti tahu hari ini hari apa, kan?”
“Tentu saja. Hari ini kan hari belajar bareng buat persiapan UAS. Kita harus dapat nilai bagus!”
“Iya sih... Tapi bukan itu! Hari ini ulang tahunku! Tanggal 7 Juli, Hari Tanabata—hari di mana Orihime dan Hikoboshi bisa bertemu. Hari yang romantis. Tapi kenapa aku harus berjuang melawan rasa kantuk sambil buka buku matematika?”
“Musuhmu bukan kantuk, melainkan soal-soal ini. Ayo, setelah selesai, kita rayakan ulang tahunmu. Tinggal empat halaman lagi, kok.”
“Ugh... Maki-kun...!”
“Walaupun kamu memandangku begitu, jawabannya tetap tidak.”
Hari ini memang ulang tahun Amami-san, tepat tanggal 7 Juli. Biasanya, sesi belajar diadakan di rumahku, tapi khusus hari ini, kami pindah ke ruang tamu rumah Amami-san.
Kami berlima duduk mengelilingi meja besar, sibuk belajar untuk ujian. Meski merasa kasihan, aku berharap Amami-san bisa bertahan sedikit lagi.
“Maki, bantu aku. Ini gimana cara terjemahin kalimat panjang ini? Aku nggak ngerti sama sekali.”
“Oh, yang itu? Itu dari sini nyambung ke kalimat setelahnya. Jadi coba terjemahkan sesuai urutan ini, pasti lebih mudah.”
“Ohh, gitu! Makasih!”
Hari ini, Nozomi juga ikut dalam sesi belajar sekaligus perayaan ulang tahun Amami-san. Karena sedang dalam periode turnamen musim panas, sebenarnya dia harus bertanding.
Namun, karena timnya kalah di babak pertama, dia bisa bergabung dengan kami di sini.
“Kamu serius sekali belajar hari ini, Nozomi. Tenaga berlebih karena kalah di pertandingan pertama, ya?” goda Nitta.
“Oi, Nitta... Aku berusaha melupakan kekalahan itu, tapi kamu malah mengingatkanku lagi...” keluh Nozomi sambil mendesah.
“Nozomi, semangat ya! Walau kalah, pertandingan kemarin seru banget. Kamu sudah berusaha sekuat tenaga, kan? Iya, kan, teman-teman?”
“Benar. Tim lawan kan salah satu yang terkuat di provinsi. Meskipun kalah, hasil akhirnya nggak ketebak sampai detik terakhir, kan, Umi?”
“Benar. Bahkan aku sempat lihat tim lawan sedikit panik karena permainan Nozomi yang luar biasa. Kamu sudah melakukan yang terbaik.”
“Terima kasih, semuanya... Tapi tetap saja, kekalahan itu memang mengecewakan.”
“Semangat, Nozomi!”
“Nitta, kenapa kalau kamu yang ngomong kesannya jadi enteng banget...”
Tim Nozomi kalah 0-1 dalam pertandingan kemarin, jadi mereka tersingkir di babak pertama. Meski begitu, Nozomi sudah bermain sangat baik.
Selama beberapa inning awal, dia berhasil menahan skor tetap 0-0, bahkan sempat mencetak hit sebagai pemukul. Sayangnya, di akhir pertandingan, timnya kebobolan satu poin karena sedikit kesalahan, dan pertandingan berakhir dengan kekalahan bagi mereka.
Mungkin saja mereka punya peluang untuk menang, tapi kemampuan untuk memanfaatkan peluang itulah yang membedakan tim kuat dari yang lainnya.
Karena kekalahan mereka datang lebih awal, aku sebenarnya senang bisa punya waktu lebih banyak untuk bermain dengan Nozomi selama liburan musim panas.
Namun, mengingat betapa seriusnya dia dalam mengejar impiannya menuju turnamen nasional, perasaanku menjadi campur aduk.
“──Ara ara, kenapa kalian semua pasang muka muram begini? Di hari ulang tahun anakku malah suasananya jadi sendu begini, bibi sampai bingung harus gimana.”
“Oh, ibu sudah pulang. Jadi, kue ulang tahunnya sudah dibeli, kan?”
“Tentu saja. Pesanan kalian sempurna sekali. Kalian pasti suka.”
Saat kami sedang berusaha menghibur Nozomi, ibu Amami-san, Eri-san, kembali dari belanja dan masuk ke ruang tamu. Ini pertama kalinya kami semua berkumpul di rumah Amami-san sejak ulang tahunnya tahun lalu, jadi Eri-san terlihat bersemangat.
Selain kue, dia juga membawa daging besar dan banyak buah-buahan—tampaknya kali ini pun kami akan disuguhi makanan lezat yang melimpah.
“Hmm, jadi kamu yang namanya Nozomi, ya? Ini pertama kalinya kita ketemu, kan? Padahal rasanya sudah akrab karena aku ikut nonton pertandingan kalian kemarin.”
“O-oh, ya. Saya Nozomi Seki. Uhm, te-terima kasih karena sudah berbaik hati pada saya──umm... Amami-san.”
“Nggak perlu kaku begitu. Panggil saja aku Eri. Kalau soal anakku... yah, terserah saja kamu mau panggil apa.”
“Ibu! Kami sedang belajar! Jadi jangan ganggu!”
“Iya, iya. Ini, kue dan camilannya kutaruh di sini. Kalau lapar, ambil saja. Nanti aku siapkan makan malam juga.”
Setelah berkata begitu, Eri-san pun pergi ke dapur.
“Maaf ya, Nozomi-kun. Sejak pertandingan kemarin, ibu jadi tertarik sama kamu dan terus minta aku bawa kamu ke sini.”
“Wah, begitu ya. Kalau nggak merepotkan, aku sih senang saja.”
“E-eh, iya...”
“……”
“Ada apa? Kalian kenapa lihat aku begitu? Kalau ada masalah, bilang saja.”
“Nggak ada apa-apa, kok.”
“Betul. Aku setuju dengan Maki.”
“Tidak ada keberatan!”
Saat melihat Amami-san dan Nozomi bersama, masih terasa jelas canggungnya hubungan mereka. Meski wajar karena pernah ada perasaan yang ditolak di antara mereka, aku berharap mereka bisa sedikit lebih nyaman sebagai teman.
“Baiklah, karena Eri-san sudah pulang, jadi mari kita segera selesaikan waktu belajar kita. Maki, biar aku yang mengajar Yuu sendiri, kamu urus Nina dan Seki, ya.”
“Siap. Kalau begitu, mari kita selesaikan dalam satu jam berikutnya. Nitta-san, Nozomi, ayo semangat sedikit lagi.”
“Siap!”
“Okaaaay.”
Seperti biasa, aku dan Umi bekerja sama mengawasi sesi belajar mereka bertiga. Meski harus membagi fokus dengan pelajaran kami sendiri, melihat mereka memahami materi yang kami ajarkan terasa memuaskan.
Selama bisa bersama berlima seperti ini, rasanya segala hal akan selalu menyenangkan.
“...Maki, aku sudah selesai.”
“Ketua, aku juga sudah.”
“Baiklah... Hmm, sudah benar semua. Umi, bagianmu bagaimana?”
“Lumayan. Nilai pas-pasan, tapi cukup lah.”
“Fyuuhh…”
Amami-san langsung rebahan di atas meja dengan lega setelah dinyatakan lolos oleh Umi yang galak dalam mengajar. Jika aku yang mengawasi, mungkin aku akan cenderung memanjakannya, tapi Umi bisa bersikap tegas saat dibutuhkan. Mungkin dia cocok jadi guru di masa depan, walaupun pekerjaan itu sepertinya tidak mudah—terutama kalau mendengar keluhan Yagisawa-sensei hampir setiap hari.
Karena sesi belajar sudah selesai, sekarang waktunya perayaan ulang tahun Amami-san yang ditunggu-tunggu.
Kami bergegas merapikan buku dan alat tulis, membersihkan meja, dan merapikan ruangan. Setelah semuanya rapi, Eri-san muncul dari dapur, membawa kue ulang tahun yang tampak menggiurkan.
Sebuah kue tart warna-warni dengan dekorasi buah-buahan segar dan permen gula berbentuk bunga matahari—lambang dari karakter nama Amami-san—terhidang di tengah meja. Di bagian tengah kue, terdapat lempengan cokelat dengan tulisan dari cokelat putih: “Yuu, selamat ulang tahun ke-17.”
“Wah, kue ini imut sekali... Terima kasih, ibu!”
“Sama-sama, Sayang. Hadiah juga sudah disiapkan, tapi sebelum itu, cepatlah tiup lilinnya.”
“Baik!” Amami-san tersenyum, lalu menoleh pada kami.
“Sebelum itu, boleh kita lakukan tradisi yang biasa?”
[“Tentu saja!”]
Suara kami menggema di ruang tamu, menyanyikan lagu “Selamat Ulang Tahun” seperti yang sudah menjadi kebiasaan. Walaupun ini bukan pertama kalinya—karena kami pernah melakukannya saat ulang tahun Umi—tetap saja rasanya masih agak canggung. Namun, di balik rasa malu itu, kebahagiaan juga tak tertahankan.
“Fuuuuh...” Amami-san meniup lilin dengan satu hembusan panjang. “Yatta! Satu kali tiup saja!”
“Cukup lama, ya, hembusannya,” kata Umi sambil tersenyum.
“Tapi tetap saja, selamat ulang tahun, Yuu!”
“Terima kasih, Umi! Terima kasih juga, semuanya!”
Amami-san tersenyum lebar, dan sekelebat terlihat air mata di sudut matanya—bukan sekadar air mata bahagia, melainkan ungkapan perasaan yang lebih dalam.
Meskipun tidak semua orang tahu, Amami-san juga menghadapi banyak masalah, baik dalam pelajaran maupun hubungan sosial. Karena dia lebih menonjol dari orang lain, tatapan iri atau rasa ingin tahu pasti akan selalu menghampirinya. Di saat-saat seperti itu, kami—orang-orang terdekatnya—akan selalu ada untuknya.
Aku melihat sekeliling dan menyadari bahwa Umi, Nozomi, dan Nitta-san juga memikirkan yang sama.
“Baiklah! Sebelum memberikan hadiah, bagaimana kalau kita makan dulu? Aku yakin kalian sudah lapar,” kata Eri-san ceria.
“Setuju! Belajar di depan Umi tadi bikin aku lapar banget!” sahut Nitta-san.
“Kalimatmu bikin aku terdengar seperti monster.... Tapi ya, aku juga lapar” Umi mendengus
“Yah, kalau begitu kita impas,”
Dengan suasana yang akrab, kami mulai menikmati hidangan lezat yang telah disiapkan Eri-san. Masakan kali ini berbeda dari yang disajikan saat ulang tahun Umi, namun rasanya sama enaknya. Bahkan bisa dibilang, kemampuan memasak Eri-san sebanding dengan Sora-san, ibu Umi.
Tiba-tiba, pikiran tentang ibuku sendiri melintas di benakku. Karena kesibukan pekerjaannya, akulah yang biasanya memasak di rumah. Tapi aku selalu menyukai masakan Ibu—walaupun jarang—terutama saat dia sempat memasak untukku.
...Dulu, saat usiaku lebih muda, Ibu juga sering menyambut ulang tahunku dengan semangat seperti ini.
Ketika aku tenggelam dalam nostalgia, aku merasakan sentuhan lembut di pipiku.
“Maki, kamu kenapa? Muka kamu kelihatan seperti lagi banyak pikiran,” tanya Umi, memiringkan kepalanya penasaran.
“Benarkah? Bagiku dia kelihatan seperti biasanya—ketua mode on” Nitta-san menimpali.
“‘Ketua mode on,’ ya?” Aku tertawa kecil. “Ah, aku cuma teringat masa lalu. Tapi ngomong-ngomong, bulan depan aku juga akan ulang tahun ke-17.”
“Benar juga! Ulang tahun Maki itu tanggal 6 Agustus, kan? Angka yang gampang diingat—dua kali lipat ulang tahun Umi!” seru Nitta.
“Jangan ingat ulang tahun pacarku seperti tanggal sejarah begitu!” Umi menegur, meski ada senyum tipis di bibirnya.
“Asal kamu tahu saja, Asanagi-san pasti sudah menandai kalendernya sejak awal tahun. Siap-siap, ya, Maki!” tambah Nozomi sambil terkekeh.
“Nggak mungkin. Tapi... ya, sejak hari valentine lalu aku memang mulai kepikiran, sih, mau kasih apa buat ulang tahunnya.”
“Lihat? Itulah yang dinamakan persiapan matang,” kata Nozomi dengan nada menggoda.
Aku hanya bisa tersenyum. Walaupun persiapannya sudah berjalan setengah tahun, itulah yang membuat Umi terasa istimewa. Ini akan jadi ulang tahun pertamaku sebagai pacarnya, dan aku tahu betul, bagi Umi, hari itu sangat penting.
Aku teringat bahwa meskipun tidak seantusias Umi, sejak White Day berakhir dan libur musim semi dimulai, aku merasa sedikit gelisah. Aku terus memikirkan hadiah apa yang sebaiknya kupilih dan ucapan seperti apa yang tepat untuk diberikan padanya.
Saat aku melihat Umi memutar-mutar ujung rambutnya dengan jari sambil wajahnya sedikit memerah, aku sadar bahwa dia sedang merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan waktu itu.
“Bagaimana kalau kita merayakan ulang tahun Maki-kun bersama-sama? Hari itu kebetulan hari masuk sekolah, kan? Setelah selesai, kita bisa pergi jalan-jalan bersama, lalu pulang ke rumahku dan makan kue seperti hari ini. Ibu, boleh ya?” usul Amami-san dengan ceria.
“Kamu memang selalu ngasih kabar dadakan, ya...Tapi tidak masalah. Kami memang harus mampir ke rumah orang tua Hayato-san saat libur Obon, tapi selain itu Agustus cukup kosong.” Eri-san menghela napas kecil
“Yay! Kalian juga tidak ada acara, kan?” Amami-san bertanya pada yang lain.
“Aku sih bebas, Walau sebenarnya merayakan ulang tahun ketua kelas agak aneh, tapi masih lebih baik daripada di rumah.” jawab Nitta santai.
“Kalau aku, mungkin ada latihan klub, tapi sore harinya aku bisa.”
Amami-san, Nitta-san, dan Nozomi setuju, dan dengan persetujuan Eri-san, tempat juga tidak menjadi masalah. Kini, hanya tinggal satu orang lagi yang harus kuperiksa.
“Bagaimana, Umi? Mereka semua setuju. Kamu juga oke dengan rencana ini?”
“Kenapa tidak? Ulang tahunku juga dirayakan bersama, jadi tidak ada salahnya kalau kali ini kita rayakan ulang tahunmu dengan meriah. Lagipula, kalau ada niat baik seperti ini, harus diterima dengan senang hati.” Umi tersenyum penuh arti. “Atau... kamu ingin kita rayakan berdua saja sampai pagi?”
“Wah, Maki, kamu parah juga, ya. Aku tahu kalian itu pasangan mesra, tapi coba kontrol sedikit—di sini banyak cewek, tahu.” ledek Nitta-san dengan nada menggoda.
“Lagi-lagi kata-kataku dipelintir...” aku menghela napas pasrah.
Sejak perjalanan kami bulan lalu, aku tidak menyangkal kalau rasa penasaranku terhadap Umi semakin besar.
Namun, seperti kata Umi, jika teman-teman ingin merayakan ulang tahunku bersama-sama, tidak ada alasan untuk menolaknya. Meski agak berlebihan, niat baik ini harus diterima dengan tulus.
Mungkin Amami-san dan Eri-san akan membuat perayaan besar seperti hari ini lagi.
Walaupun sedikit merasa tidak enakan, aku tetap ingin menghargai usaha mereka.
“Kalau semua setuju dan tidak ada masalah, sepertinya aku akan terima tawaran kalian. Terima kasih banyak.”
“Berarti sudah diputuskan! Aku kira bulan depan bakal bosan makan soumen terus, tapi sekarang aku jadi bisa menantikan sesuatu! Amami-san bersorak gembira.”
“Ara, soumen juga enak, kan? baiklah, kalau begitu, khusus untukmu, Yuu, menu hari itu hanya soumen.” komentar Eri-san sambil tersenyum.
“E-ehh I-Ibu... eh, um... Ehehe Ibu hari ini terlihat sangat cantik ya!”
“Heh, Yuu-chin, kamu buruk sekali dalam merayu,” ledek Nitta, membuat semua orang di ruangan tertawa.
Kalau dipikir-pikir, setahun lalu rasanya tak mungkin aku berada dalam suasana seperti ini.
Selama ini, aku selalu merasa sendiri. Tapi sekarang, aku dikelilingi oleh orang-orang yang peduli padaku.
Mungkin setiap orang punya pendapat masing-masing tentang mana yang lebih baik, tapi buatku, yang selalu kesepian, rasanya lebih cocok bila ada seseorang di sisiku.
Meskipun aku terlalu malu untuk mengucapkannya, aku sangat menyayangi mereka semua.
Tentu saja, Umi tetaplah yang paling spesial di antara semuanya.
...Kenapa aku malah memikirkan hal-hal bodoh seperti itu lagi?
Di tengah suasana riang ini, akhirnya tiba saatnya bagi Amami-san menerima hadiah ulang tahunnya. Sebagai pemberi hadiah pertama, Eri-san menyerahkan sebuah topi dari merek terkenal yang sudah lama diinginkan Amami-san.
Meski aku tidak terlalu paham soal merek pakaian wanita, Umi bilang harganya cukup mahal. Aku pun memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih jauh.
Bagiku, nilai hadiah bukan terletak pada harganya, tetapi pada ketulusan di baliknya.
Lagipula, Amami-san adalah temanku, jadi tak perlu berlebihan dalam memberikan sesuatu hingga membuatnya merasa tak nyaman.
“Eh, Nozomi, kamu kenapa? Kok kelihatan tegang begitu?”
“...”
“Nozomi?”
“Eh?! Ah Y-ya A-ada apa?” Nozomi tersentak kaget.
“Coba tarik napas dalam-dalam dulu.”
Aku tahu Nozomi kadang canggung dan sulit mengekspresikan dirinya. Jadi, jika ia butuh bantuan, aku akan selalu ada untuk mendukungnya.
Tak pernah terpikirkan bahwa aku akan sampai pada titik di mana aku harus membantu teman lelaki seperti ini. Hidup memang bisa berubah secara drastis hanya karena hal-hal kecil.
“Selamat ulang tahun, Yuu-chin. Ini buatmu,” ujar Nitta sambil menyerahkan hadiah.
“Terima kasih, Nina-chan! Aku selalu kagum dengan seleramu,” jawab Amami-san riang.
“Benarkah? Tapi Yuu-chin cocok dengan apa saja, jadi aku tidak terlalu kesulitan memilih,” balas Nitta dengan tenang.
Meskipun terlihat sederhana, Nitta-san jelas tidak sembarangan memilih hadiah. Sikapnya yang seperti ini patut dicontoh, terutama oleh Nozomi.
“Amami-san, ini dariku. Sebenarnya aku ingin memberimu sesuatu yang lain, tapi karena kami kalah dalam pertandingan...” ujar Nozomi sambil sedikit ragu.
“Hadiah kemenangan? Itu agak aneh, Seki,” ledek Nitta.
“Apa salahnya? Lagipula, kalau hadiah lain sudah banyak, aku pikir sesuatu yang mencerminkan diriku lebih cocok.”
“Begitu ya. Tapi menurutku, kamu keren di pertandingan terakhir, jadi jangan terlalu kecewa, ya?” Amami-san memberi senyuman hangat.
“Ya... kau benar. Hey, Nitta, sesekali coba tiru sikap baik Amami-san ini, deh.”
“Apa katamu, hah?” Nitta-san membalas dengan cemberut.
Nozomi dan Nitta-san sering bertengkar dalam situasi seperti ini, tapi anehnya, tidak ada ketegangan di antara mereka. Dari luar, mereka terlihat cukup serasi—meski keduanya pernah mengatakan kalau mereka sama sekali bukan tipe satu sama lain.
“Sudahlah, kalian berdua. Oh, iya! Amami-san, ini hadiah dari kami.”
“Sebenarnya kami bisa pilih hadiah masing-masing, tapi kami pikir akan lebih banyak pilihan kalau patungan. Selamat ulang tahun, Yuu!”
“Wah, terima kasih, Umi, Maki-kun! Kadonya besar sekali. Boleh kubuka sekarang?”
“Silahkan.”
Amami-san dengan gembira membuka kado hadiah itu, dan di dalamnya terdapat boneka beruang berwajah masam.
“Oh, ini...”
“Benar. Ini mirip dengan yang diberikan waktu ulang tahunku, tapi dengan tambahan pita di lehernya.”
“Boneka ini imut sekali! Pita ini membuatnya semakin lucu. Aku harus segera memajangnya di kamar. Senang sekali kita punya boneka yang sama, Umi!”
Sewaktu mencari hadiah bersama Umi (sekaligus berkencan), kami menemukan boneka ini dan langsung sepakat untuk membelinya.
Melihat Amami-san begitu bahagia, rasanya semua usaha kami terbayar.
Ngomong-ngomong, setelah Amami-san membeli boneka ini, popularitasnya tiba-tiba melonjak, dan harganya naik hingga 1,5 kali lipat dari harga saat pertama kali dia membelinya. Begitulah, tren memang sulit dipahami.
“Umi, kira-kira boneka ini enaknya diberi nama apa, ya? Ngomong-ngomong, boneka yang kuberikan dulu kau beri nama apa?”
“Eh? Sebenarnya aku tidak pernah terpikir memberi nama, sih. Boneka hiuku juga tidak punya nama.”
“Yuu-chin, jangan tanya hal-hal yang menyulitkan. Mungkin Umi punya hal-hal memalukan yang tak bisa diceritakan pada orang lain,” ledek Nitta-san dengan nada menggoda.
“Eh? Aku tidak bermaksud begitu... Oh, iya, maaf ya, Umi. Lupakan saja pertanyaanku tadi.”
“...Kalian berdua kayaknya salah paham, deh. Iya, kan, Maki?” tanya Umi sambil menatapku.
“Eh, i-iya... Benar sekali,” jawabku, berusaha menahan tawa.
Sebenarnya, lelucon mereka tidak sepenuhnya salah. Berdasarkan info dari Sora-san, Umi pernah memanggil-manggil nama boneka beruang ini (yang katanya mirip denganku) saat dia sedang sendirian di kamarnya. Tapi demi menjaga harga dirinya, aku tidak akan mengatakan hal itu pada siapa pun.
“Baiklah, mari kita pikirkan nama untuk boneka ini. Ada ide?”
“Iinchou!” jawab Nitta-san tanpa ragu.
“M-Makiko...” sambung Nozomi dengan nada serius.
Hei, tunggu dulu!
“Kalau Nitta-san sih sudah terbiasa, tapi Nozomi juga ikut-ikutan?” keluhku pasrah.
“Yah, soalnya semakin kulihat, boneka ini makin mirip sama wajah Ketua,” ujar Nitta-san sambil terkekeh.
“Kalau dipikir-pikir, memang ada kemiripan, ya,” tambah Amami-san.
“B-benarkah...?” Aku merasa sedikit ragu dan bingung.
Sejak Amami-san bersikeras mengatakan hal itu, entah bagaimana pernyataan itu mulai diterima oleh semua orang. Meskipun aku sadar wajahku memang tidak terlalu ekspresif, mendengar orang lain terus-menerus menyebutnya mirip dengan boneka membuatku sedikit kehilangan rasa percaya diri.
Namun, ada sisi baiknya juga. Meski boneka itu terlihat dingin, ada sedikit kesan lucu di balik wajahnya, yang bahkan bisa kurasakan sendiri. Jadi, kupikir itu bukan hal buruk.
“Maaf kalau merusak suasana, tapi boneka itu sebenarnya perempuan, loh. Kata penjaga tokonya begitu. Dan... jangan main-main dengan nama pacarku,” ujar Umi mengingatkan.
“Iya, benar. Boneka itu kan perempuan, jadi jangan kasih nama yang terdengar seperti nama laki-laki. Tapi... ‘Makiko-chan’ malah terdengar cocok, ya?”
“Amami-san, kumohon, jangan terbawa suasana.”
Sebenarnya, aku tidak bisa jujur pada mereka. Umi sudah menggunakan namaku untuk salah satu bonekanya di rumah. Meski terdengar aneh, tetap saja aku tidak ingin memberitahukan hal itu.
“Untuk sementara, kenapa tidak kita tunda dulu soal namanya? Waktu di rumah, kami juga butuh seminggu untuk memberi nama si Rocky. Padahal, waktu Yuu lahir, namanya langsung terpikir dalam satu detik.”
“I-ibu tu pujian atau sindiran?” protes Amami-san, tersenyum setengah bercanda.
“Yah, mungkin itu artinya kau lahir di waktu yang mudah diingat. Namaku juga simpel. Karena sudah ada Daichi lalu Sora dan kakaku Riku, jadi sisanya aku dipanggil Umi,” jelas Umi.
“Wah, begitu, ya. Aku tidak terlalu peduli soal asal-usul nama, jadi baru tahu. Kalau Ketua gimana?” tanya Nitta-san padaku.
“Katanya karena ayahku bernama Itsuki dan ibuku Masaki, mereka mengambil huruf dari nama masing-masing dan menamaiku Maki. Kalau dipikir-pikir, setiap nama memang punya cerita menarik, ya.” Aku mengangguk kecil.
Syukurlah, berkat bantuan Nitta-san, kami bisa mengalihkan topik pembicaraan. Aku berharap Amami-san memberi boneka itu nama yang spesial, karena bagaimanapun, itu hadiah yang kupilih bersama Umi dengan penuh pertimbangan. Asal saja bukan nama seperti “Iinchou” atau “Makiko”, aku tidak akan protes.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆
Setelah pesta ulang tahun Amami-san selesai, tiba saatnya kami menghadapi ujian akhir semester. Ujian kali ini sangat penting bagiku karena aku berencana naik ke kelas unggulan tahun depan.
Selama tiga hari ujian, aku mengikuti semua saran dan strategi belajar dari Umi dengan seksama. Pada hari terakhir, setelah memeriksa jawaban untuk terakhir kalinya, bel tanda waktu ujian telah selesai berbunyi di seluruh sekolah.
“Sepertinya tidak ada masalah...” Aku menghela napas lega dan merebahkan kepala di atas meja, merasa lelah namun puas.
Dengan berakhirnya ujian, kami hanya perlu menunggu upacara penutupan. Dan setelah itu, liburan musim panas yang dinanti-nanti akan segera tiba.
“Baiklah, semuanya! Selamat atas kerja keras kalian selama ujian. Hari ini tidak ada pelajaran lagi, jadi kalian boleh pulang dan istirahat. Tapi, sebelum itu, ada sedikit pengumuman penting.” Suara Yagisawa-sensei memecah suasana.
“Sensei, apa ini tentang festival olahraga?” Amami-san bertanya dengan penuh antusias.
“Tepat sekali! Seperti biasa, festival olahraga kita akan diadakan awal September, di bawah terik matahari yang menyengat. Kalian pasti senang, kan?” ujar Yagisawa dengan nada sarkastis.
Festival olahraga di sekolah kami diadakan bergantian dengan festival budaya setiap tahunnya. Entah mengapa, sekolah selalu memilih September untuk mengadakan festival olahraga, bukan di waktu yang lebih sejuk.
Selain itu, festival ini membutuhkan banyak persiapan. Kami akan dibagi ke dalam empat kelompok—merah, biru, putih, dan kuning—dan setiap kelompok harus memilih ketua, wakil ketua, serta ketua tim dukungan. Tugas berat sudah menanti, tapi kami tidak punya pilihan selain mengikuti aturan sekolah.
Karena diadakan secara bergantian dengan festival budaya, aku tahu betul bahwa festival olahraga ini akan digelar dengan skala besar dan penuh persiapan.
Maka dari itu, kami harus mengalokasikan banyak waktu, termasuk untuk latihan setiap cabang lomba. Dan, tentu saja, kami akan kehilangan sebagian waktu liburan musim panas untuk persiapan ini.
“Soal pembagian kelompok, para guru yang akan menentukannya. Tapi... adakah yang ingin jadi perwakilan kelas dua?” tanya Yagisawa-sensei, melirik kami satu per satu.
“Tentu saja, kalau ada yang mau membantu, kami tidak akan lupa memberikan imbalan...”
Namun, kelas tetap hening. Melihat reaksi tersebut, sensei hanya bisa menghela napas kecil.
“Yah, tentu saja tidak ada yang mau. Aku sendiri juga seperti itu waktu masih jadi siswa...” gumamnya dengan nada menyerah.
Kalau gurunya saja tidak antusias, apalagi murid-muridnya.
Menjadi perwakilan di festival olahraga memang membuat seseorang terlihat menonjol dan disegani, tapi sebagai gantinya, nyaris seluruh waktu liburan harus dikorbankan demi latihan. Ini bukan keputusan mudah bagi kami, para siswa.
Biasanya, kecuali untuk mereka yang terpilih jadi anggota tim dukungan atau panitia, siswa lain baru mulai latihan serius setelah liburan Obon. Pada saat itu, jadwal semua cabang lomba dan latihan harus sudah tersusun rapi, karena setiap tim harus siap bersaing dan tampil maksimal.
Belakangan, setiap kelompok berlomba-lomba menyiapkan penampilan yang “menarik” dengan berbagai peralatan tambahan demi terlihat menonjol dan memukau penonton.
Seiring dengan meningkatnya kreativitas, waktu yang dibutuhkan untuk persiapan juga semakin banyak.
Meskipun menjadi perwakilan bisa memberi keuntungan dalam penilaian akhir, sebagian besar siswa tetap enggan mengambil peran itu. Jujur saja, aku juga berpikir demikian.
“Tapi, bagaimanapun, setiap kelompok harus punya perwakilan, kita juga butuh ketua di setiap kelas untuk mengkoordinasi semua kegiatan.” lanjut Yagisawa-sensei.
Aku bisa melihat bahwa sensei merasa tidak enak harus memaksa kami.
Wajahnya menunjukkan sedikit rasa bersalah, seakan mengerti betapa beratnya permintaan itu.
Secara tak sengaja, aku melihat Yagisawa-sensei melirik ke arah Amami-san. Meski sensei tidak mengatakannya, aku tahu ia berharap Amami-san bersedia mengambil peran itu.
Tidak bisa dipungkiri, Amami-san adalah kandidat yang paling tepat. Dengan kemampuan atletiknya yang luar biasa, dia selalu tampil menonjol, seperti saat pertandingan kelas beberapa waktu lalu. Tapi bukan hanya itu yang membuatnya spesial.
Meskipun orang sering teralihkan oleh penampilannya yang mencolok—rambut pirang dan mata biru—daya tarik utamanya justru terletak pada kepribadiannya. Ia punya energi ceria yang menular dan, tanpa sadar, membantu orang-orang di sekitarnya merasa lebih baik. Aku dan Umi termasuk yang sering terhibur oleh kepolosannya.
Amami-san bukan orang yang sempurna. Dia sering kesulitan dalam pelajaran dan terkadang bertindak tanpa pikir panjang.
Namun, justru karena itulah dia mengingatkan kami untuk tetap berusaha dan tidak menyerah. Jika Amami-san menjadi perwakilan, aku yakin seluruh kelas akan termotivasi.
Namun, aku tidak ingin Amami-san mengambil peran itu.
Bukan karena dia tidak mampu, tapi karena aku merasa kali ini keinginannya tidak dihiraukan.
Aku melirik ke arah tempat duduknya yang berada di tepi jendela, agak jauh dari tempatku duduk sekarang.
“Kamu kenapa sih, Amami. Kamu mengganggu jadi jangan menusuk-nusukku begitu,” kudengar suara Arae-san, teman sebangkunya, terdengar ketus.
“Tapi... aku cuma merasa pengen aja,” balas Amami-san, terdengar polos.
Dari interaksi itu, aku bisa menangkap sesuatu. Meskipun tidak ada yang terang-terangan memintanya menjadi perwakilan, ada harapan yang tidak terucap dari teman-teman sekelas kami.
Mereka berharap, seperti biasanya, Amami-san akan tersenyum cerah dan dengan sukarela berkata, “Aku akan melakukannya!”
Aku hanya bisa mendesah melihat situasi ini.
Kalau dia yang melakukannya, aku tahu Amami-san akan berusaha keras dan melakukan yang terbaik. Itulah Amami Yuu, gadis yang selalu memberikan segalanya.
Namun, aku juga tahu bahwa itu bukanlah keinginannya.
Sama seperti kami, dia pasti ingin menikmati liburan musim panas, bermain dan bersenang-senang dengan teman-temannya.
Dan sekarang, aku mulai mengerti.
Ini bukan tentang siapa yang paling cocok jadi perwakilan. Ini tentang mendengarkan keinginan dan perasaan teman-teman kami.
Setiap kali ada situasi seperti ini, Amami-san dan Umi selalu menghadapi tantangan semacam ini.
Dalam hati, aku kembali merasa kagum pada keduanya.
“...A-anu!”
“Hm? Maehara-kun, ada apa? Apa kamu mau jadi calon ketua?” tanya Yagisawa-sensei dengan sedikit harap.
“Ah, tidak, saya rasa kemampuan saya kurang memadai dan malah bisa merepotkan semuanya... Tapi, bagaimana kalau sementara kita putuskan dengan undian saja? Kalau dibiarkan begini, kita tidak akan sampai pada keputusan apa pun.”
Meski sebagian besar teman sekelas mungkin berpikir, “Kenapa kamu yang bicara?” tak satu pun dari mereka mengajukan keberatan.
Selama Amami-san belum mengajukan diri sebagai ketua, teman-teman sekelas tidak bisa sembarangan merekomendasikannya. Mereka menyadari bahwa menyerahkan semuanya pada keberuntungan mungkin adalah satu-satunya cara.
Yagisawa-sensei mengangguk kecil setelah memastikan tidak ada yang keberatan dengan saranku.
“Baiklah, kalau begitu, karena kita tidak punya banyak waktu, kita lakukan undian seperti biasanya. Ada yang punya selembar kertas kosong? Biar kita cepat—”
“—Aku bisa jadi ketua, kalau kalian mau.”
Sebelum sensei menyelesaikan kalimatnya, sebuah suara terdengar dari deretan kursi dekat jendela.
“Hah?”
“Sensei, nggak dengar? Aku bilang, aku bisa jadi ketua,” ulang suara itu dengan nada malas.
Semua orang, termasuk sensei, menoleh ke arah sumber suara—dan bukan, itu bukan Amami-san. Yang baru saja bicara adalah Arae-san, gadis yang duduk di depan Amami-san, dengan ekspresi ketus seperti biasa.
“Ng... Na-Nagisa-chan, kenapa tiba-tiba mengajukan diri? Kamu nggak salah makan sesuatu, kan?” tanya Amami-san heran.
“Dari pagi aku cuma minum air kok... Kalau kamu mau protes, ya sudah, kamu saja yang jadi ketua,” jawab Arae-san sambil melirik Amami-san.
“Bukan begitu maksudku...” gumam Amami-san.
Sama seperti Amami-san, aku dan teman-teman yang lain pasti terkejut mendengar pengumuman Arae-san.
Arae-san, gadis yang bolos di hari pertama sekolah setelah naik ke kelas dua, datang terlambat tanpa rasa bersalah di hari kedua, dan hampir membuat kacau timnya saat pertandingan antarkelas. Selama ini, dia hampir tidak pernah terlibat dalam kegiatan kelas.
Sejujurnya, aku sempat bertanya-tanya apakah air yang diminumnya tadi pagi bermasalah, saking tidak biasanya ia bersikap seaktif ini.
“Serius deh, sensei dan kalian semua bikin kesal aja. Aku pengen cepat pulang habis ujian, tapi malah disuruh undian segala. Kalau ketua sudah ditentukan, kan aku boleh pulang, ya? Oke, berarti aku ketua.”
“Tunggu dulu... Selain ketua, kita juga perlu pilih dua orang lagi untuk tugas tambahan: satu untuk bagian backboard dan satu lagi untuk properti pendukung...” jelas Yagisawa-sensei sambil menahan Arae-san.
“Gitu ya... Kalau begitu, Amami-san buat backboard, dan... Yamashita buat properti. Kalian yang urus. Urusan cowok? Terserah, undi saja sesukanya. Dan ingat, aku nggak terima protes. Kalian kan nggak bakal bisa memutuskan apa-apa tanpa aku.”
Meskipun tutur katanya kasar, tak ada yang bisa membantah kebenaran ucapannya.
Arae-san memastikan tak ada penolakan dari teman-teman sekelas sebelum ia kembali bersikap acuh dan meninggalkan kelas.
“Anak itu... kenapa selalu begitu, ya... Yah, walaupun sedikit mendadak, Amami-san dan Yamashita, kalian tidak keberatan, kan?” gumam sensei sambil menghela napas.
“Ah, tidak masalah untukku... Bagaimana denganmu, Yama-chan?” tanya Amami-san.
“Aku juga nggak apa-apa. Lagipula, nggak enak kalau semuanya diserahkan ke Arae-san,” jawab Yamashita-san santai.
Amami-san dan Yamashita-san—keduanya kebetulan duduk di depan dan belakang Arae-san—dipilih secara acak, namun sepertinya bukan tanpa alasan.
Amami-san, yang pernah menangani desain untuk mozaik di festival budaya tahun lalu, dikenal pandai menggambar. Sementara Yamashita-san, anggota klub kerajinan tangan, jelas cocok untuk membuat properti.
Tentu saja, ada alasan lain. Belakangan ini, mereka berdua sering terlihat mengobrol dengan Arae-san, mungkin karena mereka termasuk sedikit orang yang bisa mengimbangi sifatnya. Apalagi, Yamashita-san pernah menjadi rekan satu tim Amami-san dan berjuang bersama di pertandingan antarkelas sebelumnya.
Meskipun Arae-san tampak menganggap Amami mengganggu, sebenarnya dia juga seorang yang merasa kesepian.
Tentu saja, dia tidak mungkin mengatakan itu secara langsung, dan membayangkan jika dia sampai melakukannya saja sudah cukup menakutkan.
“Bagaimanapun juga, anggota perempuan sudah ditentukan, jadi mari kita cepat selesaikan untuk anggota laki-laki. Ehm, Maehara-kun, karena kamu yang mengusulkan, bolehkah aku minta tolong untuk mengatur jalannya undian?”
“...Tentu. Saya mengerti.”
Dalam situasi seperti ini, tampaknya aku akan dipasangkan dengan Amami-san atau Yamashita-san, tetapi undian adalah cara untuk menghindari hal tersebut.
Sensei menyiapkan selembar kertas kecil dengan tulisan “Backboard” dan “Properti,” lalu memasukkannya ke dalam kotak kosong dan mengocoknya dengan ringan.
Meskipun aku masih merasa tidak nyaman tampil di depan umum, perlahan-lahan keberanianku mulai tumbuh.
“Ehm... Jadi, silakan bagi mereka yang berada di barisan dekat pintu untuk mengambil undian secara bergiliran.”
Dengan petunjuk dariku, para siswa laki-laki bersemangat untuk mengambil undian. Meskipun mereka akan mengorbankan waktu liburan musim panas, keuntungan menjadi pasangan Amami-san sebagai penanggungjawab backboard sangat menggiurkan bagi mereka.
Menurut cerita dari Nitta-san, persiapan untuk festival olahraga jauh lebih lama dibandingkan dengan festival budaya, dan setelah festival berakhir, kemungkinan pasangan tersebut bisa berakhir sebagai pasangan sebenarnya sangat tinggi.
Entah benar atau tidak, bagi orang-orang yang mendapatkan kesempatan untuk mendekatkan diri dengan Amami-san...
“Aku... sepertinya dapat dua-duanya tidak beruntung.”
Mungkin teringat pengalaman tahun lalu, atau mungkin berpikir bahwa nasibku akan sama kali ini, tetapi ternyata tidak. Itu adalah siswa laki-laki yang mengambil undian setelahku.
“...Maehara-kun, ini.”
“Hm! Ah, itu. Jadi, untuk festival olahraga kali ini, Ooyama-kun akan menjadi penanggung jawab backboard bersama Amami-san.”
Aku mendengar desahan dari para siswa laki-laki yang sudah menunggu dengan antusias, tetapi terlepas dari itu, undian kali ini jatuh kepada Ooyama-kun.
Bagi sebagian orang, ini mungkin menjadi “kemenangan” yang mereka inginkan, tetapi sepertinya bagi Ooyama-kun tidak begitu.
“...Hah, jadi aku dapat tugas yang merepotkan.”
“Maaf, Ooyama-kun. Tapi, tidak ada rasa dendam, ya.”
“Aku tahu. Tahun lalu, Maehara-kun yang mengalaminya, jadi sekarang giliranku.”
Dengan mengatur ulang posisi kacamata hitamnya, Ooyama-kun berkata sambil menghela napas.
Meskipun kami tidak begitu akrab, kami memiliki beberapa kesamaan, jadi mungkin dia juga lebih memilih untuk mengutamakan liburan musim panas.
Seperti yang Nitta-san katakan, tentu saja ada keuntungan untuk berpartisipasi aktif dalam festival olahraga. Namun, ketika semua orang bersenang-senang di liburan musim panas, hanya dirinya yang harus berpakaian seragam dan pergi ke sekolah, bekerja di luar di tengah cuaca panas, pasti terasa berat.
Ada suara yang mengatakan bahwa ini akan menjadi pengalaman yang baik, tetapi benarkah itu akan menjadi “pengalaman baik” bagi semua orang?
Aku hanya kebetulan beruntung, dan tidak semua orang bisa mendapatkan pengalaman yang sama.
Sesaat, aku ingin berkata, “Bagaimana kalau aku yang menggantikanmu?” Tetapi mengingat bahwa tidak ada rasa dendam yang diucapkan, rasanya aneh jika aku menunjukkan belas kasih dan mungkin akan melukai harga diri Ooyama-kun.
“Ooyama-kun, meskipun itu sulit, mari kita kerjakan bersama. Jika kamu kurang pandai menggambar, masih ada anggota lain, jadi kita bisa saling membantu.”
“Ah... ya, benar. ...Haha.”
Mungkin merasakan suasana canggung di antara kami, Amami-san mencoba mengajak bicara dengan nada ceria seperti biasanya, tetapi Ooyama-kun malah menghindar dari tatapan Amami-san dan mundur sedikit.
Sudah lama sejak kami berbicara jarak dekat seperti ini, tetapi dibandingkan dengan tahun pertama, Ooyama-kun terlihat jauh lebih pendek sekarang.
Secara fisik, dia hampir setara denganku, tetapi mungkin karena merasa tertekan di hadapan Amami-san, postur tubuhnya yang biasanya membungkuk tampak semakin buruk.
“Maehara-kun, meskipun pasangan Amami-san sudah ditentukan, aku juga ingin menetapkan pasanganku segera. Sejujurnya, siapa saja sudah oke.”
“Ah, maaf... Kalau begitu, silahkan yang tersisa untuk segera menarik undian.”
Dengan seruan dari Yamashita-san, undian segera dilanjutkan, dan ditentukanlah satu wakil kelas, serta pasangan untuk penanggung jawab backboard dan properti pendukung.
Setelah anggota kelompok pendukung dan lainnya diputuskan, disepakati bahwa anggota tambahan akan direkrut dari sukarelawan setelah pembagian kelompok. Dengan begitu, urusan hari ini akhirnya selesai.
Meski jauh terlambat dibandingkan Arae-san, yang mungkin sudah pulang dari tadi, akhirnya kami juga bisa meninggalkan sekolah. Saat aku tengah berkemas di bangku, Amami-san menghampiriku.
“Mak—eh, maksudku, Maehara-kun.”
“Amami-san... Yah, gimana ya, kayaknya kamu bakal repot, ya.”
“Nggak apa-apa kok. Liburan musim panas mungkin bakal berkurang sedikit, tapi kalau kita manfaatin waktu kosong dengan baik, kita bisa tetap bersenang-senang. Jadi, Maehara-kun, siap-siap, ya. Kamu dan Umi bakal kuajak juga, lho.”
“Wajahmu terlihat agak menyeramkan...”
Tentu saja aku akan ikut membantu bersama Umi, tapi kalau memikirkan betapa energiknya Amami-san, aku mulai khawatir apakah staminaku bisa bertahan sampai akhir. Ini bakal jadi liburan musim panas yang sangat penuh kegiatan.
“Kamu pulangnya bareng Umi, kan? Aku ikut, ya?”
“Buatku sih nggak masalah. Kalau kelas Umi udah selesai, kita bisa jemput dia.”
“Ehehe, baiklah.”
Saat kami meninggalkan kelas, aku melirik sekilas ke dalam kelas. Ooyama-kub, yang barusan ada di kursinya, sudah tak terlihat. Meski tadi dia terlihat enggan menerima tugas itu, mau tidak mau dia harus menerima hasil undian tersebut.
“Eh, kamu khawatir tentang Ooyama-kun, ya?”
“Ah, iya. Aku sih yakin dia nggak bakal bolos, tapi...”
“Nggak usah khawatir. Aku bakal pastikan dia nggak merasa terisolasi, kok.”
“Kamu kelihatan semangat sekali, Amami-san.”
“Yup! Aku barusan ngomong sama Yama-chan—eh, maksudku, Yamashita-san juga. Buat kita anak kelas dua, ini bakal jadi satu-satunya kesempatan ikutan festival olahraga di SMA. Jadi, harus semangat!”
“Hmm, benar juga. Kalau dipikir-pikir, ada baiknya juga berusaha maksimal.”
Meski aku hanya peserta biasa, aku bertekad untuk serius berpartisipasi dan, kalau bisa, meraih kemenangan. Dan kalau Umi ada di sampingku, ini pasti jadi kenangan yang berkesan.
Pembagian kelompok akan diputuskan nanti, dan aku sangat berharap bisa satu tim dengan kelasnya Umi, kelas 2-11.
“Ngomong-ngomong, Umi masih ada di kelas, ya? Biasanya kalau dia sudah selesai, dia langsung berdiri di depan pintu dan nunggu kamu.”
“Iya sih, tapi dia juga punya teman di kelasnya.”
Sudah sekitar tiga setengah bulan sejak kami naik kelas, dan Umi tampaknya berhasil berbaur dengan baik. Dia sering menghabiskan waktu dengan Nakamura-san dan teman-teman dari tim saat kompetisi antar-kelas.
Umi sering menceritakan betapa menyenangkannya kebersamaan mereka, dan aku selalu merasa senang melihat senyumnya yang cerah saat bercerita.
Aku mengintip ke dalam kelas 2-11 dari celah pintu yang sedikit terbuka.
Setelah memastikan tidak ada masalah, aku pun masuk ke kelas. Beberapa teman sekelas Umi sudah mulai terbiasa dengan kehadiranku karena Nakamura-san sering menarikku ke dalam kelas mereka. Tapi, masuk sendiri seperti ini tetap membuatku agak gugup.
Saat kami masuk, seorang gadis kecil bernama Nanano-san berjalan ke arah kami dengan langkah ringan.
“Eh? Maki-kun? Kenapa kamu bawa Amami-chan ke sini?”
“Ah, halo. Aku cuma mau jemput Umi.”
“Ah, paham. Nee, Umi-chan! Pacarmu udah nggak sabar nih mau pulang bareng~!”
“A-aku nggak bilang gitu!”
Meski Nanano-san terlalu membesar-besarkan, memang ada keinginan untuk bisa pulang cepat dan menghabiskan waktu bersama Umi.
Nanano-san, yang bermain bass di klub musik, bersuara nyaring seperti vokalis. Suaranya langsung sampai ke Umi, yang kemudian menoleh dan wajahnya langsung memerah.
“Mi-Miku-chan, kamu ngomong apa sih... Ma-maaf, Nakamura-san, kita lanjut ngobrolnya besok aja ya. Aku nggak mau bikin Maki nunggu lama.”
“Baiklah. Nanti aku cari anggota baru yang potensial buat kita, kayak Ryouko... atau mungkin Ryouko... hmm, Ryouko lagi, ya.”
“Eh, kayaknya itu nggak bakal mudah.”
Saat Umi akhirnya berpisah dari Nakamura-san dan berjalan ke arah kami, aku merasa ada sesuatu yang berbeda—ekspresinya tampak lebih tegang dari biasanya.
“Umi, bolehkah aku ikut pulang bersama kalian?”
“Yuu... Tentu, tidak masalah. Kebetulan, aku juga ingin menanyakan tentang hasil tes hari ini.”
“Ah, tiba-tiba aku ingat ada urusan dari ibuku—”
“Jangan harap bisa kabur, sahabatku.”
“Aduh~! Tolong jangan terlalu keras padaku!”
Melihat percakapan mereka dari samping, Umi tampak seperti dirinya yang biasa, tidak ada perbedaan dengan sikapnya sehari-hari.
“Umi, tadi kamu dan Nakamura-san ngobrolin apa?”
“Hanya sedikit, sih... Tapi, ini bukan tempat yang pas untuk membahasnya. Gimana kalau kita ngobrol sambil makan camilan di rumah Maki? Yuu, kamu ikut juga, ya?”
“Tentu. Tenang, aku juga sudah menyadarinya.”
“Wah, bisa diandalkan, ya.”
Aku menggenggam tangan Umi, dan bersama Amami-san, kami segera meninggalkan sekolah, menuju rumahku.
Awalnya kupikir musim panas ini akan dipenuhi dengan momen menyenangkan bersama teman dan kekasih. Namun, sepertinya arah musim panas kali ini akan sedikit berbeda dari yang kubayangkan.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆
Pov Asanagi Umi
Ceritanya kembali ke beberapa waktu sebelumnya, sebelum Maki dan Yuu datang menjemputku.
Segera setelah ujian akhir selesai, aku berbincang dengan Nakamura-san dan teman-teman satu kelompok kami seperti biasa, membahas soal ujian.
Banyak soal yang cukup menantang kali ini, membuat kami bergumam bahwa hasilnya mungkin tidak akan terlalu baik.
Namun, seperti biasa, Nakamura-san dengan santainya berkata, “Hah? Aku dapat nilai sempurna, kok,” sambil memasang ekspresi puas. Aku hanya bisa tertawa kecil mendengarnya. Aku sudah berusaha keras, tapi sepertinya peringkat pertama kali ini juga tetap akan menjadi miliknya.
Saat kami sedang asyik ngobrol, seseorang datang menghampiri kami.
“—Pagi, Asanagi-san. Terima kasih sudah menjaga adikku.”
“Ah! Ketua OSIS...”
“Chiyo-senpai, tepatnya. Aku masih Ketua OSIS untuk saat ini, tapi masa jabatanku akan berakhir bersamaan dengan akhir semester ini.”
Orang yang datang adalah Chiyo Seki, Ketua OSIS sekolah kami, yang juga kakak dari teman sekelasku.
Sosoknya selalu mengingatkanku pada Seki, teman kami, dengan auranya yang tenang. Sudah lebih dari setengah tahun sejak kami terakhir bertemu, yaitu saat Natal tahun lalu.
Kini, sebagai siswa kelas tiga, aura wibawanya semakin terasa, meski kesannya tidak terlalu berubah dari yang kukenal dulu. Dia tetaplah Chiyo-senpai yang kukenali.
“Terima kasih atas kerja kerasnya selama ini, Senpai. Tapi, kalau boleh tahu, ada keperluan apa Senpai datang ke kelas kami? Ini bukan kunjungan santai, kan?”
“Benar. Aku ke sini karena ada sesuatu yang penting.”
“Eh? Penting? Apa ini semacam perekrutan anggota OSIS?”
“Ya, kurang lebih seperti itu, tapi lebih penting lagi. Aku ingin bicara denganmu, Asanagi-san, dan juga dengan Nakamura-san—yang entah kenapa sekarang malah asyik mengeluarkan *senbei dari tasnya.”
Tln : Senbei itu kue beras
“Eh?”
“Mmmph?”
Senpai punya urusan dengan kami berdua? Dari nada bicaranya, kurasa ini tentang urusan OSIS. Kalau hanya soal perekrutan biasa, tentu lebih masuk akal jika disampaikan lewat wali kelas kami, yang juga pembina OSIS. Tapi kalau sampai Chiyo-senpai datang sendiri, berarti...
“Asanagi-san, Nakamura-san, bagaimana kalau kalian mempertimbangkan untuk bergabung dengan OSIS? Kami ingin salah satu dari kalian menjadi Ketua OSIS yang baru.”
Jadi, ini benar-benar masalah sepenting itu.
“Sejujurnya, kami menghadapi sedikit kendala. Kami sudah menyiapkan semua posisi selain ketua, tapi hingga kini belum menemukan kandidat yang tepat. Bolehkah aku jelaskan lebih lanjut?”
“Apa pendapatmu, Nakamura-san?”
“Ya, kenapa tidak? Memutuskan nanti juga bisa. Lagipula, aku sudah terlalu bosan sampai-sampai makan senbei di sini. Kamu juga kan, Umi? Pacarmu masih sibuk dengan urusan di kelasnya.”
“Uh... Iya, sih.”
Aku memeriksa pesan di ponselku. Ada pesan dari Maki
“(Maki) Maaf, urusan tentang festival olahraga sedikit molor.”
Dengan begitu, sepertinya kami tidak punya pilihan selain mendengarkan apa yang ingin disampaikan Chiyo-senpai. Meskipun tiba-tiba, dan aku masih merasa gugup, tidak ada salahnya mendengarkan dulu.
Singkatnya, anggota OSIS baru sebenarnya sudah ditetapkan sejak bulan lalu dan dijadwalkan mulai aktif secara resmi setelah libur semester berakhir.
Selama masa transisi ini, Chiyo-senpai dan anggota OSIS lama tengah melakukan serah terima tugas.
Namun, masalah muncul ketika salah satu siswa kelas dua—yang seharusnya menjadi ketua OSIS baru—terpaksa pindah ke luar negeri pada bulan September karena urusan keluarga.
Setelah mempertimbangkan bahwa sulit membatalkan keputusan itu, mereka mencoba mencari solusi dengan anggota yang ada. Sayangnya, respons dari anggota OSIS saat ini tidak begitu positif.
“Jadi, karena itu Senpai datang merekrutku atau Nakamura-san, ya.”
“Benar. Setelah berdiskusi dengan pembina OSIS, kami disarankan untuk mencari siswa yang berprestasi dan kebetulan tidak aktif dalam kegiatan klub.”
“Hmm, jadi begitu. Betul-betul merepotkan.”
“Eh... Nakamura-san, kamu blak-blakan sekali, ya.”
“Ya jelas, dong, Asanagi-chan. Meskipun ini ketua OSIS, yang merepotkan tetap merepotkan. Apalagi datang mendadak tanpa pemberitahuan.”
“Maaf. Aku sebenarnya sudah minta ke pembina agar memberitahu kalian, tapi...”
Kami berdua hanya bisa menggelengkan kepala. Memang terasa seperti tugas yang dilemparkan begitu saja ke kami.
Mereka bahkan merekomendasikan kami, yang masuk lima besar siswa terbaik, tanpa mempertimbangkan apa pun selain nilai.
Menurutku, prestasi akademik bukanlah hal yang paling penting dalam OSIS. Meski mungkin dibutuhkan untuk menjaga wibawa di depan siswa lain, yang utama tetap semangat dan komitmen.
Sejujurnya, sejak melihat Chiyo-senpai sibuk mempersiapkan festival budaya dan pesta Natal tahun lalu, aku semakin yakin ingin menghindari tugas OSIS.
Kupikir banyak siswa lain juga merasa demikian, terbukti dengan minimnya minat saat pendaftaran OSIS dibuka. Sekolah kami bahkan tidak mengadakan pemilihan ketua OSIS karena jarang ada yang mau mencalonkan diri.
Hal ini berbeda sekali dengan suasana di SMA Tachibana, di mana setiap musim pemilihan selalu berlangsung ramai dan meriah.
“Maaf kalau masalah pemberitahuan tadi jadi tidak jelas. Kalian tidak perlu menjawabnya sekarang, dan kalau tidak mau, silakan tolak saja. Tapi kalau kalian berubah pikiran atau sekadar ingin mendengar lebih banyak tentang kegiatan OSIS, kalian bisa langsung menghubungiku. Pintu kami selalu terbuka.”
Setelah berkata demikian, Chiyo-senpai membungkuk dalam-dalam. Meskipun akan segera mengakhiri masa jabatannya, ia masih rela merendahkan diri di depan kami, adik kelasnya.
“Kamu luar biasa, Senpai. Meskipun mau berhenti, kamu tetap berusaha keras demi kami.”
“Yah, jujur saja, aku sering bertanya-tanya, ‘Kenapa dulu aku mau jadi ketua OSIS?’ Tapi, ada juga rasa puas. Ada adik kelas yang menghormatiku, dan setelah satu tahun lebih, aku jadi punya rasa sayang pada tugas ini.”
“Hmm, aku bisa mengerti.”
Seharusnya tugas merekrut anggota baru bisa diserahkan kepada pembina atau anggota OSIS lainnya. Tapi, fakta bahwa ia turun tangan sendiri menggambarkan betapa gigihnya Chiyo-senpai.
Meskipun jarang berinteraksi dengannya, aku tidak bisa bilang bahwa aku tidak merasa berutang budi. Kenangan dari pesta Natal—momen yang memperkuat hubungan antara aku dan Maki, dari teman biasa menjadi pasangan—adalah sesuatu yang berkesan. Kalau bukan karena pesta itu, mungkin hubungan kami tidak akan berubah seperti sekarang.
“Baiklah, kalau begitu, aku permisi dulu. Sekali lagi, selamat atas selesainya ujian kalian.”
Setelah melambaikan tangan kepada kami dan teman-teman sekelas lainnya, Chiyo-senpai meninggalkan ruang kelas dengan senyum lembut. Meski pasti merasa tertekan dengan situasi ini, ia tidak memperlihatkan sedikit pun rasa gelisah. Hal ini membuatnya berbeda sekali dengan adiknya, Seki, yang dikenal lebih ekspresif.
“Mmm... Jadi begitu ya, masalah OSIS kali ini...”
“Nakamura-san, tolong jangan bicara sambil makan senbei.”
“Gak bisa. Ini senbei keras banget.”
Aku yang tak bisa menyembunyikan kebingungan, hanya bisa menatap heran ketika Nakamura-san dengan santai mulai mengunyah senbei yang terlihat sangat keras.
Seperti biasa, dia tampak tenang dan tidak tergoyahkan.
Sesaat, aku berpikir bahwa andai saja aku bisa hidup dengan ketenangan seperti itu, mungkin kehidupan sekolahku akan sedikit lebih mudah secara mental. Namun, aku segera menyadari bahwa sikap seperti itu mungkin malah akan membuatku menciptakan lebih banyak musuh, dan akhirnya aku memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih jauh.
Aku adalah diriku sendiri, dan aku sudah cukup bahagia seperti ini.
Lagi pula, Maki pasti akan mengatakan hal yang sama.
Memikirkan hal itu membuatku tiba-tiba merindukan suara Maki. Aku ingin segera menceritakan semua yang terjadi hari ini.
Berbeda dengan diriku sebelum musim gugur tahun lalu, sekarang, setelah aku memiliki seseorang yang kucintai, aku tidak bisa lagi memendam perasaan sendirian. Jika ada sesuatu yang mengganggu, aku akan segera menceritakannya kepada Maki, berharap dipeluk erat dan diusap kepalaku sambil mencari solusi bersama.
Aku tersenyum pahit dalam hati. “Aku jadi ketergantungan, ya.”
Nakamura-san tiba-tiba membuka suara.
“Ngomong-ngomong, Asanagi-chan, soal tawaran ketua OSIS tadi, gimana? Meskipun kita hanya dengar penjelasannya, kalau dia sampai meminta kita, pasti dia serius.”
“Hmm, mungkin. Tapi kalau sampai dia harus terus jadi ketua OSIS sampai menjelang kelulusan, itu juga nggak baik.”
Nakamura-san tertawa kecil. “Itu sih mungkin banget, dia kan keliatan tipe orang yang punya tanggung jawab besar.”
“Benar juga. Tapi bagaimanapun, nggak bisa dibiarkan begitu.”
Para siswa kelas tiga seperti Tomoo-senpai harus mulai fokus mempersiapkan ujian masuk universitas. Tidak ada waktu untuk mengurus hal-hal lain. Masalah ini juga terlalu besar bagiku untuk diputuskan sendirian. Aku harus berdiskusi dengan Maki, Yuu, dan bahkan Nina.
◆ ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧ ◆
Pov Maehara Maki
Kupikir musim panas tahun ini akan penuh dengan kegiatan sekolah dan acara pribadi, membuatnya sangat sibuk. Tapi siapa sangka Tomoo-senpai tiba-tiba datang dengan permintaan seperti itu?
Saat aku mencoba menggali lebih banyak tentang senpai dari adiknya, Nozomi, dia hanya tertawa kecil dan mengakui bahwa dia tak tahu apa-apa soal urusan OSIS.
“(Nozomi) Kakakku sih emang gitu. Suka ngurusin urusan orang, tapi kalo urusannya sendiri, dia diem-diem aja.”
“(Nina) Kayaknya itu karena kamu nggak bisa diandalkan, ya?”
“(Nozomi) Hei, kamu ini ya!”
“(Maki) Oke, udah-udah. Terima kasih udah mau bantu. Sisanya, biar kami yang putuskan.”
Aku menutup ruang obrolan kami berlima, merasa sedikit lebih ringan setelah berbagi. Mungkin inilah yang dimaksud orang dengan ungkapan, “Teman adalah harta yang paling berharga.” Rasanya aneh memikirkan bahwa aku, yang dulu sangat tertutup, sekarang bisa berkata seperti itu.
“Walaupun kita masih pikir-pikir, kita harus kasih jawaban sebelum penutupan semester satu, ya? Jadi gimana, Umi, ada pesan lain dari senpai?”
“Belum ada sih, tapi melihat persiapan untuk festival olahraga, kayaknya lebih cepat lebih baik. Soalnya, acara pertama yang bakal dikerjakan OSIS baru adalah festival itu.”
Pikiranku terbayang kesibukan yang akan datang—mulai dari pembagian kelompok, pemilihan cabang lomba, penataan lokasi, sampai menyambut orang tua dan tamu. Belum lagi, setelah festival selesai, akan ada berbagai pekerjaan tambahan.
Dari sudut pandangku, festival olahraga ini bahkan lebih melelahkan daripada festival budaya. Dan sebagai ketua OSIS, tekanan untuk memimpin seluruh siswa tentu tidak kecil.
Membayangkannya saja sudah membuatku merasa kewalahan.
“Umi, kamu sendiri gimana? Jujur aja, dari cerita mu, kayaknya kamu agak ragu, ya?”
“Ya, Tomoo-senpai memang benar kalau ini bisa jadi pengalaman berharga. Tapi kalau harus mengorbankan liburan musim panas tahun kedua... rasanya berat juga. Mungkin kalau ini terjadi tahun lalu, aku bakal lebih tergoda.”
Umi tersenyum kecil sambil melihat ekspresi penasaran Nakamura-san.
“Jadi gitu, ya. Hmm, sebetulnya aku penasaran sih. Umi sebagai ketua OSIS... lucu juga kayaknya. Kalau aku jadi wakil ketua, aku bakal dukung kamu sepenuh hati!”
“Posisi kita malah kebalik, ya? Lagipula, kalau orang yang selalu hampir dapat nilai merah jadi ketua OSIS, siswa lain pasti khawatir.”
“Benar juga. Hahaha.”
“Ini bukan hal yang bisa ditertawakan.”
Aku jadi berpikir, mungkin di masa depan, mereka berdua benar-benar bisa ada dalam posisi seperti itu. Umi sebagai ketua OSIS, dengan siswa-siswa berprestasi seperti kami mendukungnya dengan sepenuh hati—membayangkan itu terasa begitu mudah, sampai-sampai aku merasa aneh kenapa kesempatan seperti itu tidak muncul sejak SD atau SMP.
Secara objektif, kupikir wajar jika Tomoo-senpai menunjuk Umi sebagai calon ketua OSIS yang baru. Prestasi akademiknya luar biasa, dan ia juga memiliki bakat alami sebagai pemimpin tim. Meskipun aku kadang melihatnya dengan bias karena dia pacarku, jika dibandingkan dengan Nakamura-san, yang cemerlang di akademik saja, atau Amami-san, yang memiliki kharisma luar biasa, Umi tetap memiliki kemampuan yang tidak kalah unggul.
Kalau ini terjadi musim panas tahun lalu, mungkin aku akan mendukungnya tanpa pikir panjang. Tapi kenyataannya, masa depan seperti itu tidak pernah terjadi.
“Ngomong-ngomong, Maki,” panggil Umi.
“Iya?”
“Kamu ingin aku melakukan apa?”
“Uhm… kalau aku bilang ‘Aku akan mendukung keputusanmu apa pun itu,’ jawaban itu bisa diterima?”
“…….”
Dia hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa, membuatku langsung menyerah.
Aku tahu, pada saat seperti ini, sebaiknya aku menyampaikan keinginanku dengan jujur.
Aku tak peduli walaupun Amami-san sedang menyimak dengan senyum geli. Kalau sudah sampai tahap ini, aku tak bisa mengkhawatirkan omongan orang.
“Seperti yang kamu duga, aku ingin kamu menolak tawaran ini. Aku tahu kamu pasti bisa melakukannya lebih baik daripada Tomoo-senpai, tapi…”
“Bukankah itu pujian yang berlebihan? Aku senang kamu berpikir begitu, tapi… kamu ingin aku menolak, bukan karena aku tidak mampu?”
“Yah, begitulah. Sekarang saja kita sudah jarang punya waktu bersama karena beda kelas. Kalau kamu sibuk dengan kegiatan OSIS, kita bakal makin jarang bertemu, dan aku nggak mau itu terjadi.”
Amami-san mungkin akan menganggapku berlebihan. Tapi jujur, aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan Umi.
Bayanganku sederhana. Pagi-pagi dia menjemputku, kami saling berkirim pesan saat pelajaran berlangsung, lalu pulang bersama setelah sekolah. Malamnya, kami ngobrol di telepon sampai salah satu dari kami tertidur, dan saat akhir pekan tiba, kami akan menghabiskan waktu bersama sepanjang hari.
Memang, sekarang pun kami cukup sering melakukannya. Tapi kalau Umi jadi ketua OSIS, waktu-waktu itu pasti akan berkurang.
“Bagi orang lain, alasan ‘karena ingin lebih banyak waktu bersama pacar’ mungkin terdengar kekanak-kanakan. Tapi buatku, waktu bersama denganmu sangat berharga.”
Selama ini, aku menjalani kehidupan sekolah sendirian. Dan musim panas ini adalah pertama kalinya aku bisa melewati liburan bersama seseorang.
Mungkin ini juga akan menjadi kesempatan terakhirku untuk menikmati liburan musim panas di masa SMA dengan sepenuhnya.
Aku tahu Tomoo-senpai sedang butuh bantuan, dan aku ingin membantunya jika aku bisa. Tapi kalau harus memilih, aku sudah tahu jawabannya.
“Jadi… Umi.”
“Iya?”
“Liburan musim panas nanti, aku ingin kamu menghabiskan waktu hanya denganku saja, di kamar ber-AC, main game dan nonton film sepuasnya. Ya?”
“Hmm…”
“Eh? Apa aku mengatakan sesuatu yang salah? Maaf, kayaknya permintaanku berlebihan.”
“Memang benar. Tapi kalau permintaanmu sudah seegois itu, aku malah jadi ngga tega. Iya, kan, Yuu?”
“Haha… ya, aku sih bisa paham perasaannya.”
Biasanya, mereka berdua selalu ada di pihakku. Namun kali ini, mereka hanya menanggapi dengan senyum masam. Meski begitu, ada kehangatan dalam tatapan keduanya saat melihatku.
“Fufu… Jadi, Umi, karena Maki sudah bilang begitu. Lalu, apa yang akan kamu katakan pada Tomoo-senpai? Oh, kalau mau, aku bisa bantu kamu cari jawabannya, lho. Aku yakin Tomoo-senpai bakal setuju dengan usulku.”
“Kalau Yuu yang kasih saran, kayaknya hasilnya bakal lebih ke ‘bikin jengkel’ atau ‘bikin kecewa’ daripada ‘membuat puas’, ya? Tapi… ya, aku sih nggak masalah.”
Meskipun Umi menunjukkan keengganan untuk menerima tawaran sebagai ketua OSIS di depan kami, mungkin jauh di dalam hatinya, dia masih tetap ragu.
Tomoo-senpai adalah senior yang banyak membantu kami. Dan, mengingat sifat Umi yang mirip denganku—baik hati dan sulit menolak—rasanya tak mungkin dia bisa dengan mudah menolak permintaan seorang yang dianggap sebagai penolong.
Tapi kali ini, biarlah ini jadi keegoisanku. Aku ingin dia tetap berada di sisiku, murni karena keinginanku sendiri.
Meski aku tahu aku tak seharusnya sering memanjakan diri dengan keegoisan seperti ini, khusus untuk musim panas kali ini, aku ingin jujur pada diriku sendiri.
Tentu saja, tidak dengan maksud aneh apa pun.
“Baiklah, kalau begitu, besok aku akan kasih jawabannya. Maki, kamu bisa ikut aku ke ruang OSIS besok setelah pulang sekolah? Aku ingin kamu ada di sana.”
“Tentu saja… Aku cuma perlu berdiri di belakang, kan?”
“Iya. Meski aku merasa sungkan menolak permintaan ini, aku tetap ingin menyampaikan langsung dari mulutku sendiri.”
Menyampaikan penolakan dengan ditemani pacar—mungkin terdengar konyol, tapi ini juga bisa jadi kesempatan untuk memberi tahu Tomoo-senpai, “Beginilah kami biasanya.” Lagipula, aku belum sempat mengucapkan terima kasih atas undangan pesta Natal waktu itu.
“Terima kasih, Maki. Tadinya aku bingung bagaimana harus menjawabnya, tapi setelah bicara denganmu, pikiranku jadi lebih tenang.”
“Ehh~! Umi~! Kalau gitu, aku gimana? Aku kan juga bantu kasih saran. Walau kesannya aku lebih kayak pemecah suasana, tapi aku sudah berusaha keras, lho!”
“Iya, iya. Terima kasih, Yuu-chan. Kamu juga sudah berusaha dengan baik. Bagus, bagus!”
“Aku kan bukan ‘anak kecil’! Eh… Ini kan yang biasa kamu lakukan ke Rocky!”
“Ah, masa? Aku nggak sering gitu ke kamu juga?”
“Waktu perkenalan diri tahun lalu, kamu memang sempat ngelakuin itu, tapi cuma sekali! Hmph, Umi jahat~!”
“Hahaha, maaf, maaf. Terima kasih juga, Yuu. Kamu selalu membuatku merasa lebih ringan setiap kali curhat sama kamu. Kamu memang sahabat terbaikku.”
“Ehehe~. Sama-sama, ya. Aku juga senang kamu mau mengandalkanku. Umi, aku sayang kamu!”
“Eh… Baru saja bilang jangan diperlakukan kayak anjing, tapi langsung berubah begitu. Ya ampun, kamu memang seperti itu, Yuu. Hahaha.”
Setelah mengambil keputusan, kini tinggal menunggu sore datang sambil menikmati waktu bersama.
Buat kami, apa pun musimnya, tidak banyak yang berubah. Dengan teman-teman terdekat, kami bisa duduk santai di ruangan ber-AC, menikmati camilan dan minuman, tanpa peduli dengan pandangan orang lain.
Melihat Umi dan Amami-san tersenyum membuat hatiku merasa damai. Mungkin sekilas ini tampak seperti pemandangan yang biasa saja, tapi bagiku, itulah yang paling berharga.
◆ ✧ ₊▼ ▼ ▼₊ ✧ ◆
Keesokan harinya, setelah UAS berakhir.
Di penghujung hari, Umi dan aku berjalan bersama menuju ruang OSIS.
Terakhir kali kami ke sini itu di bulan Desember lalu, saat kami diminta menghadiri pesta Natal. Tapi kali ini, tidak ada rasa gugup seperti waktu itu.
“Tomoo-senpai sudah di ruang OSIS?”
“Iya. Dia bilang kita bisa datang kapan saja. Tapi karena ini hari kegiatan OSIS, sepertinya anggota lain juga lengkap.”
“Semua berkumpul, ya… Yah, kita bisa kasih jawaban cepat dan langsung pulang.”
Kudengar anggota OSIS lama sudah digantikan oleh wajah-wajah baru, termasuk siswa kelas satu.
Mungkin ini bukan topik yang ideal untuk dibicarakan di depan junior, tapi biarlah mereka tahu bahwa ada siswa seperti kami di sekolah ini.
Meskipun kami tidak mengumumkan hubungan kami secara terang-terangan, sedikit demi sedikit, orang-orang di sekitar kami sudah mulai menyadarinya.
“Maki, sudah siap?”
“Sudah. Tapi, aku cuma berdiri di belakang, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Eh, tapi di dalam nanti kamu harus melepas—”
“Tidak mau.”
“……Baiklah.”
Demikianlah, sambil tetap bergandengan tangan, kami mengetuk pintu ruang OSIS.
Tok, tok—
dua ketukan mantap bergema, dan tak lama, terdengar suara Tomoo-senpai dari dalam.
“Ya, silahkan masuk.”
“Ketua, saya Asanagi dari kelas dua.”
“kelas dua juga, Maehara.”
“Silahkan masuk. Maaf ya, ruangannya agak berantakan.”
“Permisi.”
Saat kami membuka pintu dan melangkah masuk, ruang OSIS tampak sibuk seperti yang sudah diduga.
Di atas meja terdapat dokumen berserakan, file, dan laptop. Terlihat para anggota OSIS bekerja dengan ekspresi serius.
Aku melirik sejenak para anggota dan memastikan warna dasi serta pita seragam mereka.
Benar saja, kebanyakan dari mereka adalah siswa kelas satu. Sekretaris, bendahara, staff umum…
Hanya kursi wakil ketua yang kosong, meskipun terlihat tanda-tanda seseorang baru saja meninggalkan pekerjaan di sana. Mungkin sedang ke toilet atau keluar sebentar.
“Maehara-kun, sudah lama tidak bertemu. Terima kasih sudah banyak membantu adikku,” ujar Tomoo-senpai sambil tersenyum.
“Ah, tidak, sebaliknya, saya justru sering dibantu oleh Nozomi. Dan juga, terima kasih banyak atas pesta Natal tahun lalu.”
“Ahaha, tidak usah sungkan. Adikku memang sering terlihat melamun, tapi sepertinya ide yang dia dapat waktu itu patut diberi pujian, ya? Iya kan, Asanagi-san?”
“U-uh, iya…”
Sambil menggenggam tanganku erat-erat, Umi menundukkan kepala dengan pipi sedikit memerah. Pasti dia juga teringat kejadian waktu itu. Bahkan bagiku, setiap kali kenangan itu muncul, aku masih merasa geli sekaligus malu.
Rasanya seperti baru kemarin kami saling menyampaikan perasaan dan menjadi pasangan. Perasaan bahagia, malu karena perasaan tulus kami terbuka satu sama lain, dan lega karena akhirnya bisa bersama…
Meski sudah kejadian lampau, tapi bagi kami, itu adalah kenangan yang tak akan pernah terlupakan.
“Sejujurnya, waktu dapat pesan dari kalian, aku sudah sedikit menduga. Jadi… jawabannya tetap tidak, ya?”
“Maaf. Saya yakin ini bisa jadi pengalaman yang bagus, dan memang banyak manfaatnya jika dipikirkan dari sisi persiapan ujian nanti. Tapi…”
“Begitu ya… Sebenarnya, aku sedikit berharap Asanagi-san akan mempertimbangkannya. Tapi ya sudahlah. Yang satu lagi sejak awal memang tidak terlihat tertarik. Sepertinya jalan untuk menemukan ketua baru masih panjang.”
Tomoo-senpai mengangkat bahu sambil tersenyum. Meskipun dia mencoba bersikap santai, jelas terlihat ada sedikit rasa kecewa di balik senyumnya.
Namun, kami pun telah memikirkan keputusan ini baik-baik, jadi tidak ada alasan untuk goyah.
“Kalau begitu, kami permisi dulu…”
“Tunggu sebentar! Kalian sudah repot-repot datang ke sini, jadi biar aku suguhkan sesuatu dulu. Kebetulan, tadi pembina OSIS baru saja mengirimkan beberapa camilan. Kalian mau minum teh sebentar? Ah, tapi jangan salah paham ya, aku bukan ingin menahan kalian. Aku cuma… sedikit ingin istirahat sambil ngobrol dengan kalian.”
“Jadi tetap ada, ya, perasaan itu…”
Sebenarnya, kami bisa saja langsung pulang, tapi karena ini tawaran dari Tomoo-senpai, tak ada salahnya kami menerima.
Namun, kami juga tetap tahu diri—cukup mampir sebentar saja. Setelah sekitar sepuluh menit, kami berencana berpamitan.
Tomoo-senpai sendiri yang menyiapkan teh dan camilan. Setelah itu, dia memperkenalkan para anggota OSIS yang baru. Dari cara mereka berbicara dan sikap mereka yang penuh dedikasi, jelas terlihat bahwa mereka bukan hanya terpilih secara acak, tapi benar-benar dipilih karena kemampuan mereka.
“Kalau melihat situasi ini, rasanya angkatan kami terlihat tidak terlalu kooperatif ya. Dari kelas dua, hanya ada satu calon ketua, kan?”
“Benar. Sebenarnya, ada satu lagi calon wakil ketua dari kelas dua, tapi dia mengundurkan diri. Untungnya, ada siswa lain yang segera menggantikannya, jadi tidak terlalu jadi masalah.”
“Oh, begitu. Apa dia mundur karena alasan keluarga juga?”
“Ah, bukan. Itu lebih ke alasan pribadi… Sebenarnya, ini rahasia, tapi mereka sudah pacaran sejak kelas satu. Dan saat pacarnya keluar dari OSIS, dia bilang, ‘Kalau dia mundur, aku juga akan mundur.’”
“Hmm, begitu…”
Aku hanya mengangguk sekenanya. Kami tidak dalam posisi untuk mengomentari urusan orang lain.
Namun, melihat kembali Tomoo-senpai dan para anggota OSIS yang baru ini, tampaknya kejadian itu cukup membuat situasi internal mereka sempat kacau.
Meskipun mungkin mengganggu bagi anggota OSIS saat ini, aku bisa memahami perasaan seseorang yang, setelah jatuh cinta, menjadi tak mampu melihat apa pun di sekitarnya.
Jika aku membayangkan diriku dalam situasi serupa—Umi tiba-tiba harus pergi jauh dan kami tak bisa bertemu selama beberapa tahun, atau bahkan lebih lama—rasanya itu akan menjadi hal yang paling menyakitkan. Setelah merasakan kehangatan Umi, baik di hati maupun dalam genggamannya, aku tak bisa membayangkan hidup tanpanya.
…Sepertinya aku semakin tak bisa hidup tanpa Umi.
“Oh, ngomong-ngomong, wakil ketua yang baru kok belum kembali ya? Namanya… Takizawa, kan?”
“Benar, Takizawa Souji. Dia jadi buah bibir di kalangan kelas satu tahun lalu. Di antara anggota baru, dia yang paling bersemangat dan berbakat. Kami sangat beruntung memilikinya. Ah, ngomong-ngomong, kurasa dia baru saja kembali.”
Ketua OSIS menoleh ke arah suara langkah kaki yang mendekat. Sesaat kemudian, seorang siswa laki-laki memasuki ruangan dengan langkah ringan dan senyum ramah.
“Permisi, saya sudah kembali.”
“Selamat datang, Wakil Ketua. Ke toilet kok lama sekali?”
“Haha… Maaf. Saya sebenarnya berniat cepat kembali, tapi ada urusan mendesak.”
Sosok yang muncul adalah seorang siswa tinggi dengan wajah tampan. Rambutnya berwarna cokelat muda, dan matanya berwarna cokelat tua yang dalam. Dengan penampilan seperti itu, Nitta-san—yang mengaku pencinta wajah tampan—pasti akan melompat kegirangan. Bahkan, takkan aneh jika dia menjadi model sampul majalah model.
Dia kemudian mengarahkan pandangannya pada kami.
“Ketua, mereka ini…?”
“Seperti yang kubilang sebelumnya, gadis itu Asanagi-san dan yang di sampingnya Maehara-kun. Mereka tamu pentingku. Dan tentunya, mereka juga kakak kelasmu, jadi jaga sikapmu, ya.”
“Oh, maafkan saya! Senang bertemu dengan kalian, Asanagi-senpai, Maehara-senpai. Saya Takizawa Souji, wakil ketua OSIS mulai September ini. Mohon bimbingannya.”
“Terima kasih. Aku Asanagi, kelas dua.”
“A-aku Maehara.”
Awalnya, dengan warna rambut dan seragam yang sedikit tak rapi, dia terlihat seperti siswa yang kurang serius. Tapi, dari caranya berbicara dan bersikap, terlihat jelas bahwa dia setipe dengan anggota OSIS lainnya—sopan dan penuh dedikasi.
Seperti kata ketua tadi, tak heran kalau dia jadi topik pembicaraan. Mungkin bisa dibilang, dia adalah sosok seperti Amami-san di angkatanku.
“Ngomong-ngomong, Takizawa, tadi kamu bilang ada urusan mendesak. Ada masalah di luar?”
“Oh, tidak. Bukan keluhan atau masalah apa pun. Hanya saja, ada seseorang yang ingin saya perkenalkan kepada ketua. Dia sedang menunggu di luar.”
“Eh, kenapa nggak bilang dari tadi? Ya sudah, antar saja dia masuk. Nanti kita lanjutkan bicaranya.”
“Baik, saya segera kembali.”
Takizawa menundukkan kepala sopan kepada kami sebelum keluar untuk menjemput orang yang dimaksud.
“Senpai, maaf sudah menunggu. Silahkan masuk.”
“Ah, iya… Aduh, aku jadi gugup. Ini pertama kalinya aku melakukan hal seperti ini.”
“Tenang saja, kalau ada apa-apa, aku di sini. Andalkan saja aku, Senpai.”
“Ya, ya… Dasar, kamu ini.”
Dari nada dan percakapan yang terdengar di balik pintu, sepertinya orang yang dia bawa adalah seorang siswi kelas dua. Anehnya, suara itu terdengar familiar bagiku.
“Permisi. Saya bawa calon anggota baru OSIS.”
“U-um, perkenalkan, saya Nakamura Mio. Saya sebenarnya tidak tertarik dengan OSIS, tapi ketua OSIS berhasil meyakinkan saya dengan ajakan yang begitu antusias.”
“...Eh?”
“...Eh?”
“Eh! A-asanagi-chan!? Maehara-kun!? K-kenapa kalian di sini!?”
Ternyata, siswi yang dibawa Takizawa adalah Nakamura-san, calon anggota OSIS yang lain yang sempat disebut oleh ketua. Tapi, rasanya aku ingin mengembalikan pertanyaan itu padanya—kenapa dia yang justru muncul di sini?
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.