Rikei Kanojo to Bunkei Kareshi, Saki ni Kokuttahou ga Make Chapter 1

Ndrii
0

Take 1
Pertunjukan Dimulai



Konflik antara jurusan ilmu Sastra dan ilmu Sains.


Itulah masalah yang telah berlangsung selama sembilan tahun sejak Minefuji Academy lahir dari penggabungan dua sekolah.

 

Hiroo Ryusei, siswa peringkat pertama di jurusan Sastra, tidak terkecuali dari konflik ini.


Sebagai ketua klub teater, ia memiliki persaingan sengit dengan wakil ketua klub teater, Tokufuji Tamaki. Alasannya? Karena Tamaki adalah siswa peringkat pertama di jurusan Sains.

 

Bagi Ryusei, satu-satunya orang yang setara dengannya, namun sekaligus merupakan kebalikan dirinya, adalah Tokufuji Tamaki.

Namun, sekarang, Ryusei justru berjalan berdampingan dengan Tamaki sambil tersenyum dan mengobrol akrab.

Mereka menuju gedung lama melalui koridor taman tengah untuk menghadiri kegiatan klub setelah jam sekolah.

 

Tak luput, keduanya kembali menjadi pusat perhatian banyak siswa.

 

"Kyaaa! Pasangan klub teater!"
"Mereka terlalu sempurna!"
"Dua orang jenius dan rupawan berjalan bersama, benar-benar memancarkan aura yang luar biasa!"

 

Bagi Ryusei dan Tamaki, yang sudah dianggap sebagai pasangan idola sekolah, perhatian seperti ini sudah menjadi hal biasa, baik di pagi hari maupun setelah jam sekolah.

Namun, begitu mereka melewati taman tengah dan memasuki gedung lama, obrolan mereka langsung terhenti.

 

"Masih ada kemungkinan kita sedang diawasi. Jangan lengah sampai kita tiba di ruang klub,"

 

"Aku sudah tahu tanpa harus diberi tahu. Jangan mengaturku, menjengkelkan,".

 

Tanpa mengubah ekspresi mereka, keduanya bertukar kata dengan suara kecil, lalu langsung menuju lantai tiga tempat ruang klub berada.

 

Begitu mereka tiba dan memastikan bahwa tidak ada anggota klub lain di sana, Ryusei dan Tamaki serentak duduk di lantai.

 

"Haaa… aku capek banget,"

 

"Sungguh… sampai kapan kita harus melakukan ini?"

 

"Jarang sekali aku setuju denganmu," sahut Ryusei sembari mengeluarkan segepok kertas dari tasnya dan menyerahkannya pada Tamaki.

 

"Ini, naskah untuk minggu ini."

 

"Ugh… Bukannya ini kebanyakan?"

 

"Aku harus memberikan catatan tambahan supaya kejadian pagi tadi tidak terulang. Kau seenaknya mengubah dialog," kata Ryusei sambil mendorong naskah itu ke arahnya.

 

"Hei, kita benar-benar harus melakukan ini?" tanya Tamaki dengan nada putus asa sambil mengangkat naskah tersebut.

 

"Jika kau bisa berpura-pura menjadi pasangan yang alami seperti remaja kebanyakan, silakan sobek naskah itu. Tapi aku ragu kau, si kutu buku Sains yang kaku, mengerti soal cinta."

 

"Memahami cinta itu tidak penting dalam studi. Lagipula, perasaan romantis hanyalah reaksi sementara yang disebabkan oleh neurotransmiter di otak. Konsep ini mungkin sulit dipahami oleh orang-orang jurusan Sastra yang suka berkhayal."

 

"Kalau kau menolak khayalan, maka tindakanmu masuk klub teater itu sendiri bertentangan dengan perkataanmu."


"Itu cuma argumen ngelantur. Kau bahkan tidak bisa membedakan antara kenyataan dan hiburan?"

"Argumen ngelantur itu justru yang kau lakukan barusan. Gunakan bahasa Jepang dengan benar, anak Sains."

"Kau memang ahli membuat perdebatan jadi berlarut-larut tanpa hasil. Dasar anak Sastra, sempit sekali pemikiranmu."

 

Namun, tiba-tiba, sebuah pemikiran melintas di benak Tamaki.

 

(Tunggu… Jadi maksudnya, dia sebenarnya mengerti soal cinta?)

 

Tamaki melirik ke arah Ryusei yang duduk bersandar di pintu. Wajahnya terlihat tajam namun bersih untuk ukuran seorang pria.

 

(Memang sih, dia cukup populer di kalangan anak perempuan. Katanya, banyak murid tahun pertama yang masuk akademi ini karena mengidolakan dia. Jangan-jangan dia sudah pernah pacaran? Atau mungkin pernah ditaksir seseorang? Tapi kalau dia memang sudah punya pacar, kita tidak akan terjebak dalam situasi ini… Ya, benar. Ini semua terjadi karena dia sendiri tidak punya pacar. Dia pasti sama tidak berpengalamannya denganku.)

Sementara itu, di sisi lain, Ryusei juga tenggelam dalam pikirannya.

 

(Jadi, rumor bahwa dia sudah menolak banyak Laki-laki itu memang benar. Hah, lihat saja bagaimana dia membahas cinta seperti rumus ilmiah. Sudah jelas, dia tidak punya pengalaman sama sekali. Kesimpulanku benar.)

 

Ryusei menempelkan tangan ke wajahnya untuk menutupi senyuman yang mulai muncul.

 

(Di sisi lain, aku sudah banyak mempelajari tentang hubungan romantis. Aku menulis skenario untuk klub teater, membaca banyak novel, menonton film romansa, anime, manga, dan light novel. Dengan semua itu, aku paham betul tentang cinta dari sudut pandang remaja. Naskah yang kutulis ini sempurna, tanpa celah! … Meskipun, kalau dipikir-pikir, aku sendiri memang belum pernah pacaran secara nyata. Tapi itu hanya karena tidak ada gadis yang memenuhi standar ideal yang sering muncul di fiksi… Hm?)

 

Ryusei tiba-tiba menyadari bahwa Tamaki sedang menatapnya.

 

(Kenapa dia menatapku? Apa dia menyadari bahwa aku sedang gugup dan berkeringat dingin? Sial… Tapi ini bukan karena dia! Aku hanya gugup karena situasi ini, bukan karena dia secara spesifik! … Tapi kalau dia sampai sadar bahwa aku tidak terbiasa dekat dengan perempuan, bukankah itu akan membuatku terlihat menyedihkan? Ah, sial, kenapa dia harus wangi sekali? Justru ini malah membuatku makin sadar bahwa aku sedang sendirian dengan seorang perempuan!)

 

Di sisi lain, Tamaki juga masih terjebak dalam pikirannya.

 

(Kenapa dia menutupi mulutnya? Atau… tunggu, jangan-jangan dia sedang menutupi hidungnya? Apa mungkin… Aku berkeringat karena gugup, dan bau keringatku menyebar sampai dia bisa menciumnya?! Apa dia menutup hidungnya karena bau?!)

Tanpa pikir panjang, Tamaki segera mengalihkan pandangan dan perlahan menjauh dari Ryusei, masih duduk di lantai.

 

Ryusei pun langsung menyadari gerakannya.

 

(Dia menjauh?! Apa dia menganggapku menjijikkan?! Jangan-jangan dia sadar bahwa aku menyadari wanginya dan merasa tidak nyaman? Sial… Kalau dia mulai merasa terganggu, dia pasti akan membenci ide berpura-pura jadi pacarku. Aku harus menghindari kesan buruk ini! Lebih baik aku juga sedikit menjauh!)

 

Maka, Ryusei pun ikut bergeser menjauh dari Tamaki. Tamaki tidak melewatkan gerakan itu.

 

(Lihat! Dia benar-benar menjauh dariku! Seolah-olah aku ini menjijikkan! Oh, jadi ini sikap aslinya? Jadi dia sebenarnya membenci harus berpura-pura jadi pacarku?)

 

Merasa kesal, Tamaki langsung berdiri dan menatap Ryusei dengan tatapan tajam.

 

"Kalau kau benar-benar tidak suka, kenapa tidak kau saja yang mengumumkan ke semua orang bahwa kita sebenarnya tidak berpacaran?!"



Ryusei terkejut dengan tindakan tiba-tiba yang diambil oleh Tamaki, tetapi dia juga berdiri dan membalas.


"Kapan, di saat mana aku mengatakan kalau aku tidak mau! Yang pertama meremehkan naskah, menunjukkan sikap enggan, itu kamu duluan! Kamu yang harus mengumumkannya!"


"Kita sudah heboh disebut sebagai jembatan antara jurusan sains dan Sastra, sebagai pasangan ideal, mana mungkin sekarang bilang kalau itu semua bohong! Awalnya juga ini semua gara-gara kamu, jadi kamu yang harus bertanggung jawab!"

"Aku yang jadi penyebabnya!? Jangan bicara omong kosong! Kalau saja hari itu kamu tidak memanggilku di jam segitu, semua ini tidak akan terjadi!"

"Apa!?"

"Apa!?"

 

 

Baiklah, bagaimana bisa mereka berakhir berpura-pura menjadi pasangan sejak awal? Cerita ini kembali ke satu minggu sebelumnya, awal September, saat semester kedua baru saja dimulai.

 

 

Jumat malam. Pukul 19.00.

Di saat para siswa yang baru selesai kegiatan klub sedang dalam perjalanan pulang, sebuah notifikasi LINE muncul di ponsel Ryusei. Saat itu, Ryusei baru saja melangkah melewati gerbang sekolah untuk pulang ke rumah. Pesan itu datang dari Tamaki, yang seharusnya masih bersama Ryusei di klub beberapa saat lalu.

Merasa heran karena baru saja berpisah, Ryusei mengetuk notifikasi pop-up tersebut untuk melihat isinya.

 

"Datang ke halaman sekolah sebentar."

 

Pesan itu terasa cukup kurang ajar untuk sebuah undangan. Namun, menerima pesan dari Tamaki sendiri adalah hal yang langka. Mungkin ada sesuatu yang terjadi—sedikit merasa khawatir, Ryusei hanya menandai pesan itu sebagai sudah dibaca tanpa membalas dan langsung berbalik arah.

 

Begitu kembali ke halaman sekolah, matanya menangkap sosok Tamaki yang berdiri tegak dengan tangan bersedekap. Begitu memastikan bahwa Ryusei sudah datang, Tamaki langsung berkata,

 

"Setidaknya balas pesan dulu, dong?"

 

Tampaknya, kekhawatiran Ryusei tadi tidak beralasan.

 

"Jaraknya juga nggak jauh-jauh amat, kan? Jadi nggak perlu sampai segitunya."

 

"Jauh atau tidak, cuma kamu yang tahu. Soalnya aku nggak punya cara untuk mengetahui lokasimu begitu kamu membuka pesannya. Atau mungkin kamu selalu membagikan lokasi secara real-time di media sosial? Kalau begitu, berarti aku yang kelewatan, deh. Maaf ya."

 

(Memanggil orang, tapi tetap bisa bersikap sok seperti ini... dasar gadis ini.)

 

Tapi, kalau dia membantah pun, pembicaraan pasti bakal makin panjang, jadi Ryusei memilih untuk mengabaikannya.

 

"Iya, iya, maaf deh."

 

"Kamu itu selalu ribut soal wabi-sabi, etika, dan hal-hal yang nggak berbentuk, tapi kenapa ke diri sendiri malah seenaknya?"

 

"Kan aku sudah bilang maaf. Jadi, ada urusan apa? Nggak bisa diselesaikan pas masih di klub tadi?"

 

Meskipun masih menunjukkan wajah tidak puas, akhirnya Tamaki menjawab pertanyaan Ryusei.

 

"Ya, secara kronologis, ini memang nggak bisa dibicarakan pas di klub tadi. Bisa dibilang, aku mau lembur."

 

"Lembur?"

 

Ryusei mengernyitkan dahi karena cara bicara Tamaki yang ambigu.

 

"Ini, lihat."

 

Yang ditunjukkan Tamaki kepada Ryusei adalah sekumpulan naskah drama. Itu adalah naskah yang Ryusei tulis khusus untuk festival budaya di akhir Oktober.

 

"Lalu?"

 

"Aku nggak tahu apa kamu mau memamerkan kemampuan menulismu sebagai siswa peringkat pertama di jurusan Sastra, tapi perlu, ya, semua pertunjukan harus pakai naskah orisinal? Memang, ceritanya bagus. Tapi berbeda dari karya yang sudah ada, naskah orisinal malah bikin pemain harus membuang waktu ekstra untuk memahami karakter mereka."

 

"Jadi, kamu memanggilku cuma buat mengeluh soal naskahku? Kalau kamu benar-benar nggak suka, kita bisa ganti pertunjukan dari sekarang. Masih sempat sampai festival budaya nanti."

 

Tamaki mengerutkan kening mendengar jawaban Ryusei.

 

"Kapan aku bilang aku nggak suka?"

 

"Barusan, kamu kan—"

 

"Aku sama sekali nggak mengucapkan kata 'nggak suka'. Jangan memelintir kata-kata orang sesuka hati. Kalau mau menebak maksud tersirat, lakukan itu cuma pas ujian saja."

 

"Tch... nyebelin banget, sih. Jadi, apa maumu? Katakan dengan jelas, kamu kan anak sains yang rasional."

 

"Itu, aku bilang..."

 

"Apa?"

 

"Aku nggak ngerti gimana cara mendalami perasaan karakter utama di cerita roman yang terlalu klise ini. Sebagai penulis naskah, kamu yang harus mengajarkannya."

 

"Mengajarkan?"

 

"Iya, bimbingan akting."

 

"Oh, jadi yang kamu maksud 'lembur' itu begini. Maksudnya kamu mau latihan tambahan."

 

"Selama latihan tadi, aku sudah coba berkali-kali buat mendalami perasaan karakter ini, tapi tetap nggak bisa."

 

Memang, akting Tamaki selama latihan tadi jauh dari kata bagus.
Malah, terlalu datar dan hambar. Namun, mengingat masih ada cukup waktu sebelum festival budaya, seharusnya belum perlu sampai panik.
Orang biasa juga nggak akan berpikir untuk latihan tambahan hanya karena ini. Tapi, Tofukuji Tamaki memang bukan orang biasa. Dalam gelapnya malam, Ryusei menggaruk kepalanya saat melihat Tamaki menunduk.

 

(Dia ini katanya rasional, tapi justru usaha keras di hal-hal kayak gini. Sial... kalau pasang muka begitu, mana bisa aku nolak?)

 

Ketika melihat pipi Tamaki yang sedikit memerah, Ryusei menghela napas sebelum menjawab.

 

"Baiklah. Tapi, gerbang sekolah bakal ditutup jam setengah delapan, jadi cuma sebentar aja, ya."

 

"…T-terima kasih."

 

Mendengar jawaban Ryusei, Tamaki sedikit mengangkat pandangannya dan menjawab pelan. Lalu, agar wajahnya tidak terlihat, dia tetap membuang muka sambil menggerutu dalam hati.

 

(Dasar anak Sastra bodoh ini... tapi kalau sudah begini, dia selalu mau menemani, ya.)

 

Setelah mereka memahami apa yang harus dilakukan, keduanya segera meletakkan tas sekolah mereka di bangku terdekat, mengambil naskah di tangan, dan berhadapan satu sama lain.

 

"Oke, kita akan membaca ulang adegan pengakuan. Coba lakukan seperti saat latihan tadi."


"Baik, aku mengerti."

 

Ryusei melonggarkan dasi di lehernya agar lebih mudah berbicara.

 

"Uhhmm… Maaf memanggilmu di tengah malam begini. Sebenarnya, aku... ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu."
"Tiba-tiba, dipanggil, secara, mendadak. Sesuatu yang ingin kau sampaikan... kutu?"

"Kau bercanda, ya?"

"Aku tidak bercanda."

"Itu bahkan lebih buruk dari saat latihan tadi. Dan apa maksudnya 'kutu' di akhir kalimatmu? Tidak ada orang yang akan mengaku cinta pada perempuan yang memanggilnya kutu!"

"A-Aku hanya sedikit gugup! Jangan berisik, menyebalkan!"

 

Tamaki berdeham ke arah tanah, lalu membentuk kembali ekspresinya sebelum mengulang dialognya. Dia menatap Ryusei dengan tajam, wajahnya sekaku es.

 

"Aku kaget karena tiba-tiba dipanggil. Sesuatu yang ingin kau sampaikan... apa?"

"Seram, seram, seram. Kau ini pembunuh bayaran atau apa?"

"Hah?"

"Tidak ada perempuan yang menunggu pengakuan cinta dengan wajah seperti anggota mafia bawah tanah!"

"Itu kontradiktif! Kau bahkan tidak memahami alur waktu di naskahmu sendiri, ya? Pada adegan ini, alasan dia dipanggil belum disebutkan secara eksplisit, kan? Itu berarti dia belum tahu kalau dia akan ditembak. Kau jelas bertentangan dengan naskahmu sendiri. Kalah telak, kan?"

"Kau... serius mengatakan itu?"

"Hah? Memangnya kenapa? Aku sangat serius."

 

Ryusei menarik napas panjang dengan ekspresi pasrah.

 

"Dia tahu."

"Apa?"

"Gadis itu, dia tahu kalau dia akan ditembak."

"Eh? Apa? Itu tidak tertulis di naskah, kan? Kalau ini bukan kesalahan penulisan, coba jelaskan dengan logis."

 

Bagi Ryusei, ini bukan sesuatu yang perlu dijelaskan panjang lebar. Dengan mempertimbangkan situasinya, jawabannya cukup jelas.

 

"Kalau seorang gadis dipanggil di tengah malam ke tempat sepi hanya berdua dengan seorang Laki-laki, biasanya dia bisa menebak maksudnya. 'Oh, dia pasti mau menyatakan perasaannya padaku.'"

"Hah...? Begitu, ya?"

 

Tamaki tampak belum benar-benar memahami, dan Ryusei hanya bisa mendesah.

 

"Ya, begitulah."

"Harus bisa menebak meskipun tidak dijelaskan secara eksplisit? Cinta itu benar-benar tidak efisien."

"Kau ini... cara pandangmu tentang cinta benar-benar aneh, ya?"

"Apa! Kau juga hanya tahu cinta dari cerita fiksi, kan?"

"Hah?"

Ryusei hanya bisa membalas dengan "hah?" karena dia merasa itu terlalu tepat mengenai dirinya. Namun, saat itu juga, keduanya menyadari sesuatu—di saat yang sama.

 

(Tunggu... barusan aku mengatakan sesuatu yang gawat, kan? Memanggil seseorang di tengah malam ke tempat sepi hanya berdua... bukankah itu situasiku sekarang?)

 

(Jangan bilang... jadi, menurut logika itu, aku sudah memberikan kesan kalau aku ingin menyatakan cinta padanya!?)

 

(Tidak, tidak! Aku sama sekali tidak berpikir, 'Oh, aku pasti akan ditembak oleh Tofukuji sekarang!' saat aku dipanggil ke sini!)

 

(Yang berarti... dia pasti berpikir begitu saat aku memanggilnya tadi! Sial! Siapa juga yang mau mengaku cinta padamu, dasar laki-laki bodoh!)

 

(Sial, wajah Tofukuji berubah menjadi ekspresi iblis. Dia pasti juga menyadari logika ini. Aku harus mengelak... aku harus mencari cara untuk menghindari topik ini!)

 

Ryusei mengangkat tangan kirinya dan berpura-pura melihat jam tangan yang bahkan tidak dipakainya, sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain.

 

"Lihat... waktu kita tidak banyak, ayo lanjutkan saja. Kita ulang dari awal."

"…Baiklah."

 

Tamaki, yang kepalanya hampir meledak karena campuran rasa malu dan perasaan aneh yang tak bisa ia jelaskan, akhirnya menerima usulan Ryusei begitu saja.

 

Namun, hal itu justru membawa dampak baik.

Kegugupan yang muncul di antara mereka berdua menciptakan atmosfer yang lebih nyata dalam akting mereka.

 

"Maaf memanggilmu di tengah malam begini. Sebenarnya, aku... ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu…"

"Aku kaget karena tiba-tiba dipanggil. Sesuatu yang ingin kau sampaikan… apa?"

"Sebenarnya, sejak dulu… aku menyukaimu! Aku pasti akan membuatmu bahagia! Jadi... maukah kau menjadi pacarku?"

 

Di bawah langit malam, mata Tamaki berkilau seperti kaca bening. Lalu, perlahan, dengan bibir yang bergetar, ia menjawab,

 

"Ya… Aku juga sangat menyukaimu… Kumohon, jaga aku baik-baik."

Mereka saling menatap dengan penuh keseriusan, sementara angin yang berembus membawa keheningan di sekitar mereka.

 

 

"Tofukuji..."

"Hiroo-kun…"

 

 

"EEEEHHHHHHHHHHH!!??"

 

Tiba-tiba, dari balik bayangan pohon sakura di tengah taman sekolah, terdengar suara perempuan bernada tinggi. Suara itu langsung menarik keduanya kembali ke dunia nyata, seolah menarik mereka dari atas panggung kembali ke dunia mereka yang sebenarnya.

Saat Ryusei dan Tamaki menoleh secara bersamaan, mereka melihat seorang siswi yang tidak mereka kenal berdiri di sana.

Melihat warna pita seragamnya, mereka bisa menduga bahwa dia adalah siswa kelas satu. Di sekolah ini, warna pita dan dasi seragam berbeda tergantung pada tingkat kelas.

 

Siswi itu, yang tadi bersembunyi di balik pohon sakura, kini tampak panik saat berusaha menjelaskan diri.

 

"Bukan begitu! Aku bukan mengintip atau semacamnya! Itu, aku anggota klub tenis! Besok ada pertandingan, tapi aku lupa raketku di ruang klub, jadi aku kembali untuk mengambilnya! Lalu, aku mendengar suara dari taman dalam, dan ketika aku mengintip, aku melihat kalian berdua saling menatap dengan serius, jadi tanpa sadar aku…!"

 

(Dia memang mengintip, kan!?)

 

Lebih parahnya lagi, klub tenis putri adalah yang terbesar di sekolah ini, dan para anggotanya sangat gemar membicarakan gosip. Bisa dibilang mereka adalah divisi humas Minefuji Academy. Jika anggota klub itu sampai salah paham…

 

Yang pertama bereaksi adalah Ryusei.

 

"Kamu… jangan salah paham. Barusan itu sebenarnya…"

 

"Ah! Benar juga! Kalau orang-orang tahu bahwa ketua peringkat pertama jurusan sastra, Hiroo-senpai, dan ketua peringkat pertama jurusan sains, Tofukuji-senpai, berpacaran, pasti akan jadi masalah besar!"

 

Sepertinya, bagi gadis itu, pasangan Hiroo-Tofukuji sudah resmi terbentuk. Tamaki juga sadar bahwa ini adalah saatnya untuk bekerja sama.

 

Maka, dia memutuskan membantu Ryusei.

"Bukan begitu! Tenang dulu. Barusan itu sama sekali bukan sesuatu yang serius…"

 

"Tidak apa-apa! Aku akan merahasiakannya dari anak-anak di klub tenis, dan aku juga tidak akan menyebarkannya di media sosial! Sumpah!"

 

((Sumpah itu pasti bohong!))

 

Klik!

 

((Jangan ambil foto!!!))

 

Dengan senyum puas, gadis itu menggenggam ponselnya erat-erat dan berlari pergi.

 

"Ah…!"

 

Melihat gadis itu berlari menjauh, Ryusei hanya bisa mengeluarkan suara kecil.

 

"Jangan hanya melihat, kejar dia!"

 

"Menurutmu anak klub sastra bisa mengejar anak klub olahraga?"

 

"Kamu itu laki-laki, kan!?"

 

"Jangan paksakan konsep gender padaku."

 

"Ugh…!"

 

Tamaki sebenarnya paham bahwa meskipun secara biologis ada perbedaan kekuatan otot antara laki-laki dan perempuan, perbedaan antar individu juga ada. Ada perempuan yang larinya cepat, ada laki-laki yang larinya lambat.

Bahkan dia sendiri buruk dalam olahraga, jadi dia bisa memahami

perasaan Ryusei.

 

Jadi, dia hanya bisa melampiaskan dengan kata-kata kasar.

 

"Diamlah, kutu buku. Bodoh. Jangkung. Tukang belajar."

 

"Tukang belajar itu kan kamu juga!"

 

Namun, berdebat seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah.

 

"Apa yang harus kita lakukan? Gadis itu pasti akan menyebarkan gosip ini ke klub tenis besok!"

 

"Yah… itu memang tidak bisa dihindari. Tapi ini hanya kesalahpahaman, jadi tidak akan jadi masalah besar."

 

"Benarkah?"

 

"Karena, mana mungkin kita berdua berpacaran?"

 

"…Y-Ya, benar juga. Aku dan kamu tidak mungkin berpacaran."

 

"Ya, tentu saja. Atau jangan-jangan… kamu sebenarnya ingin benar-benar berpacaran denganku…?"

 

"A-Apa!? Jangan bodoh! Tidak mungkin aku berpikir seperti itu!"

 

"…Ya, memang tidak mungkin…"

 

"L-Lalu, bagaimana denganmu!? Apa kamu mungkin berpikir ingin benar-benar berpacaran denganku…?"

 

"J-Jangan mengada-ada! Siapa yang… berpikir seperti itu…?"

 

"T-Tentu saja…"

 

"Jadi, gosip tidak berdasar seperti ini pasti tidak akan menyebar. Tidak perlu khawatir."

 

"Benar… Tidak perlu dikhawatirkan."

 

"Tidak perlu sama sekali. Paling hanya beberapa orang yang membicarakannya sebentar, lalu selesai."

 

"Benar juga."

 

Suasana aneh menyelimuti mereka berdua, diikuti keheningan yang canggung. Lalu, Tamaki berkata,

 

"Latihannya cukup. Ayo pulang."

 

"Ya, ayo pulang."

 

Tanpa saling menatap, mereka berdua berjalan perlahan menuju gerbang sekolah.

 

 

Hari Senin tiba.

 

Lorong sekolah baru dipenuhi siswa-siswa yang berkerumun. Dan titik pusat keramaian ada di dua tempat.

 

Yang pertama, kelas 2-A, tempat duduk Hiroo Ryusei.

 

"Hiroo-kun, selamat ya!!"

"Gila, bisa pacaran sama Tofukuji-san, keren banget, Ryusei!"
"Beneran kamu yang nembak duluan!?"

 

(Uwaaaaaaaaaah!!!)

 

Ryusei menutup kedua telinganya dan membenamkan kepalanya di meja.

 

(Gadis klub tenis itu! Dia menyebarkannya di semua media sosial!! Apa-apaan ‘#PasanganTeater’!? Apa-apaan ‘#JembatanAntaraSastraDanSains’!? Dan dia bahkan mengunggah foto yang dia ambil waktu itu! Ini melanggar hak privasi, tahu!?)

 

Di saat yang sama, di kelas 2-G, pusat badai yang kedua juga terbentuk.

 

"Tofukuji-san, selamat ya!"
"Kamu bisa mendapatkan Hiroo-kun, ranking satu jurusan Sastra! Keren banget!"
"So sweet! Kalian kayak Romeo dan Juliet!"

 

Tamaki pun, dengan posisi yang sama seperti Ryusei, membenamkan kepalanya di meja.

 

(Aaaaaaaaaaah!!! Kenapa bisa begini!?)

(Tenang, tenang, Tamaki! Hitung bilangan prima supaya tenang! 1, 1, 2, 3, 5, 8, 13… ah, ini malah deret Fibonacci!!)

 

Dengan kesal, Tamaki menyibak rambut yang menempel di pipinya karena keringat. Kemudian, dia bangkit dengan tekad bulat.

 

(Semua ini terjadi karena si bodoh itu memilih drama romantis untuk festival! Aku harus menemuinya dan memaksanya meluruskan kesalahpahaman ini!)

 

Menerobos kerumunan, Tamaki berjalan cepat keluar kelas. Tujuannya adalah kelas 2-A.

Dengan langkah cepat di lorong yang mengilap, dia terus maju. Namun, sesuatu yang tidak terduga terjadi.

 

Dari kejauhan, dia melihat seseorang berjalan ke arahnya.

 

Itu adalah Ryusei.

 

(Fu… Sepertinya dia juga memikirkan hal yang sama. Lumayan, jadi aku nggak perlu repot-repot ke kelasnya.)

 

Tepat seperti dugaan Tamaki. Ryusei juga sedang berjalan di lorong dengan tujuan yang sama—menyalahkan Tamaki atas semua ini.

 

(Semua ini terjadi karena dia memanggilku di waktu yang mencurigakan. Oh… kebetulan dia ada di sini.)

 

Lorong sekolah dipenuhi oleh siswa yang berdesakan, seperti suasana festival yang ramai. Di tengah keramaian itu, Ryusei dan Tamaki saling menatap tajam saat berjalan mendekat. Mereka akhirnya bertemu di titik tengah antara kelas masing-masing dan berhenti.

 

"Ah, kebetulan sekali, Hiroo-kun,"

 

"Ya, aku memang sedang mencarimu, Tofukuji,"

 

Begitu pasangan yang dikabarkan sedang pacaran itu bertemu, sorakan dari para siswa semakin memuncak. Suara mereka hampir tenggelam dalam keramaian.

 

Memanfaatkan situasi ini, Tamaki berbisik dengan suara pelan.

 

"Segera umumkan kalau ini cuma kesalahpahaman"

 

"Apa maksudmu? Itu tugasmu, Tofukuji"

 

"Kenapa aku?! Ini tanggung jawabmu!"

 

"Jangan bercanda! Ini salahmu!"

 

"Kau yang harus melakukannya!"

 

"Tidak, kau!"

 

Saat keduanya terus berdebat, sepasang siswa laki-laki dan perempuan dengan dasi serta pita berwarna biru mendekati mereka dengan langkah cepat. Warna dasi dan pita menunjukkan tingkatan kelas mereka—hijau untuk tahun ketiga, merah untuk tahun kedua, dan biru untuk tahun pertama. Dengan kata lain, mereka adalah siswa tahun pertama yang masih terlihat polos.

 

"Um… Hiroo-senpai, Tofukuji-senpai!"

 

Siswa laki-laki itu memanggil mereka dengan penuh semangat.

 

"Terima kasih banyak!"

 

Ucapan terima kasih yang tiba-tiba itu membuat Ryusei dan Tamaki menghentikan perdebatan mereka dan memandang bocah itu dengan bingung.

 

Mata anak itu terlihat begitu jernih dan tulus.

 

"Sebenarnya, kami sudah berpacaran sejak SMP. Kami sangat senang bisa masuk Minefuji Academy bersama, tapi kami selalu khawatir tentang jurusan yang akan kami pilih,".

 

Kerumunan yang tadinya ribut tiba-tiba terdiam dan mendengarkan dengan seksama. Tamaki dan Ryusei pun ikut penasaran. Siswi di sebelahnya menggenggam tangan pasangannya erat-erat dan berbicara dengan mata berkaca-kaca.

"Aku ingin masuk jurusan Sains… sedangkan dia ingin masuk jurusan Sastra. Tapi aku mendengar kalau di Minefuji Academy, hubungan antara jurusan Sastra dan Sains tidak terlalu baik… Jadi aku sempat kepikiran, apakah aku harus memilih antara cinta atau masa depan… Aku sampai nggak bisa tidur memikirkannya… Uuh…"

 

((Itu sih berlebihan!))

 

Tamaki dan Ryusei berpikir hal yang sama. Namun, sepertinya siswa lain justru ikut bersimpati, terbukti dari anggukan penuh pengertian mereka.

 

Sambil menenangkan gadis itu, siswa laki-laki itu kembali menatap Ryusei dan Tamaki dengan penuh kekaguman.

 

"Tapi sekarang kami bisa percaya diri! Kami sadar kalau kami bisa tetap bersama tanpa mengorbankan impian kami. Karena Hiroo-senpai, yang peringkat pertama di jurusan sastra, dan Tofukuji-senpai, yang peringkat pertama di jurusan sains, berpacaran! Kalian telah menghancurkan batasan kuno itu! Terima kasih banyak… Kami ingin menjadi pasangan yang seperti kalian!"

 

Pancaran ketulusan dari mereka begitu terang hingga Ryusei dan Tamaki refleks memalingkan wajah.

 

"Hebat! Jembatan antara sastra dan sains!"

"Pasangan terbaik di sekolah!"

 

Sorakan dari kerumunan semakin menggema.

 

"Foto berempat, yuk!"

"Ayo, aku unggah ke Insta!"

"Rekam videonya! Kita unggah ke TechTack!"

"Ayo, kedua pasangan, lebih dekat lagi!"

 

Situasi di lorong mulai tak terkendali. Pasangan siswa tahun pertama itu terlihat begitu bahagia, mendekat ke arah Ryusei dan Tamaki.

 

Ryusei mulai panik, menyadari bahwa dia dikepung oleh massa yang antusias. Tamaki pun mencari cara untuk melawan arus, tetapi semuanya terjadi terlalu cepat. Tanpa sadar, mereka sudah berdiri berdampingan dengan pasangan tahun pertama itu, siap untuk difoto.

 

Dari segala arah, kamera ponsel sudah bersiap menangkap momen tersebut. Tidak ada jalan keluar. Dalam sekejap, Ryusei dan Tamaki saling bertukar pandang, lalu tersenyum kecut.

 

Kemudian, dengan penuh kepasrahan, mereka berdua membentuk pose dengan menyilangkan jari telunjuk dan tengah, membentuk simbol hashtag.

 

""Hashtag, Jembatan Sastra-Sains~""

 

KLIK!

 

Itu adalah satu-satunya momen dalam sejarah mereka di mana suara mereka benar-benar selaras.

 

 

Kembali ke masa sekarang.

 

Setelah puas saling mencaci, Ryusei dan Tamaki kembali duduk di lantai ruang klub dengan wajah lelah.

 

Pada akhirnya, harga diri mereka terlalu tinggi untuk mengakui kebohongan ini dan membantahnya di depan umum. Sebagai solusi—atau lebih tepatnya, kompromi—mereka memutuskan untuk menulis skrip dan berpura-pura menjadi pasangan.

 

Tanpa saling menatap, masing-masing larut dalam pikirannya sendiri.

(Semua skrip yang kutulis diambil dari berbagai karya romcom. Kalau perempuan kaku ini memainkan peran sebagai heroine yang manis, mungkin dia akan sedikit lebih lembut. Dan kalau, karena itu, dia tiba-tiba terpesona oleh bakat menulisku dan jatuh cinta padaku… yah, mungkin aku akan mempertimbangkannya.)

 

(Dia pasti hanya mengutip adegan romcom yang nggak masuk akal. Tapi kalau si otak fiksi ini terus berakting dalam romcom yang absurd ini, cepat atau lambat dia akan menyadari betapa logis dan rasionalnya aku. Kalau sampai dia jadi menghormatiku dan, tanpa sadar, benar-benar ingin pacaran denganku… ugh, b-bukan berarti aku nggak akan mempertimbangkannya!)

 

Harga diri mereka yang terlalu tinggi untuk mengungkap kebenaran kini bergeser menjadi perang lain yang lebih kompleks.















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !