Bab 2
Bersihkan Kamar Sendiri Bersama Gadis Tercantik di Sekolah!
Aku, Kuroda Yuusei, sedang panik. Tidak, mungkin lebih tepat jika dibilang aku sedang gugup.
Kenapa aku sampai seperti ini? Karena Shirakawa Ayano akan datang ke rumahku yang berantakan.
Alasan kenapa Shirakawa datang ke rumahku adalah karena ada kelanjutan dari hari ketika aku mengantar adiknya pulang.
Beberapa hari sebelumnya...
"Kuroda-kuun!"
Saat mendengar
namaku dipanggil, aku menoleh ke belakang dan melihat Shirakawa Ayano berlari
mengejarku. Setelah mengatur napasnya, dia berkata,
"Jadi,
beneran nggak ada hal lain yang bisa aku lakukan buatmu?"
"Hah?
Maksudnya?"
"Karena kamu
udah menolong adikku. Rasanya nggak cukup kalau cuma dengan camilan..."
"Padahal aku
udah bilang itu nggak perlu..."
"Tapi,
tapi!"
Dari caranya
bicara, aku bisa merasakan betapa kuat keinginannya untuk membalas budi.
"Serius
nggak ada sesuatu yang bisa aku lakukan buatmu?"
"Itu..."
"Apa aja
boleh, lho? Cukup bilang aja, Kuroda-kun."
Begitu aku
mendengar itu, tanpa sadar pandanganku perlahan turun dari wajahnya ke bahunya,
lalu dadanya, pinggangnya, pahanya, dan akhirnya kakinya.
Bayangkan bisa
melakukan apa pun yang kuinginkan... Itu terdengar seperti mimpi yang luar
biasa—tapi bahaya, aku hampir saja jadi laki-laki mesum.
"Jangan
bercanda begitu..."
"Aku nggak
bercanda! Kalau ada yang kamu mau, aku pasti lakuin!"
"Sudaah!
Nggak usah dibahas lagi!"
Kalau pembicaraan
ini berlanjut, aku takut pikiranku bakal melenceng ke arah yang aneh.
"Ayolah!
Kamu udah nolongin orang, jadi harus dapat hadiah!"
Dia tiba-tiba
mendekatkan wajahnya padaku.
Wajahnya yang secantik boneka itu seakan menarikku masuk ke dalam pesonanya.
"Itulah
kenapa, aku mau ngelakuin apa pun sebagai tanda terima kasih buat Kuroda-kun
yang udah nolongin adik dan aku."
Dia menatapku
dengan mata besar yang berbinar-binar, memohon dengan ekspresi penuh harapan.
Aku tidak tahan
dengan tatapan seperti itu, jadi aku mengalihkan pandanganku.
"Tolong...
tolong banget ya?"
Aku meraih
bahunya dan memotong ucapannya. Jika dibiarkan, aku tak yakin bisa menahan diri
lebih lama lagi. Sebagai anak laki-laki SMA di masa pubertas, ini terlalu berat
untukku.
"Shirakawa...
lebih baik jangan sembarangan ngomong kayak gitu ke orang lain."
"Nggak
mungkin lah! Aku cuma bilang begini karena Kuroda-kun udah nolongin
adikku."
"Ya,
tapi..."
"Jadi,
beneran nggak ada yang bisa aku lakuin?"
"Uhh...
yaudah, mungkin... bantu bersihin rumahku?"
"Serius!?"
"Iya... Tapi
kubilang dulu, kamarku itu berantakan banget. Mungkin cewek bakal jijik
lihatnya."
"Aku nggak
masalah! Serahin aja ke aku!"
Raut wajahnya
yang penuh percaya diri itu luar biasa. Aku bisa melihat kenapa dia populer.
Orangnya supel dan tampaknya tidak ada kepalsuan dalam sikapnya.
"Oke, kalau
gitu, aku datang ke rumahmu hari Minggu nanti!"
"Baiklah.
Toh aku juga nggak ada acara."
"Oh iya,
ngomong-ngomong..."
Dia mengeluarkan
ponselnya dari saku.
"Kita
tukeran LONE, yuk?"
"Eh? LONE?
Buat apa?"
"Kalau
nggak, aku nggak tahu rumahmu. Atau... kamu mau jemput aku kayak adikku?"
"Baiklah...
kita tukeran LONE aja. Aku kirim lokasi rumahku, jadi kamu nggak bakal
nyasar."
Akhirnya aku
menyerah dan bertukar kontak dengannya. Ikon LONE miliknya adalah foto dirinya
dan adiknya berpose dengan tanda peace.
Ikon khas anak populer, pikirku.
"Kalau gitu,
sampai hari Minggu ya!"
Dan sekarang,
hari yang dimaksud akhirnya tiba.
Aku yakin siapa
pun yang mendengar situasi ini pasti akan iri padaku.
Gadis tercantik di sekolah datang ke rumahku untuk bersih-bersih, dan kami
bahkan bertukar LONE. Seperti mimpi, tapi ini kenyataan.
Aku sudah
mengirimkan lokasi rumahku padanya, jadi dia tidak akan tersesat.
Masalahnya
sekarang adalah... hatiku yang tidak siap.
Aku merasa aneh.
Ada sesuatu yang membuat dadaku terasa sesak. Lalu, tepat pukul sepuluh siang—
Ding-dong!
Bel pintu
berbunyi.
Aku menguatkan
diri dan membuka pintu. Di hadapanku berdiri seorang gadis dengan T-shirt hitam
dan celana pendek denim, memegang kantong plastik di tangan kanannya.
Ini nyata...
Melihat dia
berdiri di depan rumahku membuatku baru sadar betapa memalukannya ini.
"U-uhm...
halo."
"Rasanya
aneh juga ya?"
"Apa
maksudnya?"
"U-Umm,
maksudku pakaian dan gaya rambutmu terlihat segar dan cocok..."
Memuji pakaian
seorang gadis itu sesuatu yang sulit dilakukan bagi cowok introvert. Aku jadi
merasa malu di tengah jalan, dan di bagian akhir suaraku pun mengecil serta
terdengar samar.
"T-Tidak
juga! Aku hanya memakai pakaian yang nyaman, bukan berarti cocok. Lagipula,
gaya rambutku sama seperti biasanya!"
Dari tampilannya,
memang terlihat kalau pakaiannya nyaman dipakai. Baik atasan maupun bawahannya
pendek, memperlihatkan kulit putihnya.
Dia bilang gaya
rambutnya sama, tapi dengan seragam dan pakaian kasual, kesannya bisa berbeda.
"Jam segini
nggak apa-apa?"
"O-Oh, maaf
sudah merepotkan."
"Enggak,
sama sekali! Aku cuma ingin berterima kasih."
Saat aku
menundukkan kepala, dia buru-buru mengibaskan kedua tangannya dengan panik.
"T-Tidak
apa-apa, kok!"
"Kalau
begitu, masuklah."
Aku berkata
begitu dan membawanya masuk ke rumahku, tapi dia tiba-tiba terdiam kaku.
"Ada
apa?"
"N-Nggak...
Ini pertama kalinya aku masuk ke kamar cowok... jadi aku agak gugup..."
Dia berkata
begitu sambil menundukkan wajah perlahan. Dengan wajah sedikit memerah karena
malu, dia memainkan rambutnya dengan jari. Dia terlihat sangat imut.
"A-Aku juga,
ini pertama kalinya mengundang seorang Gadis ke kamarku."
"B-Benarkah...?"
Mendengar itu,
dia entah kenapa tersenyum kecil dengan wajah terlihat senang.
"Permisi..."
Aku membawanya
masuk ke kamarku.
Sudah cukup
menegangkan hanya dengan membiarkan seorang gadis masuk ke kamarku, apalagi
gadis itu adalah yang tercantik di sekolah.
Meminta gadis seperti dia membersihkan kamarku membuatku senang sekaligus
sangat gugup.
Begitu dia masuk
ke kamarku, dia berhenti dan terdiam.
"Sh-Shirakawa?"
"Umm, maaf.
Ini benar-benar rumah Kuroda-kun? Nggak salah rumah, kan?"
"Aku jamin,
ini benar rumahku."
"Ini lebih
dari yang kubayangkan..."
"Yah, aku
juga heran bisa hidup di tempat sekotor ini dan entah kenapa merasa
bangga..."
"Nggak, itu
nggak membanggakan sama sekali."
Begitu masuk, dia
langsung disambut dengan kantong sampah yang sudah penuh dan botol plastik
kosong yang berserakan di lantai.
Tumpukan itu berlanjut hingga ke dalam ruangan, membuatnya benar-benar
terkejut.
Dengan nada
dingin, dia langsung memotong candaanku. Dia tidak menunjukkan sikap lembut dan
tenang seperti biasanya.
"Ini bukan
kamar lagi, lebih mirip rumah hantu."
"T-Tunggu,
itu berlebihan..."
Rumah hantu...
Aku lebih memilih kalau dia menyebutnya kamar berantakan. Mendengar itu, aku
merasa cukup tersinggung.
"Sayang
banget, padahal kamarmu bagus. Kamu harus menjaganya tetap bersih!"
Dia berkata
begitu sambil menatap mataku dengan tajam.
"Baiklah,
ayo kita mulai bersih-bersih!"
"T-Tolong
bantuannya..."
Shirakawa
mengikat rambut hitam panjangnya ke atas, lalu segera mulai bekerja. Dengan
cekatan, dia memasukkan botol kosong dan wadah makanan yang berserakan ke dalam
kantong sampah yang dia bawa.
"Wah, cepat
sekali..."
"Apa ada
masalah kalau mengerjakannya dengan cepat?"
"N-Nggak
ada..."
"Jangan cuma
ngomong, ayo kerja!"
"Y-yes,
Ma’am!"
Dengan suara
tegas, Shirakawa menegurku. Barulah aku merasa tersentak dan mulai bekerja. Ruangan
ini bahkan mulai sulit dilewati.
"Kuroda-kun,
tolong taruh buku dan komik yang berserakan kembali ke rak."
"Siap!"
Sesuai
instruksinya, aku mulai mengumpulkan buku-buku yang tercecer di lantai, dengan
genre dan nomor volume yang campur aduk.
Saat mengambil buku, aku hampir tergoda untuk membacanya, tapi aku menahan diri
dan memilih untuk membereskannya saja. Bagi orang yang jarang membersihkan
kamar, waktu yang dihabiskan untuk bersih-bersih terasa sangat membosankan.
"Kuroda...
kun?"
Suara dingin yang
lebih rendah dari sebelumnya membuatku merinding. Rasanya lebih menakutkan
dibandingkan saat dia menegur adiknya dulu.
"Kamu sedang
membersihkan kamar siapa?"
"K-Kamarku..."
"Kalau
begitu, ada yang harus dilakukan dulu sebelum malas-malasan, kan?"
"B-Bersih-bersih..."
Meskipun dia
teman sekelas, aku merasa seperti sedang dimarahi oleh seorang guru. Karena
memang aku yang salah, aku pun hanya bisa menunduk dan menyesalinya.
"Kamu selalu
begini, makanya jadi sekotor ini, kan?"
"M-Maaf..."
"Selama aku
di sini, aku nggak bakal biarin kamu malas-malasan!"
"Aku akan
bekerja dengan serius..."
"Bagus kalau
mengerti."
Setelah dimarahi,
aku akhirnya serius membersihkan kamarku. Sekitar satu jam berlalu sejak kami
mulai bersih-bersih. Kamar yang tadinya penuh dengan barang berserakan,
sekarang mulai terlihat sedikit lebih rapi.
"Ayo
istirahat sebentar."
Mendengar
Shirakawa berkata begitu, aku langsung duduk.
Dia melepas ikatan rambutnya, membuat helaian rambutnya tergerai dengan indah. Namun,
dia tetap merapikan sampah yang ada dalam jangkauan pandangnya.
"Katanya
istirahat?"
"Ahaha,
maaf, aku nggak tahan lihat ini."
Dia tersenyum
canggung sambil memutar-mutar ujung rambutnya dengan jari.
"Kamu masih
bisa bilang ini tinggal sendirian?"
"E-Eh,
gimana ya..."
"Kenapa sih
kamu hidup sendiri? Ada alasan tertentu?"
Dia menatapku
sambil sedikit memiringkan kepalanya.
"Nggak ada
alasan yang mendalam sih, cuma kupikir ini pengalaman hidup."
"Padahal
kamu nggak bisa ngurus rumah sama sekali?"
"Kalau itu,
aku nggak bisa membantah..."
Dia melihatku dan
tertawa kecil seakan kehabisan kata-kata.
"Setidaknya
sekarang kamar ini agak lebih rapi, terima kasih."
"Belum
waktunya berterima kasih."
"Yah,
setidaknya sudah sedikit lebih bersih..."
"Hanya
sedikit, ya? Tapi kita masih harus lanjut."
"O-Oke..."
Kalau mau
bersih-bersih, sekalian sampai tuntas—begitulah tekad kuat yang tersirat dalam
kata-katanya. Dan percuma saja aku mencoba untuk malas-malasan, karena dia
pasti akan mengetahuinya dan langsung memberiku tugas.
"Bersih-bersih
itu melelahkan..."
"Makanya,
jangan sampai seberantakan ini. Rutinlah bersih-bersih."
"Kamu
benar..."
Aku tidak bisa
membantahnya.
"Lihat ini,
roti ini kadaluarsa setahun yang lalu!"
"Malu
banget..."
"Karena
sayang, mulai sekarang pastikan ini nggak terjadi lagi, ya?"
"Y-ya... Akan aku hati-hatikan."
Dia membuang roti
kadaluarsa itu ke dalam kantong sampah sambil menghela napas. Aku bisa
merasakan tatapan herannya, dan aku hanya bisa pura-pura tidak melihatnya.
"Astaga...
bahkan adikku pun..."
Kata-katanya
terputus di tengah jalan. Aku penasaran, jadi aku menoleh ke arahnya. Dia
terpaku menatap sesuatu di atas rak. Matanya tertuju pada satu titik seolah
terpesona.
Setahuku, tidak ada yang menarik di kamarku...
"U-Umm...
ini..."
Dia menunjukkan
kepadaku sesuatu yang tadi sepertinya dia perhatikan di atas rak.
Apa yang dia
pegang adalah pembatas buku berbentuk bunga yang diberikan oleh seorang gadis
kepadaku saat aku masih di taman kanak-kanak.
"Ah, um...
Itu pembatas buku yang aku dapat saat masih di TK."
"TK..."
"Ah, tolong
jangan buang itu. Hmm, bagaimana ya mengatakannya? Itu seperti kenangan masa
TK-ku, atau bisa dibilang harta berharga bagiku."
"Oh,
b-begitu ya..."
"Itu
pemberian dari gadis yang menjadi cinta pertamaku."
Dia perlahan
mengembalikan pembatas buku itu ke atas rak.
"Gadis yang
memberikannya itu..."
Yang mengejutkan,
dia mulai menggali lebih dalam soal pembatas buku ini. Pembatas buku ini, kalau
tidak salah, berasal dari tahun terakhirku di TK.
◆
"Hei, kamu
lagi ngapain?"
"Melihat
bunga."
"Menyenangkan?
Bermain bersama yang lain pasti lebih menyenangkan."
"Nggak
mau."
Saat waktu bebas,
selalu ada seorang gadis yang hanya diam dan melihat bunga. Aku pernah
mengajaknya bermain di luar, tapi dia tidak pernah ikut serta.
Sejak saat itu,
aku mulai tertarik padanya.
"Kamu suka
bunga?"
"Iya... karena
cantik."
"Oh, gitu
ya."
Percakapan kami
selalu berlangsung seperti itu. Saat itu, aku tidak tertarik pada bunga,
melainkan pada dirinya.
"Oke, hari
ini kita akan membuat pembatas buku sendiri!"
Hari ini, kami
akan membuat pembatas buku buatan sendiri.
"Sensei,
boleh pakai bunga?"
"Tentu saja!
Itu ide yang bagus!"
Setelah mendapat
izin, dia langsung keluar.
Namun,
bunga-bunga yang biasanya memenuhi taman bunga, hari ini terlihat seperti telah
dirusak.
"Eh...?"
"Hahaha!
Kamu selalu sendirian, dasar aneh!"
Tiga anak nakal
telah merusak taman bunga hari itu.
Tentu saja, para
guru tidak tinggal diam. Aku masih ingat bagaimana ketiganya segera dimarahi. Dia
menangis saat mengetahuinya. Dia pasti sangat ingin membuat pembatas buku
bunga.
"Maaf,
bagaimana kalau kita menggambar bunganya saja?"
Dengan ditemani
sensei yang mencoba menghiburnya, dia kembali ke kelas. Aku yang melihatnya
menangis, tidak bisa diam saja.
Aku langsung
berlari keluar.
Di luar TK, ada
tempat dengan banyak bunga yang biasa kami lewati saat jalan-jalan. Biasanya,
saat berjalan-jalan, guru selalu ada di samping. Tapi hari ini tidak.
Seharusnya aku
menikmati pemandangan, tapi kali ini aku terburu-buru menuju ke sana.
Semakin lama, aku
merasa sedang melakukan sesuatu yang buruk.
Di tengah
hamparan hijau di tepi sungai, banyak bunga putih dan ungu bermekaran. Aku
memetik sebanyak yang bisa kupegang dan segera kembali.
Begitu tiba, para
guru langsung berlari ke arahku dengan panik.
"Kamu nggak
boleh begitu!"
Aku dimarahi
habis-habisan.
Aku berusaha
menahan tangis dan segera menuju gadis itu.
"Nih, buat
kamu."
"Eh...?"
Matanya masih
berkaca-kaca, dan kantung matanya merah, menunjukkan betapa banyak dia
menangis. Dia tampak bingung saat aku tiba-tiba memberinya bunga.
"Aku ambil
terlalu banyak, jadi ini buatmu."
Saat aku hendak
kembali membuat pembatas buku, dia menahanku.
"Tunggu!"
Saat itu, aku
merasakan bibirnya menyentuh pipiku.
"Terima
kasih!"
Untuk pertama
kalinya, aku melihat senyumnya.
"Heh, kalau
begitu, mau buat bareng?"
Aku tidak menolak
ajakannya. Kami membuat pembatas buku bersama.
"Nih, buat
kamu!"
"Eh... Nggak
apa-apa, aku sudah buat sendiri."
"Ini sebagai
ucapan terima kasih! Terima, ya!"
Didorong oleh
antusiasmenya, aku akhirnya menerima pembatas buku yang dia buat.
Sejak saat itu,
kami mulai sering bermain bersama.
Saat itu, aku
belum mengerti perasaan yang disebut cinta. Tapi, aku juga tidak merasa tidak
nyaman.
Namun, sekarang,
aku bisa bilang bahwa itulah cinta pertamaku.
◆
"Aku ingat
kalau dia seorang gadis, tapi bagaimanapun juga, itu kenangan masa kecil."
"Kamu nggak
punya album atau semacamnya?"
"Ada sih,
tapi ditinggal di rumah orang tuaku. Lagipula, meskipun aku ke sana, nggak ada
jaminan aku bisa menemukannya."
Aku jadi
bertanya-tanya, kenapa dia begitu tertarik? Toh, cerita tentang aku di taman
kanak-kanak sama sekali nggak menguntungkan atau menarik bagi Shirakawa.
"Tapi,
kenapa tiba-tiba kamu menanyakannya?"
"T-tidak ada
maksud khusus, kok?"
"Oh, begitu
yaa."
Entah kenapa,
setelah mendengar cerita tentang pembatas buku itu, dia tampak berusaha menahan
tawa. Gara-gara itu, sudut bibirnya terangkat secara alami.
Begitu aku
menyadarinya, dia buru-buru membalikkan badan, berpura-pura menyembunyikan
ekspresinya dengan cara yang mencolok.
"Yosh, ayo
lanjut beres-beres. Maaf ya, malah nanya hal aneh."
"Aku nggak
masalah, sih..."
"Harta
berharga, ya..."
Saat aku melirik
ke arah Shirakawa, pipinya yang putih tampak sedikit memerah, seolah kontras
dengan rambut hitamnya yang indah.
Aku berpikir
mungkin itu cuma perasaanku saja, lalu melanjutkan membersihkan ruangan.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.