Bonnou no Kazu dake Koi wo Suru, 108-tsu no Sainou e Ai wo Komete V1 bab 4

N-Chan
0

Bab 4



Malam itu juga, setelah berhasil membuat Shiori jatuh cinta. 


Berbaring tenang di ranjang kamarku, aku membiarkan pikiranku berkelana tanpa tujuan.


Aku memenangkan pertaruhan dalam rencana membuat Shiori jatuh cinta. Membujuk seluruh anggota keluarga Mutsumikado yang ada di sana hanya dengan kata-kataku, itu mustahil bahkan untukku yang hebat ini.


Jadi, aku menggoyahkan mereka, membuat mereka ragu akan situasi saat itu. Akan tetapi, khusus untuk Shiori, aku tidak cukup hanya menggoyahkannya, aku harus membuatnya benar-benar berpihak padaku. Aku sudah memperhitungkan jika berhasil memiringkan perasaannya, sisanya akan seperti efek domino, dia sendiri yang akan mendobrak pertahanan ayahnya.


Fakta bahwa Shiori mengejarku, meskipun aku tidak tahu detailnya, mungkin berarti segalanya berjalan sesuai rencanaku. Dengan ini—aku berhasil mendapatkan tiga bakat bawaan yang menjadi target terdekatku.


Hubunganku dengan ketiga gadis yang menjadi kekasihku sangat baik. Jika aku ingin mengandalkan mereka, mereka pasti akan mengerahkan bakat mereka kapan saja.


Ini sungguh membahagiakan. Seharusnya begitu, tapi entah kenapa tawa tidak muncul seperti biasanya. Ada sesuatu yang mengganjal. Diriku yang unggul ini menyadari apa itu.


"...Perasaan, ya." 


Sesuatu yang remeh, tidak bisa dipercaya, perwakilan dari segala hal yang ambigu.


Tapi, di tengah jalan, karena terpaksa, aku mulai memperhatikannya. Karena itu berguna untuk menaklukkan targetku.


Seorang jenius sepertiku, memikirkan orang lain—meskipun begitu, memenuhi tujuan pribadiku untuk mendapatkan kembali masa depan yang aman jelas lebih penting daripada percintaan dengan gadis-gadis ini.


Aku hanya melihat nilai guna dari cinta. Tapi, kenapa... ini terasa mengganjal di dada? Alasan itu saja, sebanyak apa pun kupikirkan, tetap tidak kumengerti.



Keesokan paginya. Setelah selesai bersiap dan hendak berangkat sekolah, aku baru saja selesai memakai sepatu.


Bel pintu berbunyi, memberitahukan kedatangan seseorang.


"Pengganggu di saat yang tidak tepat. Siapa pula ini..."


Bahkan menyapa di interkom pun merepotkan. Saat aku berpikir untuk menyapanya langsung, aku membuka pintu depan dan melangkah ke luar yang terkena sinar matahari.


"Ah, keluar dia, keluar dia! Jun—!"


"J-Jun...?"


Seseorang—mungkin—memanggilku.


Tapi nada suaranya asing, cara memanggilnya pun tidak kukenal.


Merasakan sesuatu yang tak kuketahui, aku melangkah maju perlahan dengan hati-hati. Ternyata, yang berdiri di depan rumahku adalah—seorang gadis berpenampilan anggun dan manis.


"Selamat pagi. Jun, murung sekali pagi ini? Wajah tampanmu jadi sia-sia, lho."


"...Siapa kamu?" Kutanyakan begitu saja pada gadis cantik yang menyapaku dengan akrab.


Rambut hitam panjang sepinggang, mata dan hidung yang indah, serta tubuh proporsional dan kencang. Kulit cokelatnya yang sedikit terbakar matahari menonjolkan kecantikan sehat gadis itu.


Selain itu, dia memakai seragam SMA yang sama denganku. Dilihat dari warna dasinya, dia seangkatan. Fakta bahwa aku tidak mengingatnya adalah hal biasa bagiku yang tidak repot-repot mengingat wajah orang kebanyakan.


"Jangan memanggilku dengan nama panggilan seenaknya. Terlalu sok akrab."


"Eeeh? Boleh dong, Jun. Kamu juga boleh memanggilku pakai nama depanku, kok?"


"Sudah kubilang, aku tidak kenal kamu...!" Saat aku mulai berjalan menyusuri jalan ke sekolah, gadis tak dikenal itu mengikutiku. Tidak, bukan hanya mengikuti. Dia menyenggolkan tubuhnya pelan. Lalu dia menggandeng lenganku dan menyilangkan jari-jemari kami.


Sensasi kulit lembut dan suhu tubuh yang sedikit lebih tinggi dari rata-rata menjalar melalui telapak tanganku—lalu.


'Kyuu~n!'


Dan. Sensasi sesak di dada yang sudah lama tidak kurasakan menjalar. Refleks aku menekan dada dengan tangan kananku yang bebas. Ini tidak salah lagi, sinyal dari 'Indra Keenam'-ku.


Keteganganku melonjak. Aku memutar leher perlahan. Gadis yang tersenyum bagai malaikat polos itu—tidak salah lagi, adalah pemilik bakat bawaan.


"Aku, Kojo Mei." Dia menusuk-nusuk pipiku dengan ujung jarinya. "Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Jun, ayo pacaran denganku?" Dengan pipi memerah dan mata yang meleleh karena gairah, gadis misterius itu—Mei—menyatakan hal tersebut. 



Memberikan jawaban mengambang atas pernyataannya, aku kabur dari Kojo Mei.


Situasi ini benar-benar di luar dugaan. Seorang gadis pemilik bakat bawaan yang sangat kuinginkan, jatuh cinta padaku tanpa aku melakukan apa pun, dan terlebih lagi, datang ke rumahku...!?


Tiba di sekolah, aku tidak menuju kelas, melainkan langsung masuk ke bilik toilet. Bukan untuk buang air. Masih memakai seragam, aku duduk di atas dudukan toilet dan meletakkan jari di dagu.


...Nah, ini jadi masalah.


Kojo Mei—mungkin terlihat seperti mangsa empuk yang datang sendiri, tapi masalahnya tidak sesederhana itu.


Tujuanku adalah membuat gadis-gadis pemilik bakat bawaan jatuh cinta padaku, menjadikan mereka pengikutku, dan menggunakan kekuatan bakat mereka sesuai kebutuhan. Tujuan akhirnya adalah mendapatkan kembali masa depan yang aman.


Apa hal terpenting untuk itu? ...Bahwa aku yang memegang kendali. Akulah yang mempermainkan, bukan sebaliknya. Begitu posisiku terbalik, rencanaku untuk memiliki 108 gadis pengikut dan menggunakan bakat mereka sesuka hati akan runtuh seketika. Dalam artian itu, gadis bernama Kojo Mei ini sangat merepotkan.


Dia menyimpang dari rencanaku dan sangat berisiko bertindak semaunya. Kedatangannya ke rumahku menunjukkan hal itu. Lagipula, sejak kapan aku diawasi olehnya?


Banyak hal yang tidak jelas. Pokoknya, membiarkannya mengambil alih kendali seperti ini tidak boleh. Selain itu, tidak seperti sebelumnya, rasanya posisiku dengan target cintaku terbalik, dan itu tidak menyenangkan.


Harus diatur ulang. Untuk memegang kendali cinta, tadi aku melakukan mundur strategis. Seperti sebelumnya, aku harus mengumpulkan informasi dan menaklukkan Kojo Mei dengan aku yang memegang kendali.


Aku tidak bisa menjadi kekasihnya dalam kondisi sekarang. Aku harus menghindarinya sampai persiapanku selesai.


"Bermain tarik ulur cinta denganku ini sungguh menggelikan... Akan kutunjukkan perbedaan bakat kita!" Aku menyemangati diri sendiri dan keluar dari bilik toilet dengan sigap.




Selama satu setengah bulan terakhir, aku mengatur tindakanku menit demi menit.


Pengekangan diri seperti ini jelas bukan keinginanku yang menyukai kebebasan. Tapi mau bagaimana lagi, kalau tidak begini, aku tidak bisa menjaga hubungan baik dengan ketiga kekasihku.


Sambil berdoa agar segera bertemu dengan pemilik bakat yang bisa menyelamatkanku dari penderitaan ini, hari ini pun aku bertindak sesuai jadwal.


Pelajaran pagi hari, waktu istirahat di antaranya—mengobrol dengan Chiharu.


Kalau dipikir-pikir, memang patut dipertanyakan kenapa hal seperti itu sampai masuk jadwal, tapi ini ternyata penting. Dalam hubungan kekasih, tumpukan ketidakpuasan kecil adalah musuh terbesar.


Chiharu pernah mengeluh bahwa akhir-akhir ini interaksi kami kebanyakan hanya lewat pesan. Perlu percakapan langsung untuk melepaskan unek-uneknya.


Setelah pelajaran jam pertama selesai, waktu istirahat dimulai. Aku segera bangkit dari kursi dan menghampiri Chiharu. Dia sepertinya langsung menyadariku, dan aku bisa membayangkan pupil matanya membulat seperti kucing dan ekornya bergoyang-goyang gelisah.


Waktunya singkat, hanya sekitar sepuluh menit, tapi aku berniat berbincang-bincang ringan agar suasana menjadi cair—tapi.


"Jun, di sini kah kamu~?" "......!?"


Dari koridor di belakangku, terdengar nada suara gadis yang paling tidak ingin kudengar saat ini.


Aku membalikkan seluruh tubuhku dengan kaget. Yang mengintip ke dalam kelas, memang benar, Kojo Mei.


Dia juga menyadariku di saat yang sama, langsung tersenyum cerah, lalu berlari menghampiriku dengan tangan terbuka. Aku bisa menduga pelukan hangat akan datang, tapi mana mungkin aku bisa melakukan hal seperti itu di depan Chiharu.


"Ma-Maaf, Chiharu! Nanti kita bicara lagi!"


Hanya itu yang bisa kukatakan sebelum berbalik badan.


Dengan gesit aku menghindari pelukan yang mendekat, lalu menggenggam tangan Kojo Mei dan menariknya keluar ke koridor. Aku membawanya ke tempat sepi dan memperingatkannya untuk tidak lagi mencoba bermesraan di tempat yang ada orang lain... tapi serangan gencarnya terus berlanjut setiap kali istirahat selama jam pelajaran pagi.




Istirahat makan siang. Rencana mengobrol dengan Chiharu gagal total, aku tidak diberi waktu untuk memperbaikinya, dan suasana hatinya memburuk. Mana bisa aku membiarkan ketidakadilan ini, sebagai kekasihnya aku pasti akan menebusnya...!


Tapi, sulit melakukannya segera. Aku juga tidak bisa mengabaikan jadwalku yang lain. Demi menepati janji makan siang bersama Shiori, aku menuju halaman tengah.


Tentu saja, aku memperhatikan kehadiran Mei dengan sangat hati-hati. Dia tidak mengikutiku. Sambil terus menguras sarafku, entah bagaimana aku berhasil sampai di halaman tengah.


Di bawah cahaya matahari yang menembus dedaunan, seorang siswi duduk di bangku, menikmati angin sepoi-sepoi. Hanya Shiori yang menggunakan tempat tersembunyi ini. Jadi, aku mengendurkan kewaspadaanku dan memanggilnya.


"Maaf membuatmu menunggu. Apa kamu sudah menunggu lama?" "Tidak. Aku baru saja sampai, Jun." "——"


Aku terdiam membisu. Di depan mataku, Kojo Mei tersenyum. Aku belum pernah tahu senyum yang membuat punggungku merinding seperti ini.


"Sa-Salah orang!! Sampai jumpa!" "Ah, Jun? Ayo makan siang bareng—!"


Mengabaikan suaranya yang mencoba menahanku, aku berbalik arah untuk kabur dari halaman tengah secepat mungkin.


Di tengah jalan, di sudut mataku, bayangan kecil bergerak. Dekat bangku, di balik pohon—Shiori mengintip. Mungkin karena ada Mei, dia bersembunyi sambil mengamati keadaan.


Tapi, kalau aku kembali, Kojo Mei akan menangkapku. Kalau dia menyatakan cinta lagi, aku tidak tahan! Aku tidak punya pilihan selain kabur, dan tidak bisa menepati janji makan siangku dengan Shiori.




Setelah istirahat makan siang, aku mencari kesempatan untuk meminta maaf pada Shiori, tapi dia marah dengan pipi menggembung seperti apel manisan. Wajar saja. Setelah Chiharu, kini kepercayaan Shiori padaku juga terluka.


Sial... Kojo Mei. Aku tidak bisa membiarkannya mengganggu lebih jauh lagi...!


Sepulang sekolah, dengan rasa kesal dan cemas yang menumpuk, aku berlari keluar dari area sekolah. Setelah ini, aku berencana pulang bersama Nagisa. Tapi, aku sudah menghubunginya sebelumnya untuk bertemu di luar area sekolah, bukan di dalam gedung.


Tidak ada yang membuntuti. Mei juga mungkin tidak punya cara untuk tahu tempat pertemuan kami.


"Hah, hah... Sempurna, zeee...!" Sambil mengatur napas, aku menunggu kedatangan Nagisa.


Sekitar tiga menit kemudian, mungkin. Saat napasku mulai tenang, dia muncul.


"Junnosuke-kun, maaf menunggu."


"N-Nagisa...!" Mungkin dia berlari kecil ke sini, sambil berkilauan karena keringat, Nagisa tersenyum menyegarkan.


Entah kenapa, rasanya aku ingin menangis. Didorong oleh luapan perasaan, aku refleks berlari menghampirinya. Aku hampir saja memeluknya, tapi Nagisa mengulurkan telapak tangannya seolah berkata 'berhenti'.


"Ah. Tunggu sebentar. Ada anak perempuan di belakangku yang mau bicara denganmu, Junnosuke-kun..."


"Yuhuu~, Jun. Ini Mei, lho?"


"WAAAAAAAH!?"


Aku menjerit. Tenggorokanku mungkin rusak parah, rasa darah menyebar di mulutku.


Kojo Mei, seperti biasa, memasang senyum manis seperti malaikat. Kalau tidak tahu apa-apa, mungkin senyum itu menenangkan, tapi hatiku retak. Aku terhuyung mundur.


"...Maaf. Nagisa..."


"Eh?"


"Aku baru ingat ada urusan mendadak. Nanti kuganti lain kali!"


Aku membalikkan badan dan kabur dari tempat itu.


Dipaksa mundur dengan memalukan, akhirnya aku mengerti. Pertarungan ini tidak akan mudah dimenangkan. Kojo Mei bergerak dengan sangat hati-hati, mencoba membuatku jatuh cinta. Apakah motifnya benar-benar cinta pada pandangan pertama, atau ada niat lain, aku tidak tahu... tapi aku benar-benar tidak sudi hubungan kekasih yang kubangun dengan susah payah dihancurkan!


Kalau begitu, aku harus memusatkan seluruh sarafku padanya—... pada Mei, dan dengan cepat membuatnya jatuh cinta. Aku akan melancarkan pendekatan berdampak tinggi dengan intensitas padat, mengincar kemenangan cepat.


Dan bukan hanya membuatnya jatuh cinta... tapi membuatnya jatuh cinta sampai remuk redam hingga dia tidak bisa lagi bertindak semaunya, menjinakkannya hingga patuh!


Di sudut kepalaku, aku sadar diriku saat ini kurang tenang, tapi aku membiarkan diriku terbawa oleh semangat yang membara.


"Beraninya membuatku seserius ini, tidak akan kumaafkan meskipun kamu menangis dan meminta maaf, Kojo Mei...!"



Keesokan harinya. Pagi ini Mei datang lagi ke rumahku—tapi lupakan itu, aku juga mulai bergerak.


Pertama, menyelidiki profil Mei. Seperti biasa, aku mencoba menyelidikinya secermat mungkin.


Lalu, secara mengejutkan mudah... namun, aku mendapatkan informasi yang mencengangkan. Ini kudapatkan dari bertanya pada murid kelas satu, kelas Mei, saat Mei sedang tidak ada.


'Kojo-san, ya. Kayaknya bukan orang jahat sih, tapi aku kurang suka. Dia tidak peka.'


‘Dia membantuku membersihkan kelas setelah sekolah menggantikan anak laki-laki yang bolos, meskipun bukan giliran kami, tapi dia tidak membiarkanku pulang sampai dia bisa membersihkannya sampai berkilau. Itu bantuan yang tidak diinginkan!’


‘Apakah dia tomboi. Dia kasar, dan akan sakit jika kamu menganggapnya sebagai wanita.’


‘Kojo-san? Hm, pengganggu yang tidak perlu? Aku benci anak itu.’


‘Kalau dipikir-pikir, dia membuat suara aneh di toilet beberapa waktu lalu. Aku ingat dengan aneh karena aku berpikir aneh karena dia masuk ke bilik dengan tas besar.’


Namun... ada bagian yang tidak bisa kuhindari, dan aku bertanya kepada beberapa siswa yang kudengar. ——Itu, apakah itu benar-benar cerita tentang Kojo Mei? dan.


Semua orang menjawab ya. Tapi kalau begitu, siapa Kojo Mei yang kulihat...?


Kecuali pendekatan cintanya yang gigih, penampilan dan gerak-geriknya menurutku seperti gadis cantik yang anggun. Tidak cocok dengan kesan gadis tomboi dan kasar yang diceritakan teman-teman sekelasnya.


Apa perbedaan ini? Seolah ada orang lain dengan nama yang sama persis. Kepalaku jadi pusing.


Akan lebih cepat kalau ada foto 'Kojo Mei' versi mereka, tapi sayangnya tidak ada yang berteman akrab dengannya, jadi aku tidak bisa memastikan penampilannya. Aku juga sudah mencoba meminta tolong, walau tahu kemungkinannya kecil, agar mereka mengambil foto saat bertemu dengannya lagi, tapi semuanya menolak karena itu sama saja menguntit. Mereka orang-orang yang bermoral...


Selain itu, saat penyelidikan berlanjut, entah kenapa muncul perasaan deja vu yang aneh dalam diriku.


"...?"


Selama pelajaran, sambil merangkum informasi tentang Mei di buku catatan, aku memiringkan kepala. Rasanya seperti ada duri kecil yang tersangkut di tenggorokan.


—'Tidak peka', 'bantuan yang merepotkan', 'kasar', 'suka ikut campur urusan orang'. Aku tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa aku mengenal seseorang yang dulu diejek seperti itu.


Akan tetapi, membangkitkan ingatan tentang orang biasa adalah hal sulit bagi otakku. Lagipula, ini hanya aku yang merasa gelisah dan tidak nyaman, apa gunanya mengungkap deja vu ini...?


Meski mencoba melupakannya, perasaan yang sudah terlanjur kusadari ini tidak mudah hilang.




Malam itu. Saat berendam di bak mandi menghangatkan tubuh, tiba-tiba sebuah sengatan listrik melintas di otakku.


"—Aku ingat!!"


Aku bergegas keluar dari kamar mandi dengan bersemangat, meneteskan air, dan berjalan dengan angkuh di sekitar rumah. Aku membuka ruang penyimpanan di bawah tangga yang jarang kugunakan, dan dengan panik mencari barang yang kutuju dari sana.


"...! Ini dia!"


Dan akhirnya aku menemukan dua album kelulusan.


Itu adalah album kelulusan SD dan SMP. Aku membentangkannya di lantai dan membalik halaman sambil berlutut.


Yang kuingat adalah seorang 'anak laki-laki' yang selalu dekat denganku sejak dulu, tetapi tidak pernah benar-benar dekat, dan tidak memiliki kesamaan selain dari fakta bahwa dia berasal dari daerah yang sama.


Aku merasa aku sering melihat 'anak laki-laki' itu. Sejujurnya, aku tidak ingat dengan jelas, tetapi dia seharusnya menjadi teman sekelasku beberapa kali di SD dan SMP.


Sejak saat itu, aku memiliki harga diri dan kebanggaan bahwa aku berbeda dari orang biasa, dan aku hidup dengan bebas dan sesuka hati, mempertahankan diri dari bergabung dalam lingkaran anak-anak. Satu-satunya alasan ingatan tentang 'anak laki-laki' itu tertinggal di benakku adalah——karena dia adalah orang yang dibenci pada tingkat yang sebanding denganku. Dengan kata lain, dia adalah objek kebencian yang cukup besar.


Aku tidak tahu kenapa dia sangat dibenci. Aku bahkan tidak mencoba untuk mencari tahu.


Aku hanya ingat sekilas ejekan dari orang-orang di sekitar saat itu.


——'Tidak peka', 'bantuan yang tidak diinginkan', 'kasar', 'pengganggu yang tidak perlu'.


Itu tumpang tindih dengan apa yang kudengar tentang Kojo Mei kali ini. Itu adalah identitas deja vu.


Pada saat yang sama dengan mencapai fakta ini——...aku menemukan kebenaran baru dan melihat album itu dua kali.


"Ha, ha, ha, ha..."


Tawa kering lolos. Dan, setelah beberapa tahun, aku mengubah persepsiku tentang 'anak laki-laki' itu.


Di bawah foto wajah seorang anak laki-laki di album kelulusan... tertulis nama 'Kojo Mei'.


Mei kecil dalam foto itu memiliki rambut pendek yang melompat, mata yang cerah, senyum lebar yang menunjukkan gigi putih, dan kulit kecoklatan yang kecokelatan dengan baik.


Kasar dan tidak peka, tomboi, ya... tentu, kali ini mataku salah.


"Anak laki-laki itu, perempuan!?"


Dan aku akhirnya menyadari bahwa Kojo Mei adalah teman masa kecil.


Dengan ini, setidaknya, Kojo Mei tidak lagi menjadi gadis misterius.


Dia adalah orang yang aku kenal sejak sekolah dasar. Aku lupa tentang Mei, tetapi mungkin dia mengingatku.


Atau lebih tepatnya, meskipun aku memeriksa foto wajah Mei di album kelulusan, aku belum melihat wajah asli Kojo Mei yang sekarang sebagai siswa SMA. Apa Mei yang kulihat secara langsung adalah... entahlah, apakah itu penampilan yang dia kenakan sekuat tenaga? Apakah dia mengalami perubahan dramatis karena dia berpikir bahwa penampilan aslinya tidak menarik bagi pria?


Dari perasaan yang kudengar dalam pengumpulan informasi, sepertinya dia tidak selalu berubah sepanjang waktu. Tampaknya hanya di depanku dia menunjukkan penampilan malaikat yang murni dan menawan. Sepertinya bahkan Mei akan lelah jika dia melakukan itu.


Jadi, informasi bahwa setelah masuk ke bilik toilet dengan tas besar dan suara berisik terdengar, mungkin dia sedang dalam proses berubah dengan peralatan kosmetik dan wig.


Namun... yang aneh adalah, bahkan jika aku memikirkannya sekarang, tidak ada kontak antara Mei dan aku yang membuat cinta bersemi. Mei mengatakan itu adalah cinta pada pandangan pertama, tetapi bagaimanapun juga aku merasa ada yang salah. Jika aku harus memikirkan alasan yang masuk akal... dari sudut pandangku, aku tidak tahu apakah perasaannya tulus atau tidak.


Aku memiliki 'bakat cinta'. Aku memiliki kepercayaan diri bahwa akurasinya lebih tinggi daripada ketika aku pertama kali mengakui bakat surgawi, dalam kemampuan untuk melihat apakah lawan benar-benar jatuh cinta. Ini juga berkat terus melihat Chihaya, Nagisa, dan Shiori. Namun, perasaan Mei terasa seperti nyata, dan di beberapa tempat terasa berbeda. Ini pertama kalinya aku tidak bisa mengambil sikap yang jelas.


Aku telah menyentuh permukaan Kojo Mei, tetapi masih belum ada perubahan dalam fakta bahwa aku tidak tahu dasarnya. Aku mengukir itu di hatiku.



Keesokan paginya. Aku merancang rencana rahasia. Ini adalah strategi yang memungkinkan Mei untuk jatuh cinta dalam satu pendekatan.


Tepat setelah aku selesai bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, bel pintu berbunyi seperti waktu yang tepat.


Aku tahu siapa pengunjungnya. Aku membuka pintu depan dan keluar. Di depan rumah ada seorang gadis yang merupakan perwujudan dari kelucuan yang diimpikan pria di dunia.


Tapi, tidak ada yang perlu ditakutkan. Aku menghadapi Mei dengan mata yang memancarkan kepercayaan diri yang tak tergoyahkan.


"Sepertinya kamu sangat menyukaiku. Apakah kamu akan terus datang ke rumahku setiap pagi di masa mendatang?"


"Aku akan menambahkan layanan untuk membangunkanmu setiap pagi dan membuatkan sarapan."


"Aku tidak mengatakan bahwa status quo kurang! Jangan memaksakan kenyamananmu sendiri dengan berpura-pura memenuhi kebutuhan."


Mei memasang ekspresi santai seolah-olah dia bahagia hanya dengan berbicara denganku. Dia terlihat seperti gadis yang sedang jatuh cinta, tetapi masalahnya adalah Mei agresif dalam cintanya.


Targetnya adalah aku untuknya. Tidak bisa dihindari bahwa aku akan memegang kendali.


Tentu saja, tidak mungkin aku kalah. Seperti yang direncanakan, aku melancarkan serangan pertama.


"Aku mengerti perasaanmu. Kalau begitu, Mei." "...Hm?" "Mari kita pergi kencan liburan ini."


Ketika aku menyampaikan kata-kata ajakan itu, Mei membeku dengan bingung.


Dia bergumam kata yang tidak biasa itu, "Kencan..." seolah memutar lidahnya. Tepat setelah itu, pipinya memerah, dan yang lebih buruk lagi, dia melompat ke arahku.


"Aku mau pergi! Aku mau pergi! Aku sangat menantikan kencan dengan Jun!"


Berkat Mei yang melompat kecil-kecilan, aroma jeruk yang baik yang melayang dari rambut hitamnya menggelitik lubang hidungku, dan gundukan yang kaya dan paha yang halus menggosok dan memberikan rangsangan yang menyedihkan.


"Ka——...n, ah."


Aku memalingkan wajahku ke arah yang berlawanan dan menelan kata-kata dengan susah payah. Tiba-tiba——'imut', kata seperti itu hampir keluar dari mulutku.


Namun, aku segera menggelengkan kepala. Aku tidak akan menyerah pada godaan seperti itu. Ini hanya perasaan sesaat. Aku tidak akan jatuh cinta meskipun aku membuat mereka jatuh cinta!




"......Fufu."


Di atas angin, suara tawa Mei terdengar kecil.


【POV: Mei Kojo】


——Tiga minggu yang lalu, aku bermimpi bertemu dengan dewa di ruang putih bersih.




"Ini bukan mimpi, Kojo Mei-san. Namaku Rei, salah satu pilar 'Dewa Langit'."


Seorang gadis berambut putih dan bermata merah muncul dengan cahaya yang menyilaukan di belakangnya.


Meskipun itu hanya ruang putih, mataku terbakar oleh jumlah cahaya yang menyilaukan.


"Terlalu menyilaukan...! "Bagaimana menurutmu? Apakah kamu merasakan keagungan dewa!"


"Karena putih, aku tidak bisa melihat apa-apa selain silau."


Ketika aku mengeluh dengan ketidakpuasan, jumlah cahaya jatuh seiring dengan suasana hati gadis itu.


"Be-begitukah. Tidak ada seorang pun yang kuundang ke sini yang percaya padaku, jadi aku tidak bisa menjelaskan apa pun, jadi aku pikir aku kurang seperti dewa... Meskipun orang itu telah menemukan tiga bakat surgawi berturut-turut, aku tidak kompeten sebagai dewa.... Karena aku berhasil menemukan pemilik bakat surgawi yang kucari sendiri, aku harus berhasil menjelaskannya kali ini..."


"?"


Aku tidak mengerti apa yang dia katakan. Hanya saja, gadis berambut putih dan bermata merah yang akhirnya bisa kulihat dengan jelas adalah anak yang cantik, tidak seperti siapa pun di dunia ini... tapi.


"Jika kamu ingin terlihat agung, kamu harus memakai sabuk transformasi." "Sabuk Henshin?"


"Ah, aku sangat menyukainya berkat kakakku. Itu hebat, keren!"


"Itu ide yang bagus. Aku pasti akan menggunakannya sebagai referensi ketika aku memanggil orang berikutnya!"


Kemudian, untuk sementara waktu, aku bersenang-senang mengobrol tentang pahlawan transformasi dengan dewa yang mengaku sebagai dewa.




Aku mulai menyadari bahwa ini bukan mimpi setelah kami banyak berbicara.


"——Itulah alasannya."


"Eh, eh, tunggu sebentar. Kepalaku kacau... aku akan mencoba memahaminya!"


Sambil memijat pelipisku dengan jari-jariku, aku merangkum cerita yang baru saja kudengar dari Rei.


Pertama, anak di depanku adalah dewa asli yang bekerja di surga. Pekerjaan Rei adalah menganugerahkan bakat surgawi kepada manusia di bumi, tetapi karena kesalahan yang dibuat oleh dewa langit sebelumnya, aku tidak hanya tidak bisa menerima bakat yang seharusnya kumiliki sejak lahir, tetapi aku juga hidup dengan membawa kekurangan yang disebut 'efek samping'——apakah itu benar?


Tapi, aku tidak bisa merasakan kenyataan dari apa yang dikatakan. Tentu saja, dalam kasusku——Dalam hidupku sejauh ini, aku membenci diriku sendiri karena aku tidak bisa melakukan hal yang paling penting.


Rei berkata kepadaku, yang terguncang karena ragu-ragu, dengan ekspresi serius.


"Kojo Mei-san. Bakat yang seharusnya kamu miliki sejak lahir adalah——..."


Setelah mendengarkan kata-kata Rei sampai akhir... aku mengepalkan tinjuku. Sekuat tenaga.


Ada bagian dari diriku yang sangat terkejut. Kalau begitu, 'efek samping'ku juga——masuk akal.


Melihat wajahku saat ini, Rei meminta maaf dengan ekspresi sedih.


"Aku sangat meminta maaf atas kegagalan pendahuluku. Aku bisa melihat seperti apa Kojo Mei-san di dalam, dari saat aku melihat wajahmu seperti ini... Kamu benar-benar memiliki hati yang lembut dan baik hati."


Rei mencoba menyemangatiku dengan matanya yang penuh belas kasihan.


Tapi, aku tahu. Bahkan jika aku hanya memiliki perasaan itu, itu tidak akan berguna.


"..." "Ah, eh"


Saat aku tidak bisa mengatakan apa-apa, Rei mulai panik.


"Tidak, tidak apa-apa. Aku akan bertanggung jawab untuk menemukan bakat surgawi aslimu dan mengirimkannya ke Kojo Mei-san. Aku tidak tahu kapan itu akan terjadi... eh, ya, itu benar, Hatsuse Junnosuke-san juga bekerja sama dalam pencarian bakat. Dia menemukan tiga bakat surgawi dalam waktu singkat, jadi aku yakin dia akan segera menemukan bakat Kojo Mei!"


"............Hatsuse, Junnosuke?"


Aku tanpa sadar bereaksi terhadap nama buruk yang tidak bisa diabaikan.


Kemudian, seolah-olah dia berpikir bahwa cahaya telah kembali ke mataku, Rei menjadi bersemangat.


"Ya, ya...! Kalau dipikir-pikir, aku belum memberitahumu. Hatsuse Junnosuke-san adalah orang yang secara keliru dianugerahi seratus delapan bakat tambahan di awal."


"! ...Begitu ya, orang itu."


Aku bergumam datar. Hatsuse Junnosuke... aku sudah mengenalnya sejak sekolah dasar.


Meskipun sepihak, aku sangat mengenalnya. Seorang pria yang menyebarkan lidah beracun yang tidak menganggap orang sebagai manusia, sombong bahwa dia adalah jenius yang lebih unggul dari siapa pun, dan telah hidup tanpa kesulitan!


Lawan yang paling aku benci dalam hidup adalah Hatsuse Junnosuke.


"...Jika dia memonopoli bakat orang lain sebanyak seratus delapan... maka penderitaanku adalah salahnya...?"


Sejak aku masih kecil, aku menyukai pemandangan orang-orang yang bahagia. Karena itu menghangatkan hati dan membuatku tersenyum.


Suatu saat, aku mulai berpikir bahwa aku ingin membuat seseorang bahagia dengan tanganku sendiri.


Namun, aku terlalu tidak berdaya dan terus melakukan kesalahan.


Bahkan jika aku bertindak dengan niat baik untuk seseorang, aku dikatakan sok tahu atau mengganggu, dan aku malah membuat mereka marah. Karena itu, aku dibenci hampir sama dengan Hatsuse Junnosuke ketika aku masih kecil.


Aku merasa bahwa aku tidak bisa melakukan apa pun dengan baik, dan dari pandangan orang lain, penampilan putus asaku tampak kasar dan ceroboh. Aku seorang gadis di usia yang tepat, tetapi aku akhirnya merusak ketulusan seorang gadis.


"...Aku tidak bisa memaafkannya."


Kebencian besar pada diri sendiri di dadaku berubah bentuk.


Menjadi hitam pekat dan kejam——hati dendam.


Hatsuse Junnosuke. Hanya membayangkan wajahnya yang meremehkan kehidupan membuatku merasa berenergi tanpa batas.


Masalahnya adalah bagaimana cara membalas dendam, tetapi... untungnya, ada tujuan di dekatku.


"Rei, bolehkah aku bertanya? Bahkan jika itu bukan bakat asliku, apakah tubuh ini memiliki bakat surgawi karena distribusi bakat yang salah?"


"Ya. Memang begitu."


"Bakat seperti apa itu? Aku sedikit penasaran."


Ketika aku bertanya, Rei menatapku dengan mata yang berayun mempesona. Kemudian, dia tersenyum dan dengan mudah memberitahuku.


"Ini 'bakat akting'!"


"Akting... akting, ya."


Aku menggigit kukuku dengan kasar dan mencoba memeras kecerdasanku.


Setelah memutar otakku untuk sementara waktu, sebuah ide muncul. Mungkin aku bisa membalas dendam atas fakta bahwa hati murni seorang gadis telah dirusak——.


Yang perlu kulakukan adalah memainkan wanita ideal yang akan membuat pria mana pun tergila-gila dengan 'bakat akting'ku. Dengan bakat surgawi yang dikatakan mampu menunjukkan kekuatan seperti dewa, aku yakin aku bisa melakukan peran yang luar biasa.


Dan kemudian, setelah membuat Hatsuse Junnosuke jatuh cinta, aku bisa memeliharanya seumur hidup, atau aku bisa membuangnya tanpa ampun...! Bagaimanapun, aku akan mengukir trauma yang tidak akan pernah hilang...!


Ini adalah balas dendamku. Aku pasti akan menyelesaikannya.


"Terima kasih, Rei. Berkatmu, aku merasa bisa melihat ke depan."


"Ehehe, aku senang mendengarnya! Kalau begitu, aku akan mengembalikan kesadaranmu ke dunia nyata."


Dengan demikian, aku terbangun dari mimpi dan mulai bertindak untuk rencana balas dendam.


Aku diam-diam mengamati Hatsuse Junnosuke atau memainkan peran wanita ideal.


Berkat itu, entah kenapa aku menemukan bahwa Hatsuse Junnosuke tampaknya dekat dengan tiga gadis tertentu, dan aku juga menyelesaikan akting seorang gadis yang murni dan menawan yang menarik bagi pria.


...Tapi kalau dipikir-pikir, aku lupa untuk mengkonfirmasi dengan Rei bakat asli apa yang dimiliki Hatsuse Junnosuke. Itu sedikit mengkhawatirkan, tetapi mengingat diriku yang sekarang, itu terasa seperti masalah kecil.


Jika aku memakai riasan dan wig, aku bukan lagi gadis kasar dan tomboi.


Perasaannya seperti aku bisa menjadi pahlawan transformasi yang kusukai.


【POV: Hatsuse Junnosuke】


Hari kencan yang dijanjikan dengan Mei tiba.


Tujuan kami adalah taman hiburan. Ini adalah tempat kencan standar untuk pasangan. Di tempat ini di mana suasana romantis mudah dibuat, aku sudah memikirkan 108 taktik romansa untuk membuat Mei jatuh cinta.


Tidak ada celah dalam diriku. Yang terpenting, aku tidak bisa kalah dalam romansa...!


"——Jun! Mau naik apa, mau naik apa?"


Tepat setelah melewati pintu masuk taman hiburan, Mei berlari kecil dan bersemangat sambil tersenyum.


 Mei, yang mengenakan gaun putih bersih, seperti gambar, dan seolah-olah dia telah keluar dari karya pelukis terkenal. Pakaian transparan yang tidak terlalu berlebihan, dikombinasikan dengan suasana murni dan menawan yang dipancarkan Mei sendiri, tampak memancarkan cahaya fantastis.


"Apakah kamu ingin aku mengantarmu? Baiklah, aku punya rencana kencan yang sempurna..." "Hah~, aku bersemangat! Aku ingin naik itu, ayo pergi!" "Eskortku adalah...!?"


Mei meraih tanganku dan menarikku dengan kekuatan yang tak terduga. Aku tidak bisa menolak, dan aku terus-menerus bingung——dan perjalanan taman hiburan dimulai.




"——Kyaa~!" "Uwaaa!?"


Ketika roller coaster yang melaju di rel turun dari puncak dalam satu gerakan, aku menjerit karena sensasi organ dalam yang melayang. Di sisi lain, Mei di sebelahku tampak senang dan bersemangat.


Setelah diayun ke atas, bawah, kiri, dan kanan seolah-olah diaduk dengan kasar, akhirnya badan mobil yang bersemangat menabrak kolam air dan cipratan air yang luar biasa naik.


Meskipun aku sedikit basah karena cipratan air, aku turun dari roller coaster dengan wajah yang benar-benar kelelahan.


"Kenapa aku harus membayar uang untuk mengalami rasa takut dan sakit. Aku tidak mengerti artinya..."


"Kuu~, itu menyenangkan! Tapi, ahaha, Jun dan aku sedikit basah ya?"


Gaun putih tipis itu sedikit transparan karena kelembaban, dan kulit serta pakaian dalam terlihat.


Mei menyadari hal itu, dan tersipu malu seolah-olah menyembunyikan rasa malu. Kemudian, dia mengeluarkan sapu tangan dan dengan ringan menyeka kelembaban yang memercik pada dirinya sendiri, lalu mencoba menggunakannya padaku.


"Hei, hei. Aku tidak butuh bantuanmu, aku bisa melakukannya sendiri." "Tidak apa-apa, tidak apa-apa. ...Um, duduk di sini?"


Aku dipaksa untuk duduk di bangku tanpa diberi kesempatan untuk mengatakan apa pun, dan wajah dan tubuhku digosok dengan kasar. Kekuatannya terlalu besar untuk menyeka tubuh manusia. Ini adalah kekuatan lengan untuk memoles patung batu dan patung perunggu... sakit!


Mei membungkuk dan masih menggerakkan sapu tangannya dengan rajin.


Saat aku hendak mengeluh, saat itulah——.


"...!?"


Aku menyadari sesuatu dan membuka mataku lebar-lebar.


Tulang selangka yang indah dan dada yang terlihat lembut terbuka tanpa pertahanan dari dekat.


Berbeda dengan kulit kecoklatan yang terlihat dari luar pakaian, kulit aslinya yang putih dan transparan.


Setiap kali dia menggerakkan sapu tangannya, batas antara gandum dan putih, dan lekukan dada kecil tapi berbentuk indah terlihat dari celah leher, dan pandanganku bergerak tanpa daya.


"...Ero"


Mei menyadarinya. Pipinya memerah, dan dia mencoba mengangkat dan menyembunyikan dadanya yang longgar dengan ujung jarinya.


Matanya agak sugestif, dan jantungku berdebar tanpa ada hubungannya dengan keinginanku.


Tapi, aku berpura-pura tenang dengan keras kepala dan berpura-pura tenang.


"Hmph. Apa yang kamu katakan, apakah kamu mengatakan bahwa aku terpesona oleh tubuhmu?" "Aku malu, tapi... jika Jun jujur, aku mungkin akan menunjukkan lebih banyak lagi." "Terus terang aku terpesona. Maafkan aku karena mencoba menyembunyikannya."


Aku tidak menyerah pada keinginan, tetapi menjawab dengan jujur sesuai dengan ketulusan manusiawi.


Mei memasang ekspresi puas dan membelai kepalaku.


"Baiklah baiklah. Tapi, aku malu, jadi aku akan berhenti."


Aku mengeluarkan suara tanpa suara dan memukul lututku sendiri. Apa yang kulakukan karena terombang-ambing!?


Aku hanya tertarik dengan bakat yang dimiliki gadis-gadis...! Seharusnya begitu, tapi——.


Kenapa. Ketika aku menyadarinya, aku mengikuti gerakan kecil Mei dengan mataku.


Mata yang jernih dan mempesona, ekspresi yang berubah menariknya, jarak yang dekat yang seolah-olah menyelinap ke dalam hatiku——naluri seorang pria memuji Mei dari ujung kepala hingga ujung kaki.


Mataku yang tajam dalam mengamati keindahan tampaknya menjadi kutukan. Jika aku tidak memiliki mata untuk melihat wanita, aku mungkin bisa menahan pesona ini... Sial!?


Aku menggertakkan gigiku, tetapi Mei dengan acuh tak acuh meletakkan jari telunjuknya di bibirnya.


"Kita sudah banyak berjalan, apa kamu tidak haus? Aku akan membelikan sesuatu untukmu, jadi Jun tunggu di sini." "! Jika itu yang kamu maksud, aku akan pergi..." "Kamu masih lelah karena wahana kan? Tidak apa-apa, serahkan padaku!"


Saat aku mengangkat pinggulku dari bangku, Mei sudah berlari menuju toko.


Setelah sosoknya menghilang, aku menekan dahiku dengan telapak tanganku, Sial, aku memegang kendali....


Ini tidak baik. Aku hanya didorong dan sama sekali tidak bisa menyerang. Adalah salah perhitungan bahwa aku sangat lemah dalam mesin teriak....


Tapi, bisakah aku, seorang jenius sepertiku, terus diperlakukan seperti ini? Aku akan memaksa tubuhku yang lelah untuk bergerak dan membuat arus.


Aku berdiri dari bangku dan memutuskan untuk mengikuti Mei.


Aku mulai berjalan dengan terhuyung-huyung——dan segera, aku menangkap sosok Mei dalam pandanganku.


Namun, di sana aku mengerutkan alisku. Itu karena Mei yang berjalan lurus ke toko tiba-tiba berhenti. Dia menatap tajam ke arah yang berlawanan dan tiba-tiba mengubah arah dan berlari.


Aku merasa aneh, jadi aku memutuskan untuk mengawasi situasinya dari jauh dan mengikuti Mei.


Kemudian, Mei berhenti tidak jauh. Aku yang sudah lelah, diberi waktu untuk mengatur napasku, lalu mengalihkan pandanganku untuk memastikan situasinya.


Kemudian, Mei menekuk lututnya dan menghibur seorang anak laki-laki yang tampak akan menangis... pemandangan seperti itu tercermin.


"——Itu adalah"


Spekulasi dan pemahaman tentang tindakan Mei yang tidak bisa dipahami perlahan-lahan menyebar di benakku.


Saat itu, ponsel yang ada di sakuku bergetar. Aku memeriksa layar dan menerima pesan baru, dan pengirimnya adalah Mei. Aku bertukar informasi kontak dengannya dalam perjalanan ke taman hiburan ini. Ketika aku memeriksa isi pesannya, tertulis——


'Maaf ya! Aku menemukan anak laki-laki yang tersesat dan tidak bisa meninggalkannya, jadi tolong tunggu sebentar di bangku itu'


Itu tertulis singkat. Ketika aku mengangkat wajahku dari layar LCD, aku bisa melihat Mei memimpin tangan anak laki-laki itu dan berjalan ke suatu tempat. Pada saat itu, mungkin untuk meyakinkan anak laki-laki itu, Mei menunjukkan senyum kuat yang menunjukkan gigi putihnya. Itu... terasa sedikit berbeda dari ekspresi yang dia tunjukkan padaku.


Aku merasa seperti aku bisa melihat sisi Mei yang tidak diketahui, jadi aku sengaja tidak bergabung dengan mereka dan membalas pesan itu dengan 'Oke', dan kemudian aku mengikuti mereka dari belakang.


Namun, sejak saat itu sekitar dua puluh menit telah berlalu... Mei berkeliaran di sana-sini, hanya menunjukkan langkah kaki yang meragukan apakah ada tujuan yang jelas. Meskipun dia telah memeriksa peta taman hiburan berulang kali, dia menjauh dari pusat yang seharusnya menjadi tujuan kedatangan anak yang tersesat.


Pada titik ini, aku akhirnya menyadarinya. Orang yang memandu anak yang tersesat itu sendiri tersesat...?


Ini adalah kerusakan sekunder yang tidak terduga. Anak laki-laki yang diajak berjalan tanpa tujuan sudah terlihat sangat lelah. Di sisi lain, Mei terlalu asyik membaca peta dan sama sekali tidak menyadari bahwa lutut anak laki-laki itu tertawa.


Hanya aku yang bisa mencegah situasi memburuk lebih jauh... dengan enggan, aku mendekati Mei dan anak laki-laki itu dari belakang untuk menawarkan bantuan.


Ketika aku mendekat, percakapan antara Mei dan anak laki-laki itu sampai di telingaku.


"...Ka-kak. Aku tidak bisa berjalan lagi..." "Eh, benarkah? Maaf, aku tidak memperhitungkan stamina anak-anak." "Itu mengalihkan tanggung jawab, kan?" "Ugh... Maafkan aku karena terus tersesat..."


Pemandangan seorang siswa SMA yang dimarahi dengan serius oleh seorang anak yang mungkin sepuluh tahun lebih muda darinya terlalu menyedihkan. Anak laki-laki itu juga anehnya memilih kata-kata yang sulit, dan aku tidak bisa tidak bertanya-tanya siapa yang lebih muda.


"Fuu... tidak, maafkan aku karena marah. Awalnya, aku salah karena terpikat oleh pertunjukan pahlawan dan terpisah dari ibuku. Ini kesalahan seumur hidupku."


Jangan biarkan seorang anak yang bahkan belum mencapai dua digit berbicara tentang seumur hidup. Karena cara bicaranya yang dewasa, aku tidak bisa berpikir bahwa dia benar-benar anak kecil.


"Eh, benarkah? Apakah ada pertunjukan pahlawan? Aku juga ingin melihatnya!" Mei'i's's mata berbinar dan memakannya. Ugh, yang ini lebih seperti anak kecil... Seolah-olah aku berkata, Mei memiliki sedikit perbedaan dari penampilannya di depanku. Aku tidak merasakan kesan imut yang kulihat sampai sekarang, dan lebih dekat dengan suasana tomboi yang kudengar dalam rumor. Tapi——...Aku lebih menyukai yang ini!


"Ini lebih baik! Tidak, Black juga keren di karya ini!"


Aku sadar kembali dengan suara anak laki-laki dan Mei yang mengobrol dengan antusias.


Meskipun aku merasakan sesuatu yang mengganggu di hatiku, aku memutuskan untuk mengoreksi kencanku dengan Mei.


Saat aku berjalan mendekat, Mei menyadari keberadaanku dan membuka matanya lebar-lebar.


"Mei. Kamu lama sekali, jadi aku datang menjemputmu."


"Ah... maaf ya, Jun. Aku tersesat."


Begitu dia menyadari keberadaanku, Mei menunduk dengan sopan. Sikap yang sangat imut, memikirkan penampilannya sebelumnya... meskipun ada sedikit rasa tidak nyaman.


Melihat Mei seperti itu, anak laki-laki di sebelahnya tersipu dan berkata, "...Itu juga bagus."




Setelah aku memandu anak laki-laki itu ke pusat informasi orang hilang, ibunya sudah ada di sana, dan dia berhasil kembali ke orang tuanya dengan selamat. Saat perpisahan itu, anak laki-laki itu tampak menyukai Mei, dan melambai padanya sampai dia menghilang dari pandangan... entah bagaimana aku merasa mata anak laki-laki itu menyimpan perasaan cinta, tapi ah, sudahlah.


Mei, di sisi lain, terus tersenyum gembira seolah-olah dia senang telah melakukan perbuatan baik.


Saat aku mengamati ekspresi itu, Mei menyadari tatapanku dan pipinya memerah karena malu.


"Terima kasih sudah mengantarku, tapi aku sudah menghubungimu untuk menungguku." "Aku sudah memulihkan diri. Tidak perlu khawatir."


Ya, mulai sekarang aku akan memulai lagi untuk membuat Mei jatuh cinta, seperti yang direncanakan semula.


Meskipun begitu, aku menjadi haus karena berjalan-jalan mencari anak yang hilang, jadi kami kembali ke toko yang semula ingin kami kunjungi. Ada toko yang menyajikan jus buah segar, dan kami berdua memutuskan untuk beristirahat di sana atas permintaan Mei, dan kami berdiskusi tentang apa yang akan dipesan.


"Sepertinya jus persik direkomendasikan... Karena Jun pasti haus, bagaimana kalau kita pesan sekitar 100 liter, apakah itu cukup?" "Itu sudah seperti jumlah air yang diminum unta? Itu tidak mungkin."


Bahkan orang yang mengalami dehidrasi pun tidak akan meminta sebanyak itu. Aku mengoreksinya sambil berpikir itu pasti lelucon, tetapi Mei berwajah serius. ...Kamu tidak serius, kan?


Pada akhirnya, Mei memilih persik, dan aku memilih mangga. Namun, untukku, itu bukan pilihan berdasarkan preferensi. Untuk membuat rasanya berbeda untuk kami berdua, aku sengaja memesan rasa yang berbeda dari Mei.


Ini adalah kesempatan yang baik. Aku akan menunjukkan padamu bagaimana sebenarnya permainan cinta itu.


Setelah kami selesai membayar dan meninggalkan toko, Mei memasukkan sedotan ke dalam smoothie persiknya.


"Hmm~ Enak sekali!" "Apakah itu benar-benar enak?" "Ya. ...Ah?"


Aku mendekatkan wajahku ke minuman Mei——dan menghisap sedotan.


Dan setelah meminjam satu tegukan, aku menghembuskan napas.


"Memang enak. Kamu benar, Mei." "~~...!"


Pipi Mei memerah, dan dia melihat bolak-balik antara sedotan minumannya dan bibirku.


...Waktunya sempurna. Seperti yang direncanakan, aku berhasil mengejutkannya.


Serangan mendadak ini sangat penting untuk menggoyahkan hati lawan. Hanya mengikuti prosedur yang sopan bukanlah cara yang benar untuk mendekati cinta. Selain itu, ini baru permulaan. Mulai sekarang, aku akan membuat hati Mei berdebar kencang dan merampas hatinya!


"...Muu~, kamu curang ya, Jun. Biarkan aku mencicipi punyamu juga?"


Mei berkata dengan cemberut. Hmph, amatir, seperti yang diharapkan, ini hanya pembalasan sederhana.


Sebagai seorang profesional, aku tidak memiliki kelemahan untuk terpengaruh oleh ciuman tidak langsung.


Aku melepaskan mulutku dari sedotan dan menyodorkan jus manggaku ke Mei.


"Ini. Bagaimana——rasanya?"


Tangan Mei yang terulur melewati gelas minuman.


Tangan itu, ketika menyentuh pipiku——hanya ibu jari yang bergerak, membelai ujung bibirku.


Saat aku terkejut, tangan Mei ditarik kembali. Di bantalan ibu jarinya, ada sedikit jus mangga. Mei menjilatnya dengan lidahnya.


"Hmm. Enak." "............"


Aku terpikat oleh pesona menggoda yang tidak bermoral dan tidak bisa mengalihkan pandangan.


Jantungku berdebar kencang. Punyaku.


"Hei, Jun. Kita sudah naik wahana yang seru, bagaimana kalau kita naik bianglala setelah ini?" "............"


"Sebenarnya, aku belum pernah naik bianglala. Aku pernah melihat adegan di mana seseorang menyatakan cinta di puncak bianglala di manga yang kubaca dulu, dan aku sedikit mengaguminya—"


Langkahku terhenti. Keringat mengalir di pipiku, napasku dangkal, dan mataku terus bergerak.


Menyadari aku tiba-tiba berhenti bergerak, Mei berbalik dengan wajah bingung.


"Ada apa. Ayo cepat pergi?" "............Ti-tidak bisa."


Penolakan singkat keluar dari mulutku. Suara bingung kembali dari Mei.


Keringat dingin mengalir seperti air terjun, dan aku mundur. Aku yakin——jika terus seperti ini, aku akan jatuh cinta. Aku, seorang jenius dengan 'bakat cinta'——Hatsuse Junnosuke... akan jatuh cinta!?


Tepat setelah aku merasakan itu, ketakutan yang luar biasa memenuhi dadaku, dan kecemasan bahwa harga diriku akan hancur karena kekalahan.


"Ma-maaf... Sepertinya aku merasa tidak enak badan lagi. Mari kita akhiri sampai di sini hari ini—!"


Aku membalikkan tubuhku dan berlari keluar.


"Tu-tunggu, Jun!?"


Aku menjauhi Mei yang panik, dan terus berlari mati-matian untuk menghindari rasa takut dan cemas.


Kenapa...! Kenapa, aku yang dibuat berdebar-debar——!?


Ini seharusnya tidak terjadi. Visiku untuk membuat Mei jatuh cinta menghilang seolah-olah berubah menjadi gelap. Sejak kapan, apa... di mana aku salah?


Dan dengan demikian, aku mengakhiri kencan dengan Mei di tengah jalan.



Dua hari kemudian. Akhir pekan berakhir, dan hari Senin.


Aku merasa berat untuk bertemu Mei, jadi aku tinggal di kamarku dan tidak pergi ke sekolah.


Mei datang ke rumahku lagi hari ini untuk pergi ke sekolah bersama, dan aku menerima banyak pesan di informasi kontak yang kami tukar beberapa hari yang lalu. Tapi, aku tidak bisa menanggapi satu pun dari mereka.


Jika aku jatuh cinta, aku merasa akan ada perubahan ireversibel dalam diriku.


Selain kehilangan bakat, aku tidak memiliki keluhan tentang diriku. Hal terpenting di dunia ini adalah bakat, dan itulah keadilan bagiku. Keinginanku adalah untuk tetap tidak berubah.


Namun, fakta bahwa 'bakat cinta' adalah bakat asliku... jika dipikir-pikir, itu yang terburuk. Bakat ini mengandung potensi menjadi pedang bermata dua. Saat seseorang menderita karena cinta, orang itu berubah.


Aku tidak tahu itu, meskipun aku telah menggunakan cinta sebagai senjata tiga kali sejauh ini.


Cinta bagi manusia... adalah masalah besar, sesuatu yang mengguncang hati.


Dan.


Saat aku tenggelam dalam pikiran, bel pintu berdering.


Aku pikir itu Mei lagi, tapi... waktunya lebih dari jam 3 sore, sedikit lebih awal dari sepulang sekolah.


Kalau begitu, mungkin pengiriman atau semacamnya. Aku mengangkat tubuhku dan menjawab interkom.


"Halo."


'Ah, apa ini Junnosuke? Aku bolos dari jam terakhir dan bergegas ke sana. Biarkan aku masuk.'


Mendengar suara yang sudah lama tidak kudengar membuatku terkejut.


Gadis yang pertama kali kubuat jatuh cinta——Chiharu Okusora yang datang berkunjung.


"Apa ada yang ingin kamu katakan padaku?"


Chiharu Okusora, yang kuundang ke kamarku, mengatakan itu sebagai pembuka. Dia menatapku dengan mata setengah tertutup seolah menyalahkanku atas sesuatu. Di depan Chiharu seperti itu, aku duduk dengan tegak dan meluruskan punggungku.


"A-aku minta maaf karena mengabaikanmu akhir-akhir ini." "...Bukan itu!"


Posturku runtuh. Bukan itu?


Chiharu menatapku tajam saat aku merangkak di lantai.


"Jawablah pertanyaanku dengan jujur."


"Aku tidak bisa menjamin apakah aku akan jujur, tapi baiklah."


"Aku juga tidak akan menjamin nyawamu jika itu bohong." "Apa kamu yakin aku baik-baik saja?"


Aku memprotes karena nyawaku seolah-olah dipertaruhkan dengan lancar, tetapi dia mengabaikanku.


Chiharu menyilangkan tangannya dan matanya berkilat marah.


"Pertanyaan 1: Apakah kamu tidak peduli lagi padaku karena kamu bosan denganku?"


Entah kenapa, itu dalam format pertanyaan. Apakah ada lebih dari satu pertanyaan?


Aku merasakan suasana bahwa jika aku mengatakan sesuatu yang buruk, pembicaraan akan berubah menjadi eksekusi, jadi aku terpaksa menjawab.


"Tidak."


"Pertanyaan 2: Apakah kamu selingkuh?"


"TIDAK!"


"Pertanyaan 3: Apakah ada hubungannya dengan fakta bahwa Junnosuke tampak tidak sehat akhir-akhir ini?"


"...Ya."


"Pertanyaan 4: Bisakah kamu menceritakan detailnya?"


"Sebagian, ya."


"Pertanyaan 5: Apakah Junnosuke kesepian ketika kamu tidak bisa bersamaku...?"


"Ya."


"Baiklah... aku mengerti semuanya."


Dia tampaknya memahami segalanya dalam lima langkah. Ini adalah kemampuan penyempitan yang mengingatkan pada jin lampu tertentu.


Chiharu mendengus dan memasukkan tangannya ke dalam tas sekolahnya. Dia mengobrak-abrik isinya dan mengeluarkan sesuatu seukuran telapak tangan.


"Mungkinkah ini."


Yang disodorkan Chiharu adalah boneka gadis berambut pirang.


Aku memegangnya di kedua tangan dan melihatnya, lalu mengalihkan pandanganku ke Chiharu. ...Sangat mirip.


"Ini, Chiharu, kan." "...Ya."


Aku menatap Chiharu tanpa memahami maksudnya memberikan boneka itu.


Menyadari tatapanku, wajah Chiharu berangsur-angsur memerah.


"Jika kamu tidak bisa bertemu denganku, kamu tidak akan kesepian jika kamu punya itu. A-aku tidak akan membiarkanmu mengatakannya..." "——"


"Aku menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh tentang Junnosuke akhir-akhir ini. Aku ingin tahu alasannya, tetapi jika ada sedikit pun perasaan bahwa kamu tidak ingin membicarakannya, aku tidak akan memaksamu untuk menceritakannya." "Heh...?"


Aku tidak bisa langsung memahami maksudnya. Mengesampingkan asumsi bahwa aku selalu dianggap aneh, aku bertanya-tanya mengapa dia tidak bertanya jika ada sesuatu yang mengganggunya....


Chiharu menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mata, seolah mencoba menahan rasa malunya.


Ketika dia akhirnya membuka kelopak matanya, dia menatapku dengan mata indah yang berisi tekad yang kuat.


"Aku tidak ingin mengabaikan perasaan Junnosuke. Dan aku juga tidak ingin dibenci karenanya." "——..."


Mendengar kata-kata Chiharu, ada sesuatu yang akhirnya masuk akal bagiku.


Jika dipikir-pikir, aku tahu. Dengan kata lain, dia khawatir tentang kekasihnya dan peduli dengan perasaan baiknya.


Namun, berbeda dengan diriku yang menghitung secara romantis, Chiharu merangkai kata-kata dari hatinya. Dengan kata lain, Chiharu melakukan sesuatu yang tidak bisa kulakukan secara alami.


Ini mungkin yang disebut——keajaiban cinta.


Kalau dipikir-pikir, aku... selama ini berusaha untuk bisa menyukai lawan bicaraku untuk menunjukkan 'bakat cinta'ku. Tapi, seberapa besar aku harus menyukai seseorang untuk menyebutnya cinta? Apakah cinta tumbuh jika aku jatuh cinta? Apakah aku benar-benar tahu identitas perasaan yang kumiliki?


Aku harus memikirkannya dengan hati-hati... Ini penting, dan ini bukan hanya masalahku.


"Terima kasih, Chiharu."


Aku membelai boneka yang kuterima dengan gerakan kikuk.


Ini pertama kalinya aku menghargai benda kain tanpa jiwa, jadi rasanya segar. Tapi, ini tidak buruk....


"Sedikit. Sepertinya kamu tidak mendengarkan ceritaku dengan baik." "——Hm?"


"Kamu bisa memanjakan yang mirip denganku saat kamu tidak bisa bertemu denganku. Karena yang asli ada di depanmu sekarang, lihatlah aku."


Chiharu menjatuhkan diri ke lantai dan merentangkan tangannya.


"Kamu bisa mencintaiku, kan?" "——. ...Kamu cantik, ya."


Tanpa sadar aku menggumamkan itu.


Aku mengulurkan tangan dan membelai kepalanya selembut mungkin.


Chiharu juga menggosokkan kepalanya ke telapak tanganku, seolah-olah dia ingin menekannya. Seperti kucing.


Kemesraan dengan Chiharu berlanjut sampai dia puas.



Setelah Chiharu pulang dengan alasan ada janji bertemu teman lain.


Sekitar pukul enam sore lewat, bel pintu kembali berbunyi.


"Hm...?"


Mungkinkah kali ini Mei yang datang? Aku menjawab sedikit waspada. Lalu, sekali lagi terdengar nada suara jernih yang sudah lama tak kudengar.


'Halo. Saya Fukami Nagisa, teman sekelas Junnosuke-kun.'




Begitu kupersilakan masuk, Nagisa langsung memelukku sebagai ganti salam.


"Aku khawatir karena sepertinya kamu tidak masuk sekolah. Kalaupun tidak, akhir-akhir ini aku merasa seperti kamu menghindariku... Aku ingin bicara."


Sekitar puluhan detik kemudian, Nagisa, mungkin sudah merasa cukup, melepaskan pelukannya dariku.


Ekspresinya yang lembut penuh kasih sayang tiba-tiba berubah—menjadi raut wajah tegas dan berwibawa.


"Entah kenapa, aku tahu kamu sedang ada masalah. Aku... bukan aku, tapi seorang peramal kenalanku, sudah berusaha keras meramal tentangmu, Junnosuke-kun. Aku yakin ini akan sangat membantu!"


"Ah, terima kasih, Nagisa."


Sedikit terintimidasi oleh semangatnya yang memberi dukungan, aku balas tersenyum.


Mungkin karena pandangan bahwa ramalan itu mencurigakan masih tersisa, Nagisa menyembunyikan fakta bahwa dia sendiri sering pergi ke peramal. Dia juga sepertinya berpikir aku belum tahu bahwa kami pernah bertemu saat dia dalam wujud peramalnya.


Tapi, dia pasti benar-benar berusaha keras. Meskipun dia bilang nasibku rumit dan sulit dibaca, dia tetap bersemangat menyampaikan hasil ramalan yang didapatkannya.


Melihat sosok Nagisa seperti itu, rasanya aku bukan hanya mendapatkan keberuntungan, tapi juga keberanian untuk melawan kesulitan.


"...Aku senang bisa berada di sisi Nagisa. Berkatmu, rasanya aku juga bisa berjuang dengan benar."



Setelah Nagisa pergi, meninggalkan berbagai macam jimat keberuntungan yang tampak manjur, sekitar pukul sembilan malam, interkom kembali berbunyi.


"Hm..."


Aku merasa aku tahu siapa pengunjungnya. Aku menyahut tanpa melalui interkom, dan pergi ke pintu depan. Ketika aku membuka pintu——rambut bodoh berwarna chestnut yang bergoyang tertiup angin malam, pertama kali terlihat.


"Ah, u-uhm, Junnosuke-san. Maafkan aku karena datang selarut ini, aku baru saja selesai bekerja paruh waktu... aku datang."




Shiori berkata bahwa ia tidak bisa berlama-lama karena hari sudah sangat larut.


Meskipun begitu, aku tetap menawarkan teh dan mempersilahkannya masuk serta duduk di sofa.


"Ju-Junnosuke-san...!"


Shiori membasahi bibirnya dengan teh dari cangkirnya, lalu menghadap ke arahku yang duduk di sebelahnya.


"Alasan kita tidak bisa bertemu akhir-akhir ini, tu karena aku dan teman-teman di kedai kopi sedang merencanakan pesta kejutan untuk merayakan keberhasilanku melepas lencana pelatihan karyawan baru dan diakui mandiri?"


"Maaf sekali, tapi sama sekali bukan itu."


"Be... begitu ya. Benar juga, kupikir juga bukan itu...!"


Saat aku menyangkalnya dengan jelas, Shiori mengipas-ngipasi wajahnya yang memerah dengan tangannya.


Imajinasi liarnya masih sama, tapi mungkin berkat menipisnya rasa takut pada orang lain yang berakar di hatinya, dia mulai mengembangkan imajinasi positif alih-alih delusi korban.


Fakta bahwa itu adalah khayalan tak berdasar tidak berubah, dan Shiori tampak malu-malu dan menciut setelah menyadari kesalahpahamannya, tapi dibandingkan sebelumnya, ini bahkan terasa menggemaskan.


Menyembunyikan sudut bibirku yang terangkat, aku membawa cangkir teh ke mulut. Saat itu, Shiori di sebelahku memiringkan tubuh mungilnya dan menyandarkan kepalanya di bahuku.


"Ini mungkin juga salah paham, tapi... kalau Junnosuke-san sedang kesulitan dan ada yang bisa kulakukan, tolong katakan saja tanpa ragu. Mungkin aku lemah dan tidak bisa diandalkan, tapi..."


Sambil gelisah menggesek-gesekkan kedua pahanya, dia mengepalkan kedua tangan kecilnya erat-erat di depan dada.


Melihat Shiori yang tampak berusaha sekuat tenaga menunjukkan kekuatannya ini, tanpa sadar aku tersenyum.


"...Hah. Tidak begitu, tidak ada kekuatan yang lebih bisa diandalkan daripada Shiori."


Jika Shiori mau, pria sekuat apa pun bisa dicabik-cabiknya. Aku tahu kekuatan tak tertandingi tersembunyi di dalam tubuh mungilnya itu. Karena itu, aku tidak bisa sembarangan mengandalkannya, dan lagipula kali ini tidak ada gunanya. Akan sangat tidak keren jika aku tidak menghadapinya dengan kekuatanku sendiri.


"Terima kasih, Shiori. Berkatmu, rasanya aku jadi punya kekuatan juga."




Tepat saat cangkir tehnya kosong, Shiori pulang ke rumahnya.


Setelah mengalami kejadian langka didatangi tiga kekasih berturut-turut dalam sehari, aku menampar pipiku sendiri.


"...Mana bisa aku, yang telah membuat mereka jatuh cinta, terus-terusan lembek seperti ini."


Lalu, di atas meja belajar di kamarku—aku membolak-balik halaman album kelulusan SD dan SMP. Dulu kupikir masa lalu hanyalah catatan sepele.


Tapi, tidak. Meskipun ingatanku sudah memudar, aku telah menghabiskan waktu yang sama dengan Kojo Mei dalam jarak yang tidak terlalu dekat maupun terlalu jauh. Aku hanya tidak menyadarinya, tapi aku pasti sudah berpapasan dengan Mei berkali-kali.


...Sekarang aku baru sadar. Aku telah salah dalam menghadapi Mei sejak awal.


Aku cemas hubungan dengan kekasihku yang lain terancam oleh Mei, dan kehilangan ketenangan. Karena itu, aku menganggapnya sebagai musuh yang harus dikalahkan. Tapi bukan begitu.


Bagiku, Mei juga adalah seorang gadis yang seharusnya kucoba sukai dengan benar. Sambil menarik napas dalam-dalam seolah memeras udara dari paru-paru, aku meletakkan tangan di dada.


—...Aku sudah tahu sisi baik Mei. Perasaan suka ini bukan ditujukan pada Mei yang seperti gadis pada umumnya, yang berkali-kali melancarkan pendekatan cinta—bukan. Ini jelas berbeda dari Kojo Mei yang itu... Meskipun aku hanya melihatnya sekilas, ada ekspresinya yang tak terlupakan.


Setelah meninjau kembali album dengan saksama, aku mengambil ponsel dan menelepon. Setelah beberapa dering, panggilan tersambung, dan hal pertama yang kukatakan adalah:


"—Maukah kamu memberiku kesempatan untuk menebusnya?"


'...Baru saja menelepon tiba-tiba, ma-maksudmu apa!?'


Mei di ujung telepon terdengar sangat kebingungan.



Akhir pekan tiba lagi. Aku mengunjungi taman kebun provinsi.


Tentu saja, tidak sendirian. Di sebelahku ada Mei, berdandan seperti gadis anggun yang manis. Ini adalah untuk menebus kencan kami yang terputus tempo hari.


Dengan hati yang tenang, aku mengamati setiap gerak-gerik Mei dengan saksama.


Masih tidak berubah, tanpa cela sedikit pun. Begitu menyenangkan dilihat hingga menggelitik hati pria.


Jika aku menatapnya terlalu lama, mungkin aku bisa dipermainkan lagi kapan saja. Tapi, untuk merasakan segalanya tentang dia, dengan tekad kuat aku tidak mau mengalihkan pandangan dari Mei.


Setelah masuk ke dalam taman, beberapa saat kemudian, Mei melihat sekeliling dengan gelisah.


"Tempat ini..."


Tatapannya tidak tertuju pada tanaman-tanaman langka—bukan. Dia memandang secara samar konter resepsionis biasa, papan pengumuman dengan peta taman, suasana keseluruhan yang tertangkap mata.


Seolah sedang menumpangkan pemandangan dalam ingatan dengan pemandangan di depan mata.


"Merasa nostalgia? Kita pernah ke sini saat karya wisata kelas dua SD."


"...Aku kaget. Kamu ingat tentangku?"


"Tidak, maaf. Jujur saja, aku baru ingat belum lama ini. Aku juga tidak ingat jelas pernah ke sini. Baru setelah melihat kembali album, kurang lebih begitu."


Aku menjawab jujur, tanpa berbohong hal yang mudah ketahuan.


Ini adalah saat penentuan untuk menaklukkan Mei. Aku sudah bersiap, dan punya peluang menang.


Aku akan menghadapinya dengan semua yang kumiliki. Tapi, masih belum cukup. Yang tidak bisa dihindari dalam rencana percintaan ini adalah keharusan untuk menghadapi perasaan Mei yang sebenarnya, tanpa kebohongan.


Di balik rasa sukanya yang tampak polos dan lurus seperti malaikat itu—ada sesuatu yang tersembunyi.


Mengandalkan ingatan yang menjadi dasar itu, demi melewati jalan sempit ini, aku meraih tangan Mei.


"Ayo pergi. Akan kubuat kencan ini tak terlupakan."


"...Kedengarannya menyenangkan."


Mei tersenyum tanpa cela. Sambil menyisipkan jeda sesaat tepat sebelumnya.


—...Lalu, kami berjalan perlahan mengelilingi taman.


Kami melewati taman kamelia yang memekarkan bunga-bunga besar berwarna merah tua dan putih bersih, taman prem di mana kelopak bunga berwarna-warni dan halus tampak seperti lukisan titik yang rumit, kolam tempat unggas air berenang dengan anggun, serta taman mawar yang megah dan harum semerbak.


Kami makan siang ringan di kafe, lalu pindah ke tempat istirahat di bukit terdekat dengan pemandangan bagus.


"Hmm, nyaman sekali~!"


Mei merentangkan kedua tangannya. Di bawah tampak pemandangan beragam bunga dan tanaman yang baru saja kami lewati.


Dan di dekat kaki kami juga terhampar taman bunga, bunga-bunga kecil berbaris rapi.


Poninya dimainkan angin sepoi-sepoi, Mei menoleh ke arahku sambil tersenyum lebar.


"Hei, setelah ini mau ke mana?"


"Hmm... sepertinya sudah waktunya."


Aku bergumam penuh arti, dan Mei memiringkan kepalanya.


Aku berjalan menghampirinya dan dengan lembut menggenggam telapak tangannya yang berwarna cokelat gandum sehat terbakar matahari.


"Ada tempat yang sangat ingin kutunjukkan padamu, Mei. Maukah kamu ikut?"


"Hh—... I-Iya. Tentu saja!"


Mendengar nada bicaraku yang serius, Mei menahan napas, lalu bibirnya melengkung membentuk senyuman.


Bergandengan tangan dengannya, aku menuju sebuah panggung tertentu di dalam taman kebun.


...Dalam merencanakan kencan balasan dengan Mei ini, satu hal yang paling kutekankan adalah bagaimana caranya agar dia bisa benar-benar menikmatinya.


Selama kencan di taman hiburan sebelumnya, Mei tidak pernah sekalipun menunjukkan wajah bosan, malah dia selalu tersenyum senang kapan pun.


Tapi, ada saat di mana dia menunjukkan senyum yang berbeda dari saat bersamaku.


Yaitu senyum yang Mei tunjukkan untuk menenangkan anak laki-laki yang tersesat di taman hiburan, dan senyum yang merekah saat dia asyik membicarakan hobi yang sama dengan anak itu—aku tidak bisa melupakan momen saat melihat senyum-senyum itu.


Saat itu, Mei tampak begitu hidup, dengan raut wajah terbaik yang belum pernah kulihat sebelumnya.


Meskipun aku tidak bisa mengatakannya dengan baik, rasanya dia benar-benar tertawa dari lubuk hatinya. Baru setelah membandingkannya dengan itu, aku mulai sangat curiga apakah Mei yang ada di hadapanku ini menunjukkan dirinya yang sebenarnya.


Bukankah dia menyembunyikan wujud aslinya, menyembunyikan perasaan sebenarnya, dan tidak menunjukkan hal-hal penting sama sekali?


Jika memang begitu, aku ingin menjembatani jurang tak terlihat itu dan menghadapi Mei yang sebenarnya.


Bukan hanya demi membuatnya jatuh cinta dan menguasai bakatnya—... tapi karena fakta bahwa dia tidak pernah menunjukkan senyum polosnya yang mendebarkan itu hanya padaku, rasanya sangat membuatku kesal.


【POV: Mei Kojo】


—Sambil menarik tanganku, Hatsuse Junnosuke melangkah maju dengan langkah santai.


Aku tidak tahu apa niatnya, tapi kali ini aku pasti akan menjeratnya. Dengan kekuatan 'bakat akting' yang kumiliki, aku akan memerankan wanita ideal dan membuatnya terpesona, sehingga Hatsuse Junnosuke akan sepenuhnya berada di bawah kendaliku. Kalau tidak begitu, dendamku padanya tidak akan terbalaskan.


...Hanya saja, barusan saat dia menggenggam tanganku, dan beberapa kali saat kencan di taman hiburan tempo hari, terkadang Hatsuse Junnosuke... benar-benar membuat jantungku berdebar kencang. Mungkin aktingku terlalu meyakinkan, dan aku jadi bingung membedakan rasa suka palsu dengan yang asli. Pasti begitu.


Ngomong-ngomong, tempat yang ingin ia tunjukkan itu, masih jauh kah? Karena aku memang mudah berkeringat sejak lahir, keringat di tanganku mulai terasa mengganggu, dan aku ingin melepaskan genggaman tangannya.


Namun, setiap kali tanganku hampir terlepas, Hatsuse Junnosuke menggenggamnya kembali dengan erat. Kekuatannya ternyata lumayan, dan ia terus berjalan dengan wajah tenang, tanpa menunjukkan sedikit pun rasa risih dengan keringat di tanganku.


—...Jantungku berdegup kencang, kyun.


"Nah, sudah sampai."


"Hh!? ...Ah, iya!"


Aku sedang menatap profil wajah Hatsuse Junnosuke, tahu-tahu kami sudah sampai di tujuan. Seolah aku terpikat padanya sampai lupa waktu, aku menyadarinya sendiri, dan rasa malu tiba-tiba muncul.


Tapi, di depannya, aku tidak boleh merusak aktingku sebagai 'Wanita Ideal'. Aku harus mengerahkan 'Bakat Berakting'-ku sepenuhnya dan berpegang teguh pada peran yang dilapisi kebohongan sempurna ini.


Lalu, setelah berhasil menenangkan perasaanku, aku melihat sekeliling—... dan membeku.


"Anu, Jun... tempat ini, ehh... hm??"


Tempat itu adalah sebuah plaza yang cukup besar. Di tengahnya ada panggung, dan di depannya berjejer rapi bangku-bangku panjang yang cukup untuk menampung sekitar lima puluh orang. Mungkin ini adalah area yang digunakan untuk acara-acara di taman kebun ini.


Sepertinya hari ini juga ada acara, karena sudah cukup banyak orang berkumpul. Akan tetapi, sebagian besar adalah keluarga yang membawa anak laki-laki kecil; tidak ada kelompok anak SMA lain seperti kami.


Junnosuke dengan tenang membawaku duduk di kursi barisan paling depan, lalu berkata dengan wajah sangat serius:


"Aku sangat ingin menunjukkan ini padamu. Ini—... 'Semua Bersama Bersenang-senang Kekuatan Mekar Penuh Pertarungan Sengit! Pertunjukan Peringatan 20 Tahun Pasukan Legenda Bunga Garden-ger'."


"..................................................................Apa itu?"




Pertunjukan pahlawan lokal yang sama sekali tidak kukenal pun dimulai.


Sambil memasang senyum dan bertepuk tangan dengan riang, pikiranku dipenuhi kebingungan.


Kenapa tiba-tiba Hatsuse Junnosuke membawaku ke tempat seperti ini...?


Ini adalah tempat yang mungkin tidak akan dipilih oleh pasangan normal, aku benar-benar tidak mengerti apa yang dipikirkannya sampai membawa siswi SMA sepertiku ke kursi penonton pertunjukan pahlawan untuk anak laki-laki.


Bagaimana pun dipikirkan, ini aneh. Tapi sejujurnya, aku... sangat menyukai karya pahlawan semacam ini. Kalau bukan karena serangan mendadak ini, aku pasti sudah bersorak-sorai seperti anak laki-laki di sekitar kami.


Tapi lebih dari itu, keterkejutan karena Hatsuse Junnosuke entah bagaimana mengetahui seleraku ini jauh lebih besar. Tanpa sadar aku melirik tajam ke arahnya yang duduk di sebelahku. Dengan sigap menyadari tatapanku, dia tersenyum lembut dan mendekatkan wajahnya ke telingaku.


"Fokus saja pada pertunjukannya sekarang. Aku hanya ingin Mei menikmati kencan ini."


"...~~Hh!?"


Dibisikkan dari jarak sedekat itu, tanpa sadar punggungku tegak lurus hingga ujung jari kaki.


I-Ini hanya karena aku kaget tiba-tiba. Bukan berarti aku menyadarinya sebagai lawan jenis!


Melupakan sejenak keberadaan Hatsuse Junnosuke di sebelahku, sekarang aku fokus pada pertunjukan seperti yang dikatakannya.


Di atas panggung, cerita klise tentang kebaikan melawan kejahatan yang mudah dipahami sedang berlangsung, dan perlahan aku semakin condong ke depan, tenggelam dalam ceritanya.


...Memang, pahlawan itu hebat. Punya kekuatan untuk menghukum kejahatan, bisa menolong orang yang kesusahan, dan membuat mereka senang. Aku iri dari lubuk hatiku, dan ingin menjadi seperti itu.


Tapi aku tidak bisa. Seberapa keras pun aku berusaha, aku mutlak tidak bisa. Aku bisa mengatakannya dengan pasti karena aku sudah mendengar kebenarannya dari Dewa Langit. Aku—... tidak memiliki 'Bakat Kepahlawanan' yang seharusnya kuterima.


Karena 'efek samping' itu, meskipun aku bertindak dengan niat baik, itu mutlak tidak akan bermanfaat bagi dunia maupun orang lain. Niat baikku selalu menjadi bumerang, menjadi ikut campur yang tidak perlu atau bantuan yang merepotkan.


Padahal aku hanya suka melihat orang senang dan ingin berusaha demi seseorang... tapi aku tidak bisa menjadi pahlawan. Aku muak dengan diriku sendiri karena itu, dan aku juga tidak bisa memaafkan Hatsuse Junnosuke. 


Meskipun diajak kencan seperti ini, perasaan itu tidak akan berub—...


"Gugege!? Sialan kau, Garden-ger! Berani-beraninya mengganggu Monster Tsuchikare-sama ini, yang memetik tunas muda, menebar kematian, dan mengeringkan bumi... Kalau sudah begini, akan kuambil sandera!"


"Sialan kau pengecut!" "Kalau saja para kroco" "tidak mengganggu" "kami tidak akan membiarkanmu" "mengambil sandera!"


Saat mereka hampir menyudutkan monster dan anak buahnya, kelima pahlawan itu malah berbalik terdesak. Agak aneh juga mereka membagi satu kalimat untuk lima orang.


"Tidak ada pilihan lain!" "Seseorang" "di antara kalian semua," "hanya untuk sekarang," "bertarunglah bersama kami!"


Sepertinya bagian partisipasi penonton dimulai, di mana mereka mencari orang untuk membantu di panggung. Monster mencari sandera, dan para pahlawan mencari sekutu. Saat seperti ini, anak-anak kecil pasti yang paling ingin berpartisipasi.


"—Saya! Saya saya saya! Saya! Saya saya saya saya saya saya saya saya!"


Benar juga, seperti ini—...dan aku menoleh ke arah suara yang terdengar sangat dekat.


Tepat di sebelahku, Hatsuse Junnosuke sedang mengajukan diri dengan posisi mengangkat tangan yang sempurna dan suara keras. Kupikir dia sudah gila, tapi semangatnya bukanlah sekadar iseng, jelas sekali dia serius.


"Eh... Ah... Kalau begitu, orang yang sangat bersemangat di sana itu dan..."


"Ah, um," "Pacarnya" "di" "sebelahnya," "tolong!"


Monster dan para pahlawan menunjuk sambil sedikit mundur. Para Garden-ger tidak perlu membagi dialog lima arah saat jadi MC kan... tunggu— Ke-Kenapa aku juga!?


Tanpa kusadari dia sudah menggenggam tanganku, dan dari luar kami memang terlihat seperti sepasang kekasih. Dalam sekejap mata, kami sudah berdiri di atas panggung.


"Gu... Gugege! Apa yang bisa dilakukan hanya dengan menambah satu orang, Garden-ger!"


"Kita lihat saja nanti!" "Kami," "tidak akan," "pernah," "kalah dari kejahatan!"


Lalu, tatapan monster dan para pahlawan tertuju pada aku dan Hatsuse Junnosuke. Salah satu harus menjadi sandera monster, dan yang lain harus menjadi pembela kebenaran yang bertarung bersama para pahlawan.


"Baiklah, aku yang jadi sandera kalau begitu... Jun kan laki-laki. Aku ingin kamu menolongku dengan keren, ya?"


Kupikir akan cocok jika laki-laki jadi pahlawan dan perempuan jadi putri yang ditawan, jadi aku mengusulkannya. Tapi, Hatsuse Junnosuke sudah tidak ada di sebelahku... Kulihat, dia sedang berlutut di samping monster.


"Uwaaaaaaaaaaaa! Mei, tolong akuuuuuuuuu!"


"Jun yang jadi sandera!?" "Pacarnya yang jadi sandera!?"


"Pacarnya" "akan bertarung" "bersama" "kita!?"


Semua orang di panggung terkejut melihat Hatsuse Junnosuke memerankan sandera dengan jeritan yang begitu meyakinkan.


Akan tetapi, seolah tersinggung dengan reaksi mereka, dia balas berkata padaku.


"Apa katamu! Selama ada keinginan untuk menolong orang, hal lain tidak penting! Jadi Mei, kamu lakukan saja apa yang benar-benar ingin kamu lakukan. Untuk itu, aku akan membantu sebanyak apa pun!"


"—Hh!!"


Kata-kata Hatsuse Junnosuke menggema di dadaku. Senyum kaku yang kupasang retak.


Tidak... tapi, kalau semudah itu, aku tidak akan kesulitan. Khususnya bagiku, apa yang ingin kulakukan itu mutlak mustahil. Lebih baik bagi orang lain jika aku tidak pernah lagi berpikir ingin menolong orang.


Keinginan menjadi pahlawan, aku tidak seharusnya memilikinya. Sudah pasti begitu.


Melihatku terpaku di tempat tak bisa bergerak, Hatsuse Junnosuke mengeraskan suaranya.


"Ingat! Kamu mengantarkan anak laki-laki yang tersesat di taman hiburan ke orang tuanya. Kamu jelas sudah menolong orang!"


"...!"


"Seperti waktu itu, kalau sulit bagimu sendirian, ayo kita satukan kekuatan bersama. Aku pasti akan ada di sisimu untuk mendukung agar niat baik dan keadilanmu tidak menjadi bumerang... Jadi, Mei!"


"...Ke-Kenapa, sampai segitunya... demi aku...?"


Terbawa oleh semangatnya, pada saat ini—... aku lupa akan aktingku dan bertanya dengan tulus.


Aku sangat ingin bertanya. Selama ini hidup sebagai orang yang dibenci karena selalu memberikan bantuan yang merepotkan, belum pernah ada satu pun sekutu yang mau membantuku. Tapi, kenapa dia sampai begitu mati-matian mendorongku...?


Wajahnya memerah, tapi dia menyampaikan jawabannya dengan jelas.


"Alasannya sederhana. Aku... menyukai Mei—!"


Dia berteriak dengan suara keras yang sepertinya bisa mencapai seluruh sudut kursi penonton.


"Aku tahu betul, senyummu saat menolong orang—saat kamu melakukan apa yang benar-benar ingin kamu lakukan, itu luar biasa menawan."


"Hh~~~~~~~~......!"


Aku, yang selama ini selalu memerankan diri palsu dengan 'Bakat Berakting'-ku, tahu.


Kata-katanya... kata-kata Jun itu tulus. Jika itu akting, aku pasti bisa melihatnya. Tapi, diserang dengan perasaan yang begitu gamblang, aku akhirnya tidak bisa lagi mempertahankan topengku sebagai 'Wanita Ideal'.


Sesuatu dengan cepat membengkak di dalam dada. Rasa bahagia yang tak terkira, lalu—perasaan yang membara.


"Aku tentu saja menyukai Mei yang anggun dan feminin, tapi bagaimanapun juga, kupikir... yang terbaik adalah saat Mei menjadi dirinya sendiri. Jadi Mei, di sini—Nn!?"


"—"


Aku mencuri bibir Jun. Inilah yang paling ingin kulakukan saat ini.


Para orang tua di kursi penonton, semuanya tanpa kecuali menutup mata anak-anak mereka dengan tangan, sambil menatap panggung dengan ekspresi sangat penasaran. Monster dan anak buahnya menutup mulut mereka dan menjerit "Kyaa~!", bahkan para Garden-ger pun ikut bertepuk tangan memeriahkan suasana.


Setelah itu, Monster Tsuchikare berbicara dengan nada serius kepada para pahlawan.


"Tidak buruk juga kalian bisa merebut kembali sanderaku... Hari ini kumaafkan kalian."


"Benar, kejahatan tidak akan pernah berjaya di dunia ini! Selama kami, para Garden-ger," "ada" "di" "si" "ni!"


"...Pembagian dialognya memang aneh ya...!"


Sambil gumaman monster yang keluar panggung tertangkap mikrofon, tirai panggung pun tertutup.


Beresonansi dengan tepuk tangan yang menggema dari kursi penonton, detak jantungku pun berdebar kencang.


【POV: Hatsuse Junnosuke】


"M-Mei!? Menciumku tiba-tiba begitu, apa yang kamu pikirkan, di depan banyak orang begini..."


Sambil kembali ke kursi penonton, aku berbicara pada Mei. Wajahku terasa sangat panas dan memerah.


Di dalam dadaku, jantungku berdegup kencang tak karuan. Yah, tentu saja, ciuman pertamaku baru saja dicuri, jadi wajar kalau aku tidak bisa tetap tenang. 




Dan, mungkin Mei juga sama, pipinya memerah padam seolah bisa mengeluarkan uap.


"Karena... karena, karena! Aku juga suka pada Jun... be-begitu kupikir, aku jadi tidak bisa menahan diri... Uuh, ini salah Jun yang bilang lakukan saja apa yang ingin kulakukan!"


"Hei, jangan salahkan orang lain! Kalau dipikir-pikir, Mei yang—..."


Kami saling berhadapan, wajah sama-sama memerah karena malu, melanjutkan perdebatan.


Akhirnya, setelah mengeluarkan kata-kata sampai hampir kehabisan napas... tiba-tiba aku menatap Mei.


Dia juga sedang menatapku lekat-lekat. Seolah memastikan perasaan di dalam hatinya.


"...Jun, apa yang kamu katakan tadi, benar? Kamu benar-benar akan mendukungku?"


"—Tentu saja. Itu niatku."


Aku menjawab seketika. Lalu, Mei, dengan ekspresi penuh haru, melompat ke dadaku.


Menangkapnya, aku meletakkan tangan di bahunya yang ramping. Tepat di depan mata dan hidungku, mata Mei berkaca-kaca.


"Aku... punya banyak hal yang harus kuceritakan pada Jun. Bukan hanya itu, ada juga banyak hal yang harus kuminta maafkan..."


Dengan air mata deras mengalir dari matanya, Mei bercerita panjang lebar.


Tentang bertemu Dewa Langit dalam mimpi. Tentang mengetahui keberadaan bakat bawaan dan 'efek samping'. Dan, sambil menangis, dia meminta maaf karena telah merencanakan balas dendam padaku yang telah memonopoli bakat.


Sambil memeluk dan menghiburnya—keraguan besar muncul dari lubuk hatiku.


Apa yang penting bagiku, bahkan sekarang—... apakah masih hanya bakat bawaan dan masa depanku sendiri?


Pertanyaan pada diri sendiri itu bergema di benakku dan tak kunjung hilang dari kepala. 














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !