Rikei Kanojo to Bunkei Kareshi, Saki ni Kokuttahou ga Make Chapter 3

Ndrii
0

Take 3

Teman Masa Kecil




Hiroo Ryusei memiliki sebuah ideal.

Ia ingin mengalami kisah cinta seperti dalam anime romcom, pergi berkendara seperti dalam film drama manusia, dan terlibat dalam insiden layaknya yang terjadi di novel misteri.


Baginya, cinta sejati adalah cinta yang lahir dari situasi semacam itu, dan wanita idealnya adalah seseorang yang mampu melewati kesulitan bersama dengannya.

 

Singkatnya, Hiroo Ryusei terlalu tenggelam dalam dunia fiksi, sehingga standarnya menjadi terlalu tinggi dan pandangannya tentang inta menjadi rumit.

Akibatnya, ia tidak bisa tertarik pada wanita di dunia nyata. Meski begitu, bukan berarti ia sama sekali tidak bisa berkomunikasi dengan perempuan. Justru sebaliknya, ia cukup terbiasa dengan mereka.

 

"Hei, Ryusei."

 

Itu karena dia memiliki teman masa kecil perempuan.

 

"Apa, Ruri? Aku sedang membaca sekarang. Jangan ganggu aku."

 

Pagi sebelum homeroom dimulai.

Duduk tegak di kursinya dengan sebuah buku saku di tangan, Ryusei menjawab dengan nada dingin. Teman sekelasnya yang juga teman masa kecilnya, Minamiyama Ruri, duduk di bangku di hadapannya. Ia menoleh ke arah Ryusei dan menyambar buku saku yang sedang dibacanya.

"Hei, apa yang kau lakukan, Ruri?"

 

"Dasar kakak bodoh. Kau belum menyerahkan bayaran minggu ini. Cepat berikan foto wajah tidur Kousei."

 

Gadis berambut cokelat terang yang diikat kuncir kuda ini tergila-gila dengan adik laki-laki Ryusei, Hiroo Kousei.

Dengan kata lain, dia meminta kakaknya untuk diam-diam mengambil foto wajah tidur adiknya yang masih kelas tiga SMP.

 

Teman masa kecil yang cukup gila.

 

Namun, Ryusei memiliki alasan mengapa dia tidak bisa menolak permintaan tidak masuk akal Ruri.

 

"Nih. Aku sudah kirim. Cek sendiri."

 

"Tunggu sebentar... Hmm, bagus. Gufufu, Kousei-chan memang imut seperti biasa."

 

"Aku selalu berpikir, kau sering datang ke rumahku, jadi kenapa tidak kau ambil sendiri saja?"

 

"Kalau aku melakukan hal memalukan seperti itu dan Kousei sampai tahu, dia akan membenciku!"

 

"Aku juga mengambil risiko besar dengan diam-diam memotret wajah tidur adikku sendiri, tahu."

 

"Aku sudah memberikan imbalannya dengan benar, kan? Ini, styling gel baru. Hair balm botani."



"Hair balm? Aku baru pertama kali dengar."

"Ini semacam hair oil yang bisa menata rambut. Kalau ambil kebanyakan, bisa dipakai sebagai hand cream juga."

"Huh… Jadi kali ini bukan wax, ya?"

"Rambutmu udah lumayan panjang. Hair balm lebih mudah digunakan daripada wax dan bisa memberikan kilau alami. Seperti yang selalu aku bilang, jangan pakai kebanyakan."

"Iya, iya, aku ngerti."

 

Dengan menjual foto adiknya kepada Ruri, Ryusei mendapatkan imbalan berupa konsultasi.

Mulai dari gaya rambut, fashion, skincare, cara menjaga kebersihan diri, hingga sikap dan cara berbicara yang terlihat keren di mata perempuan—semua aspek dalam self-branding, ia serahkan sepenuhnya pada Ruri.

 

Ini adalah bentuk usaha Ryusei agar pantas menyandang gelar sebagai siswa peringkat satu di jurusan sastra.

 

"Dulu kamu itu mentalnya lemah dan gampang nangis. Sekarang sampai jadi ikon sekolah, semua berkat aku, kan?"

"Aku nggak menyangkal jasamu besar, tapi bagian pertama itu nggak perlu disinggung."

"Heh, siapa sangka kakak bodoh yang dulu selalu aku dan Kousei lindungi bisa ngomong begini sekarang."

"Cerewet. Nih, aku bayar buat styling gel ini, kasih aku struknya."

"Ah, kali ini nggak usah."

"Hah? Kenapa?"

"Anggap saja traktiran dariku untuk merayakan kamu punya pacar."

"P… pacar, ya… Yah, kalau kau bilang begitu, aku terima."

"Nggak nyangka Ryusei bisa mendapatkan gadis sehebat itu. Jangan-jangan kamu beli DVD aneh buat belajar hipnotis?"

"DVD semacam itu dijual di mana, sih?"

"Jadi fobia gadis dunia nyata itu udah sembuh?"

"Siapa yang fobia? Aku tetap menganggap gadis di dunia nyata jauh dari kata ideal, terutama kau."

 

Sambil berkata ketus, Ryusei merebut kembali buku saku yang dipegang Ruri.

 

"Yah, kelihatannya sifatmu yang menyebalkan belum sembuh juga. Kasihan sekali Tofukuji-san. Kalau nanti kesulitan menyusun rencana kencan, jangan ragu minta bantuanku. Sebagai teman masa kecil, aku akan membantumu."

"Hah, nggak usah sok baik."

 

Meski Ryusei terlihat kesal, Ruri malah tertawa terbahak-bahak.
Dia adalah tipe gadis yang selalu ceria—bisa dibilang, gadis populer alami di kasta tertinggi. Seandainya dia tidak begitu tergila-gila pada Kousei, dia mungkin bisa menyaingi Tamaki dalam hal popularitas.

 

Saat Ryusei hendak kembali membaca buku, tiba-tiba—

"Hei, Ryusei."

"Apa lagi? Kau berubah pikiran soal uang styling gel?"

"Bukan itu. Lihat deh, sang putri telah tiba."

 

Ruri menggerakkan dagunya, mengarahkan pandangan Ryusei ke pintu kelas. Di sana berdiri seorang gadis yang jelas memiliki aura berbeda dari yang lain.

 

Itu Tamaki.

 

"Tofukuji jarang-jarang datang ke kelas sastra. Apa dia ada urusan dengan seseorang?"

"Ya jelas denganmu, tolol."

"Mana mungkin."

 

Jika mereka bertemu tanpa skenario yang jelas, kemungkinan besar kebohongan mereka bisa terbongkar.

 

Karena itu, mereka telah membuat kesepakatan untuk seminimal mungkin berinteraksi di luar yang diperlukan. Tamaki yang selalu bertindak berdasarkan perhitungan tidak mungkin melanggar aturan ini tanpa alasan.

 

Begitu pikir Ryusei.

Namun, saat ia melirik ke arah Tamaki, gadis itu yang awalnya celingukan tiba-tiba berhenti dan menatapnya.

 

Tatapan mereka bertemu. Dan tetap terkunci.

 

(Eh, aku? Enggak, enggak mungkin…)

Di sebelahnya, Ruri berseru dengan nada jengkel.

 

"Cepatlah pergi, pacarmu menunggu."

 

(Belum tentu yang dia cari itu aku—)

 

Tamaki mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Ryusei mendekat.

 

(Jadi benar aku?!)*

 

"Lihat tuh, benar kan? Gadis yang rela datang ke kelas lain buat mencari pacarnya, ih, so sweet!"

"Cih."

"Hei, mana ada lelaki yang dikasih isyarat oleh pacarnya lalu malah ngeklik lidah gitu? Mau jaim atau malu, sebagai teman masa kecil, aku ikut malu melihatmu."

"Terserah kau mau malu atau tidak, itu tidak ada hubungannya denganku."

 

Sambil meninggalkan ucapan ketus, Ryusei akhirnya berjalan menuju pintu kelas tempat Tamaki menunggu.

 

(Yah… Memang sih, seperti kata Ruri, Tamaki yang memanggilku seperti itu sedikit imut… T-Tapi kenapa aku mikirin hal nggak penting?!)*

 

Saat Ryusei sampai di depan Tamaki, seluruh kelas langsung memusatkan perhatian padanya.

 

"Itu pasangan klub teater!"

"Mereka serasi juga, ya."
"Mereka akrab banget, ya."

 

(Tuh kan, udah kuduga.)

 

"Tofukuji, ada apa? Kau lupa kesepakatan kita?"

 

Dengan suara pelan agar tidak didengar orang lain, Ryusei bertanya dengan nada tajam.

 

"Setahuku kesepakatan kita berbunyi 'menghindari kontak yang tidak perlu', bukan? Atau kau, si anak sastra, tidak tahu apa arti 'tidak perlu'?"

 

Tamaki menatapnya dengan sikap lebih tajam.

 

"Jadi, kau punya urusan penting denganku?"

 

"Astaga, baru kemarin kita bahas, kau sudah lupa. Bukankah kita sudah janjian pergi ke ruang Organisasi?"

 

"Oh, itu."

 

"Hari ini sepulang sekolah kita pergi ke sana. Jadi sebelum kau ke ruang klub, tunggu aku. Jangan kabur."

 

"Siapa yang mau kabur?"

 

"Aku rasa kau cukup pengecut untuk melakukannya."

 

"Banyak omong sekali kau ini. Aku pasti datang."

 

"Hmph, bagus kalau begitu."


Nada bicara Tamaki terdengar dingin sejak tadi, tapi wajahnya tetap tenang dan tersenyum. Walaupun suaranya cukup kecil untuk tidak terdengar oleh orang lain, ekspresinya tetap harus terlihat natural.

 

Ini adalah bagian dari perannya sebagai pacar palsu.

Dan Ryusei pun melakukan hal yang sama.

 

Ekspresi yang tidak cocok dengan isi percakapan ternyata cukup melelahkan. Jika urusannya sudah selesai, Ryusei sebenarnya ingin kembali ke tempat duduknya dan melanjutkan membaca bukunya. Namun, entah kenapa, Tamaki tidak menunjukkan tanda-tanda akan pergi.

 

Yah, meskipun lawan bicaranya tidak bergerak, itu bukan urusannya. Saat Ryusei hendak berbalik dan pergi, Tamaki kembali membuka mulutnya.

 

"Ngomong-ngomong."

 

"Apa?"

 

"Kamu kelihatan akrab sekali dengan anak yang duduk di depanmu, ya."

 

"Hah...?"

 

Sesaat, Ryusei tidak mengerti apa yang Tamaki maksud. Anak yang duduk di depannya...?

 

Ia menoleh ke belakang, melihat kursinya sendiri, lalu melihat Ruri yang duduk di depannya. Baru kemudian ia memahami maksud perkataan Tamaki.

 

"Maksudmu Ruri?"

"R-Ruri...? Oh, jadi kau memanggilnya dengan nama depan, ya. Jarang-jarang seorang otaku mesum sepertimu bisa menjalin hubungan santai seperti itu dengan seorang gadis."

 

"Itu bukan urusanmu. Lagipula, aku dan Ruri—"

 

(Tunggu, jangan-jangan gadis ini...)

 

"Tofukuji, kau... cemburu?"

 

"Hah?"

 

"Begitu, ya. Setelah berpura-pura menjadi pasangan, akhirnya kau menyadari pesonaku. Lalu, saat melihatku berbicara akrab dengan Ruri, kau jadi cemburu."

 

(Heh, ternyata ada sisi imutnya juga, ya, Tofukuji. Akhirnya kau selangkah lebih dekat menjadi heroine di romcom. Begitu ya, begitu. Kalau kau sampai cemburu seperti ini, aku tidak keberatan menjadikan kita pasangan sungguhan.)

 

"Hiroo-kun..."

 

"Ada apa?"

 

(Lihat tuh, Tofukuji sampai menyipitkan matanya saat menatapku. Ini pasti tatapan orang yang baru ketahuan. Jadi dia langsung pasang aksi jatuh cinta, ya. Yah, aku tidak benci gadis yang jujur.)

 

"Hiroo-kun, sampai bisa mengubah percakapan biasa menjadi khayalan liar seperti ini... Berarti selama ini, kau sudah menganggapku sebagai lawan jenis, ya. Jangan-jangan, cuma kau saja yang akhirnya jadi serius setelah berpura-pura menjadi pasangan?"

 

"Apa...! T-Tidak mungkin."

"Tidak mungkin? Tidak mungkin apa?"

 

"Tidak mungkin... begitu."

 

"Kalau begitu, ya sudah."

 

Saat mendengar jawaban lemah dari Ryusei, Tamaki mendengus kecil dan menyibakkan rambutnya ke belakang. Lalu, dalam hatinya ia berpikir:

 

(Bahaya! Hampir saja!! Apa-apaan sih lelaki ini! Aku hampir menjadi gadis yang terang-terangan cemburu karena suka padanya, dan merasa gelisah melihatnya berbicara dengan gadis lain. Aku hampir berpikir, 'Memang lebih cocok kalau dia bersama anak jurusan sastra juga, ya.' )

 

Sementara Tamaki merasa panik sendiri, Ryusei pun—

 

(Eh, tunggu sebentar. Barusan aku sangat memalukan, kan? Tamaki benar. Aku terlalu cepat menganggap dia cemburu, padahal dia sendiri tidak ada maksud seperti itu. Aku benar-benar terlihat seperti orang yang justru memikirkan dia, kan? Sial... ini harus dikaburkan dengan cara yang setimpal.)

 

"Haha, aku cuma bercanda. Jangan terlalu serius begitu, Tofukuji. Reaksimu barusan seperti orang yang kena sasaran, tahu?"

 

(Hehehe... betapa sempurnanya balasan ini. Dengan ini, aku tidak akan malu lagi! Sekarang giliran kau yang malu, Tofukuji!)

 

Mendengar respons lancar dari Ryusei yang sudah kembali percaya diri, Tamaki berpikir sejenak.

 

(Eh, apa-apaan sih orang ini? Menggunakan 'trik siapa sebenarnya yang panik' itu curang, tahu! Lagipula, bukankah ini aneh? Dia biasanya tenang, tapi malah menyeret obrolan yang hampir selesai menjadi perdebatan. Jangan-jangan dia panik? Berarti, balasanku tadi lebih mengenai sasaran dari yang aku kira. Dengan kata lain... ternyata dia benar-benar jatuh cinta padaku. Karena terus berpura-pura menjadi pasangan di romcom, efek psikologis seperti efek beruang kutub membuatnya menyadari betapa rasional dan logisnya aku, lalu rasa hormatnya berkembang menjadi perasaan cinta. Yah, itu tidak bisa dihindari. B-Bukan berarti aku tidak keberatan jika dia benar-benar serius dan ingin menjadikanku pasangannya... )

 

"H-Hey, Tofukuji."

 

"............"

 

"Tofukuji?"

 

"Ah..."

 

(Sial! Aku terlalu lama berpikir! Kalau aku membalas sekarang, malah terlihat seperti aku yang jadi serius. Itu terlalu memalukan! Tidak ada cara lain... Aku harus menggunakan jurus pamungkas.)

 

"Omong kosong. Menyebalkan."

 

Dengan nada dingin, Tamaki berkata begitu tanpa menatap wajah Ryusei, lalu pergi meninggalkannya. Melihat punggung Tamaki yang semakin menjauh, Ryusei terdiam dengan mulut setengah terbuka.

 

(Sial, jangan-jangan Tofukuji marah. Apa aku terlalu berlebihan? Seharusnya aku bersikap lebih dewasa dan membiarkan obrolan tadi berlalu. Ahh, andai aku bisa kembali satu menit yang lalu...)

 

Saat Ryusei kembali ke tempat duduknya dengan lesu, Ruri yang sudah menunggunya langsung menyapanya.

 

"Kalian tadi ngobrol sambil senyum-senyum terus. Ada urusan apa?"

 

"Eh? Ah, aah... soal klub."

 

"Serius? Barusan kau terlihat begitu senang saat bicara dengan Tofukuji-san, tapi sekarang jadi lesu begini. Apa yang terjadi dalam beberapa detik sebelum kau kembali?"

 

(Ya, dari luar memang terlihat menyenangkan karena aku hanya berpura-pura. Pantas saja kalau kelihatannya seperti itu.)

 

"Bukan apa-apa."

 

"Paling-paling, kau kepikiran sesuatu yang sepele selama percakapan, lalu malah jatuh mental sendiri, kan? Dasar lelaki sensitif yang gampang goyah."

 

"Diam kau!"

 

Memang benar, Ruri adalah teman masa kecilnya. Hampir seluruhnya benar.

 

"Nih, ambil ini, biar semangat lagi."

 

Sambil berkata begitu, Ruri mengulurkan minuman probiotik dalam kemasan yang sedang ia minum ke depan Ryusei.

 

"Hei, ini kan sudah diminum."

 

"Jangan pilih-pilih."

 

"Ya, ya."

 

Menghadap sedotan yang disodorkan ke arahnya, Ryusei menempelkan bibirnya dan mulai menyedot isinya, Enak.

"Sudah lebih baik?"

"Sedikit."

"Bagus."

 

Di saat-saat seperti inilah, teman masa kecilnya benar-benar perhatian.

 

 

Saat kembali dari ruang kelas jurusan sastra ke ruang kelas jurusan sains, Tamaki berjalan sendirian di koridor sambil memegangi kepalanya.

 

(Aaaahh… Apa aku berhasil menghindarinya? Aku berhasil, kan? Tidak, rasanya aku tidak berhasil…)

 

Pedang pusaka yang tidak lagi tajam.

 

Karena kepribadiannya, dia cenderung berpura-pura marah sebagai cara untuk menyembunyikan rasa malunya atau menghindari situasi yang sulit.

 

Namun…

 

(Rasanya kali ini bukan saat yang tepat untuk menggunakannya…)

 

Tamaki sangat menyesali keputusannya. Namun, dia segera kembali ke dirinya yang biasanya.

 

(Hah… Apa-apaan aku ini, bahkan pakai gelombang di akhir kalimat segala. Lagipula, apa peduliku dengan pendapat pria itu!)

 

Dan seperti biasanya, dia kembali berjalan di koridor dengan anggun sebagai gadis tercantik dari jurusan sains.

(Aaaahh… Tapi tetap saja, rasanya bukan saat yang tepat untuk menggunakannya…)

 

 

"Sungguh menarik… Jadi itu sebabnya kau, sang juara dari jurusan sastra, sampai repot-repot datang menemuiku."

 

Di dalam ruang Organisasi yang diterangi sinar matahari sore, ketua dewam, Mizumune Takeru, berkata demikian sambil duduk di belakang meja besar yang tampak mewah.

 

Ryusei, yang berdiri di depannya, melirik sekilas ke arah Tamaki sebelum menjawab.

 

"Ya, kurang lebih. Saat beraktivitas di klub, kami mengalami kendala, jadi kami ingin mengajukan dana tambahan untuk memperbaiki pintu yang rusak setelah mengajukan permohonan anggaran."

 

"Ah, tak perlu pakai bahasa formal. Kita sama-sama siswa kelas dua. Lagipula, sebagai sesama siswa jurusan sastra, aku sangat menghormatimu."

 

"Kalau begitu, bisakah kau mengabulkan permohonanku, Ketua Organisasi?"

 

"Namun, meskipun begitu… Maaf, Ryusei, aku tidak bisa menyetujuinya."

 

"Kenapa?"

 

Karena ketua Organisasi ini lebih memihak jurusan sastra, Ryusei mengira permohonannya akan lebih mudah diterima jika dia sendiri yang mengajukannya. Namun, ternyata kenyataan berkata lain. Ryusei kembali melirik ke arah Tamaki.

Tamaki menatap lurus ke depan dengan ekspresi sulit ditebak.

 

"Ryusei, memang benar aku menghormatimu… atau bahkan mengagumimu. Tapi ada satu hal yang tidak bisa kupahami. Mengapa pria secerdas dan sehebat dirimu berpacaran dengan gadis jurusan sains seperti dia?"

 

Tatapan Mizumune tertuju pada Tamaki.

 

"Itu tidak ada hubungannya dengan permohonanku kali ini, kan?"

 

"Tentu saja ada! Karena aku sangat membenci gadis jurusan sains!"

 

Sepertinya ketua Organisasi ini memiliki prinsip yang cukup ekstrem.

Saat itu, Tamaki akhirnya buka suara.

 

"Ryusei, ayo kita pergi. Percuma berbicara dengan orang ini. Aku hanya membuang waktumu, maafkan aku."

 

Tamaki yang biasanya keras kepala kini malah meminta maaf. Untuk ketiga kalinya, Ryusei melihat ekspresi Tamaki. Sejak mereka masuk ke ruangan ini, dia memang terlihat tidak senang, tapi kini, dia tampak hampir meledak karena kesal.

 

"Hei, Tamaki. Siapa yang memberimu hak untuk bicara? Ini ruang Organisasi, dan aku adalah ketuanya. Artinya, sebagai gadis jurusan sains, kau sama sekali tidak punya hak bicara di sini."

 

"Diamlah. Tutup mulutmu yang kecil seperti hewan pengerat itu. Ah, maaf, apa anak-anak jurusan sastra tidak tahu apa itu 'hewan pengerat'? Mamalia kecil dengan gigi seri yang terus tumbuh, contohnya tikus dan tupai. Benar-benar mirip dirimu, Mizumune, yang punya mulut dan mental kecil."

 

Tamaki membalas ejekan Mizumune dengan kata-kata yang lebih tajam berkali-kali lipat.

 

Ryusei merasakan ada sesuatu yang aneh dalam pertukaran kata-kata mereka. Tapi sebelum dia bisa memikirkannya lebih jauh, dia memutuskan untuk mencoba meredakan ketegangan.

 

"Hei, tenanglah kalian berdua."

 

"Apa? Hanya karena sesama anak jurusan sastra, kau berpihak pada ketua Organisasi bodoh ini? Pada akhirnya, kau juga lebih menyukai jurusan sastra, ya?"

 

"Kau makin keras saja pada anak jurusan sastra hari ini. Kalau begini, bukankah kau sama saja dengan dia?"

 

"Jangan samakan aku dengan orang seperti ini."

 

Tamaki menunjuk Mizumune dengan tegas.

 

"Tamaki, apa kau tidak diajari untuk tidak menunjuk orang sejak kecil? Inilah alasan kenapa gadis jurusan sains begitu kasar."

 

"Tidak masalah. Aku juga tidak suka pria jurusan sastra yang lemah gemulai sepertimu."

 

"Apa?! Siapa yang lemah gemulai?"

 

"Kau, Mizumune. Tidak dengar?"

 

"Aku paling tidak suka disebut lemah gemulai setelah anak jurusan sains!"

 

"Oh, aku tahu itu. Karena itu aku sengaja mengatakannya, Tuan Lemah Gemulai Mizumune."

"KAU! Aku takkan pernah memaafkanmu! Dengan seluruh kewenanganku, aku tidak akan memberi satu yen pun untuk klub teater!"

 

Ryusei hanya bisa memegangi kepalanya.

 

(Jadi, untuk apa aku datang ke sini kalau akhirnya begini juga…)

 

Tepat saat dia mendesah lelah, tiba-tiba—

 

Brak!

 

Pintu ruang Organisasi terbuka dengan kasar.

 

Seorang gadis dengan ban lengan bertuliskan 'Wakil Ketua' masuk dan berjalan mendekati meja Mizumune, meletakkan selembar formulir permohonan dengan cap persetujuan di atasnya.

 

"Baiklah, Ketua. Aku sudah mendapatkan persetujuan dari guru yang bertanggung jawab atas permohonan klub teater yang diajukan sebelumnya."

 

"Apa…?! Wakil Ketua, kenapa kau bertindak tanpa seizinku?!"

 

Namun, mengabaikan Mizumune, Wakil Ketua Organisasi menoleh ke arah Ryusei dan Tamaki.

 

"Oh, kebetulan kalian ada di sini. Untuk perbaikan pintu, pihak sekolah telah menyetujuinya sebagai bagian dari anggaran fasilitas sekolah. Jadi, meskipun tidak dihitung sebagai peningkatan dana klub, permohonan kalian tetap disetujui."

 

Masih setengah bingung, Ryusei menjawab,

 

"Ah… Terima kasih banyak."

"Akan tetapi, sepertinya pihak kontraktor yang ditunjuk oleh sekolah sedang berada di musim sibuk, jadi jadwal perbaikannya akan diberitahukan nanti."


"Baik, jika jadwal pastinya sudah diputuskan, tolong beri tahu kami."

"Dimengerti. Mohon maaf atas ketidaknyamanan yang disebabkan oleh ketua  kami yang bodoh ini."

"Hei, Wakil Ketua! Bagaimana mungkin kamu yang baru saja datang bisa tahu kalau aku membuat masalah bagi klub teater?"

"Suara Ketua bocor sampai ke lorong. Silakan saja terjebak dalam dendam lama, tapi tolong jangan mempermalukan dewan Organisasi."

"Sok berkuasa, kamu juga dari jurusan sains, kan?"

"Sudah mengerti?"

"…………Ju, jurusan sains memang begini……"

"Sudah mengerti?"

"……Baiklah."

Wakil ketua tersenyum dan membungkuk ke arah Ryusei dan Tamaki.
Itu adalah tanda bahwa semuanya telah selesai.

Tampaknya ketua organisasi itu berada di bawah kendali wakil ketuanya.

 

 

"Kalau sejak awal kita meminta tolong ke wakil ketua, semua keribetan ini tidak perlu terjadi. Mulai sekarang kita lakukan itu saja."
"Ya, benar juga."

"Apa, kenapa nada bicaramu rendah begitu?"

Dalam perjalanan dari ruang dewan organisasi menuju ruang klub, Tamaki berbicara dengan nada tidak puas karena jawaban Ryusei terdengar dingin.

"Tidak ada apa-apa. Hanya lelah saja."


"Jangan terlalu murung hanya karena kau tidak berguna sebagai ketua klub."

"Yah, memang kenyataannya aku tidak berguna."

"Rasanya jadi tidak seru dan aneh. Sungguh, kau kenapa? Tidak enak badan?"

"Tidak, bukan karena itu…"

"Kalau begitu, apa?"

"……Kau, akrab dengan ketua dewan Organisasi?"

"Hah?"

Tamaki mengernyit mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu.

"Karena kalian saling memanggil nama depan. Paling tidak, berarti kalian sudah cukup mengenal satu sama lain, kan?"

"Kalau ditanya apakah aku mengenalnya atau tidak, ya, aku sangat mengenalnya."

"Jadi benar."

"Apa…? Jangan bilang kau cemburu?"

(Fufufu… ini kesempatan membalas kejadian pagi tadi.)

Tamaki menyeringai dan bertanya pada Ryusei.

"Ya. Sejujurnya, memang begitu."

"Eh!?"

Jawaban yang sama sekali tidak ia duga membuat wajah Tamaki mulai memanas.

Namun, berlawanan dengan panas di wajahnya, Ryusei tetap berbicara dengan nada datar.

"Kau selalu berusaha menjadi gadis pintar dan keren di depan orang lain, kan?"

"Aku tidak berpura-pura. Dasar kasar."

"Tapi, hanya di depanku kau bersikap buruk, mengeluarkan kata-kata kasar, dan jauh dari kesan keren."

"Benar-benar kasar. Menyebalkan."

"Aku pikir, itu artinya kau melihatku sebagai seseorang yang setara, sampai bisa menunjukkan sisi asli dirimu. Sebagai sesama peringkat satu dari jurusan masing-masing, sebagai rival yang terus mengejar posisi tertinggi. Aku juga menganggapmu sebagai satu-satunya rival. Tapi ternyata, aku bukan satu-satunya orang yang bisa melihat sisi aslimu."

"Jadi, itu sebabnya kau murung? Bodoh sekali."

Tamaki berkata dengan nada setengah kesal dan setengah senang.

"Fuh, aku memang pria seperti ini. Penulis itu, entah Dazai atau Souseki, semuanya punya mental yang rapuh. Silakan saja menertawakanku."

"Sejak kapan kau jadi penulis? Kau itu cuma anak SMA biasa. Lagipula, aku tidak tertawa. Dia hanya teman masa kecilku, tak lebih."

"Teman masa kecil?"

"Benar. Kami sudah satu sekolah sejak SD. Sejak dulu dia selalu menjadikanku saingan. Dia itu sebenarnya cukup serba bisa. Bisa naik sepeda lebih dulu dariku, bisa berenang 25 meter lebih dulu dariku, mendapat nilai lebih tinggi di tes lebih sering dariku, dan setiap kali begitu, dia selalu menyombongkan diri."

"Ugh. Itu pasti menyebalkan."

"Benar, kan? Tapi satu-satunya hal yang dia tidak pernah bisa kalahkan dariku adalah nilai pelajaran sains. Meskipun nilai totalnya lebih tinggi, di bagian itu dia tidak pernah sekalipun melampaui nilaiku. Sepertinya dia sangat minder karenanya."

"Itu sebabnya dia sangat membenci jurusan sains, ya?"

"Padahal begitu, dia memilih masuk jurusan sastra hanya karena di sana dia pasti bisa menang dariku. Memilih jurusan hanya karena alasan seperti itu, sebagai teman masa kecil, aku malah khawatir padanya."

"Begitu ya… Jadi dia teman masa kecilmu."

"Itulah sebabnya… aku bisa bersikap seperti ini padanya karena hubungan kami memang seperti itu… berbeda dengan hubunganku denganmu."

"Syukurlah kalau begitu."

Senyum yang muncul di wajah Ryusei saat mengatakan itu membuat wajah Tamaki semakin panas.

(Apa-apaan ini, tiba-tiba saja…)

"Jujur saja, kau juga tidak bersikap sama terhadap orang lain dan kepadaku, kan?"

"Aku hanya berusaha menjadi pria yang pantas sebagai peringkat satu jurusan sastra. Tapi di depanmu, aku tidak perlu berpura-pura. Ini adalah diriku yang sebenarnya."

"Begitu, ya."

(Sungguh, apa maksudnya ini? Kalau dia bilang begitu…)

"Ah, tapi aku juga bersikap seperti ini pada Ruri."

"Hah? Ruri?"

"Itu loh, gadis yang duduk di depan tadi pagi."

"Jangan bilang… kau masih mau membahas yang tadi pagi? Menyebalkan sekali."

"Tidak, bukan itu. Ruri juga teman masa—"

"……Apa? Kau masih mau membahas ini? Berisik sekali. Menyebalkan."

"Tidak, kau salah paham. Aku cuma ingin bilang Ruri juga—"

"Diamlah. Juga, kau jalannya lambat sekali. Aku duluan."

Setelah berkata begitu, Tamaki meninggalkan Ryusei dan melangkah cepat menyusuri lorong.

Konon, suara langkah kakinya bergema sampai ke lantai bawah.














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !