Kaji Daikō no Arubaito o Hajimetara V2 bab 6

Ndrii
0

Chapter 6

Latihan Pacaran




Suara-suara semangat bergema di dalam dojo.


Suara kaki telanjang bergesekan dengan lantai kayu bercampur dengan suara pukulan dan tendangan yang ditahan, menghasilkan bunyi benturan rendah dan tepukan kering yang saling bersahutan.


Haruto berusaha keras menangkis serangan bertubi-tubi berupa tendangan dan pukulan dari Ishigura, lawannya dalam latihan tanding.


Haruto dan Ishigura memiliki kemampuan yang setara sebagai asisten instruktur di dojo Doujima. Biasanya, pertarungan mereka akan berlangsung sengit dengan pertukaran serangan dan bertahan yang cepat. Namun, hari ini Haruto tampak kurang fokus dan lebih banyak bertahan.


Melihat kondisi Haruto, Ishigura melancarkan tendangan atas andalannya dari jarak dekat.


Biasanya, Haruto bisa dengan mudah menghindari tendangan atas Ishigura dengan memiringkan tubuh bagian atasnya. Tapi hari ini, karena kurang fokus, reaksinya terlambat dan ia terpaksa menangkis dengan mengangkat lengannya.


Dengan suara benturan yang tumpul, tendangan berat Ishigura mengenai lengan Haruto secara langsung.


Bahkan Haruto yang terampil pun tidak bisa menahan tendangan Ishigura hanya dengan satu lengan yang terlambat diangkat. Ia sedikit terhuyung sebelum akhirnya menyeimbangkan diri.


"Oi Haruto. Hari ini gerakanmu lambat ya?"


Ishigura berkata sambil masih dalam posisi setelah melancarkan tendangan atas.


"Maaf, Kazu-senpai. Aku sedikit terganggu karena memikirkan sesuatu."

Haruto tersenyum kecut sambil menggerak-gerakkan lengan yang tadi menahan tendangan Ishigura.


"Kalau melamun terus, nanti bisa cedera lho?"


"Baik. Aku akan lebih fokus."


Haruto menghembuskan nafas pendek dan memfokuskan diri kembali.


Melihat tatapan serius Haruto, Ishigura pun kembali memasang kuda-kuda dan melanjutkan latih tanding.


Setelah berlatih dengan Ishigura dan berkeringat, Haruto mengakhiri latihannya di dojo dan duduk di lantai untuk melakukan peregangan sekaligus pendinginan.


Ishigura menghampirinya sambil mengelap keringat dengan handuk yang melingkar di lehernya.


"Haruto, ada masalah yang sedang kamu pikirkan?"


Ishigura bertanya dengan santai sambil duduk di sebelah Haruto.


"Waktu latihan tadi kamu bilang sedang memikirkan sesuatu kan?"


"Ah... Bukan masalah besar si noh, tapi..."


Haruto berhenti sejenak dari peregangan dan menjawab dengan sedikit ragu-ragu.


"Bagaimana ya... Um... menurutmu, jarak yang tepat dengan seorang gadis yang... Bukan teman dekat, tapi semacam itu... Kira-kira seperti apa ya?"


"Hah? Apa maksudmu?"


Ishigura terlihat sedikit kaget mendengar pertanyaan Haruto yang di luar dugaan.


"Jadi yang kamu pikirkan itu masalah cinta?"


"Yah... bagaimana ya?"


"Bagaimana apanya, mana aku tahu."


Ishigura berkata dengan nada kesal. Tiba-tiba, Shizuku muncul di belakangnya.


"Apa ini? Dua laki-laki sedang membicarakan masalah perempuan?"


"Wuah!? Oi Shizuku! Jangan muncul tiba-tiba dari belakang! Bisa bikin jantungan tahu!"


Ishigura berbalik kaget, dan Shizuku menatapnya dengan ekspresi datar.


"Kazu-senpai, harusnya di sini kamu bilang 'Jangan berdiri di belakangku. Nanti kamu bisa terluka' sambil tersenyum mengerikan. Sayang sekali."


"Siapa yang tersenyum mengerikan?! Dan apa maksudmu dengan 'sayang sekali'? Aku tidak mengerti."


"Maksudku, Kazu-senpai baru saja melewatkan kesempatan untuk menaikkan indeks reputasi jahatmu. Ngomong-ngomong, Haru-senpai, apa kamu sedang menyukai seseorang?"


Shizuku mengabaikan protes Ishigura yang berkata "Jangan seenaknya membuat indeks aneh!" dan menatap Haruto lekat-lekat.


"Ah... Tidak..."


Haruto menggaruk kepalanya sambil mengalihkan pandangan dari tatapan Shizuku.


Shizuku melangkah mendekat ke arah Haruto.


"Haru-senpai, untuk konsultasi cinta, aku bisa membantu jutaan kali lebih baik daripada Kazu-senpai."


"Oi, itu berlebihan kan?"


"Habisnya, apa Kazu-senpai bisa berbicara dengan perempuan selama lebih dari tiga menit tanpa membuatnya menangis?"


"Aku sedang berbicara denganmu lebih dari tiga menit kan?"


"Aku tidak dihitung karena aku tahu Kazu-senpai sebenarnya gadis pemalu yang tersembunyi."


Mendengar perkataan Shizuku, Ishigura berkata "Gadis pemalu? Siapa?" dengan nada sedikit lelah.


"Jadi, Haru-senpai suka siapa? Aku? Baiklah, ayo pacaran."


"Haha... Terima kasih Shizuku, lain kali aku akan minta saranmu ya."


Haruto tersenyum menanggapi candaan Shizuku yang tidak berubah. "Aku harus pulang sekarang. Sampai nanti."


Haruto mengakhiri peregangan dan berjalan sendirian menuju ruang ganti untuk berganti pakaian.


"Hei, Shizuku. Menurutmu dia benar-benar sedang menyukai seseorang?"


"Entahlah... Tapi, kalau Haru-senpai punya pacar... Kurasa itu hal yang baik."


Shizuku bergumam pelan, dan Ishigura menoleh ke arahnya.


Namun, ia tidak bisa membaca emosi dari wajah Shizuku yang lebih datar dari biasanya.



Haruto merasakan telapak tangannya mulai berkeringat saat ia mengikuti Ayaka menaiki tangga.


"Ini kamarku."


Ayaka berkata sambil membuka pintu.


"...Permisi."


Haruto memberi hormat ringan sebelum masuk ke kamar Ayaka.


Kamar gadis yang terkenal sebagai "idol sekolah" dan dianggap paling cantik di sekolah mereka.


Kamar itu ternyata adalah kamar gadis biasa pada umumnya.


Satu-satunya perbedaan yang bisa dilihat Haruto hanyalah ukuran kamar yang sedikit lebih luas dari kamarnya sendiri, dan rak buku di dinding yang penuh dengan manga dan novel.


"Kamar yang cantik dan nyaman ya."


"Fufu, terima kasih. Aku akan ambilkan minuman dulu. Duduklah di bantal itu dan tunggu ya."


Setelah berkata demikian, Ayaka keluar dari kamar.


Haruto yang ditinggal sendirian di kamar, melihat sekeliling dengan gelisah.


Berada di kamar teman sekelas perempuan saja sudah cukup membuatnya gugup. Ditambah lagi dengan perasaannya terhadap Ayaka dan status mereka sebagai pasangan palsu, membuat Haruto terus-menerus menggeser posisi duduknya di atas bantal.


Setiap kali ia bernafas, aroma harum yang lembut menggelitik hidungnya, membuat detak jantungnya semakin cepat.


Kamar Ayaka dipenuhi dengan aroma yang sama seperti yang kadang tercium dari rambutnya, membuat Haruto semakin gelisah dan matanya terus bergerak.


Haruto kemudian memperhatikan bantal yang ia duduki, dan bantal lain yang diletakkan tepat di sebelahnya. Kedua bantal itu diletakkan sangat berdekatan tanpa jarak.


Di depannya ada meja yang pas untuk belajar.

Selain itu, tempat yang bisa diduduki di kamar ini hanyalah tempat tidur atau kursi meja belajar.


Haruto sekali lagi melihat bantal di sebelahnya yang tidak berjarak, lalu perlahan mendorongnya sedikit untuk memberi jarak. Tepat saat itu, Ayaka kembali membawa nampan dengan minuman dan gelas.


"Maaf membuatmu menunggu, Haruto-kun. Tidak apa-apa kan kalau teh barley?"


"Ah, iya. Terima kasih banyak."


Ayaka meletakkan nampan di atas meja di depan Haruto, lalu dengan santai duduk di bantal sebelah Haruto.


Saat duduk, ia mengembalikan jarak bantal yang tadi digeser Haruto ke posisi semula yang berdekatan.


"......"


"......"

Haruto dan Ayaka duduk bersebelahan dengan jarak yang sangat dekat hingga bahu mereka bersentuhan.


"Um... A-aku minum tehnya ya."


"I-iya. Silakan."


Saat Haruto mengulurkan tangan untuk mengambil gelas di atas meja, ia tidak sengaja bersentuhan dengan Ayaka di sebelahnya, membuat detak jantungnya semakin cepat.


Haruto bermaksud hanya minum seteguk, tapi tanpa sadar ia sudah menghabiskan lebih dari setengah gelas teh barley dalam sekali teguk.


"Haus ya? Mau tambah lagi?"


"Tidak, tidak apa-apa."


Haruto menolak tawaran Ayaka sambil menggerakkan tangannya.


Setelah itu, hening sejenak sebelum Ayaka perlahan memulai pembicaraan.


"Ja-jadi... Kita mulai latihan pacaran?"


Ayaka berkata dengan pipi sedikit memerah, membuat Haruto tersentak kaget.


"Iya... Um, dari mana kita mulai?"


Haruto bertanya dengan hati-hati, teringat pembicaraan mereka sebelumnya yang menyinggung soal skinship.


"Hmm. Pertama-tama, aku ingin Haruto-kun mengubah cara bicaramu. Bagaimana?"


"Cara bicara? Maksudnya?"


Haruto sedikit memiringkan kepalanya, dan Ayaka berkata, "Itu, cara bicaramu yang terlalu sopan."


"Cara bicara Haruto-kun terlalu sopan, jadi terasa agak berjarak dan... Sedikit kesepian."


“Maksudmu kamu ingin aku berbicara dengan lebih santai?”


“Iya. Lagian, sebelum kita berpura-pura pacaran, kita ini teman sekelas kan? Jadi aku ingin kamu bicara lebih normal.”


“Begitu ya...”


Haruto mengangguk sambil meletakkan tangan di mulutnya.


Pertemuan pertama mereka adalah sebagai pelanggan dan staf layanan rumah tangga, sehingga secara alami Haruto berbicara dengan sopan kepada Ayaka. Namun seperti yang Ayaka katakan, cara bicara seperti itu memang terasa agak berjarak.


“Kalau begitu, apakah aku harus bicara seperti berbicara dengan teman biasa?”


“Ah... ya...”


Ayaka menjawab dengan sedikit ragu, membuat Haruto kembali memiringkan kepalanya.


“Lho? Bukan ya?”


“Bukan begitu. Itu tidak salah, tapi... Kamu tahu kan, kita berpura-pura pacaran?”


“Iya.”


“Itu artinya, saat kita berpura-pura pacaran, aku menjadi milikmu kan?”


“Itu... Yah, begitu ya?”


Haruto menjawab dengan ragu-ragu. Mendengar itu, Ayaka menjelaskan dengan suara yang sedikit bersemangat.


“Jadi, bukan hanya bicara seperti teman biasa. Lebih seperti... Gaya ‘ore-sama’? Bicara dengan sedikit tegas dan agresif, kurasa itu akan lebih realistis...”


“Apa itu... Maksudnya itu selera Ayaka?”


Haruto bertanya dengan sedikit bingung mendengar permintaan Ayaka.


Dengan wajah memerah, Ayaka menjawab dengan terburu-buru.


“Bu-bukan soal seleraku! Maksudku, secara umum, bukankah pasangan yang mesra terlihat seperti itu? Ha-hanya itu saja!”


“Be-begitu ya...”


Haruto tersenyum sedikit kaku mendengar penjelasan Ayaka yang terdengar seperti alasan.


Pasangan yang mesra, sang pacar berbicara dengan gaya ‘ore-sama’.


Jujur saja, ini sama sekali tidak umum. Haruto berpikir demikian, tapi ia merasa ragu untuk menolak permintaan Ayaka.


Latihan pacaran ini adalah hasil dari kebaikan hati Ayaka yang mau membantu kebohongannya. Jika ia menolak permintaan Ayaka sekarang, bukankah itu sama saja dengan mengabaikan kebaikan hatinya? Saat Haruto sedang berpikir demikian, Ayaka berkata dengan sedikit cemas.


“Kamu tidak suka? Kalau Haruto-kun tidak mau, aku tidak akan memaksa...”


“Ah, bukan... Maksudku, seperti apa contoh gaya ‘ore-sama’ yang Ayaka maksud?”


Saat Haruto bertanya demikian, ekspresi Ayaka yang tadinya cemas langsung berubah dan matanya berbinar-binar.


“Itu... misalnya... ‘Kemarilah’ sambil merangkul bahuku dengan sedikit kasar, atau memperkenalkanku ke orang lain dengan berkata ‘Dia milikku’...”


“Tu-tunggu dulu! Itu terlalu tiba-tiba dan agak sulit... Lagian itu sangat berbeda dengan karakterku...”


“Masa sih?”


“Aku jadi khawatir bagaimana aku terlihat di mata Ayaka...”


“Haruto-kun, kalau cuma berdua, panggil aku tanpa akhiran ya?”


Ayaka menunjuk Haruto dengan jari telunjuknya seolah menegur.


“Ah... benar juga ya.”


“Kalau begitu, bagaimana kalau kita mulai dengan kau memanggilku ‘Oi, Ayaka’?”


Sepertinya dalam pikiran Ayaka, sudah diputuskan bahwa Haruto akan berbicara dengan gaya ‘ore-sama’, dan ia terus mendorong percakapan ke arah itu.


“Kita benar-benar akan melakukannya?”


“Iya!”


Melihat Ayaka yang matanya berbinar penuh harapan, Haruto benar-benar kehilangan kesempatan untuk menolak dan dengan ragu-ragu mulai berbicara.


“...Oi, Ayaka.”


Mendengar gaya bicara ‘ore-sama’ Haruto yang sedikit terburu-buru, Ayaka memiringkan kepalanya dan berkata “Hmm”.


“Mungkin lebih tegas sedikit?”


“...Oi, Ayaka.”


“Sedikit lagi.”


“Oi, Ayaka.”


“Sekali lagi.”


“Oi, Ayaka.”


“Satu kali lagi.”


“Oi! Ayaka.”


“...Mungkin itu bagus.”


Ayaka tersenyum puas dengan pipi yang sedikit memerah.


Sementara itu, Haruto menunjukkan ekspresi lelah.


“Um, bagaimana kalau kita latihan gaya bicara ‘ore-sama’ ini pelan-pelan saja, dan mulai dari gaya bicara santai antar teman dekat dulu?”


“Tapi Haruto-kun tadi keren lho?”


“...Tidak, tolong kita mulai dari gaya bicara teman dulu.”


Hati Haruto sedikit goyah mendengar pujian dari Ayaka.


Namun, memikirkan ke depannya, Haruto menggelengkan kepala. Melihat Haruto yang memohon sambil membungkuk dalam-dalam, Ayaka menerima permintaannya meski terlihat sedikit kecewa.


“Baiklah. Kalau begitu, kita latihan gaya bicara ‘ore-sama’ pelan-pelan ya? Sampai saat itu, kita pakai gaya bicara teman dulu.”


Haruto sebenarnya ingin menganggap gaya bicara ‘ore-sama’ itu tidak ada, tapi sepertinya Ayaka tidak akan menyerah.


Haruto merasa sedikit cemas tentang “latihan pacaran” yang akan dimulai ini. Namun, Ayaka tidak peduli dengan perasaan Haruto dan terus melanjutkan latihan pacaran mereka.


“Lalu, selanjutnya...”


“Iya...”


Haruto sedikit waspada mendengar pernyataan Ayaka selanjutnya, mengingat permintaannya yang cukup mengejutkan di awal tadi tentang “berbicara dengan gaya ore-sama”.


“Kita memang sudah bertemu sebagai teman sekelas, tapi belum lama sejak kita mulai benar-benar berbicara kan?”


“Iya, benar.”


“Jadi, menurutku kita harus lebih mengenal satu sama lain dulu.”


Mendengar usulan Ayaka yang ternyata cukup masuk akal, Haruto menghela nafas lega.


Memang benar, jika mereka adalah pasangan, tentu saja mereka harus saling mengenal dengan baik.


“Kamu benar, Ayaka. Itu ide bagus.”


“Kan? Kalau begitu, ayo mulai. Haruto-kun suka tipe gadis yang seperti apa?”


Ayaka bertanya dengan penuh rasa ingin tahu sambil sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, membuat Haruto sedikit menarik tubuhnya ke belakang.


“Ti-tipe gadis yang kusukai?”


“Iya. Meskipun ini pura-pura, bukankah akan lebih mudah bagimu untuk berakting jika pacarmu sedikit mirip dengan tipe idealmu?”


“Tidak, tidak perlu sampai seperti itu. Seperti yang kukatakan sebelumnya, Ayaka sudah cukup menarik.”


Mendengar Haruto berkata demikian, Ayaka sedikit mendekatkan wajahnya dan berbisik.


“Kalau begitu, apa itu berarti aku adalah tipe gadis ideal Haruto-kun?”


“Ah, bukan... Itu, um...”


Haruto menjadi gugup dan matanya bergerak-gerak, melihat Ayaka yang menatapnya dengan mata yang berbinar dan ekspresi yang agresif.


“Um, menurutku wanita dengan senyum yang indah itu menarik.”


Haruto menjawab dengan terbata-bata sambil menghindari tatapan Ayaka. Mendengar itu, Ayaka tersenyum kecil.


“Begitu ya, Haruto-kun suka senyuman. Ngomong-ngomong, apa kau suka senyumanku?”


“Itu, yah... Senyuman Ayaka, bukan hanya aku, tapi kurasa semua laki-laki akan menganggapnya menarik...”


“Fufu, terima kasih.”


Melihat Ayaka yang tersenyum senang, Haruto menjawab dengan wajah memerah.


“Ah, Ayaka suka tipe laki-laki yang seperti apa?”


“Eh? Aku? Aku...”


Ayaka berpikir sejenak, lalu menjawab sambil menatap Haruto.


“Laki-laki yang bisa melakukan pekerjaan rumah dengan sempurna, atau bisa memasak dengan enak, itu cukup menarik menurutku.”


“...Be-begitu ya, akan kujadikan referensi...”


“Iya. Ngomong-ngomong, dari tadi gaya bicara Haruto-kun belum berubah lho.”


Ayaka berkata demikian sambil sedikit menggembungkan pipinya, terlihat tidak puas.


“Maaf... eh, maksudku, sorry. Agak sulit untuk langsung mengubahnya.”


“Kalau begini terus, nenek bisa tahu kita bohong lho?”


“Maaf... Aku akan berusaha memperbaikinya secepatnya.”


“Ah, pakai bahasa formal lagi.”


Mendengar teguran Ayaka, Haruto menutup mulutnya sejenak, menghela nafas pelan, lalu mulai berbicara lagi.


“Oke. Mulai sekarang aku akan berusaha bicara dengan gaya yang lebih santai.”


Setelah berkata demikian, Haruto mengangkat jari telunjuknya dan melanjutkan, “Tapi”.


“Selama aku bekerja sebagai pembantu rumah tangga, aku akan tetap berbicara seperti biasa, itu tidak apa-apa kan?”


“Iya. Itu kan pekerjaan, jadi tidak apa-apa.”


Ayaka mengangguk, lalu tersenyum sangat senang. Melihat itu, Haruto bertanya.


“Kenapa kamu kelihatan senang sekali?”


“Eh? Soalnya, Haruto-kun yang bicara normal terasa baru dan menyegarkan.”

(Tln: dari Watashi jadi ore, Dan bahasanya jadi lebih gaul, buat lebih paham lagi bisa baca rawnya atau liat di anime²)


Sepertinya Ayaka tersenyum tanpa sadar, ia terlihat sedikit terkejut dan mengelus pipinya sendiri.


Melihat reaksi Ayaka yang manis itu, tanpa sadar pipi Haruto juga ikut memerah.


"Setiap kali aku bicara, Ayaka tersenyum-senyum seperti itu, nanti nenek jadi curiga lho."


"Apa aku senyum-senyum sebegitunya?" Ayaka berkata sambil menepuk-nepuk pipinya dengan kedua tangan.


Lalu, seolah tiba-tiba teringat sesuatu, Ayaka menatap Haruto.


"Pasangan kekasih biasa itu harusnya saling membisikkan cinta dengan santai ya?"


"Eh? Yah... Apa itu benar? Sepertinya itu tidak biasa...?"


Melihat Ayaka kembali mengeluarkan standar 'normal' yang tidak normal, Haruto mencoba membantah dengan lembut.


Namun, Ayaka dengan anggun mengabaikan bantahan Haruto dan melanjutkan pembicaraan.


"Kalau pasangan kekasih saling berkata 'Aku suka padamu' lalu malu-malu atau wajahnya memerah, itu aneh kan?"


"Tidak, itu sama sekali tidak aneh..."


"Tapi tapi! Kita tidak tahu situasi apa yang akan terjadi, jadi lebih baik latihan dulu kan?"


Membisikkan cinta di depan orang lain. Haruto ingin sekali menghindari situasi yang terkesan seperti permainan memalukan itu, tapi Ayaka sudah sangat bersemangat untuk berlatih.


"Ka-kalau begitu. Aku akan bilang 'Aku suka padamu' ke Haruto-kun, lalu Haruto-kun balas 'Aku juga suka padamu'. Saat ini jangan malu-malu ya? Santai saja seperti percakapan sehari-hari pasangan kekasih biasa ya?"


Mengungkapkan perasaan dengan kata-kata dan menyampaikannya pada pasangan memang penting. Haruto juga tidak menentang hal itu.


Tapi mengatakannya seperti percakapan sehari-hari, bukankah itu bukan lagi pasangan kekasih biasa melainkan pasangan bodoh?

(Tln: pasangan bodoh atau bakapuru, itu pasangan yang bucinmya ga bisa liat tempat sama waktu, dimana² selalu mgebucin)


Pikiran seperti itu memenuhi benak Haruto, tapi sebelum dia bisa menyampaikannya pada Ayaka, gadis itu sudah mulai latihan.


"Ka-kalau begitu... A-aku akan mengatakannya ya?"


Ayaka berkata begitu, mungkin karena malu, dia menatap Haruto dengan mata berkaca-kaca.


Lalu, setelah sedikit menggigit bibirnya, dia perlahan membuka mulutnya.


"Haruto-kun... Aku suka padamu."


"Ugh...!"


Pipi yang memerah. Mata yang berkaca-kaca. Jarak yang begitu dekat hingga bisa langsung tersentuh jika mengulurkan tangan.


Ditatap langsung oleh mata itu dari jarak sedekat itu. Ekspresi Ayaka yang cantik dan manis seolah diciptakan oleh Tuhan sendiri. Kata-kata seperti pengakuan cinta yang terucap dari bibirnya.


Efek destruktifnya begitu kuat hingga Haruto sejenak merasa jantungnya berhenti berdetak.


"Ah, tidak boleh Haruto-kun! Jangan malu-malu!"


"Tidak tidak tidak! Itu mustahil!"


Haruto dengan sekuat tenaga menolak protes Ayaka.


Aneh kalau tidak malu-malu setelah itu.


Kata-kata Ayaka tadi seolah sihir yang memaksa sudut bibir Haruto terangkat ke atas.


"Lqgian Ayaka sendiri wajahnya juga memerah kan."


"I-itu karena... Ini pertama kalinya aku mengatakan 'suka' pada laki-laki..."


"Guh..."


Melihat Ayaka menunduk malu-malu saat mengatakannya, Haruto tak kuasa menahan senyum aneh yang merekah.


"Se-sekarang giliran Haruto-kun!"


Ayaka mendesak Haruto yang sedang berjuang keras mengembalikan ekspresi normalnya.


"Harus dilakukan?"


"Ti-tidak boleh tidak! Kalau tidak latihan dengan benar, nanti ketahuan bohongnya lho!"


Haruto mencoba mempertaruhkan harapan terakhirnya, tapi langsung ditolak mentah-mentah oleh Ayaka.


Sebenarnya meskipun tidak melakukan latihan ini, hubungan kekasih palsu mereka hampir tidak mungkin ketahuan.


Malah, Haruto merasa jika mereka menguasai latihan ini, yang akan tercipta justru pasangan aneh, lebih tepatnya pasangan bodoh.


Haruto mengintip ekspresi Ayaka sambil menahan sudut bibirnya yang masih belum kembali ke posisi normal dengan telapak tangannya.


Sepertinya perkataan tadi juga cukup memalukan bagi Ayaka, wajahnya memerah lebih dari yang pernah Haruto lihat sebelumnya.


Setelah Ayaka mengatakan hal seperti itu, tidak mungkin dia sendiri tidak mengatakannya.


Setelah membulatkan tekad, Haruto menarik nafas dalam-dalam beberapa kali tanpa ketahuan Ayaka, lalu dengan sekuat tenaga menggunakan otot wajahnya untuk membuat ekspresi datar.


Karena menahan sekuat tenaga wajahnya yang ingin tersenyum, matanya jadi ikut tegang.


"...Ayaka." Begitu namanya dipanggil, gadis itu terkejut dan menatap mata Haruto lekat-lekat.


"Aku juga suka Ayaka."


Begitu mengatakannya, Haruto bisa merasakan suhu tubuhnya naik drastis.


Mungkin inilah yang dimaksud dengan wajah yang terasa terbakar.


Rasanya sekarang dia bisa membuat telur mata sapi di dahinya.


Sementara Haruto menggeliat malu, dia merasa cemas karena tidak ada respon sama sekali dari Ayaka.


Begitu mendengar kata-kata Haruto, Ayaka langsung membelalakkan mata dan membeku seketika.


"Ayaka? Hoi, Ayaka? Ayaka-san?"


Haruto mencoba memanggil namanya beberapa kali.


"Ah! A-ada apa Haruto-kun?"


Mendengar panggilan Haruto, Ayaka tersadar dan mengerjapkan matanya.


"Umm, bagaimana tadi? Apa sudah seperti pasangan kekasih biasa menurut Ayaka?"


"Ah... Um... Maaf, sepertinya ingatanku agak hilang tadi."


"Eh!? ...Serius?"


Haruto terkejut mendengar kata-kata yang dia ucapkan dengan menahan rasa malu terbesar dalam hidupnya ternyata tidak diingat.


"Ma-maaf ya... Jadi, um... Bisakah kamu mengatakannya sekali lagi?"


"Tidak mungkin tidak mungkin tidak mungkin! Kalau melakukannya lagi aku bisa mati karena malu!"


Haruto menolak sambil mengibas-ngibaskan kedua tangannya, tapi Ayaka memohon dengan mengatupkan tangannya.


"Kumohon! Sekali lagi saja! Ya?"


Ayaka sedikit memiringkan tangannya yang terkatup dan mengintip dari sana dengan tatapan memohon. Melihat tingkah Ayaka yang menggemaskan, Haruto hampir saja mengangguk, tapi dia berhasil menahannya.


Melihat Haruto yang tak kunjung mengangguk, Ayaka memberi satu usulan.


"Baiklah. Kalau Haruto-kun mau mengatakannya sekali lagi, aku juga akan mengatakan 'Aku suka padamu' sekali lagi. Tidak adil kalau Haruto-kun mengatakannya dua kali tapi aku hanya sekali kan."


"Bukan itu masalahnya..."


"Tidak mau?"


"...Baiklah... Aku akan mengatakannya sekali lagi, tapi kali ini dengarkan baik-baik ya?"


"Iya, aku akan kudengarkan baik-baik."


Melihat Ayaka yang mengangguk berulang kali, Haruto menarik nafas dalam sekali lagi sebelum memberanikan diri mengucapkan kata-katanya.


"Ayaka, aku suka padamu."


"Hauu..."


Begitu mendengar kata-kata Haruto, terdengar suara seperti desahan atau helaan nafas dari mulut Ayaka.


Dia menunduk dengan wajah merah padam, lalu setelah beberapa saat mengangkat wajahnya dan berkata pada Haruto dengan senyum malu-malu.


"Aku juga, sangat suka Haruto-kun!"


Mendengar perkataan Ayaka yang diucapkan dengan ekspresi malu-malu, rangkaian pikiran Haruto langsung hancur berantakan.


Di sudut otaknya yang tidak lagi berfungsi normal, Haruto sedikit berpikir.


Mungkin menjadi pasangan bodoh tidak terlalu buruk.



Keesokan harinya setelah melakukan "latihan pacaran" dengan Ayaka.


Langit masih dalam keadaan sebelum fajar, tapi Haruto sudah terbangun.


Dia melirik jam di samping bantalnya, merasa ini terlalu pagi untuk bangun, lalu mencoba tidur lagi dengan menutup kelopak matanya. Namun, sepertinya kepalanya sudah benar-benar terjaga, dan dia sama sekali tidak merasa bisa tidur lagi.


Karena tidak ada pilihan lain, Haruto yang bangun sangat pagi itu duduk di depan mejanya untuk melakukan rutinitas belajar pagi, menggerakkan pensil mekaniknya di buku catatan dengan penuh konsentrasi.


Namun, konsentrasi yang biasanya bertahan lama hari ini cepat sekali hilang.


“Sial... Tidak bisa konsentrasi...”


Saat Haruto bergumam begitu, kejadian kemarin terus berulang di benaknya sejak dia bangun.


Kata-kata Ayaka yang terucap dengan senyum lebar.


“Aku juga, sangat suka Haruto-kun!”


Hanya dengan mengingatnya saja, ekspresi Haruto langsung tersenyum tanpa sadar.


“Sial... Imut sekali...”


Haruto menggaruk-garuk kepalanya dengan satu tangan, seolah berusaha mengalihkan perhatian dari detak jantungnya yang berdebar kencang.


Mengingat latihan pacaran kemarin di mana mereka saling mengatakan “Aku suka padamu” dua kali, Haruto berpikir.


Bahwa itu pasti tidak normal.


Ayaka mengatakan bahwa pasangan kekasih biasa akan dengan santai saling menyampaikan cinta, tapi yang bisa melakukan hal seperti itu mungkin hanya pasangan lansia yang sudah bersama selama lebih dari setengah abad, atau pasangan fiksi dalam khayalan.


Bahkan jika mereka melakukan latihan seperti kemarin setiap hari selama setahun, Haruto yakin dia tetap akan tersenyum.


“Dari mana asalnya standar pacaran tidak normal Tojo-san itu?”


Berbicara dengan gaya bahasa ore-sama pada pacarnya, dan dengan santai saling membisikkan cinta.


Jika itu yang dianggap normal untuk pasangan kekasih, bukankah sebagian besar pasangan yang ada di dunia nyata akan menjadi hubungan yang dingin dan kaku?


“Oh iya, rak buku di kamar Tojo-san...”


Haruto mengingat rak buku yang ada di dinding kamar Ayaka, dan buku-buku yang tersusun di sana.


Dia tidak melihat dengan seksama buku apa saja yang ada, tapi sepertinya warna punggung bukunya banyak yang merah, pink, dan warna-warna pastel.


“Jangan-jangan itu... Semuanya novel romance dan manga shoujo...”


Di situ Haruto teringat bahwa Ayaka pernah mengatakan dia belum pernah punya pacar sebelumnya.


Entah dia punya pengalaman cinta atau tidak.


Tapi jika dia belum pernah punya pacar, bagaimana dia menilai apa yang normal dalam hubungan kekasih?


“Jangan-jangan, dia menggunakan novel romance dan manga cinta sebagai standar?”


Bisa jadi.


Dari interaksi mereka selama ini, Haruto merasa Ayaka agak polos sekaligus cukup feminin.


Jika itu Ayaka, sangat mungkin dia menggunakan karya fiksi sebagai standar untuk menilai apa yang normal dalam hubungan kekasih.


“Kalau begitu, untuk latihan pacaran ke depannya... Mungkin tidak baik membiarkan Tojo-san memegang kendali...”


Jika dibiarkan begini, bisa-bisa nanti dia akan minta kabe-don atau chin-kui. Bahkan mungkin dia akan mulai minta back hug.


Latihan pacaran ini adalah usulan dari Ayaka untuk membantu kebohongan Haruto.


Haruto sangat berterima kasih dan menghargai bahwa Ayaka mau melakukan semua ini demi kebohongannya.


Dia merasa tidak enak untuk mendikte Ayaka yang sudah berusaha keras berperan sebagai pacarnya. Namun, latihan pacaran berdasarkan standar fiksi sepertinya akan terlalu berat bagi jantung Haruto.


“Lagiwn, rasanya tidak pantas meminta hal seperti itu pada orang yang bahkan bukan pacar sungguhan. Pasti menyakitkan melakukan latihan pacaran dengan laki-laki yang tidak disukai...”


Di situ Haruto teringat senyum lebar Ayaka kemarin.


Apakah wanita biasanya akan tersenyum seperti itu pada laki-laki yang tidak disukainya?


Tiba-tiba muncul pertanyaan dalam benak Haruto.


Saat latihan pacaran, meski terlihat malu-malu, Ayaka sama sekali tidak terlihat terpaksa. Malah, dia terlihat antusias untuk berlatih.


“Apakah orang biasanya akan melakukan hal seperti itu dengan orang yang tidak disukainya... tidak, kalau itu Tojo-san...”


Di sekolah, meski Ayaka tidak dekat dengan anak laki-laki, dia cukup populer di kalangan anak perempuan.


Dari fakta bahwa dia selalu dikelilingi teman-teman perempuan, terlihat bahwa dia memiliki kepribadian yang baik.


“Sepertinya Tojo-san itu tipe yang tidak bisa menolak permintaan orang...”


Mungkin dia hanya berusaha sungguh-sungguh membantu kebohongan Haruto.


Untuk itu, mungkin dia berpikir keras dan berusaha melakukan latihan pacaran ini. Memikirkan hal itu, Haruto merasa sakit hati atas kebohongan yang telah dia ucapkan.


“Sepertinya lebih baik jujur pada nenek dan segera menghentikan kebohongan ini ya.”


Haruto berkata begitu.


Namun, dia juga menyadari bahwa di sudut hatinya, dia tidak ingin mengubah hubungannya dengan Ayaka saat ini.


Jika kebohongan ini berakhir, Ayaka tidak akan menjadi pacarnya lagi...


“Argh~ Sudahlah! Aku ini benar-benar keterlaluan... Apa yang kupikirkan...”


Haruto mengacak-acak rambutnya dengan kedua tangan, merasa benci pada dirinya sendiri yang menyadari bahwa hubungan pacaran palsu ini tidak bisa dibiarkan, tapi tetap tidak ingin mengubah keadaan saat ini.


Karena terlalu banyak berpikir, pikirannya malah jadi kacau. Haruto bersandar dalam-dalam di kursinya dan memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong.


Langit yang tadinya gelap saat dia bangun, kini sudah mulai terang.


“Hahh, aku akan menyiapkan sarapan...”


Sebentar lagi waktunya nenek bangun.


Haruto menutup buku referensi yang tidak banyak dia pelajari, berdiri dari kursi, meregangkan badan, lalu meninggalkan kamarnya.


Setelah itu, selesai sarapan dengan neneknya, Haruto kembali ke kamarnya dan duduk di meja untuk melanjutkan belajar yang tidak berjalan lancar tadi pagi.


Namun, AC di kamar Haruto masih bermasalah, dan dengan naiknya suhu seiring terbitnya matahari, dia sulit berkonsentrasi belajar.


Haruto yang memang sudah gelisah memikirkan Ayaka, akhirnya memutuskan untuk berhenti belajar lebih awal.


Dia mengambil ponsel yang tergeletak di meja, bertukar pesan beberapa kali melalui aplikasi chat, lalu bersiap-siap untuk pergi keluar.



“Wah~ makanan yang dibayari orang lain memang paling enak~”


Akagi Tomoya, sahabat Haruto, menggigit hamburger besar yang ditraktir Haruto dengan penuh semangat sambil tersenyum lebar.


“Ini ucapan terima kasih karena sudah menjemput nenek saat keluar dari rumah sakit. Jangan sungkan, pesan saja apa yang kamu mau.”


“Serius!? Kalau begitu boleh tambah kentang goreng yang ukuran besar?”


“Boleh.” Haruto yang tidak bisa konsentrasi karena memikirkan Ayaka, datang ke restoran cepat saji bersama Tomoya.


Sebagai ucapan terima kasih kepada Tomoya yang menggantikannya menjemput nenek saat keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu karena Haruto terbaring sakit flu, Haruto yang akan membayar semua pesanan di sini.


“Nenek juga berterima kasih lho. Katanya lain kali datanglah ke rumah, dia akan membuatkan ohagi kesukaanmu.”


“Oh!! Itu benar-benar membuatku bersemangat!! Lain kali aku akan main ke rumahmu, Haru.”


Tomoya berkata dengan sangat gembira, lalu menyeruput minuman dari setnya.


Setelah itu, Haruto dan Tomoya mengobrol ringan sambil menikmati menu yang mereka pesan.


Akhir-akhir ini, karena Haruto sering membantu pekerjaan rumah tangga di keluarga Tojo, atau pergi nonton film dan ke Taman Hutan Binatang bersama Ayaka, sudah agak lama dia tidak bertemu Tomoya.


Sahabatnya itu bertanya pada Haruto yang sedang makan hamburger berisi keju dengan senyum menggoda.


“Oh iya Haru. Bagaimana perkembanganmu dengan Tojo-san sejak saat itu?”


Mendengar pertanyaan sahabatnya, bahu Haruto bergerak sedikit dan dia berhenti makan hamburgernya.


“Hmm? Reaksi itu artinya ada perkembangan ya? Hmm?”


“Perkembangan... Tidak, ini bukan perkembangan... Tidak ada apa-apa.”


“Pasti ada kan!? Apa-apaan reaksimu itu!? Membuatku penasaran sekali tahu!”


Tomoya mengarahkan kentang goreng yang hampir dia masukkan ke mulutnya ke arah Haruto.


Menanggapi itu, Haruto menunjukkan ekspresi sulit, seolah sedang bimbang apakah harus bicara atau tidak.


“Yah... Maaf, aku juga masih belum bisa merapikan perasaanku... Belum bisa cerita.”


“Oh, kamu itu...”


Tomoya memasukkan kentang goreng yang tadinya diarahkan ke Haruto ke mulutnya sendiri sambil menatap Haruto dengan mata menyipit.


Seolah ingin menghindar dari tatapan sahabatnya, Haruto jelas-jelas mengalihkan topik.


“Oh iya, bagaimana latihan bandmu? Lancar?”


Melihat Haruto yang jelas-jelas mengambil sikap menghindar, Tomoya menghela nafas sekali sebelum menjawab.


“Tentu saja lancar! ...Ingin kukatakan begitu, tapi Haru, dengarkan aku sebentar~”


Melihat Tomoya yang berbicara dengan wajah kesulitan, Haruto langsung menyadari "Ini pasti merepotkan". Dia mengalihkan pandangan, merasa telah salah memilih topik pembicaraan, dan mengulurkan tangan ke kentang goreng Tomoya.

"Hei! Jangan mengabaikanku! Sahabatmu sedang kesulitan nih!"

"Maaf Tomoya. Aku tidak bisa membantumu. Maaf ya."

"Lho, aku bahkan belum mengatakan apa-apa!"

Mengabaikan protes sahabatnya, Haruto terus memasukkan kentang goreng ke mulutnya dengan penuh konsentrasi.

Melihat Haruto seperti itu, Tomoya mengambil bungkus kentang gorengnya dan berteriak protes sekuat tenaga, "Kentang gorengku bisa habis nih!!"

"Aku kan sudah menjemput nenekmu! Masa kamu mengabaikan masalah sahabatmu? Kamu tidak akan melakukannya kan? Karena Haru adalah sahabatku kan?"

"...Baiklah! Baiklah! Apa masalahmu?"

Haruto yang diserang di titik lemahnya oleh Tomoya akhirnya menyerah dan memutuskan untuk mendengarkan masalahnya.

"Aku kan membentuk band dengan anak-anak dari sekolah lain kan?"

"Iya."

"Nah, vokalis kami sepertinya bersekolah di sekolah swasta yang sangat bagus, tapi katanya peraturan sekolahnya sangat ketat."

"Hmm. Lalu apa masalahnya?"

"Masalah besar, masalah sangat besar. Sekolah itu melarang kegiatan band seperti kami."

Tomoya berkata sambil menghela napas "Hahh~".

"Katanya kalau vokalis kami ketahuan sekolah, dalam kasus terburuk dia bisa dikeluarkan."

"Serius? Dikeluarkan hanya karena kegiatan band itu keterlaluan kan?"

Haruto menunjukkan ekspresi sedikit terkejut, dan Tomoya kembali menghela napas "Haah~".

"Band seperti kami ini, bagi orang-orang kaku itu dianggap keberadaan yang mengganggu. Mereka punya image kita membuat suara berisik, merokok, minum alkohol, dan berbuat onar."

"Tidak, di zaman sekarang tidak ada orang yang punya image seperti itu kan."

"Ternyata tidak juga lho?"

Sambil berkata begitu, Tomoya menghabiskan minumannya yang tersisa dengan ekspresi sedih lalu mengeluarkan kata-kata sok keren seperti "Musik kami selalu ditindas di setiap zaman".

"Yah, sepertinya sulit tapi semangatlah."

Mendengar kata-kata penyemangat asal-asalan dari Haruto, Tomoya menatapnya tajam. "Musim panas ini, band kami sudah berlatih keras untuk penampilan di festival sekolah!"

"O-oh."

Haruto merespon dengan terbawa suasana karena Tomoya tiba-tiba berbicara dengan penuh semangat.

"Tapi! Bukankah akan sangat kasihan kalau kami tidak bisa tampil di hari festival karena vokalis kami tidak ada!"

"I-itu, yah..."

"Jadi, kalau vokalis kami tidak ada, saat itu tolong ya Haru."

Tomoya tersenyum cerah dan mengacungkan jempol pada Haruto.

Haruto memasang ekspresi lelah melihat sahabatnya seperti itu.

"...Baiklah, hanya sebagai pilihan terakhir, kalau benar-benar tidak ada cara lain, saat itu, aku akan mempertimbangkannya."

"Hehehe, Haru memang baik ya~"

Haruto membalas Tomoya yang tersenyum lebar dengan singkat "Berisik" sambil mengulurkan tangan ke kentang goreng Tomoya.

Haruto perlahan mengunyah kentang goreng, lalu berbicara pada sahabatnya.

"Hei, Tomoya."

"Hm?"

"Boleh aku minta saran juga?"

"Oh? Apa apa?"

Melihat Tomoya yang matanya bersinar dan mencondongkan badannya, Haruto berpikir sejenak lalu mulai berbicara perlahan.

"Itu... Waktu kamu punya pacar dulu, apa yang kalian lakukan saat berduaan?"

"Hah? Apa itu? Maksudnya?"

Tomoya kebingungan mendengar pertanyaan Haruto.

"Yah, maksudku. Dulu kamu pernah punya pacar kan?"

"Iya."

"Saat itu, bagaimana kamu berinteraksi dengan pacarmu?"

"Bagaimana ya... Biasa saja, kencan dan sebagainya?"

Tomoya menjawab dengan ragu-ragu karena tidak mengerti maksud pertanyaan Haruto.

Mendengar jawaban sahabatnya, Haruto mengangguk kecil dan berkata "Oh begitu".

"Hmm, kencan ya..."

Memang benar, pasangan kekasih identik dengan kencan.

Haruto yang khawatir kalau terus melanjutkan latihan pacaran di kamar Ayaka mereka akan berakhir menjadi pasangan bodoh, dan dia memutuskan untuk mengajak Ayaka kencan berikutnya.

Latihan pacaran di ruang tertutup seperti kamar Ayaka itu berbahaya.

Namun, jika latihan pacaran dilakukan dengan kencan, karena mereka akan pergi keluar dan ada orang lain di sekitar, seharusnya mereka tidak bisa melakukan hal-hal yang terlalu berani.

Seharusnya mereka bisa melakukan latihan hubungan kekasih yang bersih, benar, dan sopan.

"Terima kasih Tomoya. Ini sangat membantu."

"O-oh... Sama-sama? Ngomong-ngomong, jangan-jangan kamu..."

Melihat sahabatnya yang menatap dengan penasaran, Haruto kembali mulai memasukkan kentang goreng ke mulutnya dengan penuh konsentrasi.

"Sudah kubilang! Kentang gorengku bisa habis!!"

Suara protes Tomoya bergema di restoran cepat saji yang ramai dengan pengunjung di waktu makan siang.


Siang hari di musim panas, sinar matahari yang kuat menembus jendela kamar. Namun, meskipun cahaya matahari masuk, panasnya tidak terlalu terasa.

Memang, jendela rumah mewah ini sepertinya sangat berkualitas tinggi.

Haruto yang sedikit melarikan diri dari kenyataan memandang ke luar jendela sambil memikirkan hal itu.

Ayaka berbicara padanya dengan mata berbinar-binar.

"Hei Haruto-kun? Kamu mendengarkan?"

"Ah, maaf... Aku sedang memikirkan sesuatu, bisa tolong ulangi?"

"Menurutku, pasangan kekasih biasa itu sering saling melakukan hizamakura."
(Tln: hizamakura = tiduran di paha, di mana paha di buat jadi bantal)

"Benarkah... Begitu?"

Sekali lagi, standar pasangan normal yang tidak normal dari Ayaka muncul.

Sepertinya hari ini tentang hizamakaura.

Bukannya tidak ada pasangan yang melakukan hizamakaura. Pasti ada pasangan kekasih yang melakukannya.

Namun, mengenai frekuensinya, Haruto tidak bisa setuju dengan pendapat Ayaka.

Meski begitu, sepertinya Ayaka percaya bahwa semua pasangan kekasih selalu melakukan hizamakura setiap hari.

"Iya! Karena itu, hari ini ayo kita latihan hizamakura!"

Ayaka mengusulkan pada Haruto dengan ekspresi penuh semangat, tapi juga terlihat malu-malu.

"Umm... maaf kalau lancang, tapi boleh aku bertanya... Ini latihan agar kebohongan kita tidak ketahuan nenek kan?"

"Iya, benar."

"Kalau begitu, karena kita tidak akan melakukan huzamakura di depan nenek, rasanya tidak perlu sampai berlatih sejauh itu..."

Haruto mencoba mengarahkan pembicaraan untuk menghindari latihan ini.

Namun, entah Ayaka menyadari maksudnya atau tidak, dia tetap bersikeras ingin melakukan latihan hizamakura.

"Meskipun kita tidak melakukannya di depan nenek, tapi karena biasa melakukan hal-hal seperti itu, kita bisa mengeluarkan aura pasangan kekasih. Bukankah itu akan membuat kita lebih realistis?"

"Yah... Memang... Akan lebih realistis sih."

Haruto tanpa sadar mengangguk mendengar penjelasan Ayaka.

Apakah dia seorang perfeksionis?

Ayaka benar-benar berusaha menjadi pacar Haruto dengan sempurna.

Mungkin dia cocok jadi aktris.

Saat Haruto memikirkan hal itu, Ayaka berkata dengan sedikit gugup.

"Ja-jadi... Siapa yang akan berbaring duluan?"

"Ah~ Kalau begitu, aku akan jadi bantalnya duluan."

Haruto yang akhirnya setuju untuk latihan hizamakura memilih untuk menjadi bantal terlebih dahulu.

Dibandingkan dengan meletakkan kepalanya di paha Ayaka, rasanya dia masih bisa bertahan kalau dia yang menjadi bantal.

Memang nanti mereka akan bertukar posisi dan Ayaka akan menjadi bantalnya, tapi dia belum siap mental.

"Oke, aku mengerti. Um... ah, hizamakura lebih mudah dilakukan kalau duduk di suatu tempat daripada di bantal kan?"

"Memang benar, tapi tempat di mana kita bisa duduk berdampingan..."

Di kamar Ayaka tidak ada sofa. Jadi tempat di mana mereka bisa duduk berdampingan hanya satu.

Saat Haruto melihat ke arah tempat itu, Ayaka juga melihat ke arah yang sama.

"Kalau begitu... Kita pindah ke tempat tidur dulu?"

"...Iya... Benar."

Haruto mengangguk dengan ragu-ragu lalu bergerak ke arah tempat tidur.

Ayaka juga mengikutinya dalam diam.

"......"

"...... Ba-baiklah, silakan... Hizamakura."

Setelah mereka duduk berdampingan di tempat tidur, Haruto menyodorkan pahanya pada Ayaka.

"I-iya... Pe-permisi."

Sambil berkata begitu, Ayaka dengan hati-hati meletakkan kepalanya di paha Haruto.

"...Bagaimana?"

Karena Ayaka berbaring menghadap ke arah yang berlawanan, Haruto hanya bisa melihat bagian belakang kepalanya dan tidak bisa melihat ekspresi wajahnya.

"...Ternyata lebih keras dari yang kubayangkan..." 

Ayaka bergumam pelan.

"Maaf. Itu karena aku tegang..."

Sepertinya ketegangan membuat paha Haruto juga menegang, jadi ia berusaha dengan sadar untuk mengendurkannya.

"Ah, jadi sedikit lebih lembut sekarang."

Sambil berkata demikian, Ayaka sedikit menggerakkan kepalanya, mencari posisi yang nyaman.

Setiap kali kepala Ayaka bergerak di atas pahanya, Haruto merasa geli dan mengalihkan pandangannya ke atas.

Sejenak, Ayaka terus menggerakkan kepalanya sedikit demi sedikit, tapi akhirnya sepertinya ia menemukan tempat yang nyaman dan berhenti bergerak.

"Bagaimana? Hizamakura-ku?"

"...Um. Sepertinya enak."

Meskipun ekspresi Ayaka saat menjawab masih tidak terlihat, dari telinganya yang terlihat memerah di antara celah rambutnya, perasaannya sedikit terbaca.

Haruto sendiri juga merasakan jantungnya berdebar kencang saat ini.

Ia perlahan menurunkan pandangannya yang tadi sengaja dinaikkan.

Dan saat matanya menangkap kepala Ayaka yang terbaring di pahanya, ia terdorong oleh suatu impuls.

Ingin mengelus kepalanya...

Kepala Ayaka yang berbentuk indah.

Rambutnya yang mengalir terurai di atas paha Haruto, berkilau keemasan memantulkan cahaya dari jendela.

Rasanya pasti sangat menyenangkan untuk menyisir rambut itu dengan jari-jari.

"...Ayaka."

"Hm?"

"...Ah, tidak jadi."

"Eh? Ada apa? Kalau ada sesuatu, katakan saja tanpa sungkan."

"Um, itu... Bolehkah aku... mengelus kepalamu?"

Mendengar pertanyaan Haruto, Ayaka terdiam sejenak sebelum menjawab.

"...Ya, boleh."

Setelah mendapat izin darinya, Haruto perlahan mengulurkan tangan ke kepala Ayaka.

Saat tangan Haruto menyentuhnya, ada getaran kecil yang terasa di pahanya.

"Kalau kamu tidak suka, bilang saja, aku akan berhenti."

"...Tidak, tidak apa-apa. Aku... Tidak keberatan."

Mendengar jawaban Ayaka, jantung Haruto berdebar kencang saat ia mulai mengelus kepala Ayaka dengan lembut.

Rambut Ayaka yang halus seperti sutra mengalir lembut di telapak tangan Haruto.

Sensasi itu terasa sangat nyaman, dan Haruto mengelus kepala Ayaka dengan lembut dan perlahan.

"Bagaimana?"

"Agak... Geli... Tapi... Mungkin sangat nyaman."

Telinga Ayaka saat menjawab tampak lebih merah dari sebelumnya.

Selama beberapa menit setelah itu, Haruto terus mengelus kepala Ayaka sambil memangkunya.

"Haruto-kun... Ayo kita... Bertukar posisi?"

"Ah, iya. Oke."

Sensasi mengelus kepala Ayaka terasa begitu nyaman sehingga Haruto sedikit lupa waktu.

Ayaka bangun dari paha Haruto dan menatapnya dengan sedikit menunduk.

"Sekarang giliran Haruto-kun yang berbaring."

Ayaka berkata demikian dengan wajah yang memerah hingga ke leher.

Sepertinya hizamakura ditambah dengan elusan kepala telah membuat rasa malunya meningkat drastis.

Merasa sedikit bersalah, Haruto menundukkan kepalanya pada Ayaka.

"Maaf, aku terlalu terbawa suasana sampai mengelus kepalamu juga."

"Ti-tidak apa-apa kok! Lagian, aku juga akan mengelus kepala Haruto-kun!"

Ayaka mengibas-ngibaskan kedua tangannya dengan wajah merah padam.

"Bo-boleh kan? Aku juga mengelus kepalamu."

"Yah... Setelah aku mengelus kepala Ayaka sebanyak itu, aku tidak bisa menolak."

Haruto tersenyum kecut, seolah mencoba menutupi rasa malunya.

Mendengar kata-kata itu, Ayaka tersenyum gembira dan menepuk-nepuk pahanya dengan ringan.

"Silakan."

Melihat Ayaka yang mengundangnya dengan polos, Haruto melirik sekilas ke arah pahanya.

"Tapi, kepalaku mungkin berat, dan kaki Ayaka bisa kesemutan, jadi mungkin lebih baik tidak usah—"

"Sama sekali tidak apa-apa kok. Ayo, silakan."

Ayaka memotong kata-kata Haruto dengan senyuman lebar.

Haruto merasakan tekanan "Aku tidak akan membiarkanmu kabur loh?" di balik senyuman lembutnya.

"...Ka-kalau begitu... Permisi."

"Ya, selamat datang."

Haruto berbaring di samping Ayaka, lalu perlahan menurunkan kepalanya ke paha Ayaka.

"...Tidak berat?"

Setelah meletakkan kepalanya sepenuhnya, Haruto bertanya pada Ayaka.

"Um... Tidak apa-apa. Bagaimana menurutmu, Haruto-kun?"

"Um... Enak."

Ini adalah pengalaman pertama Haruto merasakan bantal paha.

Dan yang lebih lagi, partnernya adalah Ayaka, yang terkenal sebagai gadis tercantik di sekolah.

Perasaan Haruto, seorang siswa SMA yang sedang dalam masa pubertas, dipenuhi oleh rasa bahagia meskipun ada sedikit rasa malu.

Namun, meskipun ada perasaan bahagia, jika ditanya apakah bantal paha itu sendiri nyaman, ada sedikit keraguan yang muncul.

"Benar-benar tidak berat? Kakimu tidak kesemutan?"

"Sama sekali tidak apa-apa kok."

Haruto terus mengkhawatirkan kaki Ayaka.

Paha Ayaka memang sangat menarik dan lembut, tapi ketika meletakkan kepala di atasnya, kepala Haruto tenggelam lebih dalam dari yang ia bayangkan, membuatnya sangat khawatir apakah aliran darah Ayaka tidak terganggu.

Ia tidak tahu seberapa banyak berat badan yang bisa ia bebankan, sehingga ia mencoba menopang kepalanya setengah-setengah, yang membuat lehernya sedikit sakit.

Saat Haruto mulai berpikir bahwa lehernya mungkin akan pegal jika terus seperti ini, Ayaka berbicara padanya dari atas.

"Hei... Bolehkah aku mengelus kepalamu?"

"Ah, ya... Silakan."

Setelah Haruto menjawab, jari-jari Ayaka yang sedikit dingin mulai lembut membelai rambut Haruto.

"Ternyata rambut Haruto-kun cukup lembut ya."

"Oh, begitukah?"

"Ya, rasanya mengelus kepala Haruto-kun bisa jadi kebiasaan."

"...Karena agak memalukan, kalau bisa jangan sampai jadi kebiasaan..."

"Eh~"

Haruto tersenyum kecut mendengar suara Ayaka yang terdengar sangat kecewa.

Jika ia sering dielus kepalanya oleh Ayaka, ia mungkin akan botak karena malu.

Saat Haruto memikirkan hal itu, Ayaka meletakkan tangannya dengan lembut di sisi kepala Haruto dan berkata,

"Haruto-kun, apa kamu tidak terlalu tegang?"

"Eh? Ah... Aku pikir kepalaku mungkin terlalu berat."

"Sudah kubilang tadi, sama sekali tidak berat kok. Kamu bisa santai saja. Benar-benar tidak apa-apa. Cobalah untuk lebih rileks?"

"Be-begitu? ...Kalau begitu..."

Mendengar kata-kata Ayaka, Haruto perlahan-lahan mulai mengendurkan ototnya meskipun masih ragu-ragu.

Kemudian, setelah benar-benar mengendurkan otot dan membiarkan seluruh berat kepalanya bertumpu pada paha Ayaka, Haruto kembali memastikan.

"Tidak berat? Tidak apa-apa?"

"Um. Tidak masalah kok."

Saat Haruto bertanya sambil melirik ke arah Ayaka, ia disambut dengan senyuman lembut dari atas.

Ayaka yang dilihat dari bawah pahanya entah mengapa terlihat lebih manis dari biasanya di mata Haruto, membuatnya buru-buru mengalihkan pandangan.

Melihat reaksi Haruto, Ayaka terkekeh kecil "Fufufu".

Lalu ia mulai mengelus kepala Haruto dengan lembut.

Ayaka terus mengelus kepala Haruto berulang kali dengan sentuhan yang lembut.

Sentuhan tangannya terasa sangat nyaman, tapi pada saat yang sama juga membuat Haruto merasa malu.

Haruto perlahan mengambil nafas dalam-dalam berulang kali, berusaha menjaga ketenangan hatinya.

Di saat itu, Ayaka melakukan sesuatu yang sangat mengacaukan hati Haruto.

"Ah, ternyata Haruto-kun punya telinga keberuntungan ya."

Sambil berkata demikian, Ayaka memindahkan tangannya dari kepala ke cuping telinga Haruto, menyentuhnya dengan lembut dan memainkannya seolah menikmati teksturnya.

"—!?"

Haruto yang hampir tidak pernah merasakan telinganya disentuh oleh orang lain, tanpa sadar tersentak karena sensasi yang tidak biasa itu.

"Ah, maaf ya. Apa geli?"

"Bukan... Bukan geli, tapi..."

"Kalau begitu, boleh aku sentuh sedikit lagi?"

Mendengar Ayaka yang memohon seperti itu, Haruto menjawab dengan sedikit terbata-bata.

"...Boleh sih, tapi apa rasanya sebegitu enaknya?"

"Ya! Rasanya sangat enak!"

Melihat Ayaka yang menjawab dengan senyum cerah, Haruto tidak bisa menolak dan hanya diam saja sementara cuping telinganya terus dimainkan.

Lalu, Ayaka yang tidak bosan-bosannya memainkan cuping telinga Haruto tiba-tiba berkata,

"Entah kenapa... Telinga Haruto-kun terlihat enak..."

"...Jangan sampai digigit ya?"

"Eh? U-um... Tentu saja aku belum akan melakukan hal seperti itu..."

Kata 'belum' itu membuat Haruto merasa khawatir apakah suatu hari nanti Ayaka akan benar-benar menggigit telinganya.

Sebelum itu terjadi, ia harus segera mengubah arah latihan pacaran ini dari jalur pasangan gila ke jalur pasangan yang suci, benar, dan sopan.

Sambil masih berbaring di pangkuan Ayaka, Haruto bertekad kuat dalam hatinya.















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !