Nee, Mou Isso Tsukiacchau? Osananajimi Chap 8 V5

Ndrii
0

Chapter 8

Ini bukan Aksi Pasangan, Tetapi Aksi untuk menyampaikan Fakta




Menurut sebuah data, ketika ditanya sampai usia berapa seseorang masih percaya pada Santa Claus, lebih dari 50% menjawab sampai sekolah dasar.


Berdasarkan itu, mungkin aku adalah anak yang agak cepat dewasa. Saat masih di tahun terakhir taman kanak-kanak, aku sudah menyadari siapa dalang di balik Santa-san. … Yah, sebenarnya aku hanya kebetulan terbangun dan melihat ayahku yang sedang menyiapkan hadiah di samping bantal. Lalu, kejadian yang berawal dari itu terjadi pada tahun berikutnya, saat aku kelas satu SD.



"Hei, Masaichi, sebentar lagi Natal ya."


Saat itu, Toiro selalu mengikat rambutnya ke samping dalam satu ikatan. Aku masih ingat bagaimana rambutnya yang menjulur seperti tanduk kecil itu ikut melambung setiap kali ia berbicara.


"Tahun ini juga Santa-san bakal datang, ya. Aku harus bersikap baik dari sekarang."


Dengan mata berbinar dan suara penuh semangat, Toiro berkata begitu. Itu adalah pagi yang dingin di jalan menuju sekolah, napas kami berubah menjadi putih karena udara dingin.


"Iya, benar… Bersikap baik, maksudnya?"


"Hmm, misalnya memungut sampah yang jatuh."


Setelah berkata begitu, Toiro berjongkok dan mengambil ranting kering yang ada di dekatnya. … Standar "sampah" yang cukup longgar, pikirku.


"Kalau cuma itu, mungkin kurang cukup."


"Eh? Kalau begitu… Aku akan membantu membawa tas anak yang sedang berjalan di sana!"


"Langsung membantu orang asing!?"


Bukan, bukan itu maksudku.


Santa-san sebenarnya adalah orang tua kita. Jadi, kalau ingin menunjukkan sikap baik, itu harus dilakukan di depan ayah atau ibu, kalau tidak, tidak ada gunanya. Begitulah cara pikir Masaichi kecil saat itu.


"Umm, kalau begitu, aku akan menghabiskan makan malamku tanpa sisa!"


"Nah, itu baru benar."


Saat aku mengangguk, Toiro tersenyum senang.


Sebenarnya, karena dia hampir tidak punya makanan yang tidak disukai, menurutku itu bukan tantangan yang terlalu sulit. Tapi aku memilih untuk tidak mengomentari hal itu.


"Kalau kita terus bersikap baik seperti ini setiap tahun, kira-kira Santa-san akan selalu datang, ya?"


Toiro bertanya seperti itu. Saat itu, aku memberikan jawaban yang salah.


"Hmm, yah, selama masih anak-anak, mungkin dia akan datang."


"Eh?"


Toiro menoleh ke arahku dengan kaget.


"Kalau sudah besar, dia tidak akan datang lagi?"


"Ya, mungkin…"


Santa-san adalah ayah. Karena aku tahu fakta itu, aku bisa memperkirakan bahwa orang dewasa menyiapkan hadiah untuk menyenangkan anak-anak. Jadi, kalau kita tumbuh dewasa, pasti Santa-san tidak akan datang lagi.


"Itu bohong! Santa-san pasti akan datang terus. Dia pasti datang!"


"Lebih baik jangan terlalu berharap…"


"Kenapa kamu bilang begitu, Masaichi? Kamu pasti asal bicara! Tidak boleh berbohong!"


Mendengar itu, Masaichi kecil tidak bisa diam saja.


"Aku tahu, kok. Santa-san itu sebenarnya ayah."


Setelah itu, aku menceritakan pada Toiro apa yang kulihat tahun lalu serta analisis logisku tentang bagaimana sistem Santa bekerja. Wajah Toiro pun semakin lama semakin pucat karena terkejut.


"Ke-kenapa…? Kenapa kamu tidak langsung memberitahuku? Biasanya kalau ada sesuatu, kamu selalu bilang ke aku."


"Eh, aku sudah cerita saat Natal tahun lalu… Tapi waktu itu kamu terlalu sibuk dengan hadiahnya, jadi aku menyerah."


"T-tidak mungkin… Jadi benar-benar Santa-san tidak akan datang lagi…?"


"Ya," jawabku dengan anggukan kecil.


Aku sama sekali tidak berniat sampai berdebat seperti ini… Aku tidak menyangka situasinya akan menjadi begini. 


Saat melirik ke arah Toiro yang tiba-tiba terdiam, aku melihat tubuh mungilnya mulai bergetar. Namun, hanya dalam hitungan detik, "Uwaaaaan!"—ia menangis kencang.


Panik, aku pun langsung berusaha menenangkannya. Akibatnya, kami terlambat masuk pelajaran pertama dan dimarahi guru.



Pada akhirnya, saat musim dingin kelas enam SD, baik di rumahku maupun rumah Toiro, Santa-san tidak datang lagi. Mungkin orang tua kami sudah sepakat untuk menghentikannya di waktu yang sama (mereka pasti menyadari bahwa aku sudah tahu, tapi tetap melanjutkannya sampai saat itu).


"Ternyata, benar yang kamu bilang, Masaichi."


"Hmm?"


"…Beneran, kalau sudah besar, Santa-san tidak datang lagi."


Saat itu, aku hanya mengangguk singkat dan menjawab, "Iya."

Namun, setelah itu—


"Ah… Rasanya sepi juga ya, kalau hadiah terakhir dari tahun lalu ternyata jadi yang terakhir."


Ucapan Toiro itu, sampai sekarang masih terngiang di telingaku.



"Oisu. Tidur nyenyak semalam?"


"Oh, aku baru saja bangun, jadi matahari terasa terlalu menyilaukan."


"Wah, jarang-jarang kau tidur sampai siang, ya. …Selamat beristirahat."


"…Kau sendiri juga kelihatan agak mengantuk, lho?"


"Ahaha, soalnya aku sangat menantikan hari ini."


"Seperti anak SD yang antusias sebelum karyawisata saja."


"Ah, aku lupa bawa camilan! Tapi aku bawa uang tunai, jadi beli di tempat saja! Batas camilan 300 yen sudah termasuk pajak? Apakah buah kering masuk kategori camilan?"


"Jangan buat karyawisata jadi terdengar begitu dewasa!"


"Hahaha. Tapi, senang ya, cuacanya cerah hari ini."


Hari yang sudah lama kami nantikan—malam Natal. Setelah bertemu tepat waktu sesuai janji, kami mengobrol seperti biasa di depan rumah sebelum mulai berjalan.


"Dulu waktu SMP, di sekolah kami dilarang membawa camilan atau minuman manis, lho. Tapi sempat ada perdebatan soal apakah makanan tambahan dengan granola itu dihitung sebagai camilan, atau apakah roti manis yang dimakan guru termasuk dalam kategori camilan."


"Ya, memang selalu ada saja yang mempermasalahkan hal-hal seperti itu."


"Terus pas hari olahraga, ada pengecualian khusus yang memperbolehkan minuman olahraga. Tapi ada anak yang malah bawa minuman energi. Waktu itu ada berbagai pendapat, seperti ‘minuman bersoda tidak boleh’, ‘itu termasuk doping’, atau ‘itu kan bukan minuman olahraga’. Tapi akhirnya kepala sekolah yang kurang paham soal minuman energi malah berkata, ‘Kalau itu minuman yang memberikan energi, seharusnya boleh, kan?’ Lalu tiba-tiba diizinkan."


"Serius? Kalau bisa ‘mendapatkan sayap’, pasti gampang menang lomba lari estafet. Tapi tunggu, kalau semua minum, kondisinya tetap seimbang, ya."


"Ngomong-ngomong, satu-satunya minuman yang boleh diminum kapan saja adalah Yakult kecil yang dijual di kantin sekolah."


"Apa-apaan itu? Ah, tapi memang ada saja aturan lokal yang aneh seperti itu."


Kami terus mengobrol santai sambil berjalan santai ke stasiun di bawah langit biru. Saat percakapan sempat terhenti sejenak, Toiro menempelkan punggung tangannya ke tanganku, lalu melirik ke arahku.

Saat aku menggenggam tangannya yang kecil, Toiro tersenyum dan berkata "Ehehe."


Dia mengenakan mantel Chesterfield putih, rok panjang berbahan lembut yang melambai, serta sepatu bot pendek berwarna cokelat. Lehernya dibalut syal, dan di atasnya, anting mutiara berwarna emas berkilau. Dari lengan bajunya, terlihat sekilas jam tangan mungil dengan tali putih, dan di bahunya tergantung tote bag.


"Biar aku bawakan tasmu."


"Eh, nggak usah, nggak usah. Ringan kok."


"Begitu? Kalau merasa berat nanti, bilang saja."


"Oke!"


Toiro mengangguk penuh semangat, lalu mengayun-ayunkan tangan kami yang terhubung. Terpengaruh olehnya, aku pun ikut merasa lebih bersemangat saat berjalan menuju stasiun.



Dari stasiun kota kami, hanya butuh waktu sekitar 10 menit naik kereta untuk sampai ke stasiun besar yang dekat dengan laut. Di sana ada area pelabuhan dengan pusat perbelanjaan terbuka yang disebut Harbor, berisi toko pakaian, toko barang unik, restoran, bahkan rumah hantu dan bianglala—tempat yang sempurna untuk menghabiskan waktu.


Itulah tujuan kami hari ini.


Setibanya di Harbor, kami berjalan sambil menikmati suasana sekitar. Kami melewati jembatan di atas kanal selebar lima meter, memandangi menara besi yang menjadi simbol kota. Setelah itu, kami menaiki tangga kayu, melewati taman bunga, lalu tiba di area dengan berbagai kios aksesoris. Bangunan di kedua sisi terlihat seperti kota di Eropa, dengan banyak toko di dalamnya. Jika masuk ke gang kecil, akan ada lebih banyak toko lagi yang tersembunyi.


"Di tempat seperti ini, pasti seru kalau bisa main petak umpet atau kejar-kejaran pakai kaleng."


"Ah, aku paham maksudmu. Kita bisa bikin aturan khusus dan menyiapkan hadiah juga. Pasti menyenangkan. Tapi harus menyewa tempatnya dulu, sih."


"Iya, terutama kalau di hari seperti ini."


Seperti yang Toiro katakan, jika kami melakukan itu sekarang, pasti akan sangat mengganggu. Tempat ini dikenal sebagai kota yang modis dan juga terkenal sebagai lokasi kencan. 


Saat Natal, banyak orang datang dari luar kota, menyebabkan keramaian luar biasa. Sebagian besar adalah pasangan yang berjalan berdua. Kalau kami bermain kejar-kejaran dengan kaleng di sini, pasti akan langsung dihujani tatapan sinis. Yang paling penting, di tempat ini, berbaur dengan suasana romantis sekitar adalah hal yang utama.


…Atau lebih tepatnya, mungkin dari sudut pandang orang lain, kami berdua yang berjalan sambil bergandengan tangan ini sudah terlihat seperti pasangan.


Saat sedang memikirkan hal itu, kami tiba di sebuah alun-alun yang terbuka. Yang pertama kali menarik perhatian kami adalah pohon Natal raksasa setinggi 10 meter (berdasarkan informasi yang kudapat dari internet sebelumnya) yang menjulang megah di hadapan kami.


"Wah… luar biasa."


Toiro mengeluarkan suara kagum.


Pohon Natal berwarna hijau pekat itu dihiasi dengan ornamen warna-warni. Bola-bola berlapis glitter, kotak berbentuk hadiah, lonceng, manusia salju, topi Santa, serta kepingan salju tergantung di sana. Di puncaknya, sebuah bintang kristal besar berkilauan di bawah sinar matahari.


"Kalau malam pasti lebih luar biasa lagi."


"Iya, benar! Sekarang lampunya belum dinyalakan. Kita harus ke sini lagi nanti malam!"


"Iya."


Pasti akan ada pemandangan yang sangat indah nanti. Sambil mengangguk, aku merasakan perasaan yang aneh dalam hatiku. Hari ini, di hari Natal, aku datang ke tempat seperti ini bersama Toiro. 


Berjalan di kota yang elegan, berdiri di depan pohon Natal, dikelilingi oleh pasangan yang sedang berkencan—dan rencananya, kami akan menghabiskan waktu bersama hingga malam tiba.


Sudah lebih dari sepuluh tahun sejak kami bertemu, tapi ini adalah pengalaman pertama bagi kami. Saat kupikirkan lagi, aku tak pernah menyangka hari seperti ini akan datang…


Kalau saja waktu itu Toiro tidak mengucapkan kata-kata itu di tepi sungai. Kalau saja perjanjian sementara itu tidak ada. Mungkin semua ini tidak akan terjadi. Menyadari hal itu, aku merasa sedikit takut.


Di awal, sejujurnya aku sempat bingung. Tapi sekarang—aku tak bisa membayangkan hal lain selain berjalan sambil bergandengan tangan dengannya seperti ini. Dan hari ini, aku ingin melangkah lebih jauh lagi—.



Kami sudah sampai di pelabuhan, tapi sebenarnya kami berdua tidak punya rencana apa pun. Sampai malam nanti, tidak ada jadwal yang khusus.


"Maaf, aku nggak merencanakan apa-apa. Mau ngapain sekarang?"


"Hm? Nggak masalah, kok. Aku juga nggak kepikiran apa-apa. Kayaknya seru kalau kita jalan santai aja, muter-muter tanpa tujuan."


"Kalau begitu, ya udah. Kita keliling dulu aja?"


"Iya! Di dek yang menghadap laut, sepertinya ada beberapa event Natal."


"Oh, begitu. Kalau laut, seharusnya ke arah sana, ya."


Kami pun berjalan santai tanpa tujuan, tanpa terburu-buru, menikmati apa yang ada di depan kami—seperti biasanya. Sempat terpikir, apakah boleh menghabiskan Natal dengan cara seperti ini? Tapi karena Toiro sendiri yang mengusulkan, seharusnya tidak masalah. 


Justru aku suka suasana yang santai seperti ini. Bisa menghabiskan waktu berdua tanpa perlu jaim atau canggung—itu yang membuatku merasa nyaman. Kami berjalan melewati lorong berkelok-kelok hingga akhirnya tiba di dek kayu.


"Ah, ada Santa!"


"Oh, iya. Dia pakai kostum badut dan membagikan permen."


"Wah, kita bisa dapat camilan gratis, nih!"


"Eh, tapi yang dikasih kayaknya cuma anak kecil, deh…."


"…Kita kan masih di bawah umur, jadi nggak masalah, kan?"


"Batas anak kecilnya longgar banget, ya."


Saat kami sedang membahas itu, seorang wanita berkostum Santa yang menyadari keberadaan kami mulai berjalan mendekat.


"Silakan, Happy Merry Christmas!"


"Ah, terima kasih! Happy Christmas!"


Toiro menerima permen dengan wajah senang lalu menoleh ke arahku. Aku pun ikut-ikutan diberi kantong kecil yang dihiasi pita.


"Yes! Pasti karena aku jadi anak baik akhir-akhir ini."


"Jadi, sebagai seorang siswi SMA yang jiwanya masih anak-anak, kebaikan apa yang sudah kamu lakukan demi mendapatkan hadiah Natal?"


"Aku berusaha menahan diri buat nggak makan camilan terlalu banyak di malam hari. Biar nggak gemuk."


"Itu sih cuma buat kepentingan sendiri."


Jadi dia cuma jadi "anak baik" demi kesehatannya sendiri. Kalau Santa dengar ini, mungkin dia bakal ragu buat kasih hadiah.


"Ahahaha, bercanda. Aku juga sudah bersikap baik dan pintar setiap hari, kok! Seperti anak kecil yang takut nggak dapat hadiah Natal, aku menunggu hari ini dengan deg-degan penuh harapan!"


"Jadi kamu menahan diri sambil menunggu hari ini tiba?"


"Iya!"


Toiro tersenyum bangga dengan ekspresi puas.


"Oh, ada cokelat di dalamnya! Mau coba?"


"Boleh."


Kami pun berjalan ke tepi dek, menghadap laut. Di tengah dek, ada kotak musik antik yang memainkan lagu Natal secara otomatis. Melodi lembutnya terbawa angin dan sampai ke telinga kami.


Aku bersandar di pagar sambil melihat ke sekeliling. Di depan ada teluk berbentuk huruf "U" yang dibatasi oleh pemecah gelombang, dan di sisi kanan, lautan luas membentang. Ombak biru tua bergoyang perlahan, menciptakan pemandangan yang menenangkan.

Aku membuka kantong permen yang kudapat tadi.


"Hmm, enak."


Toiro menyelipkan rambutnya yang tertiup angin ke belakang telinga, lalu menggigit kue cokelat yang ada di tangannya.


"Aku nggak dapet yang itu."


"Oh, isinya beda, ya? Nih, cobain."


Dia menyerahkan setengah kue yang masih tersisa kepadaku, lengkap dengan bungkusnya.


"Boleh?"


"Iya, coba aja. Enak, lho."


Tanpa berpikir panjang, aku menerimanya dan langsung menggigit.  …Manis. Aku baru mau mengomentari rasanya ketika tiba-tiba menyadari sesuatu. Toiro menatapku sambil menyeringai.


"Kenapa?"


"Fufufu. Itu ciuman tidak langsung, ya."


Ucapannya yang tiba-tiba itu membuatku sedikit terkejut.

Hah? Dia biasanya nggak pernah ngomong kayak gini, kan?


"Aksi pasangan, nih?"


"Hm? Nggak juga. Aku cuma menyampaikan fakta kalau itu memang ciuman tidak langsung."


Toiro tertawa kecil, seolah menikmati reaksiku. Sepertinya aku sedang dikerjai.


"Kaget, ya?"


"Nggak, kan kamu cuma menyampaikan fakta."


"Tapi kalau diungkapkan dengan jelas seperti itu, pasti jadi kepikiran, kan? Lihat, wajahmu merah tuh, Masaichi-kun."


"Nggak mungkin…"


Benar-benar aku sedang dikerjai. Kalau begitu, aku harus membalasnya sedikit.


"Ciuman tidak langsung dari Toiro, manis banget, lho."


"Hah!?"


"Rasa manis yang kaya, mendalam, dan begitu menggoda. Terima kasih atas hidangannya."


"Eh, jangan ngomong aneh-aneh!"


Sambil protes, Toiro menyikut pinggangku. Sakit, sakit! Tapi melihat pipinya yang sedikit memerah, aku pun tersenyum puas. Ciuman itu dilakukan berdua. Jadi kali ini, kita anggap saja imbang. 


Tapi bisa heboh cuma gara-gara ciuman tidak langsung begini, rasanya seperti pasangan baru yang masih malu-malu. Padahal kami sudah berteman lebih dari sepuluh tahun….


Meski begitu, sebagai pasangan, kami masih pemula. Jika momen-momen seperti ini masih terasa segar, rasanya ada sesuatu yang menggelitik di dadaku.


"Makasih ya, buat kuenya."


"Oh, aku bukan cuma kasih aja, lho. Ini ditukar sama punyamu juga."


"Dasar, licik juga."


Aku membuka bungkus permenku, lalu Toiro mengambil satu kue yang ditaburi gula.


"Ngomong-ngomong, aturan camilan itu maksimal 300 yen, kan? Tapi ini kita dapat gratis, jadi nggak masuk hitungan, kan?"


"Aku nggak ngerti kenapa aturan piknik tiba-tiba berlaku di kencan Natal ini… Tapi kalau di piknik beneran, kayaknya bakal dimarahin guru, deh."


Kalau itu diperbolehkan, bisa aja ada trik macam beli camilan, jual ke teman dulu, terus beli lagi dengan harga lebih murah buat nurunin biaya aslinya. Eh, tapi ngapain juga aku mikirin ini terlalu serius….


"Ehh, ya udah, yang penting hari ini bukan piknik beneran. Berarti masih bisa cari camilan lain dengan 300 yen yang kita punya!"


"Beneran boleh…? Kalau gitu, mau ke supermarket atau konbini?"


"Non non. Kalau di sana, harganya tetap standar, dong? Tempat yang lebih seru jelas di…"


Toiro menyeringai penuh arti. Melihat ekspresinya itu, aku langsung tahu apa yang akan dia katakan.


"Game center, ya?"


"Yup! Di lantai tiga gedung ini ada yang besar, lho."


"Kita yakin nih? Aku bisa membayangkan kita nanti bilang 'duh, ternyata beli langsung lebih murah'…"


"Fufufu, makanya kita harus berjuang bersama! Dengan total 600 yen berdua, kita bakal dapat lebih banyak camilan dibanding beli langsung. Kita atur strategi, pilih mesin dengan teliti, dan habiskan waktu buat merencanakan serangan terbaik!"


"Wah, kalau gitu, jadi seru juga. Oke, ayo kita coba!"


"Yay, ayo ayo! Kita nggak bisa santai-santai di sini terus!"


Toiro buru-buru menghabiskan kuenya.


"Santai aja makannya, nggak perlu buru-buru gitu…"


"Ahaha, iya juga sih. Camilan itu harus dinikmati."


Sepertinya, game center memang sudah jadi bagian yang tidak terpisahkan dari kencan kami. Bahkan di Natal sekalipun, tetap saja begitu. Tapi sekarang, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Bukan lagi sekadar kebiasaan teman masa kecil, melainkan bagian dari kencan kami yang sesungguhnya. Mungkin ini yang disebut tumbuh dewasa, pikirku dalam hati.



Pada akhirnya, baik aku maupun Masaichi sama-sama kehilangan uang di game center. Yang berhasil kami dapatkan hanyalah sebutir cokelat kecil.


Padahal kami sudah berdiskusi panjang lebar, mengikuti aturan 300 yen per orang, dan mencoba bermain dengan hati-hati. Namun, hasil akhirnya tetaplah kekalahan.


Tapi setelah itu, kami mencoba berbagai permainan seperti balapan, permainan ritme taiko, bahkan game koin yang biasanya jarang kami mainkan. Semua itu sangat menyenangkan. Ngomong-ngomong, cokelat itu akhirnya diberikan Masaichi padaku. Rasanya enak.


Setelah keluar dari game center, kami berjalan santai sambil melihat-lihat toko. Kami mengintip ke dalam toko barang unik dengan sedikit nuansa bawah tanah, lalu heboh sendiri saat menemukan pameran ilustrasi dari anime populer zaman dulu yang penuh nostalgia.

Di depan sebuah toko es krim, kami menemukan hiasan boneka salju besar dengan lampu-lampu berkelip di dalamnya. Kami pun mengambil foto bersama di sana.


Aku membalik kamera di ponsel dan menekan tombol shutter.


"Ayo Masaichi, senyum dong, senyum!"


"Ah, ahh…"


"Bukan 'nyengir' kayak gitu, tapi senyum lebar yang manis!"


"Gini…?"


"Itu malah menyeringai! Ayo, yang ceria, yang ceria!"


Masaichi memang selalu kesulitan tersenyum di depan kamera. Setelah berusaha keras membuatnya tersenyum, akhirnya aku berhasil mengambil fotonya. Yah… semoga hasilnya lumayan bagus.

Setelah berjalan sedikit lebih jauh, kami menemukan papan kayu bertuliskan "Jalur Ramalan."


Saat masuk ke gang kecil itu, ada beberapa stan ramalan yang dipisahkan tirai kain berwarna ungu. Di sana, berbagai jenis ramalan bisa dicoba.


"Jangan-jangan ada si Fabulous di sini," gumam Masaichi.


"Haha, dia memang beneran luar biasa waktu itu."


Kami tertawa mengingat kejadian di musim panas, saat ramalan dari si Fabulous membuat Mayu-chan sempat curiga padaku. Salah satu stan menawarkan ramalan kristal bola seharga 1000 yen untuk melihat kecocokan pasangan. Kami pun memutuskan untuk mencobanya.


Si peramal adalah seorang wanita berambut perak. Setelah mendengar profil kami, ia mulai menatap bola kristal. Tak lama kemudian, ia langsung memberi cap besar:


"Kalian berdua adalah pasangan dengan kecocokan luar biasa!"


Seperti yang sudah kuduga, lagi-lagi kami dianggap sebagai pasangan.

Tak heran, Fabulous-sama dulu bahkan bisa menebak awal hubungan kami dengan tepat. Susah rasanya mencari peramal yang bisa melampaui dirinya. Tapi…


"Kalian pasti akan bahagia. Selamat Natal."


Perkataan si peramal itu membuat Masaichi serius mendengarkan.

Melihat ekspresinya yang tampak senang dengan hasil ramalan itu, aku pun ikut merasa sangat bahagia.



Begitulah, kami benar-benar menikmati kencan Natal ini. Benar-benar menikmatinya…


Tapi, sepanjang waktu itu, aku terus merasa gelisah.


—Apakah sudah waktunya?


Sebenarnya, selama kencan ini, hanya satu hal yang terus terlintas di pikiranku. Kelanjutan perasaan Masaichi yang pernah ia katakan saat malam festival sekolah. Aku merasa, mungkin hari ini, aku akhirnya akan mendengarnya…


"Maaf… Sebenarnya aku ingin menyampaikan ini dengan lebih baik. Jadi… beri aku sedikit waktu, ya?"


Suara Masaichi saat itu kembali terngiang di kepalaku. Aku tahu Masaichi telah menyiapkan sesuatu untuk Natal ini. Dan sepertinya, itu semua adalah untukku—


Jadi, kalau aku berpikir akan terjadi sesuatu hari ini… rasanya wajar, kan?


…Tapi, kapan? 


Saat sore tiba dan langit mulai gelap, rasa gelisah dalam dadaku semakin membesar. Jantungku berdebar begitu kencang hingga rasanya hampir meledak—seolah-olah aku tak akan sanggup menahannya lebih lama lagi.



"Hei, gimana kalau kita makan malam sekarang? Kita bakal makan di luar sebelum pulang, kan?"


Aku melihat jam tangan untuk memastikan waktu, lalu bertanya pada Masaichi. Sudah lewat pukul lima sore. Waktu yang pas, kurasa. Kami memang sempat makan camilan, tapi karena cukup banyak berjalan, perutku mulai terasa lapar.


"Ah, iya, sudah waktunya. Ayo kita pergi."


Masaichi melirik layar ponselnya sebentar, lalu menganggukkan dagunya ke arah tangga di sebelah kiri.


"Hmm? Naik ke atas? Emangnya kamu udah ada tempat yang mau dituju?"


"Ah, sebenarnya aku sudah reservasi tempat. Dari jam lima setengah nanti."


…Serius?


"Reservasi? Beneran?"


"Iya. Soalnya di daerah ini pas Natal biasanya ramai banget. Di internet juga ditulis kalau lebih baik reservasi dulu di restoran yang menerima pemesanan."


"Serius… Makasih banyak."


"Tapi aku juga sadar agak telat, jadi cuma nemu satu tempat yang masih punya slot kosong. Itu restoran pasta. Gak apa-apa?"


"Suka…"


"Hah?"


"Eh, maksudku, aku suka banget pasta."


…Gila, serius? Masaichi benar-benar sudah menyiapkan semua ini untuk kami? Aku benar-benar terkejut. Dan saat kami tiba, restorannya ternyata luar biasa mewah.


Pintu masuknya bergaya bata merah, dan di dalamnya, cahaya oranye dari lampu gantung menerangi ruangan dengan suasana yang begitu hangat. Bahkan aku belum pernah datang ke tempat sekeren ini sekalipun bersama teman-teman perempuanku.


Masaichi melangkah masuk lebih dulu dengan percaya diri…Perasaan berdebar yang tadi kurasakan kini berubah menjadi sensasi dingin yang menjalar di tulang belakangku.


Tunggu, sejak kapan dia jago banget mengeskort seperti ini?

Melihat punggungnya yang tampak begitu bisa diandalkan, dadaku berdebar lebih cepat. Sekarang… aku benar-benar menyadari Masaichi sebagai seorang laki-laki…


Begitu kami duduk, seorang pelayan datang dan membuka menu dengan lembut di depan kami.


"Silakan panggil saya jika sudah siap memesan."


Setelah memberi hormat kecil, ia pun pergi. Di dalam restoran ini, musik klasik mengalun dengan tenang, menciptakan suasana yang begitu nyaman.


"Tempatnya… dewasa banget ya." Aku berbisik pada Masaichi.


"Iya. Kalau bisa pesan wine di sini, pasti kelihatan keren banget."


Sambil berkata begitu, Masaichi melirik ke sekitar. Aku ikut melihat sekeliling dan memang, di banyak meja ada botol wine dan gelas-gelas anggur yang tertata rapi.


"Tenang aja, aku bisa mabuk hanya dengan jus jeruk."


"Jangan-jangan itu jus jeruk ilegal."


"Pokoknya, aku pesan jus jeruk deh."


"Kamu ngomongnya kayak 'pesan bir dulu' aja."


Aku hampir tertawa keras dan harus menahan suara agar tidak menarik perhatian. Sambil menahan tawa, aku membuka menu dan mulai memilih makanan.


"Aku mau yang ini deh. Pasta krim udang… apa itu, namanya panjang banget."


"Kamu potong namanya? Padahal nama aslinya dibuat biar terdengar keren."


"Iya sih, tapi kalau dilihat dari suasananya, pasti rasanya enak juga, kan?"



"Yah, pasta krim sih jarang mengecewakan."


"Tadi aku juga sempat bingung sama pasta saus daging… yang namanya susah diingat ini."


Aku membalik halaman menu dan menunjuk ke salah satu pilihan lainnya. Daging cincangnya terlihat menggoda banget. Sambil melihat fotonya, aku berpikir betapa sulitnya memilih…


"Kalau gitu, aku pesan yang itu aja."


Masaichi tiba-tiba berkata begitu. Lalu, dia menambahkan:


"Jadi kita bisa berbagi dan nyobain dua-duanya."


Aku langsung menatap Masaichi dengan kaget.


"Kamu belajar trik ini dari mana?"


"Trik?"


"Ya, aksi pasangan begitu. Biasanya kamu langsung pilih peperoncino tanpa pikir panjang. Yang ada telur di atasnya. Tapi sekarang tiba-tiba ngajak berbagi makanan?"


"Uh… wow, tajam juga ya. Oke, aku ngaku. Aku belajar dari internet."


Aku langsung tertawa sampai hampir terbatuk. Astaga, dia langsung jujur gitu aja?


"Hahaha, makasih ya. Aku senang banget. Tapi kamu tetap harus pilih makanan yang kamu suka, lho."


"Enggak kok, pasta saus daging juga kelihatan enak. Aku juga memang pengen coba. Jadi aku tetap pilih ini."


"Beneran…? Yay! Kalau gitu, aku kasih kamu sedikit pastaku juga."


"Oh, makasih!"


"Cuma satu suap, ya."


"Dikit banget!?


"Hahaha, bercanda, bercanda."


Dengan perasaan gembira, aku membunyikan bel kecil di meja untuk memanggil pelayan.


"Ngomong-ngomong, selain itu, ada trik apa lagi yang kamu pelajari?"


"Hmm… kalau di restoran, katanya sebelum mulai makan, cowok harus biarin pacarnya foto makanannya dulu."


"Hahaha, itu bener banget. Aku juga pengen foto dulu nanti."


Apa-apaan ini, Masaichi kelihatan seperti pacar yang udah siap banget. Dan… semua ini pasti demi aku, kan? Kalau gini terus… aku jadi makin berharap sesuatu akan terjadi setelah ini.


Jantungku berdetak lebih cepat. Aku benar-benar gak sabar lagi.



Begitu keluar dari restoran, langit sudah sepenuhnya gelap. Sebagai gantinya, cahaya iluminasi yang menghiasi jendela toko, dinding bangunan, dan pepohonan di sepanjang jalan terlihat semakin berkilauan.


"…Mau gimana sekarang?"


Sambil merapatkan mantel karena angin dingin, aku melirik ke samping dan bertanya pada Masaichi.


"Mau lihat pohon Natal raksasa tadi?"


"Iya!"


Kami menuruni tangga dan kembali ke alun-alun tempat pohon Natal itu berada. Jumlah orang kini jauh lebih banyak dibanding siang tadi, namun di tengah keramaian itu, pohon Natal tersebut tetap berdiri megah dengan kehadiran yang luar biasa.


Lampu-lampu berwarna merah, hijau, putih kebiruan, serta cahaya terang lainnya menyala bergantian, menciptakan suasana yang begitu menawan. Sinar dari lampu-lampu itu bukan hanya menerangi ornamen yang tergantung di pohon, tetapi juga memantul ke bangunan sekitar, tanah, dan bahkan orang-orang yang berlalu-lalang.


"Indah sekali…"


Saat aku terus menatapnya, aku merasa seakan tersedot ke dalam setiap cahaya yang berkedip dan gemerlapnya ornamen yang berkilauan.


"Iya… benar-benar indah."


Masaichi juga berbisik pelan di sampingku. Lalu dia menambahkan,


"Aku belum pernah lihat pohon Natal sebesar ini."


"Aku juga. Benar-benar luar biasa."


"Oh ya? Aku pernah dengar di taman hiburan atau theme park ada yang lebih besar lagi, sih."


"Aku belum pernah pergi ke tempat seperti itu saat Natal."


Karena terlalu banyak orang, kami memilih tetap di tempat dan menikmati pemandangan pohon Natal itu dari kejauhan. Setelah beberapa saat, Masaichi mendekatkan mulutnya ke telingaku agar suaranya tidak tenggelam dalam keramaian.


"Mau ke arah laut sebentar?"


"Mau!"


Begitu aku mengangguk, Masaichi diam-diam menggenggam tanganku.

Aku terkejut sejenak. Kehangatan tangannya terasa begitu nyata, bahkan sampai terasa panas.


Dengan tangannya menggenggam tanganku, dia membimbingku menuju dermaga yang lebih dekat ke laut. Berbeda dengan area mal terbuka yang dipenuhi iluminasi tadi, di sini hanya ada cahaya lampu jalan berwarna oranye yang menerangi sekeliling dengan lembut.


Saat semakin mendekati dermaga, terlihat tiga anak tangga menuju area duduk di sepanjang tepinya. Tempat itu terbentang panjang, dengan pasangan-pasangan duduk berjejer, menjaga jarak tertentu satu sama lain. Sepertinya, ini adalah tempat persembunyian yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Di antara celah yang cukup luas di antara pasangan-pasangan itu, kami memutuskan untuk duduk juga.


"Tempatnya bagus, ya."


Saat aku berkata begitu, Masaichi mengangguk.


"Tadinya aku cuma mau lihat laut sebentar, tapi ternyata ada tempat seperti ini."


"Iya, karena bentuknya bertingkat, dari atas tadi kita nggak sadar ada tempat duduk di sini."


"Benar. Kita nemu tempat yang bagus."


Kami duduk bersebelahan di anak tangga kedua. Secara alami, pandangan kami tertuju pada laut di depan.


"Hari ini kita jalan lumayan jauh, ya. Kamu nggak capek?"


Suara Masaichi terdengar lembut.


"Aku baik-baik saja. Masaichi gimana?"


"Aku juga."


"Sebenarnya aku masih pengen jalan-jalan lagi, sih. Rasanya baru sadar kalau sudah malam. Banyak yang kita lakukan hari ini, ya."


"Iya. Lihat pohon Natal, main di game center, foto-foto di banyak tempat… Kita juga sempat masuk ke tempat ramalan, kan?"


"Benar. Terus makan coklat, makan kue, makan pasta…"


"Aku yakin pas kamu meninggal nanti, yang kamu lihat di kilas balik hidupmu cuma momen-momen lagi makan."


"Hahaha! Berarti aku punya hidup yang bahagia, dong!"


Tapi, kurasa yang lebih penting adalah… dengan siapa aku menikmati semua makanan itu. Semoga di kilas balik hidupku nanti, wajah Masaichi muncul berkali-kali.


Saat percakapan terhenti, hanya suara ombak yang terdengar di sekitar kami. Suaranya menenangkan, menambah kehangatan di udara yang dingin ini.


Aku melirik ke sekeliling. Pasangan-pasangan lain tampaknya sedang duduk berdekatan satu sama lain…Hmm…


Pelan-pelan, aku menggeser tubuhku lebih dekat ke Masaichi. Sepertinya dia sadar. Dia sedikit mengangkat lengannya, seperti ingin merangkul pinggangku—tapi kemudian gerakannya terhenti.


"…Toiro."


Suaranya kecil dan nyaris berbisik.


"Apa?"


"Ehm… Boleh nggak, aku peluk kamu seperti biasa?"


Aku hampir tertawa. Cara dia meminta izin terlalu manis. Padahal dia nggak perlu izin segala.


"Boleh."


Begitu aku menjawab singkat, dia langsung merangkulku dari belakang. Tangannya melingkari perutku, dan tubuhku sepenuhnya tertutup dalam pelukannya. Dia memelukku erat, dalam diam, tanpa terburu-buru.


"…Begini rasanya hangat, ya."


"Iya."


"Kamu nggak kedinginan?"


"Aku rasa… aku bisa terus di luar seperti ini."


Dengan udara dingin sebagai alasan, kami tetap bertahan dalam posisi itu lebih lama.


Pertama kali aku dipeluk erat olehnya… kalau tidak salah, itu saat Festival Api Kagari.


Bukan berarti aku jadi ketagihan atau apa, tapi sejak saat itu, aku sudah beberapa kali merasakan pelukan Masaichi seperti ini. Bahkan, pernah juga aku memakai alasan Guinness World Records hanya untuk bisa dipeluk lagi.


Aah… aku bahagia.


Menara besi yang menjadi simbol kota ini diterangi cahaya putih. Sinar itu memantul di permukaan laut yang gelap, membuat ombak berkilauan. Aku bisa terus menatapnya selamanya.


Malam sudah tiba, langit pun gelap, tetapi pemandangan di sekeliling masih bersinar terang. Di tengah cahaya kota yang meriah menyambut Natal, aku dan Masaichi menghabiskan waktu bersama dalam kebahagiaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. 


Di momen ini, aku sama sekali tidak merasa bahwa kami hanyalah teman masa kecil. Saat ini, kami adalah sepasang kekasih. Masaichi, yang telah bersamaku sejak kecil…


Rasanya sungguh aneh. Tak pernah kusangka, bahwa kami akan seperti ini sekarang.


"…Masaichi."


"Hm?"


Suaranya terdengar samar dari balik punggungnya yang hangat. Aku hampir saja mengucapkan "Aku suka kamu" tanpa sadar, tapi buru-buru menahannya di tenggorokan. Belum. Sekarang, aku sedang menunggu Masaichi mengungkapkan perasaannya lebih dulu.


Kalau aku tiba-tiba menyatakannya sekarang, rasanya itu bukanlah hal yang seharusnya kulakukan.


Aku tetap diam dan malah menggenggam erat lengannya yang melingkari tubuhku, mendekatkannya ke dadaku. Hari ini pasti akan menjadi harinya. Dia pasti akan mengatakan kelanjutannya. Maksudku, suasananya sudah sempurna. Timing-nya juga pas. Kurasa ini saatnya…


"Hei, Toiro—"


Akhirnya! Aku langsung bersiap dalam hati. Astaga, aku harus menyiapkan diri! Padahal tadi masih ada banyak waktu, tapi begitu momen ini benar-benar tiba…


Aku hampir saja panik. Tapi kemudian, kata-kata yang keluar dari mulutnya benar-benar di luar dugaanku.


"Ayo pulang."


"…Hah?"


Aku terkejut dan menoleh padanya. Masaichi menatap mataku lurus-lurus, lalu perlahan berkata,


"Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu, Toiro."















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !