Maigo no Onnanoko wo Ie Made Todoketara Chapter 1

Ndrii
0

Bab 1

Yang Keluar dari Pintu Depan Adalah Gadis Tercantik di Angkatan




Sejak SMP, aku adalah siswa yang pendiam, dengan nilai yang biasa saja. Aku juga tidak menonjol dalam olahraga, bahkan kepribadianku pun biasa-biasa saja.


Meskipun punya beberapa teman, aku tidak berusaha mencari lebih banyak. Aku tidak punya keberanian untuk berbicara dengan orang lain, seorang cowok introvert.


Aku bukan hanya tidak punya pacar, tapi bahkan saat berbicara dengan perempuan pun, aku selalu langsung mengalihkan pandangan.


Saat masuk SMA, orang tuaku harus pindah ke luar kota karena pekerjaan, jadi aku meminta izin untuk tinggal sendiri. Aku pun mulai menjalani kehidupan yang sedikit berbeda dari masa SMP-ku.


"Hei, Shirakawa-san dari kelas 2 itu benar-benar cantik, ya?"


Yang berbicara adalah seorang cowok yang duduk di depanku.


"Setuju banget! Dia itu luar biasa cantik. Ditambah lagi, sifatnya baik, badannya bagus, pokoknya sempurna dalam segala hal."


Yang menyetujui adalah seorang cowok berkacamata yang duduk di sebelahnya.


"Be-benarkah?"

"Oi oi, Kuroda? Aku tahu kau nggak begitu tertarik dengan cewek, tapi tetap saja, ini keterlaluan!"


Jujur saja, aku memang kurang peka soal cinta.


"Gimana kalau tiba-tiba kita bisa dekat dengannya mulai hari ini?"


"Kalau itu terjadi, aku pasti sudah menghabiskan seluruh keberuntungan hidupku!"


"Tapi sejujurnya, dia memang layak untuk menghabiskan semua keberuntunganmu, kan?"


Mana mungkin hal seperti itu terjadi.


Sambil tersenyum kecut, aku tetap mendengarkan mereka berbicara tentang Shirakawa Ayano. Bagaimanapun juga, cewek seperti dia tidak akan pernah terjangkau bagi anak introvert sepertiku.


Ya... seharusnya begitu.


Pada suatu sore sebelum liburan musim panas di tahun kedua SMA, aku sedang berjalan menuju sekolah di bawah terik matahari karena lupa mengerjakan tugas. 


Saat dalam perjalanan pulang, aku melihat seekor serangga musim panas berkicau dengan nyaring, seakan mengumumkan bahwa musim panas telah tiba.

Karena aku tinggal sendiri, aku memutuskan untuk mampir ke minimarket dalam perjalanan pulang guna membeli makan malam. 

Tinggal sendiri tidak selalu berarti harus memasak sendiri.


Tapi... panasnya luar biasa. Rasanya seperti masuk ke dalam sauna.


Saat akhirnya sampai di minimarket, aku hampir saja menangis karena kelelahan.


Dengan lengan, aku menyeka keringat yang menetes dari dahiku ke pipi, lalu hendak masuk ke dalam toko. Namun, di dekat pintu otomatis, ada seorang gadis kecil yang berdiri sendirian.


Mungkin dia sedang menunggu seseorang. Ibunya, mungkin?

Kalau tidak, anak sekecil itu tidak mungkin sendirian di tempat seperti ini. Bisa-bisa dia jadi sasaran penculikan.

________________________________________

Sambil berpikir begitu, aku masuk ke dalam toko dan membeli makan malamku—bento minimarket dan kopi susu. Tapi saat keluar, aku menyadari bahwa gadis kecil itu masih berdiri di tempat yang sama, tampak gelisah dan ketakutan.


Orang-orang di sekitar juga melihatnya, tapi tidak ada yang mau repot-repot menghampiri. Mungkin mereka tidak ingin terlibat dalam masalah. Aku juga tidak suka hal yang merepotkan. Sebagian besar orang pasti begitu.


Namun, jika aku membiarkan ini berlalu begitu saja, hatiku akan merasa bersalah. Jika terjadi sesuatu padanya, semuanya akan terlambat.

Akhirnya, aku memberanikan diri untuk berbicara padanya. Tapi, aku tidak tahu harus mengatakan apa di situasi seperti ini. Aku mencoba mengingat bagaimana ibuku berbicara padaku saat aku masih kecil.


Seingatku, beliau akan berjongkok agar berada di ketinggian mata yang sama denganku. Dengan tinggi badanku yang 175 cm sekarang, mungkin anak kecil akan merasa terintimidasi jika aku berbicara dari atas.


Jadi, aku menyesuaikan posisi dan berbicara padanya dengan nada lembut.


"Hei... eh, maksudku, kamu sendirian? Kamu sedang menunggu ibumu?"


Kurasa aku cukup berhasil mengatakannya dengan nada ramah. Namun, gadis itu terkejut dan bahunya sedikit bergetar. Ya, wajar saja. Seorang pria asing yang lebih tinggi tiba-tiba berbicara padanya, pasti dia ketakutan. Meskipun begitu, aku sedikit terluka karena reaksinya.


Dia tidak memberi jawaban. Mungkin dia diajari untuk tidak berbicara dengan orang asing. Kupikir dia pasti sedang menunggu ibunya, jadi aku berencana untuk pergi, tapi tiba-tiba...


Aku merasakan sesuatu menarik kemeja putihku dari belakang. Saat menoleh, aku melihat gadis kecil itu mencengkeram bajuku.


"A-aku... se-seorang diri... ta-tadi main di taman, tapi... nggak bisa ditemukan..."

Mungkin dia sedang bermain petak umpet dan tersesat saat mencari tempat bersembunyi.


Wajahnya hampir menangis. Aku mencoba menenangkannya dengan senyum hangat. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengantarnya pulang.


"Di dalam tasmu ada sesuatu yang bisa diberikan jika tersesat? Seperti kartu nama atau nomor telepon?"


Hal terpenting saat ini adalah informasi.


"Um... nggak ada... maaf..."


Matanya mulai berkaca-kaca lagi. Aku buru-buru mengelus kepalanya dan berkata bahwa tidak apa-apa.


"Kamu tadi bermain di taman, kan?"


"Iya..."


Dia mengangguk kecil.


Aku langsung mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi peta, mencari taman terdekat dari minimarket ini.


"Oh, ketemu."

Setelah menemukannya, aku merasa sedikit lega. Gadis kecil itu tampak bingung melihatku menggunakan ponsel, lalu menatapku dengan wajah penasaran.


"Kalau begitu, ayo kita pergi ke taman tempat kamu bermain tadi."


Aku menggenggam tangan gadis kecil itu. Telapak tanganku basah oleh keringat. Mungkin karena cuaca yang panas, atau mungkin juga karena rasa cemas—apakah aku bisa mengantarnya dengan selamat.


Saat ini, tangan kiriku memegang kantong belanja, sementara tangan kananku menggenggam tangannya.


Dari luar, mungkin kami terlihat seperti kakak-adik. Tapi kalau sampai aku bertemu keluarganya dalam keadaan begini, sebenarnya itu malah lebih baik...


Sepertinya dia sudah menganggapku sebagai orang yang aman, karena sejak tadi dia terus mengulang-ulang lagu tentang katak. Meskipun anak ini tersesat, dia tetap santai saja. Taman terdekat dari minimarket itu tidak terlalu jauh.


“Ah... di sini! Aku main di sini!”


Mendengar suara ceria itu, aku merasa sedikit lega. Karena sudah sampai di taman, paling buruk pun dia bisa pulang sendiri, jadi aku bisa berpisah di sini. Namun, gadis kecil itu tetap menggenggam tanganku erat-erat, seolah tak ingin melepaskannya.


“Kalau begitu, kamu tahu jalan dari taman ini ke rumah?”


“Iya! Ke sini!”


Tadinya aku yang menggandengnya, tapi begitu sampai di taman, justru aku yang ditarik olehnya.


“Ah! Natsu-chan, ketemu!”


Mungkin itu teman yang tadi bermain bersamanya. Anak itu berteriak dari dalam taman saat melihat kami lewat.


“Hah? Bukannya kamu lagi main petak umpet?”


“Nanti lagi!”


Sambil melambaikan tangan kecilnya, dia mengucapkan "bye-bye."


“Nggak apa-apa? Kalau kamu tahu jalan pulang, kamu boleh main dulu, lho.”


Saat aku bertanya begitu, gadis kecil itu menggeleng sambil mengayunkan rambut pendeknya.


“Aku mau pulang, di rumah ada yang buat kue.”


Dari wajahnya yang menggemaskan, tak terbayang bahwa dia sangat setia pada keinginannya untuk makan.


Kami melewati taman itu dan terus berjalan lurus ke depan.


“Ketemu! Rumahku!”


Dia tersenyum lebar dan menunjuk rumahnya.


“Oke, biar sopan, aku bakal tekan belnya, ya?”


Setelah mengatakannya, aku menekan bel pintu.


“Iya, sebentar~,” terdengar suara seorang wanita dari dalam.


“Ah! Kakak!”


Kakak? Jadi dia punya kakak? Aku mendadak merasa agak gugup.


Pintu rumah terbuka dengan suara "gacha," dan di baliknya berdiri seorang gadis dengan rambut hitam yang sedikit lebih panjang dari bahunya. Matanya besar, jernih, dan indah seolah bisa menyedot siapa pun yang menatapnya. Kulitnya halus dan putih bercahaya.


Di saat itu, aku terpaku. Mungkin sekitar sepuluh detik aku hanya terdiam, terpana melihat gadis cantik yang muncul di hadapanku.


Tunggu... aku kenal dengan dia.


Dia adalah Shirakawa Ayano, gadis tercantik di angkatan kami. Kenapa dia ada di sini?


Saat aku melirik ke papan nama di depan rumah, tertulis "Shirakawa."


“Kakak!!”


Gadis kecil yang tadi menggenggam tanganku kini langsung melepaskannya dan membenamkan wajahnya ke perut kakaknya. Sekarang setelah diperhatikan, gadis kecil yang tersesat ini memang mirip dengan Shirakawa.


Bisa dibilang, dia adalah versi kecil dari Shirakawa Ayano.


“Natsuno! Aku sangat khawatir, tahu!”


Shirakawa memeluk erat adiknya.


“Kak, aku sesak...”


“Ah, maaf, maaf.”


Aku pun hanya bisa berdiri di sana, terisolasi sepenuhnya dari interaksi kakak-adik itu.



Di depan rumah gadis yang disebut sebagai gadis tercantik di angkatan, aku hanya bisa berdiri diam, menatap dua saudari itu.


“Ah, um… ada apa?”


Saat itu, dia tiba-tiba mengalihkan pandangannya dari adiknya ke 

arahku. Tentu saja, dia pasti waspada.


“Tidak, anak ini tadi tersesat di depan minimarket… Aku sama sekali tidak melakukan hal aneh.”


“Tidak apa-apa! Aku bisa tahu hanya dengan melihat ekspresi anak ini kalau kamu tidak melakukan hal aneh.”


“Be-benarkah?”


Aku merasa lega karena tidak dianggap sebagai orang mencurigakan. Mungkin dia khawatir karena adiknya pulang terlambat.


“Iya! Benar. Lagipula, aku tahu kalau kamu bukan tipe orang seperti itu… kan? Kuroda Yuusei-kun?”


Saat dia menyebut namaku sambil tersenyum, jantungku berdegup kencang. Rasanya seperti ketika tiba-tiba ditunjuk oleh guru saat pelajaran.


“Ke-kenapa kamu tahu namaku?”


“Kita pernah satu kelas di pelajaran seni, kan?”


“Hanya sekali, mana mungkin langsung ingat?”


“Aku punya ingatan yang cukup baik.”


Mengingat nama seseorang hanya dengan sekali pertemuan? 

Bagiku, itu hampir tidak pernah terjadi. Tapi untuk Shirakawa Ayano, yang juga dikenal memiliki nilai akademik tinggi, mungkin itu adalah hal yang mudah.


Saat berkata "Ehem!" dengan bangga, dia sedikit membusungkan dadanya. Meskipun pakaiannya santai, menurut rumor, ukuran dadanya adalah C atau D cup. Tubuhnya benar-benar proporsional—bagian yang menonjol terlihat sempurna, sementara bagian lain tetap ramping. Tidak heran dia dianggap sebagai sosok ideal di antara para lelaki.


“A-aku pergi dulu…”


“Tunggu sebentar!”


Saat aku hendak pergi dengan buru-buru, Shirakawa menahanku.


“Adikku pasti merepotkanmu, jadi mau mampir sebentar, ya? Aku buatkan teh juga.”


“Tidak, tapi…”


“Tidak apa-apa, aku juga ingin mendengar ceritanya… Boleh, kan?”


Tidak bisa menolak undangannya, akhirnya aku ikut masuk ke rumahnya. Kalau ada anak laki-laki lain yang melihat ini, pasti bakal jadi berita besar. Jadi, ini harus tetap jadi rahasia.


“A-a-aku permisi…”


“Setelah melepas sepatu, pakai sandal rumah ini, ya.”


Dia meletakkan sandal berbulu lembut di depanku.


“Ma-makasih…”

Saat itu juga, ketika dia membungkuk, aku bisa melihat dua ‘buah’ yang terbungkus erat oleh bra berwarna biru muda.


“Biru muda, ya…”


“Biru muda? Apa yang biru muda?”


“Ti-tidak!? Bukan apa-apa!”


“Hmm… mencurigakan~”


Aku hanya bisa mengelak dengan jawaban yang tidak jelas.

Setelah itu, dia membawaku ke ruang tamu. Di dalamnya, selain televisi dan sofa, ada juga tanaman hias yang tertata rapi. Ruangannya tampak modern dan bersih—sangat berbeda dengan kamarku yang berantakan.


“Aku harap cocok dengan seleramu…”


Sambil berkata begitu, Shirakawa menyajikan sepiring kue kering di hadapanku.


Begitu aku masuk ke ruangan ini, aku mencium aroma manis—ternyata itu berasal dari kue ini. Jadi, inilah yang tadi disebutkan oleh adiknya.

Melihat kue yang tersaji di depan mata, aku menelan ludah. Kuenya terlihat rapi dan sangat menggugah selera.


“A-a-aku boleh… memakannya?”


“Tentu saja! Aku ingin memberi sesuatu sebagai tanda terima kasih.”


“Terima kasih… rasanya seperti aku telah melakukan sesuatu yang besar.”


Padahal aku hanya mengantarkan adiknya pulang.

“Hmm… tapi kalau cuma kue, rasanya kurang ya…”


Dia meletakkan tangannya di dagu dan berpikir keras.


“Ti-tidak! Su-sudah cukup, sungguh…”


“Benarkah? Aku merasa harus memberikan sesuatu sebagai ucapan terima kasih…”


“Aku sudah bilang ini cukup…”


Dia menatapku dengan ekspresi seperti merasa bersalah. Berhentilah menatapku seperti itu! Rasanya seakan-akan aku yang salah.


Untuk menghindari tatapannya, aku segera mengambil kue dan menggigitnya.


“A-aku makan dulu…”


Saat menggigitnya, teksturnya renyah, dengan rasa manis dan mentega yang langsung menyebar di mulutku.


“Enak.”


“Benarkah? Kamu tidak bohong, kan?”


Aku langsung mengungkapkan pendapatku. Kue ini bahkan lebih enak daripada yang dijual di toko. Tapi dia masih terlihat ragu, seolah aku hanya berpura-pura.


“Tidak ada alasan bagiku untuk berbohong.”


“Yeay! Aku agak khawatir, soalnya…”


Melihat reaksiku, dia tampak sangat lega.

“Kenapa khawatir? Kue ini enak, kok.”


“Ini pertama kalinya aku memberikan kue buatanku ke anak laki-laki.”


“Pertama kali…?”


“Iya.”


Jadi aku yang pertama? Entah kenapa, aku merasa sedikit bangga.


“Kamu tidak bercanda, kan? Kamu tidak pernah memberikannya pada seseorang yang kamu suka?”


“Aku tidak punya orang yang kusuka, kok.”


“Benarkah? Kalau kamu pacaran, pasti langsung jadi gosip.”


“Bukan hanya itu, rumor aneh pasti langsung menyebar, dan itu cukup 

merepotkan.”


Ternyata jadi orang terkenal tidak selalu menyenangkan. Sebagai anak yang kurang bersosialisasi, aku tidak bisa memahami kesulitannya. Kupikir hidupnya seperti cerita harem dalam novel ringan, tapi sepertinya tidak seindah itu.


“Selain itu, pasti ada juga orang yang tidak menyukaiku.”


“Ah… begitu ya…”


Jika dia sepopuler ini, pasti ada orang yang iri padanya. Tapi meskipun ada yang tidak menyukainya, dia tidak pernah menunjukkannya atau mengeluh. Mungkin itulah yang membuatnya tetap populer.


“Oh iya, mau tambah?”

Dia bertanya setelah melihat piring yang sudah kosong. Kue buatan gadis seperti ini mungkin tidak akan pernah lagi kualami. Aku langsung mengangguk cepat.


“Fufu~ Kalau kamu suka, aku senang.”


“Bukan berarti aku begitu senang atau apa…”


“Iya iya, tunggu sebentar ya~”


Seolah sedang menghadapi anak kecil, dia menanggapiku dengan santai. Dia mengambil lebih banyak kue dari kulkas dan menyusunnya di piring.


“Nih, silakan.”


Ketika aku ingin mengambilnya, tangan kecil yang jauh lebih kecil dari tanganku tiba-tiba menyentuh kue itu. Kue itu langsung masuk ke mulut Natsuno.


“Apa yang kamu lakukan?”


“Mmm~ Kuenya enak…”


Dia mengunyah dengan penuh semangat, tapi aku tidak bisa memahami satu kata pun dari yang dia ucapkan. Dia terus melahap kue itu tanpa peduli padaku.


“Hei, itu kan kuenya Kuroda-kun.”


Nada suara Shirakawa sedikit lebih dingin saat menegur adiknya.


“Tapi… punyaku sudah habis…”


“Kalau habis, bilang ke kakak, kan?”

“Tadi kakak terlihat senang, jadi…”


“Tapi tetap saja…”


“Sudahlah, aku tidak keberatan.”


Aku menyela sebelum mereka mulai bertengkar. Aku datang sebagai tamu, jadi aku tidak mau melihat saudara yang menggemaskan ini bertengkar. Lagipula, kue itu belum habis.


“Kalau Kuroda-kun bilang begitu…”


“Nah, kakakmu sudah mengizinkanmu.”


Aku mengambil kue dan menyuapkannya ke Natsuno. Dia mengunyahnya dengan pipi menggembung seperti tupai.


“Terima kasih sudah baik pada adikku.”


Shirakawa menunjukkan senyuman yang begitu cerah hingga terasa menyilaukan. Sekarang aku mengerti kenapa anak-anak di sekolah menyebutnya sebagai gadis tercantik di angkatan.


Dia sering tersenyum, pandai memasak, memiliki wajah dan tubuh yang bagus, bahkan sifatnya pun baik. Benar-benar gadis sempurna tanpa celah.


"Onii-chan, aku mau menyiram bunga!"


"Tunggu, Natsuno. Sebelum itu, sudah bilang terima kasih ke kakak ini?"


Dia menghentikan adiknya yang hendak pergi keluar untuk menyiram tanaman.


"Belum…"


"Kalau begitu, ada sesuatu yang harus dilakukan dulu sebelum menyiram bunga, kan?"


Adiknya mengangguk kecil, lalu melangkah ke hadapanku.


"Te… terima kasih banyak…"


Dia menundukkan kepalanya yang kecil. Ketika seorang anak kecil menundukkan kepala padaku, rasanya sedikit memalukan sekaligus membuatku merasa seperti telah melakukan sesuatu yang tidak pantas.


"Tak perlu berterima kasih padaku, tapi jangan sampai membuat kakakmu terlalu khawatir, ya?"


"Un!"


"Nah, Natsuno. Sekarang boleh menyiram bunga."


Begitu sang kakak memberikan izin, adiknya langsung berlari ke taman dan mulai menyiram bunga dengan selang.


"Itu bunga apa?" tanyaku, menunjuk ke arah taman.


Namun, dia tidak menjawab. Sebaliknya, dia malah memalingkan wajahnya dariku.


"Hei, apa aku melakukan sesuatu yang membuatmu kesal?"


"Namaku bukan 'Hei'."


"Bukan itu maksudku… Aku tidak sedang salah menyebut namamu, kok."

"Kalau begitu, panggil namaku yang benar. Oke?"


Sambil berkata begitu, dia sedikit memiringkan kepalanya.


"Sh-Shirakawa…"


"Shirakawa? Adikku juga Shirakawa, lho."


"Itu sudah jelas, kan?"


"Makanya, panggil aku pakai nama. Biar nggak bingung."


Dia tersenyum penuh arti, seolah-olah sedang menikmati reaksiku.


"Kakak Shirakawa… suka berkebun, ya?"


"Oh, kamu berusaha mengalihkan pembicaraan, ya…"


Setelah sedikit terkejut, dia menunjukkan ekspresi seolah baru saja kalah dalam permainan.


"Iya, aku suka bunga."


"Memeliharanya tidak sulit?"


"Nggak juga."


Melihat adiknya yang sedang menyiram bunga, aku tiba-tiba teringat sesuatu dari masa kecilku. Gadis yang jadi cinta pertamaku dulu juga menyukai bunga.


Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba mengingatnya. Mungkin karena melihat Natsuno yang sedang menyiram bunga mengingatkanku padanya.


TLN : Aelah ini mah fix Ayano teman masa kecilnya wekwewkek


"Aku juga jadi ingin merawat bunga."


Dia berkata begitu sambil melepas kaus kakinya dan menggantinya dengan sandal sebelum berjalan ke taman.


Aku sendiri tidak berniat bergerak, jadi aku hanya duduk diam dan mengamati mereka berdua menikmati waktu bersama.


"Natsuno, pinjam selangnya sebentar."


"Ada apa, Kak?"


Begitu Natsuno menoleh ke belakang, air dari selang langsung menyembur ke arah Ayano.


Dari kepala hingga ujung kaki, dia basah kuyup. Jika ada ungkapan "seorang wanita terlihat cantik saat basah kuyup," maka dia adalah buktinya.


"Aduh, dingin!"


Dia mengenakan kaus putih, sehingga pakaiannya menjadi sedikit tembus pandang. Dan seperti yang kuduga, warna itu lagi… biru muda.

Caranya menyibak rambut basahnya entah kenapa terasa menggoda.


"Maaf, Kak…"


"Haa… bajuku basah semua…"


Tiba-tiba, dia menyipitkan matanya dan mendekat padaku dengan wajah merah.


"Biru muda… Itu maksudnya?"

"Apa? Maksudmu… ah, itu…"


"Mesum."


Setelah diberi cap "mesum" olehnya, aku hanya bisa tersenyum masam.


"Yah, aku pulang dulu."


Kue-kue yang tadi tersaji dalam piring sudah habis, dan jam telah menunjukkan pukul tiga sore.


"Oh, baiklah. Terima kasih banyak untuk hari ini."


"…Terima kasih."


Dia dan adiknya kembali menundukkan kepala dalam-dalam. Kali ini dia sudah mengganti pakaiannya, jadi tidak ada yang tembus pandang lagi.


"Tiap kali jam kudapan tiba, dia selalu pulang. Tapi kali ini tidak. Dan ternyata, dia tersesat…"


Dia menghela napas panjang.


"Makanya, waktu aku melihat dia datang bersama Kuroda-kun, aku terkejut sekaligus lega."


"Anak kecil tersesat itu hal yang biasa, kan?"


"Mungkin. Tapi kalau yang tersesat itu adikku sendiri, aku pasti tetap khawatir."


Aku merasa dia tidak perlu sampai begitu berterima kasih padaku.


"Kenapa sampai segitunya…?"

Saat aku bertanya tentang hal yang tiba-tiba membuatku penasaran, dia menunjukkan ekspresi yang sedikit menyakitkan.


"Sebetulnya… Waktu kecil, aku hampir diculik."


"Apa…?"


"Untungnya, ada polisi yang menolongku. Tapi kalau tidak… aku tidak tahu apa yang akan terjadi."


"Maaf, aku jadi mengingatkanmu pada hal yang tidak menyenangkan."


"Tidak apa-apa. Justru karena itu, aku benar-benar berterima kasih padamu. Aku tidak ingin adikku mengalami hal menakutkan seperti aku dulu."


Hatiku terasa sesak. Kenapa aku harus bertanya? Aku tidak ingin melihat ekspresinya yang seperti itu.


"Tak perlu khawatirkan aku."


"Tapi dunia ini tidak hanya berisi orang baik seperti Kuroda-kun."

Aku merasakan ketulusan dalam ucapannya.


"Aku tidak sebaik itu, kok."


"Tapi kamu sudah mengantarkan adikku pulang, kan?"


"Itu… cuma kebetulan."


"Yah, kalau begitu, anggap saja begitu."


Dia mengatakannya dengan nada seolah belum sepenuhnya percaya.


"Oh iya, kuemu enak."

"Benarkah? Aku senang mendengarnya!"


"Segitu senangnya?"


"Ya. Saat seseorang makan hasil buatanku dan bilang enak, rasanya usahaku terbayar."


Dia tersenyum lembut, seperti bunga yang sedang mekar.


Jujur, dia terlihat jauh lebih manis saat tersenyum seperti itu.


"O-oke. Terima kasih untuk makanannya."


"Iya! Sampai jumpa!"


Dengan suara ceria, dia mengucapkan "sampai jumpa."


Aku harap masih ada "sampai jumpa" berikutnya, pikirku dalam hati sambil membawa kantong plastik bekas wadah bento dan meninggalkan rumah Shirakawa.
















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !