Kono Sankaku △ Rabukome wa Shiawase ni Naru Gimu ga Aru chap 3

Ndrii
0

Chapter 3

Paranoid dengan Bunga di  Kedua Tangan




Setiap orang pasti penasaran bagaimana pandangan orang lain terhadap dirinya. Seperti halnya Yashiro Tenma, yang sejak kecil sering menerima penilaian dari orang-orang di sekitarnya, namun penilaian itu seringkali hanya menangkap satu sisi dari dirinya.


Saat dia dipaksa bergabung dengan klub bisbol di sekolah dasar, pelatihnya memberikan penilaian seperti ini:

"Yashiro? Hmm, yah, dia cukup baik di semua aspek—lari, serangan, pertahanan. Kalau mau dipuji, bisa dibilang serba bisa. Tapi kalau mau dikritik, dia malah belum cukup bagus untuk jadi serba bisa. Hahaha!"


Kemudian, di kelas dua SMP, seorang gadis yang terkenal paling gaul di kelas memberikan penilaian yang berbeda:

"Yashiro-kun tuh kayak gak punya semangat hidup yaa. Kayak, apa-apa tuh datar aja, gak pernah terbawa emosi gituu. Kata-kata kayak ambisi atau usaha tuh paling gak cocok buat dia. Lucu banget!"


Penilaian-penilaian ini mungkin tepat, tapi juga meleset pada saat yang sama. Pelatih yang menganggapnya biasa saja tidak tahu bahwa Tenma sering berlatih sendirian, melempar bola ke dinding atau melakukan latihan ayunan bat di luar waktu latihan resmi. Begitu juga dengan pandangan orang-orang bahwa dia tak berambisi atau tak peduli, meskipun sebenarnya ia pernah memiliki dorongan untuk berusaha lebih.

Sejak dulu, baik dalam pelajaran maupun olahraga, Tenma selalu berusaha dua kali lebih keras dari orang lain hanya untuk mencapai sedikit di atas rata-rata. Ambisi dan usaha yang dia miliki perlahan-lahan memudar seiring waktu. Dalam hal asmara, dia dulu mungkin ingin terlihat menarik di mata lawan jenis, tetapi keinginan itu juga perlahan hilang. Dia akhirnya menyadari bahwa tidak ada harapan yang aneh-aneh, bahwa dunia asmara bukanlah sesuatu yang relevan baginya. Dengan berpikiran seperti itu, dia bisa menghindari rasa kecewa.


Begitulah, setelah melalui proses panjang, lahirlah Yashiro Tenma yang sekarang. Pandangan orang lain memang bisa sangat mempengaruhi bagaimana seseorang hidup, seperti yang dialami Tenma. Baru-baru ini, ia menyadari bahwa penilaian dari orang lain bisa berpengaruh besar, baik untuk orang biasa di dunia bawah maupun mereka yang berdiri di puncak seperti bangsawan. Penilaian itu bisa sama kerasnya seperti meteorit yang menghantam tanpa pandang bulu.



Senin pagi tiba, dan dengan langkah berat, Tenma menuju sekolah sambil tak sadar menghela napas. Akhir-akhir ini, sepertinya dia hampir tidak pernah merasakan ketenangan. Alasannya sangat jelas.


"Selamat pagi, Yashiro Tenma-kun."


"…Ugh."


Sosok yang tak ingin ia temui tiba-tiba muncul, membuat wajahnya berkerut. Tepat saat ia melewati gerbang sekolah, seorang gadis dengan anggun mendekatinya. Dia menarik perhatian banyak orang, baik karena tingginya maupun aura yang terpancar darinya. Tenma, yang tak bisa menahan diri untuk mengamati sosok tersebut, langsung ditegur.


"Jangan menatapku, tetapkan pandanganmu ke depan. Berjalanlah seperti tidak terjadi apa-apa. Suaramu kecil saja, oke?"


Rinka, tanpa menatap Tenma sekalipun, berbicara dengan dingin. Sikapnya kali ini sangat berbeda dari hari sebelumnya, saat dia lebih ekspresif. Hari ini, Rinka adalah sosok "cool beauty" yang dilapisi dengan sikap dingin, mencerminkan karakternya yang dibuat khusus untuk sekolah.


"Dengan begitu, orang lain hanya akan mengira kita kebetulan berjalan dengan langkah yang sama."


"…Iya, iya."


Seperti dua orang yang sedang melakukan transaksi rahasia, mereka terus berjalan.


"Oke, mari kita cek ulang rencananya."


"Kamu ini…"

Yang dimaksud tentu saja rencana besar pengakuan cinta itu. Tenma, Reira, dan Rinka akan berada di tempat yang sama, dan setelah itu Tenma akan pergi, menciptakan momen bagi dua orang yang tersisa. Rencana itu sederhana, meski cukup intens.


"Berapa kali lagi kau ingin aku mengulang hal yang sama sejak kemarin?"


Pesan-pesan yang mereka tukar sudah hampir mencapai seratus, dengan percakapan yang begitu panjang hingga membuat scroll layar menjadi melelahkan. Ini benar-benar sudah di luar kewajaran, bahkan bagi Tenma yang tidak memiliki pengalaman dalam hal percintaan.


"Lebih baik bersiap-siap secara matang. Kau tahu aku paling tidak suka kejadian tak terduga."


Sebenarnya, lebih tepatnya, Rinka sangat "tidak bisa menangani" hal-hal yang tidak direncanakan. Tenma ingat bagaimana dia panik saat kehilangan novel atau bagaimana dia salah paham dan hampir melepaskan pakaiannya. Tenma belajar dari pengalaman itu—kesalahan tidak boleh diulangi.


"Aku hanya ingin mempersiapkan semuanya untuk setiap kemungkinan."


"Tsubaki-san bukan robot. Dia mungkin tidak akan bertindak sesuai yang kau harapkan."

"Jangan khawatir. Gadis itu sebenarnya sangat sederhana. Percayalah."


"Iya, iya. Kau pasti berpikir dia sangat lucu dan kau sangat menyukainya, kan?"


"Wow, kau tahu sekali perasaanku, Shiro."


"Aku sudah mendengar itu setidaknya dua puluh kali. Dan aku bukan anjing, tahu."


"Eh? Dua puluh kali? Rasanya tidak sebanyak itu, paling cuma sepuluh…"


Percakapan yang terus berputar ini terjadi tak hanya di dunia maya, tetapi juga di dunia nyata. Meskipun ada jarak fisik di antara mereka saat berjalan, langkah mereka tetap selaras. Tenma berpikir, hubungan macam apa yang mereka miliki saat ini? Bukan sekadar kenalan, tapi juga tidak cukup untuk disebut sebagai teman dekat.


Setelah merenung, akhirnya dia menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan hubungan mereka saat ini.  


──Komplotan, kayaknya.



Hari itu, keduanya berjalan berdampingan menuju pintu masuk sekolah. Sambil berbicara dengan suara pelan, mereka memastikan pandangan mereka tidak pernah bertemu, dan selalu menjaga jarak yang konsisten di antara mereka. Mereka berpikir sedang berpura-pura sebagai orang asing. Jika waktu diputar kembali sekitar seminggu, kamuflase ini mungkin masih cukup efektif. Namun, saat ini, ada banyak faktor yang membuat penyamaran itu tak lagi berhasil, yang mereka lupakan.


Singkatnya, mereka lengah.


“Eh, itu yang jadi bahan gosip…”  

“Iya, itu Yashiro Tenma.”  

“Siapa dia? Terkenal ya?”  

“Kamu nggak tahu? Sudah lebih dari setahun nggak ada yang bisa mendekati Sumeragi Rinka, tapi sekarang dia didekati oleh pendatang baru.”


Rinka sangat peka terhadap tatapan orang di sekitarnya dan biasanya mampu melawan balik dengan berani, tetapi pagi itu dia memilih untuk mengabaikannya, tidak ingin menaikkan tekanan darahnya tanpa alasan. Di sisi lain, Tenma hanya menganggap bahwa perhatian yang diterima Rinka dari orang lain adalah hal yang wajar, tanpa menyadari bahwa tatapan orang-orang itu kini juga tertuju padanya.


Karena itu, keduanya tidak menyadarinya.


“Cowok seburuk itu? Pasti ada yang salah.”  

“Awalnya semua orang berpikir begitu. Tapi gosip-gosip aneh mulai bermunculan.”  

“Katanya dia menculiknya saat jam istirahat dan nggak kembali dalam waktu lama.”  

“Atau mereka kabarnya masuk ke ruang kesehatan dan melakukan hal yang mencurigakan.”  

“Dia juga seperti pengawal, menghalangi Rinka agar nggak dekat dengan cewek lain.”  

“Yashiro pernah sekelas sama aku waktu kelas satu, makanya aku sering ditanyain banyak hal sama dia.”  

“Aku juga, aku juga. Dia nanyain keluarganya, hobinya, bahkan sampai tempat tinggalnya mau dia cari tahu.”  

“Iya, iya. Kalau nggak tahu, dia langsung kehilangan minat dan nanya hal yang sama ke orang lain.”  

“Biasanya dia nggak pernah tertarik sama cowok…” 

“Tunggu, jadi ini berarti Sumeragi-san yang suka duluan?”  

“Udah pasti, deh.”  

“Pasti mereka pacaran.”  

“Nggak nyangka Rinka-sama kayak gitu… Nggak mau lihat dia seperti itu!”


Iri, bingung, benci, kesal—emosi yang sulit dijelaskan, mungkin hampir mirip dengan keputusasaan yang tercampur dengan amarah. Gosip itu menyebar dengan cepat dan berubah menjadi gempa yang kuat. Pagi ini, suasana sekolah pun dipenuhi dengan keanehan yang tak biasa.



Setelah diskusi mereka berlanjut sejenak, di tangga, Rinka kembali ke sikap aslinya dan berkata, "Kalau kita masuk ke kelas bersama-sama, bakal kelihatan seperti kita akrab, dan itu sangat menjijikkan. Jadi, kamu masuk duluan." Karena jika mereka masuk bareng, bisa-bisa memicu berbagai spekulasi, Tenma pun setuju.


Maka, Tenma pun masuk ke kelas sendirian.  


"Hm?"  


Dalam hitungan detik, dia merasakan ada yang tidak beres. Dua minggu telah berlalu sejak upacara pembukaan, dan dia seharusnya sudah terbiasa dengan suasana di kelas 2-5. Tapi hari ini, ada sesuatu yang berbeda. Kelas masih ramai seperti biasa, tapi keramaian itu terasa aneh. Bukan obrolan biasa yang tanpa tujuan, tapi ada semacam maksud yang jelas dari keramaian itu.


Saat Tenma berdiri bingung, dia mendengar percakapan dari sekelompok anak laki-laki di dekatnya.  


"Yashiro? Sulit dipercaya…"  

"Kalau dipikir-pikir, belakangan Yashiro memang kelihatan aneh…"  


"Apa yang kalian bicarakan tentang aku?"  


Mendengar namanya disebut, Tenma mendekat. Yang berbicara adalah Miura, Hagasekawa, dan Nakamura—teman sekelasnya sejak tahun pertama, mereka cukup mengenal satu sama lain.  


"Yashiro!?"  


Mereka semua melompat seolah baru saja melihat penjahat buronan.  


"Apa-apaan ini? Kalian sedang bicara tentang apa?"  


Saat Tenma mencoba mendekat, langkahnya terhenti. Ini bukan hanya perasaan aneh yang samar, tapi jelas ada sesuatu yang tidak biasa. Punggungnya merinding. Kelas yang sebelumnya ramai tiba-tiba menjadi sunyi. Seolah-olah tombol jeda telah ditekan, semua berhenti bergerak, tatapan mereka terpaku pada satu titik.  


Kenapa semua tatapan tertuju padanya?  


"A-aku?"  


Bukan karena terlalu percaya diri, tapi jelas semua perhatian ada padanya. Jika ini adalah ruang sidang, Tenma adalah terdakwa. Seolah dia telah berubah menjadi penjahat besar yang membuat kegemparan. Bagaimana mungkin seseorang seperti dia, yang tak lebih dari rumput liar di pinggir jalan, tiba-tiba menjadi pusat perhatian? Tenma tak bisa menyelesaikan ini sendirian. Saat dia memandang ke arah Miura dengan harapan,  

"Yashiro! Apa maksudnya semua ini!?"  


Yang dia dapatkan adalah kalimat yang tak terduga.  


"Hah?"  


"Kamu kan bukan tipe orang yang begitu! Pengkhianat!"  

"Kelihatannya seperti cowok yang nggak laku, tapi di belakang ternyata kamu udah melakukan itu semua! Brengsek!"  


"Tunggu, tunggu, tunggu!"  


Para lelaki itu mendekat dengan wajah penuh emosi, seolah sedang menatap seorang pendosa. Tenma yang tak tahu bagaimana bisa terseret dalam situasi ini hanya bisa merasa bingung.  


"Umm… permisi!"  


Namun, sebuah suara lembut menghentikan kericuhan itu.  


"Aku ada urusan dengan Yashiro-kun... Boleh aku lewat?"  


Anak-anak lelaki yang mengerubungi Tenma serentak menarik napas dan dengan segera memberi jalan. "Tentu saja!" "Silakan, silakan!" Mereka berkata sambil tersenyum menjilat. Yang muncul menggantikan mereka adalah seorang gadis cantik yang hari ini tampak lebih bersinar dari biasanya.  


"T-Tsubaki-san…"  


"Ah, iya. Selamat pagi," jawabnya sambil membungkuk dengan sopan. Sampai di situ, dia masih seperti biasanya, lembut dan anggun. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Wajahnya tampak murung. Dengan tangan yang bergerak gelisah di depan dadanya, dia berkata,  


"Uhm, begini… uh..."  


Dia memulai dengan sedikit ragu, sesekali melirik ke atas. Hanya dengan begitu saja, dia sudah mampu menggetarkan hati para lelaki di sekitarnya. Siapa bilang kecantikan akan membosankan dalam tiga hari, itu jelas bohong!  


"Menurutku, nggak baik terpengaruh sama gosip," lanjutnya setelah menguatkan hati, mendekat lebih jauh. Bulu matanya terlihat jelas, seolah dia berdiri terlalu dekat. Mungkin dia perlu belajar soal menjaga jarak.  


"Jadi, aku akan bertanya sebagai perwakilan."  


"Tanya apa?"  


" Yashiro-kun, apa kamu pacaran sama Rinka-chan?"

"........."


Apa yang sebenarnya sedang dibicarakan orang ini? Mungkin akan lebih baik jika Tenma bisa menyerah untuk mencoba memahaminya. Namun, di saat itu, otaknya justru membayangkan skenario terburuk yang mungkin terjadi.


Tiba-tiba, dia merasakan udara bergetar. Saat dilihatnya, Rinka yang datang terlambat kini sedang dikelilingi oleh beberapa gadis. Mereka adalah anggota klub musik ringan yang biasanya selalu bersamanya, dengan gaya rock mereka yang khas.


"Heh... ada apa ini?" Rinka bertanya sambil memutar lehernya dengan malas, jelas belum sepenuhnya memahami situasinya. Namun, salah satu gadis mulai berbicara padanya,  


"Ada apa sih, Rinka? Kenapa kamu sembunyi-sembunyi gitu?"  

"Kamu seharusnya cerita dulu dong ke kita sebelum ini semua!"  

"Kalian udah sejauh mana? Cieee~"  


Berbeda dengan suasana yang mengelilingi Tenma, di sekitar Rinka, suasananya penuh dengan nuansa perayaan. Meski begitu, tetap saja situasi ini menjengkelkan. Perlahan, tampaknya Rinka mulai memahami apa yang sedang mereka bicarakan, dan pelipisnya mulai berkedut. Itu adalah tanda-tanda awal dari sebuah letusan dahsyat yang segera akan terjadi—dan Tenma berharap hal itu terjadi.


Dalam situasi krisis yang tak terbayangkan ini, ada satu cara paling sederhana dan paling efektif untuk mengakhirinya dengan cepat: biarkan Rinka meledak di sini, sekarang. Jika dia dengan marah berteriak, "Siapa yang menyebarkan rumor tak berdasar ini?" sambil menghantam meja guru, setidaknya suasana di kelas akan kembali tenang dan para penggosip akan tersingkir.


"Lakukan saja, tak masalah."


Tenma mengirimkan tatapan yang seolah memohon datangnya angin penyelamat, tapi beberapa detik kemudian, yang terjadi adalah...  


“Pshuuu...” Suara seperti balon yang kehilangan udara keluar dari mulut Rinka, nyata sekali terdengar di ruangan itu. Tenma segera menyadari apa artinya itu—otak Rinka benar-benar "hang". Dia terdiam dengan wajah menghadap langit-langit, tampak seperti orang yang kehabisan energi. Dia benar-benar hancur oleh situasi ini, terlalu lemah dalam menghadapi hal-hal yang tak terduga.


“Jadi... memang benar ya? Ternyata memang begitu... baiklah...”  


Sementara Rinka tak bisa membela diri, Reira, yang menyaksikan semua ini, sepertinya menganggap semua kecurigaannya benar. Dengan tertawa kecil dan malu-malu, dia menyentuh pipinya.  


"Aku sampai keburu bersemangat sendiri tanpa tahu apa-apa. Pasti kalian merasa terganggu, ya?"  


Apa yang sebenarnya dia maksud dengan "bersemangat"? Ini bukan saat yang tepat untuk menanyakannya.  


“Tidak, tunggu dulu!” 


“Ini kan kabar bahagia. Tolong jaga baik-baik sahabatku, ya.”  


Senyumnya yang cerah terlihat jelas di depannya. Senyum itu tampak begitu tulus, tanpa ada sedikit pun niat buruk, tetapi entah kenapa Tenma merasa seperti didorong menjauh. Dia bahkan mulai merasa seolah sosok Reira semakin menjauh darinya, seperti sebuah ilusi.  


“Tidak, kamu salah. Ini semua hanya kesalahpahaman... karena, karena!”  


Dia ingin berteriak bahwa orang yang benar-benar Rinka sukai adalah Reira, tapi kata-kata itu tidak pernah bisa keluar begitu saja.


Mungkin hari ini akan menjadi hari terpanjang dalam hidupnya.



Dalam hatinya, Tenma berpikir.


Pada akhirnya, kekuatan persuasi bukanlah soal apa yang dikatakan, melainkan siapa yang mengatakannya. Tak ada yang benar-benar mendengarkan klaim tak bersalah yang dia coba sampaikan dengan gugup. Bahkan satu-satunya harapannya, Rinka (yang memiliki karisma tinggi), tak pernah berhasil kembali berfungsi setelah "hang" tadi.


Dan begitu saja, kelas pertama hari itu dimulai tanpa adanya perlawanan. Setidaknya, Tenma terlepas dari serangan pertanyaan yang menakutkan—meski hanya untuk sekitar lima puluh menit. Namun, dia tidak cukup dangkal untuk merayakan masa tenang yang sesaat ini.  


──Bagaimana bisa sampai seperti ini?  


Pikiran itu pasti juga ada di kepala gadis itu. Dari sudut mata Tenma, dia melihat ke arah meja di sisi lorong, tempat Rinka duduk, tampak seperti mayat yang tergeletak dengan rambut hitamnya menjuntai seperti Sadako dari televisi. Jelas sekali, dia sudah menyerah pada kelas, namun guru bahasa yang terlalu lembut tak berani menegurnya dan terus berbicara panjang lebar tentang latar belakang Mori Ougai.


Karena tidak ada ancaman untuk dipanggil ke depan kelas, Tenma pun diam-diam mengeluarkan ponselnya di bawah meja dan mulai mengetik.  


“Kamu masih hidup?”


Mengirim pesan pada Rinka di tengah situasi seperti ini. Dia tak berharap ada balasan, namun dalam hitungan detik setelah pesannya terkirim, tanda 'terbaca' muncul.  

“Belum mati, tapi rasanya lebih buruk dari itu.”

Tentu saja, aturan balasan cepat yang mereka sepakati berlaku juga untuk Rinka.  


“Kamu terdengar sangat puitis.”  

“Rasanya seperti dilempar ke neraka dalam keadaan hidup-hidup.”

“Jangan menyerah. Kita harus merencanakan ulang ini, kan?” 

“Benar... mungkin kita harus mulai dengan merapikan situasinya dulu.”

“Situasi... ya, situasi.”


Tiba-tiba, jari-jarinya terasa beku. Padahal jawabannya sangat sederhana.  


“Sekarang orang-orang berpikir kita sedang pacaran.” 

“Dan beberapa dari mereka bahkan mengira kita sudah... yah, kamu tahu, sampai ke tahap itu.”  

“Serius? Memang ini musim kawin atau apa?”  

“Benar-benar bencana alam.”  


Tenma setuju dengan perasaannya, tapi jelas bahwa dalam hal ini, rasa putus asa Rinka jauh lebih besar.  


“Maaf. Aku harus lebih waspada terhadap mata dan telinga orang-orang.”  

“Itu kesalahanku. Aku terlalu terbuai dan jadi tak sadar akan sekeliling.”  

“Terbuai?”  

“Ya, seolah-olah aku bisa bercanda dan bermesraan dengan gadis yang benar-benar aku sukai di dunia nyata.”


Meski kata-katanya terdengar aneh, yang dia maksud sebenarnya adalah bahwa dia berharap hubungannya dengan Reira akan berkembang. Dia sudah menaruh harapan yang besar, dan karena itu, ketika kenyataan tidak sesuai harapan, rasa kecewanya juga lebih besar.


“Ini hasil dari gadis bodoh yang bermimpi di luar kemampuannya. Sangat memalukan.”  


Ah, begitu. Jadi itulah mengapa sejak mereka di rumah Tenma sampai pagi ini, Rinka terlihat sangat bersemangat (setidaknya menurut standar dirinya). Dia pasti sudah lama mencari cara untuk meluapkan perasaannya yang terpendam. Rinka menyebut harapannya itu “mimpi di luar kemampuan”, tapi benarkah itu benar-benar tidak pantas?


Siapa yang pacaran dengan siapa. Siapa yang nembak. Siapa yang ditolak. Semua gosip dan drama percintaan yang tak pernah luput dari telinga Tenma, meski dia tak terlalu peka soal cinta. Semua hal ini normal bagi banyak orang, tapi bagi Rinka, itu jauh dari sesuatu yang biasa. Menjadi gadis yang jatuh cinta biasa adalah hal yang paling sulit baginya.


“Kalau kamu ingin menertawakan aku, silakan saja.”  

“Aku tidak akan tertawa.”


Masih dalam posisi menunduk, Rinka tampak sedikit bergerak, dan akhirnya mengangkat kepalanya. Dengan mata mengantuk, dia menatap Tenma dengan tatapan penuh pertanyaan.  


“Aku akan melakukan sesuatu. Lihat saja nanti.”  


Tenma tak bisa menahan perasaannya. Dia tak ingin Rinka menyerah begitu mudah. Dia tak ingin mendengar kata-kata “tidak bisa”. Karena menurutnya, Rinka memiliki banyak talenta yang tidak dia miliki. Dan dia ingin percaya bahwa seseorang seperti itu pasti bisa melakukan apa pun.


“Ini baru permulaan. Jangan menyerah dulu.”  

“Apa kamu sedang menyemangati aku?”  

“Angkat kepala kamu. Kasihan gurunya.”  

“Kamu ini sebenarnya cukup aneh, ya.”


Kamu jauh lebih aneh, tulis Tenma, tapi dia tak pernah mengirim pesan itu. Dia melihat bahu Rinka bergerak sedikit, dan di wajahnya yang tertunduk, hanya Tenma yang melihat senyum kecil yang tak bersalah menghiasi wajahnya. Di dunia ini, hanya Tenma yang melihat senyum itu.


Jika dipikirkan dengan tenang, situasinya sebenarnya sederhana. 

 

Tujuan utama mereka sekarang adalah untuk menyangkal rumor yang menyebar. Jika ini seperti skandal selebriti, mungkin ada seseorang di agensi besar yang akan mengurusnya.  


“Kamu punya koneksi seperti Akimoto-sensei atau mungkin seperti Julie untuk mendukungmu?”

“Kamu ngelantur. Mau kutampar, ya?”


Terkadang terlupakan bahwa dia tetaplah seorang siswi SMA. Entah kenapa, hal itu sedikit membuatku merasa lega. Jika begitu, aku hanya bisa mulai dari orang-orang terdekat untuk meluruskan kesalahpahaman ini. Sepertinya jalan yang harus kutempuh masih panjang.


Dengan perasaan seperti menelan timah, aku berhasil bertahan melewati pelajaran pagi, hingga tiba waktu istirahat siang. Namun, keadaan berbelok ke arah yang tak terduga.


"Yashiro-kun!"


Tenma hampir terjatuh dari kursinya. Masih di saat bel belum selesai berbunyi. Begitu pelajaran usai, seorang gadis berlari menghampiri dengan ekor kuda keemasan yang berkilau.


"Maafkan aku!"

Tak pernah terpikirkan bahwa gadis seanggun itu akan menundukkan kepalanya. Perasaan bersalah bercampur dengan sensasi berdosa mulai timbul, membuatku hampir tersadar pada hobi yang berbahaya, namun aku cepat-cepat kembali ke kesadaran.


"Apa... apa yang terjadi, Tsubaki-san?"


"Aku sepertinya salah paham. Aku mendengar banyak hal dari Hayami-kun."


"Dari Souta?"


"Aku dengar rumor bahwa Rinka-chan dan Yashiro-kun berpacaran, tapi sebenarnya tidak seperti itu. Kalian hanya teman baik, dan aku dengar kalian berdua sangat merasa terganggu oleh rumor itu. Aku pun merasa sangat menyesal."


Bukan hanya Reira yang datang meminta maaf, tetapi juga beberapa anak laki-laki lainnya yang tanpa diundang berdatangan satu per satu sambil berkata, "Aku juga salah", "Maaf ya", "Aku terlalu terburu-buru". 


Dengan kata lain, sungguh mengejutkan, tanpa Tenma dan yang lainnya harus melakukan apa pun, kesalahpahaman di kelas sudah diluruskan. Dan semua ini hanya berkat satu orang.


“...Nah, begitulah kira-kira penjelasan yang kuberikan pada semuanya. Sudah baik-baik saja, kan?”


Sosok yang baru saja muncul itu berkata dengan nada biasa dan senyum segar yang melebihi biasanya.


"Baik-baik saja atau tidak..."


Sebagai jawaban, aku menggenggam tangan Souta. Aku menariknya mendekat, hampir memeluknya erat, tetapi, "Ah, itu terlalu aneh," katanya sambil cepat-cepat menarik diri, jadi pelukan itu tak terjadi.


"Tapi, kenapa kamu melakukan ini...?"


“Karena kamu yang paling tidak suka diperlakukan seperti itu, kan?”


Souta adalah si pemegang kendali rasionalitas. Ketika dia berbicara secara logis, entah kenapa selalu terdengar sangat meyakinkan.


"Terima kasih, benar-benar terima kasih..."


Teman sejati memang harus dihargai. Air mata mulai memenuhi mataku, siap untuk tumpah kapan saja, tetapi...


“Iya, jadi ya! Sebagai sahabatmu, jangan sungkan-sungkan untuk mengungkapkan kebenaran dan bicaralah padaku kapan saja! Aku akan menjaga kerahasiaannya dengan baik!”


Air mataku langsung surut. Wajahnya berubah seperti wartawan yang baru saja mendapatkan skandal asmara eksklusif.


"...Kamu sepertinya sangat menikmatinya, ya?"


"Tentu saja! Yashiro-kun yang pemalu ini akhirnya mulai merasakan cinta. Aku harus mendukungmu, kan?"


"Itu salah paham, dan mungkin hanya kamu di seluruh dunia yang bisa merasa hal itu menarik."


Entah kapan hari di mana dia bisa mengerti akan tiba. Saat Tenma termenung, tiba-tiba...


"Yashiro-kun~!"


Reira memanggil lagi. Dia berlari menghampiri, dengan tangan memegang sebuah bungkusan berbunga kecil. Oh iya, ini waktu istirahat siang, jadi bungkusan itu pasti kotak bekal.


"Kalau tidak keberatan, mau makan siang bersama?"


Rencana besar ‘Pengakuan Cinta untuk Reira’ yang mengalami berbagai hambatan sejak awal, sekarang tiba-tiba kembali ke jalurnya. Secara ajaib, rencananya berjalan sesuai rencana semula. Itu sungguh luar biasa.


"Ah, kamu ada janji lain?"


"Tidak, bukan begitu... tapi, kalau bisa, aku ingin mengajak satu orang lagi..."


"Satu orang lagi?"


Ingin memastikan, Tenma melirik ke arah seseorang.


Sejak tadi, seorang gadis berdiri diam di belakang Reira dengan ekspresi kosong, seolah-olah tak memiliki emosi. Tanpa berkata-kata, tatapannya seakan memohon: "Ayo, ajak aku."


Reira yang mengikuti arah pandangan Tenma, menoleh ke belakang.


"Eh... Rinka-chan?"


Setelah beberapa detik, dia terlihat paham dan langsung menepuk tangannya.


"Oh iya, ayo Rinka-chan juga ikut makan bersama kita! Yuk!"

Tanpa menunggu jawaban, dia langsung menarik tangan Rinka dan membawanya.


"Semakin banyak orang, pasti makanannya jadi lebih enak."


Dengan senyuman manis, Rei-ra mengatupkan kedua tangannya. Tenma hanya bisa memberikan penghormatan tertinggi dalam hatinya. Bagaimana tidak, tanpa perlu usaha apa pun, dia berhasil menyusun makan siang bertiga.


Tidak ada kemenangan lebih besar dari ini. Tenma merasa yakin Rinka juga akan sangat puas. Namun...


"Makan siang bersama, ya? Hmm... gimana ya?"


Tepat setelah itu, perasaan puas Tenma runtuh.


“Aku ada rapat di klub musik. Sebenarnya, aku lebih ingin pergi ke sana sih.”


Rinka yang seharusnya paling senang dengan undangan itu, malah menunjukkan ketidakpuasan sambil mengeluh, memijat bahunya yang bahkan tidak terasa sakit. Tanpa pikir panjang, Tenma menyikut pinggangnya.


"Aduh, kenapa sih?"

"Apa maksudmu? Kenapa kamu begitu?"


Tak percaya dengan pengkhianatan tak terduga ini, Tenma hampir kehilangan kendali, sementara Rinka dengan tenang berbisik di telinganya.


"Hei, makan siang ceria bersama-sama itu bukan karakternya aku, kan?"


"...Karakter, maksudmu?"


"Lebih alami kalau aku awalnya menolak, tapi akhirnya setuju dengan enggan, menurutku."


"Kamu sungguh merepotkan sekali, ya!"


"Diamlah. Aku selalu ingin menjadi serigala yang sendirian."


Di dalam dirinya, menjaga citra sebagai gadis yang penyendiri di sekolah adalah prioritas utamanya. Bukan sekadar gaya, tetapi dia benar-benar sudah terlalu terbawa peran itu.


Oh Tuhan, siapapun, tolonglah ubah gadis ini. Luluhkan hatinya yang dingin.


Dan jika ada seseorang yang bisa memenuhi harapan itu, tentu saja hanya ada satu orang di dunia ini.


"Aku... sebenarnya merasa kesepian."


Ucapan pelan itu langsung membuat dua orang yang sedang berbicara terdiam.


"Tsubaki, -san?”

“Eh? Reira?"


Mereka memandang dengan terkejut.


“Belakangan ini, aku jarang punya kesempatan berbicara dengan Rinka-chan. Bahkan makan siang pun dia hampir tidak pernah mau makan bersama... aku mulai berpikir, apakah dia sedang menghindariku?”


Bukan berarti dia menyalahkan siapa pun. Kata-katanya seperti seseorang yang menurunkan beban yang terlalu berat.


Wajar jika Reira berpikir begitu. Siapa pun pasti akan terkejut jika ditolak dengan dingin seperti ini setiap kali. Justru, Reira terlambat mengatakannya. Rinka mungkin juga merasakan bahaya.


"Bukannya aku menghindar! Ini hanya... ah, tahu kan? Kadang ada masa-masa di mana kita ingin minum kopi hitam tanpa alasan. Nah, ini sama saja…"


Pembelaan yang tidak jelas. Rinka mungkin sedang bimbang, apakah harus tetap menjaga citranya di saat seperti ini.


"…Baiklah. Aku mengerti."


Akhirnya, tampaknya ia memutuskan bahwa senyum wanita yang dicintainya lebih penting.


"Ayo makan bersama. Kita lakukan itu."


"Benarkah? Hore!"


Reira melompat kecil kegirangan dan langsung memeluk setengah badan sahabatnya. Kali ini, Rinka membiarkannya. Pemandangan mereka berdua saling berpelukan adalah sesuatu yang jarang terjadi.


Tenma yang menyaksikan adegan itu merasa hatinya tenang.


Ia merasa mereka akhirnya berhasil mengambil satu langkah maju.


Sebenarnya, Rinka tidak ingin menolak ajakan Reira. Bahkan, Rinka sangat mendambakan bisa bersama Reira setiap hari. Hanya saja, ada banyak faktor yang menghalangi, membuat pilihan itu tak bisa diambil.


Kalau bisa, bukan hanya satu langkah, tapi dua, tiga langkah sekaligus. Akan sangat baik jika mereka bisa terus maju.


"Ini pertama kalinya aku melihat wajah Yashiro-kun yang sumringah seperti itu."


Komentar yang tenang membawanya kembali ke kenyataan. Entah sejak kapan, Souta sudah berdiri di sampingnya dengan senyum ramah khasnya.


"Kamu memang suka berjalan tanpa suara, ya?"


"Menurutku, masalahnya ada pada Yashiro-kun yang terlalu lengah kali ini."


Benar juga, Tenma memang sedang membiarkan dirinya terlalu terbuka. Dia terlalu dalam memikirkan hal itu.


Rinka menghindari Reira karena merasa dirinya tidak cocok. Namun sekarang, pemandangan mereka yang saling berdekatan tampak sangat alami. Sungguh harmonis, seolah semua orang memang menantikan momen ini.


"Sejak kita naik ke kelas dua, aku melihat banyak sisi dirimu yang belum pernah kutahu sebelumnya."


"Menurutku, tidak ada yang istimewa dari itu yang bisa menarik perhatianmu."


"Ha ha ha. Baiklah, nikmati saja makan siangmu yang mewah bersama dua idola ini."


Souta menepuk punggung Tenma dan kemudian pergi.


"Makan siang dengan dua idola…"


Tenma mulai menyadari bahwa momen sesungguhnya baru akan dimulai, dan ia sudah merasakan sesuatu yang menyesakkan di dadanya.



Musim semi yang hangat dan nyaman membawa suasana santai, meski terkadang juga mengundang beberapa orang aneh keluar dari persembunyian mereka. Namun, segala pikiran negatif segera harus dibuang ke tempat sampah. 


"Cuacanya cerah hari ini, ayo kita ke luar," kata Reira dengan senyum lebar, mengusulkan agar mereka menikmati makan siang di halaman tengah sekolah. Area ini berada di sisi selatan kantin, dengan rerumputan hijau yang luas, dilengkapi dengan meja dan kursi bergaya kafe teras.


Meskipun ini adalah sekolahnya sendiri, bagi Tenma, tempat ini terasa seperti legenda urban. Dia hanya pernah melewatinya tanpa pernah benar-benar melangkah masuk ke sana. Sejak awal, dia selalu menghindarinya.


“Wow...” gumam Tenma, sedikit pusing melihat pemandangan yang terbentang di depannya. Sekelompok siswa melepas blazer mereka dan bermain bulutangkis, beberapa orang mengambil selfie dengan latar belakang air mancur, dan di sana ada musisi yang sedang tampil sambil diikuti kerumunan. Belum lagi pasangan-pasangan yang duduk di bangku, berpelukan dengan mesra. Tempat ini terasa seperti dunia lain dibandingkan dengan bagian lain sekolah. Rasanya tidak sesuai berada di sini, dan tiba-tiba perutnya terasa asam, seperti asam lambung menyerang.


Dia ingin segera pergi, tapi... 


“Yashiro-kun! Di sini masih ada tempat kosong!” Reira melambai dari sebuah meja bundar berpenyangga satu kaki. Meninggalkan Reira sendirian tidak mungkin.


Tenma dan Reira yang membawa bekal dari rumah tiba lebih dulu untuk mendapatkan tempat, sementara Rinka yang membeli makan siangnya di kantin kemudian bergabung. Mereka akhirnya duduk bertiga di meja itu. Meski ruangannya terbuka, Tenma merasakan tekanan yang menyesakkan.

Di sebelah kanannya, Reira dengan rambut pirangnya seperti malaikat. Di sebelah kirinya, Rinka yang berambut hitam terlihat anggun. Secara kasat mata, Tenma tampak seperti orang paling beruntung di tengah kerumunan murid populer. Namun, ini jelas melanggar hukum alam. Sebelum bencana menimpanya, dia harus segera melarikan diri.


Dia berpikir untuk menggunakan alasan bekalnya sudah basi untuk pergi ke toilet. Dengan tangan gemetar, dia berusaha membuka tutup bekal.


"Wow, bekalmu luar biasa, Yashiro-kun!" puji Reira.


"Eh, begitukah?"


Bekalnya terdiri dari tamagoyaki yang tidak manis, okra gulung bacon, salad kentang dengan rasa kuat, dan ayam goreng sisa dari semalam. Di atas nasi putih, ada ikan teri yang diberi ponzu dan daun bawang. 


Tenma merasa sedikit bangga karena telah mempertimbangkan keseimbangan nutrisi, warna, dan biaya saat menyiapkan bekal ini. Namun yang membuatnya lebih bersemangat adalah cara Reira bersandar kepadanya sambil melihat bekal itu. Tanpa sadar, dada Reira yang berisi menyentuh bahunya. Tenma merasakan sensasi yang begitu luar biasa sehingga dia bahkan berpikir tidak masalah jika mati saat ini juga.


Namun tiba-tiba, "Iih!?!" jeritnya pelan, wajahnya kaku karena merasakan sakit tumpul di jari kakinya.


"Ada apa?" tanya Reira, bingung.


"Tidak, tidak ada apa-apa," jawab Tenma dengan canggung. Reira tak bisa melihat dari sudut pandangnya, tapi di bawah meja, tumit Rinka dengan sengaja menghantam kakinya. Dengan tatapan takut, Tenma memandang ke arah Rinka yang memasang wajah polos seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dia segera meminta maaf lewat kontak mata, dan untungnya, Rinka menghentikan aksinya.


“Masakan ibumu enak sekali ya, Yashiro-kun,” kata Reira.


“Oh, sebenarnya aku yang buat ini.”


"Eh?"


“Sejak bulan lalu, orang tuaku pergi ke luar negeri untuk bekerja, jadi aku yang mengurus semua pekerjaan rumah.”


"…Tidak mungkin."


"Sebenarnya, aku lebih sering masak untuk kakakku yang bawa makanan ke kantor, ini cuma masakan tambahan untukku. Ada apa, Tsubaki-san?"

Tenma mulai khawatir melihat Reira yang tiba-tiba membeku. Apakah seorang siswa laki-laki yang membuat bekal sendiri dianggap aneh oleh Reira?


“He...he...he... he....!”


“Hah!?”


“Hebat banget”


Dengan wajah yang cerah, Reira tampak sangat terkejut. 


“Kau membuat karya seni yang begitu indah dan berwarna sendirian!?” 


“Eh, ya...” jawab Tenma.


“Ini tidak mungkin! Kau setara dengan dewa pencipta langit dan bumi!!” 


“Bukankah itu agak berlebihan!?”


Dihadapkan dengan respons cepat Reira, Tenma menjadi panik, bahkan sedikit takut.


"Ah, maafkan aku! Aku terlalu terbawa suasana," kata Reira sambil menurunkan nada suaranya secara drastis. Rasa malu dengan cepat menggantikan semangatnya yang berlebihan tadi.


"Bagiku, kemampuanmu membuat sesuatu seperti ini adalah sebuah keajaiban atau sihir... haah," desahnya pelan, tampak sangat imut saat dia menundukkan kepalanya dengan malu.


"Aku juga ingin bisa memasak, tapi entah kenapa aku selalu gagal. Rasanya, memasak memang tidak cocok untukku. Bahkan membuat tamagoyaki saja aku tidak bisa," ungkap Reira dengan nada sedih.


"Masak tamagoyaki itu kalau diperdalam cukup sulit, jadi tidak perlu terlalu kecewa," jawab Tenma, mencoba menghiburnya.


"Aku bahkan belum bisa membuat yang layak dimakan sekalipun," keluh Reira.


Tenma melirik Rinka untuk meminta bantuan, namun dia hanya tampak acuh tak acuh, sibuk menyeruput jus sayurnya dengan sedotan. Tenma mulai merasa firasat buruk.


“Kalau gagal, bukankah bisa diacak-acak jadi telur orak-arik saja?” ujar Tenma dengan nada seolah-olah itu solusi yang jelas.


Namun, Reira hanya membelalakkan matanya, terkejut.


“Bagaimana bisa jadi Telur orak-arik?!”


“Yah, aku nggak pernah terlalu memikirkannya, tapi kalau kamu aduk-aduk pakai sumpit sambil goreng...”


“Kalau aku melakukan itu, hasilnya malah jadi arang hitam!”


“Tidak, tidak mungkin! Kamu pakai penyembur api atau apa?!”


“Aku nggak tahu! Padahal aku ikutin resepnya...”


Tenma mulai merasa Reira terdengar seperti seseorang yang meminta teknisi memperbaiki PC yang katanya “rusak sendiri padahal nggak diapa-apain.”


“Resep-resep masakan itu aneh semua! Apa mereka sengaja nulisnya susah dimengerti? Apa maksudnya ‘tumis dengan cepat’? Sampai berwarna kecokelatan? Seperti apa kecokelatan? Terus, ‘sesuaikan rasa’? Apa maksudnya itu? ‘Secukupnya’? Mereka bercanda atau apa?! Jangan pakai istilah abstrak!”


“Eh, maksudku, Tsubaki-san...”


“Menghilangkan bau? Menghilangkan lendir? Alkoholnya hilang, tapi aroma jangan sampai hilang? Apa-apaan itu! Kenapa aku nggak bisa bikin sup miso cuma dengan mencampur miso ke dalam air panas?!”

“Hei, yang terakhir itu keterlaluan!”


Tenma merasa sangat yakin sekarang. Reira pasti tipe orang yang mengucapkan "de-jiru" untuk "dashi." Ini bukan sekadar “tidak bisa memasak,” tapi lebih seperti “benar-benar tidak bisa.”


Tampaknya Reira sendiri juga menyadari hal itu. Gadis itu hampir menangis, terlihat sangat putus asa. Tenma, yang tak tahu harus berbuat apa, hanya bisa melirik Rinka sebagai harapan terakhir.


“M-mi-miso... pffft.”


Suara pecah tawa terdengar. Rinka mencoba sekuat tenaga menahan tawa saat mendengar Reira mengeluarkan pernyataan seperti pelajar asing yang baru pertama kali minum sup miso.


(Kamu gila, Sumeragi!)


Tenma dengan cepat meletakkan tangan di bahu Rinka, menegurnya dengan nada serius tapi menjaga agar suaranya tetap pelan.


(Apa-apaan sih, jangan sentuh aku sembarangan. Panas!)


(Diam, jawab saja. Kalau dugaanku benar... ya, bagaimana ya...)


Dia melirik sekilas ke arah Reira yang tampak putus asa, memilih kata-kata dengan hati-hati.


(Sebenarnya... dia ini masakannya seburuk itu?)


(Mungkin lebih parah, lebih ke “rasa menjijikkan” atau “sangat buruk.”)


(Dia kan gadis! Jangan bilang “menjijikkan” atau “sangat buruk”!)


(Coba saja makan masakannya sekali, itu lebih mirip senyawa kimia hasil eksperimen.)


(E-eksperimen...? Apa kompornya pernah meledak?)


(Aku pernah dengar soal alarm kebakaran menyala dan mobil pemadam datang karena ikan sanma-nya mengeluarkan asap.)


(Apa dia memanggang sanma di ruangan tertutup atau apa?)


(Nggak, cuma pakai pemanggang ikan biasa. Oh, ngomong-ngomong, ada kejadian lain juga...)


Sepertinya masih ada banyak cerita horor yang bisa diungkap, tapi Reira, yang tampak sangat sedih, memotong percakapan mereka.


“Aku... aku juga ingin bisa memperbaikinya, lho.”


Dia berpaling, bibirnya yang mungil bergerak-gerak kesal. Momen seperti ini menunjukkan bahwa di balik semuanya, Reira tetaplah seorang gadis enam belas tahun biasa. Sama seperti Tenma, dia juga mengalami perasaan suka, marah, dan sedih seperti manusia normal.


“Um... tahu nggak, belajar dari buku bagus sih, tapi kenapa nggak tanya ibumu kalau nggak ngerti?”


Alasan Tenma mengucapkan hal itu adalah karena dia melihat bekal makanan Reira. Di dalamnya ada potongan ikan saury yang tampaknya dimasak dengan gaya Kyoto, kacang hijau yang terlihat segar, dan dadar gulung dengan lobak parut yang disajikan dengan sangat rapi. Bahkan dibandingkan dengan bekalnya sendiri, bekal Reira jauh lebih beragam dan membuatnya kagum.


“Oh, ini... bukan buatan ibuku. Sebenarnya... bagaimana ya mengatakannya...” Reira tampak ragu-ragu, seolah ada sesuatu yang sulit dia katakan, sambil memalingkan pandangannya.


“Ibuku juga tidak pandai memasak. Tidak ada yang bisa menyaingi dia... maksudku, lebih tepatnya, ya, begitulah.”


Tenma akhirnya mengerti. Kadang-kadang, genetik bisa bekerja dengan cara yang misterius dan kejam pada manusia.


“Jadi, bekal ini?”


“Itu buatan Okita-san, kepala pelayan kami. Dia bisa melakukan apa saja.”


Kata-kata yang terdengar mewah itu meluncur dari mulutnya, tapi Tenma tidak terlalu kaget. Dari penampilan dan perilakunya, Reira memang pantas disebut "putri bangsawan." Jadi, memiliki satu atau dua pelayan tidak terlalu mengejutkan.


Bekal Reira berukuran cukup besar, mungkin seperti bekal yang dibawa oleh pegawai kantoran, dan bahkan terdiri dari dua tingkat. Meski tubuhnya kurus, Reira tampaknya tipe yang makan cukup banyak.


“Sekali saja... aku ingin bisa membuat bekal sendiri seperti ini.”


Tatapan Reira tampak seperti anak kecil yang mengintip ke dalam etalase toko musik, menatap trumpet yang diimpikannya. Tatapan itu membuat Tenma merasa tertekan oleh rasa hormat yang tak terduga.


“Masakanku biasa saja, kok. Rasa juga standar banget...”


Meskipun Tenma berkata jujur, Reira tetap menggelengkan kepala, seolah mengagumi makanannya dengan penuh iri. Karena itu, dengan rasa tak berdaya, dia pun menawarkan,


“Kalau kamu nggak percaya, coba aja. Nih.”


“Benarkah?”


“Kalau kamu mau, silakan saja.”


“Terima kasih! Kalau begitu... aku mau tamagoyaki-nya.”


“Silakan.”


Tenma menyerahkan bekalnya kepada Reira, berharap dia akan mengambilnya dengan santai. Tapi, yang terjadi malah di luar dugaan. 


“...”


“...?”


Ada keheningan yang aneh, setidaknya bagi Tenma, yang berlangsung sekitar tiga detik.


Berapa kali pun Tenma berkedip, Reira tidak akan mengangkat sumpitnya. Sebaliknya, dia tetap membiarkan kedua tangannya bebas, hanya mendekatkan lehernya ke arah Tenma. Jangan-jangan ini... Tanpa memperdulikan Tenma yang terkejut, dia mengucapkan "Aah," dengan mulutnya yang terlihat sehat, menyelesaikan pose penerimaan.


Dalam situasi yang hanya bisa ditemui di dalam karya fiksi, Tenma hampir mencapai batas kebingungannya. Namun, ada satu perempuan yang menderita jauh lebih besar, hatinya seolah tertusuk.


“Buhuh!”  


Suara seperti orang muntah darah itu mengalun, dan ketika melihat, Rinka yang menutupi wajahnya bergetar gemetar. Kenapa dia sampai terharu seperti itu? Ini bukan konsep yang dimaksud, pikir Tenma. Seharusnya, sebagai penasihat, dia bisa mengingatkan dengan tenang. Namun, pada kenyataannya, sikap Reira itu terlalu menggoda.


“Hai-hai, ini tamagoyaki (telur dadar) ya!”  


Dia langsung memasukkan sesuatu yang diinginkan ke dalam mulutnya (tanpa unsur cabul sedikit pun). Yang menakutkan adalah, sangat tidak mungkin bahwa dia menyadari apa yang dia lakukan. Artinya, ini adalah bakat alami. Atau mungkin sihir. Seorang malaikat yang tanpa sadar memperdaya laki-laki.


“Hmm, hmm, seperti yang aku duga. Sangat lezat!”  


“Ahahaha... Bagus kalau begitu.”  


Setelah selesai mengunyah, Reira memuji dengan tulus, tetapi Tenma tidak bisa merasa senang dengan tulus.


“Laki-laki yang lembut, keren, dan pandai memasak seperti kamu pasti sangat populer, kan, Yashiro-kun?”  


“Sayangnya, tidak sama sekali.”  


“Eh! Benarkah? Apakah kamu pernah dikatakan suka oleh seseorang?”  


“Tidak pernah. Bahkan aku belum pernah punya pacar.”  


“Eh~? Sangat mengejutkan. Oh, kalau begitu, aku akan mendaftar sebagai orang pertama~... hanya bercanda.”  


“...Jangan sekali pun bercanda tentang hal seperti itu.”  


Bahaya. Ini berbahaya. Dalam arti tertentu, Rinka telah berperan sebagai penjaga Tenma. Jika dibiarkan, berapa banyak laki-laki yang salah paham yang akan dia ciptakan? Satu atau dua negara bisa dengan mudah terbalik.


“Ngomong-ngomong, aku merasa tidak enak kalau hanya mengambilnya sendiri, jadi sebagai balasan... hei?”  


“Hmm?”  


Ini sepertinya tak terhindarkan. Sekarang, Reira yang menawarkan daishimaki tersenyum manis seperti tumpukan pelukan. Dengan daya tarik yang ingin disimpan selamanya, Tenma terbuai dalam perasaan bahwa ini adalah surga. Dia hampir melupakan semuanya dan terjebak dalam mimpi, tetapi...


"Pak!" Tiba-tiba, seorang perempuan yang melompat dari samping lebih cepat. Ternyata dia bukan tipe yang bersikap rakus. Reira yang tampak terkejut sejenak, segera tersenyum dan berkata, “Bagaimana rasanya?,” “Biasa-biasa saja,” balas Rinka. Interaksi akrab ini adalah hal yang khas antara teman masa kecil.


Rinka, sambil mengunyah, menatap Tenma dengan tatapan curiga. Itu adalah kecaman yang jelas terlihat.


“Bagus, kan? Di depan orang lain, kamu juga dipuji atas bakat yang jarang kamu tunjukkan... bukan?”  


“Ah, hahah... Aku sangat beruntung.”  


Jangan terlalu percaya diri, seolah mendengar suara hatinya. Mengingat tanggung jawabnya, Tenma merasa bahwa dia benar-benar salah posisi duduk. Mengingat kesalahan besar ini, dia kini merasa kesal.


“Rinka-chan, apakah kamu sudah tahu bahwa Yashiro-kun pandai memasak?”  


Mendapatkan ketidakpastian dari Reira, Tenma sedikit merasa gelisah, tetapi Rinka tetap berpura-pura tenang.  


“Ya, kebetulan saja.”  


“Kebetulan, ya?”  


“Banyak hal yang terjadi. Hanya itu saja.”  


Setelah mengatakannya dengan tegas, dia langsung memasukkan sandwich ham ke mulutnya, seolah mengakhiri perbincangan itu, jelas menunjukkan bahwa dia sudah terlatih dalam karakter ini. Tenma ingin menirunya, tetapi...


“Ini adalah contoh klasik bahwa bahkan orang bodoh pun memiliki satu hal yang mereka kuasai.”  


Karena dia menyebutkan sesuatu yang kasar, rasa hormat yang baru muncul itu langsung sirna.  


“Enak sekali kamu bisa bicara begitu... Bukankah kamu tidak berhak untuk mengeluarkan racun itu?”  


“Apa maksudmu?”  


“Siapa yang menyantap makananku dua kali sehari?”  

“Eh!? Siang tadi aku sudah menolak! Tapi kamu yang memaksakan dirimu...”  


Keduanya baru menyadari bahwa mereka secara tidak sengaja terjebak dalam dunia mereka sendiri, dan “Ah” adalah kesadaran yang terlambat.


“Benar-benar akrab, ya kalian berdua... sedikit membuatku cemburu. Hehe.”  


Reira meletakkan tangannya di mulut dan tertawa kecil.  


“Oh, tidak apa-apa. Aku mengerti bahwa kalian tidak sedang berkencan atau apa pun. Tapi meskipun begitu... aku senang. Bisa bersama Rinka-chan lagi, tersenyum. Ketika Rinka-chan terlihat senang, aku juga merasa senang.”  


Terlihat senang. Sekarang, Rinka tampak begitu. Setidaknya dari pandangan Tenma. Dia bahkan merasa bahwa Rinka akan dengan mudah menolak, “Aku sama sekali tidak merasa senang. Justru sangat menjengkelkan.”


Namun, itu tidak terjadi. Ketika mulut Rinka dibuka, “Bukan begitu...” hanya itu yang terucap. Dia segera diam, mulai memutar-mutar poni rambutnya, seolah mencoba menyembunyikan sesuatu.


“Semua ini berkat Yashiro-kun, ya. Terima kasih.”  

“Eh, umm... yah.”  


Tenma bingung bagaimana merespon ucapan terima kasih yang tidak ia ingat. Ketika dia tersenyum canggung,  


“Tsubaki-san, bisakah aku meminta sedikit perhatian?” Suara yang memanggilnya terdengar. Ketika melihat ke arah lantai satu gedung sekolah, ada seorang siswi yang melambai dari jendela. Dia mengenakan dua kepang dan berkacamata, sepertinya kakak kelas.  


“Ya!” jawab Reira dan segera berlari ke arahnya. Setelah berbincang sebentar, “Maaf!”. dia kembali dengan posisi tubuh membungkuk dan telapak tangan bersatu.  


“Tampaknya aku dipanggil oleh anggota OSIS, jadi aku harus pergi.”  


Setelah cepat-cepat membungkus bekal yang baru saja dibukanya, Reira sekali lagi menoleh sebelum pergi.  


“Maaf telah mengundangmu. Aku akan mengganti rugi nanti~”  


Dia melambaikan tangan dengan sedih. Memiliki kepribadian yang sangat teratur. Tenma terus melambai sampai sosoknya tidak terlihat lagi, dan akhirnya dia menyadari.


"...Hah!" Tinggal dua orang yang tersisa. Dalam hal itu, rencana berjalan sesuai, tetapi sikap Menko tidak bagus. Tenma, yang benar-benar melewatkan momen untuk pergi, dengan hati-hati mengamati Rinka.


Di saat itu, Furuuchi Ninzaburo, yang berpikir, dalam posisi yang sangat elegan, seolah-olah ada teks dorongan seperti "Gogogogo..." yang cocok. Seperti yang diperkirakan, sepertinya dia sudah membuat marah Rinka. Maafkan aku, seandainya aku sudah cepat pergi. Haruskah aku meminta maaf atau melarikan diri? Tenma yang bimbang mendengar suara aneh.


Zusu, zuss, zuuu~, suara yang seperti menyedot soba, seperti dengkuran ayah. Suara itu sangat sulit untuk dijelaskan, dan awalnya, aku tidak tahu dari mana asalnya. Namun, seiring suara itu semakin besar, tanpa bisa menolak, aku mengetahui identitasnya.


"Ku, ku, kuk, kuk kuk kuk..."


Sumber suara itu ternyata sangat dekat. Dengan rasa tidak percaya, aku melihat Rinka, yang bergetar seperti mesin bor, dengan satu sudut mulutnya terangkat, tersenyum lebar.


"Eh, eh...?"


"Kufu, hahaha... kukkuk..."


"S-Sumeragi? Kau baik-baik saja? Kepala dan sebagainya?"


"Ahhahaha!"


Sepertinya dia sudah kehilangan kontrol, dan perempuan itu akhirnya menggeram ke langit. Seolah-olah dia adalah ilmuwan gila yang telah menyelesaikan senjata pemusnah massal untuk menghancurkan bumi. Suara tawanya yang murni jahat itu membuat orang-orang yang bermain bulu tangkis berhenti dan mulai membicarakan dengan sangat mencolok.


"Lihat. Sumeragi-san tertawa" 

"Hari ini mungkin akan turun tombak" 

"Hei, kalau didengar, kita akan dipukuli."


Sementara aku serius berpikir apakah harus melapor ke polisi karena minuman jus yang mungkin sudah dicampur obat penambah tenaga, tiba-tiba "Sakit!" terasa sakit sekali saat sesuatu yang kuat memukul punggungku.


"Apa yang kau lakukan dengan wajah suram itu? Ayo, bersenang-senanglah!"


"Bersenang-senang? apaan?"


"Bukankah ini sukses besar?"


"Hah?"

Karena teriakan pertama yang terlalu jahat, aku merasa waspada, tetapi akhirnya aku menyadari. Rinka, yang hampir melompat, bergetar seolah menahan impuls. Pipinya yang bersemu merah karena terlalu bersemangat. Matanya yang terbuka lebar tidak seperti biasanya yang tampak cemberut. Bibirnya yang menggembung.


Sudah jelas bahwa seluruh tubuhnya dikuasai oleh kebahagiaan.


"Ahh~! Sudah bertahun-tahun sejak aku bisa berbicara banyak dengan Reira. Yay!"


"...Begitu banyak? Banyak?"


"Ah~ah. Kandungan Reira di dalam diriku──minyak Tsubaki terisi penuh!"


"Jangan buat zat yang tidak ada di dunia ini."


Standar kepuasanmu terlalu rendah. Apa kau benar-benar baik-baik saja? Aku tahu seharusnya aku mengatakannya, aku seharusnya menyadarkannya.


"Yah... Baguslah, kalau begitu."


Kata-kata selain pengakuan tidak muncul. Kenapa? Karena Rinka tersenyum.

Tentu saja, aku sudah melihatnya tersenyum beberapa kali, tetapi kali ini berbeda dari yang lainnya.


Biasanya, perempuan ini tidak menunjukkan celah sedikit pun, kini memperlihatkan ketidakberdayaan total. Dia melepaskan semua senjata dan pelindungnya, tetapi masih bisa tersenyum dengan tenang. Kenapa dia bisa tersenyum seperti itu?


Aku tidak tahu alasannya. Tidak ada petunjuk. Namun, satu hal yang bisa aku katakan sebagai fakta.


Ketika dia terlihat bahagia, Tenma yang melihatnya juga merasa senang. Aku bisa merasakan kebahagiaannya seolah itu adalah kebahagiaanku sendiri. Aku ingin melihat wajahnya yang seperti itu lebih banyak lagi.


Meja guru matematika Aizawa Makoto benar-benar mencerminkan kepribadiannya.


Tumpukan kertas kerja yang tidak seragam dan buku-buku hardcover berserakan tanpa aturan, ditemani empat cangkir kopi yang menghitam, kemungkinan bekas diminum, semuanya dengan noda lipstik yang tidak ketinggalan.


"Ah, bagus sekali, Yashiro. Selamat ya."


Wali kelas yang duduk di kursinya sambil santai menyilangkan kaki itu terlihat senang. Kakinya yang terbungkus stoking hitam mengintip dari balik rok ketatnya, memberikan kesan yang pas antara bentuk tubuh yang padat dan menggoda.


Meski sejak pagi dipanggil ke ruang guru dan jelas-jelas merasa jengkel, di dalam hati Tenma perlahan muncul kelapangan hati untuk memaafkan, terutama karena ini setidaknya memanjakan mata.


"Bagus atau apalah itu, dari tadi saya sama sekali tidak paham maksud pembicaraannya."


"Oh, maaf. Harus mulai dari mana ya... Memalukan membicarakan urusan pribadi, tapi tahun ini saya dipercaya menjadi pembina OSIS. Nah, bagaimana kalau kamu mencoba jadi petugas urusan umum di sana?"


"…Menurut Anda, saya terlihat seperti tipe orang yang berpikir, ‘Masuk OSIS demi membuat sekolah ini lebih baik!’? Kalau iya, saya sarankan Anda mencoba LASIK."


"Tenang saja, saya tidak berpikir begitu sama sekali. Hanya saja, Tsubaki yang merekomendasikanmu."


"Tsubaki-san?"


Tenma tiba-tiba teringat bahwa beberapa hari lalu, Tsubaki berkata sesuatu seperti, “Saya sedang mencari satu orang lagi untuk membantu OSIS.”


"Rekomendasi? Kenapa saya?"


"Ya, mungkin karena kalian dekat."


"D-De…kat?"


"Bukan begitu? Akhir-akhir ini kalian sering bersama, kan? Saat jam istirahat, misalnya."


Memang benar, dalam beberapa hari terakhir, Tenma sering menghabiskan waktu bersama Reira, bahkan kadang Rinka juga ikut, sehingga mereka bertiga sering bersama. Akibatnya, wajah Souta makin bersinar bahagia, sementara beberapa siswa laki-laki lain, yang sampai menggigit kuku jempolnya karena iri, menatap penuh dendam. Kalau begini terus, dia bisa saja ditusuk dari belakang suatu hari nanti.


"Mungkin ini adalah cara Tsubaki menyampaikan rasa terima kasihnya padamu, jadi terimalah dengan lapang dada."


"Tapi urusan umum itu kan, intinya cuma jadi pesuruh, kan? Apa bagusnya itu disebut tanda terima kasih…"


"Lho, kamu tidak tahu?"


Makoto dengan santai mengeluarkan Marlboro merah dari saku dadanya, mengetukkan ujungnya ke meja.


"Boleh minta satu?"


"Anda tidak serius, kan? Bukannya di sini dilarang merokok?"


"Tentu saya tahu. Hanya bercanda! Hahaha!"


Makoto tertawa riang. Meski sudah mendekati usia 30-an, tidak ada satu pun kerutan di sudut matanya. Kalau dilihat-lihat, dia mungkin termasuk tipe wanita cantik yang mudah mendapatkan pasangan, pikir Tenma, meskipun dia buru-buru menghentikan diri dari pemikiran sok tahu semacam itu.


"Jadi… yang saya tidak tahu itu apa?"


"Oh ya, benar juga. Kamu tidak tahu betapa enaknya posisi urusan umum itu, ya?"


"Enak… maksudnya?"


"Pekerjaannya sedikit, tapi kamu tetap mendapatkan status anggota OSIS, jadi nilai rapormu bisa melesat tanpa usaha keras."


Mungkin itu memang semacam rahasia internal di kalangan guru. Namun, fakta bahwa pembina OSIS dengan santainya membongkar hal itu membuat Tenma khawatir tentang masa depannya.


"Tapi saya tidak sedang mengejar jalur rekomendasi atau semacamnya, 

jadi jujur saja, nilai rapor tidak terlalu penting bagi saya…"


"Ah, jangan bilang begitu. Ini kesempatan bagus, jadi coba saja. Lagi pula, kamu kan tidak ikut kegiatan apa pun, kan?"


"Kenapa tiba-tiba membahas itu…"


"Kamu juga tidak punya hobi tertentu."


"…Kenapa terdengar seperti pernyataan mutlak?"


"Ya, karena dari wajahmu kelihatan sekali kalau kamu tidak punya hobi."


"Itu agak kasar, Anda tahu…"


"Kamu juga tidak punya pacar, kan?"


"…"


Dengan gaya bicara seperti ini, sepertinya Makoto bisa saja dengan santai menambahkan, ‘Wajahmu juga kelihatan seperti masih perjaka.’ Mata Tenma mulai terasa panas.


Seolah menyadari hal itu, Makoto buru-buru berdiri dan berkata,


"Ah, maaf, saya tidak bermaksud mengatakan itu buruk. Maaf ya."

Dia dengan lembut mengusap kepala Tenma. Meskipun belum menikah, ada aura keibuan yang aneh darinya.


"Hanya saja, menurut saya, sayang sekali kalau masa SMA-mu seperti ini. Akan membosankan."


"…Dan solusinya OSIS?"


"Ya. Saya yakin itu bisa jadi kenangan indah. Nikmati masa mudamu! Sekalian cari cinta juga, cinta."


─Masa muda, ya…


Aku sudah sering membayangkannya. Betapa menyenangkan jika aku bisa menyanyikan atau membuat lagu dari imajinasi itu. Namun, sejak aku menyadari bahwa itu adalah sesuatu yang tak bisa kuraih meskipun aku mengulurkan tangan, aku berhenti membayangkannya sama sekali.


"Jangan salah, dulu aku ini nakal, loh,"


"Melihat penampilan Anda, saya rasa itu bukan sesuatu yang perlu Anda rendahkan,"


"Dulu, waktu aku seusia kamu, kelas dua SMA, aku pertama kali beli motor dan keliling ke mana-mana..."


Sambil mendengarkan cerita masa lalu yang mengganggu dari kuping kanan keluar kuping kiri, aku berpikir. Mungkin ini bukan ide buruk. Kalau aku bergabung dengan OSIS, secara alami aku akan punya lebih banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan Reira. Dengan begitu, aku bisa mengatur pertemuan antara dia dan Rinka, dan mungkin memberi mereka waktu berdua.


"Lalu, pas lagi touring, aku kehabisan rokok. Aku mampir ke vending machine, tapi ternyata nggak ada Red Marlboro. Rasanya waktu itu benar-benar menyedihkan, nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sampai-sampai aku pernah telepon produsen buat ngeluh..."



"Baiklah, saya mengerti,"



"Hah?"


"Saya terima tugasnya,"



"Oh! Terima kasih! Kalau gitu, mulai nanti sepulang sekolah, ya."


"... Cepat sekali, ya."


Ini semua demi menyukseskan rencana Rinka. Itu bukti bahwa masa muda dia berjalan dengan lancar. Namun, tentunya Makoto sama sekali tidak tahu misi Tenma ini.

"Tsubaki itu tipe yang lemah kalau ditekan, jadi kamu harus mendekatinya dengan agresif," katanya sambil menepuk pundakku dan mengepalkan tangan untuk menyemangati.


Guru ini, meski penampilannya terlihat sangar, ternyata cukup usil. Secara mengejutkan, aku merasa cukup nyaman dengannya.


"Yang ini, bisa tolong letakkan di rak sebelah sana?"


"Baik, serahkan saja padaku."


Kardus yang kuangkat dengan santai ternyata seberat karung pasir dan langsung terasa di pinggangku. Tapi aku mencoba bersikap biasa saja dan mendorongnya ke rak besi bagian atas tanpa menunjukkan rasa sakit. Di tempat sempit seukuran enam tatami ini, ada semacam aura magis yang membuatku ingin terlihat keren.


"Maaf ya, langsung merepotkanmu seperti ini,"


"Tidak masalah, kok."


Untuk pertama kalinya, aku melangkah masuk ke ruang arsip bahasa Jepang. Bau kayu lembap memenuhi ruangan, jadi aku mulai dengan membuka ventilasi (meskipun jendelanya cuma satu, jadi tak terlalu membantu).


Setelah itu, aku sibuk berjuang melawan buku-buku tebal sebesar kamus Kōjien selama hampir satu jam. Pekerjaan ini membosankan, melelahkan, dan kalau bisa, aku tak akan melakukannya meskipun dibayar.


"Sepertinya sudah cukup rapi. Istirahat dulu, yuk?"


"Iya, aku juga sudah lelah."


Aku duduk di kursi lipat besi yang sudah mulai berkarat dan menghela napas panjang. Nafas kami berdua terdengar serempak, lalu tanpa sadar kami saling tersenyum.


Rambutnya memantulkan sinar matahari sore, menghasilkan gradasi warna emas dan merah. Kehadiran Reira seolah mengubah semuanya menjadi lebih berwarna. Ruangan usang ini, yang awalnya terasa monokrom, seakan-akan dipenuhi kehidupan.


Lampu neon yang hampir mati, jam dinding berdebu, hingga lantai yang warnanya memudar karena wax-nya sudah terkikis. Semua itu terasa seperti bagian dari latar yang dirancang dengan sempurna.


Aku merasa seperti tenggelam dalam dunia film. Jika benar, maka pemeran utamanya pasti Reira, dengan peran sebagai seorang gadis yang sangat mencintai sastra Jepang. Tanpa ada plot twist yang aneh, aku membayangkannya begitu saja.


"Ada apa?"

"Hah?"


"Kamu sepertinya sedang menatap wajahku, ya?"


"..."


Dia mengatakannya dengan tenang. Aku bahkan tak sadar sudah berapa lama aku melakukannya, tapi satu hal yang jelas—aku merasa telah melakukan hal yang sangat memalukan. Aku sungguh ingin lenyap saat itu juga.


"Aku juga terus menatap wajah Yashiro-kun, jadi kita impas, ya."


Reira menepuk kepalanya sendiri, lalu tertawa kecil seperti dedaunan yang berbisik diterpa angin. Dia benar-benar sedang menatapku. Mata birunya yang begitu jernih dan lurus memiliki daya tarik yang begitu kuat sehingga aku tak bisa mengalihkan pandangan.



Namun, keduanya tidak mengucapkan sepatah kata pun. Keheningan yang terasa seolah waktu berhenti mulai menyelimuti mereka, memberikan sensasi terpisah dari dunia nyata yang semakin kuat.


Rasa nyaman yang luar biasa ini hampir membuat Tenma larut dalam pikirannya sendiri.


"…Hm?"


Tiba-tiba, sebuah melodi terdengar dari luar jendela. Awalnya samar, lalu perlahan semakin jelas. Lagu itu adalah versi aransemen rock dari salah satu lagu yang belakangan sering terdengar di iklan televisi.


"Sepertinya itu latihan dari klub musik, ya."


"Oh iya, ngomong-ngomong… bukankah Sumeragi juga anggota klub musik?"


"Iya. Mungkin saja yang memainkan ini adalah Rinka-chan."


"Hahaha..."


Sungguh kebetulan yang terlalu sempurna, sampai-sampai terasa seperti sedang diawasi. Benar, aku tidak boleh melupakan tujuanku yang sebenarnya. Seorang rakyat biasa seperti Tenma bisa berada di sini hanya karena adanya Rinka.

"Kamu tahu nggak? Rinka-chan nggak cuma main gitar, dia juga bisa memainkan berbagai alat musik lainnya. Bass, drum… keyboard. Bahkan, dia yang membuat lagu-lagunya."


"Semua dilakukan sendiri? Hebat sekali."


"Tapi, ada satu hal yang dia serahkan ke orang lain, yaitu menulis lirik."


"…Oh, begitu."


"Dia sering bilang kalau dia merasa menulis lirik itu bukan keahliannya… Eh, kenapa?"


"Nggak, nggak ada apa-apa!"


Tenma tahu alasannya. Ini bukan soal cocok atau tidak cocok. Rinka mungkin bisa dengan mudah menciptakan satu atau dua lirik, tapi dia cukup sadar diri bahwa hasilnya mungkin terlalu berbeda dari citra dirinya—terlalu seperti cerita dongeng.


"Dari SD sampai SMP, kami sebenarnya belajar di tempat kursus piano yang sama."


"Sembilan tahun... Pantas saja. Kalau dipikir-pikir, memang masuk akal."


"Masuk akal kenapa?"

"Kamu terlihat cocok sekali. Piano itu seperti gambaran sempurna untuk Tsubaki-san."


"Begitukah? Terima kasih."


Menurut Tenma, sebenarnya Reira lebih cocok dengan grand piano hitam. Suasana lembut dari musik klasik tampak lebih serasi dengan dirinya.


"Tapi aku sendiri hanya terus belajar karena kebetulan saja, jadi nggak pernah benar-benar mahir. Yang luar biasa itu Rinka-chan. Dia sering jadi langganan juara di kompetisi besar. Mungkin pengaruh dari ibunya juga kuat."


"Ibunya… Sumeragi?"


"Iya, kabarnya beliau adalah pianis terkenal. Sejak remaja, beliau sudah tampil di luar negeri, nggak cuma bermain, tapi juga menciptakan musik. Dan, sama seperti Rinka-chan, beliau juga sangat cantik. Aku sendiri hanya pernah bertemu beberapa kali."


"Begitu, ya."


Saat mendengar pujian itu mengalir begitu lancar, sebuah pemikiran melintas di kepala Tenma.


"Aku nggak tahu."


"Hah?"


"Dia sama sekali nggak pernah cerita soal itu."


Kalau dipikir-pikir, hampir semua hal yang Tenma ketahui tentang Rinka berasal dari cerita orang lain.


Tentang bagaimana dia adalah pemimpin band dengan banyak penggemar fanatik, dan bagaimana dia bersama Reira membagi popularitas di sekolah—itu semua hanya kabar angin. Bukan sesuatu yang dia dengar langsung dari Rinka sendiri.


Bahkan fakta bahwa Rinka punya seratus hobi yang berbeda dan perasaan cinta terhadap Reira pun diketahuinya secara kebetulan, bukan karena Rinka sengaja mengungkapkannya. Jadi, itu tidak benar-benar terhitung.


"Ya, wajar saja dia nggak cerita. Aku rasa dia juga belum terlalu membuka diri."


Tenma mencoba menutupi rasa yang mulai muncul dengan tawa. Tapi kenapa? Ada sedikit rasa sepi yang muncul di hatinya.


"Menurutku, dia sudah cukup membuka dirinya."


Reira, dengan kelembutannya, menerima perkataan Tenma yang sedikit murung itu.

"Rinka-chan itu sebenarnya cukup peduli dengan pandangan dan citra orang di sekitarnya. Tapi… saat bersama Yashiro-kun, sepertinya dia lebih banyak menunjukkan sisi aslinya."


Mungkin itu hanya karena tidak ada alasan untuk menyembunyikannya. Karena Tenma sudah mengetahui sisi asli Rinka. Tidak ada makna khusus… seharusnya begitu. Namun, ada bagian dari dirinya yang tetap bertanya-tanya, "Bagaimana kalau sebenarnya…?"


"Seharusnya dia bisa lebih banyak menunjukkan dirinya yang sebenarnya kepada orang lain," gumam Tenma.


Dari hari pertama mereka saling bertukar kata, dia terus merasa penasaran. Rinka selalu berusaha menjadi sempurna karena itulah yang diharapkan orang-orang darinya. Dalam artian tertentu, itu adalah bentuk pengorbanan tertinggi demi orang lain. Tapi, bisakah seseorang benar-benar hidup dengan cara yang begitu mengekang?


"Dia tidak harus selalu terlihat keren. Tidak masalah jika kadang terlihat lemah," lanjut Tenma.


Suara alat musik yang tadi terdengar perlahan menghilang, meninggalkan hanya suara jarum jam yang berdetak pelan.


"Kamu benar-benar luar biasa, Yashiro-kun," ujar Reira sambil berdiri perlahan, matanya menatap jauh ke arah langit sore.


"Luar biasa, bagaimana maksudnya?" tanya Tenma, bingung.


"Baru sebentar kenal, tapi kamu sudah begitu memahami Rinka-chan. Mengatakan dia tidak harus selalu terlihat keren… Tidak ada orang lain yang pernah mengatakan hal itu padanya."


Kalimat itu mengejutkan Tenma. Jika Reira, yang tampaknya paling memahami Rinka, berkata demikian, maka mungkin dia sendiri juga berpikir hal yang sama.


"Kalau begitu, kenapa tidak kamu saja yang memberitahunya?"


"Hah?"


"Katakan padanya bahwa dia tidak perlu terlalu memaksakan diri untuk terlihat sempurna."


Setidaknya, Tenma merasa itu akan lebih efektif jika disampaikan oleh Reira daripada oleh dirinya. Namun, Reira hanya menggelengkan kepala dengan ekspresi ragu.


"Rasanya sulit."


"Kenapa?"


"Karena Rinka-chan adalah pahlawan bagiku."

"…?"


Reira menarik napas dalam-dalam, lalu menutup matanya sejenak. Tenma hanya bisa menunggu kelanjutan kata-katanya.


"Ini cerita lama sekali, tapi…"


Ketika Reira membuka matanya kembali, ada kegetiran yang tidak biasa terpancar. Mata biru lautnya seolah menatap ke kejauhan, ke masa lalu yang kelam.


"Dulu… ada masa di mana aku tidak bisa pergi ke sekolah."


"Itu…"


"Aku, yah… bisa dibilang tidak masuk sekolah. Istilahnya, 'tidak bersekolah,' begitu."


Tenma terkejut. Bukan hanya karena kata-kata itu begitu kontras dengan gambaran Reira yang ceria dan penuh semangat, tetapi juga karena pengakuan itu datang begitu tiba-tiba.


"Secara mental, aku benar-benar terpuruk. Bahkan keluar dari kamar pun sulit bagiku."


Itu jelas merupakan masa lalu yang menyakitkan, tetapi Reira menceritakannya tanpa terlihat tertekan.


"Kamu tahu dari rambut dan mataku, kan? Aku memiliki darah campuran," lanjutnya, memainkan rambut pirangnya yang tergerai lembut.


"Ibuku orang Rusia. Tapi anehnya, meskipun aku lahir dan besar di Jepang, tidak bisa berbicara bahasa Rusia, aku tetap terlihat begini."


‘Terlihat begini’—ungkapan yang mungkin tidak akan pernah terlintas di benak Tenma. Dari cara Reira mengatakannya, dia bisa merasakan bahwa penampilannya ini bukanlah sesuatu yang selalu membawa kenangan indah.


"Karena itu, aku sering dilihat dengan tatapan aneh atau bahkan diejek. Orang sering mengatakan penampilan adalah segalanya, tapi itu bisa menjadi hal positif maupun negatif. Itu cerita yang sering terjadi, ya. Tapi mungkin aku terlalu serius menanggapinya. Tatapan itu membuatku sesak setiap kali keluar rumah… Aku lemah, ya?"


Dia tertawa kecil seperti anak kucing, namun hati Tenma terasa nyeri. Bagi Tenma, itu bukanlah sesuatu yang bisa disebut sebagai "cerita biasa."


"Kamu tidak lemah. Dan kamu tidak salah sama sekali, Tsubaki-san."


"Terima kasih."


Tapi kenyataannya, Tenma pun menganggap rambut pirang dan mata birunya unik. Menyangkalnya sekarang rasanya seperti kebohongan.


"Di saat seperti itu, Rinka-chan datang dan membawaku keluar."


Kalimat itu membuat Tenma mengerti makna dari kata-kata Reira sebelumnya bahwa Rinka adalah pahlawannya.


"Kami memang sering bermain bersama karena orang tua kami berteman, tetapi sejak aku mulai menutup diri, Rinka-chan hampir setiap hari datang untuk menemuiku. Dia memberiku semangat."


Tenma akhirnya paham. Reira bisa menceritakan masa lalu itu tanpa rasa sakit karena bagi dirinya, itu sudah bukan tragedi lagi. Itu adalah kisah heroik tentang bagaimana dia diselamatkan dari kegelapan.


"Setelah aku kembali ke sekolah, dia tetap menjagaku. Sampai sekarang pun, dia terus melindungiku. Rinka-chan adalah penyelamatku. Dia selalu keren, seperti pahlawan keadilan dan tokoh utama."


Tidak mungkin untuk menertawakannya sebagai sesuatu yang berlebihan. Mata Reira bersinar seperti dihiasi bintang-bintang, dan tidak ada keraguan dalam perasaannya itu.

"Orang-orang sering salah paham, tapi Rinka-chan itu sebenarnya sangat baik hati."


"Itu… aku juga agak bisa merasakannya."


"Aku tahu Yashiro-kun pasti bisa melihat itu," ujar Reira dengan senyum cerah yang menunjukkan betapa bahagianya dia mendengar orang lain memuji sahabatnya.


"Kalau aku bisa seperti sekarang, itu semua berkat Rinka-chan. Dia selalu kuat dan bisa diandalkan, jadi aku bisa tetap tersenyum seperti ini. Dan karena itu…"


"Kamu tidak bisa menyangkal cara hidupnya, ya?"


Reira mengangguk dengan sedikit kekecewaan, tetapi dia segera mengembalikan ekspresinya yang ceria.


"Tapi aku merasa lega. Karena sekarang ada seseorang yang memahami Rinka-chan seperti aku, seseorang seperti Yashiro-kun."


"…Memahami, ya."


Tenma merasa seperti tidak ada kemajuan. Setiap kali dia pikir dia memahami Rinka, semuanya terasa lepas begitu saja. Tetapi mungkin itulah yang membuatnya terus terpesona pada Rinka—kedalaman dan misterinya yang tak terjangkau.

"Aku benar-benar senang kamu ada di sini, Yashiro-kun," ujar Reira.


Wajah penuh senyuman yang tak mampu menyembunyikan kebahagiaan. Kuat terasa ikatan persahabatan dengan teman yang tidak ada di sini.


"Mulai sekarang, aku titip Rinka-chan, ya."


Karena itulah, ini terasa begitu kejam.


Kemungkinan bahwa persahabatan itu akan berubah menjadi perasaan cinta hampir mendekati nol. Bahkan jika dibandingkan dengan menjalin hubungan dengan android tanpa emosi sekalipun, peluangnya masih lebih besar.


Kalau awalnya kosong, maka akan selalu ada ruang untuk diisi. Namun, situasi Reira saat ini tidak demikian. Kepercayaannya sebagai teman sudah memenuhi wadah itu hingga melimpah ruah. Tak ada celah sedikit pun untuk sesuatu yang baru masuk.


Tentu saja dia menyadari hal itu. Meski begitu, dia tetap berjuang mati-matian. Mencoba memecahkan kebuntuan, terus berusaha keras. 


Itu adalah jalan penuh duri. Terlalu berat jika dilalui sendirian, dia membutuhkan bantuan seseorang. Dan orang yang mungkin bisa menjadi sosok itu, di dunia ini hanya ada satu.


Apa yang bisa dilakukan Tenma untuknya?

Semalaman dia memikirkannya, hingga demam seolah menguasai tubuhnya, membuatnya benar-benar kurang tidur.


"Hei, dengerin aku nggak sih?"


Saat kepalanya tanpa sadar terangguk-angguk karena kantuk, sebuah cubitan kecil mendarat di pipinya. Dingin dan menusuk.


Rinka, yang mencubit pipi Tenma dengan ibu jari dan telunjuknya, memandanginya dengan mata yang menyipit.


"…Aku dengar, kok, pastinya."


"Kalau dengar, jangan melamun! Bikin aku jadi pengen mencubit."


"Padahal kamu udah mencubit sekarang. Dan lagi, wajah seperti apa yang bikin kamu pengen mencubit?"


"Wajah yang bikin aku pengen mengganggu. Yah, itu sih biasa."


"Kesimpulannya, wajahku ini selalu bikin kamu pengen mengganggu, gitu?"


"Exactly! Selamat!"

Dengan tambahan putaran kecil sebagai penutup, dia akhirnya melepaskan cubitannya.


Saat itu, mereka sedang berada di sebuah restoran keluarga di pinggir jalan raya, waktu sudah sore.


Selain Tenma dan Rinka, ada beberapa pelanggan lain di restoran itu, tetapi tidak terlihat seragam sekolah. Letaknya yang jauh dari stasiun membuat restoran ini jarang dikunjungi siswa.


Tujuan mereka datang ke sini adalah untuk membahas strategi baru ke depannya.


"Jadi, kamu punya rencana baru, ya?"


"Ya, benar."


Rencana "Operasi Pengakuan Cinta pada Reira" yang awalnya berjalan lancar, kini perkembangannya mandek. Alasannya? Hampir seratus persen karena Rinka.


Masalah pertama adalah, dia terlalu takut untuk menghancurkan citra dirinya. Akibatnya, dia enggan mengambil langkah berani di sekolah, sehingga sulit untuk menunjukkan performa yang maksimal. Ini sudah menjadi bagian dari sifatnya, jadi sulit diubah.


Masalah kedua, target yang terlalu rendah. Hanya berbicara dua atau tiga kata dengan Reira, atau sekadar pergi ke toilet bersamanya, sudah cukup membuatnya puas. Jika terus begini, pengakuan cintanya baru akan terjadi setelah proyek renovasi Stasiun Yokohama selesai.


Karena itu, diperlukan terapi kejut. Tenma harus tega dan mengambil langkah yang tegas.


"Denger, ya, Sumeragi. Aku ingin kamu mendengar ini tanpa panik."


"…Hmmm~? Kok jadi serius banget sih?"


Sambil membungkuk sedikit, dia menghisap es kopi dengan santai, tidak sadar apa yang akan terjadi. Tenma mengangkat ponselnya,

"Aku akan mengajak Tsubaki-san ke taman hiburan."


Dia mengatakannya tanpa ragu. Keputusan itu sudah bulat sejak sebelum datang ke sini.


"Ah, iya, taman hiburan. Reira, ya. Bagus… eh, tunggu…"


Rinka terdiam, matanya membelalak. Tenma pun langsung menekan tombol panggil di ponselnya. Sambungan tersambung pada deringan ketiga.


"…Ah, Tsubaki-san? Maaf, tiba-tiba menelepon. Oh, kamu masih di sekolah ya."


"Tunggu, eh, apa yang kamu lakukan…"


"…Iya, benar, besok. Kamu ada waktu? Aku ingin mengajakmu pergi."


"Jangan-jangan… ini nggak mungkin…"


"…Oh, ya? Syukurlah. Kalau begitu, detailnya aku kirim lewat pesan nanti, ya. Sampai jumpa."


Klik. Dalam waktu kurang dari satu menit, pembicaraan berakhir. Rinka mencoba menghentikannya dengan tangan gemetar, tetapi terlambat.


"Hari Sabtu besok, aku berhasil membuat janji dengan Tsubaki-san untuk pergi bersama."


"~!!!"


Rinka memekik sambil membanting badannya ke sofa. Reaksi berlebihan itu lebih mirip adegan komedi daripada sesuatu yang nyata, tetapi itulah ekspresi paling tepat yang bisa dia tunjukkan.

Para wanita paruh baya di meja sebelah yang sedang menikmati teh mereka hanya bisa berkomentar sambil terkekeh, "Ah, anak muda zaman sekarang banyak drama, ya."


"Hah… untung dia nggak nolak. Aku hampir mati deg-degan."


Tenma meminum cola-nya dalam sekali tegukan. Jika Reira menolak, dia mungkin benar-benar mengalami serangan jantung. Namun, Reira menerimanya dengan senyuman.


"Semua keberanianku hari ini sudah habis, deh."


"Kenapa… kamu tahu ini hari libur, kan? Sabtu?!"


"Ya, aku tahu."


"Di hari seperti itu, berdua pergi ke taman hiburan… Itu seperti kencan, kan?"


"Betul, ini memang kencan."


"Kamu pengkhianat! Bukannya kita sudah janji? Kamu nggak akan jatuh cinta sama Reira…"


Rinka menarik napas dalam-dalam, matanya mulai berair. Air mata itu jelas bukan karena marah, melainkan sedih.

Dia terlihat seperti akan menangis kapan saja. Karena tidak tega melihatnya, Tenma pun berkata,


"Tenang, ini semua untukmu dan Tsubaki-san."


"Eh?"


Aku segera membeberkan rencananya.


"Yang kita lakukan tetap sama seperti sebelumnya. Kamu akan bergabung dengan kami secara alami, lalu untuk sementara kita bertiga akan jalan bersama. Nanti, setelah waktunya pas, aku akan menghilang, dan sisanya biar kalian berdua urus sendiri."


Cepat dan tegas. Karena aku yakin, kalau tidak begini, mereka berdua tidak akan pernah bisa saling mendekat.


"A-aku, pergi ke taman bermain... berdua dengan Reira?"


"Bagaimana? Seru banget, kan?"


Mungkin dia membayangkannya dalam pikirannya. Atau, bisa jadi dalam puisinya yang terkenal itu, dia sudah menuliskan skenario ini berulang kali. Gadis itu, yang seolah melampaui jatuh cinta hingga nyaris meleleh, menunjukkan ekspresi wajah yang benar-benar lunak.


"…Hah!"

Namun, dia segera tersadar, menggelengkan kepala keras-keras sambil memukul meja dengan niat penuh protes.


"B-bodoh! Taman bermain itu sama sekali bukan gayaku, tidak cocok dengan citraku, dan aku tidak mungkin menikmatinya. Lagipula, ini terlalu berat untuk permulaan... harusnya kita bertahap, dong!"


Dia terus mengeluh panjang lebar, mencari alasan mengapa itu tidak mungkin dilakukan daripada mengapa itu mungkin. Sangat merepotkan, tapi bagi Tenma, ini semua masih dalam perkiraannya. Karena dia sudah menyiapkan senjata untuk membungkam gadis itu, dia pun berdeham untuk menenangkan suasana.


"Kalau begitu, besok aku akan bersenang-senang dengan Tsubaki-san berdua saja. Tidak masalah, kan?"


"Apa?! Apa maksudmu?!"


"Aku tanya, apakah tidak masalah kalau aku menikmati semuanya tanpa kamu?"


"Menikmati, maksudnya... itu..."


Rinka menelan ludah, seakan sedang mencerna makna dari kata itu.


"Jangan-jangan... kalian akan naik roller coaster?"


"Pasti."

"Makan es krim bareng?"


"Jelas."


"Naik bianglala dan saling menatap?"


"Tentu saja. Bahkan kami akan ke rumah hantu juga."


"Tidak mauuuuuuuuuu!"


Teriakan penuh jiwa itu menggema di restoran keluarga yang damai, membuat suasana menjadi sangat tidak nyaman bagi pelanggan lainnya. Seorang pelayan wanita mendekat dengan ragu-ragu, meminta maaf atas gangguan tersebut.


"Maaf ya, tapi di sini ada pelanggan lain juga..."


Namun, entah bagaimana, sekumpulan wanita paruh baya membela mereka.


"Sudah, Mbak, maklumi saja."

"Anak muda memang begitu."

"Waktu saya muda juga... ah, kenangan..."


Luar biasa bagaimana pengalaman hidup bisa menjadi pelindung. Dengan penuh rasa syukur pada para madam itu, Tenma pun kembali pada Rinka.


"Kalau begitu, kamu juga harus ikut, kan?"


"Kamu benar-benar licik!"


Gadis itu mengerutkan kening seperti menelan pil pahit, merasa harga dirinya terluka. Tapi dia tahu apa yang terjadi—bahwa dia telah terjebak dalam permainan ini. Dan dia juga tahu bahwa dia tidak punya pilihan lain.


"Baiklah! Aku akan melakukannya!"


"Bagus! Itu semangat yang aku mau. Nah, sekarang kita atur rencananya."


"Sebelum itu... boleh aku pesan sesuatu? Berteriak tadi membuatku lapar..."


"Tentu. Asupan gula itu penting."


Setelah itu, mereka berdua memesan parfait yang sama—kebetulan, bukan disengaja. Setelah menghabiskannya, Rinka terus menyantap makanan manis seperti gelato, crepe, kue, dan bahkan zenzai tanpa henti. Rapat mereka untuk membahas rencana berlangsung sampai matahari terbenam.


Sabtu yang cerah, sebuah keberuntungan. Rasanya jarang aku merasa senang pada cuaca ini, kecuali karena cucian kering.

Saat memikirkannya dengan tenang, aku merasa ini benar-benar luar biasa. Di siang hari yang biasanya kuhabiskan dengan menonton TV di rumah, aku malah memilih pakaian, berdandan, dan keluar rumah dengan gugup, berjalan di bawah matahari.


Apakah para remaja yang menjalani masa muda biasa di luar sana merasa seperti ini setiap minggu? Kalau iya, mereka patut diacungi jempol.


Aku melihat jam tangan yang jarang kupakai. Masih ada sekitar lima belas menit sebelum janji temu kami, tapi seperti yang sudah kuduga, dia sudah berada di tempat pertemuan. Di bawah layar besar di sisi gedung stasiun. Meski banyak orang lain juga berkumpul di situ, aku tidak mungkin salah mengenalinya.


"Ah, Yashiro-kun!"


Gadis itu melambaikan tangan dengan ceria, seperti bunga yang mekar sendirian di tengah hutan beton. Pemandangan itu mengingatkanku pada liputan orang-orang yang menyapa keluarga kerajaan. Begitu anggun.


"Maaf ya, aku membuatmu menunggu."


"Tidak apa-apa. Aku juga baru sampai."


Percakapan standar yang mungkin sudah diulang ribuan kali di drama TV.

Ini pertama kalinya aku bertemu Reira di luar sekolah. Dia terlihat lebih menarik perhatian dibandingkan saat di sekolah. Aku juga merasa lebih gugup dari biasanya. Pasti karena pakaian itu.


"Tidak ada yang menggodamu, kan? Atau pasti ada, ya?"


"Kenapa kamu berpikir begitu?"


"Soalnya, Tsubaki-san hari ini sangat cantik."


Sebuah sweater putih berkerut tebal yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Kakaknya, Nagisa, menyebut pakaian seperti itu "sweater khusus wanita berdada besar," dan aku harus mengakui, nama itu sangat tepat. Dipadukan dengan rok merah berpinggang tinggi, panjangnya di atas lutut, serta stoking bercorak kotak-kotak.


Apakah ada pria di dunia ini yang tidak menyukai tampilan seperti itu? Ini benar-benar memikat.


"...Kenapa menatap begitu?"


Menyadari bahwa pandanganku mungkin mulai terlihat tidak sopan, aku menampar kedua pipiku untuk mengusir pikiran aneh. Reira pun tertawa kecil melihatku.


"Yashiro-kun, jangan-jangan kamu seorang playboy?"


"Maksudmu apa?"


"Ah, kalau kamu tidak sadar, lupakan saja."


Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi dia tampak tidak marah. Malah terlihat senang, jadi aku memutuskan untuk tidak membahas lebih jauh.


"Tapi kalau aku dipuji, aku harus berterima kasih pada Okita-san."


"Okita-san? Oh, kepala pelayan itu?"


"Ya. Ketika aku bilang akan keluar bersama Yashiro-kun, Maid-san membantu memilihkan outfit ini untukku. Katanya temanya adalah sesuatu seperti... 'berguling di tanah'? Aku kurang paham dengan istilah fesyen."


"Pelayan itu sepertinya sangat mengerti, ya."


Memang, Tenma hampir merasa 'dibunuh' oleh kombinasi penampilan ini.Apakah ini sesuatu yang patut ia syukuri atau justru disesali masih menjadi dilema, mengingat ia terus bertanya-tanya apakah dirinya pantas untuk berjalan bersebelahan dengan seseorang seperti ini.


Meski begitu, soal pakaiannya sendiri, setidaknya Tenma memastikan ia berpakaian cukup rapi. Sebelum keluar rumah, Rinka yang menelponnya dengan tepat waktu, mengkritik pakaiannya, bahkan memaksanya berkali-kali untuk berganti hingga ia merasa puas.

"Yuk, kita berangkat."


"Ah, ya. Maaf, aku kurang paham soal naik kereta atau berpindah rute."


"Tenang, sudah aku cek semuanya. Tinggal ikut saja."


Meskipun sebenarnya mereka bisa bertemu langsung di lokasi, rencana ini dibuat agar mereka bisa menjemput 'peserta' ketiga di sepanjang perjalanan. Dengan begitu, skenario "bertemu secara kebetulan" bisa lebih meyakinkan.


Stasiun ini cukup besar, dengan banyak pintu masuk dan keluar, sehingga mudah membuat siapa pun tersesat, bahkan yang sudah sering datang sekalipun. Dengan alur manusia yang begitu cepat, wajar kalau Reira tiba-tiba bertabrakan dengan seseorang.


"Ah!" Reira sedikit terhuyung.


"Kau baik-baik saja?" tanya Tenma sambil menopang bahunya.


"Maaf, maaf," balas Reira, namun entah kenapa dia terlihat agak senang.


"Yashiro-kun, kau benar-benar tipe pria populer, ya?"


"Eh? A-aku... maaf!"

Menyadari ia memeluk Reira terlalu erat, Tenma segera mundur dengan wajah memerah.


"Kita harus lebih hati-hati, jangan sampai terpisah. Ini hari libur, banyak orang, dan akhir-akhir ini situasi agak... berbahaya."


Namun, saat ia mencoba menenangkan diri, tubuhnya tiba-tiba terasa panas di satu sisi. Reira kini menempel erat di sisinya.


"Seperti ini, kita tidak akan terpisah, kan? Tidak ada maksud lain, kok," kata Reira dengan senyuman manis.


Sebaliknya, maksud lain justru muncul di benak Tenma. Jarak ini terlalu dekat, terlalu... berbahaya.


"Seperti ini... kita terlihat seperti sedang berkencan, ya," goda Reira dengan senyuman menggoda.


“.........”


...Aku bakal mati, ya?


Tenma merasa kepalanya hampir meledak karena 'energi muda' yang berlebih. Demi keselamatannya, ia mencari-cari sosok target berikutnya. Dan di sana, dekat pintu masuk jalur kereta privat, Rinka berdiri sambil bersandar di dinding, sibuk dengan ponselnya.


"Eh? Oh, tidak mungkin!"


Skenario sempurna. Reira menunjuk ke arah Rinka sebelum Tenma sempat melakukan apa pun.


"Rinka-chan!"


Reira segera berlari ke arahnya, sementara Rinka, dengan ekspresi setengah malas, mengalihkan pandangannya. Namun, sikap ini terlihat sangat alami, seolah ia benar-benar sedang berusaha menghindari sesuatu yang tidak diinginkan.


"Eh... Reira? Kau mengejutkanku."


"Hei, kenapa kau ada di sini?"


"Aku? Cuma jalan-jalan saja. Kau sendiri kenapa di sini?"


"Oh, hari ini aku ada janji keluar bersama Yashiro-kun. Katanya ini untuk berterima kasih karena aku banyak membantunya."


Mendengar itu, Rinka akhirnya melirik Tenma dengan ekspresi datar. Tanpa berkata apa pun, ia hanya mengangkat sedikit alisnya dan kembali mengalihkan pandangan.


"Benar-benar kebetulan, ya? Kan, Yashiro-kun?" Reira berkata dengan ceria.

"A-ah, ya. Betul," balas Tenma dengan senyum canggung.


Ia berusaha keras untuk tetap tenang, meyakinkan dirinya bahwa sejauh ini semua berjalan sesuai rencana. Sekarang tinggal menambahkan Rinka ke dalam kelompok mereka.


"Jadi, Sumeragi, kau ada rencana lain setelah ini?"


"Enggak. Aku sudah selesai belanja, sekarang bebas."


"Kalau begitu... mau ikut jalan-jalan bareng kita?"


Dengan ekspresi malas namun santai, Rinka menjawab, "Ya, boleh. Lagipula aku nggak ada kerjaan. Jadi, mau gimana lagi."


"Bagus. Kalau begitu—"


"Eh?" Reira tiba-tiba mengarahkan pandangannya ke mereka berdua.


"Kalian... ini, pakaiannya... kembar?"


Tenma membeku. Ia menunduk dan melihat dirinya dan Rinka. Keduanya memakai jaket blazer biru gelap, kaus hitam ketat, dan celana panjang hitam. Mereka benar-benar terlihat seperti pasangan dengan pakaian serasi.


"Wah, ternyata Yashiro-kun punya selera yang mirip, ya. Aku terkejut," ujar Reira, tersenyum.


Tenma tidak bisa berkata apa-apa. Bagaimana mungkin tidak mirip, kalau Rinka-lah yang memilih pakaiannya?


"Astaga, kalian benar-benar kelihatan serasi," tambah Reira sambil menatap mereka dengan senyum kecil yang penuh arti.


Tenma mencoba mengendalikan rasa gugupnya. 


"A-aku rasa ini hanya kebetulan saja."


Namun, Rinka, yang terlihat agak terganggu oleh komentar itu, dengan tenang melepas jaketnya, menggantungkan di bahunya, dan berkata, 


"Sudah cukup hangat, jadi aku nggak butuh ini sekarang."


Tindakannya mungkin dimaksudkan untuk mengakhiri kesan "serasi," tetapi justru menarik lebih banyak perhatian. Jaket yang dilepas memperlihatkan leher jenjang dan aksesori di baliknya, serta postur percaya diri yang memancarkan aura kuat.


Reira, yang memperhatikan Rinka dengan mata berbinar, berkata, "Wah, keren sekali! Tapi bukannya jadi dingin kalau lepas jaket begitu?"

Rinka mengibaskan tangannya dengan santai. 


"Aku malah kepanasan. Lagi pula, aku nggak peduli kalau ada yang memperhatikan."


"Kalau begitu, ayo kita berangkat!" seru Tenma, mencoba mengalihkan perhatian dan memulai perjalanan mereka.


Namun, saat mereka mulai berjalan, Reira, dengan kepolosannya yang khas, melontarkan pertanyaan lain. 


"Oh, Rinka-chan, ngomong-ngomong, menurutmu gimana outfit aku hari ini?"


Rinka menoleh sekilas, lalu tanpa ragu menjawab, 


"Itu jelas bukan pilihanmu sendiri, kan?"


Reira tertawa kecil, tidak sedikit pun tersinggung. 


"Kamu benar! Ini Maid-san yang pilihkan. Hebat, ya, bisa langsung tahu!"


"Kelihatan banget," balas Rinka dengan nada santai, lalu berjalan lebih cepat, seolah tidak mau memperpanjang obrolan.

Tenma hanya bisa menarik napas panjang. Dia tahu, perjalanan ini akan menjadi ujian besar bagi ketenangannya.


"Keseharianmu biasanya jauh lebih norak."


"Wow~, pedas sekali. Seperti dugaanku, Yashiro-kun ternyata seorang playboy alami, ya~."


"Bukannya begitu... maksudmu apa sebenarnya, Tsubaki-san?"


Awan mendung mulai menggantung lebih awal, tetapi khawatir pun tak ada gunanya. Situasi tak terduga pasti akan terjadi. Lebih baik memikirkan apa yang harus dilakukan setelah itu terjadi.


Setelah berganti kereta selama sekitar tiga puluh menit, mereka naik bus. Sepanjang perjalanan, Reira cukup sering membuka percakapan sehingga perjalanan tidak terasa membosankan. Akhirnya mereka tiba di sebuah taman hiburan yang mengambil nama dari sebuah surat kabar terkenal.


Begitu melewati gerbang utama, mereka tiba di sebuah alun-alun besar dengan komidi putar di tengahnya. Antrian pengunjung untuk naik wahana itu, keluarga yang beristirahat di bangku, musik latar yang ceria, dan aroma manis dari kudapan yang menguar di udara—semuanya menyatu untuk menciptakan suasana yang benar-benar berbeda dari kehidupan sehari-hari.


"Ramai sekali, ya~!"


Seperti yang diduga, Reira segera beradaptasi dengan suasana itu dan terlihat sangat bersemangat. Sambil memutar tubuhnya, rok pendeknya ikut berayun, menarik perhatian orang-orang di sekitar.


Sementara itu, satu orang lainnya tampaknya sedang menghadapi konflik yang lebih rumit.


"Ada apa, Sumeragi?"


"Ah! Tidak, tidak ada apa-apa..."


Rinka segera mengalihkan pandangannya, mencoba menghindar. Tapi Tenma tidak melewatkan momen itu. Ia melihat dengan jelas bagaimana Rinka memandang ke arah maskot karakter yang dikerumuni oleh anak-anak kecil dengan sorot mata penuh keinginan.


Setelah memahami tingkah laku Rinka dari pengalamannya, Tenma tahu apa artinya itu. Dia sebenarnya ingin bergabung dengan lingkaran itu, tapi sebuah rem di dalam dirinya menahan keinginan itu. Baginya, bersikap kekanak-kanakan seperti itu tidak sesuai dengan citranya.


Harapan orang-orang di sekitarnya dan peran yang mereka tuntut darinya membuatnya tetap bertahan pada posisinya sekarang. Tenma sendiri berpikir, tidak ada yang akan keberatan kalau Rinka mengikuti keinginannya. Kalau ada yang kecewa, biarkan saja mereka kecewa.

"Lalu, kita mau ke mana dulu?"


Reira, yang tampaknya menjadi satu-satunya orang yang menikmati hari itu dengan tulus, menunjuk ke suatu arah.


"Oh, di sana sepertinya ada acara..."


Dia hampir terseret ke arah sumber suara sorakan itu, tetapi... tunggu, tidak semudah itu.


""Rumah Hantu!""


Dua suara yang berusaha menghentikannya itu terdengar bersamaan, menciptakan harmoni yang indah. Tak ada waktu untuk menyalahkan siapa yang bertanggung jawab.


"Bagaimana kalau kita pergi ke... sana?"


"Mau coba pergi ke... sana?"


Keduanya mencoba berpura-pura tetap tenang.


"Rumah hantu?"


Tenma, yang bertindak sebagai 'pembela', mengangkat ponselnya seperti memperlihatkan bukti.


"Iya, benar. Lihat, ini ada di rekomendasi situs resmi."


Ia tidak berbohong. Yang ia sembunyikan hanyalah fakta bahwa rute itu dinamai "Rencana Mendebarkan untuk Meningkatkan Keintiman Pasangan".


"Oh~ begitu ya. Kalau begitu, sepertinya tidak akan mengecewakan. Ayo kita coba!"


Seperti yang diharapkan, tidak ada penolakan. (Tenma bahkan tidak punya rencana cadangan jika ditolak.) Sambil mengikuti Reira yang berlari lebih dulu, ia dan Rinka saling bertukar pandang.

Tahap pertama berhasil dilalui. Tidak lama lagi, peran Tenma akan selesai.


Rencananya adalah seperti ini:

Bagian dalam atraksi rumah hantu adalah labirin yang gelap, yang bahkan tanpa usaha pun mudah membuat orang terpisah. Jika ada seseorang yang dengan sengaja ingin terpisah, tak ada cara untuk mencegahnya.


Setelah mereka terpisah, sisanya mudah. Di taman hiburan yang penuh sesak di hari libur, cukup dengan mematikan ponsel dan memberikan alasan seperti kehabisan baterai, mereka hampir tidak mungkin bisa bertemu lagi. Dengan begitu, rencana kencan dua gadis ini akan sukses. Semua risiko sudah dipikirkan dan diminimalkan dalam perencanaan sehari sebelumnya, sehingga tidak ada celah. Tenma bahkan merasa tidak sabar untuk segera mengeksekusinya.


"Sepertinya tema di sini berubah sesuai musim, ya."


"Iya, keren juga ya."


—Aku tahu itu.


Sekarang sedang musim tema horor Jepang dengan latar belakang kisah O-Kiku-san, lengkap dengan dekorasi yang seram. Tenma yang sudah membaca blog pengalaman para pengunjung sebelumnya bahkan sudah menghafal detail strukturnya.


"Baiklah, tiga orang, ya? Jangan sampai terpisah, ya!"


Ketika petugas yang mengangkat tirai pintu memperingatkan mereka, Tenma hanya bisa meminta maaf dalam hati, "Justru itu yang aku tuju."


Begitu memasuki labirin, udara dingin menyambut mereka—mungkin bagian dari efek seram. Kadang-kadang, angin hangat yang terasa seperti napas menyapu pipi mereka, menambah kesan mendalam.


"Wah, jadi seperti ini ya~. Aku belum pernah ke sini sebelumnya!"

Reira yang memimpin di depan tampak sama sekali tidak takut.


Tenma hanya bisa menahan senyumnya. Saat ini, segalanya berjalan sesuai rencana.


Reira, yang memiliki sensitivitas unik, malah fokus pada detail kecil seperti lentera yang tergantung di langit-langit. 


"Apakah ini menggunakan LED di dalamnya?" tanyanya, membuat Tenma hampir ingin menepuk dahinya karena tidak percaya.


Sementara itu, efek-efek horor seperti suara langkah di atas kepala, boneka mengenakan kimono yang mulai menangis, dan piring-piring jatuh yang pecah bergemuruh, semuanya tidak mengganggu mereka sama sekali.


"Apa ini yang tadi disebutkan di pintu masuk? Batu nisan?" ujar Reira ketika mereka tiba di tengah labirin, di mana cahaya lampu berwarna merah menerangi sebuah batu nisan yang penuh dengan tulisan menyeramkan.


"Apa ya? Aku sama sekali nggak bisa baca tulisan ini," kata Reira, tampak serius ingin memecahkan teka-teki itu.


Inilah momen yang ditunggu-tunggu oleh Tenma.


Saat Reira sibuk memandangi batu nisan, dia membelakangi mereka sepenuhnya. Jika ingin meninggalkannya sekarang, ini adalah waktu yang paling tepat.


Dengan tekad bulat, Tenma bersiap melangkah pergi. Namun, sesuatu di dalam dirinya... ragu-ragu.

Mengapa aku tidak bisa bergerak? Rasanya tubuhku menjadi berat, seakan diselimuti roh gentayangan. Untuk pertama kalinya sejak tiba di tempat ini, aku merasakan sensasi dingin menusuk. Namun, yang menahan langkahku bukanlah entitas supernatural.


“...Apa yang kau lakukan, sih?”


Yang menarik ujung bajuku adalah seorang perempuan tinggi. Aku tidak sempat memperhatikan ke belakang, jadi tidak tahu sejak kapan dia seperti ini. Namun, justru itulah yang membuat situasi ini sedikit menyeramkan.


“…”


“Hei, ada apa? Ada masalah?”


Rinka dengan wajah muram mengangguk pelan. Kenapa dia tidak bilang dari tadi? Saat aku menatapnya dengan sorot mata penuh tanya, bibirnya akhirnya sedikit bergerak. Setelah memastikan Reira masih sibuk memeriksa tulisan di batu nisan, aku mendekatkan telinga. Tapi kata-kata yang kudengar membuatku tercengang.


“...Tidak bisa.”


“Hah?”


Dan kemudian kalimat berikutnya, yang menjadi masalah besar:

“Jangan tinggalkan aku.”


Aku memeriksa ekspresinya sekali lagi, dan mendapati wajah Rinka benar-benar pucat. Bahkan lebih putih daripada kulit Demon Lord di film horor. Jika diberi cahaya dari bawah, dia pasti bisa membuat siapa pun menjerit hanya dengan berdiri di sana.


Jadi, dia takut?


Aku mencoba menepuk pipinya untuk memastikan, tetapi wajah tanpa ekspresinya tidak berubah. Bahkan, tidak ada reaksi sama sekali. Rinka hanya menahan semua keberanian yang tersisa, meskipun sudah hampir pingsan.


Dia benar-benar ketakutan.


Aku tidak pernah mempertimbangkan kemungkinan ini sebelumnya. Tapi tidak ada waktu untuk menyesalinya sekarang.


“Lepaskan, bodoh!”


Aku mengumpat dalam hati, tapi tangan yang mencengkeram bajuku itu tidak mau melepaskan. Bahkan, kini sudah bertambah menjadi dua tangan. Aku tahu kenapa. Jika aku meninggalkannya di sini, satu-satunya yang bisa dia andalkan hanyalah Reira. Dan dia tidak akan pernah memperlihatkan sisi lemah seperti ini di depan Reira.


Rencana awal sudah hancur.


Sementara aku mencoba memikirkan cara untuk menyelesaikan kekacauan ini, Reira tiba-tiba berkata, 


“Oh, aku berhasil membaca tulisannya! Tidak ada yang istimewa, kok.”


Lalu dengan santai, dia mulai berjalan menuju jalur berikutnya.


Ini bukan yang kuharapkan.


Aku, yang sebelumnya cukup bangga dengan rencana cerdas yang kususun, kini hanya bisa mengikuti Reira dari belakang, sambil mengingat kembali bagian selanjutnya dari rute ini.


Rumah hantu ini sebenarnya baru dimulai.


Seperti yang sudah kupelajari sebelumnya, di bagian ini ada dinding dengan celah-celah, dan dari celah-celah itu keluar tangan biru yang melayang ke arah kami.


“Ugh!”


Sebuah teriakan kecil keluar dari seseorang di belakangku. Itu jelas bukan Reira. Dan sebelum aku sempat memikirkan lebih jauh, tiba-tiba aku sendiri yang...

“Gyaaah!?”


Teriakanku menggema di dalam lorong. Penyebabnya? Rinka tiba-tiba memelukku dari belakang, tubuhnya menempel erat ke tubuhku.


Yang tidak kuperkirakan adalah sensasi itu. Dibandingkan dengan Reira, tubuh Rinka jauh lebih ramping dan kecil. Namun justru karena itu, keberadaannya terasa begitu jelas, membuat pikiranku kacau.


── Ini hanya... papan ikan... ini hanya... papan ikan... pikiranku berusaha mencari ketenangan, sambil mengingat wasabi dan kecap asin sebagai distraksi.


“Yashiro-kun? Tadi kau terlihat tenang sekali. Apa sekarang jadi takut?” Reira bertanya sambil melirik ke arahku.


“Ah, eh, ya! Ada horor yang bisa kutangani, dan ada juga yang tidak bisa, hehe…”


“Oh, aku mengerti. Aku juga takut banget sama penjahat di Conan yang pakai kostum hitam ketat itu.”


“Haha, ya, itu memang seram.”


Aku berusaha menyesuaikan langkah agar Reira tidak menyadari kondisi Rinka di belakangku. Namun, saat aku berbicara dengan suara rendah, aku tidak bisa menahan diri untuk memarahi Rinka.

“Hei, Sumeragi… kenapa kau seperti ini?”


“...A-apa?”


“Apa-apanya! Jangan tekan dadamu ke punggungku, dasar aneh!”


Setengah dari kata-kataku adalah keluhan penuh keputusasaan. Dengan enggan, Rinka mundur sedikit, tapi tangannya tetap bertengger di bahuku. Ini jelas belum berakhir.


Selanjutnya adalah neraka.


Setiap kali ada efek kejutan dari rumah hantu ini, Rinka akan memelukku erat-erat, sementara aku sendiri berteriak sekuat tenaga.


Dia, yang biasanya bersikap tenang dan keren, kini menunjukkan sisi yang benar-benar berbeda. Itu membuatku sulit percaya, dan dampaknya pada diriku terlalu besar.


Akhirnya, saat kami hampir mencapai pintu keluar, Reira, yang tampaknya khawatir, mendekat dan menggenggam tanganku dengan lembut.


“Tidak apa-apa. Sebentar lagi kita keluar. Bertahanlah, ya.”

Tangannya terasa hangat, berbeda dengan tubuhku yang penuh keringat dingin. Dan dia bahkan menggenggam tanganku lebih erat, seperti pasangan sejati.


Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi, tapi kini aku berada di antara dua gadis cantik, dengan Reira memimpin di depan, dan Rinka masih menempel erat di belakang.


“Tidak kusangka kamu bisa takut seperti ini,” Reira berkata sambil tersenyum kecil.


“Maaf, aku memang pengecut.”


“Tidak apa-apa. Itu membuatmu terlihat menggemaskan. Aku jadi semakin suka.”



"Lucu sekali..."


Memang, Tenma juga merasa bahwa dia itu kawaii. Tetapi, kalau sampai orang yang dia suka memperlakukannya seperti itu, karakter yang selama ini dia bangun dengan susah payah pasti hancur berkeping-keping. Tak ingin hal itu terjadi, Tenma memilih sepenuhnya menjadi pelindung yang tak terlihat.


"Tapi, kalau kamu takut, kenapa malah masuk ke tempat seperti ini?"


"Ah, ya... itu, ya. Aku terlalu meremehkannya, sih. Maaf, ini sepenuhnya salahku. Jangan sampai kamu jadi merasa buruk gara-gara ini, ya, benar-benar maaf."


Di saat itu juga, samar-samar terdengar suara kecil, "Maaf... dan terima kasih...". Entah itu berasal dari seseorang atau sesuatu yang supernatural, Tenma memutuskan untuk berpura-pura tidak mendengarnya.


Akhirnya, mereka bertiga berhasil keluar bersama dari labirin yang menakutkan.


Di luar, di sebuah bangku panjang, Tenma dan Rinka duduk dengan pundak terkulai. Suasana riang taman bermain seolah sirna oleh suasana suram mereka berdua.


"Ada apa ini, kalian berdua?!"


Melihat mereka begitu murung, Reira terlihat bingung, tak tahu harus berbuat apa.


"Capek, ya? Memang cukup lama juga tadi... Ah, aku akan membelikan kalian minuman!"


Belum sempat mereka mengatakan bahwa itu tidak perlu, Reira sudah berlari ke arah mesin penjual otomatis. Menyadari tak ada gunanya terus meratapi keadaan, Tenma berdiri. Rinka pun tampaknya masih punya sedikit semangat tersisa, karena dia mengangkat wajahnya.


"Haah... sulit, ya. Tidak berjalan sesuai rencana."


"Maaf, aku tahu ini salahku."


"Sudahlah, tidak apa-apa. Yang sudah berlalu biarlah berlalu."


"Sepertinya kita perlu ubah rencana."


"Iya, tapi aku nggak punya plan B. Kalau kita mau pikirin sekarang juga rasanya..."


"Nggak perlu pikirin. Kita jalan saja bertiga seperti biasa. Tanpa trik apa pun."

"Hah?! Itu terlalu menyerah, nggak, sih?"


"Bukan menyerah. Kurasa... sekarang itu yang terbaik."


"Yang terbaik?"


Tidak memahami maksudnya, Tenma menoleh dengan bingung.


"Lebih baik ada seseorang... di antara kita."


Setelah mengucapkan itu, Rinka tampak ragu, mencari kata-kata yang lebih tepat. Lalu, seolah menemukan jawabannya, dia melanjutkan, "Lebih baik ada kamu di antara kita."


"...Begitu, ya."


Meski tidak sepenuhnya yakin apa yang Rinka maksud, jika itu yang menurutnya terbaik, maka Tenma hanya bisa setuju.


"Maaf, sudah menunggu!"


Reira kembali dengan tiga kaleng berwarna oranye di tangannya. Dia menyerahkannya pada Tenma dan Rinka, lalu segera membuka kaleng miliknya.


Tenma mengikuti Reira, membuka kalengnya sambil berkata, "Maaf, ya, jadi nyuruh kamu beli. Berapa ha—BLEKH!!"


Begitu cairannya menyentuh bibirnya, dia langsung memuntahkannya. Rasanya seperti bibir dan lidahnya terbakar. Sambil merintih kesakitan, dia melihat ke kaleng itu.


"Loh, kok gini?!"


Tulisan di kaleng itu terbaca: "Langsung dari sumbernya! Sup kaldu ramen pedas level neraka. (Hati-hati bagi yang sensitif!)"


"APA INI!?"


"Oh, aku beli dari mesin itu. Katanya kolaborasi dengan restoran Cina terkenal."


Reira, tampak santai, meminum kaldu pedas itu dengan lahap. Wajahnya terlihat menikmati, tanpa tanda-tanda kesakitan.


Tenma menatap tak percaya. 


"Serius, apa lidahnya masih hidup?"


Di sisi lain, Rinka menutup mulut, menahan tawa. Tenma mendesak, "Jelaskan, kenapa dia kayak gitu!?"

"Lidah Reira itu... mungkin semua taste bud-nya sudah mati."


"Itu penghinaan, kan?!"


Sementara mereka bertukar sarkasme, Reira menyelesaikan minumannya tanpa berkeringat sedikit pun. Melihat itu, Tenma berpikir, "Mungkin aku memang terlalu meremehkan Reira... atau dia ini manusia super?"


Begitulah, hari yang penuh kekacauan terus berlanjut dengan caranya sendiri.


"Yuk, kita lanjut ke wahana berikutnya. Kalau bisa, yang agak sejuk," 


"Eh, masuk rumah hantu lagi?"


"Tsubaki-san, tolong jangan yang itu," jawabnya memohon.


Setelah itu, sesuai arahan Rinka, mereka bertiga menikmati taman bermain dengan maksimal. Mereka naik roller coaster, makan es krim, menonton pertunjukan singa laut, dan membeli pernak-pernik.


"Benarkah ini sudah cukup?" Pikiran itu muncul lebih dari sekali di kepala Tenma. Namun, akhirnya dia bisa menerima keadaan karena Rinka terlihat sangat menikmati dirinya. Strategi cerdas terkadang bisa menjadi jebakan. Terlalu khawatir hingga lupa menikmati momen akan menjadi hal yang sia-sia.

Tetapi tetap saja, Tenma berpikir dia ingin memberikan setidaknya satu kenangan yang berkesan untuk Rinka. Saat langit dihiasi warna-warna kontras dari matahari terbenam, mereka memutuskan untuk naik bianglala sebagai wahana terakhir. Dia tahu, jika ingin bertindak, sekaranglah saatnya.


Ketika giliran mereka tiba untuk naik, Tenma tiba-tiba berkata, "Maaf, perutku sakit, aku ke toilet dulu," lalu berlari pergi sebelum ada yang sempat menghentikannya. Dia tidak tahu ekspresi seperti apa yang Rinka tunjukkan saat itu, atau apa yang terjadi dalam ruang bianglala di mana mereka hanya berdua. Yang bisa dia lakukan hanyalah membayangkan.


"… Kira-kira dia berhasil gak ya?" gumam Tenma sambil memandang gondola yang bergerak di langit sore, tanpa sadar tersenyum.


Ketika mereka kembali ke stasiun tempat mereka bertemu siang tadi, sebuah mobil mewah berwarna hitam terlihat terparkir di area parkir. Dari kursi pengemudi, turunlah seorang pria yang terlihat seperti seorang kepala pelayan. Pria itu berjalan langsung menuju Reira dan memanggilnya, "Nona muda," membuat Tenma terkejut.


"Terima kasih banyak untuk hari ini," ucap Reira sambil membungkuk sopan. Pria itu pun ikut membungkuk dengan hormat di sampingnya. Tenma hanya bisa menyaksikan lampu belakang mobil itu perlahan menghilang dari pandangan, sambil berpikir, Bagaimana bisa aku satu sekolah dengan gadis seperti dia?

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Matahari telah sepenuhnya tenggelam. Rinka tinggal cukup dekat dari sini, hanya dengan berjalan kaki. Seharusnya mereka bisa langsung berpisah di sini, tetapi membiarkan seorang gadis berjalan sendirian di malam hari rasanya tidak pantas. Maka, Tenma memutuskan untuk mengantarnya.


Sambil berjalan berdampingan, Tenma bertanya, "Berapa nilai untuk hari ini?"


"Hmm…" Rinka merenung sejenak sebelum akhirnya berkata, "75."


"Tinggi banget."


"Penilaian ini dari 100, ya, dengan sistem pengurangan poin," jelasnya.


"Oh ya? Rinciannya gimana?"


"Ketika kamu ketakutan di rumah hantu, itu minus lima."


"Cuma lima? Kamu baik sama dirimu sendiri."


"Dan waktu kita minum dari botol yang sama, itu minus dua puluh."


"… Sebegitu tidak sukanya kamu?"


Yang berarti, selain itu, tidak ada pengurangan poin lainnya. Bagi Tenma, dengan dirinya sebagai pengganggu sepanjang waktu, harusnya nilai hari ini sudah di bawah standar. Tapi, Rinka tetap mempertahankan ekspektasi yang rendah.


"Aku puas, kok. Secara keseluruhan, cukup sukses," katanya sambil tersenyum.


"Kalau begitu, baguslah," jawab Tenma, memilih untuk tidak merusak suasana kemenangan.


Namun, dia menyadari pikirannya sudah melayang ke strategi berikutnya. Beberapa waktu terakhir, dunia Tenma seolah berputar di sekitar Rinka. Gadis itu begitu besar pengaruhnya, seperti matahari dengan planet yang mengorbit di sekelilingnya. Makin dekat, makin terasa panas yang hampir membakar.


Mereka terus berbicara ringan hingga suara keramaian di sekitarnya mulai mereda. Rupanya, mereka sudah sampai di dekat kawasan perumahan. Rinka tiba-tiba berhenti berjalan dan berkata, "Aku mau beli makan malam dulu. Tunggu sebentar."


Dia masuk ke sebuah minimarket terdekat dan kembali dalam waktu kurang dari satu menit dengan kantong plastik cokelat di tangannya. Dari transparansi plastik itu, terlihat isinya adalah bento dan puding.


"Anak SMA lagi masa pertumbuhan makan bento minimarket malam-malam? Serius?" komentar Tenma.


"Apa? Ada masalah?" jawab Rinka santai.

"Masalah sih enggak…"


Tidak cocok. Itulah yang ada di pikiran Tenma. Ibunya adalah seorang pianis terkenal, katanya. Bahkan tanpa informasi itu, aura kelas atas Rinka jelas terasa, sehingga makanan minimarket tampak tidak cocok untuknya.


"Oh iya, orang tuamu nggak bilang apa-apa soal ini?"


"Mereka nggak bilang apa-apa. Mereka nggak ada di sini," jawabnya singkat.


"Eh?"


"Yuk, jalan lagi." Rinka langsung melangkah, meninggalkan Tenma yang terkejut. 


Melihat wajah Tenma yang penuh tanda tanya, Rinka akhirnya menjelaskan, "Ini bukan hal besar."


Dia mulai bercerita dengan nada ringan, tanpa emosi yang berlebihan. Orang tuanya tidak pulang selama lebih dari satu tahun, bahkan dia tidak tahu di negara mana mereka berada saat ini.


"Setahun?" tanya Tenma, terkejut.


Ayahnya adalah seorang direktur dan produser di perusahaan hiburan, sementara ibunya sudah meninggal karena penyakit saat Rinka berumur sepuluh tahun. Sejak itu, ayahnya tetap tidak pernah berubah.


"Dia sama sekali tidak peduli. Anak, atau apapun soal keluarga, dia tidak punya minat," kata Rinka dengan senyum tipis.


Menjawab keraguan Tenma, Rinka mulai berbicara.


"Melakukan apa yang dia suka dengan cara yang dia inginkan. Baginya, itu selalu menjadi prioritas utama. Dia menikahi ibuku hanya karena ingin sekali dia yang menangani musik pengiring untuk film yang diproduksi perusahaannya. Hanya untuk itu dia merayunya, memperlakukannya seperti milik pribadi, dan hanya memanfaatkannya ketika butuh. Bahkan ketika itu membuat ibu kehilangan kebebasannya dan tidak bisa melakukan apa yang diinginkannya."


"..."


"Saat ibuku meninggal, dia sedang berada di luar negeri, syuting sesuatu. Aku yang menelepon untuk memberitahunya. Tapi tahu tidak, apa yang dia katakan waktu itu?"


Tawa keringnya terdengar menyayat hati.


"'Oh, begitu ya.' Itu saja. Seolah aku baru memberitahunya kalau besok akan turun hujan. Tanpa emosi, tanpa ekspresi. Bahkan, dia terdengar seperti kesal karena aku mengganggu dengan berita seperti itu."


Rinka berbicara sambil tersenyum sinis, namun matanya menyimpan dinginnya kebencian.


"Padahal sudah jelas kalau waktu ibu tidak banyak lagi, tapi dia bahkan tidak sekali pun menampakkan wajahnya. Dan meski begitu, ibu tetap mengucapkan bahwa dia ingin bertemu dengannya untuk terakhir kali. Namun, akhirnya dia meninggal sendirian di kamar rumah sakit yang dingin dan sunyi. Kamu pikir, adakah kehidupan yang lebih menyedihkan dari itu?"


Tenma tak bisa berkata-kata. Rasanya seperti ditarik ke dalam lubang gelap tanpa dasar.


"Setelah ibu meninggal, aku tidak tahu harus melakukan apa. Jadi aku hanya bermain piano sepanjang hari. Saat memenangkan penghargaan, para juri memujiku. 'Teknik bermainmu luar biasa,' atau semacamnya. Tapi itu terdengar sangat kosong. Tentu saja aku bisa, aku hanya bermain piano seharian penuh seperti orang bodoh."


Ada kegetiran di wajahnya. Mungkin karena Rinka sendiri sadar bahwa penghargaan itu tidak datang dari orang yang benar-benar ingin dia dengar pujiannya.


"Tahu tidak? Gadis remaja yang membenci ayahnya itu sebenarnya hal yang tertanam secara genetis. Itu untuk mencegah inses. Tapi aku adalah versi ekstrimnya. Karena laki-laki seperti dia ada di dunia ini, wanita baik seperti ibuku harus menderita. Aku tidak bisa menerima itu. Mungkin itulah sebabnya aku merasa tidak bisa melihat pria sebagai objek cinta. Sepertinya aku punya penyakit semacam itu."


Setelah mengeluarkan semuanya, Rinka tetap terlihat tenang. Tapi di mata Tenma, itu lebih menyerupai wajah seseorang yang telah kehilangan rasa sakit.


"Bagaimana kamu bisa bersikap seolah semuanya baik-baik saja?".


"Kenapa? Kamu perhatian sekali."


Rinka mengedipkan mata seolah bercanda, tapi suasana hati Tenma terlalu berat untuk ikut tertawa. Menyadari hal itu, Rinka berubah serius.


"Tapi jangan khawatir," lanjutnya.


"Reira ada di sana untukku."


Hanya dengan mendengar nama itu, Tenma merasa memahami segalanya. Kenapa Rinka bisa menceritakan masa lalu yang seharusnya menyakitkan itu dengan begitu tenang.


"Dalam masa-masa sulit, ketika aku merasa sedih, Reira tidak pernah pergi. Hanya itu yang menjadi penyemangatku. Kalau bukan karena dia, aku pasti sudah hancur sejak lama."


Reira mengatakan bahwa Rinka telah menyelamatkannya, tetapi ternyata itu juga berlaku sebaliknya. Hubungan mereka bukanlah cinta satu arah. Mereka saling membutuhkan untuk bertahan hidup.

‘Mungkin ada yang menyebutnya ketergantungan berlebihan,’ pikir Tenma. ‘Tapi, hubungan itu juga yang membuat mereka bertahan dan tumbuh bersama.’


"Itulah alasannya," kata Rinka tiba-tiba.


"Alasan?"


"Kenapa aku jatuh cinta pada Reira. Aku belum pernah cerita, kan?"


Dia mengatakannya dengan wajah tenang seolah tanpa beban, tetapi jelas bahwa itu hanya kepura-puraan. Tenma tahu dia pasti sedang memaksakan diri.


"Terima kasih sudah menceritakannya," kata Tenma tulus.


"Aku tidak tahu kenapa kamu berterima kasih, tapi anggap saja aku menerimanya. Oh, ini tempatnya."


Rinka berhenti di depan sebuah menara apartemen tinggi. Ketika Tenma mendongak, puncaknya nyaris tidak terlihat, seakan ingin menyentuh bulan.


"Wow, kamu tinggal di tempat seperti ini?"

"Enggak juga. Tempat sebesar ini malah bikin aku merasa terlalu sendiri."


Tenma menatap apartemen itu dengan berbagai pikiran berkecamuk. 


Jendelanya menyala-nyala, tapi dia yakin, jendela kamar Rinka tidak. Tidak ada siapa pun yang menunggu di rumahnya.


"Kalau uangmu banyak, kenapa malah makan bento dari konbini? Kamu bisa makan sushi atau apa pun yang kamu mau."


"Itu caraku membalas dendam. Aku benci harus menggunakan uangnya," jawab Rinka sambil tertawa getir.


Tenma tahu dia harus mengatakan sesuatu untuk menghiburnya. Tapi karena kurangnya kata-kata yang tepat, dia hanya bisa berkata,

"Minggu depan, ya..."


"Apa?"


"Kamu enggak perlu beli roti lagi untuk makan siang. Aku akan buatkan bento untukmu."


"Hah? Kok tiba-tiba?"


"Nggak apa-apa. Kalau kamu mau, aku bisa buatkan setiap hari."


"..."

Tenma merasa sedikit canggung dengan apa yang dia katakan, tapi dia melanjutkan,


"Enggak masalah. Membuat satu atau dua bento enggak bakal terlalu sulit. Jadi, jangan pikirkan itu."


Dia berbalik dengan cepat, merasa malu. Namun, sebelum dia pergi, dia mendengar suara lembut Rinka berkata,


"Terima kasih, ya."


Dia tidak menyadari ada cahaya samar yang bersinar di mata Rinka. Yang dia tahu hanyalah dia ingin membuatkan bento terbaik untuk Rinka minggu depan.

















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !