Rikei Kanojo to Bunkei Kareshi, Saki ni Kokuttahou ga Make Extra 1

Ndrii
0

ACTOR

Hiroo Ryusei




Dalam suhu hangat yang cukup membingungkan para pelayan apakah mereka harus menyajikan minuman panas atau dingin, aku perlahan menutup jendela kamarku.


Pukul enam pagi.


Mungkin karena gugup, aku bangun lebih awal dari rencana. Saat aku mengintip ke luar, cuacanya cerah tanpa cela.


Orang-orang mungkin akan menyebut hari seperti ini sebagai cuaca yang sempurna untuk kencan.


Aku, Hiroo Ryusei, peringkat pertama di jurusan sastra,

akan berkencan hari ini dengan gadis peringkat pertama di jurusan sains, Tofukuji Tamaki.


Tentu saja, ini bukanlah sesuatu yang kuinginkan, juga bukan suatu acara spesial bagiku. Ini hanyalah tugas yang harus kuselesaikan, sesuatu yang terjadi karena permintaan junior kami.


Jadi, meskipun aku sempat berpikir bahwa aku bangun lebih awal karena gugup, jika kupikirkan baik-baik, tidak ada alasan bagiku untuk merasa gugup.


Ini hanya sekadar kencan.


Namun, bukan berarti aku bisa mengabaikan persiapannya. Jika mengunjungi Dezmyland pada akhir pekan, ada kemungkinan besar kami akan bertemu dengan siswa lain dari sekolah kami. Bahkan, ada kemungkinan Arisaki Shien, orang yang menyebabkan semua ini, akan datang untuk mengawasi.

Agar tidak ketahuan bahwa aku dan Tofukuji hanya berpura-pura menjadi pasangan, aku sudah menyiapkan beberapa skenario yang bisa digunakan.


Selain itu, aku juga harus mempersiapkan diri untuk menghadapi Tofukuji sendiri. Aku belum pernah pergi ke Dezmyland sebelumnya.

Jadi aku tidak tahu atraksi atau acara apa saja yang ada di sana.


Namun, aku harus memastikan agar Tofukuji tidak menyadari hal itu.

Benar, meskipun aku dan dia hanyalah pasangan pura-pura, harga diriku sebagai pria peringkat pertama di jurusan sastra tidak akan membiarkanku terlihat lemah di matanya.


Tidak mungkin aku memperlihatkan sikap gugup saat berkencan dengan seorang gadis.


Itu sama sekali tidak boleh terjadi.


Aku harus mengawalnya dengan elegan dan berperan sebagai pria yang sudah terbiasa berkencan.


Untuk itu, aku meminta teman masa kecilku, Ruri, untuk membuatkan rencana perjalanan ke berbagai atraksi, lalu menghafalnya dengan baik.


Persiapanku sudah sempurna.


Untuk menghilangkan sisa rasa kantuk yang masih ada, aku memutuskan untuk mandi sebentar.


Setelah sarapan ringan, aku kembali ke kamar, mengambil beberapa novel roman dari rak, dan menumpuknya di atas meja. Aku membaca bagian awal satu novel, lalu menutupnya, mengambil novel lain, membaca bagian awalnya lagi, dan mengulanginya beberapa kali.

Saat aku sedang melakukan itu, ponselku berbunyi—sebuah pesan dari Ruri, yang sudah tiba di depan pintu rumah.


Aku membiarkannya masuk ke kamarku, menyiapkan cermin, lalu duduk di kursi.


"Maaf ya, pagi-pagi sudah merepotkanmu."


"Enggak masalah. Aku juga biasanya sudah bangun jam segini di hari Minggu, tapi… itu apa, sih? Kenapa ada tumpukan buku begitu?"


"Oh, aku berpikir kalau membaca bagian awal novel roman mungkin bisa memberiku referensi."


"Kenapa cuma bagian awalnya doang?"


"Kalau sudah sampai bagian pertemuan tokohnya, aku bisa mengingat dengan jelas seperti apa akhirnya. Aku sebenarnya tidak suka metode yang terlalu mengutamakan efisiensi, tapi aku ingin mengumpulkan sebanyak mungkin pola interaksi."


"Kelihatan banget kalau kamu serius."


"Bu-bukan itu alasannya…!"


Agar bisa berperan sebagai pria yang sudah terbiasa berkencan, ini adalah sesuatu yang harus kulakukan. Bukan karena aku benar-benar bersemangat hanya karena akan berkencan dengan Tofukuji.


"Belajar dari buku memang bagus, tapi jangan sampai malah jadi terlalu teoretis"


"Hmph… Aku tahu."


"Baiklah, ayo kita mulai. Udah pakai hair dryer, kan?"

"Iya. Sesuai instruksimu, aku sudah membentuknya dengan hair dryer."


"Bagus, belah tengahnya sudah rapi, dan volume di bagian belahan rambutnya juga pas."


Sambil berkata begitu, Ruri mulai menggunakan catokan rambut barunya untuk merapikan poniku dengan cekatan.


"Oh ya, Ryusei."


"Hm?"


"Tahu nggak, aku rasa sebenarnya kamu nggak benar-benar pacaran sama Tofukuji-san."


"Apa!?"


"Aduh, panas!"


"Jangan gerak! Ada pelat bersuhu 160 derajat di atas kepalamu. Kalau nggak diam, bisa kebakar, lho."


"Tapi, kamu tiba-tiba bilang hal aneh begitu…"


"Itu bukan hal aneh. Dari caramu kemarin aja, aku udah bisa nebak. Kita udah berteman sejak kapan, sih?"


Kalau ditanya sejak kapan… sejak nol tahun. 


Kabarnya, kami lahir di rumah sakit yang sama.


Sepertinya, meskipun aku bisa menipu teman-teman sekelas, aku tetap tidak bisa menipu mata seorang teman masa kecil.


"Yah… ada alasannya."


"Padahal aku pikir kamu udah sembuh dari fobia dunia nyata. Sayang sekali."


"Bukan urusanmu."


"Tapi, kamu suka sama Tofukuji-san, kan?"


"Hah!? Panas! Panas! Panas!"


"Makanya, jangan gerak."


"Aku akui, kamu hebat bisa menebak kalau hubungan kami hanya pura-pura. Tapi jangan mengada-ada soal perasaanku. Aku nggak mungkin suka sama perempuan kaku seperti dia. Kamu sendiri tahu kalau aku nggak tertarik sama perempuan di dunia nyata."


"Nggak tertarik sama perempuan di dunia nyata… maksudnya karena kamu belum nemu tipe idealmu, kan? Jangan-jangan, tipe ideal itu ya Tofukuji-san?"


"Bagian mananya? Perempuan rasional yang semua tindakannya serba perhitungan seperti dia itu kebalikan total dari heroine yang aku impikan."


"Padahal menurutku, dia keren dan cool, lho."


"Itu cuma karena dia memainkan peran itu. Kalau dibilang dia itu aktris yang hebat, ya mungkin benar. Tapi aslinya, dia cuma perempuan berhati dingin, pemarah, dan mulutnya pedas."


"Tapi di dunia novel dan anime, bukannya tipe tsundere justru populer?"

"Kalau ada unsur ‘dere’-nya, iya. Tsundere itu menarik karena punya sisi polos di dalamnya."


"Mungkin kamu sadar sisi polos itu dalam dirinya, makanya kamu jadi suka, kan? Lagipula, kamu sendiri aslinya lemah tapi pura-pura jadi laki-laki keren. Jangan-jangan, kalian sebenarnya merasakan simpati satu sama lain?"


"Jadi aku bilang aku tidak suka dia."


"Yah, terserah kalau mau sok kuat..."


Sepertinya pekerjaan dengan alat catok sudah selesai. Ruri meletakkan alat catoknya dan dengan cepat mengoleskan hair balm ke rambutku. Wanginya segar, seperti jeruk.


"Ryusei, aku menyukaimu sampai kelas dua SD, tahu? Kau juga dulu suka aku, kan?"


"Apa-apaan tiba-tiba membahas masa lalu?"


"Lalu, kau tahu kenapa aku akhirnya berpaling ke Kousei?"


"‘Berpaling’ itu kedengarannya buruk."


"Itu karena kau sama sekali nggak pernah menunjukkan kalau kau juga menyukaiku. Padahal aku sudah berusaha mengungkapkannya begitu jelas."


"Yah..."


Memang, waktu kecil, aku tahu kalau Ruri menyukaiku. Dan aku juga menyukainya.


"Meski itu cuma permainan cinta anak kecil yang nggak ada artinya, 

setidaknya waktu itu aku berpikir, ‘Ah, bocah ini meski suka, tapi nggak bisa mengatakannya dengan kata-kata. Dasar laki-laki nggak berguna,’ gitu. Aku sampai kecewa waktu itu."


"Kelas dua SD tapi sudah setajam itu. Aku bisa menangis, tahu."


"Ahaha. Perempuan memang lebih cepat dewasa dibanding laki-laki. Apalagi—"


Ruri menyelesaikan tatanan rambutku, mengelap tangannya dengan handuk, lalu meletakkan kedua tangannya di pundakku.


"—gadis SMA itu, jauh lebih dewasa dari yang dipikirkan laki-laki. Jangan sampai mengulang kesalahan yang sama. Ini bukan nasihat sebagai teman masa kecil, tapi sebagai perempuan yang dulu pernah menyukaimu."


"Hmph. Kalau bicara berdasarkan salah paham begitu, aku jadi bingung."


Lalu, sebagai balasan atas "nasihat" Ruri, aku pun memberinya satu juga.


"Dan ini juga nasihat dari laki-laki yang dulu pernah menyukaimu: laki-laki nggak akan tertarik pada perempuan mesum yang senang melihat foto tubuh telanjang laki-laki."


Sambil berkata begitu, aku mengirimkan foto adikku yang diam-diam kuambil semalam ke ponsel Ruri.


"FUUOOOOOOOOOOOOOOO!! TULANG SELANGKA DAN OTOT DADA KOUSEI-CHAN YANG TERLIHAT SEDIKIT INI SUNGGUH LUAR BIASAAAA!! KAKAK ADALAH DEWA!! RYUSEI, AKU CINTA KAUUUU!!"


TLN : Kek wibu yang lihat waifunya gini rek......


Sambil sedikit mundur mendengar teriakan norak dari teman masa kecilku yang mesum ini, aku menatap wajahku sendiri di cermin. Dengan rambut yang ditata ke belakang dan gaya yang berbeda dari biasanya, aku merasa seperti sedang memakai topeng.

Sebenarnya, manakah aku yang asli?

Aku yang sedang berakting, atau aku yang tanpa akting?

Saat aku memikirkan hal itu, aku jadi berpikir... mungkin semua manusia adalah aktor.


Di pagi hari Minggu ini, aku mendadak jadi sok filosofis.



Jam buka Dezmyland adalah pukul sembilan.


Sebagian besar fasilitas komersial biasanya buka pada pukul sembilan atau sepuluh. Tapi siapa, sih, yang menetapkan standar ini?

Kupikir seharusnya ada tempat yang buka dari jam enam pagi. Tapi, tentu saja, pasti ada alasan-alasan tertentu mengapa jam itu dihindari.


Misalnya soal tenaga kerja, atau jumlah pengunjung.


Kalau aku mengutarakan teori ini pada Tofukuji, dia pasti akan menjelaskan dengan panjang lebar tentang jam aktivitas manusia dari sudut pandang biologis.


Tapi bahkan aku yang dari jurusan sastra pun tahu bahwa sinar matahari pagi itu bagus untuk manusia. Karena tanpa alasan yang jelas pun, aku merasa penuh energi dan suasana hatiku lebih baik.


Di bawah sinar matahari yang menyilaukan, aku berdiri di depan gerbang tiket stasiun yang paling dekat dengan Dezmyland.

Aku mengenakan pakaian yang dipilihkan Ruri kemarin dan menyelempangkan sacoche yang kubeli dari Danki-Kote bersamaan dengan alat catok rambut.


Saat berangkat dari rumah tadi, aku melihat refleksi diriku di cermin. Dan aku harus mengakui—gayaku hari ini terlihat cukup keren.


Seperti yang diharapkan dari Minamiyama Ruri, perwakilan para sosialita.


Aku tak pernah salah kalau meminta saran darinya. Aku jadi penasaran, seperti apa reaksi Tofukuji saat melihatku?


Sambil menunggu dengan perasaan penuh antisipasi, aku mendengar suara dari arah gerbang tiket.


"Maaf menunggu."


"Oh."


Aku membalikkan badan dengan gaya sok keren.


Tofukuji akhirnya tiba.


Yang membuatku terkejut adalah penampilannya. 


Aku sempat membayangkan kalau pakaian kasualnya adalah gaya rapi dengan celana panjang. 


Tapi kenyataannya justru sebaliknya.


Ia mengenakan gaun bermotif kotak-kotak berwarna ungu. Dan gaya rambutnya... kepang tiga.

Kalau ditanya apakah penampilannya lebih terkesan dewasa atau kekanak-kanakan, tanpa ragu aku akan menjawab kekanak-kanakan.


Tapi entah kenapa, meskipun wajah Tofukuji selalu terlihat dingin dan tenang, pakaian ini sangat cocok dengannya.


Apakah ini yang disebut "gap moe"?


Terus terang saja, dia terlihat imut.


Sejak awal, aku memang tidak pernah meremehkan penampilan Tofukuji. Aku mengakui bahwa dia memang gadis tercantik di sekolah.

Tapi dia bukan tipeku.


Ya, dia seharusnya bukan tipeku.


Namun, entah kenapa, hari ini... Dia benar-benar terlihat seperti tipe idealku. 


Aku bahkan sampai merasa gugup karenanya. Tapi aku segera kembali sadar. Aku tidak boleh sampai terpikat olehnya.


Aku yang seharusnya memperlihatkan reaksi kaget dan menikmati melihat ekspresinya, Bukan sebaliknya.



Oh iya, aku juga tidak mengenakan seragam biasanya, dan gaya rambutku pun tidak seperti biasanya. ini adalah versi diriku yang telah berevolusi, dengan perubahan yang sengaja kuciptakan—Hiroo Ryusei yang telah bangkit.


Nah, bagaimana menurutmu, Tofukuji?


Bahkan pria biasa dan membosankan sepertiku bisa terlihat seperti pria tampan jika disentuh oleh tangan seorang anak gaul.


Kalau kau mau, kau boleh saja jatuh cinta padaku.


Kalau kau dalam wujudmu yang sekarang, aku bisa mempertimbangkan untuk berpacaran denganmu.


Dengan penuh percaya diri, aku melihat ekspresi Tofukuji...


"Hoi."


"Apa?"


"Jangan 'apa' denganku. Kenapa kau malah membuang muka?"


"Tidak ada alasan khusus. Cahaya matahari saja yang terlalu menyilaukan."


"Padahal kau justru sedang menghadap ke timur. Cahaya matahari datang dari arah sana, tahu."


"Diamlah. Ini menyebalkan."


Apa ini...? Apakah aku berhasil?


Jangan-jangan, karena aku terlalu tampan, dia jadi tidak sanggup menatapku?

Baiklah, aku akan menggodanya sedikit.


"Jangan-jangan, kau malu, ya?"


"H-Hah? Jangan kepedean!"


"Kalau begitu, tatap aku. Ini kan kencan, setidaknya secara teknis. Bisa saja ada murid-murid sekolah kita di sini. Kalau pacarnya malah membuang muka, itu aneh, bukan?"


"Aku tahu! Kau berisik."


Sambil berkata begitu, Tofukuji perlahan menoleh ke arahku.

Pipinya merona, dan dia menatapku dari bawah dengan mata besar berkilau.


"Aku cuma sedikit kaget melihat perbedaanmu dengan biasanya, itu saja."


Pada saat itu juga, aku menoleh dengan kecepatan yang hampir membuat leherku terkilir.


Sial, ini gawat.


Sialan... kenapa Tofukuji hari ini terlihat begitu menggemaskan?

Kenapa si pemburu malah jadi korban di sini?


"Ayo jalan saja dulu."


Aku sendiri tidak tahu apa maksud 'jalan saja dulu' itu, tapi aku melangkah tanpa sanggup menatap matanya. Kalau sampai ada yang melihatku seperti ini, pasti aku akan dimarahi oleh teman masa kecilku.


Begitu tiba di Dezmyland, tempat itu sudah penuh sesak dengan orang-orang, meskipun baru saja dibuka. Memang tak diragukan lagi, ini adalah taman hiburan nomor satu di negeri ini. Sambil membelah kerumunan, aku menggandeng Tofukuji dan memimpin jalan.


"Ke sini."


Begitu melewati gerbang masuk, ada wahana kapal bajak laut yang langsung terlihat.


Tapi ini akan kulewatkan.


Alasannya?


Karena saat taman baru dibuka, kebanyakan orang pasti ingin langsung naik wahana, jadi mereka cenderung mengantre di kapal bajak laut yang pertama kali mereka lihat.


Hasilnya, waktu tunggunya jadi lebih lama.


Lebih baik langsung menuju roller coaster bawah tanah yang lebih jauh ke dalam.


Dengan begitu, waktu tunggunya lebih singkat dan lebih efisien.

Setidaknya, itulah yang dikatakan Ruri. Ayo, Tofukuji, ikut aku.

Aku akan mengeskortmu dengan keren.


Dengan rute sempurna yang sudah dirancang oleh teman masa kecilku.


"Tidak, bukan ke sana."


Tiba-tiba lenganku ditarik.


"Uwah!"


Karena cukup kuat, aku refleks berseru.


"Suara apa itu? Jijik sekali."


"Kau yang tiba-tiba menarikku!"


"Karena itu bukan jalannya."


"Maksudmu apa, bukan jalannya?"


Jangan-jangan... Dia lebih ahli soal Dezmyland dibanding Ruri!?


"Kemarin aku sudah bilang di Line, kan? Hari ini kita tidak rekam video, tapi ambil foto dan unggah ke Insta."


"Oh, Arisaki sudah menyetujuinya, kan?"


"Iya. Jadi kita akan mengikuti rute yang melewati tempat-tempat yang bagus untuk difoto."


Benar juga! Dia ternyata seorang ahli!


Jadi, bagi siswi SMA, Dezmyland bukan lagi tempat untuk menaiki wahana, melainkan tempat untuk berburu foto yang Instagramable.


Tapi ini bukan salah Ruri.


Aku sendiri yang sudah berasumsi kalau Tofukuji tidak akan tahu banyak soal Dezmyland, jadi aku meminta Ruri membuatkan rencana untuk pemula.


Dengan kata lain, ini murni kesalahanku.


Kalau aku mengikuti rute yang dia buat, aku tidak akan pernah bisa 

mengambil kendali lagi. Aku harus memaksakan rencanaku sendiri, bagaimana pun caranya.


"Lebih baik kita ambil foto nanti siang saja. Kalau unggahnya terlalu pagi, yang melihat juga sedikit, kan? Lagipula, lebih baik kita menikmati wahana dulu."


"Eh...?"


Tofukuji menampakkan ekspresi bingung. Terlalu memaksakan, ya?


Tapi aku tidak boleh mundur. Taman ini saja sudah cukup membingungkan. Kalau tiba-tiba ganti rencana, aku malah makin kewalahan.


"Ayo, kita jalan."


"T-Tunggu sebentar!"


Oi—. Tolong, setujui saja. Jangan ngotot, pemain tingkat lanjut. Aku nggak mau ketahuan sebagai pemula.


"Kenapa? Di sana juga mulai ramai, lho."


"Eh, e-ehm... Ah... Maaf, ada telepon masuk."


Setelah berkata begitu, Tofukuji mengeluarkan ponselnya dan sedikit menjauh dariku. Siapa yang meneleponnya di jam segini?


Bagaimanapun, ini kesempatan untuk menghubungi Ruri lewat LINE dan meminta rencana cadangan sebagai antisipasi. Namun, sebelum aku sempat melakukannya,Tofukuji sudah kembali lagi. Sial...


Dan begitu kembali, ekspresinya yang tadi tampak kebingungan langsung berubah drastis.

"Nggak bisa. Kita tetap pakai rute ini."


Sial!!


Apa-apaan sih gadis keras kepala ini!?


Beneran kepala batu! Belajarlah sedikit untuk mengalah! Tapi aku juga punya harga diri.


"Santai aja, dong. Menikmati suasana dengan santai juga bagian dari keseruan di Dezmyland, kan?"


Gimana? Kedengarannya meyakinkan, kan? Aku kelihatan seperti orang yang sudah terbiasa di Dezmyland, kan!?


"Eh, a, haa? Tunggu sebentar, ada telepon lagi."


Siapa sih yang terus menelepon dari tadi!? Jangan memotong pembicaraan tiap saat! Tapi... bukankah ini kesempatan lagi?

Saatnya menghubungi Ruri lewat LINE...


"Tetap nggak bisa. Dengan rute ini juga kita bisa menikmati semuanya dengan cukup santai."


Cepat banget baliknya!!


"Tapi, tetap aja—"


"Hiroo-kun, jangan-jangan ini pertama kalinya kamu ke Dezmyland?"


"Ha-ha-ha-haah!?"


"Soalnya kamu kayak ngotot banget soal wahana."


"Nggak juga? Justru seorang yang sudah paham betul itu malah lebih 

memperhatikan wahana. Lagian, kamu sendiri yakin udah cukup tahu tempat ini?"


"Eh? Haa? Apa sih maksudnya? Haa? Serius deh, mau pamer pengalaman buat menjatuhkan aku? Kedengarannya kamu lagi nggak punya cukup percaya diri, ya? Haa?"


"Percaya diri aku banyak banget, tahu?"


"Oh ya?"


"Apa, sih?"


"Apa, coba?"



"Eh, bukankah itu kan pasangan teater?"



Terdengar suara seseorang.


Saat menoleh, ada sekitar empat orang gadis seumuran kami. Mereka semua berambut terang, tampak seperti sekelompok gadis gyaru.

Karena mereka memakai baju kasual, aku nggak bisa tahu dari sekolah mana mereka berasal, tapi kalau sampai menyebut "pasangan teater", kemungkinan besar mereka dari sekolah kami atau sekolah di sekitar sini.


Aku langsung bertukar pandang dengan Tofukuji.


"Skenario B-4."


"Siap."


Seperti yang kuduga, para gadis itu mulai mendekati kami.

"Uhm, kalian Hiroo-senpai dan Tofukuji-senpai, kan?"


Ternyata mereka adik kelas.


"Oh, halo. Kalian dari Minefuji?"


Seperti biasa, Tofukuji melontarkan pertanyaan standar, yang langsung dijawab oleh para gadis itu.


"Iya, kami dari klub tenis!"


"Tofukuji-senpai, cantik banget, parah. Hiroo-senpai juga stylish banget, bukan cuma rumput, tapi udah kayak bunga!"


"Iya banget!"


"Pasangan teater ini beneran jadi bahan pembicaraan di klub tenis, lho. Di Insta juga sempat viral!"


Klub tenis gadis, huh.


Foto yang bikin kami viral juga diunggah oleh salah satu anggota mereka yang diam-diam mengambil gambar kami.


"Kami sih cuma pasangan biasa, tapi senang kalau kalian mengenal kami."


"Iya, tapi Hiroo-kun itu nggak biasa. Dia itu baik dan keren banget!"


"Kalau begitu, Tofukuji juga cerdas dan imut!"


Melihat kami saling melempar pujian tanpa perasaan, para gadis itu langsung heboh sendiri.

Mungkin dialog kami terdengar agak berlebihan, tapi rumor biasanya berkembang dengan tambahan cerita yang macam-macam. Apalagi ke arah negatif.


Daripada membuat orang curiga kalau hubungan kami hanya pura-pura, lebih baik menonjolkan kesan mesra sekalian.


Apalagi kalau yang menyebarkan adalah klub tenis gadis, yang sering disebut sebagai "departemen humas" sekolah Minefuji.


"Ne, ne, senpai, boleh foto bareng nggak?"


Salah satu dari mereka, yang pertama kali berbicara tadi, mengajukan permintaan itu. Tentu saja, skenario kami tidak sampai memperhitungkan sesi foto, tapi kalau mereka mengunggah foto ini ke media sosial, postingan yang akan kami buat nanti akan terasa lebih meyakinkan.


Kami pun dengan senang hati mengizinkan mereka mengambil foto sebelum akhirnya berpisah. Para gadis itu berjalan menuju arah rute pemandangan yang diusulkan Tofukuji.


"Tuh, mereka aja pilih jalan ini."


"Yah... iya juga, sih..."


Kalau sudah ada suara dukungan dari pihak ketiga, jadi susah untuk membantah.


"Tapi ngomong-ngomong, nggak malu, ya, nulis skenario di mana kamu sendiri dipuji ganteng?"


"Biasa aja. Aku kan nggak pakai perasaan pas bilang itu. Coba lihat baris berikutnya, aku juga memuji kamu imut, kan?"

"Hmph. Memang sih, kalau kamu mengatakannya dengan perasaan, aku pasti bakal geli sendiri dengarnya."


"Gadis satu ini, selalu saja ada tambahan komentar nyebelin."


"Bukannya mengolah kata itu keahlian anak sastra?"


"Tidak mengatakannya dalam kata-kata juga merupakan salah satu keutamaan sastra. Aku kira bahkan anak sains pun paham betapa pentingnya pengurangan makna dalam komunikasi. Tapi ternyata, anak sains memang sulit diajak cocok."


"Iya, iya. …Kalau kamu begitu suka anak sastra, kenapa nggak kencan saja sama anak itu?"


"Apa tadi kamu bilang?"


Aku bertanya balik pada Tofukuji yang bergumam sesuatu.


"Bukan apa-apa. Ayo cepat ambil foto di spot Instagrammable dan selesaikan tugas ini," katanya, lalu mulai berjalan lagi dengan wajah tetap kesal.



Pukul tiga sore.


Setelah mengambil foto ketiga, kami beristirahat di sebuah kafe di dalam taman hiburan. Tiga foto yang sudah aku unggah ke Insta pun mendapat jumlah "like" yang meningkat dengan stabil.


Pada akhirnya, rute berkeliling di taman ini masih sepenuhnya dikendalikan oleh Tofukuji.


Padahal aku sudah menghafalkan rencana terbaik yang diberikan Ruri, tapi sejauh ini, rencana itu sama sekali tidak terpakai.

Aku tidak menyangka kalau Tofukuji begitu paham tentang spot-spot Instagrammable di taman ini. Dan karena itu, aku semakin tidak ingin terlihat seperti orang yang tidak berpengalaman.


"Kenapa sih dari tadi kamu kelihatan gelisah?"


"Gelisah? Aku?"


"Iya. Kamu terus melihat ke sekitar. Lagi cari sesuatu?"


"Bukan apa-apa. Aku cuma merasa kafe ini kelihatan lebih bagus sekarang."


"Lebih bagus…? Bagian mana?"


Sial, aku asal bicara saja! Kalau berbohong tentang sesuatu yang tidak aku tahu, nanti bakal makin sulit untuk ditutupi. Tapi sekali sudah berbohong, aku harus melanjutkannya dengan kebohongan lain.

Jadi begini ya rasanya kalau seseorang membuat kesalahan besar hanya karena berbohong tentang hal kecil?


"Umm… bagian konternya?"


"…Ah, iya, benar juga. Memang jadi lebih bagus, ya. Aku juga sempat berpikir begitu waktu terakhir kali ke sini. 'Kalau konternya lebih bagus, pasti akan lebih menyenangkan'."


"B-Benar, kan? Mereka paham kebutuhan pelanggan. Memang taman ini luar biasa."


"Iya, iya. Setuju."


Aman!? Aku selamat secara ajaib!? Tidak, ini benar-benar hanya keberuntungan belaka. Aku harus berhenti berbohong hanya untuk menutupi keadaan.

Sebenarnya, alasan aku melihat ke sekitar adalah karena aku sedang mencari toilet.


Kalau toilet di luar ruangan, aku bisa melihat peta taman secara diam-diam untuk mencari tahu lokasinya. Tapi karena kami sedang berada di dalam kafe, aku tidak tahu di mana letaknya.


Ini kafe yang cukup luas.


Kalau aku asal berdiri dan berjalan-jalan mencarinya, Tofukuji mungkin akan berpikir, "Eh, dia bahkan tidak tahu di mana toilet? Jangan-jangan ini pertama kalinya dia ke sini?"


Aku ingin mencari tahu lokasinya sebelum berdiri, tapi petunjuk toilet sulit ditemukan.


Karena itu, aku malah jadi terlihat gelisah dan mencurigakan di mata Tofukuji. Lebih buruk lagi, aku sudah hampir mencapai batas ketahanan kandung kemihku.


Sial… bagaimana ini? Apa aku harus nekat saja dan langsung berdiri?


"Aku mau ke toilet sebentar."


Tiba-tiba, Tofukuji meletakkan gelas latte-nya dan bangkit. Kesempatan! Kalau dia pergi duluan, aku bisa diam-diam mengikutinya dengan pandangan dan melihat di mana toilet berada.


Aku tidak yakin apakah aku bisa menahan kandung kemihku sampai dia kembali, tapi tidak ada pilihan lain.


"Oke. Aku jaga barang-barang kita, jadi pergilah duluan."


"Ya."


Aku selamat… atau setidaknya itulah yang aku pikir.


"Jangan-jangan, Hiroo-kun juga mau ke toilet, kan?"


"Hah?"


"Kalau kamu khawatir sama barang-barang kita, aku bisa menjaganya. Pergilah duluan."


Apa!? Kenapa jadi begini!?


Enggak, kamu saja yang pergi! Aku baik-baik saja, serius!


Sambil menyembunyikan keputusasaan di dalam hatiku, aku tetap menjawab dengan tenang.


"Nggak, Tofukuji saja duluan."


"Tidak, Hiroo-kun saja."


"Nggak, serius. Tofukuji saja."


"Hiroo-kun saja duluan."


"Tofukuji saja."


"Hiroo-kun."


Apa masalahnya!? Kenapa dia memaksa begitu!?

Sial, aku sudah tidak bisa menahannya lagi! 


"Oke, aku pergi duluan."


Aku buru-buru bangkit dan berjalan tanpa tujuan. Mungkin kalau aku ke arah yang terlihat masuk akal…ADA!

Aku melihat papan petunjuk!


Nyaris saja! Untung saja instingku bekerja dengan baik kali ini!

Aku mengikuti arah yang ditunjukkan dan bergegas menuju toilet.

Setelah menyelesaikan urusan, aku kembali ke meja dengan perasaan lega.


Tapi Tofukuji tidak ada di sana.


Mungkin dia akhirnya tidak bisa menahan diri dan pergi ke toilet juga.

Kalau begitu, kenapa tidak dari tadi saja?


Yah, setidaknya barang-barang kami masih ada, dan aku tidak ingin terlalu keras mengkritik dia dalam hal seperti ini—lagipula, itu tidak sopan terhadap seorang perempuan.


Aku merasa lega karena semua masalah selesai, lalu duduk dan melamun sambil melihat ke depan.


Di meja depan, seorang gadis berambut kembar dua sedang makan makanan penutup sendirian.


Dia mengenakan pakaian bergaya gothic lolita.


Rambut poninya terlihat imut, tapi wajahnya memiliki kesan yang lebih dingin dan anggun.


Umm, tidak, tunggu…


Aku kembali berdiri, berjalan ke meja di depan, lalu duduk di hadapan gadis itu.


"Apa yang kau lakukan di sini, Arisaki?"


"Oh, ini kejutan. Ketua Hiroo. Kebetulan sekali, ya."

"Mana mungkin kebetulan. Jadi kau memang datang untuk mengintai, ya?"


"Seperti yang diharapkan dari ketua. Kau sudah membaca gerak-gerikku?"


"Aku memang sudah memperkirakan, tapi tak kusangka kau benar-benar melakukannya. Aku agak kaget, sih."


"Kau keterlaluan sekali berkata begitu pada adik kelasmu."


"Jadi, sejak kapan kau mengamati kami?"


"Kalau ditanya sejak kapan, aku agak kesulitan menjawabnya. Aku tak ingat waktu pastinya."


"Kalau begitu, jelaskan dari kejadian apa kau mulai mengawasi kami."


"Oh, kalau itu... Sejak saat Ketua Hiroo tersenyum-senyum sendiri penuh semangat melihat pakaian kasual Tamaki-senpai."


"Baiklah, ayo kita bicara."


"Aduh, jangan malu begitu. Tamaki-senpai juga sama, kok."


"Sama bagaimana?"


Sambil sesekali melirik ke arah toilet memastikan apakah Tofukuji sudah kembali, aku bertanya pada Arisaki.


"Ya. Begitu melihat Ketua Hiroo dengan tampilan terbaik yang sudah dipersiapkan matang-matang untuk kencan, Tamaki-senpai langsung tersipu malu."


"Kau ini suka sekali mengejekku, ya?"

"Sama sekali tidak. Siapa pun pasti akan tersipu kalau melihat tampilan sekeren itu."


Memang, waktu itu wajah Tofukuji terlihat memerah dan tampak benar-benar malu. Jadi, berarti rencanaku berhasil, ya?


"B-benarkah...?"


"Kenapa kau senyum-senyum sendiri begitu? Jijik sekali."


"Eh, Arisaki?"


"Aduh, aku keceplosan."


"Kalau begitu, sekalian saja kau ucapkan sesuatu yang tak ada di hatimu."


"Ngomong-ngomong, Tamaki-senpai juga sebelumnya banyak membaca majalah fashion dan melihat akun Insta model untuk persiapan hari ini."


Perempuan sekaku dia melakukan hal semacam itu...? Sulit dipercaya, tapi kemungkinan besar Arisaki tidak akan berbohong soal ini.


"Lalu..."


Arisaki melanjutkan.


"Ketua Hiroo, ini pertama kalinya kau ke Dezmy, kan?"


"A-apa? Kau bicara apa? Aku sudah sering ke Dezmy."


"Ah, aku tak perlu diperlakukan seperti Tamaki-senpai. Aku tak akan tertipu."


"Hebat. Dalam satu kalimat saja, kau sudah merendahkan dua seniormu."


"Yang membantumu menyusun rencana itu perempuan yang kau ajak belanja waktu itu, kan?"


"Kau... aku tanya sekali lagi, sejak kapan kau mulai mengawasi?"


"Aduh, keceplosan lagi."


"Kau ini benar-benar..."


"Sudahlah, lupakan itu."


"Mana bisa aku lupakan!"


"Aku akan memberimu informasi yang berguna."


"Informasi yang berguna?"


Aku jadi penasaran.


"Tadi aku bilang kalau Tamaki-senpai juga sama, kan?"


"Iya, kau bilang begitu."


"Itulah petunjuknya."


"Apa? Aku ini sedang main teka-teki, ya? Katanya mau memberiku informasi, kenapa kau malah menahan-nahan?"


"Hah... Begini memang susahnya kalau bicara dengan anak jurusan sastra. Apa otakmu kau buang ke selokan, ya?"


"Kau mau cari gara-gara, huh?"

"Itu tadi meniru Tamaki-senpai."


"Sudah cukup. Jangan merendahkan dua seniormu sekaligus."


"Jadi begini, Tamaki-senpai juga sebenarnya baru pertama kali ke Dezmy."


"...Hah?"


"'Fa' dari 'Fight'."


"Bukan waktunya bermain tebak lagu 'Do Re Mi'! Jadi, Tofukuji juga pertama kali ke sini? Padahal dia tahu banyak tentang spot Instagramable?"


"Itu semua petunjuk dariku. Ingat waktu Ketua Hiroo ingin menjalankan rencana sendiri, lalu Tamaki-senpai menelepon seseorang?"


"Oh, iya! Jangan-jangan..."


"Itu aku."


"Apa-apaan ini?!"


"Dia panik sekali waktu menelepon. 'Shien, gimana ini~? Hiroo-kun ngajak pakai rencana lain, kayaknya lebih bagus yaa? Huhu~'."


"Kau sebenarnya tak benar-benar menghormati Tofukuji, kan?"


"Aku serius. Dia benar-benar berbicara dengan nada seperti itu."


Arisaki yang biasanya berwajah datar kini membuka matanya lebar-lebar seakan menekankan keseriusannya.


"Tunggu dulu. Kalau begitu, yang menolak rencanaku adalah..."


"Ya, aku. Aku langsung bilang tidak."


"Kau ini..."


"Aku bilang padanya, 'Ikuti saja instruksiku. Yang menyelenggarakan acara ini adalah aku'."


"Kau pernah jadi pemimpin di game bertema survival, huh?"


"Aku juga kesal karena Ketua Hiroo pura-pura seolah-olah rencana itu hasil pemikiran sendiri, jadi aku memaksakan rencanaku."


"Aku tak akan menanggapinya lagi. Jadi, intinya, Tofukuji juga pura-pura berpengalaman dan malah bersikap seakan lebih tahu, ya?"


"Hei, kau juga begitu, kan? Aduh, keceplosan lagi."


"Jangan buru-buru menghemat waktu dengan mempercepat dialog yang sudah menjadi pola!"


"Dengan ini, teka-teki seputar perdebatan toilet tadi pun terpecahkan, kan?"


"Jadi maksudmu, Tofukuji juga tidak tahu letak toiletnya dan tak mau ketahuan?"


Ini benar-benar seperti permainan teka-teki. Setiap perkataan dan tindakan Tofukuji sepanjang hari ini akhirnya terurai dalam perspektif baru.


"Aku ingin kalian berdua tidak terlalu tegang dan menikmati kencan ini dengan santai."

"Kau yang ngomong begitu?"


"Sebagai junior, aku ingin kalian akur. Kalau terus berpura-pura, kalian bisa kehilangan esensinya."


"……"


"Ah, Tamaki-senpai sudah kembali."


"Wah, gawat."


Aku langsung kembali ke tempat dudukku.


Dari tatapan Tamaki, sepertinya dia tidak menyadari bahwa aku baru saja berbicara dengan Arisaki. Begitu dia duduk, dia berkata padaku,


"Maaf, aku nggak bisa menunggu lebih lama, jadi aku pergi ke toilet duluan."


"Nggak apa-apa kok."


"Kita lanjut ke tempat berikutnya?"


"Ah, iya. Tapi sebelum itu, ada sesuatu yang harus aku katakan."


"Kenapa tiba-tiba serius begitu?"


"Maaf. Sebenarnya, ini pertama kalinya aku ke Dezmy. Aku pura-pura sudah pernah ke sini karena takut terlihat payah kalau ketahuan."


Aku menundukkan kepala di hadapan Tofukuji.


Ini bukan akting, melainkan perasaanku yang sebenarnya. Rasanya tidak adil jika hanya aku yang tahu bahwa Tofukuji juga pemula di tempat ini.

"Eh…? Benarkah? Begitu ya… Sebenarnya aku juga sama. Maaf karena diam-diam menyembunyikannya. Malah jadi bikin kamu ikut repot, ya."


Tofukuji menjawab dengan jujur.


Aku tidak membenci sifatnya yang terus terang seperti ini. Dia bisa membedakan kapan harus membalas dengan sindiran dan kapan harus bersikap serius.


Itulah kelebihan Tofukuji Tamaki.


"Aku nggak sadar sama sekali."


"Aku juga nggak sadar. Yah, seperti yang diharapkan dari sesama anggota klub teater."


"Ahaha. Benar juga."


Selama ini, kami terus berpura-pura menjadi pasangan, hanya untuk menyembunyikan rahasia bahwa hubungan kami sebenarnya palsu.

Tapi berpura-pura tahu sesuatu yang sebenarnya tidak kami ketahui terasa lebih canggung dibandingkan akting biasa.


Bahkan jika lawannya adalah Tofukuji.


Atau mungkin justru karena lawannya adalah Tofukuji, orang yang kuakui sebagai rivalku.


"Tapi, rencana perjalananmu cukup meyakinkan. Aku hanya mengikuti rute yang diberikan oleh Shien."


"Oh, aku juga cuma menjalankan saran dari Ruri. Itu lho, teman sekelasku."


Brak──.

Tiba-tiba, Tofukuji berdiri dari tempat duduknya.


"Ayo pergi. Kita nggak punya banyak waktu."


"Eh…? Kau marah?"


Wajahnya terlihat seram.


"Hah? Enggak."


Tetap saja, ekspresinya menakutkan.


"Kalau begitu, baiklah…"


"Cepat berdiri. Aku bilang kita nggak punya waktu. Jangan bilang anak sastra nggak bisa menghitung waktu juga?"


"Tapi, bukannya kita cuma perlu dua foto lagi? Kalau Arisaki sudah memberikan lokasi, kita pasti bisa menyelesaikannya sebelum taman tutup."


"Berisik sekali. Kalau aku bilang kita nggak punya waktu, berarti memang nggak ada waktu. Menyebalkan."


Tidak masuk akal.


Tapi kalau aku membantah sekarang, rasanya situasi akan semakin runyam, jadi lebih baik diam saja. Baru saja suasananya damai, tapi kenapa dia tiba-tiba berubah begini?


Sejujurnya, dengan pengalaman membaca komik romantis yang kumiliki, aku tetap tidak bisa menebak penyebabnya. Sungguh, perempuan di dunia nyata memang merepotkan. Mungkin nanti aku akan mencari kesempatan untuk bertanya pada Arisaki.



Pukul 17:30.


Foto terakhir telah diunggah.


Foto itu diambil di depan air mancur besar di tengah taman. 

Sejauh ini, tanggapannya cukup besar. Kalau begini, jumlah pendaftar klub tahun depan pasti meningkat drastis.


Aku duduk di bangku dekat air mancur dan menarik napas lega.

Tofukuji masih terlihat kesal. Menghindari suasana canggung, aku menatap langit. Matahari sudah tenggelam, dan bintang-bintang mulai tampak samar-samar.


"Kita sudah menyelesaikan semuanya, pulang saja?"


Sejujurnya, ini tidak terasa seperti kencan.


Kami bahkan tidak naik wahana apa pun, atau melakukan hal khas anak SMA seperti membeli churros dan memakannya sambil berjalan.

Rasanya seperti murni kegiatan promosi klub. Tapi karena kami hanya pasangan palsu, mungkin ini memang hasil yang paling masuk akal.


Kalau begitu, sekarang yang tersisa hanya pulang. 


Kabarnya, parade akan dimulai pukul 18:00.


Tapi kalau aku mengusulkan itu, Tofukuji pasti langsung menolak.

Dia bukan tipe yang suka keramaian. Namun, apakah benar aku harus membiarkan dia tetap dalam suasana hati buruk seperti ini?


Memang, Tofukuji sering terlihat kesal, tapi setelah satu setengah tahun bersama di klub teater, aku bisa membedakan kapan dia benar-benar sedang marah dan kapan tidak.

Hari ini, jelas yang pertama.


"Atau kita lihat parade sebentar sebelum pulang?"


Aku bertanya, tanpa berharap banyak.


"Emang melihat parade itu menyenangkan?"


Tentu saja dia tipe orang seperti itu. Aku juga, sih.


"Ya… ramai sih, pasti melelahkan. Kalau begitu, kita mampir ke toko souvenir dulu sebelum pulang?"


"Masih..."


"Hm?"


"Masih... itu..."


Saat itu juga, suara nyaring terdengar di sekitar kami.


"Ah—! Ruri-senpai!"


Aku dan Tofukuji langsung menoleh ke arah suara itu berasal.

Empat anggota klub tenis yang tadi pagi sempat berfoto dengan kami.

Pemilik suara tersebut menunjuk ke suatu arah sambil melompat-lompat kegirangan. Aku mengikuti arah jarinya, dan...


"Ssst! Dasar bodoh! Berisik!"


Di sana, berdiri Ruri dengan sebuah kachusha karakter di kepalanya.

Keempat anak klub tenis langsung berlari ke arahnya.


"Ruri-senpai ngapain di sini? Jangan-jangan sendirian ke Dezmy!?"


"Bukan! Eh, kenapa juga kalian ada di sini!?"


"Ya, biasa aja, kami cuma main ke sini."


"Kalau Ruri-senpai nggak sendirian, berarti sama pacar?"


"Ya, yah... pacar? Bisa dibilang begitu?"


"Wah, mencurigakan nih~"


"Berisik. Udah pergi sana. Bukannya kalian mau ambil tempat buat nonton parade?"


"Ah, iya juga! Oke deh, sampai jumpa, Ruri-senpai!"


"Haaah... ini nih yang bikin aku males sama anak-anak klub tenis."


Ruri mendesah panjang seperti habis melewati kekacauan. Lalu, menyadari tatapan kami yang tertuju padanya, ia pun menoleh.


"Ah... sial."


Aku ingin memuji jaringan pertemanannya yang luas sampai kenal anak-anak klub tenis. Tapi sebelum itu, ada satu kalimat dari Ruri tadi yang ingin kuucapkan kembali padanya.


Kenapa juga kau ada di sini!?


Jangan-jangan, dia juga datang buat mengawasi seperti Arisaki?

Saat aku masih mencoba mencerna situasinya, Tofukuji tiba-tiba berdiri.


Kemudian, ia mulai berjalan ke arah Ruri.

Seperti biasa, dengan langkah tegas yang terdengar seolah-olah mengguncang tanah, hanya dalam hitungan detik ia sudah sampai di depan Ruri.


Ruri tampak membeku karena kejadian yang begitu tiba-tiba.


"Kau Ruri-san, sekelas dengan Hiroo-kun, kan?"


"Eh? A-ah, iya, benar."


Baru pertama kali aku melihat Ruri sekaget ini. Bahkan Ruri bisa merasa terintimidasi kalau berhadapan dengan Tofukuji.


"Kau datang ke sini karena penasaran dengan hubungan kami?"


"Eh? Uhm... itu..."


Situasi mulai terasa tegang. Kenapa Tofukuji berbicara begitu ketus kepada Ruri? Dan... aku harus bagaimana?


Aku berusaha bangkit dari bangku, tapi tak tahu harus melakukan apa, akhirnya hanya bisa berdiri diam.


"Aku akan mengatakan ini secara langsung hanya kepadamu. Kami sebenarnya tidak benar-benar pacaran. Jadi, kau tidak perlu khawatir."


Akhirnya aku berhasil menggerakkan kakiku yang tadi ragu-ragu dan berlari ke arah mereka.


"Ah, Ryusei."


"Ruri, aku punya banyak banget yang mau kutanyain, tapi nanti aja."


Aku lalu meraih tangan Tofukuji dan berbisik pelan.

"Tofukuji, kenapa kau tiba-tiba bilang ke Ruri soal hubungan kita yang palsu?"


"Karena..."


"Karena apa?"


"Karena... kau pasti tidak ingin anak ini mengira kita benar-benar pacaran, kan? Kalian sama-sama dari jurusan sastra, punya banyak kesamaan, tapi keberadaanku malah menghalangi. Jadi lebih baik, kan, kalau setidaknya dia tahu yang sebenarnya?"


"Menghalangi? Kenapa kau berpikir seperti itu..."


Jangan-jangan... Alasan dia kesal sejak tadi adalah karena aku menyebut nama Ruri? Jangan-jangan... Dia... cemburu? 

Tidak, tidak mungkin...


"Oh, nggak apa-apa. Aku sebenarnya udah tahu dari awal kalian cuma pura-pura pacaran."


Ruri tiba-tiba menyela dengan wajah santai.


"Eh...?"


Ekspresi Tofukuji tampak sedikit pucat.


"Tentu saja, Hiroo-kun pasti sudah mengatakannya padamu dari awal, kan? Kalau begitu, sisa waktu di Dezmy kalian nikmati saja berdua. Aku harus pulang dan belajar. Sampai jumpa...!"


Setelah mengatakan itu, Tofukuji langsung berlari.


"Eh, oi! Tofukuji!"


"Ugh... kayaknya aku baru aja bikin kesalahan besar, ya?"


"Kau emang..."


"Udah, cepat kejar dia, Ryusei."


"Iya, aku tahu!"


Aku mulai berlari mengejar punggung Tofukuji. Aku berlatih jogging setiap pagi justru untuk momen-momen seperti ini. Tapi ini bukan jalanan kosong di pagi hari, melainkan taman hiburan yang ramai menjelang parade.


Aku nyaris kehilangan jejaknya di antara lautan manusia.


"Oi, Tofukuji! Tunggu!"


"Berisik!"


Astaga, perempuan di dunia nyata benar-benar sulit dimengerti. Tapi entah kenapa, jantungku berdetak lebih cepat. Mengejar seorang gadis yang berlari pergi...


Seperti adegan di cerita-cerita romcom. 


Meski, rasanya agak tidak adil kalau yang jadi lawannya adalah Tofukuji. Tapi... saat aku berhasil menangkap tangannya...


Mungkin saja dunia ini juga menyimpan kisah romcom yang selama ini kubayangkan. Dan mungkin, itu tidak buruk sama sekali.


Saat aku memikirkan itu, tiba-tiba saja pemandangan di depanku berubah. Aku melihat Tofukuji, yang seperti anak kucing dicekal tengkuknya, muncul dengan ekspresi kesal seakan sudah menyerah pada semuanya. Dan orang yang menangkapnya adalah—

"Sungguh… senior-senior ini benar-benar merepotkan."


Arisaki Shien mengucapkannya dengan wajah datar seperti biasa.

Sepertinya, kejadian seperti dalam romcom tidak begitu mudah terjadi di dunia nyata.



Hanya dalam hitungan detik—atau paling lama beberapa menit—setelah Tofukuji berlari, kami kembali berhadapan di depan air mancur.


Aku, Tofukuji, Ruri, dan Arisaki. Empat orang yang anehnya berkumpul bersama.


Arisaki melihat ke sekeliling kami, lalu dengan suara datarnya berkata,


"Aku tidak berniat mengorek apa yang terjadi, dan kalau sesuatu menarik terjadi, aku biasanya akan membiarkannya saja. Tapi, tolong jangan sampai bertengkar, ya?"


Entah ini ucapan seorang junior yang peduli pada seniornya atau bukan, tapi yang jelas aku bisa merasakan tekanan aneh dari kata-katanya.


"Lalu, Ketua Hiroo, aku serahkan urusan selanjutnya padamu. Aku sudah menyelesaikan tugasku mengawasi kalian. Setelah ini, keberadaanku mungkin hanya akan membuat pembicaraan kalian sulit. Jadi, silakan kalian selesaikan sendiri. Aku akan pulang."


"A-ah… Oke."


Meninggalkan kami bertiga, Arisaki pergi begitu saja.  Aku penasaran, sejauh mana dia memahami situasi ini?

"Ryusei, anak tadi dari klub teater tahun pertama? Seram juga, ya."


"Ya. Aku juga sependapat."


Begitu aku menjawab Ruri, ponsel di sakuku tiba-tiba bergetar. Pesan dari Arisaki. Terlalu tepat waktunya. Serius, ini agak menakutkan.


Isi pesannya:


"Petunjuk."

"Belanja kemarin."

"Aku melihatnya bersama Tamaki-senpai."


Ternyata permainan teka-teki ini masih berlanjut. Tapi kali ini, petunjuknya cukup mudah. Bahkan aku yang buruk dalam hal ini bisa langsung mengerti maksudnya.


"Nah, Tofukuji."


"Apa?"


"Kau salah paham tentang satu hal."


"Salah paham? Tidak perlu khawatir. Aku sudah tahu. Pakaian yang kau pakai hari ini juga dipilih oleh Ruri-san, kan? Jujur saja, kau terlihat keren. Seperti yang diharapkan dari sesama anak jurusan sastra, dia punya selera yang cocok dan mengerti apa yang paling cocok untukmu. Jika di antara kalian sudah begitu cocok, maka kehadiran orang seperti aku dari jurusan sains hanya akan menjadi penghalang."


Tofukuji menatapku tajam.


"Memang benar, aku meminta Ruri untuk memilih pakaianku dari atas sampai bawah untuk hari ini. Aku tidak ingin mempermalukan diri saat berkencan denganmu. Karena itu, aku meminta seseorang yang paling bisa kupercaya—yaitu teman masa kecilku, Ruri."


"Hah…? Teman masa kecil…?"


"Iya. Aku dan Ruri hanya teman masa kecil. Alasan dia tahu pakaian apa yang cocok untukku bukan karena dia anak sastra, tapi karena dia sudah mengenalku sejak kecil."


"Tapi… tetap saja, kalian terlihat sangat akrab."


Saat itu, sepertinya Ruri akhirnya menyadari alasan sikap Tofukuji selama ini.


"Tofukuji-san, justru karena kami teman masa kecil, hubungan kami dekat."


"Aku juga punya teman masa kecil di Minefuji Academy, tapi hubungan kami buruk."


Itu karena kalian berdua yang aneh, ingin rasanya aku berkata begitu.

Tofukuji tampaknya masih belum sepenuhnya menerima penjelasan kami, jadi aku menambahkan,


"Alasan Ruri tahu soal hubungan pura-pura kita juga bukan karena aku yang memberitahunya. Dia menyadarinya sendiri. Instingnya terlalu tajam, itu juga cukup merepotkan."


"Benar. Ryusei itu gampang ditebak. Tapi tenang saja, aku juga mengerti ada berbagai alasan di balik ini semua, jadi aku tidak akan bilang ke siapa pun."


Tofukuji masih melirik aku dan Ruri bergantian. Sepertinya dia belum sepenuhnya yakin.


"Tapi, kalau begitu… kenapa Ruri-san ada di sini? Jangan-jangan kau tetap ingin mengawasi Hiroo-kun? seperti Shien."


"Itu… um…"


Ruri tiba-tiba jadi sulit berbicara.


"Aku juga ingin tahu. Jangan bilang kau benar-benar datang sendirian hanya untuk mengawasi kami?"


"Err… bagaimana ya… bisa dibilang begitu, bisa juga tidak…"


"Katakan yang jelas."


"…Aku ke sini sama Kousei."


"Hah?"


"Aku ingin ke Dezmy sama Kousei. Lalu, karena kalian sedang berkencan di sini, aku pakai mereka sebagai alasan supaya bisa datang."


"Seriusan… Jadi, Kousei juga ada di sini?"


"Iya, tadinya."


"Tadinya? Sekarang dia di mana?"


"Sebelum parade, dia bilang mau ke toilet sebentar. Terus pas aku ketahuan sama kalian, aku langsung kasih tahu dia lewat LINE. Dan barusan dia balas, katanya, 'Aku nggak mau terlibat dalam urusan yang ribet, jadi aku pulang.'"


"Dasar Kousei! Gimana sih, ninggalin gadis sendirian gitu!"


"Itulah yang bikin dia menggemaskan! Jangan jelek-jelekin Kousei!"


"Diam, dasar pemuja Kousei! Jangan memanjakan dia begitu!"


Saat aku dan Ruri saling beradu argumen, Tofukuji tiba-tiba menyela dengan panik.


"Tunggu, tunggu! …Kousei itu siapa?"


"Adikku."


"Adik…? Kenapa tiba-tiba adikmu masuk dalam pembicaraan?"


"Karena Ruri ini orang aneh yang tergila-gila pada Kousei."


“Oi, tergila-gila itu berlebihan, Ryusei.”


Tofukuji, yang tampaknya berusaha keras menyusun pikirannya, akhirnya sampai pada suatu kesimpulan sambil memegang kepalanya.


“Jadi, maksudnya Hiroo-kun dan Ruri-san itu cuma sekadar teman masa kecil, Ruri-san tertarik bukan pada Hiroo-kun, tapi pada adiknya… dan dia memanfaatkan Hiroo-kun untuk menghubungkan dirinya dengan adik itu dalam kencan di Dezmy.”


“Benar. Tapi tolong jangan menjelaskan tindakanku dengan begitu gamblang, Tofukuji-san. Malu, tahu! Lagipula, pada akhirnya bagi Kousei, aku ini hanya datang untuk menyelidiki, jadi ini bahkan bukan kencan.”


“…Serius? Jangan-jangan kalian cuma mengatakan ini untuk menghiburku dan menutupi sesuatu?”


“Tofukuji-san, ternyata kamu orangnya gampang curiga, ya. Kalau nggak percaya, mau lihat folder Kousei di ponselku?”

“Kamu punya begituan…?”


“Ada, dan isinya dua giga penuh.”


“Baiklah, aku paham. Aku terima kalau cintamu pada adiknya Hiroo-kun itu nyata.”


Akhirnya, bahkan Tofukuji pun harus menerima kenyataan di hadapan perasaan gila Ruri terhadap Kousei.


“Jadi, nggak perlu gelisah soal aku, Tofukuji-san.”


“Ge… gelisah? Aku nggak gelisah kok. Aku cuma mikir, apa aku ini mengganggu kalian berdua…”


“Iya iya, anggap saja begitu. Tapi kesanku tentangmu berubah, lho. Kupikir kamu lebih dingin, ternyata ada sisi imutnya juga ya, Tofukuji-chan♪”


“Aku… aku nggak imut kok.”


“Tuh kan, begitu reaksimu, makin kelihatan imut… Eh, sebentar! Kousei kirim LINE! …Dia bilang nggak punya ongkos pulang. Duh, Kousei-chan ini, kalau nggak ada aku benar-benar nggak bisa apa-apa. Imut banget! Aku pergi dulu ya! Ryusei, jadi cowok yang baik dan jagain Tofukuji-chan baik-baik!”


Dengan senyum bahagia, Ruri pun berlari pergi sambil melontarkan kata-kata terakhirnya. Sebagai kakak, seharusnya aku menegur Kousei. Atau mungkin seharusnya aku menegur teman masa kecilku yang telah menjadikan adikku pria yang tidak berdaya ini? Nanti saja kupikirkan di rumah.


Sekarang, suasana kembali ke hanya kami berdua… dan jadi canggung.

Untuk sementara, aku mencoba bertanya,

“Kesalahpahaman sudah teratasi?”


“…Ya, kurang lebih.”


“Begitu ya.”


Sepertinya dia juga merasa canggung, karena tetap menundukkan pandangannya. Tapi setidaknya, warna kecurigaan yang tadi sempat terlihat di wajahnya sudah hilang.


Dalam situasi seperti ini, apa yang biasanya dilakukan para tokoh utama di novel romansa yang kubaca?


Entah kenapa, aku tidak bisa mengingatnya sekarang. Sepertinya, kalau aku ingin berinteraksi dengan perempuan, aku harus menyiapkan naskah dulu. Tanpa itu, aku benar-benar tidak bisa melakukan apa pun.


“Ano…”


Tofukuji akhirnya memecah kesunyian yang telah berlangsung beberapa saat. Namun, setelah mengucapkan dua suku kata itu, dia kembali terdiam. Suara parade yang baru dimulai terdengar seakan melalui sebuah filter, mengalir melewati telingaku. Sementara itu, cahaya terang menyinari sosok Tofukuji.


Dia terlihat kecil.


Tofukuji yang biasanya begitu percaya diri dan menyebalkan dengan sifatnya yang kuat, kini tampak begitu kecil. Hampir seperti seorang heroine dalam kisah romansa.


“Kamu masih mau ke suatu tempat, kan?”


Aku perlahan menggenggam jari-jari Tofukuji yang ramping dan putih.

“Eh?”


“Tadi, waktu aku bilang mau pulang, kamu sempat bilang 'belum'. Berarti masih ada tempat yang ingin kamu kunjungi, kan?”


“…Iya.”


“Kalau begitu, ayo kita pergi.”


“A-aah… tapi, tangan…”


“Ah! Maaf!”


Aku buru-buru melepaskan genggamanku. Tadi aku melakukannya tanpa sadar. Malu banget…


“Ke sini.”


Tofukuji mulai berjalan.


“O-oh…”


Saat aku mengikuti di belakangnya, tanganku kembali digenggam oleh sesuatu yang hangat. Seakan-akan aliran darah yang deras membuat seluruh tubuhku terasa panas.


“Di sini ramai. Kalau sampai kita terpisah, akan buang-buang waktu buat berkumpul lagi… Jadi, lebih efisien kalau seperti ini, kan?”


“A-aah…”


Tofukuji menggenggam tanganku dengan kekuatan yang begitu ringan hingga aku hampir tak bisa merasakannya. Sambil dituntun olehnya, aku berjalan melawan arus orang-orang yang berkumpul untuk menonton parade.

Semakin jauh kami melangkah, semakin sedikit orang-orang di sekitar kami. Dan akhirnya, kami tiba di sebuah lapangan yang dipenuhi pohon-pohon harapan setinggi sekitar dua meter.


Banyak pohon yang dihiasi pita berwarna-warni yang tergantung di sana. Ini sepertinya salah satu acara di taman bermain ini dalam rangka menyambut Natal.


“Wow… indah sekali…”


Tofukuji bergumam pelan sambil menatap deretan pohon itu.


“Kamu jarang banget mengeluarkan komentar seperti itu.”


“Tapi lihat, Hiroo-kun! Jumlah pohon ini… semuanya angka prima!”


“Hah? Trus kenapa?”


“Angka prima! Bahkan di antara angka prima, yang kembar seperti ini cuma ada 11 hingga lebih dari 100 kuadriliun! Mereka unik dan keren, tapi tetap kelihatan seolah bisa dibagi dengan angka lain, jadi terlihat menggemaskan!”


Jadi yang dia komentari bukan pohonnya, tapi angka yang ada di situ…

Nggak heran kalau dia dihormati oleh orang aneh macam Arisaki.


“Ngomong-ngomong, ini acara apa sih?”


Seperti baru sadar kembali, Tofukuji tiba-tiba terlihat malu saat menjelaskan,


“Ah, iya… Kita menulis permohonan di pita dan menggantungkannya di sini. Katanya, kalau kita melakukan itu, keinginan kita akan terkabul.”


Aku nggak ngerti di mana letak malunya di situ, tapi, ya sudahlah.

“Kamu ini… jangan-jangan Tofukuji yang palsu?”


“Apa maksudmu?”


"Aku tidak percaya kau mempercayai acara yang tidak realistis seperti ini. Seorang gadis keras kepala dari jurusan sains yang bisa senang hanya karena bilangan prima seperti Tofukuji tidak mungkin melakukan hal seperti ini."


"Menyebalkan. Mau kubunuh?"


"Ah, ternyata memang Tofukuji."


"Baiklah, aku akan mengaku duluan. Ini juga perintah dari Shien."


"Oh, begitu… Jadi, kita juga harus berfoto?"


"Tidak, di sini kita tidak akan berfoto."


"Oh, begitu ya."


Kalau tidak untuk berfoto, lalu untuk apa? Di sekitar kami hanya ada pasangan kekasih, membuat kami terasa tidak cocok di tempat ini.

Atau… mungkin tidak juga. Malah sebaliknya—


Aku mulai memahami tujuan Arisaki. Mungkin ini adalah bentuk asistensi dari seorang junior kepada pasangan senior yang kurang mengikuti tren dan event seperti ini. Kalau ini adalah bentuk kepedulian dari Arisaki, kurasa tidak ada salahnya ikut serta.


"Nih, ini pita harapan. Sebenarnya di taman ini juga dijual yang khusus, tapi katanya kalau ingin jadi pasangan kelas atas, lebih baik membawa pita orisinal yang disiapkan sendiri. Kemarin, Shien menghadiahkan kita berdua pita yang serasi."


"Hmm… Arisaki, ternyata dia juga suka hal-hal romantis, ya."


"Dasarnya, semua perempuan suka hal seperti ini. Kau yang kurang pengalaman dalam urusan cinta pasti tidak mengerti."


"Jadi, maksudmu, kau juga tertarik dengan ini meskipun mengaku hanya mengikuti perintah Arisaki?"


"Bukan begitu… Tapi, aku memang suka hal yang indah. Pohon yang dihiasi pita seperti ini tetap terlihat indah meskipun bukan bilangan prima."


"Yah, benar juga."


"Tuh, di sana sudah disiapkan pena. Ayo cepat tulis. Biasanya tempat ini sampai penuh antrean. Makanya kita datang saat parade berlangsung agar lebih efisien."


"Itu juga ide dari Arisaki, kan?"


"Berisik. Ayo, cepat!"


Mengatakan itu, Tofukuji berjalan menuju tempat yang disediakan di sebelah pohon. Entah sejak kapan, aku baru sadar kalau tangannya sudah terlepas dari tanganku.


"Permohonan, ya…"


Aku menggenggam pena dan berpikir.


"Kau mau menulis apa?"


"Itu tidak boleh dikatakan ke orang lain, atau permohonannya tidak akan terkabul."


"Tapi begitu sudah diikat, orang lain tetap bisa melihatnya, kan? Jadi, sama saja."


"Aku menulisnya secara anonim, jadi meskipun ada yang melihat setelah diikat, mereka tidak akan tahu itu milikku."


Meskipun pitanya dibawa sendiri, pasti ada banyak yang serupa.

Begitu diikat dan digantung, tidak akan ada yang bisa membedakannya.


"Aneh sekali kalau efektivitas permohonan bisa dipengaruhi oleh anonimitasnya. Pita yang sedang kau tulis sekarang dan pita yang sudah kau ikat tidak mengalami perubahan materi apa pun."


"Hei, kau sendiri yang membawaku ke sini. Tidak ada orang yang akan menghancurkan tempat semeriah ini dengan argumen ilmiahmu."


"Aku hanya ingin mengatakan bahwa kalau permohonan bergantung pada pengakuan pengamat, itu sama anehnya dengan eksperimen celah ganda. Tapi kalau soal fenomena supernatural di mana permohonan bisa terkabul, aku tetap akan membaca situasi dan menerimanya."


"Bagian ‘membaca situasi’ itu yang membuatnya jadi tidak masuk akal."


"Singkatnya, aku hanya ingin tahu apa yang kau tulis."


"Jadi, intinya kau hanya ingin tahu isi permohonanku?"


"Hanya untuk referensi saja. Tidak ada makna lebih dalam dari itu."


"Permohonan itu bukan sesuatu yang bisa kau contek dari orang lain."


"Hhh… Kau ini memang suka berargumen."


"Lihat siapa yang bicara."


Sebenarnya ada satu permohonan yang terlintas di pikiranku. Tapi, yang satu ini, aku tidak mau Tofukuji mengetahuinya. Bahkan, keinginanku untuk merahasiakan permohonan ini saja sudah terasa seperti sebuah kontradiksi.


"Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi soal permohonanmu. Jadi, jangan lihat punyaku juga."


"Dari awal aku memang tidak berniat melihatnya."


"Lalu… ayo kita ikat di tempat yang sama."


"Di tempat yang sama?"


"Iya… i-ini juga perintah dari Shien."


"Dia sampai memberi instruksi sedetail itu, ya."


"Ini hukuman, jadi mau bagaimana lagi? Kalau tidak melakukannya, dia bisa lebih menyeramkan lagi."


"Itu benar. Baiklah… Kalau begitu, kau sendiri sudah memikirkan permohonanmu?"


"Y-ya, kurang lebih."


Kami berdua menuliskan permohonan masing-masing di posisi yang tidak bisa saling terlihat, lalu berjalan menuju salah satu pohon.


Di sana, ada satu cabang yang belum diikat dengan pita apa pun.



Kami berdua mengikatnya di sana secara bersamaan.


"Semoga permohonannya terkabul."


Tofukuji tiba-tiba mengatakan sesuatu yang tidak seperti dirinya.


"Iya, semoga."


Jadi, aku pun membalasnya dengan cara yang tidak seperti diriku.


Malam di akhir September terasa sedikit dingin. Sebagai gantinya, bintang-bintang bersinar indah di langit yang jernih.


Sepertinya, persiapan menuju musim dingin sudah dimulai.

















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !