Nee, Mou Isso Tsukiacchau? Osananajimi Chap 10 V5

Ndrii
0

Chapter 10

Legenda, kembali lagi―




Pagi itu cerah.


Bukan hanya karena sinar matahari yang masuk melalui jendela dengan tirai terbuka, tapi juga karena perasaanku yang terasa begitu jernih, seolah-olah pikiranku benar-benar bersih dan segar. Jarang sekali aku bisa terbangun secara alami seperti ini dan dengan mudah bangun lebih pagi.


Apa ini efek punya pacar?

Bisa sampai meningkatkan kualitas hidup sebesar ini, ya…?

Tanpa sadar, aku menyeringai sendiri sambil berbisik, “Hehe.”


Ini pertama kalinya dalam hidupku punya pacar. Orangnya adalah Masaichi, teman masa kecil yang sudah akrab denganku sejak dulu. Tapi, perasaannya jauh lebih menyegarkan daripada yang kubayangkan.


Aku ingin segera pergi ke sekolah dan melihat wajahnya. Dengan hati yang berdebar penuh semangat, aku mulai bersiap untuk berangkat.



"Kenapa ini...?"


Pukul 08.25, aku berlari melewati gerbang sekolah.


Aneh. Waktu bangun tadi, aku merasa masih punya banyak waktu.

Tapi entah kenapa, saat merasa punya waktu lebih dari biasanya, aku malah jadi lebih santai. Aku menikmati sarapan sambil menonton TV, bahkan sampai nambah satu porsi lagi.


Selain itu, aku juga menghabiskan lebih banyak waktu untuk merapikan rambut dan berdandan. Padahal aku sudah berusaha untuk tidak terlalu berlebihan... tapi bagaimana ya hasilnya? Dengan napas tersengal, aku menaiki tangga. Lantai empat... berat juga...


Begitu sampai di dekat kelas, aku merapikan poni dengan tangan beberapa kali, lalu dengan hati-hati melangkah masuk.


"Ah, Toirooon! Telat nih!"


Yang pertama kali muncul dalam pandanganku adalah rambut berkuncir dua yang melompat-lompat mendekat.


"Maaf, maaf! Aku telat berangkat dari rumah," ujarku sambil menyambut pelukan Mayu-chan.


"Oh, Toiro, selamat pagi! Kesiangan lagi, ya? Yah, wajar sih. Kemarin kan malam Natal. Tidur larut itu sudah pasti. Jangan-jangan sampai pagi?"


Tiba-tiba terdengar suara dari belakang. Saat aku menoleh, ternyata itu Kaede-chan, yang sepertinya baru kembali dari toilet. Di tangannya ada handuk kecil yang terlipat rapi.


"Aku nggak ngerti bagian mana yang ‘wajar’, tapi aku nggak kesiangan!"


Memang sih, kemarin aku terlalu asyik sampai tidur larut. Tapi, tentu saja bukan seperti yang sedang dibayangkan Kaede-chan dengan senyum jahilnya. Kami kan masih baru jadian.


"Sebentar lagi pelajaran mulai! Padahal aku punya banyak yang mau diceritain!" keluh Mayu-chan.


"Ehh, maaf, maaf! Aku juga pengen dengar!"


Saat aku meminta maaf sambil menyatukan kedua tangan, Urara-chan datang mendekat.


"Mungkin lebih baik nanti saja? Kalau buru-buru di pagi hari, malah jadi ribet sendiri. Aku juga ingin dengar cerita kalian," katanya sambil memberi tatapan penuh arti padaku.


Benar juga. Selain cerita Mayu-chan, aku juga penasaran apakah Urara-chan berhasil memberikan hadiahnya. Dan aku juga ingin tahu seperti apa kencan Kaede-chan kemarin.


"Oh iya, pelajaran seni hari ini katanya guru izin, jadi kita bakal belajar mandiri. Teman yang menuju ruang seni tadi bilang kita cuma disuruh menggambar sesuka hati."


Kaede-chan membagikan informasi itu, membuat mata Mayu-chan berbinar.


"Serius?! Keren banget!"


"Bagus juga. Kita ngobrol di sana saja," usul Urara-chan.


Saat itulah, bel tanda pelajaran dimulai berbunyi nyaring. Aduh, harus cepat-cepat ke tempat duduk! Aku hendak menuju bangkuku, tapi begitu menoleh ke arah kelas—


"Ah..."


Pandangan mataku bertemu dengan Masaichi, yang sudah duduk di bangku belakang kelas. Dia juga tampak terkejut dan sempat berusaha mengalihkan pandangan, tapi mungkin sadar kalau itu malah aneh, jadi akhirnya ia membalas dengan anggukan kecil. Wajahnya sedikit memerah—mungkin malu karena ketahuan sedang memperhatikanku. Aku pun ikut membalas dengan anggukan kecil. 


Apa ini? Apa ini? Kenapa rasanya canggung begini? Biasanya aku bagaimana, ya? Punya pacar (yang nyata) di kelas yang sama... rasanya begini, ya? ...Jantungku berdebar. Ini lucu juga.


Aku tiba-tiba terpikir untuk sedikit usil, lalu mengubah arah langkah menuju meja Masaichi. Saat berjalan melewati lorong di antara meja-meja, dia menatapku dengan mata terbelalak kaget.


"Selamat pagi!"


"O-oh..."


"Eh, eh, nanti pulang bareng, yuk?"


"O-o-o-oh..."


Aku meninggalkan senyum kecil padanya, lalu melangkah menuju kursiku. Ada sedikit rasa malu, tapi juga ada kebahagiaan yang bercampur jadi satu.


Aku merasakan tatapan dari sekeliling. Tapi, apakah ada yang sadar kalau ada sesuatu yang berbeda dari kami?


Sejak kemarin, kami resmi menjadi pasangan. Sebenarnya, ini seharusnya tetap rahasia...


Tapi, di lubuk hatiku, aku sedikit berharap ada seseorang yang bisa menyadari debaran ini.



"Terus, terus, setelah live itu, akhirnya aku berhasil memberikan hadiahnya, dan dia senang banget!"


"Ohh, bagus dong."


"Iya! Seriusan! Oh iya, Urara-chan juga bilang makasih ke kamu, Masaichi."


"Oh, iya. Soalnya aku sampai menerobos masuk ke ruang tunggu klub, kan."


Sepulang sekolah, seperti yang dijanjikan, aku keluar kelas bersama Toiro. Kukira dia ingin langsung menuju kamarku, tapi di tengah perjalanan melewati lorong sekolah, dia tiba-tiba berkata,


'Gimana kalau kita ngobrol dulu di sekolah sebelum pulang?'

'Di sekolah?'

'Iya. Kayaknya berasa lebih kayak anak muda gitu. Sesekali gak masalah, kan?'

'Bener juga. Apalagi udah mulai libur musim dingin, jadi kita gak bisa datang ke sekolah untuk sementara waktu.'

'Itu dia! Tinggal dua hari lagi, ya. Lama-lama rasanya agak sedih juga.'


Jadilah, aku berjalan santai di dalam sekolah sambil mendengar cerita tentang Natal dari teman-teman kami.


"Kamu udah dengar cerita Sarugaya dan Mayuko?"


"Itu dia! Seriusan, aku kaget banget! Aku sengaja nyimpen ceritanya buat yang terakhir karena pengen cerita banyak!"


"Mereka jadian, kan?"


"Iya! Bener banget! Aku seneng banget. Mereka jadian di hari yang sama dengan kita! Sayangnya, aku gak bisa kasih tahu Mayu-chan soal ini. Tapi kapan-kapan kita harus double date lagi!"


Aku sudah mendengar cerita lengkapnya langsung dari Sarugaya. Saat jam istirahat di sela pelajaran, dia tiba-tiba memanggilku ke sudut lorong yang sepi dan mulai bercerita.


'Kencan Natal itu seru banget. Aku pengen lebih lama lagi bareng Mayuko-chan. Jadi akhirnya, aku yang ngajak duluan. Aku bilang, kalau waktunya masih ada, gimana kalau mampir ke kafe manga yang dia suka sebelum pulang. Nah, di sanalah kejadian itu terjadi.'


Dia bercerita sambil bersandar di jendela, menatap keluar.


'Kejadian?'


Saat itu, suasana tiba-tiba terasa tegang.


'Iya. Sama seperti sebelumnya, kami dipandu ke ruang pribadi. Aku taruh barang-barangku sebentar, lalu pergi mengambil manga. Mayuko-chan bilang dia mau ke toilet dulu, jadi aku kembali duluan ke ruangan. Kalau dipikir-pikir, dia udah kelihatan agak gelisah sejak saat itu.'


'Ohh.'


Aku menimpali singkat.


‘Aku menunggu di ruangan, dan tak lama kemudian, Mayuko-chan datang. Dia masuk, melepas mantel, dan... di baliknya, dia Cuma pakai camisole super tipis! Sampai-sampai, banyak yang kelihatan! Aku langsung panik!’


Memang wajar kalau dia bingung. Dan di hadapan Sarugaya yang kebingungan, Mayuko berkata dengan terbata-bata,


'Sa... Sarugaya-kun. A-a-a-a... Aku adalah hadiah Natal untukmu!'


"Aku kaget waktu dengar cerita detailnya," kataku sambil mengingat kembali percakapanku dengan Sarugaya.


"Oh, jadi Masaichi juga tahu semuanya?" tanya Toiro, sedikit terkejut.


"Iya. Mayuko bilang ke Sarugaya kalau dia boleh cerita ke aku. Karena kalau Nakasone dan yang lainnya tahu, mereka pasti bakal nanya banyak, jadi sekalian aja dibuat sebagai bahan cerita duluan."


"Ahaha, jadi gitu. Mayu-chan tuh lama banget galau milih hadiah. Sampai akhirnya dia mikir, 'Pasti ini yang bakal bikin Sarugaya-kun senang!' Tapi malah melesat ke arah yang aneh. Dia sendiri sampai kebingungan dan gak ngerti lagi sama tindakannya."


"Ohh, pantesan... Tapi ya, pada akhirnya malah berakhir dengan baik."


"Iya! Namanya juga hasil akhirnya yang penting!"


Ternyata, waktu Mayuko melakukan 'pengorbanan' besar itu, Sarugaya mati-matian mempertahankan kewarasannya. Dengan susah payah, dia mengalihkan pandangan dan pikirannya ke arah lain, lalu menyerahkan selimut ke Mayuko. Dan saat itu, dia berkata,


'Hal-hal seperti ini... lebih baik dilakukan pelan-pelan setelah benar-benar jadian.'


'Ja-jadian...?'


‘Ah. A-aku ingin mengatakannya sendiri. Mayuko-chan. Aku jatuh cinta pada dirimu yang selalu ceria dan penuh semangat, yang membuat orang-orang di sekitarmu, termasuk aku, tersenyum. Aku juga sangat berterima kasih karena kamu telah dengan tulus menyayangiku. Kalau boleh, maukah kamu berpacaran denganku?’


‘――――――Ya! Mohon bimbingannya!’


Begitulah Mayuko menundukkan kepalanya dalam-dalam, dan akhirnya mereka resmi menjadi sepasang kekasih. 


Sekilas terlihat seperti keajaiban, tapi menurut Sarugaya, sebenarnya dia sudah memantapkan perasaannya sejak lama dan hanya menunggu kesempatan untuk menyatakan cinta. Mungkin memang sudah ditakdirkan bagi mereka untuk bersatu pada hari itu.


Oh, dan menurut cerita Toiro tadi, sepertinya Nakasone juga menghabiskan malam Natal yang menyenangkan—


"Ngomong-ngomong, kamu dengar sesuatu tentang Funami dan yang lainnya?"


Aku bertanya karena tiba-tiba teringat.


"Iya! Mereka pergi melihat ilumination dan menghabiskan malam yang romantis. Katanya mereka sangat bahagia. Mereka itu kan pasangan yang sudah berpengalaman."


"Hah... Begitu ya."


Aneh, padahal selisih waktu sejak kami mulai pacaran tidak sampai satu bulan. Yah, aku mengerti kalau mereka punya keadaan mereka sendiri.


"Oh iya, aku juga banyak ditanya, lho."


Toiro menoleh ke arahku dan menyeringai. Tentu saja. Saat semua orang berbicara tentang malam Natal mereka, tidak mungkin hanya Toiro yang lolos dari interogasi.


"Kamu bilang apa?"


"Hmm... Aku merahasiakan soal novel indah yang aku dapat. Itu adalah harta karunku sendiri."


"O-oh. Itu... melegakan."


Aku masih agak malu jika orang lain tahu bahwa aku menulis novel. Aku juga tidak ingin ada yang memintaku menunjukkan hasil tulisanku.


"Tapi, tahu tidak? Urara-chan bertanya sambil tersenyum licik, ‘Toiro dapat hadiah apa, ya?’"


Ah, dasar dia...


Nakasone, yang sedikit membantuku dalam persiapan, tentu saja tahu hadiah apa yang kuberikan. Dan dia, tampaknya ingin bersenang-senang dengan melihat reaksi Toiro.


"Lalu, aku bilang ke mereka kalau aku dapat cincin."


"Oh. …Terus, bagaimana?"


Aku bertanya dengan sedikit gugup.


"Mereka semua iri sekali. Mereka bilang ‘wah, enaknya~’. Mayu-chan bahkan matanya berbinar-binar. Katanya, ‘seperti pasangan veteran!’"


Di akhir kalimatnya, Toiro tertawa kecil.


"Syukurlah. Aku takut kalau-kalau mereka malah menganggapnya berlebihan."


"Sama sekali tidak. Mereka malah bilang jarang ada anak SMA yang mendapat cincin seserius ini. Justru karena itu, mereka jadi kagum. Aku sendiri juga sangat senang."


Rasa puas? Kebanggaan? Entahlah, tapi aku merasa geli sendiri.

Setidaknya, aku merasa lega karena hadiahku bisa diterima dengan baik. Dan yang lebih penting, Toiro terlihat sangat bahagia, dan itu yang paling membuatku senang.


"Ngomong-ngomong, aku penasaran tentang satu hal."


Toiro melanjutkan, membuatku menoleh dengan heran.


"Cincinnya pas banget di jariku. Kamu bagaimana caranya bisa tahu ukurannya?"


Oh, soal itu. Aku tidak ada niat merahasiakannya, jadi aku putuskan untuk mengungkapnya.


"Aku minta Serina untuk mengeceknya."


"Se-chan!? Kapan dia melakukannya!?"


"Katanya, dia mengukurnya saat kamu sedang memasak. Dia bilang, ‘ini sudah pasti akurat, jadi percayakan saja padaku’."


"A-ah, waktu itu, ya! Saat aku sedang memotong dengan pisau! Jadi dari saat itu sudah ada rencana ini!? Aku kena tipu~"


Sepertinya dia teringat pada kejadian itu.


"Aku tidak menipumu, kok."


Saat aku mengatakan itu, Toiro tertawa dengan wajah ceria.


"Kamu benar-benar sudah memikirkan semuanya, ya. Terima kasih banyak."



Kami berdua berjalan santai di sekitar gedung utara, tempat banyak ruang kelas khusus, sebelum akhirnya turun ke area pintu masuk sekolah dan keluar.


"Mau ke mana sekarang?"


Saat aku bertanya, Toiro, yang sedang mengenakan syal, berpikir sejenak sambil bersuara, "Hmm~"


"Kalau Masaichi tidak keberatan, aku ingin berkeliaran sedikit lebih lama."


"Kau bilang ‘berkeliaran’… Yah, aku juga tidak masalah."


Sebaliknya, aku justru merasa ingin menikmati waktu ini sedikit lebih lama. Suasana sekolah—atau seperti yang Toiro bilang, ‘udara masa muda’—aku ingin merasakannya lebih dalam lagi.


Kami berjalan ke kiri dari pintu masuk, menuruni jalanan landai yang pendek, lalu tiba di jalur pejalan kaki di sepanjang lapangan. Suara pukulan bat mengenai bola dari klub bisbol. Sorakan klub tenis saat mereka berlari mengelilingi lapangan. Dari kejauhan, terdengar suara latihan ansambel dari klub musik tiup.


Di lapangan yang disinari cahaya matahari senja, anggota klub atletik berlari melintasi trek, sementara di sisi lain, klub handball berlatih operan. 


Tak jauh dari sana, para anggota klub sepak bola berkumpul mendengarkan pelatih mereka. Suara mereka serempak menjawab, "Hai!", terdengar jelas dan teratur.


Aku jarang tinggal di sekolah setelah jam pelajaran, jadi pemandangan ini terasa segar bagiku. Melihat teman-teman sekelasku sibuk dengan berbagai hal di berbagai tempat di sekolah ini, aku bisa merasakan semangat mereka.


Dingin, tapi mereka tetap berlatih dengan tekun. Mungkin mereka tidak merasa kedinginan karena terlalu fokus. Punya sesuatu yang bisa membuatmu begitu bersemangat adalah hal yang luar biasa. Aku benar-benar berpikir begitu sekarang.


"Ngomong-ngomong soal pilihan jurusan, aku berpikir untuk masuk kelas jurusan sosial."


Sambil berjalan santai, aku mengutarakan pikiranku. Toiro menoleh dengan ekspresi penasaran dan berkata, "Oh?" Sudut pandangnya sedikit mendongak ke arahku. 


Aku sudah terbiasa dengan perbedaan tinggi badan kami, tapi sekarang, setelah kami resmi menjadi pasangan, selisih sepuluh sentimeter ini terasa seperti ukuran yang pas.


"Kamu tadinya tipe yang nggak terlalu peduli soal ini, kan? Tapi kalau dipikir-pikir, memang masuk akal sih kalau melihat apa yang ingin kamu lakukan."


"Iya, begitulah. Ilmu sains juga pasti berguna untuk menulis cerita di masa depan, tapi aku merasa itu bakal menyita terlalu banyak waktu untuk belajar. Aku juga nggak ada niat buat meneliti sesuatu di universitas. Jadi, aku mau fokus pada hal yang benar-benar ingin kulakukan sekarang."


"Oh, begitu. Itu keputusan yang bagus."


Toiro mengangguk dan melanjutkan, 


"Kalau aku, mungkin bakal ambil jurusan sains, sih."


Aku refleks menghentikan langkahku. Aku tahu ini reaksi yang egois, tapi tetap saja aku bertanya dengan hati-hati,


"Jadi… kamu sudah menentukan pilihan? Kamu sudah punya tujuan?"


Toiro yang sudah berjalan satu langkah di depan berhenti dan menoleh ke arahku sambil berkata, 


"Hmm… Bisa dibilang begitu, ya."


"Aku kepikiran untuk jadi ahli gizi."


"Ahli gizi?"


Ini pertama kalinya aku mendengar Toiro menyebut kata itu.


"Iya. Supaya Masaichi tetap sehat selamanya, aku bakal jadi ahli gizi pribadimu. Gimana? Cocok kan? Pilihan karier yang sangat ‘pacar banget’, kan?"


"A-aku senang, sih, tapi kalau kau menentukan masa depanmu hanya karena itu…"


Saat aku mulai gelisah, Toiro tertawa lepas.


"Haha, aku cuma bercanda. Tapi ya, aku memang tertarik dengan bidang ini dari dulu. Waktu kecil, kesehatanku nggak terlalu baik, jadi ibuku banyak belajar dari buku untuk membuat makanan yang bergizi buatku. Melihat itu, aku jadi berpikir kalau aku juga ingin melakukan hal yang sama untuk orang lain. Misalnya, menjadi ahli gizi di sekolah dasar dan memberikan edukasi soal nutrisi kepada anak-anak."


"Oh, wow… Itu keren banget…"


Jauh lebih spesifik daripada yang kubayangkan. Dibandingkan dengan impianku yang masih samar-samar, tujuan Toiro terasa lebih nyata dan membumi. Aku kagum mengetahui bahwa dia sudah memikirkan hal seperti itu.


"Dan tentu saja, supaya Masaichi tetap sehat selamanya."


"Aku berterima kasih untuk itu, tapi tetap saja…"


"Ahahaha."


"Tapi serius, aku baru tahu soal ini sekarang."


"Ah—, sebelumnya aku cuma berpikir ‘ya sudahlah’ tanpa benar-benar mempertimbangkannya. Tapi, setelah melihat Masaichi berusaha keras untuk mengejar impianmu, aku juga jadi ingin punya sesuatu untuk kukejar dan coba lakukan. Itu sebabnya."


"Begitu, ya…"


Melihatku berusaha meraih cita-citaku membuat Toiro juga mulai memikirkan masa depannya…


Aku teringat saat melihat usaha Kasukabe membuahkan hasil dan memutuskan untuk mulai berusaha juga. Jika aku bisa memberikan pengaruh yang sama pada seseorang, rasanya itu cukup membahagiakan.


"Terus, kalau soal pilihan jurusan, katanya sih baik di bidang sosial maupun sains masih bisa ikut ujian masuk. Tapi setelah aku cari tahu tentang mata kuliah dan penelitian di universitas, sepertinya lebih baik kalau aku punya dasar biologi dan kimia yang kuat."


"Begitu. Kalau begitu, jurusan sains, ya."


"Iya! …Tapi kita bakal ada di kelas yang berbeda, sih."


"Yah, tapi sepulang sekolah kita tetap bakal bareng, kan?"


"Itu janji!"


Toiro tersenyum lebar, wajahnya tampak berbinar.


"Ne, ne, aku baca kalau pasangan yang langgeng itu harus menjaga jarak yang pas, lho. Katanya itu kunci hubungan yang awet."


Sambil kembali berjalan, Toiro membahas topik itu dengan nada santai.


"Kalau tiba-tiba terlalu mesra, lengket terus, atau langsung menghabiskan banyak waktu bersama, nanti rasa sukanya cepat pudar."


Jadi, menurutnya berada di kelas yang berbeda justru menguntungkan?


"Ah—, tapi teori itu nggak berlaku buat kita. Soalnya kita kan awalnya teman masa kecil. Lagipula, dari dulu kita memang sudah sering bersama, jadi nggak ada yang berubah secara tiba-tiba."


"Benar juga. Kita pasangan terkuat, ya!"


Toiro tertawa kecil. Sejujurnya, aku memang lebih suka kalau bisa tetap berada di kelas yang sama dengannya saat naik ke tahun kedua.


Tapi sekarang, kalaupun kami berpisah kelas, hubungan kami tidak akan berubah sedikit pun. Selama lebih dari sepuluh tahun ini, kami pernah duduk bersebelahan, tapi juga pernah bersekolah di tempat yang berbeda. Hal-hal kecil seperti itu tidak akan menggoyahkan kami. 


Dulu aku sempat merasa khawatir, tapi sekarang, Toiro sendiri yang meyakinkanku bahwa hubungan kami sudah sekuat itu. Seperti yang dia bilang—kami adalah pasangan terkuat. Dan aku pun merasa yakin akan hal itu.



Kami berjalan melewati sisi lapangan sekolah hingga hampir mencapai gerbang belakang. Di seberang pagar pembatas, area itu sudah termasuk luar sekolah, dan terlihat beberapa siswa yang sedang dalam perjalanan pulang.Tapi gerbang belakang selalu terkunci dengan gembok besar, jadi kami tidak bisa keluar dari sini. Sistem yang cukup merepotkan.


Aku menatap sebuah pohon besar di sebelah kiri, yang sudah kehilangan semua daunnya. Tiba-tiba aku teringat saat melihat pohon ini di musim semi—waktu itu, aku mengusap poniku yang terasa mengganggu dengan tangan. Aku berhenti melangkah. Toiro menoleh ke belakang dengan kepala sedikit miring, tampak bingung.


"Toiro."


"Hm?"


Kebetulan, tidak ada orang yang lewat di sekitar kami. Memang ada beberapa siswa di luar pagar, tapi aku bisa mengatur volume suaraku agar tidak terdengar sampai sana—dan juga agar suaraku tidak bergetar.


"…Aku menyukaimu."


Toiro membelalakkan mata. Reaksinya terlihat seperti dalam gerakan lambat—matanya yang besar berkedip sekali. Setelah jeda sesaat,


"O-Ooh? Kenapa, kenapa? Tiba-tiba jadi romantis gini?"


Dia bertanya dengan nada panik. Aku justru berusaha menjawabnya dengan setenang mungkin.


"Tiba-tiba, ya? Bukankah begini seharusnya perasaan di antara sepasang kekasih?"


Entah kenapa, saat bersamanya, aku sering merasa ingin mengungkapkan perasaanku secara langsung. Aku tak tahu alasannya, tapi mungkin karena kami memang sepasang kekasih. Dan juga—alasan lainnya adalah karena tempat ini…


Saat aku kembali melirik batang pohon yang menjulang di atas, Toiro mendadak mengeluarkan suara pendek.


"Ah."


Dia menyadarinya. Ini adalah tempat legendaris di SMA Meihoku. Jika dua orang benar-benar sepasang kekasih, ada sesuatu yang seharusnya mereka lakukan di sini.


"…Kalau kamu sendiri?"


Aku bertanya balik padanya.


"…Tentu saja, aku sangat menyukaimu.!"


Toiro tersenyum lebar, memperlihatkan giginya. Melihat pipinya yang merona indah dalam warna merah muda, aku tanpa sadar terpaku menatapnya. Dulu, aku pernah melakukan ini dengan sengaja untuk pamer. Tapi kali ini, diam-diam. 


Setelah memastikan sekali lagi bahwa tak ada seorang pun di sekitar, aku menggenggam tangannya. Kami lalu berjalan menuju bagian belakang gedung sekolah—


Dan di sana, kami berciuman.

















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !