Nee, Mou Isso Tsukiacchau? Osananajimi Chap 9 V5

Ndrii
0

Chapter 9

Santaclaus untukmu




Setelah berpindah dari dermaga dan naik kereta, kami akhirnya kembali ke kamarku seperti biasa.


Selama perjalanan, kami berdua tidak banyak bicara, dan karena itu, ketegangan semakin meningkat. Saat memasuki kamar, jantungku berdebar begitu kencang hingga aku khawatir suara detaknya terdengar olehnya. Namun, di saat yang sama, ada juga perasaan semacam kegembiraan karena akhirnya momen ini tiba. Aku pun secara refleks tersenyum kecil tanpa sadar.


Aku sendiri merasa seperti sedang terlalu bersemangat hingga tak bisa memahami perasaanku dengan jelas. Berusaha menenangkan diri, aku langsung beranjak untuk menuangkan teh begitu masuk kamar. Namun, sebelum sempat melakukannya, Toiro sudah lebih dulu membuka suara.


"Ne, ne, Masaichi, ini hadiah Natal untukmu."


"Hah?"


Tanpa sadar, aku mengeluarkan suara keheranan. Toiro mengeluarkan sebuah kotak persegi berbalut kertas kado merah dari dalam tote bag yang ia bawa sepanjang kencan tadi.


"Aku nggak tahu harus memberikannya kapan, jadi akhirnya baru sekarang."


"Tiba-tiba sekali… Boleh aku buka?"


"Iya! Silakan."


Dengan senyuman cerah, Toiro menatapku saat aku mulai melepaskan pita kado, lalu dengan hati-hati membuka selotip pembungkusnya. Di dalamnya terdapat sebuah kotak putih. Saat kubuka, aku menemukan—


"Oh, mug?"


"Yup!"


"Eh, ada dua?"


"Iya, ini pasangan!"


Di dalam kotak itu, ada dua mug putih bergambar beruang. Warna pakaian beruang pada masing-masing mug berbeda—yang satu biru, yang lainnya merah. Sepertinya yang biru untukku, sementara yang merah untuk Toiro.


"Aku sering main ke kamarmu, kan? Tapi selama ini aku selalu pakai cangkir yang ada di sini."


Begitu katanya sambil tersenyum. 


Memang, ada satu mug di kamarku yang nyaris menjadi milik Toiro secara tidak resmi karena ia menggunakannya hampir setiap hari. Tapi aku tidak pernah merasa itu hal yang aneh. Kami sudah berteman sejak kecil dan selalu menghabiskan waktu bersama.



Namun, mulai sekarang, kami akan menggunakan mug ini berdua... Perasaan melihat elemen khas pasangan bercampur dalam ruang yang selama ini hanya diisi oleh dua teman masa kecil terasa begitu segar dan menyenangkan.


"Mau langsung kita pakai? Aku lihat dulu ada camilan atau nggak."


Saat aku berkata begitu, Toiro tiba-tiba menyunggingkan senyum penuh arti.


"Sebenarnya, aku juga sudah menyiapkan sesuatu. Aku membuat kue! Kue Natal!"


"Kue?"


Toiro mengangguk antusias, lalu kembali merogoh tote bag besarnya dan mengeluarkan sebuah bungkusan sepanjang sekitar 20 cm dengan kedua tangannya.


Jadi, selain hadiah tadi, dia juga membawa kue? Sekarang aku paham kenapa dia terus membawa tote bag itu selama kencan. Pasti berat...


Toiro perlahan membuka bungkusnya, memperlihatkan sebuah kue gulung. Bagian atasnya ditaburi gula bubuk putih seperti salju, sementara bagian dalamnya yang lembut berwarna kuning terlihat dipenuhi buah kering seperti kismis, kulit jeruk, dan kulit lemon.


"Wah, ini keren banget. Kelihatannya enak. Serius ini kamu yang buat?"


"Iya! Aku buat sambil lihat resep!"


"Gitu ya... Nggak nyangka, ini luar biasa."


"Hehe. Aku benar-benar mengikuti resepnya dengan teliti, jadi rasanya harusnya aman... mungkin. Waktu baca 'gula bubuk secukupnya' di resepnya, aku hampir menyerah, sih."


"Iya sih, lebih enak kalau ditulis takarannya, misalnya satu sendok makan atau berapa gram gitu."


"Iya, kan? Tapi, kalau lihat hasilnya yang putih merata begini, harusnya takarannya udah pas. Pasti manis dan enak."


Memang, dari tampilannya saja sudah terlihat sangat lezat. Kalau kue ini dijual di toko kue, pasti tidak akan kalah bersaing.


"Kapan kamu sempat buat ini?"


"Kemarin. Dari siang sampai sore aku sibuk menyiapkannya."


Toiro, yang selama ini tidak terlalu pandai memasak, diam-diam berusaha membuat kue untukku. Aku benar-benar terkejut dan tanpa sadar menatapnya dengan kagum saat ia tampak bangga dengan usahanya.


"Kaget?"


"Iya. Jadi kamu juga bisa bikin kue, ya?"


Ini sudah kedua kalinya aku dikejutkan olehnya, setelah kejadian waktu makan malam tempo hari. Toiro pun tertawa kecil mendengar kata-kataku.


"Aku ingin membuatmu senang, Masaichi."


Ia tersenyum malu-malu.


"…Terima kasih."


Menyadari bahwa dia sudah berusaha keras untukku, aku merasakan kehangatan yang memenuhi dadaku. Sejak malam festival itu, dia jadi lebih sering menghubungiku tiba-tiba, datang ke kamarku untuk bermain game, dan semakin sering menunjukkan perhatiannya. Mungkin semua itu dilakukannya demi membuatku senang. Saat aku memikirkannya, aku tidak bisa menahan diri lagi.


"Aku juga! Aku juga punya sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu!"


Karena semangat, aku langsung mengatakannya begitu saja. Aku berdiri, berjalan ke meja belajar, dan mengambil sebuah buku tipis dari laci teratas. Kemudian, aku menyerahkannya kepada Toiro dengan bagian belakang menghadap ke atas.


"Awalnya aku hanya ingin menulis surat sederhana. Tapi, aku ingin membuatmu lebih terhibur, jadi..."


Toiro membalik buku itu. Di sampulnya, terdapat ilustrasi seorang laki-laki dan perempuan yang sedang duduk di ranjang sambil memegang kontroler game.


"Ini..."


"Iya. ...Ini novel yang kutulis."


"Hah? Novel? Kamu menulis novel... Untukku?"


"Tentu saja."


"Jadi, dua orang di sampul ini...?"


"Itu kamu dan aku. Yah, meski agak malu juga, sih."


Toiro menatap ilustrasi itu dengan mata berbinar-binar. Meskipun bergaya kartun, ciri-ciri seperti bentuk rambut dan wajah jelas menggambarkan kami berdua.


"Novel... Ini luar biasa. Tunggu, ini pertama kalinya kamu menulis, kan?"


"Iya."


"Tapi ini beneran seperti buku sungguhan. Eh, Masaichi, kamu bisa nulis novel? Terus, gambarnya gimana?"


"Untuk ilustrasinya, aku pesan lewat aplikasi yang bisa meminta jasa kreator."


"Hebat. Ini benar-benar keren."


Ini adalah sesuatu yang telah aku persiapkan dengan serius. Aku berusaha keras, bahkan sempat membuat Toiro menunggu karena kesibukanku menulisnya.


Sebenarnya, menulis novel itu sulit.


Meski aku sudah terbiasa dengan bahasa Jepang, menuangkan apa yang ada di pikiranku ke dalam kata-kata ternyata lebih susah dari yang kuduga.


Ada hari-hari di mana aku hanya bisa menulis satu halaman semalaman. Tapi, aku bertekad untuk tidak menyerah. Karena ini adalah hal yang ingin kulakukan, sesuatu yang harus kuperjuangkan.


Dan akhirnya, setelah banyak usaha, aku berhasil menyelesaikannya. Sebuah buku yang memuat semua perasaanku.


"Jadi ini hadiah Natal?"


"Yah, bisa dibilang begitu..."


"Boleh aku baca sekarang?"


"Tentu."


"Asyik!"


Toiro duduk di lantai dan mulai membuka novel itu dengan penuh semangat. Sementara itu, aku berdiri untuk menyiapkan teh dan kue.

Novel itu hanya sekitar 20 halaman, cerita pendek yang bisa dibaca dalam 15 menit.


Aku melirik ke arah bantal di atas tempat tidur, lalu melangkah keluar kamar untuk mengambil teh.



Novel itu ditulis dari sudut pandang orang pertama dengan kata ganti "Boku," menceritakan bagaimana awal mula hubungannya dengan "Kimi," kenangan-kenangan mereka, serta perasaan yang dirasakannya saat itu.


Tampaknya "Boku" adalah Masaichi, dan "Kimi" adalah aku.


"Pada hari itu, di tepi sungai yang biasa bagi kami,


'...Hei, kita ini teman masa kecil, kan? Kenapa kita tidak sekalian saja berpacaran?'


Mendengar itu, waktu seakan berhenti untukku. Apa dia serius...? Sejak kapan dia memandangku seperti itu...? 


Sesaat aku hampir salah paham, tapi ternyata Kimi sedang terjebak dalam masalah seputar cinta dan asmara, dan dia tidak tahu harus berbuat apa.


Aku pernah mendengar tentang perbedaan otak laki-laki dan perempuan. Otak laki-laki cenderung berorientasi pada penyelesaian masalah, sedangkan otak perempuan lebih mengutamakan empati.


Saat mengingat hal itu di sudut pikiranku, aku mulai mencari cara untuk membantunya keluar dari masalahnya. Sejak awal, jika Kimi dalam kesulitan, aku sudah memutuskan untuk membantunya tanpa banyak tanya—"


Masaichi... Jadi dia memikirkan hal semacam itu waktu itu. Aku tersenyum senang dan melanjutkan membaca.


"Ternyata, Kimi cukup modis. Aku baru menyadarinya saat melihatnya mengenakan pakaian kasual. Tapi sebenarnya, yang salah adalah aku, yang tak pernah memperhatikannya sampai saat itu.


Rambutnya yang halus dan terawat, diwarnai dengan cantik.

Riasan natural yang dikenakan saat ke sekolah. Kukunya tidak sampai dihiasi nail art, tapi tetap terlihat berkilau dan terawat dengan baik. Banyak sekali momen-momen di mana kesadaran Kimi terhadap kecantikan bisa terlihat dalam kehidupan sehari-hari.


Sementara itu, aku sendiri benar-benar tidak paham soal fashion maupun perawatan diri. Bahkan bisa dibilang, aku begitu tidak peduli sampai level yang sudah di luar batas orang normal.


Karena itulah, proyek "Transformasi Boku" pun dimulai, dipimpin langsung oleh Kimi. Aku yang selama ini hanya memainkan game dengan avatar gratisan tanpa modifikasi, tiba-tiba harus belajar langsung dari seorang pemain veteran yang sudah mengeluarkan banyak uang untuk meningkatkan levelnya. Rasanya sangat menakutkan."


Uhaha! Jadi dia sampai kepikiran seperti itu? Kocak banget. Aku tertawa kecil sambil terus membaca. Kemudian, mataku tertuju pada bagian yang agak panjang.


"Tanpa sadar, aku mulai berusaha menjadi pria yang lebih baik. Semua itu kulakukan demi menjadi pacar yang pantas untuk Kimi.


Aku mulai belajar soal pakaian, gaya rambut, dan perawatan kulit. Bahkan aku membeli majalah model di toko buku untuk mempelajarinya sendiri.


Jika aku berusaha sekarang, maka di masa depan, aku bisa berjalan di samping Kimi dengan percaya diri. Aku bisa menikmati waktu bersamanya dengan tenang.


Target pertamaku adalah sampai kegiatan belajar di luar sekolah nanti. Aku terus menjalankan rencana itu, sampai akhirnya aku menyadari sesuatu—Kimi terlihat sedikit kesepian. 


Melihat ekspresi itu, aku tiba-tiba teringat kenangan lama. Saat masih kelas rendah di SD, setiap liburan musim panas, Kimi selalu datang bermain ke kamarku. Dia tipe yang suka menunda pekerjaan rumah sampai menumpuk, sementara aku lebih suka mengerjakannya sedikit demi sedikit setiap hari. Jadi, setiap pagi ketika Kimi datang, aku sering masih sibuk belajar.


'Maaf, aku hampir selesai. Tunggu sebentar ya.'


'...Muu~'


Saat itu, Kimi menunjukkan ekspresi yang sama. Ekspresi bosan, sedikit kesepian, seperti ingin melakukan sesuatu tapi harus menunggu.


Ah, sekarang aku sadar.


Belakangan ini, setiap pulang sekolah aku hanya sibuk memotong rambut, membeli pakaian, dan mendengar nasihat soal perawatan diri.


Kegiatan otaku seperti main game dan baca manga jadi tertunda.

Kegiatan belajar di luar sekolah sudah semakin dekat. Setelah misi itu selesai, aku akan langsung mengajak Kimi main game berdua."


"Hari kegiatan belajar di luar sekolah pun tiba.


Setelah berhasil menunjukkan aksi pasangan kekasih kami di depan orang-orang, aku mengeluarkan game yang sudah kupersiapkan. Namun, saat itulah sesuatu yang mengejutkan terjadi. Begitu melihatnya, Kimi tampak begitu senang—hingga dia mencium pipiku."


...Tunggu, itu juga ditulis?! Gila, ini benar-benar memalukan!!


"Ciuman yang begitu penuh gairah itu meninggalkan panas di pipi Boku, dan sebelum Boku menyadarinya, getaran itu menyebar ke seluruh tubuh Boku. Apakah ini... cinta? Atau sekadar suka? Boku yang masih belum matang sama sekali tak bisa menemukan jawabannya."


Hei, tunggu sebentar. Apa-apaan ungkapan itu? Jangan coba-coba bikin aku tertawa di adegan ciuman! Pasti Masaichi sengaja menulis ini karena tahu aku bakal malu membacanya.


...Tapi, rasanya nostalgia.


Saat itu, aku sangat senang karena Masaichi menyadari perasaanku, sampai-sampai aku terbawa suasana dan bertindak terlalu jauh.

Mungkin sekarang, aku sudah terlalu sadar diri untuk bisa melakukan hal seperti itu lagi.


"Saat musim panas tiba, Boku bekerja paruh waktu di rumah makan pantai. Boku membawa konsol game ke kamar penginapan, menyimpannya di dalam ransel.


Saat perjalanan sekolah di SMP, ada kelompok yang membawa game dan memainkannya di TV hotel hingga larut malam, dan Boku iri melihatnya.


Boku ingin meniru itu dan bermain game bersama Kimi... tapi karena kelelahan bekerja, Boku hampir tidak punya waktu untuk bermain.


Itulah satu-satunya penyesalan di musim panas yang tak akan pernah Boku lupakan."


Ahaha, jadi ini bukan sekadar kenangan, tapi penyesalan, ya. Maaf, maaf, waktu itu aku memang benar-benar kelelahan.


"Boku juga ingin melakukan sesuatu sebagai pasangan. Tak boleh selamanya hanya mengandalkan Kimi.


Saat Boku berpikir begitu, ide itu muncul—sebuah kejutan untuk ulang tahun Kimi yang akan datang. Jadi, sejak sebelum liburan musim panas, Boku mulai merancang rencana. Boku menabung dari pekerjaan paruh waktu untuk membeli hadiah, serta menyiapkan dekorasi di kamar.


Meskipun hubungan kami hanya sementara, Boku ingin merayakan ulang tahun pertama kami sebagai pasangan dengan membuat Kimi bahagia.


Saat itu, Kimi sedang memikirkan apa artinya menjadi pasangan yang 'normal.' Hubungan kita dibilang tidak seperti pasangan biasa, tidak ada sisi malu-malu khas pasangan baru. Tapi menurut Boku, istilah yang paling tepat untuk kita adalah 'cocok satu sama lain.'


“Begini... Kita punya cara kita sendiri. Memang kita baru saja mulai pacaran, tapi kita sudah sangat cocok. Jadi, kita harus percaya diri... dan tidak perlu terlalu memikirkan omongan orang lain, bukan?”


Saat mengatakan itu pada Kimi, Boku sendiri merasa agak heran.

Bagaimanapun, ini hanya hubungan pura-pura. Jadi, seharusnya tak masalah apa pun yang orang lain katakan, kita cukup mengabaikannya. Tak perlu repot-repot mencari kata yang bisa menggambarkan hubungan kita.


Tapi entah kenapa, saat itu Boku tak bisa berhenti memikirkannya. Kenapa, ya...? Meskipun ini hanya hubungan pura-pura, Boku tak ingin menolak kenyataan bahwa Boku dan Kimi adalah pasangan—dan Boku membenci perasaan itu."


Saat membacanya, dadaku berdebar. Masaichi...


Dulu, aku memang ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi pasangan yang sebenarnya. Dan karena kejutan ulang tahun itu, aku mulai sadar bahwa mungkin aku benar-benar ingin hubungan ini menjadi nyata.


Apakah mungkin, saat itu, Masaichi juga mulai merasakan sesuatu...?

Surat panggilan bernada ancaman dari Kaede-chan, kencan ganda bersama Mayu-chan dan yang lainnya...


Kenangan-kenangan itu diceritakan dari sudut pandang Masaichi.


"Boku ingin menunjukkan bahwa Boku dan Kimi adalah pasangan yang serasi. Boku masih mengingat tujuan itu, tetapi ketika harus berhadapan dengan dia di permainan air hockey, Boku diam-diam membara dengan semangat bertarung.


Kurasa, perasaan Boku saat itu bukan sekadar tidak mau kalah.

Terutama pada pria ini—Boku sama sekali tak ingin kalah darinya.


Kenapa dia mencoba mendekati Kimi? Boku ingin tahu alasannya. Boku ingin memastikan apakah perasaannya itu sungguhan atau tidak. Namun, begitu Boku berhadapan dengannya, satu hal yang pasti—Boku harus mengalahkannya.


Fufufu... Boku pasti menang.


Semakin Boku berpikir begitu, semakin semangat Boku berkobar, dan Boku semakin fokus ke permainan air hockey. Tak terpikirkan bahwa setelah itu, Boku akan mengucapkan sebuah kesalahan besar—"


Ah, kalau tidak salah setelah ini...


Aku teringat apa yang dikatakan Masaichi padaku saat itu. Tiba-tiba saja, dia bilang, "Kasukabe-kun bukan orang jahat," seolah-olah dia malah mendukung Kasukabe-kun.


Tapi... yang salah sebenarnya adalah aku—aku yang membuat hubungan kami menjadi semakin tidak jelas. Saat itu, hanya karena satu kata darinya, aku bisa begitu senang, tapi juga begitu gelisah.

Hatiku menjadi tidak stabil, melayang tanpa arah.


Lalu, panggung berpindah ke festival api kagari, yang kami kunjungi berdua.


“"Mulai sekarang, kita akan melakukan ini—mengungkapkan isi hati dan memperbaiki hubungan kita sebagai pasangan yang canggung."


Saat Boku mengatakannya dengan penuh keyakinan, Kimi menatap Boku dengan wajah kebingungan. Belakangan ini, Kimi sering menggunakan istilah 'pacaran yang sesungguhnya,' dan semakin berusaha menjadikan hubungan pura-pura ini seperti yang Kimi inginkan.


Di sisi lain, Boku masih terikat dengan kata 'pura-pura.'

Sebagai pacar pura-pura, Boku hanya berpikir, 'Boku harus melakukan ini.'


Sejujurnya, Boku tidak tahu harus bagaimana. Lalu, apa yang sebenarnya Boku inginkan? Kenapa Boku tidak suka menganggap hubungan kami sebagai sesuatu yang hanya sementara? 


Sehari sebelumnya, ketika Kimi tidak datang ke kamar Boku sampai malam, Boku merasa sangat kesepian dan hanya bisa gemetar tanpa tahu harus berbuat apa.


Boku masih belum tahu apakah perasaan ini bisa disebut cinta. Hanya saja, Boku ingin menjadi orang yang selalu berada di sisi Kimi.


"Boku memang pacar sementara... hanya pura-pura... Tapi tetap saja, Boku tidak ingin Kimi punya pacar yang sebenarnya..."


Begitu kata-kata itu keluar dari mulut, tubuhku terasa panas seketika. Ujung kalimatku bergetar tanpa bisa dikendalikan.

Mungkin ini terdengar egois, tapi aku tahu bahwa jika Boku tidak mengatakannya sekarang, Boku pasti akan menyesal nanti. Itulah satu-satunya alasan yang mendorongku.


Masaichi, saat itu kau ternyata...


Sementara aku terburu-buru, khawatir, dan dipenuhi rasa cemas... Di sisi lain, Masaichi berjalan maju dengan kecepatannya sendiri. Mungkin aku sempat mendorongnya terlalu keras, tapi ternyata dia tetap mengikutiku dengan baik. Aah... rasanya aku hampir menangis sedikit.



"Meihoku Couple Grand Prix"—begitulah nama kontes yang akan diadakan saat festival sekolah. Begitu mendengar detailnya, Boku langsung memutuskan untuk ikut serta.


Ini adalah kesempatan untuk menyatakan kepada seluruh sekolah bahwa kami adalah pasangan, sekaligus membuktikan pada dia bahwa Boku dan Kimi benar-benar cocok.


Saat perjalanan pulang sepulang sekolah, Kimi dengan penuh semangat menyatakan keinginannya untuk ikut serta. Entah kenapa, bersama Kimi, Boku merasa mereka benar-benar bisa memenangkan kontes itu.


Pada saat yang sama, sebuah pikiran melintas. Jika kami menang dan diakui sebagai pasangan terbaik di sekolah, apakah ada sesuatu yang akan berubah di antara kami yang masih sekadar berpura-pura ini...?”


Ah, benar juga. Padahal kupikir Masaichi akan enggan ikut sejak awal, jadi aku terkejut melihatnya begitu antusias. Tapi begitu kutanya alasannya, ternyata dia melakukannya hampir sepenuhnya untukku. Bahkan sekarang, aku tidak bisa berhenti merasa bersyukur.


“Ketika keluar untuk mengumpulkan kardus yang akan digunakan untuk membuat papan nama, Boku bertemu dengannya. Awalnya, mereka hanya mengobrol seperti biasa, tetapi karena sebuah insiden kecil, mereka mulai beradu argumen.


"Aku tidak merasakan perasaan cinta yang tulus darimu... Tidak ada tanda-tanda bahwa kau benar-benar peduli padanya."


"Lalu, apakah kau tahu apa itu cinta yang tulus?"


Boku membalas dengan nada keras, tapi setelah dia pergi, Boku hanya berdiri diam menatap langit. Boku ingin selalu berada di sisi Kimi, tapi Boku bukan pacar yang sebenarnya.


Dia sadar bahwa dia sendiri tidak tahu apakah perasaannya ini adalah "cinta" atau bukan—dan jika begitu, bukankah wajar jika dia tidak bisa membantah saat dikatakan bahwa dia tidak menunjukkan "cinta yang tulus"? Kalau begitu, perasaan yang Boku simpan di dalam hatinya ini sebenarnya apa? Jika Boku tidak tahu, kenapa dia tidak mencoba memahami perasaannya sendiri? Kenapa dia terus mengabaikannya...?”


Masaichi dan Kasukabe-kun...? Aku memang pernah mendengar mereka sempat berbicara, tapi ternyata ada insiden seperti ini juga. Aku sama sekali tidak tahu. Dan gara-gara itu, cerita ini pun mulai bergerak dengan cepat.


“Setelah berbicara dengan teman-teman Kimi, Boku mulai memikirkan apa sebenarnya arti dari menjadi pasangan.

Singkatnya, saat ini adalah waktu yang sangat menyenangkan, damai, dan membahagiakan.


Teman masa kecil akan tetap menjadi teman masa kecil. Sebaliknya, jika menjadi pasangan, pada akhirnya hanya ada dua kemungkinan: akhir yang bahagia atau akhir yang menyedihkan.

Hubungan itu memiliki akhir. Bahkan, katanya pasangan yang terbentuk saat SMA lebih mungkin berakhir dengan cara yang buruk.


Awalnya, Boku hanya khawatir tentang bagaimana hari-hari menyenangkan ini akan berubah. Boku merasa nyaman dengan status quo ini dan lebih memilih untuk mengabaikan ketidakpastian yang ada.


Jika ada kemungkinan berakhir dengan buruk, bukankah lebih baik jika semuanya tetap seperti sekarang? Tapi ketika benar-benar memikirkan tentang "berpacaran," Boku menyadari bahwa ada rasa kagum dan keinginan di dalam hatinya.


Mungkin mempertahankan keadaan sekarang bukanlah jawabannya.

Jika mungkin, Boku ingin mencapai akhir yang bahagia bersama Kimi. Jika kami benar-benar menjadi pasangan, seperti apa masa depan kami...?”


Aah... Dia benar-benar banyak memikirkannya.


Ya, aku tahu itu. Tapi tetap saja, membaca ini membuatku sadar betapa banyaknya hal yang Masaichi pertimbangkan tentang kami. Setelah itu, saat festival sekolah, di malam terakhir, saat kami hanya berdua, Masaichi bertanya kepadaku:


"Jika kita benar-benar menjadi pasangan yang sesungguhnya... apa yang akan terjadi?"


Aku sama sekali tidak khawatir tentang itu, jadi aku langsung menjawabnya dengan keyakinan.


"Dalam kasus kita, kita bukan berubah dari teman masa kecil menjadi pasangan... Kita akan menjadi pasangan teman masa kecil. Jadi, tidak perlu khawatir."


Begitu Kimi mengatakan itu, semuanya menjadi jelas di kepala Boku. Seperti kabut yang tiba-tiba menghilang. Saat mereka pindah ke ruang kelas, Boku merangkul Kimi dengan erat.

Perasaannya sudah bulat. Dia merasa seolah-olah jalan di depannya menjadi terang. Dan tanpa sadar, perasaannya keluar begitu saja.


"—Aku suka padamu."


Boku bisa melihat mata Kimi membelalak kaget. Saat dia menoleh, matanya yang sedikit berkilau tampak begitu indah di bawah cahaya.”


Mendengar suara Masaichi dari ingatanku, aku merinding.


Astaga... Ini benar-benar menyentuh perasaanku...


Saat aku berhenti sejenak di bagian akhir novel, tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan bunyi "gacha," dan wajah Masaichi muncul dari balik pintu.




Sedikit sebelum Toiro menyelesaikan membaca novel, aku ingin kembali ke kamar. Sambil memikirkan hal itu, aku menyiapkan kue dan teh di dapur lantai satu.


Aku tidak ingin masuk terlalu cepat dan mengganggu Toiro yang sedang membaca. Namun, aku juga tidak boleh melewatkan momen ketika Toiro menyadari suatu kejutan di adegan terakhir.


Pada akhirnya, aku merasa gelisah dan, begitu selesai menyiapkan semuanya, aku langsung membawa nampan ke tangga. Dan saat aku membuka pintu kamar—Toiro sudah berlinang air mata.


“Ke, kenapa?”


“Ma, Masaichi~. Ini, sungguh mengharukan.”


Toiro mengendus pelan.


Oh... Kalau sampai tersentuh sedalam itu, berarti ini sesuai harapanku. 


Aku meletakkan nampan berisi piring kue dan cangkir teh di meja rendah, lalu sekilas melirik novel yang dipegang Toiro. Sepertinya dia baru saja menyelesaikan bagian festival penutupan. Akhirnya sudah dekat.


“Boleh duduk di sampingmu?”


“Mm.”


Toiro mengangguk, dan aku duduk di sebelahnya. Lalu, dia sedikit bergeser, menempelkan dirinya ke bahuku.


“Ne, ne, kamu tahu novel ini? Sampulnya seperti ini. Ini benar-benar seru, lho? Aku hampir sampai di klimaks.”


“Hee, seru, ya. Tapi kamu tahu nama pengarangnya dengan baik, ya. Itu bukan nama pena, ya. … Iya, itu aku.”


“Ahaha.”


Sambil tertawa, Toiro membuka kembali halaman novel. Aku juga mengintip dari samping.


“Saat festival penutupan, Boku tahu bahwa bahkan seorang teman masa kecil pun bisa menjadi pasangan kekasih, dan itu membuatku benar-benar merasa lega.Dan Boku menyadari bahwa Boku menyukai Kimi dari lubuk hatiku.


Hari itu, saat Kimi berkata, "Kenapa kita tidak sekalian jadian saja?", sesuatu mulai bergerak di antara kami.


Berbagai gerakan khas pasangan yang kami lakukan. Tanpa kusadari, Boku mulai melihat Kimi sebagai seorang gadis. Melihat berbagai sisi Kimi membuatku semakin berdebar. Justru karena kami pernah berpura-pura menjadi pasangan, Boku bisa menyadari perasaan ini.”


Sambil mengikuti kata-kata itu dengan matanya, Toiro semakin merapatkan tubuhnya padaku. 


“Selain itu, saat menghabiskan waktu sebagai pasangan, Boku juga menyadari betapa berharganya waktu yang dihabiskan untuk bermain bersama. Pergi ke pusat permainan saat kencan. Bermain game saat studi wisata dalam waktu yang terbatas. Hampir setiap hari setelah sekolah, kami berjalan pulang berdua sebagai pasangan, lalu setelah tiba di kamar, kami kembali menjadi teman masa kecil yang bermain bersama. Pergi membeli light novel bersama.


Di hari libur, membeli camilan dan minuman, lalu menghabiskan waktu dengan membaca di kamar.


Di sekolah pun, kami berbisik-bisik membicarakan game.


Boku benar-benar senang karena Kimi menunjukkan ketertarikan pada hobiku yang sedikit otaku dan ikut larut di dalamnya.


Dulu, itu membuatku merasa diterima dan seakan terselamatkan. Sejak saat itu, setiap hari terasa sangat menyenangkan. Bahkan menjelang Natal, saat Boku sibuk, Kimi tetap datang ke kamarku…Dan Boku semakin yakin bahwa waktu yang paling membahagiakan adalah saat kami melakukan kegiatan otaku bersama.


Kalau saja kami tetap hanya teman masa kecil, mungkin Boku akan menganggap waktu ini sebagai sesuatu yang biasa saja, atau mungkin hanya menjalani semuanya dengan setengah hati.


—Boku telah menemukan sesuatu yang ingin kulakukan, sesuatu yang ingin kucoba untuk berusaha.” 


Ya.Dari situlah Boku mulai menyiapkan Natal. Dan mulai menulis novel ini.


“Lalu, tiba saatnya Natal pertama yang akan kami habiskan sebagai pasangan kekasih.”


Isi novel itu akhirnya menyentuh hari ini.


“Boku bersumpah untuk membuat Kimi bersenang-senang sepuasnya, lalu pergi dari rumah. Menuju tempat kencan di pelabuhan kota sebelah. Mungkin Kimi akan merasa lelah karena banyaknya orang. Makan malam, tempat istirahat setelahnya, Boku harus mengawalnya dengan baik. Kota akan berkilauan dengan iluminasi. Boku pasti akan terpesona oleh wajah samping Kimi yang terhanyut dalam cahaya itu.


Kami pasti akan menikmati kencan dengan cara kami sendiri.

Mencampurkan kenyamanan sebagai teman masa kecil dengan debaran hati sebagai pasangan kekasih.


Tapi, hari ini adalah Natal.


Hari istimewa yang hanya datang setahun sekali. 

Natal pertama yang kami habiskan sebagai pasangan kekasih. Boku telah bersumpah. Boku akan membuat Kimi bahagia sepenuh hati. Boku akan terus membuat Kimi tersenyum selamanya.Hari ini, Boku tidak bisa mengakhirinya hanya sampai di sini.”


Beberapa baris kosong, lalu kalimat terakhir yang menutup cerita.


“Karena itulah, Boku menjadi Santa Claus untuk Kimi yang telah tumbuh dewasa, dan menyembunyikan hadiah spesial di bawah bantalnya—.”


“Eh, eh—”


Toiro dengan cepat mendongak dan menatapku. 


Aku mengangguk pelan seolah mengatakan ‘tidak ada apa-apa.’

Lalu Toiro menoleh ke tempat tidurku—tempat di mana aku sering berbaring sambil membaca manga atau tertidur sejenak. Berjalan perlahan, aku mendekati bantal dan menggesernya sedikit—.


"Ah."


Sebuah kotak kecil, seukuran telapak tangan, muncul. Kotak itu dibungkus dengan kertas kado dan dihiasi pita putih. Itu adalah hadiah yang sudah kusiapkan sebelumnya dan kusembunyikan di sana.


"Boleh kubuka…?"


"Ah."


Mayuko pernah mengatakan kalau aksesori adalah pilihan yang direkomendasikan untuk hadiah Natal. Dia juga bilang, sesuatu yang cocok untuk pasangan akan lebih baik.


Aku memikirkan aksesori yang hanya bisa diberikan karena kami adalah sepasang kekasih. Lalu, aku pun menyiapkannya.


TLN : Fix Cincin gak sih?...


"Ini…"


Dari dalam kotak, muncul sebuah wadah berwarna merah. Tipe yang bisa dibuka dari depan.


"Boleh kulihat?"


Saat aku berkata begitu, Toiro mengangguk pelan dan membuka tutupnya.


"Wow… Eh, gawat… Cincin?"


TLN : Kan....


Yang ada di dalamnya adalah sebuah cincin perak. Di tengahnya bertengger sebuah berlian kecil yang berkilauan ketika terkena cahaya lampu di langit-langit.


"Indah sekali…"


Toiro menatap kilauan itu dalam-dalam, mengubah sudut pandangnya sambil mengintip bagian dalam batu mulia itu.


"Ba-bagaimana? Aku berpikir kalau hadiah yang hanya bisa diberikan karena kita adalah pasangan itu mungkin ini."


"Senang banget! Aku benar-benar senang! Tapi, ini berlebihan! Kamu baik-baik saja? Jarang sekali anak SMA memberikan cincin semewah ini."


"Be-begitu ya?"


"Ya."


Sambil mengangguk, Toiro masih terus menatap cincin itu.


"Soalnya ini berlian, kan? Ini perhiasan. Ini dewasa banget!"


"Ah. Kamu menyukainya?"


"Ya! Sangat imut dan cantik! Selera kamu bagus banget!"


"Syukurlah."


Aku menghela napas lega. Meski sebenarnya masih ada hal yang lebih penting setelah ini, untuk sementara aku merasa tenang. Dalam memilih cincin ini, aku mendapat bantuan dari seorang gadis. Saat aku pergi ke departemen store untuk membeli cincin, aku kebetulan bertemu Nakasone. Setelah berbincang sebentar, dia tahu kalau aku sedang mencari cincin dan memberiku beberapa saran.



"Kalau anggaranmu terbatas, lebih baik jangan terlalu terpaku pada merek terkenal. Nanti kamu malah nggak bisa beli yang kamu inginkan dan akhirnya cuma bisa membeli yang paling murah dengan tampilan seadanya. Lebih baik prioritaskan berlian alami. Kalau memilih berdasarkan kualitas, kamu bisa mengenakannya dengan bangga bahkan di masa depan."


"Hmm, tapi memangnya aku bisa mendapatkan berlian asli dengan anggaran ini?"


"Tergantung ukurannya. Ibuku bekerja di toko perhiasan, jadi aku sering mendengar cerita seperti ini. Kalau anggarannya terbatas, pilih batu yang kecil, buat lingkar cincinnya lebih ramping supaya berlian lebih mencolok. Selain itu, karena sudah dekat dengan Natal, kalau mau menambahkan ukiran di cincin, perhatikan tenggat waktunya. Kalau nggak sempat, kamu tetap bisa memberikannya sebagai hadiah, lalu nanti kalian berdua bisa pergi ke toko untuk menambahkan ukiran bersama."


"Kamu tahu banyak ya. Begitu rupanya…"



Saat aku merasa kewalahan dengan suasana mewah di lantai perhiasan dan merasa canggung karena merasa bukan bagianku, saran darinya benar-benar membantu. Dia merekomendasikan beberapa toko, dan akhirnya aku bisa membeli cincin yang sesuai.


"Aku benar-benar senang kamu menyukainya. Sebenarnya, aku sempat berpikir kalau cincin mungkin terlalu berlebihan."


"Begitu? Tapi kenapa tetap memilihnya?"


"Itu karena… Aku ingin menyampaikan perasaanku dengan jelas kali ini. Karena kita sudah lama berteman dekat, kurasa sesuatu yang berlebihan justru lebih cocok."


"Whoa… Jantungku berdebar…"


"Kamu jujur sekali."


Aku tanpa sadar tertawa. Meskipun begitu, aku senang melihat reaksinya seperti itu. Saat Toiro membuka hadiah ini, aku sendiri juga merasakan jantungku berdebar kencang, dan tubuhku merinding seketika.


"Ahh, kejutan ini terlalu berlebihan."


Toiro berkata dengan nada mengeluh, lalu melanjutkan,


"Aduh, ini sih bikin aku nangis."


Dia tertawa, tapi di matanya tampak genangan air mata.


"Kenapa menangis?"


"Menangis karena bahagia…? Selain itu, melihat kilauan cincin ini rasanya bikin mataku berair."


Sambil tertawa kecil, Toiro menyeka sudut matanya dengan jari telunjuk yang ditekuk.


"Dan novel ini luar biasa! Bagaimana bisa kamu menulis sesuatu seperti ini?"


"Menurutmu bagaimana? Seru?"


"Ya! Aku sampai terbawa suasana!"


"Begitu ya. …Aku ingin melihat ekspresi bahagiamu, Toiro."


Itulah satu-satunya alasan yang mendorongku. Aku ingin melihat Toiro tersenyum dan bersenang-senang. Saat aku sempat berpikir untuk berhenti menjadi seorang otaku—Toiro datang ke kamarku dan ikut tertarik dengan hobiku. 


Sejak saat itu, aku membayangkan dia menikmatinya, dan aku mulai membeli game, mencari tahu manga baru, serta membaca novel yang nantinya akan kupinjamkan padanya dengan penuh semangat.


Bahkan setelah kami menjadi sepasang kekasih, aku ingin terus melakukan hal yang sama. Aku ingin terus menjadi seseorang yang bisa membuatnya bahagia setiap hari.


"Aku ingin membuat Toiro menikmati setiap harinya. Itu adalah tujuanku. Karena itu, aku ingin bekerja di industri hiburan. Sesuai dengan hobiku juga. Mungkin menjadi kreator game, atau penulis. Aku nggak bisa menggambar, jadi mungkin nggak bisa menjadi mangaka… Tapi bagaimanapun, aku merasa seperti menemukan jalan hidupku. Dan saat memikirkan apa yang harus kulakukan untuk mencapainya, aku memutuskan untuk mulai menulis novel."


Ini adalah karyaku yang pertama. Dan aku bisa melangkah maju menuju masa depan seperti ini—semua berkat kenyataan bahwa aku bisa menjadi kekasihnya.


Aku dengan lembut menjepit cincin dari kotak yang dipegang Toiro. Lalu, aku berhadapan dengannya. Saat menatap wajahnya dengan saksama, matanya membesar sejenak, dan dia memperbaiki posturnya.


Dia menelan ludah. Segala perasaanku sudah kutuangkan dalam novel ini. Jadi, aku akan menyampaikannya dengan singkat.


“Toiro, aku menyukaimu.”


“Un...”


“—Jadi, maukah kamu pacaran denganku?”


Senyum lembut merekah di bibirnya. Pipi putihnya sedikit memerah dengan kehangatan.


“Un, iya, dengan senang hati!”


Dengan senyuman yang begitu cerah, Toiro mengangguk dengan penuh semangat. 


Seluruh tubuhku terasa panas. 


Saat aku mengulurkan tanganku, Toiro membuka jemarinya. Perlahan, aku menyematkan cincin itu di jari manisnya.


“Waa—”


Toiro mengangkat tangannya ke depan, mengagumi cincin itu. Cahaya berlian yang berkilau terpantul di matanya, dan aku pun terpesona melihatnya.


“Oh, sebenarnya ini juga cincin pasangan.”


Mengingatnya, aku berdiri, mengambil satu kotak lagi dari laci meja belajarku. Di dalamnya ada cincin perak sederhana tanpa batu.


“Aku yang akan memakaikannya!”


Toiro berkata, lalu mengambil cincin itu.


Jemarinya menyentuh jariku dengan lembut, dan dia menyematkan cincin itu dengan cara yang sama seperti yang kulakukan tadi. Kemudian, dia tersenyum kecil.


“Terima kasih, Masaichi.”


“Tidak, akulah yang harus berterima kasih. Karena kamu telah menunggu.”


“Tentu saja aku menunggu. Aku akan menunggu, kapan pun. Selamanya.”


Aku merangkul Toiro, mendekapnya dengan lembut.

Tanpa perlawanan, tubuhnya masuk dalam pelukanku dengan sempurna. Setelah memeluknya erat, aku sedikit melonggarkan genggaman dan menatap wajahnya.


“Toiro...”



"…Un."


Apakah suasana ini yang membuatnya mengerti, atau karena kami telah lama bersama sehingga bisa saling merasakan? Bagaimanapun juga, tak perlu lagi kata-kata. Aku menutup mata dan mendekatkan bibirku ke bibirnya.


"Aku juga menyukaimu, Masaichi."


Di akhir, suara bisikan itu sampai ke telingaku. 


Untuk pertama kalinya, aku mencium Toiro. Bukan ciuman tak langsung atau kecupan di pipi, tapi ciuman yang sesungguhnya.


Gigi kami sempat bersentuhan sedikit, tapi mungkin karena masih belum terbiasa, itu wajar, kan? 


Di saat berikutnya, bibirku menyentuh kelembutan miliknya, diselimuti kehangatan dan aroma manis yang samar. Padahal kami belum makan kue, pikirku sambil perlahan melepas ciuman itu. Namun, seakan mengejarnya, Toiro kembali mencuri satu kecupan singkat.


"Eh-hehe."


Dia tersenyum malu-malu.


"Bagaimana? Ciuman yang membara itu. Apakah bibirku sudah menyalakan api di hatimu?"


"Itu kan dari novel! Kenapa malah bahas itu sekarang?"


"Ahaha."


Toiro tertawa kecil, lalu menatapku dengan kepala sedikit dimiringkan.


"Jadi, Masaichi yang masih belum berpengalaman, sudah menemukan jawabannya? …Apakah ini love atau like?"


Ah… Aku pernah bimbang soal itu, saat kami baru saja menjadi pasangan. Tapi tentu saja, sekarang aku sudah yakin.


"Aku sangat mencintaimu."


Entah kenapa, meskipun ini adalah sentuhan pertama, aku sudah merasa enggan untuk berpisah. Mungkin karena aku sudah menantikannya begitu lama. Sambil memikirkannya, aku kembali mencium Toiro. Kalau dia merasakan hal yang sama, aku akan sangat senang…


Saat aku perlahan membuka mata, Toiro juga sedang menatapku dari jarak yang sangat dekat. Mata kami bertemu, lalu tanpa sadar, kami berdua tertawa kecil.


"Mungkin aku akan pakai cincin ini ke sekolah juga."


"Itu pasti dilarang, kan?"


"Aku pernah dengar kalau menutupnya dengan plester bisa menyamarkannya."


"Tak perlu repot-repot sampai begitu."


"Fufufu. Iya, ya. Lagipula, ini harus kujaga baik-baik."


Malam Natal hampir berakhir. Besok, kami akan kembali ke sekolah seperti biasa. Aku berharap waktu ini bisa bertahan lebih lama.

Namun, di saat yang sama, aku juga merasa tak sabar menantikan hari esok yang biasa, yang entah kenapa kini terasa lebih menyenangkan dari sebelumnya.


















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !