Rikei Kanojo to Bunkei Kareshi, Saki ni Kokuttahou ga Make Chapter 4

Ndrii
0

Take 4

Pesta Teh




"Hiroo-kun… aku suka kamu."

"…!"

"Hei, Hiroo-kun. Kamu mengerti kan, maksud dari kata 'suka' yang aku ucapkan ini?"

"A-a… maksudnya…"

"Ya. Katakan dari mulutmu sendiri. Perasaan sebenarnya dariku…"

 

Angin musim gugur berhembus lembut melalui jendela ruang musik yang usang.

Seorang lelaki dan perempuan, masing-masing pemegang peringkat satu di jurusan sastra dan sains, saling bertatapan dengan ekspresi serius.

 

Nah…

Untuk menjelaskan bagaimana situasi ini terjadi, kita harus kembali ke kejadian sehari sebelumnya.

 

 

"Hiroo-kun, naskah apa ini?"

Di taman sekolah saat jam istirahat siang, Tamaki datang menghampiri Ryusei yang sedang membaca sendirian di bangku. Dia menunjukkan layar ponselnya sambil bertanya.

"Aku sedang membaca. Tanyakan nanti."

"Istirahat siang sendirian sambil baca buku? Kelihatan kayak nggak punya teman, lho."

"Tindakan adalah milik diri sendiri, kritik adalah milik orang lain. Itu kata-kata Katsu Kaishuu."

"Hah? Aku sama sekali nggak ngerti maksudmu. Kamu ini manusia kan? Bisa nggak pakai otak dan menjawab dengan lebih singkat?"

"Aku murni suka membaca. Selain itu, aku juga mempertimbangkan bagaimana seharusnya aku bertindak sebagai peringkat satu di jurusan sastra. Hasilnya, aku memilih membaca buku di taman sekolah saat jam istirahat siang. Jadi, mau jurusan sains yang kurang memiliki kepekaan seperti kamu berpikir apa pun, itu bukan urusanku. Tentu saja, aku nggak bilang semua anak sains nggak peka. Aku hanya menyindir perempuan kaku sepertimu."

"Kalau kamu mempertimbangkan cara bertindak, berarti kamu peduli dengan pandangan orang lain, kan? Itu namanya kontradiksi. Memang dasar anak sastra nggak logis."

"Berisik. Oke, oke, aku paham. Jadi, ada apa?"

"Itu tadi, naskah ini. Maksudnya apa?"

"Hm? Oh, itu. Karena nggak sempat dicetak, aku bagikan dalam bentuk teks. Harusnya pakai kertas lebih baik, ya?"

"Medianya terserah. Aku bicara soal isinya."

"Isinya? Naskah yang mana maksudmu?"

"Yang ini, nomor D-7. Judulnya 'Pesta Teh'."

Tamaki kembali mendekatkan ponselnya ke wajah Ryusei. Melihat interaksi mereka, siswa-siswa lain yang sedang makan siang di taman mulai berbisik-bisik.

"Baiklah, duduk di sampingku dulu. Nanti orang-orang curiga."

"Ya ampun, baiklah."

 

Memang, seorang gadis yang menodongkan ponsel ke seorang pria yang duduk bisa terlihat seperti pasangan yang sedang bertengkar karena ketahuan selingkuh.

Sebagai pasangan teater yang disegani, mereka harus tetap menjadi penyegar suasana dan jembatan antara jurusan sastra dan sains.
Itulah sebabnya mereka tak boleh terlihat sedang bertengkar.
Meskipun pada kenyataannya, keduanya memang selalu bertengkar.

 

"Kebetulan sekali. Aku juga ingin membicarakan naskah itu."

"Wah, pas banget. Aku ingin kamu menjelaskan ini dengan jelas."

"Sebagai pasangan pura-pura, hal yang paling harus kita perhatikan adalah saat berada di klub."

"Ya, benar. Soalnya waktu kita bersama paling banyak di sana."

"Hibi itu bahkan memuja kita seperti Adam dan Hawa. Jadi, kita akan mengadakan pesta teh di sana dan menanamkan di benak kedua junior itu bahwa kita adalah pasangan yang akrab. Kalau kita membuat kesan yang kuat di tahap awal, nantinya kalau ada sedikit kekurangan, itu masih bisa tertutupi."

 

"Aku paham logikanya. Kesan pertama memang penting. Tapi yang mengganjal bagiku itu soal 'pesta teh' itu. Apa maksudnya 'pesta teh'?"

"Ini adalah pertemuan untuk minum teh. Kita akan makan manisan bersama sambil minum teh, lalu bermain game untuk bersenang-senang. Ini juga bisa mempererat hubungan antaranggota klub, jadi seperti sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, bukan?"

 

"Klub kita ini klub teater, tahu? Kalau ini hari spesial seperti saat senior pensiun, masih bisa dimengerti. Tapi tidak ada klub yang melakukan hal di luar kegiatan klub saat latihan biasa."

 

"Hmph... inilah bedanya anak sains. Sudah kubilang berkali-kali, kalian harus lebih banyak terpapar karya kreatif dan mengasah kepekaan yang tidak bisa dijelaskan dengan rumus!"

 

"Hah? Aku tidak mengerti apa yang kau maksud."

 

Saat Tamaki yang kebingungan berkata demikian, Ryusei menyilangkan kakinya dan berbicara dengan percaya diri.

 

"Kau tahu kalau naskah pasangan pura-pura yang kutulis itu terinspirasi dari berbagai karya romansa, kan?"

 

"Aku tahu. Karena kau kurang pengalaman dalam cinta, kau tidak punya pilihan selain mengandalkan karya yang sudah ada."

 

"Kau juga kurang pengalaman dalam cinta. Selain itu, kau juga tidak tahu hal ini. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, ada tren besar dalam komedi romantis. Dan dalam sebagian besar karya itu, klub-klub di dalamnya selalu melakukan hal di luar kegiatan klub!"

 

"Eh, serius?"

 

"Malah, adegan di mana klub benar-benar melakukan aktivitas klub itu lebih jarang muncul!"

 

"Apa maksudnya itu!?"

"Dengan kata lain, jika kita berperan sebagai pasangan seperti dalam komedi romantis yang melakukan hal di luar kegiatan klub, maka hubungan kita akan terasa lebih meyakinkan."

 

"Tak masuk akal..."

 

Namun, Tamaki mulai merasa bisa menerimanya.

 

(Memang, kalau soal karya fiksi, laki-laki ini lebih tahu dariku. Jika tren dalam cerita romansa seperti itu, mungkin itu mencerminkan pandangan anak muda terhadap cinta.)

 

"Kalau tidak percaya, di ponselku ada buku elektronik berisi manga di mana klub melakukan hal di luar kegiatan klub. Mau baca?"

 

"Baiklah, aku sedikit tertarik."

 

"Bagus... Nih."

 

Ryusei membuka aplikasi buku digital dan menyerahkan ponselnya pada Tamaki.

 

Tamaki mulai membaca manga di layar ponsel yang diberikan padanya, menggulirnya perlahan.

 

Seperti yang dikatakan Ryusei, cerita dalam manga itu memang mirip dengan naskah yang ia tulis. Klubnya benar-benar tidak melakukan kegiatan klub. Namun...

 

"Ini... hanya ada perempuan? Kapan laki-lakinya muncul?"

 

"Di manga itu tidak ada satu pun laki-laki."

 

"Hah? Sama sekali tidak ada?"

 

"Ya, tidak ada satu pun."

 

"Kau tadi bilang ini komedi romantis, kan?"

 

"Ya, aku bilang begitu. Kebetulan saja manga ini khusus berisi karakter perempuan. Ada juga banyak karya yang menampilkan karakter laki-laki."

 

"Kalau begitu, ini tidak bisa dijadikan referensi!"

 

"Apa? Jadi kau, Tofukuji, menolak kisah cinta sesama perempuan? Pemikiranmu sudah ketinggalan zaman."

 

TLN : F*ck bYurik, Die b*tch saisaihwdiwbi&8747

 

"Bukan begitu! Aku tidak menolak, tapi... bahkan kalau ini cerita sesama perempuan, ini tidak terasa seperti kisah cinta. Memang mereka lebih dekat dari teman biasa, tapi bukankah ini lebih ke cerita slice-of-life?"

 

"Yuri itu soal bagaimana pembaca menafsirkannya. Jika kau merasa begitu, aku tidak akan membantah. Tapi bagiku, para gadis dalam cerita itu terlihat murni dan tulus."

 

"Entah kenapa, kau terdengar menjijikkan."

 

TLN : Gw setuju, Tamaki-chan

 

"Sepertinya ini pembahasan yang sulit untuk anak sains."

 

"Kurasa ini bukan soal sains atau sastra."

 

Dengan mengatakan itu, Tamaki mengembalikan ponsel pada Ryusei.

Ryusei menerimanya, lalu menutup buku saku yang sedang ia pegang, sebelum berkata,

"Pokoknya, kalau kita mengikuti naskahku, tidak akan ada masalah. Jadi, tenang saja."

 

"Uhm... yah, masih ada beberapa hal yang mengganjal, tapi setidaknya aku bisa mengerti lebih baik dibanding kesan awal. Lalu, kapan kita akan mengadakan pesta teh ini?"

 

"Hmm. Kata orang, lebih cepat lebih baik. Bagaimana kalau besok saja? Kau bisa menghafal dialog dalam satu malam, kan?"

 

"Ya, itu tidak masalah. Tapi bagaimana dengan perlengkapan untuk pesta teh? Teh, kue... lalu game juga."

 

"Aku yang akan menyiapkannya."

 

"Semuanya?"

 

"Ya, kenapa?"

 

Tamaki berpikir sejenak.

 

(Menyerahkan semuanya padanya terlalu pasif. Seakan-akan aku ini tidak berguna. Oh, tapi aku tahu toko kue yang enak! Itu toko terkenal di kalangan perempuan. Kalau aku membawanya, dia pasti akan terkesan dengan sisi femininku. Dia mengira aku hanya bisa berhitung? Salah besar! Bisa kubayangkan wajahnya memerah karena kagum saat tahu aku mengenal toko seperti itu.)

 

"Baiklah. Aku yang akan menyiapkan kue dan teh."

 

"Hm? Oke. Aku jadi merasa bersalah."

 

"Tidak apa-apa. Tapi, kau punya game yang bisa dimainkan berempat?"

 

"Ah, serahkan saja padaku."

Dengan ekspresi penuh percaya diri, Ryusei berkata dalam hati,

 

(Aku memang hanya tahu RPG dan visual novel, tapi adikku, Kousei, suka game multiplayer. Dia punya game yang sedang populer sekarang. Kalau aku meminjamnya, Tofukuji pasti akan terkejut melihat kalau aku tidak hanya tahu sastra dan sejarah, tapi juga mengikuti tren terbaru. Dia pasti akan kagum. Hehehe... Aku bisa membayangkan wajahnya yang sombong berubah takjub.)

 

Dan demikianlah, keesokan harinya, Klub Teater mengadakan pesta teh.

 

 

"Pesta teh? Kedengarannya menyenangkan, ya, Shien-chan."

 

"Iya. Tapi kenapa tiba-tiba?"

 

Dari balik pintu, terdengar suara para junior mereka. Di ruang musik lama, meja panjang dan kursi sudah ditata dalam bentuk L, semua sudah siap.

 

Ryusei memberi isyarat dengan matanya pada Tamaki.

 

(Ayo, lakukan sesuai naskah.)

 

(Aku tahu.)

 

Tatapan tajam menyertai jawaban yang kembali.

 

Di saat yang sama, pintu masuk terbuka.

"Terima kasih atas kerja kerasnya! Hibi Mimika, baru saja tiba! Shien-chan juga bersamaku!"

"Terima kasih atas kerja kerasnya, para senpai."

Dua orang junior dengan kepribadian bertolak belakang masuk—yang satu ceria dan bersemangat, sementara satunya tetap tenang dan dingin.

 

Tugas menyapa lebih dulu jatuh kepada Tamaki.

"Terima kasih atas kerja kerasnya, kalian berdua. Seperti yang sudah kusampaikan, hari ini kami telah menyiapkan teh, jadi silakan duduk."

 

Mendengar kata-kata penuh keramahan dari sang senior, kedua junior itu duduk dengan sedikit segan.

 

Setelah itu, Ryusei dan Tamaki duduk berdampingan.

Dengan alur yang mulus, Ryusei mulai menjelaskan maksud dari pertemuan teh ini.

 

"Sudah hampir setengah tahun sejak kalian bergabung dengan klub ini. Sesekali, ada baiknya kita mengadakan pertemuan seperti ini untuk mempererat hubungan. Dan juga..."

 

Ia melirik Tamaki dengan sedikit malu.

Tamaki membalas tatapan itu dengan senyum lembut dan melanjutkan pembicaraan menggantikan Ryusei.

 

Tentu saja, semua ini sesuai dengan skenario yang telah disiapkan.

 

"Sejak kami mulai berkencan, kurasa kalian berdua jadi lebih banyak menahan diri. Sebagai bentuk permintaan maaf, kami sudah menyiapkan berbagai hal untuk hari ini. Jadi, ayo kita bersenang-senang."

 

Terakhir, Ryusei dan Tamaki saling tersenyum cerah. Sampai di sini, semua berjalan dengan sempurna.

"Memang sih, kalau di klub yang cuma beranggotakan empat orang ini, dua seniornya tiba-tiba pacaran, pasti juniornya jadi canggung. Apalagi, belum lama ini kalian melakukan hal-hal cabul di ruang persiapan."

 

"Hei, Mimika, hentikan. Lihat, wajah para senior jadi tegang, kan?"

 

"Aah! Maaf, aku tidak bermaksud begitu! Aku sebenarnya mendukung pasangan teater sepenuh hati, kok! Jadi, sejak saat itu... apa kalian masih mencuri kesempatan buat bermesraan di ruang persiapan?"

 

"Berhenti. Lihat tuh, wajah mereka makin kaku."

 

"Hiii! Maaf!"

 

Melihat tingkah Mimika yang selalu cepat panik, Ryusei hanya bisa tersenyum kecut.

 

"Ngomong-ngomong, hal cabul apa di ruang persiapan itu?"

 

Shien menghidupkan kembali pembicaraan. Tentu saja, si pengecut aktif yang doyan gosip ini langsung semangat dan berkata,

 

"Minggu lalu, mereka diam-diam mencoba kostum berdua. Ketua klub bahkan membuat wakil ketua hanya mengenakan pakaian dalam... dan melakukan ini-itu..."

 

"Hibi, jangan mengatakan hal yang bisa menimbulkan kesalahpahaman."

 

"Hii! Maaf, Ketua!"

 

Setelah mendengar cerita Mimika, Shien tetap tak menunjukkan perubahan ekspresi.

 

"Ah, hanya sekadar mencoba kostum? Kalau mereka pasangan, bukankah itu hal yang wajar? Mimika, berhentilah menggoda mereka karena hal seperti itu."

 

"Seperti yang diharapkan dari Shien. Dewasa sekali."

 

Tamaki terlihat lega melihat reaksi tenang dari juniornya.

 

"Namun... kalian berdua sebaiknya lebih berhati-hati di ruang persiapan."

 

"Hati-hati? Maksudmu apa, Shien?"

 

Semua orang menatap Shien dengan penuh tanda tanya akibat perubahan topik yang tiba-tiba.

 

"Ini hanya sebatas rumor, tapi... katanya ada 'sesuatu' di sana."

 

Tamaki yang paling cepat bereaksi terhadap kata-kata itu.

 

"'Sesuatu' yang bagaimana?"

 

"Roh gadis yang bunuh diri di ruang persiapan."

 

"Roh gadis?"

 

Di samping Tamaki yang tetap tenang, Ryusei berkata,

 

"Tapi aku belum pernah mendengar rumor seperti itu dari para senior sebelumnya."

 

"Memang. Itu sebabnya, anggap saja ini sekadar cerita. Kabarnya, dulu ada perselisihan asmara di klub teater. Seorang gadis yang pacarnya direbut oleh anggota lain tak mampu menanggung sakit hatinya, lalu menggantung diri dengan tali yang ia ikat di rak ruang persiapan. Bisa jadi, para senior tahun lalu sengaja merahasiakan hal ini agar kalian tidak ketakutan."

 

"Tidak masuk akal."

 

Tamaki langsung menepisnya.

Saat perhatian semua orang tertuju kepadanya, Tamaki mulai memberikan penjelasannya.

 

"Sebagian besar fenomena supranatural bisa dijelaskan dengan plasma atau lucid dream."

 

"Aku pernah dengar sedikit soal plasma," kata Ryusei.

 

"Singkatnya, plasma adalah kondisi ketika molekul mengalami ionisasi. Kadang, cahaya yang dihasilkan plasma disalahartikan sebagai fenomena gaib. Tapi untuk menciptakan plasma, dibutuhkan energi yang besar. Aku lebih percaya kalau kebanyakan fenomena supranatural adalah lucid dream."

 

"Lucid dream? Yang bisa mengendalikan mimpi itu?"

 

"Tepatnya, itu adalah kondisi di mana seseorang bermimpi dalam keadaan setengah sadar. Coba bayangkan tidur siang. Sleep paralysis juga sebagian besar disebabkan oleh ini. Sederhananya, itu hanyalah halusinasi yang dibuat oleh otak berdasarkan ingatan. Jadi, tidak ada yang namanya hantu."

 

Dengan wajah tenang, Tamaki menjelaskan.

Ryusei menatapnya dalam diam dan berkata,

 

"Tofukuji."

 

"Apa?"

"Tanganmu gemetar banget."

 

"Hah?"

 

"Maksudku, lihat tuh. Karena tanganmu gemetar, meja ini sampai bergetar keras."

 

"Aku tidak mengerti maksudmu. Jangan-jangan, Hiroo-kun yang justru takut mendengar cerita Shien dan ingin mengalihkan topik? Baiklah, kalau begitu, bagaimana kalau kita lakukan upacara pengusiran setan? Meskipun aku sendiri tidak percaya hal yang tidak ilmiah seperti itu, tapi efek placebo itu ada. Kalau itu bisa membuat semua orang merasa lebih tenang, tak ada salahnya, kan? Aku akan mencari tempat pengusiran setan yang terkenal malam ini dan segera mendaftarkan kita. Tenang saja, aku akan menyelesaikannya secepat mungkin."

 

"Cepat sekali ngomongnya."

 

Tiba-tiba, di samping Tamaki yang masih berusaha mempertahankan ekspresi tenangnya, Shien berdiri tanpa diketahui sejak kapan.

 

"Yah, aku juga ingin masuk jurusan sains, jadi aku tidak percaya fenomena gaib."

 

"Benar, kan? Seperti yang diharapkan dari Shien, memang pintar."

 

"Tapi..."

 

Mendadak, Shien mencengkeram bahu Tamaki dengan kuat.

 

"Kalau kalian terus bermesraan di ruang klub, gadis itu akan marah... Lihat, sekarang pun dia sedang mengawasi dari ruang persiapan!!"

 

"Kyaaaaaaaa!!!"

Tamaki menjerit dan langsung memeluk Ryusei.

 

"Tenang, Tofukuji! I-itu pasti cerita bohong!"

"Ya, seperti yang dikatakan Ketua Hiroo, ini hanya cerita bohong dariku. Aku puas bisa melihat Tamaki-senpai ketakutan."

"Tch, apa-apaan sih, Shien?"

"Shien-chan, aku takut~"

"Arisaki, tolong jangan begitu. Lihat tuh, wajah Tofukuji sampai pucat."

"A-aku cuma kaget karena suaranya saja!"

"Maaf sudah mengejutkanmu. Tapi, sampai kapan Tamaki-senpai mau terus memeluk Ketua Hiroo?"

"Ah… maaf!"

 

Dengan wajah memerah, Tamaki segera menjauh dari Ryusei.

 

"O-ooh…"

 

Ryusei pun menjawab dengan sedikit malu. Melihat mereka berdua, Shien tersenyum sinis.

 

"Sungguh akrab sekali, ya. Kuharap memang benar ini hanya cerita bohong…"

 

Semua orang tersenyum kecut. Untuk mengubah suasana canggung, Ryusei diam-diam menyentuh lengan Tamaki di bawah meja, memberikan isyarat agar mereka kembali ke naskah.

Tamaki pun segera memahami maksudnya.

"J-jadi, bagaimana kalau kita membuat teh? Aku juga sudah membeli kue."

"Ah, benar juga. Aku yang akan menyeduh tehnya, jadi, Tofukuji, tolong siapkan kuenya."

 

Saat keduanya berdiri, Shien berkata,

 

"Tamaki-senpai, aku akan membantu."

"Tidak apa-apa, Shien. Biar kami saja yang mengurusnya."

"Ah, begitu. Rupanya aku lancang, ya."

 

Mungkin menyadari bahwa ini adalah momen kerja sama antara Tamaki dan Ryusei, Shien pun menutup mulutnya.

 

Bagaimanapun juga, aksi menunjukkan keakraban antara Ryusei dan Tamaki tampaknya cukup efektif.

 

Ryusei mulai menyusun cangkir teh yang sudah disiapkannya dan menuangkan teh ke dalamnya. Sementara itu, Tamaki kembali ke meja dengan membawa piring kertas dan kotak kue berwarna putih.

Melihat kotak kue itu, Mimika langsung bersinar.

 

"Ah, ini dari toko yang terkenal dengan kue yang super enak!"

 

Mendengar reaksi Mimika, Ryusei tanpa sadar mengeluarkan komentar di luar naskah.

 

"Oh, begitu ya?"

 

Tamaki tidak melewatkan kata-kata itu. Ia pun membalikkan badan dan mengepalkan tangan dengan penuh semangat.

(Yes! Hiroo-kun, ekspresi kagummu terlalu jelas. Kau terlalu cepat terpikat oleh seleraku, bukan?)

 

Dengan senyum puas, Tamaki berbalik dan membuka kotak kuenya.

Di dalamnya, terdapat empat potong kue shortcake berwarna putih bersih. Kini giliran Ryusei untuk berimprovisasi dan bereaksi terhadap kue itu.

 

(Nah, kira-kira bagaimana reaksimu? Kalau terlalu berlebihan memuji, justru para junior bisa curiga, jadi tolong yang wajar saja, ya. Fufufu.)

 

Sementara Mimika dan Shien menatap kue itu dengan mata berbinar dan berseru "kelihatannya enak!", Ryusei akhirnya selesai menuangkan teh untuk semua orang dan ikut melihat isi kotak kue.

 

Tamaki menunggu kata-kata Ryusei.

 

Menunggu.

 

(Hmm…?)

 

Tapi reaksinya terlalu lama.

 

Merasa ada yang aneh, Tamaki melirik ke arah Ryusei. Ryusei berdiri sambil memegang teko teh, memasang ekspresi muram sambil menatapnya.

 

Kemudian, setelah berdeham, ia berkata,

 

"Tofukuji, sebentar."

 

Tamaki, yang tidak bisa memahami situasinya, mengikuti Ryusei yang beranjak membereskan teko teh. Saat mereka sudah cukup jauh dari para junior agar suara mereka tidak terdengar, Tamaki bertanya,

"Apa? Mana reaksimu? Bukankah ini improvisasi?"

"Kau… sudah baca naskahnya dengan benar?"

"Tentu saja."

"Dalam naskah, aku yang membuka kotak kue. Setelah itu, kau yang bereaksi mengatakan ‘kelihatannya enak’, lalu kita semua bercakap-cakap sejenak memilih kue."

"Ya, benar. Karena itulah bagian itu ditulis secara abstrak sebagai ‘bercakap-cakap’ agar bisa fleksibel tergantung reaksi Hibi dan Shien, bukan?"

"Tepat."

"Lalu kenapa? Yang berubah hanya bagian siapa yang membuka kotak kue. Justru dengan perubahan ini, improvisasi reaksinya menjadi bagianmu, kan? Kenapa malah bengong?"

"Kita tidak bisa memilih kue."

"Hah?"

"Kalau semua kuenya shortcake, bagaimana kita bisa bercakap-cakap memilih kue?"

"… Hah?"

"Kau sengaja mencoba membuatku kesal, ya? Biasanya, dalam situasi seperti ini, harusnya ada shortcake, kue cokelat, cheesecake, dan mont blanc, supaya semua orang bisa memilih sesuai selera mereka."

"Hei, hei, hei. Apa-apaan pemikiran tidak efisien itu?"

"Tidak efisien?"

"Dengar, aku sengaja memilih semua shortcake. Kalau kuenya berbeda, nanti pasti ada yang menginginkan kue yang sama, lalu akan muncul rasa sungkan atau perselisihan kecil. Daripada membuang waktu karena itu, lebih baik semuanya sama, biar adil dan efisien."

"Justru perselisihan kecil itu yang kita butuhkan!"

"Hah? Apa kau sudah gila?"

"Kau yang aneh. Kalau ada berbagai macam kue, orang-orang bisa berkata, ‘Aku suka yang ini’, ‘Aku mau yang itu’, lalu kalau ada yang menginginkan kue yang sama, mereka bisa bilang, ‘Kalau begitu kita suit saja!’, ‘Aku tidak mau kalah!’. Itu semua adalah bagian dari interaksi sosial!"

"Astaga, interaksi macam anak SD. Menyusahkan sekali hanya karena memilih kue."

"Kau tidak punya sedikit pun rasa estetika, ya? Kue mungkin hal kecil, tapi justru dari hal kecil inilah komunikasi berkembang. Dengan memilih kue, kita bisa tahu, ‘Oh, Hibi suka cokelat, ya’, atau ‘Oh, Arisaki ternyata suka stroberi, manis juga orangnya’. Ini semua tentang mengenal satu sama lain."

"Umumnya, anak perempuan suka shortcake, kok."

"Bukan itu maksudku!"

 

Tanpa sadar, suara Ryusei yang menimpali menjadi lebih keras, membuat para junior menoleh.

 

"Ada apa, Ketua? Apa kalian bertengkar?"

"Tidak, tidak ada apa-apa. Kami tidak mungkin bertengkar, bukan? Ya kan, Tofukuji?"

 

"Ya, benar. Kami ini akrab, kok."

 

"Kalau begitu, syukurlah."

 

Mimika yang tampak lega kembali menghadap ke depan dan menusukkan garpunya ke kue. Sementara itu, dibandingkan Mimika, Shien terlihat menatap mereka beberapa detik lebih lama sebelum akhirnya kembali menghadap ke depan.

 

"Hiroo-kun, hati-hati sedikit, dong."

 

"Yang ngomong siapa, coba."

 

"Yah, sudahlah. Aku mengerti pendapatmu, tapi kue ini sudah terlanjur dibeli. Tidak ada gunanya memperdebatkan ini lebih lama. Ayo lanjut ke bagian selanjutnya."

 

"Kau ini... Ya sudahlah, ayo kembali."

 

Ryusei pun kembali ke tempat duduknya. Melihat punggungnya, Tamaki menjulurkan lidah.

 

(Hmph, dasar bodoh. Setidaknya berikan sedikit pujian!)

 

Dengan wajah sedikit kesal, Tamaki juga kembali ke tempat duduknya.

 

 

"Ngomong-ngomong, Hibi, kenapa kamu masuk klub teater?"

 

Sambil menyantap shortcake yang dibawakan Tamaki, Ryusei mengikuti naskah dan bertanya kepada Mimika.

 

"Karena aku suka panggung, jadi aku ingin mencobanya sendiri."

 

"Oh, begitu. Panggung seperti apa yang biasanya kamu tonton?"

 

"Kebanyakan musikal 2.5D. Singkatnya, adaptasi teater dari anime dan sejenisnya."

 

"Ah, aku pernah dengar sedikit tentang itu."

 

Sambil menyeruput teh di sebelah Ryusei, Tamaki ikut berbicara.

 

"Alasan yang indah."

 

Sebenarnya, apapun alasan yang dikatakan Mimika, kalimat itu memang sudah ada dalam naskah. Lalu, Tamaki melanjutkan dialog sesuai skenario.

 

"Bagaimana dengan Shien? Kenapa kamu masuk klub teater?"

 

"Karena ada Tamaki-senpai."

 

"Sudah kuduga."

 

Meskipun Ryusei sendiri yang menulis naskah ini, ia mulai merasa dialog ini terlalu repetitif. Namun, dengan rasa penasaran yang tulus, ia bertanya kepada Shien secara improvisasi.

 

"Sejak kapan kau jadi pengikut setia Tofukuji?"

 

"Sejak SMP. Kami berasal dari sekolah yang sama. Oh, dan aku menyukai wajah Tamaki-senpai."

 

"Shien, pasti ada alasan lain selain wajah, kan?"

 

"Tidak, dasarnya aku suka wajahnya."

 

"Kamu ini..."

 

Mimika pun ikut bergabung dalam percakapan.

 

"Banyak penggemar kalian berdua, lho. Aku juga termasuk salah satunya, tapi aku lebih suka mendukung kalian sebagai pasangan. Jadi, tolong jangan putus, ya."

 

Mengatakan "jangan putus" pada pasangan yang baru jadian rasanya kurang beretika, tapi mengingat Mimika memang orang yang unik, Ryusei merasa percuma untuk mempermasalahkannya. Ia pun memutuskan untuk melanjutkan dialognya.

 

"Kalau begitu, kenapa Tofukuji masuk klub teater?"

 

"Aku sudah bilang sebelumnya, itu rahasia."

 

"Haha, dasar licik."

 

"Lalu bagaimana denganmu, Hiroo-kun? Kenapa masuk klub teater?"

 

"Karena aku mendengar rumor bahwa Tofukuji akan masuk ke klub teater."

 

"Duh, kamu ini pintar merayu."

 

"Tapi aku serius."

 

"Hmph... Dasar bodoh. Aku juga, sebenarnya aku masuk klub teater karena mendengar rumor bahwa Hiroo-kun tertarik pada teater."

 

"Hahaha, jadi kita berdua masuk karena rumor satu sama lain."

 

"Fufufu, sepertinya begitu."

 

Doyaaan!

 

Keduanya memandang para junior dengan ekspresi bangga.

Tentu saja, itu bohong.

 

Faktanya, Ryusei hanya ingin belajar menulis naskah, sedangkan Tamaki masuk klub karena diajak temannya. Sayangnya, temannya itu keluar lebih awal karena merasa klub ini "berbeda dari yang dibayangkan."

 

Namun, karena Tamaki adalah seorang gadis cantik yang terkenal, para senior di klub teater begitu senang dan memperlakukannya dengan sangat baik. Hal itu membuatnya merasa tidak enak hati untuk keluar dari klub, dan akhirnya bertahan sampai sekarang.

 

(Yah, setidaknya aku sekarang bisa berakting dengan sempurna, jadi keputusanku bergabung dengan klub ini tidak sia-sia.)

 

Kepercayaan diri Tamaki bukanlah kesombongan belaka. Faktanya, efek dari aktingnya memang luar biasa.

 

"Huwaa~ Keren banget! Jadi sejak dulu kalian sudah saling memperhatikan, lalu akhirnya berjodoh..."

 

"Fufufu, Hibi-san, kalau kau mengatakannya secara langsung seperti itu, aku jadi malu."

 

"Maaf, aku hanya terlalu terbawa suasana. Aku benar-benar bersyukur masuk klub teater."

 

Naskah yang mereka susun tampaknya berhasil memberikan kesan yang diinginkan.

 

Melihat acara minum teh berjalan sesuai rencana, Ryusei merasa lega dan mengangkat cangkir tehnya untuk menyeruput minuman itu.

 

Namun, saat itu juga—

 

Ia merasakan tatapan tajam yang menusuk.

 

Refleks, Ryusei langsung menoleh ke arah sumber tatapan tersebut.

Arisaki Shien.

 

Shien menatapnya dengan sorot mata layaknya seekor serigala yang sedang mengincar mangsa. Begitu tatapan mereka bertemu, Shien mengangkat ujung bibirnya dan tersenyum tipis.

 

(Arisaki… Dia ini pengikut setia Tofukuji. Apa dia menyimpan kebencian karena aku sekarang pacaran dengan Tofukuji? Tidak… Shien memang sulit ditebak. Bisa saja aku hanya terlalu banyak berpikir.)

 

Sementara itu, Tamaki menyentuh lengan Ryusei dengan sikunya sebagai isyarat.

 

(Oh, benar. Kita harus segera beralih ke acara berikutnya.)

 

"Baiklah, kalau begitu demi mempererat keakraban, bagaimana kalau kita main game bersama?"

 

Ryusei berdiri, lalu pergi mengambil kantong kertas yang diletakkannya di sudut ruang klub.

 

"Ketua, game apa yang akan kita mainkan?"

 

Mimika bertanya, dan saat Ryusei kembali dengan kantong kertas di tangannya, dia mengeluarkan sebuah konsol game dari dalamnya lalu berkata:

 

"Ini dia. Hammer Tone! Game pertarungan terbaru dari Yontendo, di mana pemain memperluas wilayahnya dengan menghantam tanah menggunakan palu."

 

Ryusei menunjukkan Yontendo Change, konsol yang ia pinjam dari adiknya, kepada semua orang.

 

Dengan ini, suasana akan menjadi meriah dan hubungan antaranggota klub teater akan semakin erat. Bahkan Tamaki akan semakin menghargainya karena ternyata dia cukup mengikuti tren.

 

Ini adalah rencana yang sempurna.

 

Dengan keyakinan itu, Ryusei menunggu reaksi mereka... tapi suara respons yang diharapkannya tak kunjung terdengar. Ryusei pun menatap wajah para anggota klub sekali lagi.

 

Semua orang tampak terkejut.

 

(Aneh. Reaksinya berbeda dari yang aku bayangkan...)

 

Lalu, Tamaki tiba-tiba menggenggam lengan Ryusei dengan erat dan menariknya.

 

"Hiroo-kun, sebentar."

 

Ryusei hanya bisa pasrah saat Tamaki menyeretnya ke sudut ruangan.

 

"Kamu nggak ngerti soal game, ya?"

 

"Apa yang kau katakan? Aku tahu, makanya aku bisa menemukan game terbaru ini."

 

"...Kamu baru mencarinya di internet tadi malam, ya? Atau jangan-jangan kamu hanya meminjam konsol ini dari seseorang karena mendengar rekomendasi mereka?"

 

"A-apa maksudmu? Bicara yang jelas."

 

"Game ini cuma bisa dimainkan sendirian."

 

"Hahaha. Justru kamulah yang nggak tahu soal game. Ini adalah game pertarungan, tahu?"

 

"Dengar, game pertarungan zaman sekarang lebih banyak dimainkan secara online. Game ini pun berbasis online, jadi hanya satu orang yang bisa memainkannya di konsol yang sama."

 

"Itu nggak mungkin...! T-tapi pasti ada mode pertarungan offline, kan? Seperti di game-game zaman dulu. Aku bahkan sudah membeli kontroler tambahan untuk semua orang."

 

"Tidak ada."

 

"Nggak mungkin. Kalau begitu, bagaimana caranya bermain bersama teman di dunia nyata?"

 

"Kamu bisa main bersama lewat private match. Kamu harus membuat ruang permainan, lalu pemain lain bergabung dengan akun mereka masing-masing. Artinya, kalau kamu mau kita semua bermain bersama, yang seharusnya kamu sediakan bukanlah kontroler tambahan, melainkan konsol yang cukup untuk semua orang."

 

"Itu..."

 

"Sejujurnya, aku mengira kamu akan membawa board game atau permainan kartu, bukan game konsol."

 

Ryusei terlalu terpukul oleh fakta itu hingga tak bisa berkata-kata.

Lebih buruk lagi, orang yang ingin ia pameri sebagai seseorang yang paham tren game—Tamaki—ternyata jauh lebih mengerti darinya.

 

Kalau dipikir-pikir, kelas IPA memang lebih peka terhadap topik seperti ini. Mungkin karena obrolan semacam itu sering terdengar di kelas.

 

"Memalukan... Apa ada cara untuk memperbaiki kesalahanku ini?"

 

"Dasar nggak mau menyerah. Sudahlah, terima nasibmu."

 

"Ketua Hiroo, aku punya usul."

 

Shien tiba-tiba angkat bicara.

 

"Uwah!"

"Kya!"

 

Ryusei dan Tamaki berseru bersamaan.

 

"Arisaki, sejak kapan kau di sini?"

 

"Aku baru saja datang, tapi melihat Ketua mengangkat konsol game yang bahkan tidak bisa digunakan itu, aku sudah bisa menebak apa yang sedang kalian bicarakan."

 

"Kata-katamu kasar sekali."

 

"Sudahlah. Sebagai gantinya, aku akan mengusulkan permainan yang bisa langsung kita mainkan hanya dengan kertas dan pena, serta sangat cocok untuk klub teater."

 

"Permainan yang cocok untuk klub teater?"

 

 

"Ya. Namanya 'Haaって言うゲーム' (Permainan 'Haa')."

 

 

 

'Permainan "Haa"' adalah permainan pesta di mana pemain harus menampilkan ekspresi dan intonasi sesuai dengan tema yang diberikan, lalu anggota lainnya harus menebak dengan benar untuk mendapatkan poin. Sesuai dengan nama lainnya, 'Best Act,' permainan ini mengutamakan kemampuan akting.

 

Karena mereka adalah anggota klub teater, permainan ini dianggap cocok untuk dimainkan sekarang.

 

Keempatnya pun duduk mengelilingi meja yang telah ditata dengan kartu buatan sendiri.

 

"Sebenarnya, game ini dimainkan dengan kartu khusus yang sudah diproduksi. Tapi, berhubung seseorang di sini tidak berguna, kita tidak punya persiapan seperti itu, jadi kali ini kita pakai kertas dan pena sebagai pengganti."

 

"Arisaki, yang kamu maksud 'tidak berguna' itu aku, kan?"

 

"Aturannya sederhana. Misalnya, dalam kertas ini ada tema kata 'Haa.' Kata ini kemudian dibagi menjadi delapan jenis ekspresi dari A sampai H."

 

Shien menunjukkan kartu buatan tangan yang terbuat dari sobekan buku catatan.

 

A "Haa" sebagai jawaban
B
"Haa" untuk bertanya ulang
C
"Haa" sebagai desahan
D
"Haa" saat terpesona
E
"Haa" karena kecewa
F
"Haa" karena terkejut
G
"Haa" karena sedih
H
"Haa" saat menginterogasi

 

"Pemain yang bertugas berakting akan mendapatkan kartu dengan huruf tertentu, lalu harus menampilkan ekspresi yang sesuai. Misalnya, jika mendapat kartu E "Haa" karena kecewa, maka dia harus melakukan iniHaa..."

 

"Hei, Tofukuji. Barusan dia menatapku saat mengucapkannya, kan? Dia pasti maksudnya aku yang nggak berguna, kan?"

 

"Dengar baik-baik aturannya dulu."

 

"...Baik."

 

Saat Ryusei ditegur oleh Tamaki, Shien melanjutkan penjelasannya.

 

"Para anggota lainnya akan menjadi penjawab dan harus menebak topik mana yang sedang diperankan oleh aktor. Setiap orang yang menebak dengan benar mendapatkan 1 poin, dan aktor akan mendapatkan poin sebanyak jumlah orang yang berhasil menebak dengan benar. Setelah semua orang mendapat giliran sebagai aktor, orang dengan total poin terbanyak akan menjadi pemenangnya."

 

Setelah menjelaskan aturan secara keseluruhan, permainan pun dimulai.
Aktor pertama adalah Mimika. Kata tema yang harus diperankannya adalah "Bukan begitu."

 

"Bukan begitu!"

 

Mimika langsung memerankan kata tersebut dengan suara yang cukup kuat dan penuh tekanan.

Ryusei dan Tamaki memilih B, yaitu Penolakan "Bukan begitu" sebagai jawaban mereka.

Sementara itu, Shien satu-satunya yang memilih D, yaitu Mengelak "Bukan begitu".

 

"Uuuh... Jawaban yang benar adalah D... Sepertinya kemampuan aktingku masih kurang..."

 

Mimika tampak kecewa karena hanya satu orang yang bisa menebak dengan benar.

 

"Eh, jangan terlalu dipikirkan, Hibi. Ternyata menebak ini lebih sulit dari yang aku kira."

 

"Benar juga. Dalam permainan ini, bukan hanya kemampuan akting yang diuji, tapi juga kejelian para penjawab. Dalam hal ini, Shien memang mengenal Hibi-san dengan baik."

 

"Akting Mimika punya kebiasaan tertentu, jadi aku bisa menebaknya dengan cukup mudah."

 

"Ehhehe~ Shien-chan memang selalu memperhatikanku ya~"

 

"Ya, ya. Sekarang giliranku."

 

Shien mengabaikan kata-kata Mimika sambil mengambil kartu akting.

Kata tema kali ini adalah "Akan kubunuh kamu."

 

"Kenapa ada kata yang begitu menyeramkan jadi tema permainan ini?!"

 

Ryusei spontan berkomentar, tapi—

 

"Ini karena seseorang tidak berguna, jadi aku harus langsung membuat tema secara improvisasi."

 

"Ugh... Kalau itu alasannya, aku tidak bisa membantah..."

 

"Lagipula, kalau dipikir-pikir, kalimat ini cukup sering muncul dalam berbagai genre. Misalnya di film horor, thriller psikologis, suspense, bahkan misteri."

 

"Yah... aku tidak bisa menyangkal itu."

 

"Baiklah, aku mulai sekarang."

 

 

"──Akan kubunuh kamu."

 

 

Semua orang langsung merinding.

Bukan sekadar ketakutan biasa, tapi ada kegilaan yang terasa dalam nada suaranya—keheningan yang begitu dingin, tanpa emosi sedikit pun.



"Ini..."

 

Ketiga peserta serempak mengangkat nomor C—“Akan kubunuh” psikopat.

 

Begitu semua jawaban terkumpul, Shien melonggarkan ekspresinya dan berkata,

"Ya, benar."

 

"Arisaki... Aku cuma memastikan, tapi itu memang akting, kan?"

"Tentu saja. Apa kau ingin mengatakan aku ini psikopat sungguhan? Akan kubunuh."

"Itu jelas bukan akting, kan?!"

 

"Baiklah, karena semuanya benar, masing-masing mendapat satu poin."

 

Karena ada tiga orang yang menjawab benar, Shien mendapatkan tiga poin tambahan.

 

Saat babak pertama berakhir, Shien memimpin dengan 4 poin, disusul Mimika dengan 2 poin, sedangkan Ryusei dan Tamaki masing-masing 1 poin.

 

Sambil melihat tabel skor yang ditulis di secarik kertas, Tamaki berkomentar.

 

"Oh, berarti Shien sudah pasti menang."

 

"Eh? Tapi selisih poin kami cuma dua, lho?"

 

"Game ini memberikan poin lebih banyak bagi aktor, jadi kalau mau mengejar harus memanfaatkannya di sana. Maksimal poin yang bisa kau dapat dari sini adalah dua, jadi paling bagus kau hanya bisa menyamai Shien dengan 4 poin. Aku dan Hiroo-kun juga sama, paling tinggi pun hanya bisa imbang dengannya."

 

"Wah, hebat, Wakil Ketua. Kau cepat sekali menghitungnya."

 

"Jadi sekarang tergantung bagaimana kami bertiga mengejar ketertinggalan dari Shien."

 

"Uuh, setidaknya aku harus berusaha agar tidak jadi yang terakhir!"

 

Dengan tekad Mimika, babak kedua pun dimulai.

 

Aktor ketiga adalah Tamaki.

Temanya adalah "Suka".

 

Ada delapan pilihan jawaban:

 

A “Bukan berarti aku menyukaimu atau apa, ya! Tapi sebenarnya... aku suka”

B “Aduh, itulah yang membuatku suka padamu”

C “Aku sukaaaaa sekali padamu!”

D “Tentu saja, kau yang paling kusuka”

E “Harusnya kau bilang begitu... 'suka'”

F “Aku ingin mendengarnya darimu... 'suka'”

G “Hei... kau suka aku?”

H “Iya, aku juga suka”

 

Tamaki menatap Shien dengan tajam.

 

"Ada apa, Tamaki-senpai? Kenapa menatapku seperti itu?"

 

"Shien, kau yang menentukan tema dan jawabannya, kan? Sepertinya cuma bagianku yang terasa beda, ya?"

"Apa yang kau bicarakan? 'Suka' adalah salah satu tema resmi dalam versi final game ini, lho."

 

"…Lalu jawabannya?"

 

"Sudah aku modifikasi sedikit."

 

"Nah, kan!"

 

"Kalau begitu, silakan pilih kartu aktor."

 

"Jangan alihkan pembicaraan! Aku menolak!"

 

"Haa... baiklah, kalau begitu ini versi yang lebih standar."

 

"Ternyata kau memang sudah menyiapkannya dari awal! Berikan saja yang ini sejak tadi!"

 

A “'Suka' yang palsu”

B “'Suka' untuk makanan”

C “'Suka' kepada teman”

D “'Suka' ala tsundere”

E “'Suka' sebagai basa-basi”

F “'Suka' dalam hubungan pasangan

G “'Suka' dengan nada cuek”

H “'Suka' yang sesungguhnya”

 

"Memang ada sedikit modifikasi di sini juga, tapi ini sudah dibuat lebih serius."

 

"Kau mengakuinya dengan santai sekali, ya?"

 

Dengan terpaksa, Tamaki mengambil kartu aktor. Setelah mengecek huruf yang tertera, ia melirik ke arah Ryusei.

Ryusei sadar bahwa Tamaki sedang melihatnya. Namun, ia tidak tahu apa maksud tatapan itu.

 

(Sepertinya Tofukuji melirik ke arahku sebentar tadi... Apa itu kode? Tapi, sejak awal game ini tidak punya naskah. Mungkin cuma perasaanku saja...?)

 

Tentu saja itu bukan sekadar perasaan. Tamaki dengan sengaja melakukannya sambil merencanakan sesuatu dalam pikirannya.

 

(Jawaban ini... Mungkin ini kesempatan yang bagus untuk merendahkan Hiroo-kun. Selama ini dia selalu sok tahu soal tren percintaan zaman sekarang... Aku akan mempermalukannya!)

 

"Hiroo-kun, kau pasti bisa menebak jawabannya, kan? Karena kau adalah pacar yang selalu membimbingku. Kau pasti bisa membaca maksud sebenarnya dari kata 'suka' yang kuucapkan, kan?"

 

"Eh... A-Ah, tentu saja."

 

Ryusei langsung berpikir cepat.

 

(Sial, dia sengaja menciptakan situasi di mana aku harus berperan sebagai pacar yang baik di depan para junior, lalu menekan aku dengan tantangan ini. Dia ingin sengaja membuatku salah tebak agar aku malu! Ini benar-benar kebalikan dari tujuan utama game ini... Sejauh itukah keinginannya untuk mengalahkanku? Dasar perempuan tak imut!)

 

(Fufufu... Kau sudah bilang 'tentu saja' di depan mereka, ya. Sekarang kau tidak bisa lari, Hiroo-kun.)

 

Tamaki memasukkan kartu aktornya ke dalam saku dada, lalu bersiap untuk berakting.

 

"Hiroo-kun──suka."

 

"......!"

 

"Hei, Hiroo-kun. Kau tahu kan, apa arti dari kata 'suka' yang kuucapkan barusan?"

 

"A-arti..."

 

"Ya. Katakan dengan mulutmu sendiri. Apa yang sebenarnya aku rasakan..."

 

Ryusei menggigit bibirnya.

 

(Dasar Tofukuji... Dia sengaja menyebut namaku! Itu melanggar aturan, kan?!)

 

Melihat keadaan Ryusei yang kebingungan, Tamaki menahan senyumnya.


(Dia sedang bingung, dia sedang bingung. Kalau memang benar pacarku yang paham tentang cinta, dia pasti bisa menebaknya dengan mudah, kan?)

 

Ryusei terus menggigit bibirnya, berusaha mencari petunjuk dari ekspresi Tamaki. Namun, ketenangan ada di pihak Tamaki. Dalam situasi seperti itu, tak ada informasi yang bisa didapat.

(Sial... aku tidak tahu. Jika aku membaca aktingnya sesuai aturan permainan, jawabannya adalah F"Suka" dalam hubungan pasangan... atau mungkin H"Suka" yang sesungguhnya. Tapi kalau mempertimbangkan niatnya, dia bisa saja berpura-pura agar terlihat seperti itu, padahal sebenarnya jawabannya justru yang berlawanan... A"Suka" yang palsu.)

 

Ryusei terdiam. Tamaki tersenyum penuh kemenangan.


(A...
"Suka" yang palsu... Hiroo-kun, kamu pasti bisa sampai pada jawaban itu. Hehehe... Hahaha... Aku bisa membaca pikiranmu semudah membaca buku. Jangan samakan aku dengan gadis biasa. Aku bahkan bisa menulis tesis tentang Pola Pikir Hiroo-kun dan Ilmu Saraf.)

 

Ya, kartu akting yang diambil Tamaki bukanlah A. Dia telah membaca pikiran Ryusei, lalu melangkah lebih jauh dengan menipunya. Namun, tiba-tiba saja muncul musuh yang tak disangka-sangka bagi Tamaki.

 

"Tamaki-Senpai. Bisa tolong ulangi kalimat tadi?"

 

Shien, Permintaan yang terdengar biasa saja.

 

"Hm...? Boleh saja."

 

Awalnya, Tamaki tidak terlalu waspada. Tapi ternyata, permintaan itu adalah tombak tajam berlapis racun.

 

"Tolong ulangi sambil menatap mata Ketua Hiroo," tekan Shien.

 

Tamaki langsung tersentak. Pikirannya kini terpaku pada perintah Shien. Pada saat itu juga, niat awalnya untuk mempermalukan Ryusei tertembus habis, dan makna sebenarnya dari kata-kata yang akan ia ucapkan pun muncul dengan jelas.

 

Ya,kartu akting yang diambil Tamaki bukanlah A"Suka" yang palsu

Bukan pula F"Suka" dalam hubungan pasangan. Melainkan H..."Suka" yang sesungguhnya.

 

Suka yang sesungguhnya. Ketika Tamaki kembali merenungkan arti kata itu, mulutnya langsung terkatup rapat.

(Aku... harus mengatakan ini!?)

 

Di saat yang sama, ia merasakan jantungnya berdetak lebih kencang.

(Aku harus mengatakan kalau aku suka pada Hiroo-kun? Dengan perasaan yang sesungguhnya? Kalau dipikir lagi, ini pernyataan yang gila! Tidak, aku harus tetap tenang. Ini hanya permainan. Ini hanya akting. Aku tidak benar-benar mengatakan kalau aku menyukainya. Ini bukan serius, hanya pura-pura serius! Aku tidak boleh ragu. Kalau aku menunjukkan sedikit saja kegugupan, aku bakal terlihat seperti gadis polos yang belum berpengalaman soal cinta, dan aku sendiri yang akan dipermalukan.)

 

"Uhuk... uhuk... Suka."

 

"Hah? Aku tidak dengar, Tamaki-Senpai. Barusan kamu memanggil Ketua Hiroo, kan? Dan tolong tatap matanya"

 

(Apa-apaan gadis ini!? Bukannya dia mengagumiku!? Aku sudah menatap matanya tadi! Lihat saja... Hiroo-kun pun—)

 

Tamaki melirik Ryusei.

Dan ternyata, Ryusei sedang menatap langsung ke dalam matanya.

Matanya terpaku, penuh konsentrasi. Ryusei menyadari perubahan dalam ekspresi Tamaki dan berusaha memahami arti di baliknya.

 

(Apa yang sedang terjadi...? Jelas-jelas Tamaki kehilangan rasa percaya dirinya. Jangan bilang... apakah dia dan Arisaki diam-diam bekerja sama untuk membuatku bingung? Tidak, tidak masuk akal. Tidak ada alasan bagi Arisaki untuk membantu Tamaki dalam upayanya menjatuhkanku. Berarti... kepanikan Tamaki ini asli.)

 

(Apa yang kau lihat, Hiroo-kun!? Semakin lama kau menatap, semakin sulit bagiku untuk melakukannya! Jangan bilang... dia menyadari kegugupanku!? Ugh... Kalau begini, lebih baik aku melakukannya dengan cara biasa sejak awal!)

 

Akhirnya, setelah beberapa saat saling menatap, Tamaki mengambil keputusan.

(Tidak ada pilihan lain, aku harus melakukannya!)

 

"Hiroo-kun."

 

"O-Oh..."

 

"...Suka."

 

Tamaki melirik ke samping saat mengatakannya, seakan membuang kata-kata itu begitu saja.

(Aduh, ini sangat memalukan!)

 

Melihat itu, Ryusei memasang ekspresi serius.

(Aku paham sekarang... Arisaki menyadari bahwa Tamaki berbuat curang dalam permainan ini. Dia sengaja mengacaukan rencananya, membuatnya panik, dan akhirnya memaksanya untuk akting sesuai dengan kartunya. Jadi, ini adalah akting yang sebenarnya. Kalau begitu, tebakan awalku tentang"Suka" yang palsusalah...)

 

Sebelum Ryusei bisa menyimpulkan jawabannya, Shien pun berkata,

"Yah, sudahlah. Ini sudah cukup jelas."

 

Menyusul pernyataan itu, Mimika juga berkata,



"Ya ya, Wakil Ketua sangat mudah dimengerti!"

 

Mendengar kata-kata dari para juniornya, wajah Tamaki memerah hingga ke telinganya sementara ia menatap pola kayu di lantai.

Di hadapannya, Ryusei tersenyum dengan ekspresi penuh keyakinan akan kemenangannya.

"Ah, benar. Sangat mudah dimengerti."

 

"Seperti yang diharapkan dari Ketua Hiroo."

"Yah, tentu saja. Ayo, kita ucapkan jawaban kita bersama-sama."

 

(Kukuku. Kalau ini pertarungan langsung, ini terlalu mudah. Sayang sekali, Tofukuji. Tapi ya, mudah dimengerti berarti aktingnya sangat bagus. Jadi, tak perlu berkecil hati.)

 

Dengan penuh percaya diri, Ryusei mengumumkan jawabannya dengan lantang.

"G! 'Suka' dengan nada cuek!"
"H! 'Suka' yang sesungguhnya!"
"H! 'Suka' yang sesungguhnya!"

 

"Hah?"
"Eh?"
"Apa?"

 

Ketiga orang yang menjawab itu saling menoleh.

Lebih tepatnya, Shien dan Mimika serempak menatap wajah Ryusei.
Shien bahkan menunjukkan ekspresi seakan benar-benar putus asa.

 

"Ketua Hiroo... Anda yakin dengan jawaban itu?"

 

"Sebenarnya, akulah yang ingin bertanya pada kalian. Tadi itu jelas G, kan? Kalau ada yang keliru, mungkin bisa tertukar dengan D, 'Tsundere', tapi H...?"

 

"Haa... Baiklah, Tamaki-senpai, tolong berikan jawabannya."

 

Shien menghela napas seolah sudah menyerah dan mengarahkan pertanyaan ke Tamaki.

Masih menatap lantai, Tamaki bergumam pelan.

 

"...H."

 

Ryusei membelalakkan matanya mendengar jawaban Tamaki yang nyaris tak terdengar.

"Eh... Barusan apa?"

 

"H!"

 

Tamaki, yang tak mampu menahan malunya, langsung menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan membelakangi mereka.

 

"Aduh, Ketua Klub, Anda benar-benar gagal, ya~. Apakah ini pertanda krisis hubungan bagi pasangan teater kita?"

 

Mimika merayap mendekati Ryusei dengan seringai di wajahnya.
Namun, godaannya tak masuk ke telinga Ryusei.

 

(Bohong... Tofukuji... Kau menipuku! Berani-beraninya kau terus berpura-pura! Kau benar-benar ingin mempermalukanku, ya!?)

 

Sementara Ryusei terus menggerutu sendirian, di sisi lain, Tamaki berpikir,

 

(Malu... malu... malu...! Yang paling memalukan adalah karena para junior bisa menebaknya!)

 

Melihat kedua orang itu bereaksi dengan cara yang tidak nyambung, Shien akhirnya bertepuk tangan untuk menenangkan situasi.

 

"Yah, ini kan cuma permainan akting. Tamaki-senpai, tak perlu malu seperti itu."

 

"Aku tidak malu! Ini hanya permainan, hanya akting biasa!"

 

"Dan Ketua Hiroo, jangan terlalu kecewa karena ketidakmampuan Anda sendiri."

 

"Aku juga tidak kecewa."

 

Padahal, kalaupun ia kecewa, itu justru reaksi yang benar. Namun, Ryusei sendiri bahkan tidak menyadarinya.

 

Bagaimanapun juga, hasil akhir menunjukkan bahwa Shien memperoleh 5 poin, Tamaki dan Mimika masing-masing 3 poin, sementara Ryusei tertinggal jauh dengan hanya 1 poin. Dengan ini, Shien menjadi pemenang mutlak.

 

"Bagaimana? Ini memang sudah berakhir, tapi Ketua Hiroo mau tetap mencoba?"

 

Shien berkata dengan ekspresi datar.

 

"Entah kenapa, wajah puasmu malah membuatku kesal. Kalau aku tetap di posisi terakhir, rasanya tidak enak. Baiklah, aku akan melanjutkan."

 

Menduduki posisi terakhir dalam permainan akting adalah sesuatu yang bisa merusak martabatnya sebagai Ketua Klub. Agar tidak berakhir sebagai satu-satunya di posisi terbawah, Ryusei harus membuat setidaknya dua orang, termasuk Shien, menjawab dengan benar. Jika semua orang benar, maka mereka bertiga akan berbagi posisi kedua. Setelah memastikan Ryusei siap, Shien menunjukkan kartu tantangan berikutnya.

Temanya adalah "Nyaa~."

 

"Nyaa~...?"

 

Kelopak mata Ryusei sedikit berkedut. Namun, Shien menanggapinya dengan ekspresi wajar,

 

"Ya, suara kucing. Nyaa~."

 

Ia bahkan mengangkat kedua tangannya dalam pose kucing saat mengucapkannya.

 

"Shien-chan imut banget!"

"Nyaa~."

"Aku ingin memelihara Shien Nyaa-chan!"

 

Menyaksikan para juniornya bercanda, Ryusei hanya bisa tersenyum kecut.

Sementara itu, ia melihat daftar delapan tantangan yang tertulis di bawah tema tersebut.

 

A "Nyaa~" yang realistis

B "Nyaa~" ala gadis manja

C "Nyaa~" mengancam

D "Nyaa~" ala macan betina

E "Nyaa~" untuk hewan peliharaan

F "Nyaa~" karena dipaksa

G "Nyaa~" manja kepada pacar

H "Nyaa~" saat mengantuk

 

Ryusei berpikir bahwa tantangan ini pasti diberikan oleh Shien untuk menggodanya. Namun, karena ia sudah memutuskan untuk melanjutkan permainan, ia tak punya alasan untuk menolak.

 

Meski begitu, ia ingin menghindari kategori B dan G sebisa mungkin.
Dengan perasaan itu, ia mengambil satu kartu tantangan yang tergeletak di atas meja.

 

Kartu yang ia dapat adalah F "Nyaa~" karena dipaksa.

 

Tantangan yang relatif mudah. Bahkan, situasi yang ia alami sekarang benar-benar sesuai dengan tema itu.

 

Sempat terpikir untuk membalas Tamaki dengan menipunya seperti yang dilakukan padanya tadi, tapi jika ia melakukannya, mungkin tidak ada yang bisa menebak dengan benar, dan ia akan tetap berada di posisi terakhir. Oleh karena itu, Ryusei memutuskan untuk bermain serius.

 

Jika ia menampilkan sikap malas dan enggan, mereka pasti akan menyadari bahwa itu adalah "Nyaa~" karena dipaksa.

 

"Baiklah, aku mulai... Nyaa~."

 

Suaranya terdengar seperti menghela napas, seolah benar-benar terpaksa.

Ryusei yakin bahwa semua orang akan menjawab dengan benar.

Namun, ia segera menyadari bahwa reaksi mereka tidak sebaik yang ia harapkan.

 

Mimika bahkan memiringkan kepalanya dengan bingung...

 

Hmm, tinggal dua pilihan, ya.

 

Bahkan Shien, yang sejauh ini selalu menjawab dengan benar, kali ini menunjukkan ekspresi langka yang sedikit muram.

 

Begitu ya... Kedengarannya seperti suara nyan saat mengantuk, baik F maupun H.

 

Ryusei tidak menyangka kalau rasa lesu bisa disalahartikan sebagai kantuk. Karena sejauh ini belum ada tantangan yang terlalu sulit, ia jadi lengah.

 

Tamaki-senpai, menurutmu bagaimana?

 

Shien bertanya kepada Tamaki, yang masih bersandar di kursinya, belum benar-benar keluar dari sisa suasana sebelumnya.

 

Eh? Ah, hmm. Yah, aku tahu jawabannya.

 

Jawaban yang terdengar lemah dan tidak bersemangat. Apakah dia benar-benar tahu jawabannya? Mungkin karena memiliki pemikiran yang sama dengan Ryusei, Shien tidak bertanya lebih jauh dan melanjutkan permainan.

 

Baiklah, para peserta, silakan berikan jawaban kalian. Satu, dua...

 

H!
H.
F...

 

Jawaban mereka telah diberikan. Dua siswa tahun pertama kompak memilih H, yaitu suara nyan saat mengantuk.

Sementara itu, Tamaki, dengan suara lemah tanpa semangat, adalah satu-satunya yang memilih F, yaitu suara nyan yang dipaksa.

Tentu saja, jawaban yang benar adalah:

F, yaitu suara nyan yang dipaksa.

 

Mimika langsung menunjukkan ekspresi kecewa.

 

Ugh! Salah memilih di antara dua pilihan!

Jadi yang benar itu, ya. Sayang sekali.

 

Seperti biasa, meskipun Shien berkata “sayang sekali,” tidak ada sedikit pun nada kecewa dalam suaranya.

 

Tamaki-senpai, bagaimana bisa tahu jawabannya?

 

Mendengar pertanyaan Mimika, Tamaki menjawab dengan datar.

 

Oh? Sebenarnya cukup mudah. Kalau dilihat dari reaksi biologis manusia terhadap situasi, semuanya jadi jelas. Saat seseorang mengantuk, sistem saraf parasimpatisnya lebih dominan. Ketika sistem ini bekerja, detak jantung menurun dan tubuh masuk ke mode relaksasi. Pernapasan pun secara alami menjadi lebih banyak menggunakan pernapasan perut. Sebaliknya, saat seseorang dipaksa melakukan sesuatu, tubuhnya akan berada dalam keadaan tegang. Sistem saraf simpatiknya akan aktif, pernapasan menjadi lebih dangkal. Saat Hiroo-kun mengatakan ‘nyan’, aku tidak tahu apakah dia melakukannya dengan sadar atau tidak, tapi dadanya terlihat mengembang—itu tandanya dia menggunakan pernapasan dada. Jika sudah begitu, jawabannya jadi jelas.

 

TLN : Main game dapet ilmu anjay

 

Heh... Heeeh...

Mimika yang mendengar penjelasannya tampak sedikit terintimidasi.

Ryusei sendiri ingin mengatakan bahwa cara Tamaki mendekati permainan ini berada di level yang berbeda dan agak mengerikan, tetapi dia menahan diri karena ada para junior.

 

Selain itu,

 

Seakan belum puas, Tamaki melanjutkan penjelasannya.

 

Aku sudah beberapa kali melihat Hiroo-kun mengantuk di ruang klub. Saat dia mengantuk, mungkin karena pikirannya tidak berfungsi dengan baik, dia cenderung mengeluarkan suara yang agak manja.

Meskipun dia sedang berakting, kebiasaan yang biasanya muncul tetap akan terlihat. Karena suara seperti itu tidak terdengar kali ini, maka pilihan H otomatis bisa dieliminasi.

 

Luar biasa! Wakil ketua benar-benar memperhatikan Ketua , ya!

 

Eh... Tidak, bukan begitu maksudku...

 

Begitu Tamaki mencoba menyangkal, Shien langsung menimpali.

 

Jadi, tidak heran kalau hanya Tamaki-senpai yang menjawab dengan benar. Gerak-gerik sekecil itu biasanya tidak disadari orang lain.

Seperti yang diharapkan dari pacar Ketua Hiroo.

 

Bukan, maksudku... Tidak ada arti sedalam itu...

 

Meskipun mencoba menyangkal, wajah Tamaki perlahan berubah merah. Entah sudah berapa kali dia memerah hari ini.

 

Ryusei sendiri juga sedikit gugup melihat Tamaki seperti itu. Dia sama sekali tidak menyangka kalau dirinya diperhatikan sampai sedetail itu.

 

Pada akhirnya, para junior semakin yakin kalau mereka adalah pasangan yang sangat akrab. Dari segi tujuan pertemuan ini, bisa dikatakan acara ini sukses. Namun, karena merasa sedikit malu, Ryusei berusaha menutup obrolan secara halus.

 

Wah, seru sekali. Oke, ayo beres-beres.

 

Apa yang kau katakan, Ketua Hiroo? Kita masih harus membahas hukuman.

 

Hah? Hukuman?

 

Ryusei menoleh ke arah Shien.

 

Tentu saja. Aku yang menang, dan Ketua Hiroo yang mendapat skor terendah.

 

Memang benar, pada akhirnya hanya Tamaki yang menjawab dengan benar, sehingga Ryusei hanya mendapat satu poin. Skor akhirnya adalah Shien dengan 5 poin, Tamaki 4 poin, Mimika 3 poin, dan Ryusei hanya 2 poin, menjadikannya yang terakhir.

 

Aku tidak ingat ada hukuman untuk yang terakhir, Arisaki.

 

Memang tidak ada. Tapi aku yang menang, jadi aku yang menentukan.

 

Ryusei mulai merasa takut pada junior ini.

 

Lalu, hukuman macam apa ini? Harus melakukan aksi lucu, atau apa?

 

Setelah kalah dalam permainan akting, lalu memilih hukuman yang membosankan dan tidak ada manfaatnya... Sebaiknya kau mundur saja dari jabatan Ketua Klub.

 

Hei, itu barusan bukan sekadar bicara santai, tapi kau benar-benar menyerangku.

 

Ups. Aku hanya terpeleset lidah dan mengucapkan isi hatiku.

 

Kalau begitu, setidaknya terpelesetlah dengan sesuatu yang tidak kau pikirkan.

 

Pokoknya, karena aku menang, akulah yang menentukan hukumannya.

 

Arisaki... Serius, aku takut padamu.

 

Untuk menarik anggota baru tahun depan, kita akan membuat video promosi klub teater. Karena akan diposting di media sosial, aku ingin kalian berdua yang saat ini sedang populer sebagai pasangan di klub untuk pergi berkencan ke Dezmy dan merekamnya. Itu hukuman kalian.

 

““Kencan di Dezmy!?”“

 

Baik Ryusei maupun Tamaki langsung menoleh ke arah Shien bersamaan.

 

Ya. Meskipun seleksi masuk klub yang dilakukan Ketua Hiroo sangat ketat, jika ada lebih banyak peminat, jumlah anggota yang bertahan juga akan meningkat. Tahun ini rasio penerimaannya sekitar 1 banding 15, jadi kalau kita bisa menarik sekitar 100 orang peminat, itu sudah bagus.

 

Sementara Shien terus berbicara, Tamaki langsung menanggapinya.

 

Tunggu dulu, Shien! Kenapa aku juga kena hukuman? Aku kan peringkat dua!

 

Benar. Ini adalah hukuman untuk Ketua Hiroo. Tapi, sebagai pasangan, berkencan adalah hal yang wajar, bukan? Kebetulan metode hukuman kali ini adalah kencan, jadi Tamaki-senpai harus ikut serta. Namun, bagian yang dianggap hukuman adalah kegiatan promosinya, bukan kencannya. Atau, bagi Tamaki-senpai, berkencan dengan Ketua Hiroo adalah sebuah hukuman?

 

"Uh... i-itu..."


Tentu saja, itu hukuman!—Tak mungkin dia bisa membalas seperti itu.

 

"Baik, mari lanjutkan pembahasannya."

 

"T-t-t-tapi, Shien. Pembicaraan soal calon anggota baru itu masih lebih dari setengah tahun lagi, kan?"

 

"Seperti yang diharapkan dari Tamaki-senpai. Masih ada lebih dari setengah tahun tersisa. Jika kita mulai menarik perhatian di media sosial sekarang, mengumpulkan seratus orang bukanlah hal yang sulit, kan? Kemampuan luar biasa untuk langsung menangkap esensi dari suatu pembahasan dalam sekejap. Aku benar-benar kagum. Wah, luar biasa! Seperti yang diharapkan dari peringkat satu di jurusan sains. Otaknya benar-benar cemerlang."

 

"B-benarkah? Yah, ini hal yang wajar, sih."

 

Melihat Tamaki yang dengan mudahnya termakan oleh rayuan Shien, Ryusei hanya bisa menatapnya dengan ekspresi lelah sebelum mengajukan protesnya.

 

"Hei, Arisaki. Kau bilang kencan ini hanyalah alat untuk kegiatan promosi, tapi di mana hubungan antara kencan kami dengan klub teater? Apa kau benar-benar berpikir video seperti itu bisa membantu merekrut anggota baru?"

 

"Aku yakin."

 

Jawaban Shien datang dengan keyakinan yang jauh melebihi ekspektasi Ryusei. Lalu, dia pun mulai menjelaskan alasannya.

 

"Sekarang, kalian berdua adalah wajah sekolah ini. Popularitas kalian yang sudah tinggi sejak awal kini meningkat berkali lipat karena efek sinergi. Untungnya, saat pertama kali kalian berdua viral, ada tagar 'Pasangan Klub Teater' yang disertakan, jadi nama klub teater juga ikut terbawa."

 

"Tapi, hanya itu saja tidak cukup, kan?"

 

"Benar. Itu saja memang tidak cukup. Kalian berdua tidak punya akun Insta, juga tidak bermain TechTack. Padahal, popularitas kalian sudah sebesar ini, tapi kalian sama sekali tidak memanfaatkan media visual untuk menyebarkan pengaruh kalian. Kalau dibiarkan, pada bulan April tahun depan, popularitas ini pasti akan meredup. Karena itulah, kita harus mulai menyebarkan video sekarang. Kau pasti tahu betapa populernya pasangan influencer, kan, Ketua Klub Teater yang selalu mengikuti tren?"

 

"E-eh... a-ah, tentu saja! Mereka benar-benar populer!"

 

"Pasangan influencer."

 

"Ya! Pasangan influencer!"

 

"Kalian berdua sekarang adalah pasangan influencer. Jika pasangan dengan daya tarik sebesar kalian mengunggah video kencan di Dezmy Land dengan tagar 'Pasangan Klub Teater', pasti akan ada lebih banyak orang yang tertarik pada klub teater. Tentu saja, kau bisa memahami ini, kan?"

 

"Oh! Aku mengerti! Aku bahkan sudah memikirkannya sejak lama!"

"Kalau begitu, sudah diputuskan. Sebenarnya, ini bahkan tidak bisa disebut sebagai hukuman, kan? Karena bagi kalian berdua, kencan hanyalah hal biasa yang sering terjadi."

 

Menanggapi arahan Shien, Mimika pun ikut menambahkan,

"Waah, kencan kalian berdua di Dezmy Land pasti bakal menggemparkan! Pasti bakal viral! Kalian juga bisa kencan, jadi sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, kan?"

 

Dengan situasi seperti ini, sudah tidak ada jalan untuk mundur.

 

"Y-yah, memang sih, ini hukuman yang sangat ringan, ya, Tofukuji?"

 

"Y-ya... kita hanya perlu merekam sesuatu yang sudah sering kita lakukan, kan? Gampang, gampang. Ahaha..."

 

"Aku yang akan mengedit videonya, jadi kalau bahan videonya sudah siap, serahkan saja padaku."

 

"Baiklah."

"Baiklah."

 

Ryusei melirik ke arah Tamaki.

Tatapan mereka bertemu, seolah menyiratkan bahwa mereka memikirkan hal yang sama. Keduanya memasang senyum canggung.

 

(Yah, kita biarkan saja dulu. Lama-lama, Arisaki pasti bakal lupa sendiri dengan ide ini.)

 

(Shien hanya mengatakannya karena terbawa suasana. Sebentar lagi dia pasti lupa, dan seluruh pembicaraan ini akan lenyap begitu saja.)

 

"Oh, ya. Tenggat waktunya sampai akhir September, ya. Aku ingin mengunggahnya bersamaan dengan musim festival budaya. Dan tenang saja, aku tidak akan pernah lupa soal ini, jadi pastikan kalian benar-benar merekamnya. Aku akan selalu mengawasi kalian."

 

Sekali lagi, Ryusei dan Tamaki saling bertukar pandang.

Tak ada lagi senyum tersisa di wajah mereka.

 

Bahkan, dibandingkan cerita hantu di ruang persiapan tadi, ini jauh lebih menakutkan.

 

 

"Hari ini menyenangkan ya, Shien-chan."


"Iya, Mimika."

 

"Game-nya juga seru. Shien-chan hebat banget, bisa menang lawan mereka berdua!"

"Benarkah? Rasanya aku hanya menang karena lawannya mereka saja."

 

"Aku juga nggak sabar lihat video kencan mereka di Dezmy Land!"

 

Setelah acara minum teh selesai, duo siswi tahun pertama, Mimika dan Shien, berjalan pulang menuju stasiun terdekat di bawah langit senja.

 

"Tapi serius deh, Ketua Klub dan Wakil Ketua itu benar-benar cocok, ya? Malah aneh kalau mereka selama ini belum pacaran."

"Aku rasa Tamaki-senpai memang tidak tertarik pada cinta sejak awal. Jadi, fakta bahwa Ketua Klub Teater bisa membuka hatinya itu luar biasa."
"Benar juga... Dia selalu menolak banyak pengakuan cinta dari  para lelaki."

"Selalu?"

"A-aku maksudnya, yaa... sepertinya begitu! Itu cuma tebakanku!"

 

"Yah, sudah jelas kalau Tamaki-senpai itu populer. Tapi kalau aku sampai melihat seekor belatung yang tak tahu diri dengan napas busuknya mencoba menarik perhatian Tamaki-senpai, aku akan menolaknya lebih dulu. Atau lebih tepatnya, membunuhnya."

"A-aha... hahaha..."

 

"Setidaknya, kalau Ketua Klub Teater sih masih bisa kuampuni. Dia orangnya cukup menarik."

"Jadi standar yang bisa kau terima itu hanya karena dia lucu? Shien-chan, kau sendiri pernah ada yang menyatakan cinta?"

"Tidak pernah. Mana ada lelaki yang mau menyatakan cinta pada gadis yang pikirannya sulit ditebak seperti aku?"

"Jadi kau sadar, ya?"

 

"Para lelaki kan biasanya lebih suka gadis yang jelas-jelas imut. Sementara aku, mereka hanya bilang aku menyeramkan atau dingin. Kalau terlalu unik, justru tidak akan menarik."

"Eeh? Tapi menurutku Shien-chan imut, kok!"

"Ya ya, terserah."

"Tapi aku serius!"

 

"Kau sendiri pernah ada yang menyatakan cinta, Mimika?"

"Tidak, tidak pernah. Aku ini, tahu?"

"Benar juga."

"Eh? Itu jahat! Seharusnya kau menyangkalnya, Shien-chan!"

"Dalam hal keunikan, kau sama saja denganku."

"Kalau aku sejenis dengan Shien-chan... ehehe~"

"Apa yang kau tertawakan?"

 

"Oh, tapi meski belum pernah ada yang menyatakan cinta padaku, aku punya seseorang yang kusukai."

"Seseorang yang kau suka? Ini pertama kalinya aku dengar. Siapa? Jangan bilang Ketua Klub Teater..."

"Shien-chan!"

 

Mimika langsung memeluk lengan Shien.

"Kau ini bodoh ya."

"Shien-chan wajahnya merah! Kau itu imut, lho~"

"Sudah cukup, lepaskan. Lenganku jadi berat."

"Yah, kau memang pemalu."

"Ya ya."

 

"Shien-chan, kau suka aku?"

"Yah..."

"Yah, apa?"

"Kalau harus memilih antara suka atau tidak, ya aku lebih suka."

"Ehehe~"

"Aku ulangi lagi, kau ini memang bodoh."

 

Setelah acara minum teh, mereka berjalan berdampingan.

Hibi Mimika menggenggam tangan Shien dengan gembira. Dan satu-satunya orang yang bisa membuat ekspresi gadis poker face Arisaki Shien berubah adalah dia.

 

TLN : Semoga aja ini hanya keakraban persahabatan, kalo sampe beneran bYurik, tak drop asli 














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !