Kono Sankaku △ Rabukome wa Shiawase ni Naru Gimu ga Aru chap 4

Ndrii
0

Chapter 4

Akhir dari kisah cinta gadis itu




"Apa ya...?"


Mengambil kombu dari air yang hampir mendidih, dia menggantinya dengan sejumput katsuobushi (serutan bonito).


Hari Senin malam, pukul 11. Tanpa sengaja menyadari bahwa stok dashi yang disiapkan sebelumnya hampir habis, dia berusaha menambahkannya. Pada saat itulah kejadian itu terjadi.


Tiba-tiba muncul pertanyaan di benaknya.


"Apa ya ini?"


Dia berbicara pada dirinya sendiri sambil memikirkan tentang dirinya yang dulu dan dirinya yang sekarang.


Beberapa tahun terakhir, dia menjalani hari-hari dengan kebiasaan yang terasa biasa saja. Tidak ada peristiwa yang membuat hatinya berdebar-debar, tidak ada ekspektasi akan hal-hal menyenangkan. Sebaliknya, tidak ada juga pengkhianatan atau kekhawatiran yang mengganggu.


Dunia yang datar, tanpa plus atau minus. Tidak ada ketidakpuasan dengan itu. Menjalani hidup seperti itu adalah cara hidup yang paling mudah, dan dia merasa itu cocok dengan sifatnya.

Dan sekarang, berkat seseorang, dia terpaksa keluar dari kehidupan seperti itu. Sekarang, dia merasa menjalani hari-hari dengan kesadaran yang jelas.


"Aneh, ya, benar-benar."


Setelah mematikan api dan menatap endapan dashi yang tenggelam di dasar panci, pertanyaan lain kembali muncul.


Ternyata, dia tidak terlalu merasa negatif tentang perubahan dirinya. Dia malah merasa tidak buruk dengan itu. Ini sangat aneh bagi Tenma, yang secara alami memiliki sifat negatif.


Orang-orang mungkin menyebutnya vitalitas. Mungkin ada juga yang menyebutnya masa muda yang manis dan asam, tetapi itu pasti salah.

Yang sedang menjalani masa muda itu adalah Rinka, bukan Tenma. Tenma hanya beruntung berada di dekatnya, bisa merasakan sedikit bau sisa dari itu. Dan itu sudah cukup baginya. Untuk Tenma yang tidak memiliki toleransi, itu sudah lebih dari cukup.


"Hari ini, dia bilang... kinpira (acar lobak), enak katanya. Mungkin aku harus masukkan lagi di menu berikutnya."


Tenma, yang kini menjadi lebih positif, merancang menu makan siang dalam pikirannya. Malam itu, dia tidur nyenyak. Dia pikir, seperti biasa, kehidupan yang tenang akan berlanjut besok, dengan dashi yang sudah difermentasi dengan baik di dalam kulkas.

Dia tidak membayangkan bahwa kehidupan yang biasa itu akan berakhir begitu saja.

Dia lupa bahwa sejak cerita dimulai, itu menuju akhir yang tak terhindarkan.


Tenma segera menyadari adanya perubahan.


Saat istirahat setelah jam ketiga.


"Sumeragi, kamu... ini membuatku kesulitan, lho,"


Seorang guru paruh baya yang mengajar etika, entah bernama Yamada atau Hamada, dengan kepala yang mengkilap karena minyak, memberi ceramah dengan suara tidak puas. Banyak siswa yang diam-diam berbicara sambil mengamatinya dari jauh.


Tenma yang baru kembali dari kelas pilihan masuk ke ruang kelas tanpa merasa apa-apa. Namun, begitu melihat pemandangan ini, dia terkejut.


Penyebab kejutannya adalah seorang gadis tinggi dan kurus yang berdiri tegak di tempat duduk Tenma, sementara guru yang sedang memberikan ceramah memegang sebuah buku saku bertuliskan "The Prince" (Buku itu hanya tampak seperti sampul kosong, yang Tenma tahu pasti).


Perasaan terburuk langsung melintas di benaknya. Dengan harapan itu hanya salah paham, dia berjalan menuju teman-temannya.


"Hei, Souta..."

"Hm? Ah, Yashiro-kun,"


Souta, yang sebelumnya mengamati Rinka dari kejauhan, mengangkat bahu dengan senyuman pahit.


"Ada apa dengan itu?"


"Sedikit masalah. Katakan saja... dia sial."


"Dia melakukan sesuatu, ya?"


"Tidak sepenuhnya begitu. Tadi di kelas...,"


Souta melihat guru yang masih terus memberikan ceramah itu, kemudian berbicara pelan.


"Pelajaran etika itu, kan, biasanya cuma guru yang membaca buku teks, dan kita cuma dengar. Jadi, banyak yang main ponsel di bawah meja. Tapi kalau ketahuan, ya dilarang. Nah, sialnya, dia yang jadi sasaran kali ini."


"...?"


"Bukan main ponsel, sih, tapi dia sedang baca buku. Ternyata, guru itu merasa sangat tidak puas dengan isi bukunya, dan kemarahannya berlanjut lebih lama dari biasanya."


Souta sepertinya merasa bosan dengan situasi ini, tetapi dia tidak tampak peduli dan langsung mempersiapkan pelajaran berikutnya. 

Dia berpikir lebih baik tidak terlalu memperhatikan hal itu, agar Rinka tidak merasa tertekan.


Seluruh kelas juga tidak tampak menghakimi Rinka. Bahkan banyak yang merasa kasihan padanya.


"Tapi kan, meskipun nilainya bagus, ini kan nggak bener, ya? Apalagi karena dia tampaknya juga sering dimanja, jadi mungkin merasa lebih dari itu. Banyak sih cewek seperti gitu. Kalau keluar nanti, nggak bisa bertahan, deh."


Bahkan sudah melewati batas dan mulai menyerang kepribadiannya. Aneh bagaimana pria seperti itu bisa tetap ada.


Tenma yang tidak terlibat saja merasa marah, jadi pasti Rinka yang langsung mendapat semprotan itu lebih marah lagi.


"...Hah."


"Hah? Apa itu? Sambil mendengus begitu?"


Rinka, yang mengacak-acak rambut depannya dengan angkuh, menyilangkan tangan dengan pose yang tetap mendominasi, tidak peduli dengan siapa pun, bahkan guru sekalipun. Dia membalas dengan kata-kata tajam, menangkis serangan tersebut.


Namun, itu tidak terjadi seperti yang diharapkan Tenma.


Rinka yang biasanya penuh energi kini hanya menunduk, terdiam. 

Dia terlihat begitu lemah, seolah seluruh semangatnya hilang.


Itu bukan karena hinaan dari guru tersebut. Sebab kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih dalam dari itu.


"Sebagian besar, buku seperti ini bukanlah untuk dibaca oleh pelajar sepertimu. Hasrat... apa ini? Novel yang isinya tentang hubungan antara wanita, itu sangat aneh," ujar pria itu sambil membolak-balik buku yang ada di tangannya, melihatnya dengan ekspresi seperti melihat sampah.


"Ini kotor, kotor! Ini tidak murni! Terlalu tidak produktif!" teriaknya dengan suara keras, seakan ingin seluruh kelas mendengarnya. Alasan mengapa Rinka tampak begitu merana seperti anak anjing yang basah kuyup oleh hujan adalah karena hal itu. Identitasnya hampir dihancurkan.


"...Antara gadis dengan gadis?"

"...Oh, itu yang disebut Yuri?"

"...Aneh, Rinka-sama membaca hal seperti itu? Tak terduga~"


Beberapa gadis mulai berbisik dengan penuh rasa ingin tahu. Teman-teman sekelas lainnya yang diam juga pasti memikirkan hal yang sama dalam hati mereka.


Saat itulah, Tenma menyadari bahwa hal terburuk yang ia perkirakan ternyata terjadi. Singkatnya, Rinka melakukan kesalahan. Sebuah kegagalan yang tak terduga bagi dirinya yang perfeksionis. Bodoh. 

Bahkan Tenma mengetahui bahwa buku itu yang menyebabkan segalanya terbongkar. Kenapa dia tidak lebih waspada? Seharusnya dia bisa mencegah hal seperti ini... Kenapa ini terjadi? Kenapa hal ini harus terjadi?


Dia pasti tidak ingin siapa pun mengetahui hal ini. Dia sudah menyembunyikannya dengan baik. Dan sekarang, semuanya hancur dalam sekejap, hanya karena satu kesalahan kecil. Seperti ini, mungkin tak ada yang bisa dilakukan. Tidak adil, bukan?


Namun, di sisi lain, mungkin ada sesuatu yang perlu dipikirkan. Mungkin sudah ada batas untuk menyembunyikan semuanya. Ini seperti kerusakan akibat usia. Topeng itu, meskipun tak tampak, perlahan-lahan mengalami kerusakan. Pada satu titik, kerusakan itu menjadi celah besar, yang akhirnya memecahkannya. Itu hanya soal waktu, dan pada akhirnya terjadi.


Jadi, meskipun semuanya hancur, seharusnya tidak ada yang bisa disalahkan. Lagipula, Tenma pernah berpikir, bahwa kita tidak perlu hidup dengan membunuh diri kita sendiri untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Tidak perlu menjaga idealisme orang lain. Meskipun cara yang dilakukan cukup keras, mungkin ini saatnya bagi Rinka untuk menunjukkan dirinya yang sebenarnya.


"Aah..."


Ketika dia melirik ke arah Tenma, pandangan mereka saling bertemu. Rinka tersenyum. Seolah dia sedang berkata, "Apa ekspresi bodoh yang kamu tunjukkan?" atau sesuatu yang semacam itu.

Rinka sudah menerima kenyataan ini. Dia tahu bahwa ini adalah hasil dari pilihan yang dia buat. Tapi, dia juga sudah menyerah pada semuanya, dan Tenma bisa merasakannya.


"Eh? Ada apa?"


Seorang gadis yang baru kembali ke kelas tampak bingung melihat suasana yang aneh ini. Tenma melihat sinar yang datang dari dirinya dan merasa tubuhnya hampir runtuh. Tidak bisa, dia tidak bisa membiarkan Reira tahu tentang ini.


Itu yang dia pikirkan, namun tak ada cara untuk menghentikan amukan pria itu.


Rencana pengakuan yang tampaknya berjalan lancar untuk Rinka akhirnya berakhir seperti ini. Tersandung di langkah pertama yang begitu mendasar, semuanya runtuh begitu saja.


Jika orang bertanya, "Lalu apa?" mungkin rencana ini tak pernah terlalu realistis untuk disebut rencana. Ini hanya sebuah kesalahan yang sangat sederhana, dan orang mungkin akan menertawakannya. Tetapi, Tenma melihat semua itu. Dia melihat perempuan yang dengan serius melaksanakan rencana konyol itu. Hanya Tenma yang tahu, dia benar-benar percaya bahwa ini bisa berhasil.


Apakah bisa menertawakannya dengan mudah? Apakah benar untuk menghentikan segalanya di sini?

Pertanyaan yang tidak perlu dipikirkan lagi. Tanpa membuang waktu, dengan tekad yang kuat, tubuh Tenma bergerak.


"Pokoknya, saya akan melaporkan bahwa kamu membawa buku seperti ini ke wali kelas, jadi tolong merenung..."


"Maaf!!"


"Ha?"


Teriakan yang menggelegar di telinga pria itu membuatnya terkejut dan terhuyung. Seberapa lama sudah sejak terakhir kali dia berteriak dengan suara begitu keras? Mungkin ini pertama kalinya. Ini benar-benar mencerminkan betapa hambarnya hidupnya selama ini.


"Apa yang kamu inginkan?"


Pria itu menatap Tenma dengan marah, namun Tenma tidak gentar. Sebaliknya, dia menatap balik dengan tatapan penuh percaya diri.


"Saya sedang memberikan bimbingan yang sangat penting, jadi tolong jangan ganggu!"


"Itu milikku!"


"...Apa?"

Reaksi pria itu tak hanya dia yang terkejut. Seluruh kelas pun terkejut. Tentunya, objek kejutan utama adalah Tenma yang biasanya tidak seperti ini, tiba-tiba ikut campur dengan sangat percaya diri.


"Hasrat perawan. Itu buku favorit saya!"


Tenma dengan bangga mengungkapkan hal yang seharusnya tidak diucapkan dengan keras, tetapi dia berkata dengan begitu percaya diri.


"Saya harus katakan, Yuri itu bukan tidak murni, Sensei!"

Pria itu terkejut dan tidak bisa berkata apa-apa, sementara Tenma merasa senang dan terus menekan.


"Pernahkah kamu benar-benar mencintai seseorang?"


"Hah?"


"Pernahkah kamu merasa tidak bisa jujur di depan orang yang kamu cintai? Pernahkah kamu menangis karena tidak bisa mengungkapkan perasaanmu?"


"Apa yang kamu katakan?"


"Perasaan cinta itu tidak mengenal kasta, tidak ada yang berhak meremehkannya!"


Apakah perlu untuk melakukan ini? Tentu saja agak berlebihan, tetapi tidak ada pilihan lain.


Rinka terlihat terdiam, seolah ingin bertanya, "Kenapa?" Matanya tetap tertuju pada Tenma, namun dia tidak ingin membuatnya terlihat curiga. Tentu, dia harus mencegah agar perhatian tidak beralih kepadanya lagi.


Tenma merasa bahwa dia tidak bisa membiarkan Reira menolak perasaan Rinka. Teriakan hati ini berlanjut sampai pria itu akhirnya meninggalkan mereka, dengan ucapan yang terdengar seperti "Baiklah, cukup…"



Aku merasakan semacam kepuasan yang bahkan aku sendiri sulit mengerti. Sensasi lega yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Kalau aku adalah seekor anjing dengan ekor, mungkin ekorku sudah bergoyang begitu heboh sampai hampir copot.


Seumur hidupku yang selama ini menjalani jalur khas orang pasif, aku tak pernah punya pengalaman membantah atau melawan argumen orang lain, apalagi memenangkan perdebatan. Bahkan mungkin aku tak pernah sekalipun bertengkar serius dengan orang lain.


Sebagai konsekuensinya, beberapa gadis mulai menjaga jarak dariku. Tapi sebaliknya, beberapa anak laki-laki justru mulai mendekat.


"Terima kasih sudah berani bicara."


"Aku juga kesal selama ini."


"Ternyata kau juga bagian dari kami!"


Dengan pengakuan itu, lingkaran pertemananku jadi meluas. Secara keseluruhan, kebahagiaan yang kurasakan malah bertambah.


Dengan senyum kecil yang tersungging tanpa kusadari, aku berjalan menuju ruang guru. Meski berhasil membuat musuh mundur, buku yang disita tetap belum kembali. Kalau buku itu dihancurkan sebagai bahan bacaan berbahaya, sebenarnya aku tidak akan terlalu peduli. Tapi pemiliknya pasti akan sangat sedih.

Mungkin aku bisa meminta maaf dan mencoba membujuk guru untuk mengembalikannya. Aku sudah terbiasa merendahkan diri di depan orang lain, jadi tak ada alasan untuk menolak melakukannya lagi. Tapi begitu tanganku menyentuh pintu ruang guru, aku mendengar suara ceria dari dalam.


"Permisi, saya pergi dulu, ya."


Tepat di saat itu, pintu geser terbuka.


"Ups!"


Aku mendadak bersuara aneh ketika di depanku terlihat rambut pirang yang berkilauan. Hampir tersandung, aku mundur dua atau tiga langkah dengan langkah yang limbung.


"Ah," seru Reira, yang juga tampak terkejut sebentar. Tapi dia segera kembali melihat ke dalam ruangan dan membungkukkan badan dengan sopan. Dengan gerakan pelan agar tidak menimbulkan suara, dia menutup pintu.


Namun, tiba-tiba dia melompat mendekat seperti kelinci, sampai wajahnya hampir menyentuh hidungku.


"Yashiro-kun!"


"A-ada apa?"

Entah kenapa, alis matanya yang rapi, mata yang bersinar-sinar, bibir yang melengkung, dan ekspresinya yang sangat percaya diri membuatku semakin tak nyaman. Aku bahkan tak sanggup menatap wajahnya secara langsung.


Meski tadi aku bilang kebahagiaanku bertambah, ada satu hal yang menjadi sumber kekhawatiranku.


"Eh, Tsubaki-san, aku…"


Apa pun yang orang lain pikirkan tentangku, aku tak peduli. Tapi reaksinya, reaksi Reira, sama sekali bukan sesuatu yang bisa kuabaikan. Bahkan ini menjadi hal yang sangat penting, hingga terasa seperti menyangkut hidup dan mati.


Bagaimana tidak? Kalau Reira merasa jijik terhadapku, itu berarti rencana besar pengakuan cinta Rinka sudah gagal sejak awal. Aku tak mungkin lagi menjadi pendukungnya. Kalau itu terjadi, semua usahaku membela Rinka tadi akan menjadi sia-sia.


Dalam suasana seperti menunggu vonis hukuman mati, aku menahan napas saat melihat Reira mengangkat sesuatu di depanku.


"Jeng-jeng!"


"…Hah?"

Begitu aku menyadari bahwa benda itu adalah sebuah buku saku, pikiranku langsung berhenti bekerja. Sampulnya dihiasi ilustrasi cat air ala Barat. Buku yang dipegangnya itu adalah novel yang rencananya akan aku coba negosiasikan untuk dikembalikan.


"Sudah kuambil lagi."


Dengan buku itu masih dipegangnya, Reira menyembulkan wajah dari baliknya, tampak begitu bangga. Aku jadi semakin bingung.


"Kau… eh? A-apa maksudnya?"


"Silakan diperiksa."


Seperti memberikan penghargaan, dia menyerahkan buku itu padaku. Aku hanya bisa menerimanya.


"Ayo, kita kembali."


Reira berjalan pergi seolah tak ada yang terjadi. Aku buru-buru mengejarnya.


"Tunggu, tunggu! Ini… bagaimana ceritanya?"


"Ah, itu," jawabnya dengan nada santai. "Ternyata mudah sekali untuk memintanya kembali. Sekarang ini, sekolah juga harus berhati-hati. Kalau sampai melakukan penyitaan seperti ini, bisa-bisa kena tegur PTA atau orang tua yang suka protes."


"Hah, masuk akal juga… tapi, kenapa Tsubaki-san yang melakukan ini?"


"Kupikir, kalau aku yang memintanya, buku itu akan lebih mudah dikembalikan. Orang dewasa biasanya cukup percaya padaku."


Dengan wajah sedikit malu, Reira menggaruk pipinya.


Artinya, dia sengaja repot-repot mengambil buku itu demi aku.


"…Terima kasih."


"Aku senang kalau bisa membantu."


"Tapi… bagaimana ya…"


Langkahku semakin melambat, hingga akhirnya aku berhenti.


"Ada apa?"


Reira berbalik menatapku. Tapi aku tak bisa membalas pandangannya. Ketika kulihat ke luar, anak-anak yang sedang istirahat makan siang tampak riang. Anehnya, suasana itu terasa jauh dariku.

"Tentang ini… menurut Tsubaki-san, apa yang kau pikirkan?"


"Tentang apa?"


"Apa menurutmu aneh?"


"Tidak sama sekali."


Dia membantahnya dengan tegas.


"Mungkin aku terkejut, sih."


Dia tersenyum lembut. Meski begitu, aku tak bisa merasakan kelegaan. Aku sudah tahu dari awal bahwa Reira tak akan pernah menilai buruk hobi seseorang.


Namun, itu hanya berarti dia menerima keberadaan laki-laki yang suka pada "Yuri." Itu tidak berarti dia menerima logika bahwa perempuan bisa mencintai sesama perempuan. Apalagi memikirkan dirinya berada dalam hubungan seperti itu. Jalan yang harus Rinka tempuh masih panjang dan penuh rintangan.


Reira mungkin melihat betapa lelahnya aku, karena dia tiba-tiba berkata, "Tidak apa-apa!"


"Sebagai tambahan, aku bisa bilang kalau aku cukup paham tentang cinta semacam itu."


"Maksudmu… cinta sesama perempuan?"


"Benar sekali. Karena… Rinka-chan sering mendapat pengakuan cinta dari adik kelas perempuan. Aku jadi sering mendengar cerita mereka."


"‘Sering’ katanya… Yah, itu memang mungkin."


"Apalagi di Hari Valentine, dia mendapat begitu banyak cokelat."


"Aku bisa membayangkan itu."


Seperti itulah, wanita keren dan cool seperti Rinka akan selalu populer di kalangan sesama perempuan di zaman apa pun.


“Rinka-chan selalu serius. Setiap kali, dia benar-benar memikirkannya, merenung, lalu memberikan jawaban dengan hati-hati. ‘Karena butuh keberanian besar untuk menyatakan perasaan, aku juga harus menanggapinya dengan tulus,’ katanya begitu.”


“……”


“Itu pasti salah satu alasan kenapa banyak orang terpesona olehnya.”

Tenma setuju sepenuhnya. Dia juga termasuk salah satu dari mereka. Tapi, Reira tidak tahu.


—Mengungkapkan perasaan membutuhkan keberanian.


Pernyataan itu sebenarnya ditujukan bukan kepada orang lain, melainkan kepada cerminan dirinya sendiri, kepada Rinka yang terlihat di depan cermin. Sebuah mantra yang mungkin ia ulangi sebagai pengingat agar ia tidak menyerah pada dirinya sendiri yang tidak bisa melakukannya.


Atau mungkin itu adalah sebuah doa. Doa bahwa suatu hari nanti, ia juga bisa melakukannya. Mempercayai “suatu hari nanti” yang waktu kedatangannya tidak pasti dan bahkan mungkin tidak pernah tiba.


“Itulah sebabnya, aku juga—”


“……Eh?”


“Kalau aku ada di posisi yang sama, aku ingin seperti Rinka-chan. Serius mempertimbangkannya, memikirkannya sampai selesai, dan dengan sepenuh hati menerima perasaan itu sebelum mengambil keputusan.”


“Agak keren kan?” katanya sambil tersenyum malu-malu.


Tenma hampir menangis. Kalau Reira benar-benar berpikir seperti itu, itu sudah lebih dari cukup sebagai penyelamat bagi Rinka.


“Ah.”


“Oh, kau sudah datang ya.”


Di balik pintu yang terbuka, seorang wanita dengan gitar di punggungnya terlihat. Melihatnya, Tenma berdiri dari tempat duduknya.


Matahari yang mulai tenggelam mewarnai ruangan dengan warna jingga. Pemandangan ini mengingatkan Tenma pada hari segalanya dimulai. Saat itu, suasana senja seperti ini juga.


Jam pulang sekolah sudah lama berlalu, sehingga tidak ada siswa lain di sekitar. Hanya terdengar samar suara aktivitas klub dari kejauhan.


Begitu menyadari keberadaan Tenma, Rinka terlihat ragu untuk masuk ke kelas. Dengan langkah besar tanpa memandang ke arah Tenma, dia meletakkan tas gitarnya di atas rak belakang.


“……Aku sudah bilang kalau latihan band hari ini akan lama, jadi kau bisa pulang dulu, kan?”


“Aku juga tidak sibuk, jadi aku menunggu sambil membaca ini.”

Melihat buku di tangan Tenma, Rinka mengecilkan bahunya seolah merasa canggung. Sebaliknya, Tenma dengan langkah ringan mendekat.


“Ngomong-ngomong…… aku benar-benar terkesan, atau lebih tepatnya kagum.”


“Apa maksudmu?”


“Buku ini. Hasrat Perawan. Maksudku, The Virgin of Desire. Ceritanya luar biasa. Tadinya aku cuma ingin membaca bagian awal, tapi aku jadi penasaran dengan kelanjutannya sampai tidak bisa berhenti.”


Nada suaranya yang bersemangat jelas menunjukkan alasannya.


“Pada akhirnya, aku membacanya sampai selesai. Yah, aku bisa mengerti kenapa kau menyukainya. Terutama tokoh utamanya—”


“Kenapa?”


“Hah?”


“Kenapa kau melakukan itu?”


Tatapan mereka akhirnya bertemu. Tapi, itu bukan tatapan Rinka yang biasanya.

Biasanya, dia memiliki aura luar biasa dengan tinggi badan dan karisma yang kuat, seakan bisa membuat siapa saja gemetar dengan sepasang mata dinginnya. Namun, wanita seperti itu tidak tampak di mana pun.


Di depannya, Rinka terlihat seperti akan menangis kapan saja, matanya bergetar kecil, dan tubuhnya tampak lemah seperti seseorang yang hampir jatuh.


Rinka kini terlihat seperti gadis biasa yang dengan jujur menunjukkan kelemahannya. Seakan jika disentuh sedikit saja, dia akan hancur berkeping-keping.


“Kenapa,” dia mengulanginya pelan, seperti bicara kepada dirinya sendiri.


“Oh, soal tadi siang, ya? Maaf. Kupikir itu langkah terbaik, tapi…… jangan-jangan—”


“……”


“Itu merepotkanmu? Atau aku sudah terlalu ikut campur?”


Merasa benar-benar bersalah, Tenma meminta maaf dengan tulus. Dia ingin Rinka segera pulih dan kembali menjadi dirinya yang biasa. Namun, hasilnya justru sebaliknya. Rinka berlutut, seakan kehilangan kekuatan, dan akhirnya duduk di lantai.

“Hei! Kau baik-baik saja?”


Tenma hanya bisa duduk di sebelahnya, bingung harus berbuat apa.


“Kenapa, apa kau sakit atau sesuatu?”


“……Tidak. Bukan itu.”


“Kalau begitu ini apa?”


“Bukan itu, bodoh!”


“Ha?”


Rinka tiba-tiba mengangkat wajahnya, merah padam karena marah. Tapi, alih-alih terus memarahi, dia kembali merosot, tubuhnya gemetar.


“Yang merasa terganggu…… bukannya kau, kan?”


“……Aku?”


"Kamu sadar nggak sama yang kamu lakuin? Karena kamu berpidato seheboh itu... sekarang orang-orang salah paham, mengira kamu penggemar berat Hyakuri sampai bawa-bawa novel erotis."

"Erotis, katanya. Ah, yang begituan biasa aja, nggak ngaruh kok. No damage."


"Kenapa kamu sampai sejauh ini buat aku?"


"Karena, ya... hal kayak gitu nggak ada apa-apanya..."


"Untuk aku, yang nggak ada manis-manisnya sama sekali, cuma bisa nyusahin kamu dengan permintaan nggak masuk akal. Kamu nggak punya kewajiban buat nurutin aku, tapi entah kenapa kamu terus aja ada di sini..."


"…Apa maksudnya, kamu ini..."


Sepertinya ini bukan hanya soal kejadian hari ini. Meski tidak diungkapkan, perasaan yang terpendam itu mungkin sudah lama menggelayuti pikirannya.


"Kamu bahkan masakin nasi goreng untukku. Lalu, tanpa diminta, kamu juga bawain bekal makan siang untukku... dan semua itu..."


"Dengar ya, Sumeragi?"


Namun, kali ini Tenma juga ingin menyampaikan sesuatu.


"Aku nggak masakin nasi goreng buat sembarang orang."


"...Apa?"

"Apalagi bekal makan siang. Aku nggak ngelakuin itu untuk siapa saja."


"…"


"Aku bukan anjing yang selalu nurut, juga bukan dewa yang bisa nolongin semua orang. Aku pilih-pilih. Aku lakuin ini karena aku mau. Begitu maksudnya. Jadi, jangan bikin aku harus bilang lebih dari itu. Malu tahu."


"Meski begitu... aku nggak punya apa-apa untuk membalas ke kamu."


"Balas? Apa maksudnya balas?"


Tenma sama sekali tidak pernah mengharapkan imbalan. Tapi mungkin dia paham kalau Sumeragi tidak nyaman berhutang budi pada orang lain. Kalau itu alasannya...


"Tenang aja. Aku sudah dapat banyak banget kok."


"Apa? Aku kan nggak ngasih apa-apa ke kamu."


"Kita sekelas, aku sering banget dipusingin sama kamu, sampai akhirnya aku juga jadi dekat sama Tsubaki-san. Ada banyak hal yang terjadi, dan semua itu..."


"Terus kenapa?"


"Banyak banget hal yang aku dapat dari semua itu. Nggak kelihatan sih, tapi serius, udah lebih dari cukup."

"…"


"Jadi sekarang kita impas. Setuju?"


Tenma berdiri dan tertawa kecil, memandang Sumeragi yang masih duduk di lantai. Sebagai balasan, dia hanya mendengar suara lelah penuh rasa heran, 


"Kamu tuh bener-bener bodoh."


Tangan yang tadi melingkar di bahunya menggenggam lebih erat. Seolah ingin mengusir sisa-sisa rasa ragu, Sumeragi bangkit. Meski bayangan keraguan masih ada, dia tampak menguatkan hati, menggelengkan kepala keras-keras, seakan mencoba membuang semuanya.


Tenma merasa lega. Di antara rambut hitam yang melayang di kedua sisi wajahnya, terlihat cahaya khas di mata Sumeragi telah kembali. Bahkan lebih dari itu—


"Aku sudah memutuskan."


Matanya kini memancarkan tekad yang membara, seolah mampu menandingi sinar matahari senja.


"Akhirnya aku punya keberanian. Terima kasih."


"Eh, tiba-tiba kenapa?"


"Aku akan mengaku pada Reira."


"Hah?!"


"Aku akan mengatakan perasaanku padanya. Tentang apa yang aku rasakan selama ini, alasan aku selalu berada di sisinya... semuanya. Aku akan jujur, tanpa menyembunyikan apapun."


"Tunggu sebentar..."


Sebelum Tenma sempat menghentikannya, Sumeragi sudah dengan cekatan membuka ponselnya.


"Syukurlah. Dia masih di sekolah karena ada kerjaan OSIS. Katanya dia akan ke sini."


"Tunggu, tunggu dulu. Harusnya kamu bisa persiapkan semuanya dulu, kan? Kenapa buru-buru begini..."


Mengira Sumeragi bertindak nekat,Tenma mencoba menghentikannya. Namun,


"Aku nggak bisa terus-terusan melibatkan Yashiro."


Sumeragi tidak tampak putus asa. Sebaliknya, wajahnya penuh tekad dan kesungguhan, seolah ini adalah misinya.

"Melibatkan? Jangan ngomong seperti itu..."


"Karena sekarang..."


Sumeragi menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan semua keberaniannya. Mungkin memang butuh kekuatan besar untuk mengungkapkannya.


"Apa yang kamu lakukan sudah lebih dari cukup, Yashiro."


Dia tersenyum, senyum yang begitu tulus hingga mampu mengusir keraguan dalam hati Tenma.


"Aku nggak akan menyia-nyiakan apa yang kamu lakukan untukku."


Melihat Sumeragi tersenyum seperti itu, Tenma tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kini, tugasnya hanya tinggal satu: mendukungnya sepenuh hati.


"Di novel ini, tokoh utamanya..."


Tenma menatap buku kecil yang ada di tangannya, barang yang jadi penyebab semua ini. Meski kecil dan terlihat tak berbahaya, isinya telah membawa begitu banyak perubahan.


"Dia mirip banget sama kamu. Teguh, jujur, cengeng, tapi nggak pernah menyerah."

"Apa maksudmu..."


"Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat orang nggak bisa mengabaikannya. Itu kamu banget."


"…"


Meski menghadapi berbagai rintangan dan musuh, pada akhirnya tokoh utama dalam novel itu berhasil menemukan kebahagiaannya bersama seseorang yang penting baginya. Sebuah akhir yang indah untuk cerita yang penuh tantangan.


"Makanya..."


Fiksi semacam itu mungkin hanya bisa terjadi dalam cerita. Tapi Tenma tahu lebih baik dari itu. Dia tahu bagaimana perjalanan cinta Rinka, yang lebih mirip kisah dongeng daripada kenyataan, berjalan sejauh ini. Dia juga tahu bahwa Rinka tengah berusaha dengan kekuatannya sendiri untuk meraih akhir bahagia.


"Semoga berhasil. Aku yakin semuanya akan berjalan dengan baik,"


Mungkin, sebuah keajaiban bisa terjadi. Untuk saat ini, bukankah tidak apa-apa untuk percaya?


"Aku baru mengerti satu hal," ujar Tenma.


"Apa itu?" tanya Rinka.


"Alasan kenapa aku ingin mendukungmu. Kenapa aku bertahan sejauh ini."


Melihat Rinka membuatnya sadar, bahwa cinta tidak selalu menyenangkan. Lebih sering, cinta itu menyakitkan. Ada ketakutan akan terluka jika gagal, atau tidak bisa kembali jika melangkah terlalu jauh. Namun, meskipun semua itu, Rinka tidak pernah gentar. Dia tidak pernah berhenti. Meskipun rasa sakit dan keputusasaan terus menghantui, dia terus maju. Itulah intinya.


"Aku selalu iri padamu, Rinka. Sangat iri hingga aku tidak tahan,"


Rinka begitu cemerlang. Begitu cemerlang sehingga mendekatinya membuat Tenma merasa seolah dirinya bisa terbakar habis. Tapi tetap saja, dia tidak bisa berhenti berada di sisinya. Kehidupan Rinka yang kuat namun rapuh itu membakar hati Tenma hingga tak tertahankan.


"…Terima kasih. Untuk semuanya. Terima kasih," ujar Rinka.


"Ya, sama-sama. Jujur saja, terlalu banyak hal yang sudah terjadi. Aku merasa seperti…" balas Tenma, sebelum Rinka memotongnya.


"Kalau begitu, karena ini yang terakhir, aku juga ingin mengatakan sesuatu," katanya.

"Apa?" 


"Mungkin kamu tidak merasa seperti itu, tapi... kamu adalah orang yang sangat baik, Yashiro," 


Meski Rinka masih menatapnya dengan hangat, saat itu juga, ada sesuatu yang menggelitik di dada Tenma.


"Kamu bilang tadi kamu tidak melakukan ini untuk siapa pun, tapi jika kamu bisa melakukan hal ini untuk satu orang saja, itu sudah cukup luar biasa," tambahnya.


Tenma tidak bisa menangkap apa yang Rinka katakan dengan jelas. Alasannya sederhana: itu semua disebabkan oleh kalimat pembuka tadi.


—Karena ini yang terakhir, aku ingin mengatakan ini.


Terakhir? pikirnya. Kenapa aku merasa gelisah seperti ini?


"Jadi, mulai sekarang, bagikan kebaikanmu itu pada orang lain juga, ya?" ucap Rinka dengan wajah puas, seolah sudah tidak ada yang ingin dia katakan lagi.


Lalu, seperti sebuah janji dunia yang tidak bisa diubah, dengan tanpa keraguan, Rinka melanjutkan kata-katanya kepada Tenma yang terdiam di tempat.

"Selamat tinggal," katanya.


Buku yang ada di tangan Tenma dikembalikan kepada pemiliknya, begitu saja. Seperti cerita yang mencapai akhirnya, tanpa basa-basi.


Sejak kapan? Sejak kapan aku mulai hidup dengan berpura-pura? pikir Rinka. Dia mencoba menenangkan hatinya yang gelisah dengan membiarkan pikirannya mengembara sejauh mungkin.


Namun, tidak peduli seberapa jauh dia melangkah ke masa lalu, jawabannya tetap tidak jelas.


Saat belajar piano, sebenarnya dia berlatih mati-matian setiap hari, tetapi kepada orang-orang di sekitarnya dia mengatakan tidak pernah berlatih sama sekali. Dia ingin dianggap sebagai seorang jenius.


Dia segera menyadari bahwa itulah yang diinginkan orang-orang darinya. Entah itu piano, pelajaran, atau olahraga, dia mencoba segalanya, tetapi selalu dengan cara yang sama.


—Sumeragi-san memang cepat sekali menguasai segala hal. Luar biasa. Aku iri sekali.


Setiap kali orang dewasa berkata demikian dengan senyum ramah, dia merasa lega. Syukurlah. Aku berhasil memainkan peran sebagai orang luar biasa yang mereka inginkan.

Namun, di saat yang sama, dia merasa ada lubang di dadanya yang terus membesar.


Pelajaran, olahraga, dan apa pun yang dia lakukan semuanya sama. Dia selalu melampaui orang biasa dalam sekejap mata, tetapi dia tidak pernah menunjukkan minat yang nyata. Dia tidak pernah bergairah. Seperti anak kecil yang sudah muak dengan hidup, dia berusaha tetap dingin.


Dia menjalani hidup dengan sikap acuh tak acuh, mengukir senyum tipis, dan memancarkan aura yang mengintimidasi, seolah-olah untuk menjauhkan orang-orang darinya.


Itulah standar yang dia kejar selama ini. Standar yang ditetapkan oleh harapan orang lain.


Artinya, Rinka tidak pernah benar-benar hidup sesuai keinginannya sendiri. Itu karena dia tidak tahu bagaimana cara hidup seperti itu. Bahkan lebih dari itu, dia takut setengah mati untuk mencobanya.


Hal yang sama berlaku pada hubungannya dengan Reira. Bagi Reira, Rinka adalah pahlawan. Dia harus menjadi pahlawan. Dia tidak boleh menjadi apa pun selain itu.


Oleh karena itu, dia berpikir bahwa perasaannya tidak boleh diungkapkan. Ksatria tidak boleh jatuh cinta pada putri. Tidak ada yang menginginkan kisah cinta tragis semacam itu. Terlebih lagi, jika ksatria itu adalah seorang wanita, hal itu tidak akan diterima.

Untuk alasan itu, dia mulai secara sadar menjaga jarak dari Reira. Dia takut jika terlalu dekat, dia akan kehilangan kendali. Dia takut pada dirinya sendiri, yang bisa saja, secara tidak sadar, memeluk Reira erat-erat dan memohon, Aku ingin terus seperti ini selamanya.


Dia takut pada dirinya sendiri, yang memiliki perasaan sekuat itu. Perasaan yang, dalam pandangannya, tidak normal.


"Ah, aku mengerti sekarang," gumamnya.


Dia akhirnya tahu alasan mengapa hatinya terasa begitu gelisah.


Rinka tengah mencoba, untuk pertama kalinya, hidup sesuai keinginannya sendiri.


Mentari senja yang hampir tenggelam bersinar dengan cahaya yang begitu terang, seolah-olah ingin mengeluarkan seluruh kekuatannya sebelum menghilang. Cahayanya mewarnai papan tulis, meja, dan segala sesuatu di ruangan itu dengan warna yang sama.


Cahaya itu menerangi dunia ini secara merata, tetapi di dalam kelas kosong, itu terasa seperti sorotan lampu panggung yang hanya memusatkan pada dirinya.


Panggung sudah siap. Rinka bersandar pada jendela, menatap jauh ke depan, menunggu aktor lainnya muncul. Dan akhirnya, saat itu tiba.


"Maaf, aku terlambat!"


Langkah kaki di lorong diikuti oleh suara akrab seorang teman dekat. Suara yang biasanya menenangkan hatinya kini membuat dadanya berdebar keras. Ketegangan yang sangat kuat melandanya.


Reira, yang meletakkan tangan di dadanya untuk menenangkan napasnya, tersenyum cerah saat matanya bertemu dengan Rinka. Mata pirusnya bersinar jelas, bahkan tidak kalah dari cahaya matahari terbenam.


"Maaf membuatmu menunggu," 


"Ah, tidak apa-apa. Aku malah senang," 


Dia tertawa kecil, benar-benar terdengar bahagia.


"Rasanya seperti kita kembali ke masa lalu, ya. Dulu kita selalu bersama-sama untuk melakukan segala hal... tapi, entah kenapa, sekarang rasanya berbeda," 


"…Benar juga,".


"Apakah ini yang disebut dewasa? Rasanya sedikit sepi," 



Kata-katanya satu per satu terasa seperti rantai berat yang melilit tubuhku. Bukan rasa bersalah atas semua kebohongan yang selama ini kulakukan. Tapi ketakutan akan berhenti berbohong di sini dan sekarang, mengungkapkan kebenaran apa adanya. Itu membuatku sangat tidak tenang.


"Ah, maaf. Aku malah terus bicara. Bukankah kamu punya sesuatu yang penting untuk disampaikan?"


"Iya."


"Silakan."


Aku bisa merasakan napas Reira hanya beberapa langkah dariku. Dia hanya diam, menunggu dengan sabar kata-kataku. Diam itu menyampaikan cinta dan penerimaan, seolah berkata, "Aku akan menunggu selama apapun kamu butuhkan."


“…………”


Aku sudah memutuskan. Seharusnya tidak ada lagi keraguan. Aku bahkan sudah menyiapkan banyak skenario untuk kata-kataku. Tapi entah kenapa, kata-kata itu tidak mau keluar. Pada saat-saat penting seperti ini, dadaku terasa sesak. Napasku berat, tanganku mulai gemetar. Tidak, aku tidak bisa. Aku memang tidak mampu melakukannya. Ketika kegelapan keputusasaan hampir menelanku, sebuah suara muncul di benakku:


"Pasti akan baik-baik saja. Semangat!"


Suara itu bergema di kepalaku. Bibirku, yang seperti kerang tertutup rapat, perlahan membuka. Bahkan hanya untuk mengucapkan satu nama.


"Yashiro, ya…"


Entah kenapa, hanya nama itu yang bisa kuucapkan. Tapi bukan itu yang kumaksud.


“Menurutmu, bagaimana Yashiro?”


Aku tahu ini salah, tetapi pikiranku terus melayang entah ke mana.


"Yashiro-kun? Menurutku dia orang yang sangat baik. Aku sangat menyukainya."


"Enggak, Reira tidak tahu."


"Eh?"


"Dia sebenarnya sepuluh kali lebih baik dari yang kamu pikirkan."


Aku kehilangan kendali atas diriku sendiri, 

kehilangan semua kendali atas emosi, logika, dan kesadaran.


"Suatu kali... pada hari libur, aku tiba-tiba muncul di rumahnya. Tanpa memberi tahu apa pun. Tapi dia tetap menemaniku. Bahkan mentraktirku makan..."


Perasaan yang selama ini tertahan mulai mengalir deras, tanpa cara untuk menghentikannya.


"Dan… demi nama baiknya, aku harus bilang yang sebenarnya. Buku tadi… kamu tahu kan, buku itu sebenarnya milikku. Dia hanya melindungiku."


"……"


"Aneh, ya? Lucu, kan? Aku dengan penampilan seperti ini, tapi hobi baca novel cinta abad ke-19. Itu sangat tidak cocok denganku. Aku tahu itu. Jadi aku selalu menyembunyikannya… Tapi dia tidak pernah tertawa. Dia tidak pernah mengolok-olokku. Bahkan setelah tahu, dia tidak memandangku dengan cara yang sama seperti orang lain."


Orang seperti itu, orang yang melihatku dengan cara seperti itu, baru pertama kali kutemui.


"Itu sebabnya, itu sebabnya..."


Tapi ini bukan hal yang ingin kukatakan. 

Aku tahu itu. Namun akhirnya, inilah yang terucap.


"Kalau kamu menjalin hubungan dengan dia, Reira juga pasti akan bahagia. Kalian pasangan yang sempurna, benar-benar cocok. Aku jamin… kalau dia, aku bisa menyerahkanmu dengan tenang."


Aku tidak bisa berhenti sampai semua yang tertahan dalam hatiku habis mengalir keluar. Meski aku tahu, ini adalah waktu yang disiapkan untukku menyatakan perasaanku.


Namun aku malah mengatakan hal yang sebaliknya, menghancurkan semuanya dengan tanganku sendiri.


Saat itu juga, aku menyadari sesuatu.


Yang menyerah adalah diriku sendiri.


Aku tahu semuanya tidak akan berjalan baik, tetapi aku berusaha menyembunyikan itu. Semua yang kulakukan selama ini, tidak lebih dari perlawanan sia-sia.


Karena ada seseorang, seseorang yang mempercayaiku, yang mendukungku dengan sepenuh hati.


"Maaf… tiba-tiba mengatakan hal seperti ini. Tapi begitulah kenyataannya."

Aku merasa sangat hina. Apa yang sebenarnya kulakukan? Rasanya aku ingin menghilang sekarang juga, tapi aku tahu aku harus bertahan sampai akhir. Meski hanya dengan sisa-sisa harga diri yang kecil dan hampa.


Saat aku menelan air mata yang hampir tumpah, Reira membuka mulutnya.


“Cerita tadi…”


Dia berbicara perlahan. Biasanya, mendengar cerita seperti ini akan membuat seseorang bingung, atau setidaknya bertanya-tanya. Tapi tidak dengan Reira. Dia mendengarkan dengan serius, sepenuhnya memahami, dan mengangguk berulang kali.


"Itu benar-benar semua yang ingin kamu katakan?"


"…Apa lagi yang harus kukatakan?"


Aku berusaha keras untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa ini sudah cukup. Meski di dalam hati, aku tahu itu tidak benar.


Namun, kata-kata berikutnya dari Reira benar-benar menghantamku.


“Menurutmu, bagaimana perasaanmu terhadap Yashiro-kun?”


"Apa?"


Aku menatapnya bingung, tidak percaya dengan pertanyaannya.


“Aku merasa… kamu lebih cocok dengan Yashiro-kun.”


"Tidak, apa yang kamu katakan?!"


Aku menggeleng keras, mencoba menolak gagasan itu. Tidak, itu tidak mungkin.


"Aku… aku tidak cocok. Hanya kamu. Kamu yang terbaik untuknya. Dia pasti akan berkata begitu. Karena aku selalu memasang wajah masam, tidak bisa bersikap manis, hanya tahu menggigit balik, dan tidak pernah bisa jujur…"


"Aku tahu. Dan aku rasa, Yashiro-kun juga tahu."


"Benar. Itu sebabnya… meskipun begitu, dia selalu ada untukku. Dia selalu bersamaku saat aku merasa sakit. Dia mencoba menghiburku meski caranya canggung… Dia diam dan mendengarkan ceritaku. Satu-satunya orang yang seperti itu sebelumnya, hanya kamu."


Apa yang sedang kukatakan? Ini terdengar seperti…


“Aneh. Aku sudah menjadi gila. Aku membenci laki-laki. Aku benar-benar benci. Tapi kenapa, kenapa ini terjadi?”


Kalimat terakhir yang kulontarkan, dengan sisa perlawanan, jatuh seperti burung merpati yang patah sayapnya.


“Sedikit, aku merasa iri,” ujar Reira sambil tersenyum lembut, senyuman yang tidak bisa dilawan. Jelas ia sudah menerima semuanya.


“Karena ada seseorang seperti Yashiro-kun yang dipikirkan Rinka-chan sedalam ini.”


Jika saja aku bisa mengatakan bahwa aku juga memikirkanmu jauh lebih dalam, jauh sebelum ini... Betapa bahagianya aku. Tapi jalan itu sudah tertutup rapat.


“Aku... Aku tidak pantas, Lagipula, Reira juga menyukai dia, kan?”


“Iya, Aku menyukainya. Sangat menyukainya. Justru karena itu, aku merasa bahagia.”


“Bahagia?” tanyaku bingung.


“Karena aku bisa menyukai orang yang sama dengan sahabat terbaikku.”


Dengan jawaban itu, semua sudah jelas. 

Perasaan yang kupendam harus tetap tersembunyi. Sebuah cinta yang bahkan belum sempat dimulai kini telah berakhir. Luka yang tercipta tidak bisa disebut patah hati, tetapi tetap meninggalkan bekas yang menyakitkan.


Meski aku terus meyakinkan diri bahwa ini yang terbaik, luka itu tetap terasa. Air mata yang mengalir seperti menumpahkan semua perasaan yang tak pernah tersampaikan.


“Tak perlu menangis,” ujar Reira sambil menyentuh pipiku dengan lembut, menyeka air mataku. Jarinya yang dingin menyiratkan kehangatan yang menyentuh hati. Kami begitu dekat, tetapi perasaan ini tetap tidak bisa disampaikan.


“Rinka-chan, kau menemukan sesuatu yang penting. Kau boleh jujur pada perasaanmu. Kau boleh egois.”


Sikap lembut itu membuatku merasa iri. Reira begitu mudah memahami satu perasaan, tetapi tak pernah menyadari perasaan yang lain, meski berada begitu dekat.


Namun, aku tidak boleh mengeluh. Aku bertemu Reira, menjadi sahabatnya, dan merasakan cinta yang begitu mendalam untuknya. Itu adalah kebahagiaan yang tak tergantikan.


“Tapi ke depannya... mungkin akan sedikit sulit, Yashiro-kun itu sangat lamban kalau soal cinta.”

Mendengar itu, aku tak tahan untuk tertawa kecil, meski air mataku belum benar-benar kering. Jika soal lamban, Reira juga tidak kalah, pikirku.


“Ah, akhirnya kau tertawa, Sudah sedikit merasa lebih baik?”


“Ya... Terima kasih,” jawabku dengan senyuman kecil di wajah yang masih berantakan.


Tangis yang kutumpahkan membuat hatiku terasa lebih ringan. Meski situasi ini kacau, penuh dengan rasa yang belum terselesaikan, aku merasa cukup puas untuk sekarang.


Kisahku dan Reira mungkin telah selesai di sini, setidaknya untuk sementara. Entah akan ada kelanjutannya atau tidak, aku hanya bisa memaksakan diri menerima nilai cukup atas usaha ini. Tapi masih ada satu masalah yang tersisa—bagaimana aku akan menyelesaikannya.


Saat aku melangkah keluar, langit senja telah berubah menjadi gelap. Lampu-lampu mulai menyala, menerangi jalan yang sepi. Di kejauhan, aku melihat beberapa siswa sedang membereskan perlengkapan klub di lapangan. Kelelahan menguasai tubuhku; aku berjalan dengan langkah gontai tanpa tujuan yang jelas, seperti menyeret kaki tanpa arah.


“Hey. Lama sekali,” terdengar suara memanggilku di depan gerbang sekolah.

Aku tertegun. Duduk dengan posisi jongkok ala yankee, seorang pria menungguku. Begitu aku menyadari itu adalah Yashiro Tenma, aku membeku.


Tak ada orang lain di sekitar, hanya kami berdua di dalam keheningan yang terasa seperti waktu terhenti. Tenma menghela napas panjang, memecah keheningan itu.


“... Wajah macam apa itu?” tanyanya.


Dia pasti sudah menunggu cukup lama. Tenma berdiri dengan gerakan malas, meregangkan tubuhnya seperti baru bangun dari tidur panjang, lalu berjalan menghampiriku dengan langkah lebar.


Aku ingin lari, tapi tubuhku tidak bisa bergerak. Dalam sekejap, dia sudah berada di hadapanku. Bahkan saat aku menundukkan kepala untuk menghindari tatapannya, dia tetap mencoba menatapku dari bawah.


“Gagal ya?” katanya dengan nada yang terlalu lembut, seakan aku dibungkus oleh selimut hangat.


Mataku membuka perlahan, dan di sana dia berdiri dengan senyum kaku.


“Ah, ya... Aku penasaran bagaimana hasilnya, jadi aku tunggu di sini. 

Tapi... ya, sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan, ya? Hmm... apa yang sebaiknya kukatakan... Aku juga nggak tahu, sih.”


Aku bisa merasakan ketulusannya meski dengan cara yang canggung. Itu membuat dadaku terasa sesak. Aku bahkan merasa tidak layak untuk dihibur seperti ini.


“... Aku tidak gagal,” 


“Hah?”


“... Aku bahkan tidak mengatakannya. Sama sekali.”


“Jadi... kau tidak sempat mengungkapkannya?”


“Ya,” 


"Jadi, nggak ada perkembangan sama sekali?"


"......"


Bahkan, rasanya malah seperti mundur. Tapi itu pun tidak bisa diungkapkan. Memikirkannya lagi hanya membuatku semakin merasa menyedihkan. Benar-benar pengecut, dan nggak lebih dari itu.

Saat-saat genting, kenapa malah ciut? Kemana pergi semua keangkuhan yang biasanya kupunya?

Kalau aku dimaki habis-habisan, aku pasti pantas menerimanya. Sebenarnya, itulah yang aku harapkan.


Kalau aku malah diberi simpati yang setengah hati, harga diriku yang tersisa pun akan hancur berantakan.


"Begitu ya. Jadi begitu hasilnya."


Tenma bergumam pelan, seperti sedang mencoba mencerna situasi. Ia terlihat kebingungan.


Kemudian, dia tampak seperti sedang mencari kata yang tepat, atau mungkin sedang memilah-milah apa yang ingin diucapkannya, pandangannya melayang ke langit kosong. Dia tampak seperti punya terlalu banyak hal yang ingin dikatakan.


Tapi, akhirnya dia menggelengkan kepala, seolah menyadari bahwa hanya ada satu hal yang perlu diucapkannya. Dengan penuh keyakinan, dia berkata:


"Bagaimanapun juga, kamu sudah berusaha keras."


"......"


Aku berusaha menahan sesuatu yang tiba-tiba menyeruak dari dalam diriku. Air mataku seharusnya sudah habis, tidak ada lagi yang tersisa. Aku pikir aku sudah kering, tapi tetap saja aku mengerti.

Aku mengerti bahwa itu adalah perasaan Tenma yang tulus. Bukan karena kasihan atau iba, tapi semata-mata karena itulah caranya mengapresiasi usahaku.


"Aku nggak berusaha keras! Aku bahkan nggak melakukan apa-apa!"


"Bodoh. Lihat aja wajahmu yang kelihatan begitu lelah itu. Jelas banget kamu sudah berusaha keras dengan caramu sendiri, kan? Kalau hasilnya seperti ini, ya nggak masalah. Banggalah dengan dirimu sendiri."


"Kamu tahu aku bukan orang yang bisa puas dengan hasil seperti itu, kan?"


"Kalau begitu, pikirkan langkah berikutnya."


"......Hah?"


"Kalau ini belum selesai, kalau masih ada kelanjutannya, ya tinggal maju aja."


Aku memandangnya dengan heran, seolah dia baru saja mengatakan sesuatu yang benar-benar tak terduga.


"Setidaknya, menurutku, Sumeragi Rinka yang aku kenal pasti akan melakukannya. Atau aku salah?"


Aku tak bisa berkata apa-apa selain merasa terkesan. Jadi seperti ini caranya? Ini bahkan lebih keras dibanding sekadar simpati.

"Bagaimanapun, aku sudah terlanjur terlibat sejauh ini. Aku akan terus mendukungmu."


Karena Tenma ingin aku tetap menjadi diriku. Tidak peduli seberapa hancur atau kalahnya aku, dia tidak akan membiarkanku menyerah di tengah jalan.


Saat aku menyadari itu, dadaku terasa berdebar. Seolah-olah ada darah segar yang mengalir di tubuhku, membawa semangat baru pada tubuh yang hampir mati ini.


"Kalau kamu ingin mengeluh, silakan. Aku akan mendengarkan semuanya."


Meski aku benar-benar terpuruk dan memperlihatkan sisi terburukku, dia tetap percaya padaku. Dia tidak akan meninggalkanku.

Tahu bahwa ada seseorang yang tetap menerima aku apa adanya terasa seperti sebuah penyelamatan yang tak ternilai.


"Aku akan selalu ada di sisimu. Aku akan mengurusmu selama yang kamu butuhkan. Jadi..."


"Itu... kayak lamaran, tau nggak."


"Apa?"


Entah sejak kapan, aku sudah bisa bertingkah seperti biasa lagi. 

Seperti burung yang lupa caranya terbang, tapi tiba-tiba menemukan kembali sayapnya untuk melesat ke langit.


"Jangan-jangan aku baru saja mengucapkan sesuatu yang super memalukan?"


Aku melihat wajah Tenma memerah perlahan, terlambat menyadari apa yang telah diucapkannya.


Melihat reaksinya, aku tak bisa menahan tawa. Aku memandang langit sambil tertawa keras, seolah semua perasaan mengganjal dalam diriku ikut terbang bersama suaraku.


"Kamu nggak perlu tertawa sampai segitunya, tahu!"


Aku mengusap sudut mataku yang basah dengan ujung jariku. "Maaf, maaf," ucapku, tapi aku tetap tak bisa berhenti tertawa. 


Situasi ini benar-benar terlalu lucu. Bagaimana bisa ada hal yang sebegitu canggung? Sebenarnya, dia nggak perlu malu. Malah menurutku dia keren. Tapi Tenma sama sekali nggak menyadarinya. Bahkan, dia nggak kepikiran kalau aku punya pikiran seperti itu.


"Serius, kamu sudah kembali seperti biasanya. Aku sia-sia khawatir sama kamu."


"Terima kasih atas perhatianmu."


"Tapi... ini ya, aku pikir kalau kamu gagal, kita bisa bikin acara santai sambil makan-makan. Tapi sepertinya ini harus diganti jadi rapat semangat."


"Aku nggak keberatan. Tapi soal traktir... kamu nggak usah repot-repot."


"Nggak masalah. Satu porsi makan aja sih gampang. Makan di tempat kayak restoran keluarga aja, gimana?"


Saat mendengar kata traktir, tiba-tiba perutku mulai keroncongan.

Kalau begitu, aku ingin makan makanan yang benar-benar aku inginkan. Aku ingin memikirkan apa yang benar-benar diinginkan oleh perutku. Saat memikirkannya, jawabannya langsung muncul, dan senyum mulai muncul di wajahku.


"Apa? Kenapa senyum-senyum gitu? Tapi aku ingetin, kalau mau makan sushi mahal, kamu harus bayar sendiri."


"Nasi goreng."


"Ah, kalau itu, di dekat stasiun ada Bamiyan..."


"Aku mau yang kamu masak."


Tenma terlihat kaget mendengar permintaanku. Dia membelalak dan sempat terpaku beberapa saat, sebelum menggaruk-garuk belakang kepalanya dengan ekspresi canggung.


"Itu... beneran nggak apa-apa?"


"Iya. Tolong, ya."


"Ada permintaan khusus? Mau yang gimana?"


"Yang lembut, bukan yang kering. Aku pengen yang begitu."


"Kalau begitu, aku bakal bikin yang kayak pilaf, pakai bahan utama seafood."


"Itu sepertinya enak."


"Kalau gitu, kita harus belanja dulu ke supermarket."


Sepertinya semangat Tenma tiba-tiba kembali. Dia langsung bilang, "Ayo," dan mulai berjalan lebih dulu.


Aku mengejarnya dengan langkah kecil, dan saat berada di sisinya, pundak kami bersentuhan ringan. Kami saling menatap untuk memastikan, lalu entah kenapa malah tertawa bersama.


"Serius deh, hari macam ini malah diakhiri dengan nasi goreng. Kamu benar-benar putri yang hemat."

"Kamu nggak tahu, ya? Aku ini sebenarnya sederhana dan irit, loh."


"Mulutmu bilang begitu, tapi kenyataannya?"


"Ah... tapi."


"Apa lagi?"


"Karena sudah malam dan kita berdua aja... jangan macem-macem, ya."


"Mana mungkin, bodoh! Aku bilang ini keputusan bersama, kan? Kita juga harus memikirkan strategi baru, ada banyak hal yang harus dilakukan, jadi mana sempat melakukan hal-hal seperti itu..."


"......"


"Ada apa?"


"Aku butuh keberanian."


Sebuah pengakuan meluncur dari lubuk hati. Langkah demi langkah mulai terasa lebih kecil. Menyesuaikan kecepatan, Tenma memperlambat langkahnya dan menatapku dengan tajam—aku bisa merasakan itu hingga ke kulit.


"Keberanian untuk mengatakan ‘suka' pada orang yang aku cintai... andai saja aku punya itu."


Aku berhenti berjalan dan, tanpa sadar, memandang ke atas. Langit malam yang mulai gelap dihiasi bintang-bintang yang perlahan muncul, berkelip samar.


"Ini pertama kalinya aku mengatakan ini, tapi..."


Saat menurunkan pandanganku, aku mendapati sepasang mata yang begitu lurus dan tulus, menatapku.


"Kau luar biasa. Kau punya seseorang yang bisa kau cintai sampai sedalam itu. Di dunia yang luas ini, di atas planet ini, kau berhasil menemukan satu-satunya orang itu. Itu saja sudah luar biasa."


Aku juga berpikir begitu. Satu-satunya orang, yang takkan tergantikan, di mana pun dia berada.


"Perasaanmu itu akan tersampaikan pada Tsubaki-san. Suatu hari nanti, pasti... karena kau menyukainya dengan begitu kuat. Aku yang selalu ada di sampingmu bisa menjamin itu."


Mungkin tidak ada hal yang lebih membahagiakan dari ini. Mencintai satu orang saja sudah merupakan sebuah keajaiban, namun sekarang ada dua orang yang terlibat. Ini adalah kemewahan yang tak tertandingi.

Jadi, tidak perlu menundukkan kepala. Pandanglah ke depan, tegakkan dadamu, dan melangkahlah dengan penuh harapan. Waktu untuk itu sudah diberikan dengan cukup.


"Yah, meskipun dijamin oleh orang seperti aku—yang tidak pernah sekalipun jatuh cinta pada siapa pun dan jelas-jelas tidak cocok untuk urusan percintaan—rasanya jaminan itu tidak ada artinya sama sekali sih... Eh, hei?"


Aku memeluk Tenma dari belakang, menyandarkan dahiku di pundaknya. Meski tinggi kami hampir sama dan tubuhnya tidak terlalu kekar, dia berhasil menerima tubuhku dengan kokoh. Itu mengingatkanku bahwa dia tetap seorang laki-laki.


"Sumeragi?"


"Maaf. Tiga puluh detik... tidak, sepuluh detik saja. Tolong biarkan aku seperti ini."


Lengan Tenma yang sempat terangkat canggung hendak menyentuh punggungku, namun...


"Baiklah. Satu menit, bahkan satu jam, kalau itu membuatmu merasa lebih baik, lakukan saja."


Pada akhirnya, lengannya tidak jadi menyentuhku. 

Dia membiarkan tangannya kembali ke posisi semula, seperti tidak tahu harus meletakkannya di mana.


Aku menyadarinya, tapi air mata tidak mengalir. Aku sudah memutuskan untuk tidak menangis lagi.


Jadi hanya kali ini saja. Ini benar-benar yang terakhir. Ketika aku membuka mata nanti, aku akan kembali menjadi diriku yang kuat.


Hanya kali ini, kumohon izinkan aku seperti ini, aku berdoa kepada Tuhan.

















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !