Bonnou no Kazu dake Koi wo Suru, 108-tsu no Sainou e Ai wo Komete V1 Epilog

N-Chan
0

Epilog



Malam itu juga, setelah kencan di taman kebun dengan Mei berakhir. 


Sambil bersandar dan bergoyang di kursi goyang di kamarku, pikiranku melayang lesu.


".........."


Kalau aku dalam kondisi biasa, aku pasti akan memuji kehebatanku sendiri dan tertawa terbahak-bahak karena waktu untuk menaklukkan 104 gadis lainnya dan mencapai tujuanku sudah dekat. Tapi, aku sama sekali tidak dalam suasana hati seperti itu.


Aku melirik sekilas ke cermin besar di kamar. Sosokku yang terpantul di sana, meskipun telah menguasai empat bakat bawaan yang begitu kuinginkan, memasang wajah serius tanpa secuil pun kebahagiaan.


Tidak... mengenai alasannya, aku sudah punya dugaan.


Di dalam dadaku ini, telah muncul konflik yang aneh. Jika aku bisa dengan bangga menganggap perjuangan dan hasil dalam mencari bakat sebagai prestasi yang kuraih sendiri secara wajar, aku mungkin tidak akan segelisah ini.


Akan tetapi, aku jadi berpikir begini: Keberhasilanku membuat gadis-gadis pemilik bakat bawaan jatuh cinta... dan lebih jauh lagi, menyelamatkan hati mereka dari kekhawatiran dan penderitaan, adalah prestasi mereka sendiri.


—Seseorang yang, meskipun dilupakan oleh semua orang, tidak pernah berhenti menjalin dan memperluas persahabatan.


—Seseorang yang, meskipun tetap kikuk dan tidak kunjung mahir, tidak pernah berhenti berusaha mewujudkan idealismenya.


—Seseorang yang, meskipun dipermainkan oleh delusi korbannya sendiri, pada akhirnya berhasil mengatasi fobia terhadap manusia.


—Seseorang yang tindakan baiknya malah menjadi bantuan merepotkan, namun terus berjuang untuk menyelamatkan orang yang membutuhkan.


"..."


Lalu, bagaimana denganku?


Aku percaya bahwa tujuanku untuk mendapatkan kembali semua bakat dan menapaki masa depan aman yang seharusnya kujalani sebagai seorang jenius tidak akan pernah berubah sejak awal aku memulainya... tapi.


Sekarang kupikir. Apakah tidak apa-apa jika aku terus seperti ini?


Aku sudah tidak lagi... hanya tertarik pada tujuan pribadi dan bakat bawaan semata.


Keempat kekasihku—apakah tidak apa-apa jika aku tetap tidak bisa membalas perasaan cinta mereka yang tulus?


Aku tidak pernah berpikir akan mengkhawatirkan hal seperti ini.


Hampir bisa dipastikan, ini adalah efek samping dari usahaku mati-matian membuat mereka jatuh cinta, meskipun demi bakat mereka. Saat aku terus memikirkan perasaan mereka dengan serius, entah bagaimana keraguan seperti ini mulai muncul.


Ketulusan terhadap mereka yang sepertinya telah tumbuh di hatiku, kini memaksaku untuk memilih.


Tetap mendekati mereka demi bakat seperti biasa, atau memprioritaskan ketulusan terhadap orang yang telah kubuat jatuh cinta—?


"..."


Aku bimbang.


Aku bimbang berhari-hari, bimbang, dan terus bimbang—... lalu aku mengambil satu keputusan.




Suatu pagi di hari kerja. Aku berdiri termangu di depan pintu rumahku, menunggu kedatangan orang yang kutunggu.


Sambil menatap langit biru jernih, aku merasakan berlalunya waktu dengan hati yang luar biasa tenang.


Saat itulah, terdengar suara sepatu pantofel ringan mengetuk aspal.


"Jun—!"


"Ah, kamu datang. Mei."


Aku memandangi gadis yang muncul dengan sigap, dihiasi senyum ceria.


Dia bukan lagi Kojo Mei yang seperti malaikat anggun dan manis.


Rambut yang agak mencuat, mata lincah seperti anak anjing, kulit cokelat gandum yang sehat dan tubuh yang kencang—penampilan alaminya, yang selama ini tidak bisa kulihat.


Sambil menyeka keringat yang mengalir ke dagu dengan punggung tangannya, Mei tersenyum lebar.


"Tiba-tiba memanggilku, aku kaget lho. Apa maksudmu ada hal penting yang ingin dibicarakan dan memintaku datang ke rumah?"


"Ah. Itu..."


Mei memiringkan kepala, mencoba mendapatkan jawaban langsung atas pertanyaannya.


Kasihan dia, tapi masih terlalu dini untuk menjelaskan. Maklum saja, yang kupanggil berkumpul di sini adalah—.


"Junnosuke, aku datang—!"


"Junnosuke-kun. Maaf menunggu!"


"Ju-Junnosuke-san...!"


Muncul dari depan, kanan, dan kiri adalah Chiharu, Nagisa, dan Shiori.


Waktu kedatangan mereka nyaris bersamaan, sungguh luar biasa.


Kecuali aku yang mengatur situasi ini, mereka semua saling memandang dan membeku.


Empat tanda tanya berjejer, lalu secara alami, pandangan mereka semua terpusat padaku.


"Kalian pasti bertanya-tanya ada apa... Aku akan jelaskan baik-baik."


Aku menatap mereka satu per satu secara bergantian, lalu menghela napas panjang untuk memantapkan hati.


Ini adalah pilihan setelah kebimbangan yang panjang. Aku ingin percaya bahwa aku tidak akan menyesalinya, apa pun yang terjadi.


"Sebenarnya—"




Aku tidak membuang ketulusanku.


Memikirkan perasaan orang yang kubuat jatuh cinta, aku memilih untuk mengakui semua perbuatanku.


...Bahkan setelah mengetahui perasaan mereka, bisakah aku terus melanjutkan hubungan dengan mereka semua secara bersamaan?


...Bisakah mereka menerima pemikiran keji bahwa aku membuat mereka jatuh cinta demi bakat dan menjadikan mereka pengikut?


Tidak—menghadapi perasaan cinta mereka dengan kedangkalan seperti itu, aku sudah tidak bisa lagi melakukannya.


Aku sudah bertobat. Aku sudah mengubah hatiku. Bahkan mengenai kerja sama dalam pencarian bakat, yang awalnya hanya dalih, kini aku bahkan merasa tidak akan ragu bekerja sama demi mereka.


Membuang pemikiran bahwa hal lain tidak penting selama aku bisa menggunakan bakat sesuka hati... bahkan membuang tujuan untuk mendapatkan kembali masa depan yang aman, yang terasa seperti cita-cita seumur hidupku... aku memberanikan diri untuk mengaku karena ketulusan, tapi keputusanku untuk menghadapi mereka memiliki motivasi yang lebih mendasar daripada sekadar ketulusan.


Yaitu fakta bahwa aku dari lubuk hati menyukai Chiharu, Nagisa, Shiori, dan Mei.


Aku akhirnya merasakannya. Aku benar-benar sedang jatuh cinta. Dan aku mencintai mereka.




"—...Karena itu, kumohon. Kalian berempat, maukah kalian berpacaran denganku!!"


Setelah selesai berbicara, aku kembali menatap wajah keempatnya.


Mulut Chiharu ternganga karena terkejut, mata Nagisa bergetar sementara tubuhnya membeku, Shiori berdiri termangu-mangu, dan Mei hanya sedikit mengendurkan bibirnya.


Segera setelah itu, Chiharu yang pertama kali angkat bicara.


"A—Apa katamu, Junnosuke! Pacaran dengan empat orang begitu, mana mungkin bisa!?"


"...Wajar kalau kamu berpikir begitu. Tapi, dengan menggunakan semua kemampuan yang kumiliki, aku berjanji mempertaruhkan nyawaku akan membangun hubungan kekasih di mana tidak ada seorang pun yang tidak bahagia! Jadi, kumohon. Aku tidak ingin cintaku dengan kalian semua yang kusukai berakhir. Chiharu, denganmu juga—!"


"...Meskipun kamu mengatakan hal semanis itu!"


"Boneka kain yang Chiharu berikan padaku. Seperti katamu saat aku menerimanya, aku menyayanginya sebagai gantimu saat aku rindu dan kesepian karena tidak bisa bertemu Chiharu. Bonekanya sendiri memang manis, tapi fakta bahwa Chiharu membuatnya untukku... itu benar-benar membuatku... sangat bahagia. Aku berterima kasih atas kebahagiaan yang kamu berikan."


"...Guuuuuuuuhhhhh~~!?"


Chiharu memerah padam sambil menggertakkan giginya, lalu menendang tanah seolah melampiaskan gejolak perasaan yang tak tertahankan.


Melewati Chiharu, Nagisa melangkah maju dengan tegas.


"Junnosuke-kun, mencintai empat orang itu mustahil. Tidak ada seorang pun yang bisa mencintai beberapa orang secara adil. Dalam situasi ini, kupikir sebaiknya kamu memilih satu orang saja dan menyelesaikannya."


"...Meskipun begitu, aku ingin kamu percaya padaku. Aku tidak akan membandingkanmu dengan yang lain, lalu kecewa pada Nagisa atau jadi membencimu, sama sekali tidak. Jadi, aku juga ingin Nagisa tidak cemas."


"A-aku cemas... kenapa kamu tahu?"


"Aku tahu. Aku benar-benar tahu isi hati Nagisa. Lagipula, seberapa pun aku tahu sisi ceroboh Nagisa... mungkin kamu akan marah, tapi Nagisa yang seperti itu pun menurutku manis dan kusukai... Bisa berada di sisi Nagisa, melihatmu berusaha keras, dan mendukungmu, itulah kebahagiaanku."


"......~~~~~~~~~~~~~~~~......!!"


Nagisa menggigil, ekspresinya melembut total.


Nagisa, yang mati-matian mencoba mengembalikan raut wajahnya yang tenang—dari belakangnya, Shiori maju dengan ragu-ragu.


"Ju-Junnosuke-san... me-mencoba berpacaran dengan banyak gadis itu, menurutku tidak murni. Bisa membuat semua orang bahagia, cerita seperti di manga begitu... tidak mungkin!"


"Memang kalau dipikir secara realistis, mungkin sangat sulit. Tapi, demi membahagiakan kekasihku, aku akan melampaui batasan realitas. Aku berjanji akan mewujudkan akhir bahagia terbaik seperti cerita khayalan, yang bahkan melampaui apa yang Shiori yang kaya imajinasi bayangkan!"


"...Akhir bahagia... yang melampaui bayanganku...?"


"Ya. Mari kita ciptakan cerita yang menenangkan hati di dunia nyata, di mana tidak akan ada ketidakbahagiaan. Aku akan berusaha sekeras apa pun agar Shiori tidak takut atau gentar, dan bisa terus bahagia. Karena, Shiori yang tersenyum gembira saat sedang berimajinasi bahagia... aku sangat menyukainya."


"...Uu~~~~~~~~~~h......!"


Shiori menggelengkan kepalanya ke samping begitu kencang hingga ahoge-nya seolah mau putus dan terbang, tampak menggeliat dalam kebahagiaan yang meluap.


Saat aku memandanginya dengan perasaan geli, ada sentuhan menusuk di bahuku. Tanpa kusadari, Mei sudah berdiri begitu dekat hingga nyaris menempel. Tidak, dia benar-benar mengaitkan lengannya padaku, menyalurkan suhu tubuhnya yang sedikit lebih hangat dari rata-rata tanpa sisa.


"A-Aku kan sudah sampai ciuman dengan Jun... Aku sangat menyukainya sampai tidak terpikir untuk berpisah lagi, jadi pacaran dengan empat orang pun tidak masalah."


"Ciuman!?"


"Ki-KiKi, Kisu...!?"


"Hh... Kisu...?"


Pernyataan berani Mei membuat Chiharu, Nagisa, dan Shiori di belakang bereaksi sensitif.


Mereka bertiga bersemu merah, lalu menatap lekat-lekat... ke arah wajahku. Mengerti maksud tatapan mereka, rasa malu ikut menyerbuku, dan tanpa sadar aku memalingkan muka. Saat itu, terdengar suara gigi bergemeletuk.


"Aah, sudah cukup! Aku juga... Aku juga... hhh!"


"Ch-Chiharu? —... Hh!"


Sambil mencengkeram kerah depan seragamku, Chiharu menarik wajahku mendekat dan menciumku.


Setelah beberapa detik, bibir kami terlepas, dan Chiharu, terengah-engah, berteriak dengan wajah merah padam.


"Aku juga, sangat menyukai Junnosuke, tahu────────h!!"


"...~~~~Hh!?"


Meskipun sangat terkejut oleh kejadian tiba-tiba itu, rasa bahagia yang membuatku kaku menjalar ke seluruh tubuh.


Tepat saat aku ingin mendinginkan pipiku yang terlalu panas, jari-jari lentik terulur dari sudut pandanganku dan menyentuh wajahku. Dan saat kusadari, wajah Nagisa yang rupawan sudah ada tepat di depan mataku.


"Na-Nagi... hh!?"


Sebelum aku sempat menyelesaikan namanya, bibirnya yang lembut membungkam mulutku.


Kepalaku kosong karena gembira. Setelah waktu yang terasa cukup lama hingga membuatku sesak napas, akhirnya Nagisa menjauh.


"Hah... Aku juga sangat menyukaimu. Junnosuke-kun."


Nagisa bergumam dengan napas tertahan, dihiasi senyum manis yang begitu indah.


Merasa sedikit kekurangan oksigen, kakiku lemas, dan aku terduduk di tempat. Dalam kondisi seperti itu, Shiori dengan wajah memerah berdiri di hadapanku. Tubuh mungilnya bergetar kecil, lalu dia mendekatkan bibirnya yang mungil seperti kelopak bunga, dan menyentuhkannya ke bibirku, hanya sekilas.


"...S-Saat ini hanya bisa segini... tapi... aku sangat menyukaimu, Junnosuke-san."


"—...hhh............"


Tenggorokanku bergetar, tidak ada kata yang keluar. Tapi, entah bagaimana aku berhasil berdiri dengan kakiku sendiri.


Keempat gadis itu berbaris di hadapanku. Mereka saling bertukar pandang dengan canggung... lalu, di saat yang sama, melangkah mendekatiku dan memeluk tubuhku erat-erat.


Chiharu mengerucutkan bibir, "Kalau kamu tidak membuatku bahagia, kali ini aku benar-benar tidak akan memaafkanmu, tahu."


Nagisa menggesekkan pipinya dengan manja, "...Mulai sekarang mohon bantuannya. Junnosuke-kun."


Shiori mencubit ujung roknya dengan malu-malu, "Aku terlalu bahagia... ra-rasanya aku bisa gila..."


Mei tersenyum cerah, "Kita akan jadi pasangan kekasih terbaik, kan?"


Ini adalah pemandangan yang kuinginkan dari lubuk hati, tapi sekarang setelah menjadi kenyataan, rasanya sulit dipercaya. Suhu tubuhku naik seolah seluruh darahku mendidih... air mata menggenang di sudut mataku.


Aku sangat bahagia sampai rasanya ingin menangis. Tapi, aku mengusap mataku, menyeka air mata sebelum sempat jatuh.


—Aku ingin membuat mereka benar-benar bahagia.


—Aku juga ingin membantu mereka mendapatkan kembali bakat asli mereka yang hilang.


—Aku ingin mendukung mereka dengan seluruh kekuatanku agar mereka bisa mengejar tujuan dan impian mereka.


Segala keraguan hati yang menggelisahkan ini, suatu saat pasti akan kuwujudkan dengan kekuatan cinta dan kasih sayang.


Hatsuse Junnosuke ini—... adalah jenius cinta, yang memiliki 'Bakat Cinta'.



Cahaya matahari hangat yang menyaring melalui pepohonan, bersinar terang dari langit, menerangi jalan di depan.


Berdampingan dengan keempat kekasihku, aku mulai melangkah menyusuri jalan ke sekolah yang cerah di pagi hari itu. 














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !