Nee, Mou Isso Tsukiacchau? Osananajimi Chap 7 V5

Ndrii
0

Chapter 7

Sedang sibuk mempersiapkan Natal




Itu terjadi dua malam sebelum hari di mana Toiro memasakkan makan malam untukku. Aku pergi menemui kakakku, yang sedang bersantai sendirian di ruang tamu, untuk meminta sesuatu darinya.


"……Tolong pinjamkan aku uang."


"Hah? Barusan kamu bilang apa?"


"……Tolong pinjamkan aku uang."


"Apa?"


"Uang! Jangan bikin aku ulang terus!"


"Eh, kenapa? Kenapa kamu butuh uang?"


"Ada alasannya……"


"Kenapa harus aku? Bilang aja ke Mama."


"Itu agak sulit. Pokoknya, begini…… Sebentar lagi Natal, kan……?"


Aku benar-benar butuh uang untuk persiapan Natal. Tak pernah terbayangkan aku harus meminjam uang dari seseorang. Dan yang lebih mengejutkan lagi, aku sampai harus menundukkan kepala di hadapan Serina seperti ini……


Tapi kali ini, satu-satunya orang yang bisa kumintai bantuan adalah kakakku. Jika aku meminta uang kepada orang tuaku, mereka pasti akan bertanya dengan sangat rinci untuk apa uang itu. Lalu, aku harus menjelaskan bahwa aku sekarang berstatus pacar Toiro (meski baru sebatas hubungan percobaan).


Serina setidaknya sudah memahami hal-hal mendasar itu. Dan kalau aku memintanya, mungkin saja dia bisa menolongku mendapatkan pekerjaan sampingan, seperti saat liburan musim panas lalu—jadi aku bisa membayar kembali dengan hasil kerja sendiri.


Selain itu, ada satu hal lain yang ingin kuminta darinya terkait persiapan ini. Kalau aku hanya meminta hal itu, dia mungkin akan malas melakukannya. Tapi kalau aku mengatakannya bersamaan dengan pinjaman uang, kemungkinan besar dia akan menerima semuanya sekaligus.


"Hmmm, jadi begitu. Kamu kepikiran hal yang menarik juga, ya."


Setelah mendengar penjelasanku, Serina menyeringai.


"Baiklah……"


"Jadi, kamu mau meminjamkan uangnya?"


"Ya, boleh aja. Berapa?"


Oh, dia cepat memahami situasi. Aku membuka telapak tangan kananku, memberi isyarat jumlah yang kubutuhkan. Melihat itu, Serina tanpa berkata apa-apa meraih tas tangan yang ada di samping sofa. Dari dalamnya, ia mengeluarkan dompet bermerek dengan motif monogram yang bahkan aku tahu mereknya. Setelah membuka penutupnya, tampak setumpuk uang kertas yang cukup tebal.


"Nih, ambil."


Sambil berkata begitu, dia menarik beberapa lembar uang sepuluh ribuan dari dompetnya dan menyerahkannya kepadaku.


"……Ini 100.000 yen."


"Kalau kurang, bakal ribet, kan? Ambil aja semuanya dulu."


Begitu, ya. Ada benarnya juga. Aku memutuskan untuk menerima semuanya lebih dulu. Kalau ada sisa, aku tinggal menyimpannya dan mengembalikan sekaligus nanti.


……Semoga saja tidak ada bunga pinjaman, Tapi lebih dari itu……


"Kamu ini nggak kuliah? Ngapain aja?"


Aku menunjuk dompetnya dengan dagu dan bertanya. Dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu……?


"Aku kerja, lah. Banyak kerjaan. Di malam hari, dengan para om-om. Hasil dari kerja keras, gitu."


O-oh…… Ya, aku ingat dia pernah bilang bekerja di sebuah klub malam dengan bayaran tinggi.


"Tapi kuliahmu nggak apa-apa?"


"Aman. Aku sudah ambil semua mata kuliah wajib, tinggal ikut seminar di lab aja. Dan di masa-masa seperti ini, kehadiran biasanya nggak wajib. Asalkan aku menyelesaikan dan mengumpulkan tesis, nggak ada masalah."


"Oh, begitu. Terus, tesismu sendiri gimana?"


Aku bertanya tanpa pikir panjang. Mendengar itu, Serina langsung mengalihkan pandangannya ke samping.


"Hei, jangan bilang belum dikerjain?"


"Ngg… nggak apa-apa! Masih ada waktu tiga bulan sebelum lulus……"


"Ah, sepertinya itu bakal jadi satu tahun tiga bulan."


Tunggu, dia masih bisa kuliah? Bukannya dia sudah menunda kelulusannya selama tiga tahun? Berapa lama dia mau memperpanjang ‘liburan musim panas’ dalam hidupnya ini……?


Serina menghela napas panjang dengan sangat kentara.


"Haaah. Udahlah, jangan bahas aku. Kamu harus pastikan semua berjalan lancar, ya."


Kupikir dia hanya ingin mengalihkan topik pembicaraan, tapi ternyata……


"Toro-chan, kamu harus bikin dia senang, ya."


Dengan mata tajamnya, dia menatapku dalam-dalam dan mengatakan itu. Benar. Tujuan utamaku adalah ini.


"Aah, pasti."


"Baiklah. Aku akan bicara sama orangnya. Katanya mereka selalu kekurangan pekerja."


Saat liburan musim panas lalu, aku bekerja di rumah makan tepi pantai milik Koharu-san. Senyuman lembutnya melintas di pikiranku. Itu benar-benar perjalanan kerja yang menyenangkan. Tahun ini, kurasa aku telah melalui musim panas yang paling berkesan sepanjang hidupku.


"Aah…… Terima kasih."


Saat aku mengucapkan terima kasih pada kakakku, tiba-tiba aku merasa canggung. Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali aku berterima kasih padanya seperti ini.



Dengan uang yang sudah aku dapatkan, hari ini, di hari Sabtu, aku naik kereta menuju sebuah pusat perbelanjaan di depan stasiun kota sebelah.


"Whoa… Ini cukup luar biasa…"


Mungkin karena akhir pekan menjelang Natal, suasana di dalam gedung dipenuhi oleh lautan manusia. Aku berada di lantai tempat toko-toko merek terkenal berjajar, dan sepertinya sedang ada obral besar. Beberapa toko bahkan memiliki antrean kasir yang mengular hingga ke luar. Hanya berjalan melalui lorong saja sudah cukup melelahkan. Apa kadar oksigen di sini masih cukup…?


Aku mulai khawatir apakah aku bisa menyelesaikan tujuanku dan kembali dengan selamat, sambil mengikuti arus manusia menuju eskalator.


Begitu tiba di lantai tiga, kerumunan orang agak berkurang. Aku diam-diam menghela napas lega. Lebih baik segera menyelesaikan urusanku dan keluar dari sini secepatnya. Tapi tetap saja…Aku menoleh ke kanan, lalu ke kiri, lalu ke kanan lagi. Rasanya sangat berkilauan. Seluruh lantai ini bersinar putih terang. Mungkin karena kebanyakan produk di sini ditujukan untuk wanita.


Aku belum pernah datang ke tempat seperti ini sendirian, bahkan bersama keluarga pun tidak. Rasanya aku benar-benar berada di tempat yang salah.


Aku melirik ke bawah, memperhatikan pakaian yang aku kenakan. Jaket hitam berisi bulu sintetis yang kupilih bersama Toiro di toko pakaian murah, serta celana cargo dengan banyak kantong. Celana ini sudah kupakai sejak SMP, tapi Toiro pernah berkata bahwa modelnya cocok dengan gaya "techwear". "Ini bisa dipakai!" katanya.


Setidaknya, aku tidak perlu merasa minder dengan pakaianku. Aku memastikan lokasi toko yang kutuju melalui peta di sebelah eskalator. Untungnya, toko itu ada di dekat kananku. Aku mengumpulkan keberanian dan mulai melangkah ke sana. Tapi saat itu juga—


"Hei, ngapain kamu di sini?"


Refleks, bahuku langsung terangkat kaget. Suara itu datang dari belakangku. Tidak salah lagi, itu ditujukan padaku.


Aku tetap menghadap ke depan, tapi perlahan-lahan memutar leherku dengan gerakan kaku.


"Eh, k-kenapa kamu ada di sini—"


Aku refleks mengucapkannya tanpa berpikir.


"Jangan curi kata-kataku," jawab orang itu—Nakasone—dengan ekspresi sedikit jengkel.


"Kebetulan, aku lagi belanja. Aku sering ke sini sama ibuku. Dia lagi lihat kosmetik di lantai empat sekarang. Terus, kamu?"


"A-aku juga belanja."


"Ya, jelaslah. Tapi gerak-gerikmu mencurigakan banget, tahu? Aku sampai bingung, harus pura-pura nggak lihat dan pergi, atau gimana."


Tunggu, apa aku terlihat separah itu…?


"Tapi, kalau begitu kenapa kamu tetap menyapaku?" tanyaku, penasaran.


"Ya jelas, kalau kamu ada di tempat seperti ini, pasti ada hubungannya sama Natal dan Toiro, kan? Kalau kamu lagi kesulitan, aku bisa bantu."


Nakasone menyilangkan tangan, seolah berkata itu sudah sewajarnya. Aku tanpa sadar bergumam, 


"Kamu baik banget, ya…"


"Hah? Jangan salah paham. Ini buat Toiro. Kalau kamu melakukan sesuatu buat Toiro, aku bakal bantu juga."


Apa-apaan anak ini, baik banget…


"Lagian, kamu pasti jarang datang ke tempat seperti ini, kan? Dari tadi kelihatan kayak orang hilang. Wajahmu juga pucat banget."


Setelah menyadari bahwa Nakasone bukan musuh, aku bergeser ke pinggir lorong untuk berbicara lebih nyaman.


"Memang sih, aku belum terbiasa… Tapi, wajahku pucat?"


"Banget."


"Ah, mungkin karena kurang tidur."


Aku bukan mau pamer kalau aku kurang tidur, tapi memang begitu kenyataannya. Semalam aku sibuk mengerjakan sesuatu dan hanya sempat tidur sebentar. Dalam kondisi seperti ini, aku keluar untuk berbelanja dan malah merasa pusing karena keramaian.


Tapi aku tidak menyangka sampai terlihat jelas di mata orang lain… Aku harus lebih berhati-hati. Saat aku memikirkan itu—


"Toiro pasti sangat menantikannya."


Tiba-tiba, Nakasone berkata begitu.


"Menantikannya?"


"Ya. Soalnya minggu ini, agak jarang sih, tapi Toiro ngajak aku sepulang sekolah. Aku tanya, ‘Pacarmu ke mana?’ Eh, dia dengan senyum senang bilang, ‘Kayaknya lagi sibuk banget, deh.’”


"Ah, begitu, ya."


"Cuma, katanya dia nggak tahu pacarnya lagi ngapain. Tapi kalau sampai dirahasiakan, berarti pasti ada hubungannya sama Toiro, kan? Sampai kurang tidur segala. …Sebenarnya, kamu lagi ngapain sih?"


Oh, dia menanyakannya secara langsung, ya. Aku masih ragu untuk menjawab, karena ini sesuatu yang bahkan Toiro pun belum tahu.


"Yah, kalau nggak mau bilang juga nggak apa-apa sih."


Dia menambahkan itu. 


Bukannya aku nggak mau bilang… Tapi kalau aku bisa menjelaskan ini dengan baik, dan dia bisa memahami alasanku ada di sini, mungkin tidak masalah memberitahu Nakasone.


"Tapi tahu nggak, aku sudah cerita semuanya, lho. Soal aku dan senpai. Kamu tahu semuanya. Nggak adil, kan?"


"Wah, kamu kelihatan pengen tahu banget, ya!"


Aku refleks menimpali ketika Nakasone berusaha mendesakku lebih jauh.


"Nggak juga… Aku cuma sedikit penasaran. Maksudnya, apa yang kamu lakukan buat Toiro?"


Dia berkata sambil mengalihkan pandangan ke samping. Ngomong-ngomong, memang sejak dulu dia selalu begitu. Nakasone selalu ingin tahu tentang aku dan Toiro. Karena bagi Nakasone, Toiro adalah sahabat sekaligus sosok yang ia kagumi—aku pernah mendengar cerita itu darinya. Dan dia selalu mengawasi dari dekat, memastikan apakah aku bisa membahagiakan Toiro, apakah aku pantas untuknya. 


Sejak awal, hubungan kami memang seperti itu. Seperti yang Nakasone bilang, aku tahu tentang kisah cintanya dengan senpai. Dan sejujurnya, aku juga sedikit penasaran dengan bagaimana orang lain melihat usahaku ini—bagaimana mereka menilainya. Kalau begitu—


"…Bisa janji nggak akan cerita ke Toiro? Setidaknya, sampai Natal selesai."


Aku menatap wajahnya saat bertanya, dan Nakasone langsung mengangguk.


"Iya. Aku bawa rahasia ini sampai mati."


Nakasone selalu bertindak dengan mempertimbangkan Toiro. Jadi, dia pasti tidak akan melakukan hal sembrono seperti membocorkan kejutan ini. Percaya akan hal itu, aku mulai berbicara.


"Yang sedang aku lakukan sekarang adalah—"



Aku akhirnya menyampaikan semua perasaanku. Entah kenapa, aku jadi terbawa suasana, dan itu membuatku malu. Aku bisa merasakan wajahku mulai panas, lalu dengan sedikit cemas, aku mengamati reaksi Nakasone. Dia sempat terdiam, tampak berpikir, sebelum akhirnya mengangkat wajah dan menatapku.


"—Aku rasa dia bakal senang."


"Serius?"


"Iya, tanpa ragu."


Oh! Aku dapat persetujuan!


"Tapi ya… Aku nggak nyangka kamu bakal repot-repot mempersiapkan sejauh ini."


"Ah… yah, sebagian juga karena aku sendiri ingin puas dengan hasilnya."


"Hmm…"


Nakasone menatapku dengan ekspresi seperti sedang menilai sesuatu.

Sepertinya dia akhirnya mengerti maksudku. Rasanya, sejak awal, Nakasone selalu mengamati bagaimana aku menjalani hubungan ini. Sekalian saja, mumpung aku sudah malu sampai ke titik ini, ada satu hal yang ingin aku tanyakan.


"Menurutmu… aku yang sekarang gimana?"


Nakasone langsung memandangku dengan tatapan curiga.


"Apa maksudmu?"


"Dulu, pas aku baru jadian sama Toiro, kamu pernah bilang, kan? Kamu ingin tahu apakah aku pantas untuknya… apakah aku bisa membuatnya bahagia."


"Ah… iya…"


Nakasone kembali terdiam sejenak, lalu akhirnya berkata,


"Iya. Aku yakin Toiro juga bahagia. Kurasa… kamu pacar yang baik, sih?"


Mungkin karena merasa canggung harus memuji, dia mengatakan itu sambil melihat ke arah lain. Dan kali ini, bukan hanya wajahku yang panas—tapi seluruh tubuhku terasa hangat. Aku bahkan merasakan sedikit gemetar.


"Begitu ya. Syukurlah."


Benar-benar…


Mendengar itu langsung dari sahabat terdekat Toiro, aku merasa lega. Dan juga, sedikit lebih percaya diri. Saat aku mulai larut dalam emosi itu, tiba-tiba—


"Ngomong-ngomong, aku paham kenapa kamu datang ke sini hari ini. Aku pengen bantuin, tapi… ada satu saran buat kamu."


Nakasone mengembalikan pembicaraan ke topik awal. Mungkin nasihatnya bisa meningkatkan peluang keberhasilan rencana Natal ini. Aku fokus mendengarkan, berusaha menyaring kata-katanya di tengah keramaian sekitar.


"Dengar, dalam hal seperti ini, merek bukanlah segalanya. Terutama kalau anggarannya terbatas. Yang harus lebih kamu perhatikan adalah—"



Berkat Nakasone, aku jadi tahu apa yang harus dibeli. Aku harus berterima kasih padanya.


Setelah menyelesaikan berbagai urusan dengan pemilik toko, aku segera bergegas pulang. Sejujurnya, waktuku tidak banyak. Selain barang yang kubeli tadi, ada hal lain yang sudah aku rencanakan, dan aku masih belum tahu apakah bisa selesai tepat waktu sebelum Natal.

Setelah kembali ke kamar, aku menyalakan laptop dan menghela napas panjang.


Kemudian, perlahan aku tenggelam dalam pikiranku. Melanjutkan yang kemarin. Malam ini pasti akan menjadi malam yang panjang, seperti menatap ke dalam jurang yang tak berujung.















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !