Kono Sankaku △ Rabukome wa Shiawase ni Naru Gimu ga Aru chap 2

Ndrii
0

Chapter 2

Wanita itu, penuh keberanian dan ketegasan




Ruang kelas adalah tempat yang aneh. Tidak peduli seberapa besar kekacauan yang terjadi, begitu waktu pelajaran dimulai, semuanya kembali tertib. Begitulah cara kerjanya.


Kelas yang sejak pagi penuh kebingungan ini tiba-tiba tertib kembali ketika sebuah suara keras dan sedikit mengancam berbunyi, 


"Hei, bel sudah berbunyi! Cepat duduk di tempat masing-masing! Kalau tidak, bakal saya hajar!"


Suara tersebut milik Aizawa Makoto, yang berhasil mengendalikan kelas. 


"Baiklah, sekarang kita mulai pelajaran pertama, ,Cikcikcik ,Rapat Panjang yang Seru. Topiknya adalah..." 


Mata tajamnya dihiasi dengan eyeshadow tebal, rambut semi-pendeknya yang rapi di sekitar bahu berwarna abu-abu. Hobinya adalah bermain mahjong dan motor-an, dan saat istirahat, dia sering berada di area merokok, menjadikannya jelas sebagai mantan berandalan. Guru matematika ini, (berusia 29 tahun dan masih lajang) adalah wali kelas kita.

"Ini, nih! Kita harus cepat-cepat memutuskan." Makoto menepuk-nepuk jari-jarinya yang penuh kapur, kemudian meletakkan tangan di meja guru. Di papan tulis besar tertulis, 'Ketua Kelas.'


"Jadi... siapa yang mau? Yang merasa cocok, silakan angkat tangan!" Ia melihat ke seluruh kelas, tetapi hampir semua siswa tampak canggung dan mengalihkan pandangan.


Tugas sebagai ketua kelas yang sering kali diisi dengan pekerjaan tambahan dianggap sebagai pekerjaan yang melelahkan, sehingga reaksi mereka sangat wajar. Namun, rupanya Makoto memiliki pandangan berbeda tentang hal ini.


"Eh, kalian serius? Tidak ada yang mau jadi ketua? Ini adalah posisi ketua kelas, lho! Kalau aku, pasti akan langsung menerimanya! Apa kalian tidak merasa begitu?"


Makoto mengerutkan dahi dan menyilangkan tangan. Meskipun penampilannya terlihat agak menakutkan dan dikatakan sulit untuk didekati, sebenarnya ia memiliki sifat yang santai dan sedikit ceroboh, sehingga Tenma tidak terlalu membencinya.


"Um, Aizawa-sensei?" Suasana tidak nyaman terpecahkan oleh seseorang yang berusaha membantu. Seorang siswi mengangkat tangan.


"Oh, ada apa, Tsubaki?" tanya Makoto.


"Kalau tidak ada yang ingin menjadi ketua, saya bersedia melakukannya."


"Hoho... menarik sekali. Ternyata meskipun penampilannya lembut, Tsubaki punya ambisi yang kuat," gumam guru itu, seolah ingin menyiratkan bahwa ia terkesan. Namun, tentu saja, Reira sama sekali tidak memiliki ambisi untuk menguasai kelas. 


Hanya karena sifatnya yang lembut dan penuh dedikasi, ia akhirnya terlibat dalam banyak peran penting. Menjadi anggota OSIS, Komite Humas, Komite Disiplin, Komite Operasional—semua peran yang dipegangnya tak terhitung jumlahnya. Jika ada yang membutuhkan bantuan membawa tumpukan kertas, Reira akan dengan senang hati membantu. Bahkan tanpa diminta, dia mengganti air di vas bunga dan selalu melakukannya dengan senyum tenang tanpa pernah pamer.


Benar-benar sosok seperti seorang santa. Sudah sampai pada titik di mana orang-orang mulai percaya bahwa dia adalah inspirasi di balik puisi-puisi penyair terkenal, yaitu Miyazawa Kenji.


"Jadi, telah diputuskan kalau Tsubaki-san sebagai ketua kelas... tapi kita juga membutuhkan satu orang wakil. Kali ini, aku ingin meminta seorang laki-laki untuk mengisinya..."


"Ya ya, saya bersedia!" 

"Aku juga bisa melakukannya!" 

"Tidak, biarkan aku yang melakukannya!" 


Sebelum sang guru selesai berbicara, kursi-kursi mulai berdentang dan para siswa laki-laki berlomba untuk mengajukan diri. Alasannya sederhana, keuntungan besar menanti. Biasanya, mereka hanya diizinkan untuk mengagumi Reira dari kejauhan, tetapi kali ini, mereka diizinkan untuk mendekatinya dengan status sebagai wakil ketua kelas.


"Kamu pikir bisa jadi tangan kanan Tsubaki-san, hah?" 

"Memangnya kamu juga bisa? Minggir sana!" 

"Biar aku saja yang jadi penengah..." 

"Apa maksudnya ‘penengah’, dasar bodoh!" 


"Kalian semua, memalukan sekali!"


Pertengkaran mulai memanas hingga para siswa perempuan melihat mereka dengan tatapan sinis. Namun, para laki-laki tidak peduli, mereka tetap berdiri dan saling bertengkar untuk mendapatkan posisi itu.


"Biarkan saja! Ayo Teruskan!" 


Entah kenapa, Sensei juga ikut memprovokasi, membuat suasana semakin memanas.


"Sejujurnya, apakah ada cowok di sekolah ini yang layak mendampingi Tsubaki-san?" 


"Ya, kurasa tidak ada." 


"Pada dasarnya, sejak saat kita terlibat dalam pertikaian yang remeh seperti ini..."


“Kita nggak punya kualifikasi itu." 


Suasana mulai tenang, dan akhirnya, para siswa laki-laki menarik napas panjang dengan rasa muak pada diri sendiri. Sepertinya semua ini memang semacam permainan absurd. Sementara itu, Tenma, yang mengamati dari kejauhan, hanya bisa mengangkat bahu.


"Umm... bolehkah saya mengatakan sesuatu? Saya ingin Yashiro-kun yang menjadi wakil ketua," 


Serangan mendadak. Pada saat itu, bokong Tenma melompat sekitar dua sentimeter karena terkejut.


"Begitu ya. Dari Tsubaki, ada satu suara masuk. Bagaimana, Yashiro?"  


Mata Makoto tertuju kepada Tenma. Sekaligus, Reira yang duduk di depan pun menoleh dan memberikan tatapan padanya. Mata mereka bertemu. Senyum lembut muncul. Ternyata dia benar-benar seperti malaikat.


Namun, itu tidak semua. Seolah mendengar suara 'jiing' yang sangat pelan, Tenma merasa diperhatikan dengan tatapan pahit dari teman-teman sekelasnya, terutama dari para laki-laki, yang penuh dengan kebencian dan iri hati.


"Eh... kalau ditanya bagaimana, ya?"  


"Ya-ya. Jadi, aku juga akan memberikan suara untuk Yashiro-kun~"  


"Gekk...!"  


Serangan mendadak itu hampir membuat Tenma muntah darah. Hayami Souta, pemuda baik hati itu, tampaknya sangat menyukainya.


"Suara kedua. Sepertinya ini sudah pasti."  


"Eh, tunggu, sensei? Aku punya hak untuk menolak..."  


"Baiklah, sisanya biar dua orang perwakilan yang mengatur dan memutuskan. Terima kasih~"  


"Sensei!"  


Makoto mengabaikan teriakan Tenma dan dengan cepat menghilang, tampaknya pergi untuk mengisi ulang nikotin yang hilang.


"Yashiro-kun~?"  

Suara manis memanggilnya. Reira, menggantikan guru yang malas, segera berdiri di depan kelas dengan anggun dan melambaikan tangan. Tugas sebagai wakil ketua kelas sudah dimulai. Meski begitu, tubuhnya tidak mau bergerak. Jika diperbolehkan, ia ingin melarikan diri dari tempat itu secepatnya. Secara kebetulan, keinginan itu akan dipenuhi oleh seseorang yang sangat kuat.


"Maaf, Reira."  


Setelah serangan mendadak ketiga, ia tidak bisa mengeluarkan suara. Sebagai gantinya, semua orang kecuali Tenma menjadi gaduh. Rinka, yang entah sejak kapan sudah melingkarkan lengannya di bawah ketiak Tenma, memaksanya untuk berdiri. Mereka bergandeng tangan erat. Siluet itu bisa terlihat seperti pasangan kekasih, tetapi hanya mengandung arti penahanan.


"Dia sepertinya tidak enak badan, jadi. Aku rasa dia tidak bisa membantumu."  


Meski pernyataan itu tampak tiba-tiba, Reira sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda meragukannya.


"Eh! Itu gawat. Mungkin ada yang bisa membawanya ke ruang kesehatan..."  


"Aku akan menemaninya, jadi tidak apa-apa. Ah, mungkin aku tidak akan kembali untuk sementara waktu, tapi jangan khawatir ya."  

Saat baru setengah dari kalimat itu terucap, Rinka sudah berlari. "Kamu tidak perlu repot-repot melakukannya, Sumeragi-san," kata beberapa orang yang mencoba menghentikannya, tapi langkahnya tidak melambat sedikit pun.


Tenma tidak melawan. Pertama, dia tahu bahwa itu sia-sia. Kedua, dia sudah mempersiapkan diri sejak kelas dimulai, berpikir bahwa ini mungkin akan terjadi suatu saat.



Tempat di mana aku dipaksa masuk sesuai dengan yang dikatakan, ruang UKS. Letaknya di lantai satu. Aku sempat membayangkan skenario di mana aku dilempar dari atap tanpa diberi kesempatan bicara, jadi aku merasa sedikit lega. Di pintu masuk tergantung papan bertuliskan "Jika ada keperluan, harap ke ruang guru," dan tak ada tanda-tanda kehadiran guru UKS. Jika terjadi pembunuhan di sini, tak akan ada saksi mata.


Ini sudah setengah penculikan. Kami berdua berada di dalam ruangan yang remang-remang. Lawanku adalah anjing gila. Ini deja vu yang sempurna. Jika ada yang berbeda dari kemarin, itu adalah bahwa sekarang Tenma sedang bersandar pada ranjang putih.


"A, pa, mak, sud, nya, i, ni?"  


"Hei, hei, hei...Su.. Sumeragi, tenang dikit, dong!?"  


Begitu tiba, Tenma langsung didorong kasar hingga terkapar, sepenuhnya berada di bawah kendali Rinka. Jari-jari Rinka yang seperti cakar menancap di seprai tipis tepat di samping pipi Tenma. Lutut Rinka menekan di antara selangkangan Tenma, dan semakin Rinka mendekat, semakin keras bagian yang berbahaya itu tertekan.


"Sakit! Ini benar-benar sakit!"  


"Mau kubuat kamu tak bisa menghasilkan setetes pun sperma lagi?"  


"Berhenti! Dan jangan ucapkan kata ‘sperma’ dengan santainya!"  


"Kamu bilang sperma siapa yang harus kuucapkan?"  


"Kamu nggak bakal bisa nikah nanti!"  


Jika posisinya terbalik, pasti sudah ada satu catatan kriminal (meski dalam kondisi sekarang pun mungkin begitu). Dari bawah lampu bundar di langit-langit, Tenma memandang Rinka yang wajahnya terlihat tanpa ekspresi, dan justru itu yang membuatnya semakin menakutkan. Matanya hitam seperti batu go, mengingatkan pada hiu pemangsa dalam film panic yang pernah kutonton.


"Kalau begitu, jawab. Apa yang kamu lakukan pada Reira?"  


"Tidak, tidak! Aku nggak melakukan hal buruk... cuma, begini begitu, ada beberapa hal..."  

"Apa aku tidak cukup jelas? Aku bilang ceritakan apa yang terjadi, kan?"  


"Ba-baik. Aku akan menjelaskannya."  


"Kalau bisa kamu rangkum dalam empat puluh karakter, aku akan sangat berterima kasih. Aku ini bukan orang yang sabar, tahu."  


Sambil berkata begitu, Rinka semakin menekan tubuhnya ke bawah. Tempat tidur berderit menahan berat badan mereka berdua. Rasa takut memang ada, tapi kalau ini terus berlanjut, akan ada bahaya lain juga. Beberapa bagian yang hampir bersentuhan, bahkan yang sudah bersentuhan, mulai terasa panas.


"Ts-Tsubaki-san kemarin digoda oleh orang-orang aneh di depan stasiun, dan karena dia terlihat kesulitan, aku... ya..."  


"Jadi, kamu yang mengusir mereka?"  


"Kenapa? Ada masalah?"  


"Hmm. Begitu rupanya."  


"Ya, begitu."  


"……"  

"Umm... itu saja. Nggak ada lagi yang bisa aku ceritakan."  


"…………………………………………………………………… (Sepuluh detik saling tatap)."  


"Setidaknya, bicara sesuatu, dong!?"  


Sebelum situasi seperti mau diperkosa ini, mungkin Rinka sudah menyelesaikan semacam penilaiannya. Rambutnya yang halus menyapu ujung hidung Tenma, dan Rinka turun dari tempat tidur. Dia duduk di bangku bulat di sebelahnya, menyilangkan kakinya dengan angkuh. Tak perlu diragukan, kakinya sangat indah.


Nyawaku selamat, pikir Tenma sambil mengangkat tubuhnya yang setengah berbaring.  


"Terima kasih, ya."  


"Apa?"


Kata-kata itu terlalu jelas untuk dianggap sebagai salah dengar, dan aku sama sekali tidak mengerti maksudnya. Saat aku menatapnya mencari penjelasan, dia malah tertawa sinis dan berkata, "Kenapa kaget?"


"Terima kasih sudah melindungi dan membantu Reira," katanya.  


"Eh... ah, iya, sama-sama."  


"Jadi kamu punya keberanian juga, ya? Padahal kelihatannya seperti pecundang."  


"Aku juga kaget dengan diriku sendiri."  


Meskipun dia mengejekku, dia tampak benar-benar berterima kasih. Aku merasa lega karena ternyata aku tidak melakukan hal yang salah. Akhirnya, aku merasa usahaku tidak sia-sia. Tapi ketika kupikir semua ini berkat Rinka, rasanya jadi sedikit aneh dan membuatku merasa tidak nyaman. Ini seperti efek daya tarik yang muncul karena perbedaan besar antara sifat aslinya dan sikap yang dia tunjukkan. Ketika dia berterima kasih, rasanya berbeda. Bahkan hal-hal biasa yang dilakukan orang biasa, saat dilakukan oleh "gadis es" sepertinya, rasanya berubah menjadi sesuatu yang lebih berwarna. Rasanya tidak adil.


"Ehm, ngomong-ngomong.Apa Tsubaki-san memang selalu seperti itu?"  


"Seperti apa?"  


"Seperti mudah jatuh cinta. Baru sekali diselamatkan, tapi dia sudah seperti itu."  


"Oh. Dia memang nggak punya banyak pengalaman dalam hal-hal seperti itu. Jadi, wajar saja."  

"Pengalaman? Maksudmu dengan laki-laki?"  


Rinka mengangguk, tapi rasanya aneh. Dengan penampilan dan kepribadiannya, pasti banyak laki-laki yang pernah mendekatinya. Seharusnya dia punya banyak kesempatan untuk belajar menghadapi itu.


"Jangan-jangan dia sekolah khusus perempuan sampai SMP?"  


"Bukan. Itu karena semua laki-laki bodoh yang mendekatinya sudah kuhancurkan sejak awal. Jadi dia tidak punya pengalaman."  


"Oh..."  


Tanpa sadar aku mengeluarkan suara kekaguman ala Amerika. Perkataan yang membuatku meragukan apakah negara ini benar-benar negara hukum diucapkan begitu saja oleh Rinka. Kata "crazy psycho" melintas di kepalaku.


Mungkin Rinka menangkap pikiranku, karena dia menaikkan alisnya dengan marah, "Hei! Jangan salah paham. Aku nggak menghancurkan semua laki-laki tanpa pandang bulu!"  


Bagi Tenma, teori Rinka ini terdengar seperti perbedaan antara pembunuh bayaran dan pembunuh berantai. Memilih siapa yang akan dibunuh atau tidak, dua-duanya tetaplah kejahatan. Kesimpulannya, tidak ada yang benar.

"Masalahnya, Reira itu selalu jadi target laki-laki yang nggak berguna. Laki-laki menjijikkan yang selalu mendekatinya."  


Alasannya bisa kumengerti. Seperti contohnya kemarin saat Reira didekati oleh laki-laki asing. Karena sifatnya yang terlalu baik, banyak orang mencoba memanfaatkannya, seperti ngengat yang mendekati cahaya.


"Dan, aku nggak pernah menggunakan cara yang ekstrim... Aku selalu menyelesaikannya dengan damai, lewat dialog."  


"Damai, ya."  


Aku teringat pada hari pertama di kelas, saat Rinka memperingatkan orang-orang yang memandang Reira dengan tatapan aneh. Itu juga dilakukan untuk melindungi Reira. Akibatnya, Reira menjadi seperti bunga yang tumbuh di rumah kaca. Api yang hampir membakarnya selalu dipadamkan oleh Rinka secara diam-diam. Kalau hanya mendengar ceritanya, Rinka terdengar seperti pahlawan keadilan. Namun, bagi Tenma, di balik semua itu, ada hawa nafsu yang terdistorsi.


"Kayaknya itu terlalu protektif."  


"……"  


Meskipun perasaanmu tidak tersampaikan, itu bukan alasan untuk menghalangi perasaan orang lain. Aku mencoba mengatakan hal itu sehalus mungkin. Bahkan Tenma yang masih pemula dalam urusan cinta bisa langsung menyimpulkan hal itu, jadi Rinka pasti sudah menyadarinya. Dia pasti sadar akan kebenaran itu.


"Aku tahu kok, kalau itu nggak benar," kata Rinka dengan suara lemah, memeluk dirinya sendiri seperti sedang membenci dirinya. Seolah-olah dia ingin mengatakan bahwa dia tidak punya pilihan selain menerima dirinya yang seperti itu.


"Aku juga tahu bahwa suatu hari hal seperti ini akan terjadi."  


"Hal seperti ini?"  


"Bahwa Reira akan tertarik pada seseorang selain aku. Bahwa aku akan didahului."  


"……"  


"Karena aku bahkan belum berada di garis start. Aku bahkan tidak bisa berkomunikasi dengannya dengan normal, apalagi menyampaikan perasaanku."  


"Kalau kamu sadar, kenapa nggak coba berubah?"  


Setiap kali Rinka bertemu Reira, dia selalu bersikap dingin. Itu sama sekali bukan cara seseorang yang sedang jatuh cinta.


"Tsubaki-san jadi kasihan, tahu? Cobalah bersikap sedikit lebih ramah."  


"Ramah? Aku?"  


Rinka tertawa kecil, seperti mengejek dirinya sendiri. "Itu lelucon yang buruk. Itu nggak cocok dengan gambaran diriku. Dan sekarang sudah terlambat untuk mengubah karakterku... Lagipula, nggak masuk akal, kan? Kalau tiba-tiba aku jadi orang yang mudah didekati."


"Yah, itu..."  


Aku ingin membalas bahwa aku tidak peduli soal "karakter," tapi yang lebih mengejutkanku adalah...


"Jadi, selama ini kamu bertindak sesuai karakter yang kamu buat?"  


Aku selalu berpikir bahwa sifat tajam dan dingin Rinka adalah bagian dari kepribadiannya. Aku tidak pernah membayangkan ada perhitungan di balik sikapnya.


"Ya ampun, tentu saja aku memperhitungkannya. Memangnya ada orang yang nggak peduli dengan image mereka?"  

"Ya, mungkin sebagian besar orang begitu, tapi... itu agak mengecewakan. Nilai kamu jadi turun di mataku."  


Seperti perasaan kecewa ketika tahu suara asli idolanya ternyata jauh lebih rendah daripada yang dibayangkan. Aku mengatakannya, tapi Rinka sama sekali tidak terlihat terpengaruh.


"Terserah kamu. Kamu boleh kecewa atau mengurangi nilai sesukamu."  


"Lalu, bagaimana dengan image-ku di matamu? Kalau kamu sudah membuat karakter, setidaknya konsistenlah sampai akhir."  


"Kalau begitu, coba jawab ini. Setelah aku ketahuan menipu, berbohong, menangis sampai remuk, setengah telanjang, dan terlihat celana dalamku. Masih ada kehormatan yang bisa kujaga?"  


Aku tidak bisa membantah. Rasanya seperti dia telah membuat kesimpulan yang sangat logis.


“Kamu ini...” 


“Eh!?” 


Tenma mundur dengan cepat, terkejut. Rinka, yang sebelumnya diam dan berdiri agak jauh, tiba-tiba mendekat tanpa suara. Dia menusukkan telunjuknya yang tegak lurus ke arah dada Tenma, seolah-olah itu adalah pisau. Matanya, yang sebelumnya tajam seperti mata hiu, kini menyipit, menunjukkan kemarahan, ketidakpuasan, dan frustrasi—tiga elemen negatif yang jelas terlihat. 


“Sok banget kamu. Semua ini jadi rumit karena ulahmu sendiri, dasar pembawa sial!” bentak Rinka dengan tajam. 


“Eh? Bukannya kamu baru saja bilang terima kasih?” Tenma membalas dengan kebingungan.


“Diam. Itu tadi, ini sekarang,” balas Rinka sambil mulai kembali ke sikap biasanya. 


Tepat saat suasana mulai tenang, sebuah suara muncul dari arah pintu.


“Eh? Ada orang di sini?” 


Pintu geser terbuka dengan keras, memperlihatkan seorang wanita dengan jas putih masuk. Wanita itu adalah guru perawat yang baru kembali bekerja setelah cuti melahirkan, dan mungkin karena itu, tubuhnya sedikit lebih berisi. 


“Maaf ya, aku baru kembali...,” katanya sambil membetulkan kacamata modis tanpa bingkainya.


“Oh?” Matanya melebar, melakukan double-take ke arah Tenma yang duduk di tempat tidur. Atau lebih tepatnya, pada Rinka yang tampak seperti sedang mendekat ke arah Tenma dengan posisi tubuh yang aneh—bisa saja terlihat seperti mereka akan berciuman atau melakukan sesuatu yang lebih memalukan. 


Ruangan kesehatan jelas bukan tempat untuk melakukan hal-hal yang tidak pantas, dan sebelum sang perawat sempat berbicara, wajahnya memerah, dan dia buru-buru mundur. 


“M-maaf sudah mengganggu!” 


Dia melangkah mundur dengan cepat, keluar dari ruangan, wajahnya menunjukkan ekspresi seperti baru saja melihat sesuatu yang tak seharusnya. Meskipun sudah menikah, reaksi perawat itu tampak seperti seseorang yang baru pertama kali melihat hal semacam itu. Namun, masalah sebenarnya adalah: ruangan ini bukanlah tempat yang aman, dan dia baru saja menyadarkan Tenma akan hal itu.


“Wah, aku harus segera balik ke kelas,” gumam Tenma, menyadari situasi mulai terlihat mencurigakan. Mereka berdua sudah kabur dari kelas dalam waktu yang cukup lama, dan jika tidak segera kembali, gosip yang tidak diinginkan bisa saja mulai menyebar. 


“Ayo, kita balik sekarang,” bisik Tenma kepada Rinka sambil melangkah ke lorong, mengira bahwa Rinka juga memiliki pemikiran yang sama. Namun, ketika ia menoleh, Rinka masih diam di tempatnya, tidak bergerak sedikit pun. 


“Eh? Hei, kenapa kamu diem aja?” 

Rinka tidak merespon, hanya bergumam pelan, 


“Ya... memang begini seharusnya. Semuanya salah karena aku menahan ini terlalu lama...”


“Hah?,Maksudnya?” tanya Tenma dengan bingung.


“Perasaan buruk ini menumpuk karena aku terlalu menekannya...,” gumam Rinka pada dirinya sendiri, tepat saat lonceng sekolah berbunyi, menandakan akhir pelajaran pertama.


“Hei, ayo cepat, kita harus kembali!” desak Tenma, namun Rinka tidak menunjukkan tanda-tanda ingin bergerak. Tenma, yang mulai frustrasi, akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Rinka dan berlari sendirian ke kelas.


Dia tak menyadari satu hal: Rinka tersenyum kecil dengan pandangan licik di wajahnya, menatap punggung Tenma yang semakin menjauh. “Aku butuh sekutu...” gumam Rinka dengan senyuman penuh rencana.



Selama istirahat, Tenma akhirnya kembali ke kelas. Belum sempat ia duduk, Reira langsung berlari mendekat dengan penuh kekhawatiran. 


“Kamu baik-baik saja? Apa sebaiknya kamu pulang saja? Apa aku mengganggumu tadi?” Reira menanyainya dengan cepat, matanya dipenuhi kecemasan yang tulus. 

Tenma, yang sebenarnya merasa baik-baik saja, hanya bisa merasa semakin bersalah. Dia tidak tahu harus menjawab apa, jadi hanya bisa menggaruk kepala dan menunduk.


“Maaf ya, Reira,” tiba-tiba Rinka menyela, “Tenma masih belum sepenuhnya pulih, jadi biarkan dia istirahat dulu.”


“Oh, maaf! Aku tidak bermaksud begitu,” balas Reira dengan cepat, terkejut.


Namun, niat Rinka bukanlah karena perhatian pada Tenma. Berdiri di antara mereka, Rinka dengan jelas menunjukkan tekadnya untuk menjaga jarak antara Tenma dan Reira. Keinginan kuatnya untuk memastikan mereka tidak terlalu dekat terlihat begitu jelas, seperti tinta yang terukir di tubuh.


Bagi Tenma, hal ini masuk akal. Dia selalu merasa bahwa Rinka adalah alasan mengapa tidak ada pria yang pernah mendekati Reira. Namun, bagi teman-teman sekelas lainnya, sikap Rinka tampak sangat membingungkan.


Mungkin sejak saat ini, atau bahkan sejak jauh sebelumnya, tanda-tanda kehancuran dalam kehidupan sekolah Tenma sudah mulai muncul. Namun, dia memilih untuk mengabaikan semuanya, berpura-pura tidak melihat.


Tidak apa-apa, besok Sabtu, dan tidak ada kelas tambahan yang merepotkan. Setelah istirahat dua hari, segalanya pasti akan kembali normal, pikir Tenma, mencoba meyakinkan dirinya sendiri, meskipun di dalam hati kecilnya, ia tahu bahwa harapan itu hanyalah ilusi yang rapuh.



Ketika Tenma membuka tirai, sinar matahari yang cerah langsung menyapa, dengan langit biru tanpa awan. 


"Pagi yang indah... ya," gumamnya tanpa sadar. 


Rasanya sangat menyegarkan, bahkan membuatnya mengatakan hal yang tidak biasa baginya. Hari libur setelah minggu yang penuh kesibukan. Jika dia memiliki pola pikir seorang "realistis", mungkin dia akan memutuskan untuk pergi berbelanja seperti orang-orang yang menikmati hidupnya. Tapi sebagai seorang realis sejati, Tenma lebih memilih untuk memanfaatkan cuaca cerah ini untuk menjemur cucian yang menumpuk.


Pertama, ia harus mencuci muka, lalu sarapan. "Apa ya yang ada di kulkas?" pikirnya, sambil menyusun rencana di kepalanya dan keluar dari kamar masih dengan pakaian tidur. Sambil menuruni tangga, dia meregangkan tulang belikat, tetapi sayangnya, perjalanannya menuju kamar mandi tidak berjalan mulus.


"Wueeekkk... uwaaaekkk..."


Suara itu terdengar begitu menjijikkan, seperti datang dari makhluk yang tidak seharusnya hidup di dunia ini. Mungkin seperti erangan jiwa-jiwa tersiksa yang menerima siksaan di neraka. Tenma tidak bisa mengabaikannya begitu saja, jadi dia mengikuti sumber suara itu hingga ke pintu masuk.


"Ugh," dia refleks menutup hidungnya dengan punggung tangan saat aroma alkohol menyengat memenuhi udara. 


"Ini... ya ampun," gumamnya.


Di depannya terbaring seorang wanita dengan setelan jas, wajahnya menempel di lantai kayu, tergeletak tak berdaya sambil mengeluarkan suara muntah. Dari high heels yang terlempar sembarangan, Tenma bisa menebak bahwa wanita itu berhasil pulang, mengunci pintu, melepas sepatunya, tapi kemudian tak sanggup berjalan lebih jauh sebelum ambruk di lantai.


“Kamu tidur di sini malah menghalangi, cepat bangun sana,” Tenma berkata dengan nada kasihan, lalu berbalik, berusaha cepat-cepat meninggalkan bau alkohol yang menyengat itu.


Namun, tiba-tiba, sebuah tangan seperti zombie meraih pergelangan kakinya. 


“Kamu jahat! Jahat! Tenma, jahat!” Wanita itu menangis, meronta dengan kakinya yang masih dibungkus stoking. Tenma hanya bisa menghela napas panjang.

“Apa sih yang jahat?”


“Kamu ini, kakakmu sendiri tergeletak kesakitan di pagi hari, tapi kamu tetap tenang aja, kok bisa sih?” 


“Karena aku udah lihat pemandangan ini dua puluh kali.”


“Kamu nggak punya perasaan! Harusnya kamu panik, kasih reaksi, kasih napas buatan kek!”


“Waktu pertama kali kejadian, aku udah cukup panik buat manggil ambulans, kan?”


Wanita itu berbalik dan kini terbaring telentang di lantai. Kemeja yang dikenakannya sudah berantakan, memperlihatkan sebagian kulitnya yang putih. Wajahnya yang tampak jauh lebih muda dari usianya terlihat seperti anak SMA, jadi setelan jas biru tua dan rok ketat yang dikenakannya tidak tampak cocok sama sekali. Rambutnya yang biasanya lebat sekarang berantakan, dan makeup-nya berantakan, memberikan kesan yang sangat menyedihkan. Saat Tenma menyadari bahwa dia yang harus membersihkan lantai yang terkena bekas foundation, kepalanya mulai pusing.


“Kamu pulang pagi lagi ya?” tanya Tenma.


“Iya, kalau nggak, aku nggak mungkin kayak begini... Ugh,” balasnya, dan wajahnya tiba-tiba memucat.

“Hei, jangan muntah di sini, please!” seru Tenma dengan nada panik.


“Tenang... aku nggak akan... ugh!” jawabnya dengan suara yang jelas-jelas tidak meyakinkan. Wanita itu adalah Yashiro Nagisa, kakak Tenma. Meski wajah mereka tidak mirip, darah yang mengalir di tubuh mereka sama. 


Meskipun saat ini dia bicara dengan cara yang kacau dan berperilaku memalukan, dia bukanlah wanita yang bekerja di dunia malam. Nagisa adalah seorang pegawai kantoran biasa, dan kantornya bukanlah perusahaan hitam yang memaksanya bekerja sampai kereta terakhir.


"Aku kesel banget! Kenapa nggak ada yang bawa aku pulang ya?" keluhnya dengan nada frustasi.


"Ini pasti pola yang sama, kamu ditinggal sendirian di pesta setelah nggak ada yang ngajak balik, terus minum sampai pagi," tebak Tenma.


"Ya iyalah, kalau nggak minum aku nggak bakal tahan," keluh Nagisa, mengakui prioritasnya yang lebih condong ke mencari pria daripada pekerjaannya. Orang mungkin menyebutnya dengan berbagai julukan kasar, tapi faktanya memang begitu.


"Astaga, semua pria itu nggak bisa dipercaya. Mereka nggak punya selera!" teriaknya lagi. Kini dia sudah bangkit dan berdiri, seolah-olah rasa muaknya telah berlalu. Amarahnya dari malam sebelumnya tampaknya kembali memuncak.


"Padahal jelas-jelas aku yang paling gampang diajak pulang, tapi kenapa mereka nggak mau?" keluh Nagisa lagi.


"Mungkin karena kamu terlalu agresif dan itu bikin mereka takut," sahut Tenma, memberikan analisis jujurnya.


"Tenma, kamu nggak bakal ngerti! Kamu masih anak kecil! Cinta itu perang! Wanita yang bertindak seperti binatang buas yang bakal menang!"


"Oke, oke, aku ngerti. Tapi bisakah kamu simpan keluhanmu buat orang lain? Aku nggak perlu dengerin ini lagi." 


Tenma merasa harinya yang cerah dan tenang telah hancur, tapi dia tahu kakaknya tidak akan pernah bisa memahami perasaan itu, jadi dia memilih untuk diam saja. Dia hanya bisa menyalahkan takdir yang membuatnya lahir sebagai adik dari kakak seperti Nagisa.



Sebulan yang lalu, ayah mereka dipindahkan ke Amerika untuk urusan pekerjaan.


“Kasihan ayah kalau dia sendirian di sana, jadi ibu akan ikut pergi bersamanya,”


Alasan yang diberikan ibu untuk menemani ayah ke Amerika terdengar masuk akal, tetapi jelas bahwa sang ibu sebenarnya bersemangat untuk menikmati pengalaman tinggal lama di luar negeri. Kini, Tenma terpaksa harus hidup berdua dengan kakaknya yang berantakan, Nagisa, yang sudah berusia 24 tahun.


Tenma sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah sederhana, seperti memasak, dan dengan bantuan peralatan rumah tangga modern yang canggih, membersihkan rumah dan mencuci pakaian tidak terlalu merepotkan. Karena itulah, ia tidak mengeluh atau merasa bahwa ia akan diabaikan oleh orang tuanya, dan dengan cukup ikhlas ia melepas kepergian mereka. Hanya ada satu hal yang terus mengganjal di hatinya: kalimat ibunya sebelum pergi, 


"Tenma nggak perlu khawatir kan, ada kakakmu kalau terjadi apa-apa." 


Kalimat itu masih seperti duri yang menyangkut di tenggorokan.


“Ah, segarnya,” ujar Nagisa sambil duduk di sofa, dengan kepala yang masih berasap tipis setelah mandi. Tenma yang sudah selesai sarapan dan sedang bersantai sambil menonton talk show pagi, hanya bisa menghela napas.


"Lagi-lagi pakai pakaian kayak gitu…" keluh Tenma, merasa tak nyaman. Nagisa mengenakan tank top pendek yang memperlihatkan pusarnya dan celana dalam renda hitam yang terlalu terbuka. Nagisa memang tipe yang selalu mengenakan pakaian dalam dengan desain yang berlebihan, selalu siap untuk situasi apapun, menurut pengakuannya.


“Kenapa? Lagian kan nggak ada orang di rumah,” sahut Nagisa sambil meneguk air mineral dingin dalam sekali minum. Tenma merasa setidaknya ia bisa bersyukur bahwa kakaknya tidak sampai bertelanjang, meskipun ia sadar bahwa ia mulai terbiasa dengan kelakuan kakaknya yang aneh. Sambil merenung, ia merasa dirinya sudah mulai teracuni oleh kebiasaan buruk ini.


"Ah, sekarang aku merasa lapar setelah mabuknya hilang. Tenmaaa~ Kakak mau toast dan telur orak-arik, tolong buatin yaa~" pinta Nagisa dengan nada manja.


"Tolong buatin? Padahal itu cuma masukin roti ke toaster sama goreng telur di wajan. Bikin aja sendiri," balas Tenma, tidak tergerak.


“Toast sih gampang, tapi telur orak-arik -nya kan kamu yang paling enak masaknya,” balas Nagisa, menatap Tenma dengan penuh harap.


“Tapi kan…”


“Plis, aku mau makan! Aku mau telur orak-arik yang fluffy, kayak di hotel!” pinta Nagisa, mengguncang tubuh Tenma dengan antusias.


Tenma awalnya tetap tidak mau bergerak, tapi setelah digoyang-goyang dengan begitu keras dan mendengar Nagisa mulai merengek, "Plis, aku janji malam ini aku yang masak. Ya kan?" Nagisa bahkan sampai menggunakan teknik rayuan yang mungkin dia pelajari dari majalah wanita, meskipun kali ini targetnya adalah adiknya sendiri. Ironisnya, taktik ini tidak pernah berhasil di acara kencan grup yang sering dia hadiri.


"Haaah, baiklah...," akhirnya Tenma menyerah. Dia berdiri dari sofa, sementara Nagisa langsung memujinya dengan, "Kamu baik banget, aku sayang deh sama kamu!" 


Tapi Tenma hanya membalas dengan, "Iya, iya," dan melangkah menuju dapur. Ia mengambil dua butir telur dari kulkas, memecahkannya, menambahkan garam dan lada, lalu mulai mengocok telur.


Namun, saat dia hendak memasak, tiba-tiba terdengar suara bel pintu, "Piiin poooon." Pengunjung tak terduga muncul di waktu yang tidak tepat.


“Eh, Kak, bisa nggak tolong…” Tenma hampir meminta Nagisa untuk membukakan pintu, tapi segera teringat penampilan kakaknya yang terlalu terbuka. Kalau saja Nagisa mengenakan celana pendek, dia masih bisa mengurus paket dari kurir. Namun, dengan pakaian dalam yang terlalu terbuka, bahkan untuk sekadar menerima paket, rasanya tidak mungkin.


Dengan sedikit frustrasi, Tenma meletakkan sumpit dan mangkuk adonan telur. Tidak ada yang menjadwalkan untuk datang hari ini, jadi dia menebak mungkin itu hanya kurir paket, atau mungkin sales yang datang untuk menawarkan koran atau layanan internet. Itulah tebakan Tenma.


Dengan langkah cepat, Tenma menuju pintu depan, mengenakan sandal seadanya, dan tanpa pikir panjang dia membuka pintu.


"Ya, ya... siapa ya?" sapanya, tanpa sedikit pun rasa waspada.


"..."


Dan kemudian dia terdiam. Ada jeda panjang di mana pikirannya kosong.


Di depan pintu, bukan seorang salesman dengan jas rapi atau petugas kurir berpenutup kepala. Tidak, yang berdiri di sana adalah seorang wanita muda yang luar biasa cantik. Rambut panjangnya bersinar seperti perabotan mewah yang dipernis. Matanya besar, tidak seperti kebanyakan orang Asia. Tubuhnya ramping dan terlihat sempurna.


Namun, yang paling mengejutkan adalah…


“Hah?”


Tenma menatap wanita ini, seolah-olah dia muncul dari dunia lain. Dia menatapnya selama sepuluh detik penuh sebelum akhirnya bisa mengeluarkan suara penuh kebingungan.


"Selamat pagi, Yashiro," sapa wanita yang tetap tersenyum tanpa terganggu oleh situasi. 

Dia adalah Sumeragi Rinka. Otak Tenma terasa dipenuhi kabut, seperti sedang mengalami mimpi di siang bolong. Kemampuan berpikirnya yang sudah tidak terlalu tajam makin menurun.


──Tunggu, kenapa dia terlihat beda dibandingkan saat di kelas?


Perasaan tidak nyaman yang sepele itu segera terpecahkan. 


Alasannya sederhana, Rinka mengenakan pakaian kasual. Blusnya menonjolkan bahu dengan anggun, memancarkan aura keanggunan yang sensual. Ia mengenakan skinny jeans yang memperlihatkan pergelangan kakinya, dipadu dengan sandal berhak tinggi. Sabuk yang agak maskulin melingkari pinggangnya, menjadi aksen yang sempurna untuk penampilannya yang luar biasa modis. Rambut hitamnya yang biasanya terurai kini diikat dengan rapi. Penampilannya seperti diambil langsung dari halaman majalah fashion yang mempromosikan tren kasual terbaru musim semi ini. Tenma, terkejut oleh pemandangan itu, merasa pikirannya semakin bingung.


"Ini bukan Shibuya, tahu?" ucap Tenma, tanpa memahami apa yang dia maksud sendiri.


"Shibu... Maaf, maksudmu apa?" Rinka bertanya dengan bingung.


"Apa-apaan sih pakaianmu yang terlalu serius itu?" keluh Tenma.


“Serius? Ini biasa saja, lagipula, bukan seperti kamu yang...” balas Rinka dengan datar.


“Hah?” Tenma merasakan tatapan tajam Rinka dan spontan melihat dirinya sendiri. Dia sedang mengenakan T-shirt jelek dengan gambar maskot lokal yang tak jelas motifnya, oleh-oleh dari perjalanan sosial ibu bersama teman-teman arisannya. T-shirt yang begitu tidak layak pakai hingga Tenma memutuskan menjadikannya sebagai pakaian tidur.


“Jangan lihat terus begitu!” Tenma berteriak panik sambil menutupi dirinya, tetapi Rinka hanya menghela napas, "Aku juga nggak berminat melihatnya."


Tenma segera kembali ke kenyataan. "Apa tujuanmu... eh, lebih tepatnya, bagaimana kau bisa tahu rumahku!?"


"Aku tanya temanmu. Itu, cowok yang selalu tersenyum... Hayami, kan?" jawab Rinka dengan tenang.


"Souta? Jadi, kau bertanya padanya dan dia langsung memberitahu begitu saja?"


“Iya, aku bilang ingin mengenalmu lebih baik, dan dia dengan senang hati memberitahu,” kata Rinka, menirukan gaya ceria Souta. Tenma bisa membayangkan Souta mengacungkan jempol, merasa telah melakukan sesuatu yang baik.


"Apa-apaan sih ini!? Kenapa semuanya jadi begini?" Tenma merasakan pusing yang makin menjadi-jadi, bingung dengan situasi ini.


"Kau? Di rumahku? Mencari alamatku, dan tiba-tiba datang untuk mengagetkanku seperti ini. Apa-apaan ini, serius?"


"Baiklah, baiklah, aku akan menjelaskannya seperti yang kau minta. Tapi... boleh aku masuk dulu?" Rinka berkata sambil mengangkat tas bermerek L&V yang berat. Sambil menolehkan kaki bersandal tingginya, dia memancarkan kesan, Aku sudah berjalan jauh dan lelah.


"Ini akan panjang, dan berdiri di sini tidak nyaman, kan?"


"Hmpf... Berlagak sekali kau," Tenma merasa kesal dengan sikap Rinka yang tanpa permisi, namun dia tidak bisa memutuskan apa yang harus dilakukan.


Tepat saat itu, terdengar suara dari belakang, "Teennmaa~! Kamu ngapain sih lama banget?"


Tenma langsung ingat bahwa dia sedang memasak sarapan, dan lebih dari itu, alasan dia yang harus menyambut tamu adalah karena kakaknya, Nagisa, sedang dalam kondisi yang tidak pantas untuk dilihat orang. Terkejut, Tenma berteriak, 


“Jangan ke sini, kak!”


Namun, sudah terlambat. Nagisa yang tampak tidak puas dan dengan pipi menggembung sudah berdiri di belakangnya. Ah, malapetaka terjadi. Pakaian dalam perang Nagisa, yang selalu siap siaga, kini terpapar di hadapan seorang teman sekelas.


Tapi keterkejutan Tenma hanya berlangsung beberapa detik, karena ia segera menyadari bahwa Nagisa sudah mengenakan celana pendek, sesuatu yang tadi tidak ada sebelumnya. Rupanya, Nagisa masih memiliki sisa-sisa kesadaran tentang kesopanan.


“Ayo cepat buat telur orak-arik-nya. Rotinya sudah selesai di-toast… eh, eh… siapa ini?” 


Mata Nagisa yang tadinya setengah mengantuk sekarang terbuka lebar, dan tanpa sadar ia bergumam, 


“Shibuya?”


Rupanya, kakak-beradik ini sama-sama memiliki pola pikir yang sama. Pandangan mereka bertemu, lalu terdiam sejenak. Sementara Tenma mencoba mencari kata-kata, mendadak…


“Salam kenal,” kata Rinka dengan anggukan hormat yang sangat sopan. Dia membungkuk pada sudut sekitar 45 derajat, sebuah penghormatan penuh rasa hormat. Tenma terkejut dan terdiam sejenak, tapi itu belum semuanya. Saat Rinka mengangkat wajahnya, dia tersenyum tipis.


“Anda kakaknya Tenma-kun, bukan? Saya Sumeragi Rinka, satu kelas dengan Tenma-kun sejak kami naik ke tahun kedua. Terima kasih banyak atas bantuan Tenma-kun selama ini. Ini, hanya sesuatu yang sederhana saja,” lanjutnya sambil mengulurkan sebuah bingkisan. Di atas kertas penutupnya tertulis ‘cenderamata’ dengan tulisan tangan halus, membuat Tenma merinding.


Kun? Tenma-kun? Terima kasih atas bantuannya? Cenderamata? 


Rasanya seperti melihat kucing jinak yang dipinjam, seolah-olah dewa kucing itu sendiri muncul di depan mata.


“Terima kasih banyak atas kebaikan Anda…” Nagisa, yang biasanya ceria, kini menerima bingkisan itu dengan wajah yang sangat serius. Tapi tak lama kemudian...


“...Tenma!” Nagisa memutar kepala dengan cepat hingga hampir terdengar bunyi 'gulung,' dan dengan satu tarikan, dia merangkul Tenma dengan kuat, menyeretnya menjauh dari Rinka.


“Siapa cewek yang sangat seksi itu!?” bisik Nagisa dengan suara tajam.


“Kenapa nggak bilang aja dia cantik atau berpenampilan menarik, lebih umum, kan?” jawab Tenma, kebingungan.


“Dia jelas seksi, Tenma! Sejak kapan kamu pacaran sama cewek seperti itu?”


“Aku bahkan nggak mungkin bisa pacaran sama dia. Cewek sehebat itu nggak mungkin tertarik dengan cowok nggak berguna sepertiku,” jawab Tenma dengan lesu.


“Tapi tetap saja, dia cukup dekat sama kamu untuk datang ke rumahmu, kan? Itu tanda jelas kalau dia tertarik, adikku! Bagus, bagus! Aku bangga padamu!” Nagisa berkata sambil memekik seperti seseorang yang baru saja menenggak bir dalam sekali tegukan.


Tenma benar-benar bingung. “Aku nggak pernah mengundangnya, dia tiba-tiba saja datang!”


“Apa!?” Mata Nagisa hampir melotot keluar saat dia mendengar itu.


“Jadi, jadi, maksudmu, dia datang ke sini tanpa pemberitahuan? Tanpa janji apa pun?” tanya Nagisa, tercengang.


“Ya, begitulah. Aku juga kaget, makanya...”


“Itu lebih luar biasa lagi! Bukan cuma tanda minat, dia pasti udah siap untuk... dua kali putaran!” Nagisa berseru penuh semangat, jelas tersesat dalam teorinya sendiri.


“Berhenti memakai standar anehmu yang miring soal hubungan seperti itu,” keluh Tenma, merasa semakin tak nyaman.


“Kamu harus tahu satu hal, ya. Banyak cewek yang, sebelum datang ke rumah cowok, sering bilang hal kayak, ‘Jangan ngelakuin hal yang aneh, ya,’ seolah mereka ngasih peringatan. Tapi, dengerin ini baik-baik. Kalau mereka beneran nggak mau ada hal aneh terjadi, mereka nggak akan datang ke rumah cowok itu dari awal, ngerti? Jadi, begitu seorang cewek masuk ke rumah cowok, itu artinya dia sudah siap untuk apa pun yang terjadi. Itu hukum alam, ngerti?”



Tenma hanya bisa menatap kosong ke kejauhan, seolah jiwanya terlepas dari tubuh, mendengar Nagisa melontarkan pandangannya yang tidak masuk akal tanpa rasa malu sedikit pun.


“Gawat, jangan sampai ketinggalan kesempatan! Ini seperti burung yang datang sendiri dengan bawaan mewah, harus diamankan, harus diamankan!” ujar Nagisa, dengan penuh semangat. 


Setelah komentar yang sangat kurang ajar itu, Nagisa langsung memasang senyum palsu seperti seorang penipu. “Sumeragi-san? Maaf menunggu yaa~,” katanya sambil melambaikan tangan dan berlari kecil mendekati Rinka.


Kalau hanya mengundang masuk, Tenma mungkin masih bisa menerima situasinya. Namun, apa yang terjadi kemudian jauh melampaui batas kewajaran.


“Ayo, ayo, masuk, jangan sungkan. Oh, kamar Tenma ada di sana, langsung di atas tangga…” kata Nagisa, tanpa ragu sedikit pun, langsung mengarahkan Rinka menuju kamar Tenma. 


Rinka pun dengan santai mengikuti arahan itu, seolah sudah biasa masuk ke rumah orang lain. Tenma hanya bisa melihat semuanya terjadi di depan matanya, merasa bahwa berpikir lebih jauh hanya akan sia-sia. Terpaksa dia mengalah dan mengamati pemandangan aneh itu tanpa perlawanan.


"Tempat ini ternyata cukup bersih," komentar Rinka, memandang sekeliling.


"Aku rutin membersihkannya," jawab Tenma, dengan nada datar.


"Itu kebiasaan yang baik. Aku akan memujimu," kata Rinka dengan senyum tipis.


"Terima kasih," jawab Tenma dengan nada kering, berusaha tetap waras di tengah situasi yang aneh. Jika dia diam terlalu lama, pikiran negatif akan segera menghampirinya.


Rinka duduk di tempat tidur Tenma, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya—terlebih lagi oleh seorang gadis cantik. Meskipun dia pemilik ruangan ini, entah kenapa dia merasa seperti orang asing. Dia hanya berdiri kaku di dekat pintu, merasa tidak pada tempatnya.


Oh ya, dia belum membuat telur orak-arik yang dijanjikan. Mengingat hal itu, Tenma memutuskan untuk melarikan diri dengan alasan itu. Dia berharap, saat dia kembali setelah memasak, Rinka sudah menghilang dan semua ini hanya mimpi buruk.


"Aku mau buatkan makanan untuk kakakku. Tunggu sebentar, ya," kata Tenma dengan gugup, siap berbalik untuk pergi.


"Tunggu. Makanan yang kamu maksud itu telur orak-arik?" tanya Rinka, menahannya.


"Benar," jawab Tenma.


"Oh begitu. Menarik," katanya, mengangkat dagunya dengan sikap misterius.


"Eh? Maksudnya apa?" tanya Tenma, bingung.


"Ngomong-ngomong, aku belum makan apa-apa sejak bangun tadi," jawab Rinka dengan santai.


"Hah?" Tenma bingung, tak tahu apa maksud Rinka.


Matanya menatap Tenma dengan kilau polos, seolah-olah dia menuntut sesuatu tanpa perlu mengatakannya. Tenma mendesah, menyerah pada permintaan tak terucap itu. Dia terlalu cinta damai untuk memulai konflik kecil seperti ini.


"Baiklah, kalau begitu. Roti, telur, dan kopi, apakah itu cukup untukmu, Nona?" katanya setengah bercanda, seolah berbicara pada seorang putri.


"Ya, terima kasih," jawab Rinka dengan senyum yang menyegarkan, seolah permintaannya sangat sederhana dari awal.

Tenma menelan kata-kata yang ingin dia ucapkan dan mengampuni Rinka karena senyum manisnya itu.


Setelah mencuci piring, Tenma kembali ke kamar, berharap keajaiban terjadi dan Rinka sudah pergi. Namun, kenyataannya berbeda. Rinka tampak lebih nyaman di kamar itu, seolah dia memang sudah menjadi bagian dari tempat tersebut.


"Makasih, makanannya enak banget," kata Rinka dengan nada santai.


"Ya ya, sama-sama," jawab Tenma, duduk bersila di atas tatami, menatap Rinka yang masih duduk di tempat tidurnya.


"Kalau dari posisi itu, kamu terlihat seperti orang mesum yang pengen ngintip celana dalam cewek," ledek Rinka dengan senyum nakal.


"Kamu nggak pake rok, jadi teorimu nggak berlaku," bantah Tenma, tak kalah cepat.


"Jawaban yang tepat," jawab Rinka sambil tertawa kecil. Tenma hanya bisa menatapnya dengan kesal. Meskipun ini kamarnya, kendali situasi sudah terlepas dari tangannya.


Di tengah kebingungannya, Nagisa tadi mengatakan sesuatu yang aneh di tangga, "Aku nonton TV dengan volume besar, jadi santai aja kalian. Hehe." Itu semakin memperkeruh suasana.


"Jadi... apa tujuanmu datang ke sini?" tanya Tenma akhirnya, berusaha langsung ke pokok permasalahan.


Rinka, seorang gadis SMA yang bisa saja direkrut oleh agen bakat di jalanan Shibuya, apa yang dia lakukan di sini? Tenma berusaha mempersiapkan diri untuk menghadapi apa pun yang mungkin akan dia katakan.


"Aku berniat menyatakan perasaan pada Reira," kata Rinka dengan tenang.


"...Apa?" Rasanya seperti dihantam nunchaku di belakang kepala. Tenma tidak siap untuk jawaban ini.


"Aku akan menyatakan cinta pada Reira," ulang Rin'ka, seolah memastikan Tenma benar-benar memahaminya. Matanya penuh dengan tekad, memperlihatkan keinginan yang kuat untuk melakukannya. Tenma hanya bisa mengeluarkan satu kata, "Oh... begitu."


Tapi itu tidak cukup. Rinka menatapnya, seolah menuntut respon lebih.


"Ah... ya, tentu. Kamu akan menyatakan perasaanmu pada Tsubaki-san. Kenapa tidak? Itu ide yang bagus," jawab Tenma, berusaha terdengar sepositif mungkin, meski hatinya masih terguncang.


Meskipun sejujurnya aku merasa ingin berkata "kalau mau, lakukan sesuka hatimu," tapi aku tak mau dia marah, jadi aku ubah kata-katanya jadi lebih halus. Rupanya itu berhasil, karena wajah Rinka langsung berseri-seri.


"Berkat perkataanmu, aku bisa memantapkan tekadku. Ingat, soal berdiri di garis start itu."


"Oh... baguslah kalau begitu."


"Aku sudah memikirkan rencana yang matang. Dan peranmu juga."


"R-re-rencana? Peran?"


"Ya. Yang pertama ingin kulakukan adalah..."


"Eh, tunggu, tunggu dulu!"


Dengan wajar, Tenma memotong pembicaraan, sementara Rinka menatapnya dengan heran, seakan tak mengerti apa yang terjadi. Tenma merasa bingung, tak tahu dari mana harus memulai protesnya.


"Kalau ada pertanyaan, cepat tanyakan saja. Nanti akan kujawab."


"...Ah, begitu ya. Kalau begitu jelaskan semuanya."


Dalam situasi ini, dia memutuskan untuk pasrah dan mengungkapkan semuanya.


"Entah kenapa kau memutuskan untuk mempercepat kematianmu dengan memutuskan untuk menyatakan cinta pada teman perempuanmu, dan entah kenapa kau membeberkan itu semua pada seorang pria tak terkait seperti aku, lalu entah kenapa kau sudah menganggap aku akan membantumu dalam rencana ini... Dan yang terakhir, ini yang paling misterius!"


Tenma menunjuk gadis yang duduk di atas tempat tidur, dengan kaki terlipat.


"Bagaimana bisa, meskipun kau datang ke kamar seorang pria dan kita hanya berdua, kau sama sekali tidak merasa malu dan tetap tenang seperti ini?"


"Malu? Maksudmu... hanya karena masuk ke kamar pria yang tidak kusukai, kenapa aku harus merasa begitu?"


"Setidaknya orang biasanya akan merasa gugup atau semacamnya..."


"Tolong jangan paksa standar 'normal' milikmu kepada orang lain."


"Hmph..."


"Dan lagi, satu hal."

Rinka mengangkat jari telunjuknya, seolah menepis keluhan Tenma dengan tegas.


"Kau bilang kenapa aku bercerita padamu, kan? Sebenarnya, satu-satunya yang tahu tentang perasaanku adalah 'seseorang' yang secara kebetulan melihat buku harianku, jadi tak ada orang lain yang bisa kumintai saran. Salah?"


"...Tidak salah."


"Dan lagi, kau juga bertanya kenapa sudah pasti aku minta bantuanmu. Tapi kau lupa? Kau yang bilang 'apa saja akan kulakukan' tanpa aku memintanya. Salah?"


"...Seperti yang Anda katakan, Yang Mulia."


"Oke. Ada lagi yang mau ditanyakan?"


Seolah masalah sudah selesai, Rinka menjawab dengan sikap yang sedikit sombong. Meskipun menyebalkan, dia berhasil menjawab semua pertanyaan Tenma dengan cara yang efisien.


"Bagaimana caranya kau bisa jadi orang setegar itu?"


Tenma bertanya dengan nada sarkastik, tapi Rinka sama sekali tidak tersinggung.

"Dengan mengenal cinta, tentu saja."


"Pasti kau asal bicara."


"Serius, kok. Artinya, kita adalah satu kesatuan takdir."


"Takdirku sama sekali tidak terlibat di sini."


"Maksudku adalah, ayo kita lakukan ini dengan semangat seperti itu."


"Ya, terserah."


Meski dia tidak menyesal, Tenma menghela napas. Alasan dia ingin membantu sebenarnya adalah karena Rinka yang menangis tersedu-sedu di lantai saat itu, bukan yang sekarang, yang hidup dan penuh semangat sampai terasa menyebalkan. Namun, sayangnya dia tidak cukup tebal muka untuk menolak membantu dengan alasan yang begitu egois.


"Baik, mari kita masuk ke topik utama. Ini rencana yang sudah kupersiapkan, 'Operasi Menyatakan Cinta kepada Tsubaki Reira'. Semua detailnya akan kuberitahu."


Nama rencananya tidak ada yang spesial, dan dia merasa jika dia berkomentar soal itu, dia pasti akan mendapat balasan pedas, jadi lebih baik diam saja.

"Kau tadi bilang, kan? Menyatakan cinta pada Reira itu seperti 'keputusan untuk mati lebih cepat'. Aku setuju dengan itu. Keberanian dan kebodohan tidak boleh disamakan."


"Saat ini, itu sama saja dengan bunuh diri, mungkin."


Menyatakan cinta pada teman, apalagi teman sejenis. Hasilnya sudah bisa ditebak.


"Benar. Jadi yang harus kulakukan pertama adalah keluar dari kategori 'teman'. Idealnya, aku ingin kami berada dalam hubungan 'lebih dari teman, tapi belum sampai pacar'."


"Kau mudah sekali bicara. Bukankah itu yang paling sulit?"


"Itulah kenapa aku butuh bantuan dari pihak ketiga."


Seperti orang yang menyampaikan tesisnya, Rinka mengangkat hidungnya dengan bangga.


"Dengarkan baik-baik. Aku butuh kamu untuk mendukungku di sekolah agar Reira mulai memperhatikan aku. Tapi jangan sampai merusak citra atau karakternya, semuanya harus terlihat alami, paham?"


Singkatnya, dia ingin Tenma memainkan peran sebagai Cupid. 


Pemilihan orang yang salah, tentu saja.


"Kalau aku bisa melakukan itu dengan baik, aku pasti sudah jadi perencana acara pernikahan dan punya masa depan yang cerah."


"Gampang saja. Meski menjengkelkan, tapi sepertinya Reira sangat tertarik padamu, lebih dari sekadar orang biasa."


Ini adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan, pikirnya. Meskipun, secara logika, ucapannya ada benarnya.


"Rencananya begini. Saat Reira mengajakmu makan siang bersama, kau akan berkata, 'Aku tak sanggup menemani Tsubaki-san sendirian, bagaimana kalau kita ajak Sumeragi-san juga?' Dengan begitu, aku akan terlibat secara alami dan karaktermu tidak akan hancur."


Meskipun ucapan Tenma sudah merusak karakter itu, dia akan menulis ulang naskahnya nanti.


"Kalau begitu, kita akan terjebak makan siang bertiga. Tidak apa?"


"Tentu saja tidak. Kau hanya perlu pergi dari situ. Kau bisa bilang sakit perut atau ada teman lain yang memanggilmu. Asal ada alasan yang masuk akal, semuanya akan baik-baik saja."


"Lalu kau dan Tsubaki-san akan berdua saja."

"Ya, tepat sekali. Mudah, kan?"


"Mungkin mudah, tapi..."


Rencana ini terasa terlalu rumit. Apakah benar-benar perlu pihak ketiga terlibat?


"Kalau kita ulangi ini berkali-kali, aku dan Reira akan... hehe. Dan pada akhirnya... huhu."


Rinka mulai membayangkan hal-hal yang tidak jelas, menatap ke atas dengan wajah bodoh yang merusak kecantikannya. Meskipun Tenma khawatir dengan kondisi mentalnya, sudah terlambat untuk memperbaikinya sekarang.


"Sekalian saja, aku ingin memberikan masukan yang konstruktif."


"Ah! Bagus. Beri aku sebanyak-banyaknya."


"Kenapa nggak kamu aja yang langsung berteman baik sama Tsubaki-san tanpa harus libatin aku?"  


"Karena itu nggak mungkin. Aku sudah jelasin berkali-kali, aku punya karakter yang harus dijaga..."  


"...Astaga."  

Kepalaku mulai pusing. Benar-benar cinta itu membutakan, sampai-sampai Rinka yang biasanya cerdas sekarang jadi bodoh luar biasa, bahkan aku yang gaptek soal cinta bisa ngelihat kekurangannya dengan jelas.  


"Kamu tuh kayaknya kurang banget rasa waspada, deh."  


"Waspada?"  


"Kamu sendiri yang bilang, kan? Kamu terus takut kalau ada yang bakal lebih dulu dapetin dia."  


Sejujurnya, kenyataan kalau belum ada yang ngambil langkah duluan itu aja udah mukjizat. Blokade dari cowok-cowok yang naksir cuma bisa bertahan sampe batas tertentu.  


"Aku kasih tahu ya, ada banyak cowok di dunia ini yang pengen pacaran sama Tsubaki-san. Kalau kamu lengah, satu atau dua cowok tampan pasti bakal muncul dan nyaplok dia."  


"Nggak! Nggak boleh, nggak boleh! Aku nggak bakal biarin itu terjadi, apalagi sama cowok entah siapa itu!"  


Aku cuma maksudnya buat manas-manasin, tapi ternyata ucapanku punya dampak yang lebih besar dari dugaan.  


"Kenapa enggak boleh?"  

"Karena... nggak ada satu pun yang benar-benar ngerti Reira. Mereka semua cuma lihat bagian dirinya yang indah. Mereka mikir kalo dia itu bakal ngebiarin apa pun dan memaafkan mereka karena kebaikannya. Itu cuma asumsi mereka. Padahal, dia itu rapuh dan gampang tersakiti. Makanya, aku yang harus... aku aja yang bisa!"  


"Bagus, kalau gitu kamu harus lebih aktif deh mendekatinya."  


"Y-ya... bener sih, ya?"  


Untuk poin ini, Rinka sebenernya bukan orang yang nggak bisa diajak ngomong. Dia ngerti kalau apa yang aku bilang masuk akal. Tapi masalahnya mulai dari sini.  


Dia duduk sambil gelisah, terlihat nggak nyaman. Apa sih yang dia pikirin? Terus-terusan bilang "Tapi, tapi..." kayak radio rusak.  


"Tapi apa?"  


Aku mulai nggak sabar dan tanya langsung, akhirnya dia bergumam pelan sambil menghindari tatapan.  


"Sebenernya, di umur segini, buat deket-deket sama Reira kayak gitu tuh... malu, tahu."  


"Kayak gitu tuh gimana?"  

"Ya, yang lengket-lengket, nempel-nempel, gitu. Kayak gandeng tangan atau pelukan."  


"...Bukannya itu hal biasa buat cewek?"  


"Dulu sih, iya, waktu kita masih SD. Tapi... waktu itu aku belum punya perasaan yang begitu spesial ke dia. Lagipula..."  


Dia mulai ngejelasin alasan yang berbelit-belit, tapi intinya, dia merasa susah buat berinteraksi secara normal sama Reira karena perasaannya sendiri.  


"...Padahal di buku hariannya ada deskripsi yang lebih berani, loh."  


"Latihan di pikiran sama di kenyataan itu beda jauh! Aku tentu aja pengen, tapi..."  


Mukanya memerah seperti udang rebus. Dia mencoba nutupin dengan rambutnya, bibirnya rapat terkatup, pandangannya ke sana ke mari, dan dia menggoyang-goyangkan tubuhnya seolah menahan keinginan buang air.  


Dia bener-bener penjelmaan rasa malu.  


"........."  


Aneh banget.  


Aku hampir ketawa karena memang aneh. Rinka yang biasanya selalu dihormati dan dikagumi, ternyata di sisi percintaan dia malah canggung banget. Di balik wibawanya, dia ternyata sama gugupnya kayak anak SMA biasa.  


Melihat dia begitu, aku tiba-tiba mikir: gimana kalau aku bantuin dia dalam urusan cintanya?  


"Haaah... ya udah, mau gimana lagi."  


Kayaknya aku mulai berubah pikiran. Ini semacam penyerahan mimpi yang nggak bisa aku capai sendiri ke orang lain. Aku mungkin nggak bisa jadi pelakunya, tapi kalau aku bisa ada di sisinya, siapa tahu...  


"Apa, kamu pikir aku ini menyedihkan?"  


"Ya, jelas. Kamu sok berwibawa, tapi soal cinta ternyata payah banget."  


"Uh..."  


"Makanya, aku bakal bantuin kamu."  


"Apa?"  

Aku juga harus ambil keputusan. Ini jalan tercepat, dan memang mungkin kami adalah takdir bersama.  


"Aku bakal bantuin kamu sebisa mungkin."  


"Kamu... serius?"  


Rinka ngeliatku kayak aku tiba-tiba jadi aneh atau apa, tapi kemudian dia seperti mendapat ide.  


"Jangan-jangan... kamu jatuh cinta sama aku?"  


"...Jangan geer. Aku lebih suka cewek yang anggun."  


"Oh... tapi, tetap jangan sampai kamu jatuh cinta sama Reira, ya. Itu dilarang."  


"Tenang aja, aku nggak sebodoh itu. Siapa yang mau punya cinta yang nggak mungkin terjadi..."  


Reira memang cantik, baik, dan perhatian, tapi dia kayak bintang di langit, jauh dari jangkauan. Aku nggak bisa membayangkan diriku ada di sisinya.  


"Bagus deh. Nah, kalau gitu..."  

Tiba-tiba Rinka menyodorkan tangannya, persis kayak orang yang minta uang.  


"Pinjamkan ponselmu."  


"Kenapa?"  


"Jelas kita harus tukar kontak."  


"Ah... ya ampun, ada cara yang lebih baik buat bilang begitu, kan?"  


Dengan enggan, aku mengeluarkan ponselku. Saat aku membuka kunci layar, jari panjang meluncur dengan licin dan merebutnya. Aku sudah tak punya tenaga lagi untuk memprotes. Sementara aku, Tenma, setengah pasrah, gadis di depanku dengan cekatan mengoperasikan kedua ponsel kami, lalu tiba-tiba dia berhenti seakan mengingat sesuatu.  


"Koordinasi yang cepat sangat penting, jadi kita harus membuat aturan. Hmm... jawab telepon dalam tiga dering. Balas pesan dalam tiga menit, ringkas dan jelas. Oke?"  


"Memaksakan sesuatu sepihak bukan aturan, itu hanya pelecehan kekuasaan."  


"Tentu saja, aku juga akan mengikuti aturan itu. Oke, selesai!"  

Ponsel yang dilemparkan kembali padaku (aku sudah menduga akan terjadi) berhasil kutangkap. Setelah memeriksa apakah dia tidak mengutak-atik hal yang aneh, ada sesuatu yang terasa janggal.  


"Hoi, apa-apaan nih? Kenapa ada nama kontak 'Tuan' yang konyol ini?"  


"Oh, itu kamuflase. Kalau ada yang melihat namanya, bisa-bisa mereka curiga kita sedang bersekongkol."  


"Ini malah bikin orang curiga kalau aku punya kecenderungan aneh."  


"Tenang saja, aku menyimpannya sebagai 'Shiro' di ponselku."  


"Itu jelas-jelas nama anjing."  


Begitulah, tukar kontak paling sepihak dan penuh tekanan dalam hidupku berakhir. Para cowok di sekolah pasti akan menangis iri jika mendengar hal ini, tapi entah kenapa, aku tidak merasa senang sama sekali.  


"Sial... ya sudah, untuk hari ini pulanglah. Aku akan bantu sebisanya dengan kerjasama ini."  


"Oh, kok buru-buru sekali?"  


Rinka yang masih duduk mengayunkan kakinya secara bergantian. Kuku-kukunya yang berlapis glitter tipis berwarna biru tenang, selaras dengan gaya busananya hari ini, dan aku tak bisa menahan diri untuk berpikir bahwa itu sangat indah.  


"Aku ada urusan."  


"Pakaian kotor yang menumpuk, membersihkan kamar, belanja bahan makanan, masak. Hanya itu, kan?"  


"Tepat sekali. Itu urusan penting, tahu nggak?"  


"Ya, ya. Orang tuamu yang bekerja di luar negeri, dan kau tinggal berdua dengan kakak perempuanmu, pasti banyak yang harus dikerjakan, ya?"  


"Ini bukan upaya untuk pamer kesulitan... eh, tunggu."  


Saking lancarnya dia bicara, aku hampir melewatkannya, tapi tunggu sebentar.  


"Apakah aku pernah bilang kalau orang tuaku tugas ke luar negeri?"  


"Percayalah pada ingatanmu sendiri."  


"Iya, benar. Tapi kenapa kau tahu itu?"  

"Ah, bukan hal besar. Aku sudah memeriksa lingkaran pertemananmu kemarin. Dalam proses itu, aku mengetahuinya."  


"Apakah kau detektif... tolong hanya cuci piring kotor saja, ya?"  


"Ah, aku baru tahu tadi kalau kakak perempuanmu cukup unik, ya."  


"Kalau sudah suka mengkritik, tidak perlu sok peduli... oh iya, benar juga. Lantainya juga harus kubersihkan setelah kakakku mengotorinya. Cepatlah pulang..."  


Sambil menggaruk kepalaku yang mulai terasa sakit, aku berdiri dan membuka pintu.  


Tampaknya itu adalah kejadian yang tak terduga.  


"Ahya!" Sebuah suara konyol terdengar, disusul oleh suara tubuh terjatuh. Dia terkapar di lantai dengan posisi tengkurap.  


Sembilan puluh sembilan persen, dia pasti menempelkan telinganya ke pintu. Kalau tidak, dia takkan jatuh dengan cara begini.  


Di kakiku, seorang wanita merangkak seperti sedang bersujud. Setelah melewati momen sunyi yang sepatutnya, dia perlahan-lahan mengangkat wajahnya.  


"…Sedang apa, Kak?"  


"Eh, ah, ya... sebagai kakak, tentu aku ingin tahu seperti apa pengalaman pertama adikku."  


Dia tertawa keras dengan cara yang menyebalkan. Rasanya aku ingin menginjak kepalanya.  


"Hentikan! Jangan lihat kakakmu seperti melihat sampah!"  


Nagisa, yang melompat berdiri, menarik tali tank top yang hampir jatuh dari bahunya.  


"Lihat, aku bahkan bawa oleh-oleh."  


"Oleh-oleh?"  


"Iya, ya. Tanggung jawab sebagai pria. Soal etika. Aku yakin kamu nggak bawa, kan?"  


"......"  


"Maaf ya, sepertinya kamu nggak sempat beli, jadi aku cari-cari di rumah, dan cuma ini yang kutemukan."  


Dengan senyum cerah, dia menyerahkan selembar bungkus plastik cling wrap. Aku langsung membuangnya begitu menerimanya.  


"Tolong jangan mempermalukan keluarga lebih dari ini!"  


Dengan sungguh-sungguh, aku memegang kepala, merasa hidupku sudah berakhir. Sebuah kejadian memalukan yang pasti akan membuat orang terkejut, dan gadis yang kelihatannya perfeksionis itu menyaksikannya.  


Membayangkan tatapan dingin yang akan dia berikan, aku pun berbalik.  


"Fuh..." Namun yang kulihat adalah pemandangan yang benar-benar berlawanan. Nafas hangat yang seperti mencairkan es. Sambil menutupi mulutnya dengan elegan, Rinka sedikit tertawa. Anehnya, itu bukan tawa ejekan.  


"Kakak yang menyenangkan, ya. Aku iri, keluargamu tampak akrab."  


Aku tidak mengerti. Ekspresinya begitu tenang. Tak ada sindiran, tak ada ejekan, bahkan tak ada kepura-puraan. Dia benar-benar terlihat iri, seolah-olah dia sungguh-sungguh mengagumi hubungan kami.  


"Kan? Kan?"  


Dengan suara nyaring, Nagisa mendorongku ke samping dan langsung memeluk tubuh bagian atas Rinka yang duduk di tempat tidur.  


"Punya kakak yang seksi, baik hati, dan brocon seperti aku ini, yang pasti bikin cowok-cowok SMA di seluruh negeri nangis iri, tapi adik ini malah memperlakukanku dengan buruk!"  


"Apa yang sedang dia bicarakan...?"  


Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Sebelum aku sempat menjatuhkan tinju ke arah Nagisa, yang sudah kuacungkan...  


"Kelihatannya kau banyak menghadapi kesulitan, ya."  


Rinka menepuk bahu Nagisa dengan lembut. Tangis pura-pura wanita dewasa yang berperilaku seperti anak kecil. Dalam situasi di mana dia seharusnya marah, Rinka malah berbicara dengan suara yang lembut dan penuh pengertian, yang hanya membuat wanita di sebelahnya semakin besar kepala.


"Ya, benar-benar dingin~. Bahkan tadi pagi, meskipun aku berpura-pura mati, dia sama sekali tidak terkejut, tidak mau mendengarkan keluhanku, dan malah menginjakku dengan malas~."


"Jangan bicarakan hal-hal yang bisa disalahartikan oleh orang lain."


Aku berusaha menarik lehernya untuk memisahkan dia, tetapi Nagisa tidak mau melepaskan. Dia menggosokkan hidungnya seolah mencium feromon yang memanasi dari celah dadaku. Ini adalah kakak kandungku, yang melakukan hal ini di depan teman sekelas. Rasa sedih ini sudah melewati batas, menjadi hampa. Untungnya, Rinka tidak memiliki payudara yang terlalu besar, mungkin di bawah rata-rata, sehingga situasinya tidak terlalu provokatif.


"Gueh!"


Tepat setelah itu, Tenma yang merintih. Wajahnya dihantam bantal yang dibuang dengan satu tangan oleh Rinka.


"Apa yang kamu lakukan!"


"Baru saja, kamu berpikir sesuatu yang tidak sopan, kan?"


"Hah? Tanpa bukti gitu."


"Aku bisa melihat dari matamu, mesum."


"Mau gimana lagi, Tenma adalah tipe yang pendiam~."


"…Eh. Apa kalian semua bisa pergi dari kamarku?"


Setelah itu, Rinka, yang entah bagaimana tetap tinggal, terpaksa mendengarkan keluh kesah Nagisa (atau mungkin lelucon cabul). Aku tidak tertarik dengan pembicaraan perempuan antar generasi, jadi aku berusaha untuk tidak terlibat. Tenma awalnya berniat untuk melakukan pekerjaan rumah seperti yang direncanakan, tetapi pilihan ini ternyata merupakan kesalahan besar.


Ketika siang menjelang dan aku memasuki ruang tamu, aku melihat keduanya saling memanggil 

"Rinka-chuan!"

"Onee-sama!" 

dengan penuh semangat. Ini adalah tujuan Rinka.


"Aku mendengar, Tenma. Sepertinya dia meminta sesuatu yang penting darimu."


"Eh? Ya…"


"Kalau begitu, bantu dia sepenuh hati. Jika kamu tidak memberikan yang terbaik, aku tidak akan memaafkanmu."


"Kenapa aku harus mendengar itu dari kakak?"


"Tidak ada kata-kata yang buruk di sini. Jarang sekali ada gadis yang seksi, baik hati, serius, dan memiliki hati yang besar seperti itu, jadi akan lebih baik untuk mendapatkan keuntungan darinya, bukan?"


"Tidak, eh…"


"Jawab saja dengan 'iya' atau 'ya'. Mengerti?"


"…Iya."


"Dan segera siapkan makan siang yang enak untuknya. Itu adalah Kewajiban, ya?"


Sepertinya aku sudah terjebak dalam permainan ini. "Kakak yang baik. Hidupmu pasti tidak membosankan, ya?"


Rinka tertawa kecil sambil mengatakannya. Aku sudah menyadari bahwa perilakunya yang dingin di sekolah hanya sekadar “pembuatan karakter”.' Hari ini, aku benar-benar menyadari bahwa dia bisa dengan mudah masuk ke dalam hati orang lain, seperti strategi yang berhasil dengan anggun. Aku teringat frasa "delapan wajah, enam lengan," tetapi mungkin artinya berbeda.


"Sepertinya kakak menyuruhku untuk memasak untukmu. Bagaimana? Apakah kamu ingin makan?"


"Itu sangat membantu. Apakah bahan-bahannya cukup?"


"Kalau untuk nasi goreng, aku bisa membuatnya sebanyak yang kamu mau."

"Tapi, itu pasti merepotkan, kan?"


"Setelah kamu mengacaukan segalanya, tidak ada kata merepotkan lagi, bodoh."


"Begitu… Kalau begitu, aku akan terima. Terima kasih."


Setelah sarapan, aku akhirnya mempersiapkan makan siang untuknya, tetapi tiba-tiba muncul sebuah pikiran. Apakah aman memberi nasi goreng yang sering dipandang buruk karena isu pembatasan karbohidrat kepada seorang siswi SMA dengan proporsi tubuh yang sempurna? Sambil menggoreng telur dan nasi secara otomatis, kekhawatiran itu berputar dalam pikiranku, tetapi kenyataannya adalah hal yang sebaliknya.


"Itu enak, enak sekali." Setiap suapan Rinka diakhiri dengan pujian, dan dia menghabiskan satu porsi dengan cepat. Ternyata, bisa makan apa yang disukai adalah kunci untuk menjaga bentuk tubuh.


"Meski terlihat tidak ada keistimewaan, kamu cukup pandai memasak."


"Aku hanya mengikuti resep."


"Tidak, jika kamu bisa melakukan ini, setidaknya jika gagal dalam pekerjaan, kamu pasti bisa hidup sebagai seorang suami rumah tangga. Bagus, kan? Tentu saja, itu jika ada pasangan."

"Berhentilah merendahkan sambil memberi pujian."


Waktu dan ruang yang dibagi dengan orang yang hidup di dunia yang berbeda. Itu pasti pengalaman yang sangat segar dan berharga. Rinka, yang biasanya tidak banyak bicara di kelas, sebenarnya cukup ramah. Ini adalah sisi yang tidak diketahui orang lain.


Aku merasa sedikit beruntung, untuk pertama kalinya di sini. Kemampuan untuk menciptakan kebahagiaan dengan cara berpikir adalah hak istimewa yang diberikan hanya kepada manusia, makhluk sosial.
















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !