ACTOR
Tofukuji
Tamaki
Aku, Tofukuji Tamaki, tidak pandai memahami perasaan orang lain.
Pola pikir manusia cenderung berubah secara acak, sulit ditemukan keteraturannya.
Di dunia angka, semuanya memiliki rumus yang jelas, dan selama tidak ada kesalahan ceroboh, hasilnya bisa diperoleh dengan mudah.
Namun, kata "hati" yang abstrak ini sering kali membuatku bingung.
Hanya sinyal otak belaka, tapi begitu licik dan menjengkelkan. Dan hal itu juga berlaku untuk hatiku sendiri.
Sebagai seseorang yang selalu mengutamakan efisiensi, terkadang aku melakukan hal-hal yang sama sekali tidak masuk akal dan sia-sia.
Contoh terbaru adalah kejadian tadi malam.
Menuliskan permohonan pada pita dan mengikatnya di dahan pohon agar terkabul. Sebuah ritual yang tidak memiliki dasar maupun bukti nyata. Namun, aku justru ikut serta dalam hal semacam itu. Jika harus diungkapkan dengan kata-kata, maka itu adalah buang-buang waktu.
Tindakan yang tidak perlu, Pilihan yang bodoh.
Namun, pada kenyataannya, akulah yang menginginkannya. Sehari sebelum kencan di Dezmy, Shien mengajakku pergi ke sebuah toko pernak-pernik. Di sana, dia menyarankan agar aku membeli hadiah yang serasi dengan Hiroo-kun.
Menurutnya, itu adalah saran dari seorang junior kepada seniornya dalam hal hubungan.
Awalnya, aku menolak keras. Bukannya aku masih memiliki pandangan kuno bahwa pria haruslah yang memberi hadiah.
Bukan itu masalahnya.
Aku hanya tidak melihat keuntungan apa pun dari memberi Hiroo-kun sebuah hadiah. Tidak ada alasan yang masuk akal bagiku untuk melakukannya. Shien berpendapat bahwa seseorang sepertiku yang ingin memiliki sesuatu yang serasi dengan orang lain justru akan terlihat menggemaskan karena bertolak belakang dengan sifat asliku.
Namun, ia jelas salah besar.
Aku sama sekali tidak peduli jika pria itu menganggapku menggemaskan atau tidak.
Secara formal, aku dan Hiroo-kun memang berpura-pura berpacaran.
Jadi, aku tidak bisa mengatakannya secara terang-terangan kepada Shien.
Namun, jika aku menyerah di sini, maka berarti aku harus memberikan hadiah kepada Hiroo-kun, yang artinya akan ada satu hal tambahan yang perlu aku lakukan saat kencan di Dezmy.
Itu akan menjadi beban tambahan, jadi aku menolaknya dengan tegas.
Atau mungkin, Shien memang sengaja ingin menggangguku dan bersenang-senang dengan ini?
Aku sempat berpikir begitu. Namun, aku ingin percaya bahwa junior yang menghormatiku tidak akan melakukan hal licik semacam itu.
Bagaimanapun, karena Shien sangat gigih, aku akhirnya hanya berpura-pura melihat-lihat barang di dalam toko untuk menghindarinya.
Saat itulah, aku melihat sebuah pita yang sangat cantik.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasakan sensasi aneh—seperti tersihir oleh sesuatu.
Apakah ekspresiku terlihat jelas? Karena saat itu juga, Shien langsung mendekat dan mulai menjelaskan tentang acara pohon harapan. Permohonan akan terkabul.
Biasanya, aku pasti akan menertawakan hal itu. Namun saat itu, entah kenapa, aku ingin mempercayainya. Saat melihat Hiroo-kun berjalan dengan teman sekelas perempuannya dan terlihat sangat menikmati waktu mereka bersama, aku merasa… aneh.
Aku tidak tahu pasti perasaan itu. Namun, yang jelas, aku berpikir,
"Andai saja aku juga anak jurusan sastra."
Kemudian, malam itu pun tiba.
Dan yang lebih parah, aku benar-benar menikmati momen itu. Jika aku merasakan kesenangan, maka berarti tindakanku memberikan kepuasan, yang artinya waktu itu tidaklah sia-sia.
Dengan kata lain—meskipun panjang lebar aku menjelaskan sebelumnya—acara pohon harapan ternyata menyenangkan bagiku.
Aku merasa bersemangat.
Aku merasa gugup.
Bahkan, aku melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Shien—mengikat pita kami di cabang yang sama. Bagaimana bisa aku begitu lemah dalam mengendalikan kehendakku sendiri?
Pemikiranku tidak konsisten.
Jika pikiranku sendiri saja seperti ini, maka memahami hati orang lain benar-benar mustahil bagiku.
Namun, ada satu hal.
Setidaknya, aku memahami apa perasaan aneh itu. Bahkan aku yang lamban dalam hal ini pun akhirnya menyadarinya. Dan aku juga sadar, itu semua hanyalah kesalahpahaman. Karena itu, aku harus meminta maaf kepadanya. Setidaknya satu kali.
Begitulah yang kupikirkan pada siang hari di Senin ini.
◆
Seusai sekolah.
Pada hari Senin, peraturan akademi melarang adanya kegiatan klub.
Beberapa anggota klub olahraga tetap melakukan latihan mandiri, tapi secara keseluruhan, lebih sedikit siswa yang tinggal di sekolah dibandingkan hari biasa.
Aku menyukai suasana tenang ini.
Di bawah cahaya matahari yang lembut, ruangan klub yang sepi dengan aroma kayu tua adalah tempat yang sempurna untuk berpikir.
Sekarang, masalahnya… bagaimana aku harus meminta maaf?
Jika aku berkata "Ini sebagai permintaan maaf," sambil memberikan sekotak kue, rasanya terlalu berlebihan.
Tapi jika aku hanya berkata "Maaf," itu akan terasa hambar. Mungkin Hiroo-kun sendiri tidak terlalu mempermasalahkannya. Namun, jika aku tidak melakukan sesuatu, aku akan merasa seolah masih memiliki utang padanya. Jadi, ini bukan untuk Hiroo-kun, tapi untuk diriku sendiri. Aku hanya perlu melakukan sesuatu yang sekadarnya.
Saat aku masih sibuk mengetik catatan di ponsel dan berjuang mencari solusi, pintu ruang klub tiba-tiba terbuka.
“Hei, Tofukuji. Lagi mikirin sesuatu sendirian?”
“Hmm… Aku sedang memikirkan cara meminta maaf untuk kejadian kemarin.”
“Meminta maaf untuk kemarin?”
“Iya. Aku merasa bersalah pada Hiroo-kun, jadi— Hiroo-kun!?”
Aku meletakkan ponsel di kursi dan berdiri dengan kaget.
“Soal Ruri kemarin, bukan sesuatu yang perlu kau minta maaf, kok.”
"Aku... aku tidak suka berhutang budi. Tapi lebih dari itu, hari ini hari Senin. Tidak ada kegiatan klub, kan?"
"Oh, iya. Minggu ini, pihak dewan organisasi mengumumkan kalau mereka akan memperbaiki pintu sekitar pertengahan minggu. Jadi, aku pikir lebih baik membereskan ruang persiapan dulu. Kebetulan juga aku libur kerja paruh waktu hari ini."
"Begitu... akhirnya akan diperbaiki juga ya."
"Tapi, ngomong-ngomong, kenapa kamu ada di sini? Klub libur, kan? Kalau hanya mau berpikir, kenapa tidak di rumah saja?"
"Aku lebih nyaman di ruang klub. Dan lebih mudah berkonsentrasi."
"Oh, begitu ya?"
"Ya, begitulah."
"Kalau begitu, bantu aku beresin barang-barang. Anggap saja itu sebagai permintaan maafmu."
"Memangnya itu bisa dianggap sebagai permintaan maaf? Ruang persiapan ini juga digunakan oleh klub teater, jadi seharusnya memang tugasku untuk merapikannya."
"Kamu terlalu kaku dalam berpikir."
"Apa maksudmu? Menyebalkan."
"Ruang klub adalah tanggung jawab ketua klub. Dan wakil ketua, yaitu kamu, membantunya sebagai niat baik. Begitu saja sudah cukup, kan?"
"Yah... kalau begitu sih."
Setelah mengatakan itu, aku masuk ke ruang persiapan bersama Hiroo-kun.
Di dalam ruang persiapan, ada rak gantungan yang penuh dengan kostum dan juga beberapa kardus berisi properti teater. Karena sudah digunakan oleh beberapa generasi klub teater, ada juga kardus-kardus tua yang sudah berdebu. Aku membuka jendela untuk ventilasi, lalu mulai bekerja. Saat kami sedang membereskan barang, tiba-tiba Hiroo-kun bersuara.
"Ugh... Apa ini?"
Dengan ekspresi jijik, dia memegang sesuatu dengan ibu jari dan telunjuknya. Itu adalah sebuah majalah tipis.
"Ada apa? Kenapa?"
"Ah... bukan apa-apa. Lebih baik jangan lihat."
"Apa sih? Tunjukkan padaku."
Aku merebut majalah berdebu itu darinya dan melihat sampulnya.
"Kyaa! Apa-apaan ini?!"
"Makanya, aku bilang jangan lihat."
Di sampulnya, ada seorang wanita dengan tubuh menggoda, topless.
Refleks, aku langsung melemparkan majalah itu ke arah Hiroo-kun.
TLN : Topless bukan berarti tempat buat nastar bujang, kalo gw artiin kayak Naked bagian atas? CMIIW
"Hei, jangan lempar barang!"
"Kenapa ada benda seperti ini di ruang klub?!"
"Tadi ada di sudut ruangan. Mungkin senior klub dulu yang membawanya."
"Kamu kelihatan santai sekali."
"Bukan urusanmu."
Aku tidak tahu apakah sikap santainya itu karena memang tidak tertarik, atau justru karena sudah terbiasa. Bagaimanapun juga, dia laki-laki. Tidak mengherankan kalau dia memiliki satu atau dua majalah dewasa di kamarnya.
"Jangan bilang, kamu berencana membawanya pulang diam-diam?"
"Mana mungkin. Seperti yang kamu tahu, aku tidak tertarik dengan perempuan di dunia nyata. Jadi, benda seperti ini tidak membuatku bersemangat."
Jawaban yang hampir bisa dipercaya.
"Tapi waktu itu, kamu panik saat melihat pakaian dalamku."
"Reaksi kaget dan gairah itu dua hal yang berbeda."
"Jadi, aku tidak bisa membuatmu bersemangat?"
"Ya, begitulah."
Entah kenapa, itu membuatku kesal.
"Kalau begitu, kamu hanya bersemangat kalau itu dua dimensi?"
"No comment."
"Kamu mesum."
"Kesimpulanmu itu terlalu kejam."
Meski begitu, Hiroo-kun tetap membuang majalah itu ke dalam kantong sampah tanpa ragu-ragu.
Sepertinya dia memang tidak berniat membawanya pulang. Aku melanjutkan pekerjaan sambil tetap waspada, siapa tahu ada majalah serupa yang muncul lagi.
"Yah, kalau ada yang lain, bilang saja. Aku yang buang."
"Kalau yang muncul itu versi dua dimensi?"
"Kamu benar-benar tidak menyerah, ya."
"Itu karena kamu menghindari jawaban dengan mengatakan 'no comment."
"UWAH!"
Di tengah percakapan kami, tiba-tiba Hiroo-kun berteriak.
"Ada apa? Kamu menemukan majalah dua dimensi?"
"Bukan itu... ini..."
Kali ini, dia terlihat benar-benar panik. Merasa penasaran, aku mengikuti arah telunjuknya yang menunjuk ke dalam kardus.
"Kyaaaa!"
Di dalamnya, ada tali gantung penuh bercak darah yang sudah berdebu. Aku langsung teringat cerita yang pernah diceritakan Shien saat acara minum teh.
"Ini... cerita yang diceritakan Shien... Tapi dia bilang itu hanya karangan, kan?"
"Y-yeah... Sepertinya sih..."
Perlahan, Hiroo-kun menjulurkan tangannya ke arah tali itu.
Dia membersihkan debu yang menempel lalu mengangkatnya.
"......Ini hanya darah palsu."
"Darah palsu...? Astaga... aku benar-benar kaget..."
Jadi, itu hanya properti teater.
"Kalau dipikir-pikir, mana mungkin ada darah sebanyak ini kalau seseorang menggantung diri."
"Ya... Pasti ini digunakan untuk pertunjukan horor."
"Jadi, kamu juga sempat ketakutan mendengar cerita itu, ya?"
"Hah? Tidak juga. Lagipula, sekarang yang lebih penting adalah,
apa yang akan kita lakukan dengan ini?"
"Kemungkinan akan dipakai lagi nanti, jadi lebih baik disimpan."
"Uh... ya, baiklah..."
Sejujurnya, aku ingin benda itu langsung dibuang karena terasa menyeramkan. Tapi karena Hiroo-kun yang membuat keputusan, aku tidak bisa membantah.
Sudah hampir satu setengah tahun ruang persiapan ini digunakan sebagai gudang, dan ternyata masih ada banyak benda yang tidak kuketahui di dalamnya.
Ketika pekerjaan kami hampir selesai, cahaya matahari yang masuk melalui jendela mulai meredup. Sebagian besar properti sudah tertata rapi, hanya tinggal menyapu ruangan agar benar-benar bersih.
"Tofukuji, nyalakan lampunya."
Atas permintaan Hiroo-kun, aku berjalan menuju pintu. Saklar lampu ruang persiapan terletak di bagian luar, jadi aku harus keluar dulu untuk menyalakannya. Namun, saat tanganku menyentuh pintu…
Gatak──.
Terjadi lagi.
"Hiroo-kun, bisa tolong buka pintunya?"
"Oh, lagi-lagi kejadian ini."
Hiroo-kun meletakkan kardus terakhir ke rak, lalu berjalan ke arahku.
"Lihat baik-baik, Tofukuji. Bagian ini harus sedikit diangkat ke atas, lalu…"
Gatak──.
Gank──.
Gank, gank.
"Hiroo-kun?"
"Eh? Hari ini agak lebih susah dari biasanya… tapi nggak apa-apa, caranya cukup…"
Gank, gank.
"Kau yakin bisa membukanya?"
"Tofukuji."
Dengan suara serius, Hiroo-kun memanggil namaku dan menoleh ke arahku.
"…Pintunya nggak bisa dibuka."
◆
Sudah sekitar tiga puluh menit sejak kami terjebak di ruang persiapan. Aku tidak tahu pasti berapa lama waktu telah berlalu karena ponselku tertinggal di kursi tempat aku duduk sebelumnya saat memikirkan sesuatu.
Untungnya, Hiroo-kun membawa ponselnya dan mencoba menelepon nomor pusat sekolah melalui situs resminya. Namun, mungkin karena kesibukan, panggilan ke ruang guru tidak tersambung.
Sebagai gantinya, dia sudah menghubungi Hibi-san. Rupanya dia sudah pulang, tapi katanya akan kembali ke sekolah untuk membantu kami.
Namun, rumah Hibi-san berjarak sekitar satu jam dari sekolah. Itu berarti kami harus menunggu setidaknya tiga puluh menit lagi. Dan itu pun hanya perkiraanku berdasarkan perasaan, mungkin bisa lebih lama.
Sebenarnya, jika mempertimbangkan jarak rumah, Shien bisa sampai ke sekolah dalam dua puluh menit. Tapi karena hari Senin tidak ada klub, dia pasti sedang bekerja paruh waktu. Oleh karena itu, pada akhirnya kami memilih untuk menghubungi Hibi-san.
Sekarang ruangan sudah benar-benar gelap.
Hanya ada sedikit cahaya bulan yang masuk melalui jendela. Jika ini adalah gedung sekolah yang baru, mungkin masih ada cahaya dari lampu jalan, tapi kami berada di gedung tua yang terbuat dari kayu. Sudah pasti gelap.
Aku dan Hiroo-kun duduk di lantai dengan jarak di antara kami.
"Benar-benar sial. Bisa-bisanya kejadian ini terjadi sehari sebelum perbaikan."
"Kita seharusnya melaporkannya ke dewan organisasi lebih awal."
Tapi, menyesali sesuatu yang sudah terjadi tidak ada gunanya.
Cepat atau lambat, bantuan akan datang. Yang bisa kami lakukan hanyalah menunggu dengan tenang. Tapi tetap saja…
"Kau harusnya nggak perlu duduk sejauh itu."
Aku menoleh ke arah Hiroo-kun yang duduk bersandar di dinding, tepat di bawah jendela, di sudut ruangan.
"Yah… tadi kita sempat membahas soal itu."
"Soal itu? Maksudmu… tali gantung diri?"
"Bukan itu."
"…Hah? Majalah mesum itu?"
"Yah… karena hal itu aku jadi sedikit sadar. Aku boleh saja bilang nggak tertarik pada dunia nyata, tapi kalau aku tiba-tiba bertemu dengan seorang gadis yang sedang berganti baju seperti waktu itu, pasti tetap menakutkan bagi mereka. Aku nggak pernah berpikir sejauh itu. Sekarang pun, kalau seorang gadis terkunci di ruangan gelap bersama seorang laki-laki, dia pasti merasa nggak nyaman."
Seperti biasa, di saat yang tak terduga, Hiroo-kun menunjukkan sisi seriusnya. Memang benar… jika seorang gadis terjebak dalam ruangan gelap bersama seorang pria, pasti ada rasa takut.
Tapi itu hanya berlaku jika pria tersebut adalah orang yang tidak dikenal. Setidaknya…
"Setidaknya kalau kamu yang bersamaku, aku nggak merasa takut."
"Eh…?"
Jujur saja, dibanding terjebak bersama Hiroo-kun, aku lebih takut dengan tali gantung yang tadi kami temukan.Kenapa pintu yang tadi masih bisa dibuka, tiba-tiba sekarang tidak bisa sama sekali?
Tidak, aku tahu. Ini pasti hanya kebetulan. Tali gantung itu juga, hanyalah properti teater.
Orang yang merasa dirinya sial, sebenarnya hanya sedang berpikir bahwa dirinya memang selalu sial. Jika seseorang selalu melihat sesuatu dari sisi negatif, maka semua hal kecil bisa terlihat seperti kesialan. Sebaliknya, orang yang optimis bisa melihat hal-hal sepele sebagai keberuntungan.
Intinya, semua ini hanya soal cara pandang.
Bagaimana seseorang memandang sesuatu bergantung pada mentalnya.
Jadi, meskipun aku tahu bahwa cerita Shien hanya dongeng, tali gantung itu hanya properti, dan pintu yang tertutup rapat ini tidak ada hubungannya dengan fenomena supernatural… tetap saja, aku tidak bisa menahan rasa takut.
Seperti halnya orang yang merasa takut saat mandi setelah menonton film horor. Tapi, meskipun aku bisa menganalisis pikiranku sendiri dengan sangat logis, itu tidak serta-merta menghilangkan rasa takut.
Pada dasarnya, cara terbaik untuk menghilangkan rasa takut adalah dengan keberadaan seseorang di dekatmu.
Dan jika itu masalahnya, hanya ada satu hal yang bisa aku katakan.
"Ke sini sedikit. Duduk dekat jendela pasti dingin, kan?"
Ya, Hiroo-kun berpikir kalau aku takut padanya, tapi kenyataannya justru sebaliknya. Saat ini,aku ingin dia berada lebih dekat denganku.
"Tapi…"
"Kau menyebalkan sekali. Aku sudah bilang aku nggak takut sama kamu, kan? Kalau masih khawatir, kita bisa duduk bersandar dengan punggung saling membelakangi. Itu juga bisa membuatku merasa lebih tenang."
"…Kalau kamu bilang begitu."
Mendengar itu, Hiroo-kun bergerak hingga tepat di belakangku.
Kemudian, dia duduk dan menempelkan punggungnya ke punggungku.
Panas tubuhnya jauh lebih tinggi dari yang aku bayangkan, membuat jantungku berdebar tanpa bisa dikendalikan.
"Nah, Tofukuji. Kamu tahu efek jembatan gantung?"
"Tahu, Itu fenomena di mana perasaan berdebar karena takut di atas jembatan gantung disalahartikan sebagai perasaan jatuh cinta, kan?"
"Betul. Situasi seperti kita sekarang ini—terjebak di dalam ruang tertutup—juga termasuk dalam kategori efek jembatan gantung. Ini sering dipakai di cerita-cerita romcom… Tapi, dalam kasus kita, kita tahu pasti kalau sebentar lagi akan ada yang datang menolong. Lagipula, meskipun ini ruangan tertutup, ini tetap ruang klub yang sudah kita kenal baik. Jadi, pada akhirnya, dalam kenyataan, situasi seperti di romcom nggak akan benar-benar terjadi, kan?"
"Lalu kenapa?"
"Nggak, aku cuma berpikir… dunia nyata itu membosankan, ya."
Apa sih maksud pria ini? Jadi, maksudnya apa? Apa itu berarti… perasaan berdebar yang kurasakan sekarang bukan karena ketakutan terhadap kegelapan atau ketegangan karena terjebak di sini?
Melainkan karena aku benar-benar berdebar karena Hiroo Ryusei sebagai seorang laki-laki? Tidak mungkin. Tidak boleh!
"Faktor kegelapan saja sudah cukup memenuhi syarat untuk efek jembatan gantung, kan? Entahlah, aku nggak tahu."
"Oh, begitu ya?"
"Aku bilang aku nggak tahu! Jangan-jangan… kau sekarang malah berdebar karena aku? Akhirnya kau sadar juga dengan pesonaku, ya?"
"…………"
Kenapa diam?!
Diam seperti itu malah bikin jantungku makin berdebar, tahu?!
Apa detak jantung bisa terasa sampai ke punggung?!
Mungkin sebaiknya aku agak menjauh sedikit…
"Ngomong-ngomong, maaf soal kemarin."
Tiba-tiba, Hiroo-kun berkata begitu. Orang ini… kenapa cara bicaranya aneh sekali?
"Maaf soal apa? Memangnya ada sesuatu yang perlu kau minta maaf padaku?"
"Soal Ruri. Aku seharusnya mengatakannya lebih awal."
"Justru, kenapa kau yang harus minta maaf? Aku yang salah paham dan ngambek sendiri."
"Karena aku juga pernah melakukan hal yang sama sebelumnya."
"Hal yang sama... maksudmu yang di ruang dewan organisasi?"
"Ah. Waktu itu aku nggak tahu kalau kamu dan ketua dewan organisasi adalah teman masa kecil, dan aku jadi murung serta kesal sendirian. Aku sadar kalau aku punya pengalaman yang sama, tapi tetap saja aku nggak peka terhadap orang lain. Itu kebiasaan burukku."
"Nggak perlu merendahkan diri seperti itu. Kenapa, sih? Kau jarang-jarang meminta maaf dengan jujur seperti ini."
"Yah, kalau bukan dalam situasi seperti ini, aku mungkin nggak bakal bisa mengatakannya."
Aku memang nggak bisa melihat ekspresinya, tapi entah kenapa, aku bisa menebak wajah seperti apa yang sedang ia buat. Jadi, aku pun menjawab dengan jujur.
"Aku juga minta maaf. Dan tolong sampaikan permintaan maafku pada Ruri-san."
"Dia sih nggak akan mempermasalahkannya... tapi baiklah, aku akan menyampaikannya."
"Tapi tahu nggak... meskipun bukan soal Ruri-san, aku tetap merasa kamu pasti lebih nyaman bersama anak-anak jurusan sastra. Bukankah lebih menyenangkan begitu? Lagipula, aku dan kamu sepertinya nggak cocok secara mendasar."
"Kenapa tiba-tiba ngomong gitu?"
"Setiap orang punya nilai dan cara pandang yang berbeda. Bahkan untuk hal sepele pun, ada orang yang bisa merasakan emosi yang bertolak belakang. Memang nggak ada yang benar atau salah, tapi dalam membangun komunitas, biasanya lebih mudah kalau kita dikelilingi orang-orang yang punya cara berpikir serupa."
"Itu memang benar. Ada orang yang, seberapa pun kita berusaha, tetap nggak akan bisa memahami kita. Dan menghabiskan waktu dengan orang-orang yang bisa berbagi nilai yang sama tentu akan terasa lebih nyaman."
"Aku sih nggak merasa ada perbedaan besar antara anak sastra dan anak sains. Tapi... kalau kita bicara dalam konteks hubungan pasangan, itu cerita lain."
"…………"
"Kalau kita tetap berpura-pura jadi pasangan, aku merasa aku malah menghalangi kesempatanmu untuk bertemu dengan orang yang benar-benar bisa memahami dan cocok denganmu. Itulah yang aku rasakan kemarin."
"…Maksudmu apa?"
"Meskipun ini hanya pura-pura, aku tetap merasa kalau seorang anak jurusan sastra sepertimu dan seorang anak jurusan sains sepertiku itu nggak cocok—"
"—Itu tidak benar."
Suara Hiroo-kun terdengar tenang, tapi penuh ketegasan.
"Aku sudah pernah bilang, kan? Aku menganggapmu sebagai satu-satunya rivalku. Kita punya nilai yang sama—kita ingin menjadi yang terbaik, ingin menjadi seseorang yang dikagumi semua orang. Itu juga bentuk dari berbagi nilai, kan? Bukan soal sastra atau sains, aku suka bagaimana kita bisa bersama-sama mencapai puncak. Aku suka berada di puncak bersamamu. Aku suka saat bersamamu."
"Hiroo-kun..."
"Kalau kamu nggak mau berpura-pura jadi pasangan lagi, itu nggak masalah. Kalau kamu benar-benar ingin mengakhiri ini, aku akan menulis skenario yang membuat perpisahan kita bisa diterima oleh semua orang. Tapi—"
Hangat tubuhnya yang menempel di punggungku menghilang. Sebagai gantinya, aku merasakan tangannya menyentuh bahuku. Saat aku menoleh, aku melihat matanya yang serius menatap lurus ke arahku.
Lalu, Hiroo Ryusei berkata dengan mantap, tanpa ragu sedikit pun.
"Jangan bilang kita nggak cocok. Aku merasa paling bahagia saat bersamamu."
Jantungku berdebar hebat. Aku tak perlu rumus untuk menyadari bahwa perasaan ini bukan sekadar efek jembatan gantung.
"A-a-aku juga... Aku juga paling bahagia saat bersamamu."
Wajahnya mulai kabur di mataku. Mungkin karena panas yang menjalari wajahku, penglihatanku menjadi buram.
Apakah ini yang disebut dengan cinta?
Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta?
Kalau iya, maka satu hal yang harus aku lakukan sekarang adalah jujur pada perasaanku.
Aku harus mengatakan ini dengan jujur kepadanya.
Jadikan aku... pacarmu yang sebenarnya—
Aktor yang memerankan suatu peran pasti akan mencapai batasnya suatu hari nanti. Karena itu bukan diri mereka yang sesungguhnya.
Apa yang harus aku lakukan sekarang adalah menanggalkan peran pura-pura ini dan menyampaikan perasaanku yang sebenarnya pada Hiroo-kun.
"Hiroo-kun... Aku ingin—"
Karankaran-karan!
Tiba-tiba, suara terdengar dari langit-langit. Bersamaan dengan itu, lampu ruangan persiapan menyala. Beberapa suara keras terdengar, dan pintu akhirnya terbuka.
"Hoi, klub teater! Kalian baik-baik saja?"
Di depan pintu yang terbuka, seorang guru olahraga bertubuh kekar berdiri bersama Hibi-san.
"Sensei, kami baik-baik saja. Maaf sudah merepotkan. Dan Hibi, terima kasih sudah membawa sensei ke sini."
"Ketua dan wakil ketua klub selamat, syukurlah."
Sementara aku masih diliputi sisa debaran tadi hingga kepalaku terasa melayang, Hiroo-kun dengan tenang menanggapi situasi.
Cahaya lampu buatan yang kembali menyinari kami terasa begitu terang, seakan-akan aku masih berada dalam mimpi. Aku mengikuti mereka keluar dari ruang persiapan. Pemandangan yang sudah biasa kembali menyambutku.
Aku merasa seperti kembali dari dunia lain ke kenyataan.
Bagaimana orang-orang yang mencintai dunia teater menghadapi kesedihan seperti ini?
Saat aku berdiri sendirian, menatap ruang klub yang sudah familiar, Hiroo-kun mendekat dan berkata,
"Itu improvisasi yang bagus, Tofukuji."
"……Hah?"
Lalu, begitu saja, dia kembali bercengkerama dengan Hibi-san dan yang lainnya.
Improvisasi…? Apa maksudnya?
Aku penasaran, tetapi untuk saat ini, aku berjalan menuju kursi tempat aku meninggalkan ponselku.
Saat menyalakan layar dan memeriksa waktu, ternyata sudah lewat pukul 19:30. Sepertinya aku menghabiskan waktu cukup lama di ruang persiapan.
Aku mengecek beberapa notifikasi yang masuk selama itu. Ada pemberitahuan dari LINE, notifikasi dari Insta, lalu… email?
Sejak mulai berpura-pura menjadi pasangan dengan Hiroo-kun, pertukaran data di antara kami semakin sering, jadi aku membuat alamat email khusus untuk itu. Kini, satu email masuk ke alamat tersebut.
"Oi, Tofukuji. Kenapa bengong? Ayo pulang."
Saat aku sedang teralihkan oleh ponsel, Hiroo-kun menegurku.
"Ah, iya."
Bagaimanapun, karena ketegangan yang berlangsung cukup lama, aku merasa sedikit berkeringat. Aku ingin segera pulang dan mandi.
◆
"Sial… yang mana yang benar?"
Selesai mandi, aku berbaring di tempat tidur dengan piyama dan menatap ponsel dengan tajam.
Aku baru saja selesai membaca email yang masuk tadi.
Pengirimnya adalah Hiroo Ryusei. Isinya…
Sebuah skenario.
Percakapanku dan dia di ruang persiapan tadi malam.
Semuanya tertulis dalam bentuk naskah dan dikirimkan kepadaku.
Awalnya, aku sama sekali tidak mengerti maksud email ini. Namun, di bagian pembuka, ada sebuah catatan.
"Kita tidak tahu kapan seseorang akan datang menyelamatkan. Aku menyusun naskah dadakan agar jika ada yang mendengar percakapan kita dari balik dinding, tidak ada yang curiga."
Lalu, bagian dialogku… sedikit berbeda dari yang sebenarnya aku katakan. Email itu masuk pada pukul 19:26. Dari situ, aku menyimpulkan dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama.
Percakapan kami di ruang persiapan sejak awal adalah naskahnya.
Lebih tepatnya, hanya dia yang mengikuti naskah itu.
Dia tidak tahu bahwa aku meninggalkan ponsel di kursi ruang klub, jadi saat kami masih terkunci di ruang persiapan, dia mengirimkan email ini.
Dengan kata lain, hanya dia yang berbicara sesuai naskah, dan karena dialogku berbeda, dia menganggap itu sebagai improvisasi. Jadi, itulah maksud dari "improvisasi yang bagus" yang dia katakan tadi. Kalau dipikir-pikir, yang pertama kali membahas efek jembatan gantung adalah dia.
Aku pikir dia, sama seperti aku, hanya ingin mencari alasan atas detak jantung yang berdebar tadi. Tapi bisa jadi, dia hanya memanfaatkan situasi itu untuk menguji kualitas naskah improvisasinya.
Dalam email, dia memang mengatakan bahwa itu untuk berjaga-jaga jika ada yang mendengar, tapi kemungkinan lain adalah dia hanya ingin melihat sejauh mana naskah dadakannya bisa berjalan dalam situasi seperti ini.
Kemungkinan kedua.
Dia merasa malu dengan percakapan di ruang persiapan dan ingin menganggapnya tidak pernah terjadi, jadi dia mengirimkan email berisi naskah itu setelahnya.
Waktu penerimaan 19:26.
Apakah itu masih saat kami terkurung di ruang persiapan, atau setelah kami berhasil keluar?
Karena aku tidak membawa ponsel, aku tidak bisa mengecek waktu secara pasti, jadi 19:26 adalah batas waktu yang cukup ambigu.
Jika dia menyadari sejak awal bahwa aku meninggalkan ponsel, maka dia bisa dengan sengaja menuliskan percakapan kami dalam bentuk naskah dan mengirimkannya setelah kami keluar—sebagai upaya penghapusan jejak.
Dengan ingatannya sebagai peraih peringkat satu di jurusan sastra, mengubah percakapan seperti itu menjadi teks pasti bukan hal sulit baginya.
Setelah pintu ruang persiapan terbuka, aku masih terlarut dalam suasana hati dan tidak sepenuhnya fokus, jadi memang ada celah bagi dia untuk melakukan ini.
Bagian dari naskah yang sedikit berbeda dari ucapanku juga bisa saja merupakan perubahan kecil yang dia buat untuk memastikan ceritanya masuk akal.
Trik licik seperti ini benar-benar khas dirinya.
Aku sudah memikirkan dua skenario ini, tapi…
Kebenarannya hanya diketahui oleh Hiroo Ryusei. Jika yang benar adalah kemungkinan pertama, maka aku hanya akan merasa malu karena telah berdebar sendirian.
Namun, jika yang benar adalah kemungkinan kedua, maka itu berarti dia mencoba menyembunyikan sesuatu—karena malu. Dan itu juga berarti…
Apa yang dia katakan di ruang persiapan tadi benar-benar keluar dari hatinya.
Jadi, mana yang benar? Sebagai peraih peringkat satu di jurusan sains, aku bisa menyelesaikan berbagai soal sulit. Tapi jika tidak ada rumusnya, maka mustahil untuk menemukan jawabannya. Sungguh…
"Cinta itu benar-benar tidak efisien."
Aku berkata begitu, lalu perlahan-lahan tenggelam ke dalam tidur yang nyaman.
◆
Keesokan harinya, seusai jam pelajaran.
Di bawah pengawasan empat anggota klub, pintu ruangan sedang diperbaiki.
"Akhirnya, satu kekhawatiran kita berkurang."
Dengan santainya, seolah kejadian tadi malam tak pernah terjadi, Hiroo-kun berkata begitu.
"Iya, benar."
Aku menanggapinya dengan jawaban yang datar.
"Ketua dan wakil ketua tak perlu khawatir terkunci berdua lagi, ya."
Saat Hibi-san mengatakan itu, yang merespons justru Shien.
"Oh? Sejak kapan kalian berdua mengadakan acara menarik seperti itu?"
Aku hanya bisa mendesah lelah.
"Tidak ada yang menarik sama sekali. Kami terkunci dan cukup panik, tahu."
"Oh? Begitukah, Tofukuji? Tapi menurutku, kau terlihat tenang."
"Itu karena Hiroo-kun ada di dekatku. Aku hanya panik di awal saja."
"Ahaha. Aku juga senang karena ada kau bersamaku, Tofukuji."
Dan begitulah, kami kembali memulai sandiwara konyol kami.
"Eh, tapi… bukankah kalian berdua sempat bertengkar? Saat aku tiba di ruang klub, samar-samar kudengar suara kalian beradu argumen."
Hibi-san menatap kami dengan mata menyipit.
"Kedengaran, ya… Memalukan juga. Tapi itu sama sekali bukan pertengkaran, kan, Tofukuji?"
"Benar. Kami hanya… saling memastikan perasaan masing-masing."
"Astaga… Pasangan aktor klub drama ini benar-benar menggemaskan…."
Saat kami sedang bercakap-cakap, tukang reparasi memanggil kami untuk mengecek hasil perbaikan.
Kini, pintu bisa terbuka dan tertutup dengan mulus, seolah-olah masalah beratnya kemarin hanyalah kebohongan belaka.
"Baiklah! Kalau begitu, ayo mulai latihan hari ini!"
Suara Hiroo-kun menggema di ruang klub, dan para junior segera bersiap. Di bawah sinar matahari yang hangat, keseharian kami kembali berjalan seperti biasa.
Aku berdiri di samping Hiroo-kun, menatap pemandangan itu sambil berkata,
"Kejadian kemarin… itu bukan improvisasi, tahu."
"Eh…?"
Lalu, aku berlari ke arah para junior.
Kalau dia merasa menang hanya karena berhasil memberiku teka-teki yang sulit, maka dia salah besar.
Karena aku juga akan membuatnya memikirkan sebuah teka-teki yang bahkan seumur hidup pun tak akan bisa dia pecahkan.
Pemenangnya adalah aku.
Ayo, coba pecahkan kalau bisa. Dan jika suatu saat kau menemukan jawabannya…
Saat itulah, mungkin aku benar-benar akan menerima untuk menjadi pacarmu.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.