Take 2
Klub Teater
Ruang klub teater terletak di lantai tiga gedung sekolah lama.
Ruangan ini dulunya digunakan sebagai ruang musik, sehingga dibandingkan dengan
ruang klub lainnya, kondisinya terlihat lebih tua.
Di dalam ruangan itu, Hiroo Ryusei duduk sendirian di kursi lipat, sambil
memeriksa naskah.
Naskah yang ia baca bukanlah naskah untuk berpura-pura menjadi pasangan palsu
dengan Tofukuji Tamaki… melainkan naskah untuk pertunjukan yang akan
ditampilkan klub teater di festival budaya akhir Oktober nanti.
Latar cerita adalah sebuah SMA di pedesaan, dengan kisah cinta sekolah
antara seorang gadis sombong yang pindah dari kota.
"Hmm… karena latarnya di pedesaan, dibandingkan blazer, lebih cocok
pakai seragam gakuran dan sailor, kan?"
Sambil bergumam demikian, Ryusei berdiri dan berjalan ke sudut ruangan
menuju ruang persiapan musik. Ruang musik ini memiliki ruang persiapan
berukuran sekitar enam tatami. Klub teater menggunakannya sebagai gudang penyimpanan
kostum dan properti.
"Orang bilang gosip hanya bertahan selama tujuh puluh lima hari, tapi
baru dua minggu sejak kesalahpahaman pengakuan cinta itu, dan para pengamat
sudah berhenti heboh."
Berkat itu, mereka tidak perlu berjalan bersama ke ruang klub lagi.
Namun, bukan berarti minat siswa lain terhadap mereka telah hilang—hanya saja
status mereka sebagai pasangan resmi sudah diterima di lingkungan sekolah. Tentu
saja, Ryusei pun menyadari hal itu.
"Haa… pura-pura jadi pasangan sesuai naskah juga melelahkan…
Hmm?"
Saat hendak membuka pintu ruang persiapan musik, Ryusei tiba-tiba terdiam.
Gatak!
Pintunya tidak terbuka.
"Lagi-lagi…"
Akhir-akhir ini, pintu ruang persiapan musik memang sering macet.
Mungkin karena sudah tua, sehingga bingkainya mulai melengkung.
Bagaimanapun, ini adalah gedung kayu tua, jadi wajar kalau ada bagian yang
rusak.
"Hngh!"
Ryusei mengerahkan tenaga untuk menarik pintu.
Garagara!
"Hah… aku mulai tahu trik membuka pintu ini."
Begitu masuk, ia merasakan udara di dalam ruangan terasa lebih segar dari
biasanya. Saat melihat sekeliling, seperti yang ia duga, jendela kecil di sudut
ruangan dibiarkan terbuka.
"Siapa sih yang lupa menutup jendela? Hah, dasar…"
Meski hasilnya menguntungkan karena udara pengap di dalam sudah
tergantikan, bagi Ryusei yang perfeksionis, fakta bahwa jendela dibiarkan
terbuka begitu saja tetap terasa mengganggu.
Sambil menggerutu tentang betapa rewel dirinya sendiri, Ryusei berjalan ke
dalam ruangan untuk menutup jendela.
Begitu ia menutup jendela yang sudah usang dengan suara gik-gik,
sesuatu terjadi.
"Uwaaaaaaaaaaah!!"
Ryusei menjerit ketakutan. Ada sosok manusia di kakinya.
"Iyaaaaaaaaaaaah!!"
Sosok itu juga berteriak kaget.
"K-Kenapa kamu ada di sini, Tofukuji?! Bikin kaget aja!"
"Jangan tiba-tiba teriak begitu, Hiroo-kun! Aku juga kaget!"
Sosok itu adalah Tofukuji Tamaki, yang sedang berjongkok di balik tumpukan
kotak kostum.
"K-kalau kau ada di sini, kenapa nggak bilang?!"
"K-k-kamu yang tiba-tiba masuk, kan?! Cepat keluar sana!
Menyebalkan!"
"Hah…?! Keluar, katamu? Sok banget, dasar! Ini bukan zaman perang,
ruangan ini bukan tanah kekuasaanmu!"
"Diamlah! Dan jangan lihat ke sini!"
"Sekarang aku bahkan nggak boleh melihatmu?! Memangnya aku ini
penjahat apa?"
"Kalau nggak mau jadi penjahat, cepat keluar!"
"Dari tadi kamu ngapain sih… ah!"
Saat memperhatikan Tamaki, Ryusei akhirnya menyadari alasan kenapa dia
begitu panik.
Ia pun langsung memalingkan wajah dengan wajah memerah.
"K-kamu… pakaianmu…"
Tamaki hanya mengenakan pakaian dalam, dengan selembar kain besar dari
properti teater menutupi tubuhnya.
Dari celah kain, tali bra putihnya sedikit terlihat.
"Jangan lihat!!"
"Aku nggak lihat!!"
"Bohong!"
"Aku nggak bohong!"
Itu bohong.
Meski kepalanya menoleh ke samping, matanya tetap mencoba menangkap sosok
Tamaki dalam batas maksimal sudut pandangnya.
(Sial… sesuatu yang bukan akal sehat sedang mencoba mengendalikan otakku!
Kembalilah… kembalilah, wahai akal sehatku!)
"Pertama-tama, kenapa kau ada di sini dengan pakaian seperti
itu?"
"Itu... um..."
Dihadapkan dengan pertanyaan yang wajar dari Ryusei, Tamaki terlihat
gelisah dan mulai menggeliat tak nyaman.
"Diamlah! Itu bukan urusanmu! Dasar mesum tukang intip!"
(Aku tidak mungkin mengatakan bahwa aku ingin membayangkan peran heroine
yang akan kumainkan di festival budaya, jadi aku mencoba latihan sendiri dengan
mengenakan seragam sailor...)
"Itu jelas urusanku. Setidaknya jelaskan situasinya."
"Kalau aku menjelaskan situasinya, maka aku akan..."
"Kau akan apa?"
(Kalau aku mengatakannya, aku akan terlihat seperti perempuan yang
benar-benar serius menghadapi naskah yang dibuat oleh Hiroo-kun! Malu sekali!)
"Pokoknya, jangan masuk saat aku sedang berganti baju, dasar
mesum!"
"Kita kembali ke awal lagi. Sungguh merepotkan... Pokoknya cepat pakai
baju."
Ryusei berkata begitu sambil berjalan ke pintu keluar ruang persiapan.
(Jadi, jendela terbuka karena dia. Sekarang bukan saatnya mencari
gakuran...)
Namun, tepat saat ia menyentuh pintu, terdengar suara gataran! lagi.
"Sial... lagi-lagi."
"Apa yang kau lakukan? Cepat keluar, dasar mesum, tukang intip!"
"Memanggilku mesum tidak masalah, tapi jangan panggil aku tukang
intip."
"Kenapa mesum boleh tapi tukang intip tidak?"
"Itu masalah kesan. Yang satu lebih abstrak, yang satu lagi lebih
spesifik."
"Kau benar-benar anak jurusan sastra, ya. Terlalu peduli dengan nuansa
kata-kata."
"Diamlah."
Ryusei menggunakan tekniknya untuk membuka pintu dan melarikan diri dari
situasi yang canggung ini, namun pada saat itu juga—
Terdengar suara perempuan dari luar.
"Terima kasih atas kerja kerasnya! Hibi Mimika baru saja datang! Hah?
Tidak ada orang? Aneh... Padahal tadi kudengar suara... Oh, apa mereka ada di
ruang persiapan?"
Wajah Ryusei dan Tamaki langsung memucat.
"Sial, itu Hibi! Hibi datang!"
"Aku tahu! Cepat buka pintunya!"
Tamaki yang tadinya berjongkok di sudut ruangan pun berdiri dengan panik.
"Kau bodoh! Kalau aku membuka pintu sekarang, Hibi akan melihat kita
dalam situasi ini!"
"Apa!? Eh, ah, uh, jangan buka! Jangan buka pintunya!"
"Jangan panik seperti itu!"
"Apa?! Kau juga panik, kan?!"
Sementara mereka bertengkar, suara langkah kaki Hibi semakin mendekat dari
sisi lain pintu.
"Ah, aku dengar suara! Ketua klub, wakil ketua, kalian ada di dalam,
kan? Aku, Hibi Mimika dari kelas 1-C, datang berkunjung!"
Mendengar suara santai itu, Tamaki sampai lupa bahwa dia hanya mengenakan
pakaian dalam. Dengan putus asa, ia menatap Ryusei.
"Apa yang harus kita lakukan?! Cepat lakukan sesuatu!"
"Tenang! Dalam situasi seperti ini, kita harus menggunakan salah satu
skenario dari naskah pasangan pura-pura yang sudah kusiapkan!"
"Tidak ada naskah untuk situasi seperti ini!"
"Ada naskah untuk saat kita tiba-tiba bertemu seseorang di jalan, kan?
Gunakan naskah itu, lalu tambah improvisasi!"
"Jangan sembarangan menyuruhku improvisasi!"
Garak!
Tanpa memberi mereka waktu untuk berpikir, pintu ruang persiapan langsung
terbuka dengan mulus.
"Tebakan ku benar! Kalian berdua ada di sini! Wah, kalian memang
selalu bersama, ya! Eh, tapi... WAAA!! Wakil ketua hanya mengenakan pakaian
dalam!?"
Terlambat. Tirai panggung sudah terbuka. Dalam sekejap, Ryusei melepas
blazer yang dikenakannya dan mulai memerankan peran pacar Tamaki.
"Hei, Tamaki. Dengan pakaian seperti itu, kau bisa masuk angin."
Ia pun dengan lembut menyampirkan blazernya di bahu Tamaki.
"Umm... Terima kasih..."
Tamaki dengan cepat menyesuaikan ekspresi wajahnya.
Melihat mereka berdua, Hibi membelalakkan mata dan membuka mulutnya
lebar-lebar.
"Eh... Apa... Apa yang sebenarnya terjadi di sini?"
Ryusei dengan ekspresi tenang menjawab,
"Oh, kami baru saja selesai mencoba kostum untuk drama yang akan kami
pentaskan di festival budaya."
"Tapi... Biasanya, wakil ketua selalu mencoba kostum bersama sesama
perempuan..."
"Aku pikir akan lebih efisien jika aku yang memilih langsung kostum
untuk pemeran utama wanita."
"Tapi... Wakil ketua... Kau hanya mengenakan pakaian dalam!?"
"Memang."
"Memang, sih, tapi... Eh!? Eeehh!?"
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Karena, kami kan pacaran."
"Kyaaaaa!"
Mendengar kata-kata Ryusei,
Mimika langsung berjongkok dengan wajah memerah.
"Hubungan mereka berdua terlalu dewasa... sungguh berharga."
Tampaknya alasan darurat yang mereka berikan berhasil. Dan itu sudah bisa
ditebak.
Hibi Mimika, siswi tahun pertama klub teater, adalah penggemar berat
hubungan antara Ryusei dan Tamaki—seorang pemuja sejati pasangan romantis.
◆
"Haaah~ Aku benar-benar terkejut~. Tapi tetap saja, kalian berdua,
setidaknya lebih menahan diri saat di lingkungan sekolah, ya?"
Duduk di tengah ruang klub yang luas di atas kursi lipat, Mimika berkata
dengan nada ceria. Di hadapannya, Ryusei dan Tamaki duduk bersebelahan,
seolah-olah sedang menjalani sesi bimbingan tiga pihak.
Hibi Mimika, tahun pertama di klub teater.
Gadis imut dengan potongan bob melengkung ke dalam dan kacamata bulat besar
yang sangat cocok dengannya. Dulu, kacamata bulat seperti itu identik dengan
karakter pustakawan dalam cerita, tetapi kini telah menjadi salah satu item
fashion.
"Ah, maaf. Kami akan lebih berhati-hati lain kali."
Ryusei menjawab seadanya, ingin segera mengakhiri topik ini. Jika dia
menoleh ke samping, dia bisa melihat Tamaki yang tampak tidak senang.
Sepertinya dia benar-benar tidak menyukai improvisasi yang dilakukan Ryusei
tadi.
"Tapi, tapi! Diam-diam menumbuhkan benih cinta di ruang klub yang sepi
juga terasa romantis, kan? Ngomong-ngomong, kalian sudah sampai sejauh
mana?"
"Hibi, jangan terlalu keterlaluan."
"Hii! Maaf, Ketua!"
Tentu saja, Mimika tidak tahu bahwa hubungan mereka hanya pura-pura. Dia benar-benar
percaya bahwa mereka berdua adalah pasangan sungguhan.
"Kalau begitu, Wakil Ketua, sejauh mana hubunganmu dengan Ketua?"
Dengan sigap, Ryusei langsung menimpali.
"Oi, menyerahlah! Kenapa kau berpikir kalau aku tidak bisa menjawab
pertanyaan itu, Tamaki justru bisa? Dari mana logikamu berasal?"
"Hii! Maaf!"
"Sungguh pengecut yang aktif, ya."
"Pengecut yang aktif?"
"Itu hanya istilahku."
Ryusei menciptakan istilah itu untuk menggambarkan Mimika—seorang gadis
yang meskipun mudah panik, tetap ingin ikut campur dalam urusan orang lain.
Ryusei hanya bisa menghela napas melihat betapa orang-orang di dunia nyata
sangat menyukai gosip percintaan orang lain.
Meskipun dalam kasus Mimika, lebih dari sekadar cerita cinta, dia tampaknya
memang menyukai gosip secara umum.
"Tapi, aku benar-benar senang kalian akhirnya berpacaran. Selama ini,
aku selalu berpikir kalian berdua sangat cocok, tapi tak kunjung jadian.
Sampai-sampai aku berpikir, 'Hentikan drama ini dan cepatlah pacaran!'"
"Hibi-san, kau sedikit kasar, ya?"
Akhirnya, Tamaki yang sejak tadi diam mulai berbicara.
"Hii! Maaf!"
"Dan lagi, siapa yang cocok dengan lelaki seperti ini... Uhuk!"
Ryusei, yang langsung bisa menebak apa yang akan dikatakan Tamaki,
buru-buru menutup mulutnya.
Tamaki mendelik tajam ke arahnya sambil menggumam tak jelas.
(Apa-apaan ini!?)
(Aku yang seharusnya bertanya begitu. Aku juga ingin langsung membantah
soal 'cocok' itu, tapi kalau aku melakukannya, kebohongan kita bisa
terbongkar!)
(Kuh...)
Tamaki tidak bisa membantah dan hanya bisa perlahan menyingkirkan tangan Ryusei
dari mulutnya, sambil mengerucutkan bibirnya.
(Gadis yang tidak imut sama sekali.)
(Laki-laki yang menyebalkan.)
Melihat mereka berdua, Mimika dengan santainya berkomentar.
"Aaaah, kalian lagi-lagi bermesraan di ruang klub."
""Kami tidak sedang bermesraan!!""
"Hii! Maaf!"
Di tengah situasi itu, pintu ruang klub tiba-tiba terbuka dengan suara
berderit.
"Selamat sore. Maaf aku terlambat."
Yang datang adalah Arisaki Shien, seorang anggota klub teater tahun pertama
seperti Mimika.
Tubuhnya tinggi semampai bak seorang model, bahkan lebih tinggi dari
Tamaki.
Dengan rambut panjang berwarna hitam yang memiliki highlight ungu di bagian
dalam, serta gaya rambut kembar yang anehnya kontras dengan poni rata, dia
memiliki penampilan yang tidak biasa.
"Selamat sore, Shien."
"Selamat sore, Tamaki-senpai. Aku sudah menyerahkan formulir pengajuan
ke Organisasi siswa seperti yang diperintahkan, tapi ditolak di tempat."
Sambil berkata demikian, Shien menarik kursi lipat dan duduk di samping
Tamaki. Ryusei hanya bisa mengomentari dalam hati bahwa posisi tempat duduk
mereka jadi tidak seimbang.
"Seperti yang sudah kuduga. Ketua Organisasi siswa itu benar-benar
menyebalkan."
"Hei, Tamaki. Formulir pengajuan ke Organisasi siswa? Apa
maksudnya?"
"Itu pengajuan kenaikan dana klub. Pintu ruang penyimpanan sudah tidak
bisa dibuka dengan baik, kan? Aku ingin segera memperbaikinya."
Selain menjadi wakil ketua klub, Tamaki juga merangkap sebagai bendahara. Urusan
anggaran klub adalah tanggung jawabnya.
"Ah... Begitu. Tapi kenapa ditolak? Alasan untuk memperbaiki fasilitas
seharusnya cukup sah untuk meminta dana tambahan."
Orang yang menjawab pertanyaan Ryusei adalah Shien, yang langsung pergi ke Organisasi
siswa tadi.
"Itu karena Ketua Organisasi siswa adalah anak jurusan sastra."
"Hah?"
Jawaban yang tidak masuk akal itu membuat Ryusei spontan mengeluarkan suara
bodoh. Apa hubungannya Ketua Organisasi siswa yang jurusan sastra dengan
penolakan anggaran klub?
"Ketua Klub juga pasti sudah tahu soal persaingan antara jurusan
sastra dan jurusan sains, kan?"
"Yah, aku tahu sih..."
Salah satu alasan mengapa Ryusei tidak bisa menghentikan hubungan
pura-puranya dengan Tamaki adalah karena masalah itu juga.
"Meski persaingan itu sebelumnya lebih bersifat rahasia, berkat kalian
berdua, situasi sudah jauh lebih tenang. Tapi, tampaknya Ketua Organisasi siswa
yang baru ini pengecualian.
Dia masih sangat fanatik dalam membedakan jurusan sastra dan sains."
Shien menjelaskan situasinya, lalu Tamaki menambahkan,
"Ketua Organisasi itu terang-terangan memihak anak jurusan sastra.
Sebaliknya, dia juga terang-terangan mendiskriminasi anak jurusan sains."
"Itulah kenapa bukan Tamaki-senpai yang pergi menyerahkan formulir,
melainkan aku yang masih kelas satu."
Ryusei mulai memahami alur pembicaraan mereka.
"Pilihan antara jurusan sastra dan sains baru dimulai di tahun kedua.
Hmm… kalau begitu, makin tidak masuk akal alasan penolakannya."
"Ketua Organisasi bertanya padaku, 'Kamu mau masuk jurusan sastra atau
sains?'"
"Dia terdengar seperti politikus korup yang sering muncul di drama.
Tapi ya, kalau jawabannya 'sastra', setidaknya dia bakal memihakmu, kan?"
"Aku menjawab 'sains'."
"Ya ampun, kenapa begitu?"
"Tentu saja karena Tamaki-senpai memilih jurusan sains, maka aku juga
otomatis memilih jurusan itu."
"Kamu memilih jurusan hanya karena alasan begitu!?"
"Aku ini seperti bagian dari Tamaki-senpai. Kalau diibaratkan… mungkin
seperti organ tubuh. Hati, misalnya."
"Kamu mulai ngomong yang aneh-aneh!"
Shien juga merupakan pendukung setia Tamaki. Melihat kadar fanatismenya, Ryusei
merasa sedikit takut. Saat menoleh ke samping, dia melihat Tamaki tetap
memasang ekspresi tenang seolah sudah terbiasa.
"Itulah sebabnya, Ketua Hiroo, tolong yakinkan Ketua Organisasi."
"…Jadi, akhirnya ke situ juga?"
"Ya. Begitulah. Kalau Ketua Hiroo, sang peringkat satu jurusan sastra,
yang berbicara langsung, pasti selesai dalam sekali negosiasi."
"Aku menolak."
Ryusei dengan percaya diri menyilangkan tangan dan menolak mentah-mentah
usulan Shien.
"Tamaki-senpai, dia menolak."
"Kenapa kamu mengadukan ke aku?"
"Karena Ketua Hiroo adalah pacar Tamaki-senpai."
"P-p-pacar!?"
"Eh? Jadi bukan pacar? Jangan-jangan, kalian sebenarnya hanya
pura-pura jadi pasangan? Eh, jangan bilang kalau itu benar!"
"Kami pacaran! Dia adalah pacarku!"
Tamaki menjawab dengan wajah merah padam.
"Kalau begitu, mohon yakinkan Ketua Hiroo yang keras kepala ini. Dia
pasti berpikir kalau tugas ini seharusnya dikerjakan oleh bendahara, bukan
urusan ketua klub. Tamaki-senpai pasti tahu betul sifatnya. Klub teater ini
hanya punya empat anggota juga gara-gara dia. Padahal, di bulan April lalu ada
tiga puluh orang yang ingin bergabung, tapi karena audisinya terlalu ketat,
yang tersisa hanya aku dan Mimika. Saat kami ingin mengusulkan audisi tambahan,
dia malah berkata, 'Yang sudah ditentukan tidak bisa diubah,' dan bersikeras
dengan pendapatnya. Benar-benar merepotkan. Katanya dia peringkat satu di jurusan
sastra, tapi meskipun pintar secara akademik, pikirannya terlalu kaku. Sudah,
lebih baik dia keluar saja."
"Woi, Arisaki, aku bisa menangis, tahu?"
"Ups. Sepertinya aku tak sengaja mengungkapkan isi hatiku."
"Kalau mau bicara sembarangan, setidaknya ucapkan hal yang tidak ada
di hatimu!"
Meski berkata begitu, analisis Shien terhadap Ryusei memang benar.
Sebenarnya, Ryusei tidak keberatan bicara langsung dengan Ketua Organisasi. Tapi
kalau ketua klub menggantikan tugas bendahara, maka jabatan itu tak ada
artinya.
Sebisa mungkin, Ryusei ingin menghindari membawa pengecualian dalam aturan.
Lagipula, kalau mau dia yang turun tangan, seharusnya Tamaki sendiri yang
meminta dengan sungguh-sungguh. Lebih tepatnya, dia ingin melihat Tamaki
menundukkan kepala dan memohon padanya.
(Kukuku… ini kesempatan bagus. Ayo, tundukkan kepalamu dan katakan ‘tolong’
padaku, Tofukuji!)
Di sisi lain, Tamaki sedang bimbang.
Shien memang benar, dia tahu betul sifat Ryusei. Klub yang hanya
beranggotakan empat orang ini juga jelas kesalahannya.
Sejak awal, klub teater memang sedikit peminatnya. Saat Tamaki pertama kali
bergabung, anggotanya hanya kakak kelas di tingkat tiga.
Setelah mereka lulus, hanya tersisa dirinya dan Ryusei. Masa-masa itu
terasa sepi. Namun, tahun ini seharusnya lebih ramai karena banyak murid baru
yang ingin bergabung karena tertarik padanya—atau pada Ryusei.
Namun kini, ruang musik yang luas ini hanya diisi oleh empat orang.
Pemandangan yang sepi ini adalah bukti betapa merepotkannya Hiroo Ryusei.
(Sejujurnya, kalau aku menundukkan kepala dan memohon, dia pasti akan pergi
ke ruang Organisasi dengan senyum puas. Tapi… tapi, harga diriku tidak
mengizinkan itu!)
Karena itu, dia ragu.
(Tapi pintu ruang persiapan yang berat harus segera diatasi. Berbeda dengan
Hiroo-kun, kami para perempuan harus mengerahkan tenaga ekstra setiap kali
membukanya. Membiarkan pintu begitu saja bukanlah cara yang efisien.)
Tamaki berkedip beberapa kali, terombang-ambing antara rasa malu sekejap
dan kenyamanan jangka panjang. Saat melihat ekspresinya, Ryusei menyeringai.
(Sedang bimbang, ya, Tofukuji? Teruslah ragu-ragu. Seperti pepatah, siapa
yang mengejar dua kelinci, tidak akan mendapat satupun!)
Melihat wajah Ryusei yang penuh kemenangan, Tamaki pun menyadari sesuatu.
(Huh… menjengkelkan. Ini bukan hanya masalahku sendiri. Junior-juniorku
juga kesulitan. Kenapa sih anak jurusan sastra tidak bisa memahami perbedaan
kekuatan otot bawaan antara laki-laki dan perempuan?)
Namun, saat itu pula, sebuah jalan keluar muncul dalam pikirannya.
(Tunggu… kalau dia tidak menyadarinya… bukankah aku hanya perlu membuatnya
sadar? Fufufu… benar juga. Aku ini pacarnya, kan?)
Tamaki pun tersenyum penuh percaya diri.
"Kamu benar. Ini bukan tugas Hiroo-kun. Tapi… Ketua Organisasi yang
tidak menyukai anak jurusan sains tidak akan mendengarkan pendapatku.
Sepertinya aku harus menyerah."
Sambil berkata begitu, dia tiba-tiba menekan lengannya dengan tangan
satunya, seolah-olah kesakitan.
Mimika langsung bereaksi.
"Ada apa, Wakil Ketua? Apa lenganmu sakit?"
"Ah… iya. Saat masuk ke ruang persiapan tadi, pintunya susah dibuka,
jadi aku terlalu banyak mengerahkan tenaga."
Tamaki dengan anggun menerima operan sempurna dari juniornya dan bersiap
menendang bola ke gawang. Dia menundukkan kepala sejenak, lalu dengan cepat
menatap Ryusei. Kemudian—
"Hiroo-kun bisa membukanya dengan mudah, ya. Memang laki-laki itu luar
biasa."
Dengan nada lembut dan senyum malu-malu, dia berkata begitu, berusaha
menampilkan pesona seorang gadis manis.
(Fufufu… bagaimana, Hiroo-kun? Biasanya kamu bersikap seolah tidak tertarik
pada gadis di dunia nyata. Tapi pada akhirnya, kamu tetap seorang pria.
Khususnya primata jantan yang merespons rangsangan visual. Tidak mungkin naluri
dasarmu bisa mengabaikan tatapan mataku yang berkaca-kaca ini!)
"Yah, aku memang sudah menemukan triknya…"
"Oh, jadi ada triknya? Ah… aduh…"
"O-Oi, kau baik-baik saja?"
"Ya. Besok aku pasti kena nyeri otot lagi."
Setelah memastikan bahwa Ryusei benar-benar menunjukkan tanda-tanda
kegelisahan, Tamaki yakin kalau dirinya berada di atas angin.
(Dan ditambah lagi, dia baru saja disodorkan secara langsung pada fakta
bahwa seorang gadis sepertiku mengalami kesulitan sebesar ini. Rasa bersalah
pun pasti ikut menyerangnya. Nah, Hiroo-kun, apa yang akan kau lakukan?
Bagaimanapun juga, aku ini pacarmu, dan aku sedang dalam kesulitan seperti ini.
Kau masih tetap mau mengutamakan prinsip murahanku itu?)
Namun, kegelisahan Ryusei hanya berlangsung sesaat. Faktanya, dia langsung
kembali tenang dalam waktu singkat.
Otak yang mampu mempertahankan predikat peringkat satu dalam bidang sastra
tentu bukan tanpa alasan. Dalam waktu yang singkat, Ryusei telah menganalisis
tindakan Tamaki.
(Tofukuji jelas-jelas menyalakan mode pacar... Tapi, kalau dipikir-pikir,
pola seperti ini tidak pernah ada dalam skenario yang serupa sebelumnya. Kalau
begitu...)
"Kalau begitu, aku ajarkan saja caranya membuka pintu dengan benar.
Lalu, untuk nyeri otot, sepertinya lebih baik melakukan peregangan secara
bertahap. Mau aku bagikan video stretch yang sering aku tonton?"
"Eh?"
Tamaki tanpa sadar bereaksi secara alami.
(Tindakan menggoda yang kulakukan barusan bukanlah untuk sekadar memamerkan
status hubungan kami di depan kedua junior kami. Semua ini adalah strategi yang
sengaja kutujukan hanya untuknya, semata-mata agar ia merasa bersalah dan
dengan sukarela langsung menghadap Ketua Organisasi. Seharusnya begitu...)
"Kenapa? Mau diajarin langsung daripada lewat video?"
"A, ah... Tidak. Aku baik-baik saja. Terima kasih."
Ekspresi Tamaki sedikit menegang.
(Sial... Laki-laki ini. Aku sama sekali tidak butuh saran semacam itu!)
(Hmph... Begitulah jadinya kalau kau menjalani segalanya dengan
perhitungan, Tofukuji. Manusia itu tidak akan terpengaruh oleh sesuatu yang
terlihat jelas mengandung niat tersembunyi. Seharusnya kau lebih banyak membaca
atau menonton karya fiksi agar paham bagaimana cara menggerakkan hati
seseorang.)
Senyuman penuh kemenangan tersungging di wajah Ryusei. Menyadari bahwa
keadaan telah kembali seimbang, Tamaki pun memahami bahwa strateginya telah
terbaca.
(Jadi, kau menyadarinya... Memang tidak heran, ini Hiroo Ryusei si
peringkat satu di bidang sastra. Tapi kalau kau mau bermain seperti itu, maka
aku pun tidak akan tinggal diam. Aku akan memakai strategi lain yang menyerang
insting kejantananmu!)
Tamaki sengaja menggoyangkan tubuhnya hingga bahunya perlahan menyentuh
bahu Ryusei.
"Ah, maaf. Tapi tetap saja, bahu laki-laki itu memang kokoh, ya. Boleh
aku menyentuhnya sebentar?"
"Eh? A-ah..."
Tamaki meletakkan jari putihnya di bahu Ryusei dan mengusapnya dengan
lembut.
"Sepertinya, kemampuanmu membuka pintu bukan karena teknik, tapi lebih
karena bahumu yang kokoh ini, ya? Bagaimana menurutmu, Hiroo-kun?"
Inilah serangan dengan memanfaatkan senjatanya secara maksimal. Bentuk
sentuhan paling efektif antara pria dan wanita adalah menyentuh bahu hingga
lengan atas.
Tamaki cukup percaya diri dengan jari-jarinya yang putih dan indah hingga
menjadikannya sebagai salah satu daya tariknya. Sambil meremas bahu Ryusei
dengan lembut, ia menatapnya dengan sorot mata manja.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ia tidak akan pernah meminta secara langsung.
Targetnya hanya satu—membuat Ryusei sendiri yang berkata, "Aku akan
membujuk Ketua Organisasi." Dan hasil dari strategi Tamaki ini adalah...
(Dari tadi niatnya buat menggodaku jelas banget! Apa dia pikir aku bakal
tergoda begitu saja? Sayangnya, aku ini Laki-laki yang tidak tertarik dengan Perempuan
di dunia nyata, tahu!? Mana mungkin aku bisa terpengaruh oleh trik seperti ini—
—SIAL!! DIA IMUT BANGET!!
Apa-apaan gadis ini!? Jantungku berdebar kencang banget!)
"T-Tofukuji, kau terlalu dekat..."
"Eh...? Apa yang kau bicarakan? Kita berpacaran, kan?"
Kata-kata Tamaki semakin membuat Ryusei terpojok.
(UOOOOOOO!! Mengonfirmasi status hubungan di saat seperti ini itu curang!
Bukan berarti kami benar-benar pacaran sih!)
Sementara Ryusei mulai goyah, Tamaki yang kini merasa telah menguasai
keadaan justru—
(AAAHHHHH!! Kalau dipikir-pikir, bukankah aku melakukan hal yang sangat
memalukan!? Baru sekarang aku merasa super malu!)
Tanpa sadar, ia malah menjatuhkan diri ke dalam lubang yang ia gali
sendiri.
Kini, keduanya pun terdiam kaku.
(Jangan terkecoh, Ryusei! Memang, kalau hanya dari tampilan luar, dia itu
sangat cantik. Tapi di baliknya, dia adalah Perempuan logis yang dingin dan
penuh perhitungan! Ini semua hanya strategi yang sudah ia rancang! Jangan
biarkan perasaanmu ikut terbawa!)
(Tapi serius, bahunya lumayan kokoh juga ya, padahal tubuhnya kelihatan
ramping... Eh, apa yang aku pikirkan barusan!? Fokus, Tamaki! Ini hanya
strategi, cuma strategi!)
(Berapa lama lagi dia mau megang lenganku? Dasar licik... Tapi aku tidak
akan kalah!)
(Hiroo-kun, kalau saja kau menyerah, semuanya akan berakhir! Cepat menyerah
saja, aku juga sudah di ambang batas, tahu!)
Dan akhirnya, perang psikologis di antara mereka pun diakhiri dengan satu
kalimat dari Mimika.
"Um... Kalau kalian mau mesra-mesraan seperti itu, kenapa nggak
sekalian saja pergi berdua ke ruang Organisasi?"
""Hah!? Mesra-mesraan!?""
Shien pun ikut memberikan serangan tambahan.
"Ketua Hiroo, dengan ekspresi wajah santai seperti itu, jangan bilang
kalau sekarang kau masih mau menolak?"
"Mukaku terlihat santai?"
"Iya."
Melihat kepercayaan diri Shien, Tamaki pun merasa yakin akan kemenangan. Namun...
"Dengan segala hormat, wajah Tamaki-senpai juga sama santainya."
"Aku juga!?"
"Iya, santai banget. Jadi, seperti kata Mimika, kalian pergi saja
berdua, ya?"
Shien, yang bertindak layaknya wasit, langsung memberikan keputusan akhir.
Ryusei hanya bisa menghela napas tanda menyerah.
"Baiklah. Begitu juga denganmu, kan, Tofukuji?"
"Y-ya... Kalau Hiroo-kun mau, aku juga tidak keberatan."
"Tapi waktu penerimaan formulir sudah lewat. Jadi, lain kali
saja."
"Baiklah."
Pada akhirnya, yang memenangkan pertarungan kali ini adalah para junior
mereka.
◆
Malam itu.
Di kamar
pribadinya, Ryusei duduk di meja, bersiap menulis naskah untuk pasangan
pura-pura mereka. Namun, tiba-tiba, pandangannya tertuju ke arah dinding. Melihat
blazer yang tergantung di hanger, ia teringat kejadian setelah jam sekolah
tadi.
(Oh iya, tadi banyak hal terjadi hingga jadi samar-samar, tapi blazer itu
sempat dipakai oleh Tofukuji yang hanya mengenakan pakaian dalam...)
Pikirannya terhenti selama tiga detik. Lalu, ia segera menggelengkan
kepala.
(Apa yang kupikirkan ini… Tapi, kalau hanya sebentar…)
Ryusei bangkit dari kursinya dan melangkah ke arah blazer tersebut.
Dengan kedua tangan, ia mengangkat blazer beserta hangernya.
Gokuri...
Ia menelan ludah. Perlahan, ia mendekatkan blazer itu ke hidungnya—
Bam!
"Ryusei, kamu di dalam?"
"Uwoah! Ibu! Kenapa tiba-tiba masuk begitu!?"
Pintu kamar terbuka dengan kencang, dan ibu muncul dari baliknya.
"Aku baru beli pengharum pakaian yang baru, jadi serahkan blazermu.
Eh, kebetulan kamu sedang memegangnya!"
"Eh, t-tunggu dulu!"
"Katanya pengharum ini punya aroma yang enak, nih. Lihat saja!"
Ibu menekan tuas botol semprot beberapa kali.
Syu syu!
Kabut halus keluar dari semprotan.
"Aaah…!"
"Nah, selesai. Coba cium aromanya," kata ibunya.
Tanpa bisa melawan, Ryusei membawa blazer itu ke hidungnya.
"Ugh... Ya, memang wangi."
Aroma floral yang harum.
TLN : Defak, pengen cium bau ayangnya malah diganggu bwahahaha
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.