"Ayo, buka mulutmu."
"...Hap."
"Fufufu."
Meskipun Haruto merasa wajahnya panas bukan hanya karena demam, ia tidak bisa menolak Ayaka dan terus menerima suapan "Aaaa~n" darinya dengan patuh.
Haruto terus disuapi buah-buahan oleh Ayaka.
"Nah, ini yang terakhir ya."
Ayaka mendekatkan potongan persik terakhir ke mulut Haruto.
Haruto yang sudah mulai mati rasa, menggigit persik itu dengan patuh.
"Ya, selesai."
"Terima kasih banyak. Terima kasih atas makanannya."
Haruto telah menghabiskan semua apel, pir, kiwi, dan persik.
Meskipun sudah mati rasa karena terus disuapi "Aaaa~n" oleh Ayaka, memakan empat macam buah dalam keadaan flu membuat Haruto merasa sangat kenyang.
Bersamaan dengan itu, Haruto juga diserang rasa kantuk yang kuat.
"Otsuki-kun, obatnya bagaimana?"
"Akan kuminum. Ah, tapi boleh aku mengukur suhu badanku dulu?"
"Iya, masih demam?"
Ayaka bertanya dengan khawatir.
Haruto menjawab sambil tersenyum, berusaha menenangkannya:
"Dibandingkan kemarin, sudah jauh lebih baik."
"...Oh begitu."
Mendengar jawaban Haruto, Ayaka berpikir sejenak sebelum menjawab.
Meski sedikit heran dengan reaksi Ayaka, Haruto mencari termometer untuk mengukur suhu badannya.
"Hmm, rasanya tadi kutaruh di sekitar bantal..."
Sambil berkata demikian, Haruto berbaring dan mengulurkan tangan ke arah bantal, meraba-raba mencari termometer.
Tiba-tiba, Ayaka menumpukan tangannya di sisi bantal dan mencondongkan tubuhnya.
"Otsuki-kun..."
"...? Eh!? To-Tojo-san!?"
Haruto terkejut dengan mata terbelalak saat Ayaka menindih bantalnya dan memandang ke arahnya dari atas.
"Suhu tubuhmu... Biar kuukur..."
Sambil berkata demikian, Ayaka perlahan mendekatkan wajahnya ke arah Haruto.
Rambut Ayaka yang berkilau jatuh mengelilingi wajah Haruto bagaikan tirai.
Melihat wajah Ayaka yang begitu dekat seperti belum pernah terjadi sebelumnya, Haruto bahkan tidak bisa menggerakkan pupil matanya, seolah terkena sihir.
Akhirnya, dahi mereka bersentuhan pelan.
Napas Ayaka yang sedikit kasar dan panas menerpa mulut Haruto.
Pikiran Haruto kosong.
Ia tidak bisa memikirkan apa-apa.
Panas yang belum pernah ia rasakan sebelumnya menyebar ke seluruh tubuhnya, berpusat pada dahi yang bersentuhan dengan Ayaka.
Waktu terasa seperti keabadian, namun juga sekejap mata.
Setelah momen itu berlalu, Ayaka menjauhkan wajahnya dari Haruto.
"Ehehe... Aku mencoba melakukan sesuatu yang romantis, tapi... Dengan cara ini aku tidak bisa tahu apakah kamu demam atau tidak ya."
Ayaka berkata demikian sambil tertawa, wajahnya jelas lebih merah dari persik yang baru saja dimakan.
"Ah, eh, ya, be-benar juga. Mungkin perlu latihan."
Haruto berkata dengan pikiran yang masih kosong.
Mendengar itu, Ayaka tersenyum kecil "Fufu".
"Kalau begitu, mau... Latihan?"
Ekspresi Ayaka terlihat sangat menggoda di mata Haruto.
Seolah terkena sihir Ayaka, Haruto kehilangan kata-kata, mulutnya terbuka tapi tidak ada suara yang keluar.
Sebagai ganti kata-kata, Haruto menggelengkan kepalanya ke kiri dan kanan. Itu adalah perlawanan terbesar yang bisa ia lakukan saat ini.
Melihat reaksi Haruto, Ayaka kembali tersenyum, dan Haruto hanya bisa terpana melihat senyuman itu.
※
Sebuah kafe yang berdiri di perumahan yang tenang.
Alunan jazz mengalir lembut di dalam kafe yang disinari cahaya matahari, menciptakan suasana yang nyaman seolah terpisah dari musim panas yang menyengat.
Aku perlahan memutar sedotan di dalam gelas di hadapanku.
Sambil mendengar suara es yang berdetak menyegarkan, aku menyesap secangkir chai yang baru saja kupesan. Aroma teh dan rempah-rempah yang menyebar di mulutku membuatku tersenyum.
Hmm, chai ini enak, tapi sepertinya buatan Otsuki-kun sedikit lebih enak ya?
Sambil memikirkan hal itu untuk mengisi waktu, sahabatku Saki memasuki kafe.
"Ah, di sini!"
Aku mengangkat tangan untuk menunjukkan tempat dudukku, dan Saki berjalan ke arahku sambil mengipasi wajahnya.
"Fuuh~ Hari ini juga panas ya."
Saki berkata demikian sambil duduk, lalu memandang minumanku dengan ekspresi tertarik.
"Lho? Bukan es kopi susu ya?"
"Iya, hari ini aku pesan chai."
"Heee~ Kenapa?"
Saki memiringkan kepalanya sambil duduk di hadapanku.
"Otsuki-kun pernah membuatkannya untukku, dan rasanya sangat enak."
"Ohoho, curhat cinta nih ye?"
"Bu-bukan kok! Aku tidak bermaksud begitu!"
"Iya iya, terima kasih atas traktirannya."
"Uuh."
Aku menggembungkan pipi dan memelototi Saki, tapi dia sama sekali tidak peduli dan malah santai membuka menu untuk memilih minuman.
"Itu enak?"
"Iya, tapi..."
Ditanya oleh Saki, aku hampir saja mengatakan "Mungkin buatan Otsuki-kun lebih enak" tapi aku buru-buru menutup mulutku. Kalau aku bilang begitu, pasti akan dibilang curhat cinta lagi.
"Tapi?"
"Ah tidak, ini enak kok. Saki mau coba?"
Aku tersenyum untuk mengalihkan pembicaraan, sambil mengaduk chai dengan sedotan dan menawarkannya pada Saki.
"Hmm. Tidak... Aku sepertinya akan pesan almond au lait."
Saki menutup menu yang tadi dibukanya dan mengangkat tangan untuk memanggil pemilik kafe.
"Saki juga pesan yang tidak biasa ya."
"Yah, suasana hati. Kalau teman minum sesuatu yang berbeda, rasanya kita juga ingin pesan yang berbeda kan?"
Saki berkata demikian sambil memesan kepada pemilik kafe, lalu meneguk air putih sebelum kembali memandangku.
"Jadi? Apa konsultasi penting yang ingin kamu bicarakan denganku?"
Saki bertanya padaku dengan senyum penuh rasa ingin tahu.
Sebenarnya, kemarin setelah pulang dari menjenguk Otsuki-kun, aku mengirim pesan pada Saki bahwa "Ada konsultasi penting, aku ingin bertemu".
"I-iya. Begini... umm..."
Aku teringat percakapanku dengan Otsuki-kun kemarin dan merasa wajahku memerah.
"Itu... sebenarnya, aku... Akan berpura-pura menjadi pacar Otsuki-kun."
"...............Hah? Apa katamu?"
Saki menatapku dengan ekspresi bingung.
"Jadi begini. Aku akan berpura-pura menjadi pacar Otsuki-kun."
"Hmm... Maaf, bisa ulangi sekali lagi?"
"Ja-di. Aku akan ber-ak-ting men-ja-di pa-car pa-lsu O-tsu-ki-kun!"
Aku mengeja kata-kataku dengan jelas.
Sementara itu, Saki tampak kebingungan dengan perkataanku. Ia meletakkan tangan di dahi sambil menunduk, lalu mengangkat pandangannya ke atas sambil berpikir, kemudian memiringkan kepalanya dan mengerutkan dahi, terlihat sangat sibuk.
"Maaf Ayaka, aku benar-benar tidak mengerti. Eh? Maksudnya apa?"
Sepertinya Saki tidak bisa memahami apa yang kukatakan meskipun sudah berpikir keras, ia menatapku dengan ekspresi bingung.
"Jadi begini. Otsuki-kun punya berbagai alasan, sekarang dia tinggal berdua dengan neneknya, dan... Otsuki-kun memberitahu neneknya bahwa aku adalah pacarnya, jadi..."
"He-heee~"
Mendengar penjelasanku, Saki memberikan reaksi yang tidak jelas apakah dia mengerti atau tidak.
"Entahlah, aku masih bingung. Intinya, Otsuki-kun berbohong pada neneknya bahwa Ayaka adalah pacarnya, begitu?"
"Iya, begitulah."
Aku mengangguk, dan Saki melipat tangannya seolah berpikir.
"Begitu ya... Agak mengejutkan. Aku tidak menyangka Otsuki-kun adalah orang yang bisa berbohong seperti itu."
Dalam perkataan Saki tersirat sedikit nada merendahkan, membuatku buru-buru membela Ootsuki-kun.
"Otsuki-kun tidak bermaksud jahat saat berbohong lho? Bagi dia, neneknya adalah orang yang sangat berharga, dan dia tidak sengaja berbohong demi neneknya yang berharga itu. Setelah itu dia sangat meminta maaf padaku, dan bermaksud mengaku pada neneknya tentang kebohongannya, tapi kemudian aku..."
"Kamu mencegahnya mengaku pada neneknya?"
"Iya..."
Aku mengangguk pelan.
"Sepertinya... Ada banyak hal yang terjadi ya."
Setelah mendengar penjelasanku yang panik, sepertinya penilaian Saki terhadap Otsuki-kun tidak jadi turun.
Kalau saja aku bisa menceritakan tentang orang tua Otsuki-kun, atau fakta bahwa sekarang ia hanya punya nenek sebagai keluarga, pasti Saki akan bersimpati padanya.
Tapi tentu saja aku tidak bisa seenaknya membicarakan hal itu tanpa seizin Otsuki-kun.
“Begitulah. Otsuki-kun punya berbagai alasan, jadi kebohongannya itu... Demi neneknya, bukan karena dia memaksaku jadi pacarnya atau semacamnya.”
“Hmm... Yah, aku tidak tahu detail alasannya, tapi intinya kamu tidak merasa keberatan dengan kebohongan itu kan?”
“Iya.”
Melihatku mengangguk, Saki tampak sedikit lega, lalu menatapku dengan pandangan penasaran.
“Tapi, kalau Otsuki-kun berbohong bahwa kamu pacarnya, bukankah itu berarti dia menyukaimu?”
“Ja-jadi Saki juga berpikir begitu?”
Mendengar sahabatku berpikiran sama, detak jantungku menjadi lebih cepat.
“Bukankah itu wajar? Yah, aku tidak tahu detailnya sih, jadi tidak bisa memastikan. Tapi, orang tidak akan memperkenalkan seseorang yang tidak disukainya sebagai pacar kan? Meskipun itu bohong.”
“Be-benar juga ya?”
Aku mengangguk mendengar kata-kata Saki.
Saki memiringkan kepalanya dan berkata padaku,
“Ayaka, waktu Otsuki-kun berbohong itu, kenapa kamu tidak langsung menyatakan ‘Sebenarnya aku juga suka Otsuki-kun’ saja? Kalian bisa langsung jadian kan?”
“...Aku juga berpikir begitu.”
“Eh!? Lalu kenapa tidak kamu lakukan?? Padahal cinta pertamamu hampir terwujud lho.”
Mendengar kata-kata Saki, aku menundukkan kepala.
Inilah hal yang ingin kukonsultasikan dengannya.
“Soalnya, kalau aku menyatakan perasaanku saat itu, rasanya perasaanku yang sebenarnya tidak akan tersampaikan...”
“Hm? Perasaan yang sebenarnya? Maksudnya apa?”
Mendengar pertanyaan Saki, aku menjelaskan situasi kemarin saat Otsuki-kun meminta maaf atas kebohongannya.
“Otsuki-kun merasa sangat bersalah padaku karena telah berbohong. Kalau aku menyatakan perasaanku dalam situasi seperti itu, Otsuki-kun pasti akan berpikir ‘Dia menyatakan perasaan untuk menyesuaikan dengan kebohonganku’. Padahal aku benar-benar menyukai Otsuki-kun dan ingin menyatakan perasaanku dengan tulus.”
Saat itu, kalau aku menyatakan perasaanku, Otsuki-kun pasti akan menerimaku sebagai pacarnya.
Tapi rasanya itu bukan hanya karena perasaan ‘suka’ yang murni.
Otsuki-kun akan merasa bersalah, berpikir bahwa ‘Dia menerimaku karena aku berbohong’. Dan karena dia orang yang baik, mungkin dia akan berusaha menjadi pacar yang sempurna sebagai penebusan dosa.
Tapi... Bukan itu yang kuinginkan.
Aku ingin Otsuki-kun menyukaiku dengan tulus. Aku ingin dia menjadikanku pacarnya hanya karena alasan ‘suka’, tanpa merasa bersalah atau terbebani kebohongan.
Karena itulah saat itu aku tidak mengungkapkan perasaanku padanya.
Aku tidak ingin mengungkapkannya.
Karena aku menginginkan perasaan tulus dari Otsuki-kun, aku menjadi serakah.
Setelah mendengar penjelasanku, Saki mengangguk sambil melipat tangan, “Hmm, begitu ya...”
“Yah, ini cinta pertama Ayaka sih. Aku bisa mengerti keinginanmu untuk mengejar yang kamu anggap ideal.”
“Benarkah?”
“Iya. Tapi jujur saja, menurutku itu sangat disayangkan.”
Saki sedikit mencondongkan tubuhnya dan berkata padaku.
“Ayaka mungkin tidak tahu karena selalu menghindari laki-laki di sekolah, tapi sebenarnya Otsuki-kun cukup populer di kalangan beberapa siswi lho? Jadi kalau kamu tidak terlalu serakah, mungkin dia bisa diambil orang lain lho?”
“Be-begitu ya? Tapi, benar juga... Otsuki-kun pintar dan baik sih...”
“Untuk mencegah hal itu, mungkin lebih baik kamu cepat-cepat jadian dengannya, dapatkan posisi pacar resmi dulu, baru pelan-pelan menaklukkan hati Otsuki-kun.”
Mendengar kata-kata Saki, aku langsung merasa cemas.
“Lagian, Ayaka ingin menghapus rasa bersalah Otsuki-kun atas kebohongannya sebelum resmi pacaran kan?”
“I-iya.”
“Tapi selama Ayaka masih berpura-pura jadi pacarnya, Otsuki-kun tidak akan bisa melupakan kebohongan itu kan? Malah, setiap kali Ayaka berpura-pura jadi pacarnya, rasa bersalahnya akan semakin bertambah bukan?”
Kata-kata Saki menusuk hatiku.
Benar, semakin aku berpura-pura menjadi pacar Otsuki-kun, semakin besar rasa bersalahnya padaku. Kalau begitu, aku tidak akan pernah bisa menyatakan perasaanku padanya.
Setelah pulang kemarin dan berpikir dengan tenang, aku menyadari hal ini dan buru-buru menghubungi Saki.
“Saki~ Tolong aku~ Apa yang harus kulakukan~”
Melihatku merengek, Saki menghela napas dan mengangkat bahu. “Astaga, baru saja jatuh cinta, tahu-tahu sudah berpura-pura jadi pacar... Kamu ini heroine komedi romantis ya?”
Mendengar sindiran Saki yang terdengar kesal, aku terus menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
Saki kembali menghela napas, lalu berpikir sejenak sebelum berbicara.
“Oke, mari kita luruskan. Pertama, kemungkinan besar Otsuki-kun menyukai atau tertarik pada Ayaka.”
“...Kurasa begitu.”
“Tapi dia merasa bersalah karena telah berbohong. Jadi sekarang, meskipun Ayaka menunjukkan ketertarikan, dia akan salah paham dan mengira itu hanya untuk mengikuti kebohongannya.”
“Iya.”
“Tapi Ayaka ingin menyampaikan cintanya dengan tulus pada Otsuki-kun.”
Mendengar kata-kata Saki, aku merasakan wajahku memanas.
“...I-iya.”
“Itu dia! Jangan malu-malu!”
“Ta-tapi...”
“Tidak ada tapi-tapian!”
Saki tetap saja guru cinta yang keras...
Sang guru cinta yang keras itu melipat tangan dan memejamkan mata, tenggelam dalam pemikiran untuk beberapa saat.
Sementara itu, aku terus menunggu dengan perasaan cemas.
Apa sebaiknya waktu itu aku menyatakan perasaanku saja ya?
Tapi, saat itu Otsuki-kun sedang sangat terpuruk, rasanya aku seperti memanfaatkan kelemahannya...
Uuh... Saki-sama, tolong aku!
Saat aku berdoa pada sahabatku yang duduk di hadapanku, Saki akhirnya membuka mata.
“Hmm, aku punya satu ide tapi...”
“Ada ide?”
Tanpa sadar sudut bibirku terangkat penuh harapan.
“Yah, aku tidak tahu apakah ini solusi terbaik sih.”
Saki berkata dengan nada kurang yakin.
Tidak masalah kalau bukan solusi terbaik! Aku sudah berpikir seharian kemarin tapi tidak menemukan ide yang bagus.
Tapi Saki pasti bisa memberikan saran yang jauh lebih baik daripada aku yang belum pernah pacaran.
“Ideku adalah...”
“I-iya.”
Aku memusatkan seluruh perhatianku untuk mendengarkan Saki.
“Kita buat Otsuki-kun yang menyatakan perasaan pada Ayaka.”
“Eh? Otsuki-kun yang menyatakan perasaan?” Bukan aku yang menyatakan perasaan pada Otsuki-kun?
Otsuki-kun yang menyatakan perasaan padaku?
“Ayaka ingin memulai hubungan dengan Otsuki-kun hanya berdasarkan perasaan ‘suka’ yang murni kan?”
“Iya, tapi... Rasanya sulit membuat Otsuki-kun menyatakan perasaannya...”
Dia sudah merasa bersalah karena berbohong padaku.
Dengan perasaan seperti itu, kurasa tidak mudah baginya untuk menyatakan perasaan.
“Benar. Otsuki-kun pasti tidak akan mudah menyatakan perasaannya. Tapi justru karena itulah, pernyataan cinta dari Otsuki-kun akan sangat berarti.”
Saki tersenyum penuh arti padaku.
“Sekarang Otsuki-kun merasa bersalah pada Ayaka. Jadi dia pasti berpikir ‘Aku tidak pantas menyatakan perasaan setelah berbohong’ dan tidak akan menyatakan cintanya.”
“Iya, aku juga berpikir begitu.”
Mendengar jawabanku, Saki tersenyum lebar dan melanjutkan penjelasannya.
“Tapi, kalau sampai dia menyatakan perasaannya pada Ayaka, itu artinya perasaan sukanya pada Ayaka sudah mengalahkan rasa bersalahnya!”
“Perasaan sukanya mengalahkan rasa bersalah... Ta-tapi, bagaimana caranya membuat dia... Menyukaiku sampai seperti itu?”
Aku belum pernah pacaran, dan selama ini selalu menghindari laki-laki.
Bisakah aku memikat Otsuki-kun sampai seperti itu? Aku hanya merasa cemas...
“Sekarang Ayaka berpura-pura jadi pacar Otsuki-kun kan?”
“Iya, tapi...”
“Di depan neneknya Otsuki-kun, kamu harus berakting jadi pacarnya kan?”
“I-iya.”
“Nah itu dia! Kita manfaatkan itu!”
Saki menunjukku dengan tegas.
“Ayaka belum pernah pacaran. Jadi untuk berpura-pura jadi pacar di depan neneknya Otsuki-kun, kamu butuh latihan. Jelaskan itu pada Otsuki-kun.”
“Maksudnya latihan pacaran?”
“Tepat sekali! Lalu, dengan alasan latihan itu, kamu bisa bermanja-manja pada Otsuki-kun atau sebaliknya, pokoknya buat banyak momen mesra untuk mengaburkan persepsinya! Hilangkan batas antara pacar bohongan dan pacar sungguhan!”
Senyuman Saki yang tertawa seperti itu terlihat seperti wajah yang sedang merencanakan sesuatu yang sedikit nakal.
“Karena itu, Ayaka, mulai sekarang kamu harus terus menerus melakukan ‘love push’ yang kuat pada Otsuki-kun dalam latihan pacaran ini dan terus menunjukkan bahwa kamu sangat menyukainya!”
“’Love push’ yang kuat pada Otsuki-kun... a-apakah aku bisa melakukannya?”
Melihatku yang sedikit ragu-ragu, Saki berkata dengan tegas.
“Bukan masalah bisa atau tidak, tapi kamu harus melakukannya! Kalau kamu terus berpura-pura jadi pacarnya setengah-setengah, hubunganmu dengan Otsuki-kun bisa jadi aneh lho?”
“Aku tidak mau itu terjadi...”
“Kalau begitu! Kamu harus menyerangnya dengan semangat sampai-sampai bisa mendorong jatuh Otsuki-kun!”
“Me-mendorong jatuh...”
Begitu Saki mengatakan itu, kejadian di Taman Hutan Binatang langsung terlintas di benakku.
Seketika itu juga, wajahku menjadi panas sampai-sampai seperti ada uap yang keluar dari kepalaku.
“Yah, tentu saja itu hanya bercanda. Tapi mungkin lebih baik kalau kamu sedikit agresif saat berinteraksi dengannya.”
Setelah mengatakan itu, Saki menambahkan penjelasan, “Oh, dan ini juga penting.”
“Untuk menaklukkan hati Otsuki-kun, tidak cukup hanya dengan bermesraan saja, tapi penting juga untuk menjadi sosok pacar ideal baginya. Seperti perhatian atau lemah lembut. Yah, aku sama sekali tidak tahu selera Otsuki-kun sih, jadi aku tidak bisa mengatakan apa-apa soal itu.”
Memang benar, Otsuki-kun sepertinya agak terlalu serius atau memiliki sikap yang sangat berusaha untuk jujur.
Untuk mengatasi rasa bersalah yang dia rasakan dan membuatnya menyatakan perasaan padaku, pasti dibutuhkan usaha yang sepadan.
“Ya, aku... Akan berusaha keras menjadi pacar ideal bagi Otsuki-kun! Dan... Berusaha agar dia menyatakan perasaannya padaku!!”
Ketika aku mengatakannya dengan penuh tekad, Saki mengangguk dan memberikan senyuman.
“Meskipun mungkin akan sulit, berjuanglah untuk mendapatkan cinta pertama idealmu. Aku juga akan selalu siap membantu jika ada yang bisa kulakukan.”
“Ya, terima kasih, Saki.”
Aku tersenyum mendengar kata-kata sahabatku yang memberi semangat.
Setelah itu, kami berdiskusi tentang strategi untuk membuat Otsuki-kun menyatakan perasaannya, dengan judul “Operasi Latihan Pacaran”.
Pasti tidak akan mudah.
Tapi... Otsuki-kun pasti sedikit memperhatikanku. Karena itu, jika aku terus berusaha keras menunjukkan perasaanku dan bisa menjadi lebih dekat dengan sosok pacar ideal bagi Otsuki-kun, maka saat itu...
Aku mengepalkan tanganku dengan penuh semangat.
Aku sama sekali tidak menyangka hal seperti ini akan terjadi sebelum liburan musim panas dimulai.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menemukan seseorang yang kusukai, dan jatuh cinta padanya.
Cinta pertamaku.
Dan bahkan berpura-pura menjadi pacarnya.
Ini adalah cinta pertamaku yang berharga. Aku ingin mewujudkan impianku.
Karena itu, aku akan menjadi pacar yang menarik bagi Otsuki-kun, bukan pacar palsu tapi pacar yang sesungguhnya.
Suatu hari nanti, pasti, aku yakin...
※
Haruto yang telah pulih dari flu kembali bekerja sebagai layanan rumah tangga di keluarga Tojo.
Di depan rumah mewah yang sudah familiar baginya, Haruto terlihat sedikit ragu-ragu untuk menekan bel interkom, dan menarik kembali jarinya yang hendak menekan tombol.
Bayangan Ayaka muncul dalam benaknya.
“...Tidak apa-apa. Aku akan berpura-pura menjadi pacarmu. Di depan nenekmu, aku akan menjadi pacar Otsuki-kun.”
Kata-kata gadis itu terus terngiang-ngiang dalam pikirannya berulang kali.
“Wajah seperti apa yang harus kutunjukkan saat bertemu dengannya...”
Haruto bergumam pelan dengan sedikit menghela napas.
Di satu sisi dia merasa bersalah karena telah membuatnya terlibat dalam kebohongannya, namun di sisi lain Haruto juga tidak bisa menyembunyikan perasaan senangnya meskipun Ayaka hanya berpura-pura menjadi pacarnya.
“Aku tidak bisa terus berdiri di sini selamanya...”
Haruto memutuskan untuk menekan bel interkom kediaman Tojo, mengangkat kembali jarinya yang tadi ditarik. Tepat saat itu, tiba-tiba ada suara yang memanggilnya dari belakang.
“Ah, Otsuki-kun.”
“Eh!? T-Tojo-san?”
Haruto yang terkejut karena tiba-tiba disapa, bahunya sedikit bergetar saat dia berbalik, dan di sana berdiri sosok Ayaka.
“Maaf mengejutkanmu. Tadi aku baru saja mengantarkan Ryouta ke taman dekat sini.”
“Oh, begitu ya... Apakah Ryouta-kun sendirian?”
“Tidak, dia bermain bersama anak-anak tetangga. Orang tua mereka selalu membantu mengawasi Ryouta juga, jadi sangat membantu.”
“Oh, begitu... Kalau ada pengawasan orang dewasa, pasti aman ya.”
“Ya. Ngomong-ngomong, apakah flu Otsuki-kun sudah sembuh?”
Ayaka mendekat sedikit dan menatap Haruto dengan pandangan khawatir, membuat Haruto merasakan wajahnya mulai memanas.
“Ya, sudah sembuh total. Terima kasih sudah menjengukku waktu itu. Aku juga menerima banyak buah-buahan...”
“Jangan dipikirkan, aku senang Otsuki-kun sudah sehat kembali.”
“Terima kasih... Oh, hari ini aku datang untuk pekerjaan layanan rumah tangga.”
“Fufu, ya. Karena cuacanya panas, ayo kita masuk ke dalam?”
Haruto sedikit tergagap karena teringat percakapannya dengan Ayaka beberapa hari yang lalu. Ayaka tersenyum dan membukakan pintu depan, mengajak Haruto masuk ke dalam rumah.
Saat mereka berdua memasuki ruang tamu, Haruto bertanya kepada Ayaka.
“...Apakah Shuuichi-san dan Ikue-san ada di rumah hari ini?”
“Papa dan Mama sedang pergi ke kantor untuk bekerja hari ini.”
“Oh, begitu...”
Shuuichi dan Ikue sedang pergi ke kantor bersama-sama, Ryouta sedang bermain dengan anak-anak tetangga di taman dekat rumah.
Dengan kata lain, saat ini hanya ada Haruto dan Ayaka berdua di rumah ini. Entah kenapa, Haruto merasa sangat canggung dengan situasi ini.
Di tengah keheningan yang canggung antara dia dan Ayaka, Haruto hendak membuka mulutnya untuk melanjutkan percakapan.
Namun, Ayaka lebih dulu berbicara kepada Haruto.
“Umm, Otsuki-kun... Tentang pembicaraan kita waktu itu...”
“Y-ya. Soal itu... Aku benar-benar minta maaf. Tentang berpura-pura menjadi pacar itu, jika Tojo-san merasa tidak nyaman sedikit saja, kita bisa langsung berhenti...”
“Ah, tidak, aku sama sekali tidak keberatan. Tapi, umm... Aku belum pernah pacaran sebelumnya. Jadi, aku tidak begitu tahu bagaimana caranya berpura-pura menjadi pacar...”
Ayaka berbicara dengan sedikit malu-malu, pipinya sedikit memerah sambil menatap Haruto dengan pandangan ke atas.
“Karena itu... Aku pikir mungkin kita perlu latihan berpura-pura menjadi pacar... Bagaimana menurutmu?”
“Eh? La-latihan?”
“Ya.”
Ayaka mengangguk dengan wajah yang masih memerah. Mendengar usulan tak terduga dari Ayaka, Haruto kehilangan kata-kata untuk sesaat.
“...Tidak, kamu tidak perlu melakukan latihan seperti itu, Tojo-san sudah cukup menarik sebagai pacar, umm... Maksudku, kamu bahkan lebih dari sekedar pacar sungguhan...”
“Ah, ya... Terima kasih... Ta-tapi, tetap saja. Kalau sampai ketahuan oleh neneknya Otsuki-kun kalau aku pacar palsu, pasti akan membuatnya sedih... Karena itu, aku ingin latihan...”
Sekali lagi, Ayaka menatap Haruto dengan pandangan ke atas dan bertanya, “Tidak boleh ya?”
Setelah mendengar permintaan seperti itu, Haruto tidak mungkin bisa menolaknya.
“...Aku benar-benar minta maaf. Kamu sampai melakukan hal seperti ini... Aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih.”
“Tidak perlu memikirkan soal terima kasih atau apapun, sungguh tidak apa-apa.”
Ayaka menggelengkan kedua tangannya saat melihat Haruto membungkuk dalam-dalam.
“Umm... Jadi, latihan itu... err... Latihan seperti apa?”
Bukan bermaksud untuk menyombongkan diri, tapi Haruto juga sama seperti Ayaka, tidak memiliki pengalaman dalam hal percintaan. Oleh karena itu, dia sama sekali tidak bisa membayangkan seperti apa “latihan” yang dimaksud oleh Ayaka.
“Ya, itu... Aku ingin kita berlatih agar terlihat seperti pasangan sungguhan, tapi hanya jika Otsuki-kun tidak keberatan. Mulai sekarang, saat kamu datang untuk pekerjaan layanan rumah tangga, bisakah kamu datang sekitar siang hari?”
“Siang hari maksudnya sekitar pukul 13:00?”
“Ya, tapi kalau kamu ada urusan, tidak perlu memaksakan diri.”
Kontrak layanan rumah tangga yang Haruto miliki dengan keluarga Tojo dimulai pukul 15:00. Dengan kata lain, waktu antara pukul 13:00 hingga 15:00 akan menjadi waktu untuk “Latihan Pacaran” yang dimaksud oleh Ayaka.
“Tidak, aku tidak masalah... Tapi, kalau setiap kali aku datang lebih awal sebelum pekerjaan layanan rumah tangga untuk... Latihan pacaran dengan Tojo-san... bagaimana kalau Shuuichi-san dan Ikue-san, umm... Salah paham atau semacamnya...”
“Soal itu, aku berencana untuk bilang ke Papa dan Mama kalau kita sedang belajar bersama. Otsuki-kun kan pintar, jadi aku bisa bilang kalau kita mengerjakan PR musim panas bersama sambil kamu mengajariku. Dengan begitu tidak apa-apa kan?”
“Ah, oh, begitu ya...”
Haruto mengangguk seolah mengerti penjelasan Ayaka.
“Lagian, kita juga bisa benar-benar belajar pada waktu itu. Sejujurnya, aku ingin Otsuki-kun mengajariku.”
Ayaka menunjukkan ekspresi sedikit murung dan berkata, “Hasil ujianku kemarin agak...”
“Kalau kamu tidak keberatan, aku bisa mengajarimu kapan saja.”
Haruto, yang AC di kamarnya sedang bermasalah, sedang kebingungan mencari tempat belajar yang sejuk di siang hari yang panas. Selama ini dia berpindah-pindah ke berbagai tempat seperti kamar sahabatnya Tomoya atau perpustakaan untuk mencari kesejukan.
Jika Haruto bisa belajar di kamar Ayaka setiap saat, itu akan sangat membantu baginya. Selain itu, karena dia bisa langsung melakukan kerja paruh waktu sebagai pembantu rumah tangga, dia juga bisa menambah waktu belajarnya.
"Kalau begitu, mulai besok datanglah ke rumah setelah siang. Bagaimana?"
"Baik, um... Mohon bantuannya."
Haruto membungkukkan kepala pada Ayaka. Sebagai balasannya, Ayaka juga membungkukkan kepala pada Haruto.
"Aku juga mohon bantuannya."
Keduanya saling membungkuk dengan sopan.
Ayaka yang lebih dulu mengangkat kepalanya, kembali membuka mulut dengan ragu-ragu.
"Oh, ada satu permintaan lagi..."
"Apa itu?"
"Um, tentang cara kita saling memanggil... Sekarang kita masih memanggil dengan nama keluarga kan?"
Ayaka memanggil Haruto dengan "Otsuki-kun", sedangkan Haruto memanggil Ayaka dengan "Tojo-san".
Dalam kasus Haruto, saat melakukan pekerjaan rumah tangga dan ada anggota keluarga Tojo lainnya, dia memanggil Ayaka dengan "Ayaka-san", tapi selain itu pada dasarnya dia memanggilnya dengan nama keluarga.
"Menurutku, pasangan kekasih biasanya saling memanggil dengan nama depan."
"Oh, begitu ya?"
Haruto sedikit memiringkan kepalanya.
Memang benar banyak pasangan kekasih yang saling memanggil dengan nama depan, tapi bukankah tidak harus selalu begitu? Pasti ada juga banyak pasangan yang tetap saling memanggil dengan nama keluarga.
Keraguan Haruto terhapus oleh penjelasan Ayaka yang penuh semangat.
"Ya. Pasangan yang akrab pasti saling memanggil dengan nama depan! Karena itu, aku ingin kamu memanggilku dengan nama depan juga dalam keseharian."
"Ba-baiklah... Kalau begitu, mulai sekarang aku akan memanggil Ayaka-san?"
"...Ayaka saja."
"Eh?"
"Tanpa -san, langsung Ayaka... Aku ingin kamu memanggilku begitu."
Ayaka berkata sambil sedikit mengalihkan pandangannya dengan ekspresi yang penuh rasa malu.
Melihat tingkahnya itu, Haruto merasakan detak jantungnya meningkat tanpa bisa dicegah.
"...A...Ayaka."
Haruto berkata pelan. Mendengar itu, senyum Ayaka langsung merekah.
"Ya! Ada apa Haruto-kun?" Ayaka tersenyum lebar dan melangkah mendekati Haruto sambil memiringkan kepalanya sedikit.
Meskipun terasa sedikit dibuat-buat, tapi keimutannya lebih mendominasi sehingga Haruto lupa untuk menanyakan kenapa Ayaka masih memanggilnya dengan -kun.
"Um... Bolehkah aku tetap menggunakan -san di depan nenekku?"
Hanya memanggil nama depan tanpa embel-embel.
Namun, hanya dengan itu saja Haruto merasakan jarak di antara mereka menjadi jauh lebih dekat. Dan itu juga sangat merangsang perasaan yang bergejolak dalam dirinya terhadap Ayaka.
Mendengar permintaan Haruto, Ayaka berpikir sejenak dengan "Hmm" sebelum perlahan mengangkat sudut bibirnya.
"Baiklah. Kalau begitu, di depan neneknya Otsuki-kun dan..."
Ayaka menatap lurus ke mata Haruto dan berkata dengan senyum ramah.
"Saat kita berdua saja, panggil seperti tadi ya."
"...Baik."
Haruto hanya bisa mengangguk. Sementara Ayaka memperlihatkan senyum yang sangat puas.
"Ah, maaf ya mengobrol lama sebelum kerja."
"Tidak apa-apa. Kalau begitu... Aku akan mulai bekerja, ada permintaan khusus?"
"Oh, Mama bilang hari ini tolong bersihkan halaman ya."
Kediaman Tojo memang mewah, ada halaman luas di samping ruang tamu. Di halaman itu terdapat dek kayu dan panggangan barbekyu.
Haruto mengangguk mendengar permintaan Ayaka.
"Baik. Lalu untuk makan malam hari ini, aku berencana membuat ayam fillet nanban-zuke dengan somen yang dicampur tomat, tuna, dan daun shiso. Bagaimana?"
"Wah, kedengarannya sangat enak!"
"Baiklah. Kalau begitu aku akan mulai membersihkan halaman."
Saat Haruto hendak keluar dari ruang tamu ke halaman.
Ayaka memanggil dari belakangnya.
"Oh iya. Hari ini Papa dan Mama bilang akan pulang agak cepat, Haruto-kun mau ikut makan malam bersama lagi?"
"Bolehkah?"
Haruto menjawab sambil merasakan rasa geli dan malu karena Ayaka memanggilnya dengan nama depan.
"Papa dan Mama akan senang kalau Haruto-kun ikut. Tentu saja Ryouta juga."
Menyadari situasi di mana makan bersama keluarga Tojo sudah menjadi hal yang wajar akhir-akhir ini, Haruto tanpa sadar tersenyum getir.
"Kalau begitu, aku akan bergabung."
"Oke!"
Mendengar jawaban Haruto, Ayaka tersenyum gembira.
Haruto yang mulai merasakan daya tarik lebih dari senyuman Ayaka dibanding sebelumnya, mengalihkan pandangannya dari senyum Ayaka karena merasa malu.
Dia keluar ke halaman untuk menghindari keheningan, lalu mulai membersihkan dengan konsentrasi seolah mengusir pikiran-pikiran yang mengganggu.
Dia menyapu dek kayu dengan sapu lidi, lalu menggosoknya dengan sikat. Kemudian memotong rumput yang sudah terlalu panjang dan mencabut gulma.
Setelah sekitar satu jam membersihkan dan merawat halaman. Karena berkonsentrasi penuh saat membersihkan, pekerjaan selesai lebih cepat dari yang diperkirakan. Haruto kembali ke ruang tamu untuk mulai menyiapkan makan malam.
Di sana, Ayaka sudah menunggu dengan segelas teh di tangannya.
"Haruto-kun, terima kasih atas kerja kerasnya. Apa kamu haus?"
(Tln: berasa suami istri beneran)
Haruto menerima teh sambil mengucapkan terima kasih atas perhatian Ayaka.
"Terima kasih. Kebetulan aku memang haus, jadi ini sangat membantu."
Haruto yang bekerja di bawah terik matahari langsung meneguk habis teh yang diberikan. Ayaka memandanginya dengan ekspresi senang.
"Mau tambah?"
"Ah, tidak usah. Terima kasih banyak... Um, kalau begitu aku akan mulai menyiapkan makan malam."
"Oke."
Haruto yang merasa geli karena tatapan Ayaka, mulai menyiapkan makan malam untuk mengalihkan perhatian.
Ayaka memandangi kegiatan memasak Haruto dari meja makan.
Haruto berusaha berkonsentrasi pada masakannya, tapi tetap saja merasa terganggu. Sambil menggoreng ayam fillet untuk nanban-zuke di wajan, dia mengangkat pandangannya sejenak ke arah Ayaka.
Ternyata Ayaka juga sedang memandangi Haruto, sehingga pandangan mereka bertemu.
Saat mata mereka bertatapan, Ayaka tersenyum manis dengan pipi yang sedikit memerah.
Melihat tingkah Ayaka itu, jantung Haruto berdegup kencang seolah akan berhenti sejenak.
"Ng... Oh iya, tentang latihan pacaran itu..."
"Ya?"
Sambil membalik ayam fillet dengan sumpit, Haruto perlahan membuka mulutnya.
"Latihan seperti apa yang akan kita lakukan?"
"Itu... mungkin latihan bertingkah dan berbicara seperti pacaran, lalu... um, la-latihan skinship juga?"
Penjelasan Ayaka menjadi cepat di bagian akhir karena malu.
"Skinship... Ya?"
Haruto menghentikan gerakan mengangkat ayam goreng dari minyak dan menoleh ke arah Ayaka dengan bingung. Mendengar itu, Ayaka mulai menjelaskan dengan terburu-buru dan suara agak keras.
"So-soalnya! Kalau kita terlihat canggung, nenekmu mungkin akan curiga kalau kita bukan pasangan sungguhan!"
"Curiga...?"
Malu-malu dan tidak berpegangan tangan.
Bukankah pasangan seperti itu juga ada, dan malah terlihat manis karena kepolosannya?
"Um, aku sudah bilang pada nenek kalau baru dapat pacar, jadi mungkin... Um... Terlalu banyak skinship juga akan terasa tidak wajar."
"Oh... Ya, benar juga..."
Mendengar kata-kata Haruto, Ayaka terlihat kehilangan semangatnya dan menunduk lesu. Melihat reaksi Ayaka itu, perasaan bersalah perlahan muncul dalam hati Haruto.
Mengingat bahwa dia sudah melibatkan Ayaka dalam kebohongannya, Haruto merasa tidak punya hak untuk mengatakan ini dan itu pada Ayaka.
"Tapi memang benar, mungkin kita perlu berlatih sampai batas tertentu. Pasti sulit kalau tiba-tiba diminta bertingkah seperti pasangan sungguhan. Kalau Ayaka-sa... Ayaka tidak keberatan, mari kita latihan... Skinship juga."
"...Benarkah?"
Ayaka mengangkat wajahnya dengan ekspresi yang terlihat sedikit gembira, membuat hati Haruto bergejolak.
"Benar. Kalau kamu tidak keberatan."
"Mana mungkin aku keberatan, kan aku yang mengusulkan."
Ayaka tersenyum lebar dengan riang, berbeda dengan ekspresi murungnya tadi.
Haruto mengalihkan pandangannya dari Ayaka dan buru-buru mengangkat ayam fillet yang sudah terlalu lama digoreng dari wajan.
Haruto memindahkan ayam fillet tersebut ke nampan bersama dengan bawang bombay, paprika, dan wortel yang sudah dipotong sebelumnya, lalu menyiramnya dengan saus nanban-zuke resep neneknya.
Setelah selesai menyiapkan nanban-zuke, Haruto bersiap untuk membuat kuah somen.
Saat itu, Ayaka membuka mulutnya perlahan.
“Nee, Haruto-kun.”
“Ya, ada apa?”
Haruto menoleh ke arah Ayaka.
“Sekarang Papa, Mama, dan Ryouta sedang tidak ada...”
Ekspresi Ayaka saat mengatakan itu terlihat sedikit berkilau dan lembab, memancarkan daya tarik yang tak terlukiskan.
“Mau latihan pacaran... Sebentar?”
Ayaka berdiri perlahan dan berkata sambil berjalan mengelilingi dapur tempat Haruto berada.
“Ah, eh...”
Haruto terdiam memandangi Ayaka yang mendekat sambil masih memegang tomat untuk kuah somen. Ayaka berhenti beberapa langkah dari Haruto.
Dia menunduk dan berhenti bergerak selama beberapa detik.
Kemudian, seolah telah membulatkan tekad, dia mengangkat wajahnya dengan tegas dan melangkah maju sambil menatap lurus ke arah Haruto.
“To-Tojo... san?”
“Saat berdua, panggil Ayaka kan?”
Ayaka menggembungkan pipinya sedikit dengan ekspresi tidak puas, sambil melangkah lebih dekat ke Haruto.
“Haruto-kun...”
Ayaka berada dalam jarak yang bisa disentuh jika Haruto mengulurkan tangannya sedikit.
Berbagai pikiran berkecamuk dalam kepala Haruto.
Jika dia melakukan salah satu dari pikiran-pikiran itu, rasanya hubungan mereka akan berubah.
Teman sekelas yang bersekolah di sekolah yang sama.
Staf layanan rumah tangga dan pelanggan.
Dan, pasangan palsu...
Haruto terhanyut dalam tatapan Ayaka yang seolah berkilau.
Mata yang besar dan indah. Saat memandang mata Ayaka, pikiran Haruto perlahan berhenti bekerja, dan keinginan yang tersembunyi di lubuk hatinya mulai muncul ke permukaan.
Bagian diri Haruto yang tenang memperingatkan bahwa ini tidak boleh dilanjutkan, tapi perlahan pikiran yang lebih mengarah pada hasrat menjadi semakin besar.
Dan tepat ketika tangan Haruto mulai terulur perlahan ke arah Ayaka, terdengar suara ceria dari pintu depan.
“Aku pulang!”
Suara Ryouta yang mengumumkan kepulangannya.
Haruto dan Ayaka tersentak bersamaan dan buru-buru mengambil jarak. Terdengar suara langkah kaki berderap di lorong, lalu pintu ruang tamu terbuka dengan keras dan Ryouta yang baru pulang dari taman melompat masuk.
“Ah! Onii-chan!!”
Begitu melihat Haruto di dapur, Ryouta berlari menghampirinya dengan wajah penuh kegembiraan.
“Onii-chan, aku pulang!”
“Selamat datang, Ryouta-kun.”
“Onii-chan, apa flu-mu sudah sembuh? Sudah sehat?”
Haruto tersenyum lembut melihat tatapan khawatir Ryota.
“Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Flu-ku sudah sembuh dan aku sudah sehat.”
Saat Haruto mengelus kepala Ryouta, anak itu menyipitkan matanya seolah merasa geli.
“Waktu Onii-chan sakit flu, ada bibi yang tidak kukenal datang membantu pekerjaan rumah menggantikan Onii-chan lho.”
“Oh begitu, apa masakannya enak?”
“Iya. Tapi aku lebih suka masakan Onii-chan! Terus, lebih menyenangkan kalau Onii-chan ada di rumah!”
Ryouta berkata dengan senyum polos. Ekspresi Haruto melembut mendengar kata-katanya.
“Hari ini juga aku akan memasak makanan enak untuk Ryouta-kun, jadi tunggu sebentar ya. Sambil menunggu, bagaimana kalau Ryouta-kun cuci tangan dan kumur-kumur dulu?”
“Oke!”
Haruto memandangi punggung Ryouta yang berlari ke wastafel dengan tatapan lembut.
Kembali berdua di ruang tamu, Haruto perlahan menoleh ke arah Ayaka.
“Latihannya lain kali saja ya.”
“I-iya...”
Haruto mengangguk canggung melihat Ayaka yang tersenyum malu-malu.
Sambil melanjutkan memasak makan malam, Haruto merenung tentang hasrat yang tadi muncul dalam dirinya.
Saat Ayaka mendekat tadi, dia berpikir.
Ingin menjadikan Ayaka miliknya.
Ingin memeluknya dalam dekapannya.
Namun, dia tidak berhak melakukan hal itu sekarang. Ayaka berpura-pura menjadi pacarnya karena percaya padanya. Karena kepercayaan itulah Ayaka bersedia berlatih skinship dan bertingkah seperti pacar sungguhan. Karena itu dia tidak boleh mengkhianati kepercayaan itu. Tapi, Haruto berhenti memotong tomat dan berpikir.
Karena rasa bersalah telah melibatkan Ayaka dalam kebohongan, perasaan menyesal terhadap Ayaka sangat kuat. Karena itu dia belum benar-benar memikirkan perasaan Ayaka sendiri.
Bagaimana perasaan Ayaka tentang hubungan palsu ini...
Haruto mengingat kembali kejadian-kejadian sejak dia mulai bekerja di keluarga Tojo dan bertemu Ayaka.
Dan dia mulai mempertimbangkan suatu kemungkinan.
Kemungkinan bahwa Ayaka menyukainya.
Dia tidak yakin, tapi juga tidak bisa mengatakan itu mustahil.
Mereka pergi menonton film bersama dan berpegangan tangan. Sering berbelanja bersama di supermarket. Dan di Taman Hutan Binatang, meski tidak disengaja, mereka sampai berpelukan.
Mengingat kembali adegan-adegan itu dan reaksi Ayaka, rasanya dia tidak pernah menunjukkan ekspresi tidak suka.
Memang belum lama sejak Haruto bertemu Ayaka. Masih ada kemungkinan besar ini hanya kesalahpahaman Haruto sendiri.
Tapi...
Saat itu, sebuah adegan terlintas di benak Haruto.
Baru-baru ini. Saat Ayaka datang merawatnya dan menempelkan dahi mereka untuk mengukur suhu.
Apakah orang akan melakukan hal seperti itu pada seseorang yang tidak disukainya?
Jika Ayaka menyukai Haruto, tidak perlu ada hubungan palsu.
Haruto menyadari perasaan di dasar hatinya, perasaannya terhadap Ayaka.
Jadi, jika perasaan Ayaka sama dengannya...
Sampai di situ, Haruto menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
“Mana mungkin ada hal yang sesuai keinginan seperti itu... Kam?”
Melalui pekerjaan layanan rumah tangga, Haruto bisa mengetahui bahwa sosok Ayaka sebagai “idol sekolah” bukanlah diri Ayaka yang sebenarnya. Namun, image Ayaka sebagai “idol sekolah” belum sepenuhnya hilang dari benak Haruto.
Tidak tertarik pada cinta, tidak pernah dekat dengan laki-laki. Hanya berteman dengan perempuan, dan menolak semua pernyataan cinta.
Karena image seperti itu masih tersisa, Haruto merasa tidak realistis dengan kemungkinan Ayaka menyukainya.
Dia memindahkan tomat yang sudah dipotong ke mangkuk, lalu mulai mencincang daun shiso.
Sambil melakukan itu, dia sedikit mengangkat pandangannya dan melirik ke arah Ayaka yang duduk kembali di meja ruang makan.
Dan lagi-lagi, pandangan mereka bertemu.
“Sebentar lagi... Makanannya siap.”
“O-oke.”
Mereka saling mengalihkan pandangan karena merasa malu.
Haruto berusaha menenangkan detak jantungnya sambil mencincang daun shiso.
Mulai sekarang, sebelum bekerja sebagai pembantu rumah tangga, mereka akan “berlatih menjadi pasangan” di kamar Ayaka. Tentu saja, mereka juga akan tetap belajar dengan serius.
Dia tidak tahu apakah debaran di dadanya saat ini disebabkan oleh kecemasan atau kegembiraan.
Sambil menyadari keberadaan perasaannya sendiri yang seolah tahu jawabannya tapi belum ingin mengetahuinya dengan jelas, dia memutuskan untuk melanjutkan memasak makan malam dalam diam untuk sementara.
※
“Wah, masakan Otsuki-kun memang selalu lezat ya!”
Shuuichi memuji sambil menikmati nanban-zuke Haruto.
“Bukan hanya rasanya, tekstur sayurannya juga sangat enak.”
Ikue juga menikmati masakan Haruto dengan penuh apresiasi.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya sebagai pembantu rumah tangga, Haruto duduk di meja makan bersama Shuuichi dan Ikue yang baru pulang kerja, serta Ayaka dan Ryouta.
“Terima kasih. Kali ini aku mungkin terlalu lama memasak ayamnya, jadi mungkin agak keras.”
“Ah tidak, sama sekali tidak terasa. Tapi rasa pedas yang menggigit ini membuatku ingin minum sake. Ini cocoknya dengan bir... Ah tidak, mungkin malah lebih cocok dengan sake dingin ya?”
Shuuichi berkata sambil melirik ke arah Ikue.
“Fufufu, jangan terlalu banyak minum ya.”
“Tentu saja! Kebetulan aku dapat oleh-oleh yang bagus dari rekan kerja.”
Shuuichi pergi mengambil sake dengan langkah riang.
Sementara itu, Ryouta memandang nanban-zuke Ayaka dengan ekspresi bingung.
“Onee-chan, ini pedas?”
Haruto tersenyum melihat Ryouta yang memiringkan kepalanya kebingungan.
“Bagian Ryouta-kun dibumbui berbeda supaya tidak pedas lho.”
“Aku juga mau makan yang pedas!”
Mungkin tidak suka rasanya berbeda sendiri, Ryouta melirik nanban-zuke Ayaka yang duduk di sebelahnya.
“Ini masih terlalu cepat untuk Ryouta.”
Ayaka berkata seolah menasihati adiknya. Tapi Ryouta menggelengkan kepala mendengar kata-kata kakaknya.
“Aku kuat makan pedas kok!”
“Benarkah? Kalau begitu mau coba sedikit?”
“Iya!!”
Dengan mengangguk besar, Ryouta menerima sedikit dari nanban-zuke milik Ayaka di piringnya.
Ryouta dengan mata bersinar membawa makanan itu ke mulutnya, tetapi segera ekspresinya menjadi muram.
Sepertinya nanban-zuke itu terlalu pedas untuknya, tetapi dia berusaha keras menahan rasa pedas dan mengunyah makanan itu. Melihatnya, Ayaka tidak bisa menahan tawa dan mengeluarkan suara “fufu”.
“Bagaimana, Ryouta? Enak?”
“……iya, enak…”
“Mau lagi?”
Mendengar kata-kata Ayaka, Ryouta menggelengkan kepala dengan keras.
Saat mereka berdua berinteraksi, Shuuichi dengan wajah ceria kembali membawa sebotol sake satu shō (1.8 liter) ke meja.
“Ini adalah barang yang sulit didapat di pasaran,” katanya dengan gembira sambil meletakkan cangkir di atas meja dan bersiap untuk menuangkan sake.
“Ah, Shuuichi-san. Biarkan saya yang tuangkan.”
“Tidak, tidak! Jangan khawatir tentang itu.”
“Setidaknya biarkan aku menuangkan untuk cangkir pertama.”
Sambil berkata demikian, Haruto perlahan-lahan meraih botol satu shō yang dipegang Shuuichi.
“Begitu? Baiklah, kalau begitu tolong satu cangkir.”
Shuuichi menyerahkan botol satu shō kepada Haruto dan memegang cangkir.
“Silakan.”
“Terima kasih… Terima kasih.”
Shuuichi yang dituangkan oleh Haruto langsung menenggak cangkirnya.
“Mm! Enak!”
“Fufu, kamu terlihat senang, ya. Dapat dituangkan oleh Otsuki-kun.”
Ikue berkata kepada Shuuichi yang tersenyum lebar.
“Itu benar! Ketika Otsuki-kun sudah dewasa, aku sangat ingin berbagi cangkir bersamanya.”
“Saat itu, mohon bantuannya.”
Haruto menundukkan kepala mendengar kata-kata Shuuichi. Di saat itu, Ikue melihat ke arah Ayaka.
“Kalau Otsuki-kun bisa minum, berarti Ayaka juga bisa minum, kan?”
“Begitu. Karena Haruto-kun dan aku seumuran.”
Setelah Ayaka menjawab demikian, Ikue menunjukkan ekspresi “oh?”.
“Ada apa, Mama?”
“Tidak, tidak ada apa-apa. Tapi begitu ya…”
Ibunya melihat putrinya dengan ekspresi bahagia. “Ayaka, sepertinya hubunganmu dengan Haruto-kun berjalan baik.”
“U-uhm… Iya, begitu.”
Meskipun wajahnya sedikit memerah, Ayaka mengangguk tanpa membantah kata-kata Ikue.
Melihat sikap putrinya, Ikue tersenyum lebar.
“Aku harap kamu bisa bersama Otsuki-kun sampai dewasa.”
“Iya… Aku ingin bersama.”
Ayaka berkata dengan jelas meskipun merasa malu. Di saat itu, Shuuichi yang sudah sedikit mabuk dan bersuara lebih keras, melihat bergantian antara Haruto dan Ayaka.
“Begitu! Jika Otsuki-kun bisa minum, berarti Ayaka juga bisa minum!”
Shuuichi mengulangi apa yang baru saja dikatakan Ikue.
“Ini adalah berita baik!”
Sambil berkata demikian, Shuuichi menenggak sisa sake yang ada di cangkirnya.
“Shuuichi-san, silakan.”
“Ah, Otsuki-kun, oto to to. Oh, terima kasih, terima kasih!”
Setelah Haruto menuangkan lagi, Shuuichi dengan gembira mengulurkan cangkirnya dan segera mendekatkan bibirnya ke sake yang dituangkan penuh.
“Tapi, Otsuki-kun dan Ayaka, keduanya akan bisa minum sekaligus… Huh? Jika minum sekaligus, itu berarti? Apakah itu berarti akan menjadi sansankudo?”
(Tln: Sansankudo (三三九度) adalah salah satu ritual dalam pernikahan tradisional Jepang, terutama dalam upacara pernikahan Shinto. Dalam ritual ini, pengantin pria dan wanita akan bergantian meminum sake dari tiga cawan yang berbeda ukurannya. Masing-masing cawan diminum dalam tiga tegukan, sehingga totalnya menjadi sembilan tegukan. Sc: chatgpt)
Mungkin karena sedikit mabuk, Shuuichi dengan wajah yang sedikit memerah mengucapkan hal yang tidak jelas.
Mendengar pernyataan ayahnya yang tidak masuk akal, Ayaka segera mengajukan protes.
“Eh, kenapa minum sake pertama kali di pernikahan?!”
“Itu benar, sayang. Anak muda sekarang lebih suka mengadakan upacara di kapel daripada di kuil, kan?”
(Tln: kapel itu tempat ibadah
“Bukan begitu!! Sebelum pernikahan, ada upacara kedewasaan, kan!!”
Ayaka membalas komentar Ikue yang tidak relevan.
Namun, Ikue dengan anggun mengabaikan protes itu dan bertanya kepada Haruto.
“Otsuki-kun, menurutmu mana yang lebih cocok untuk Ayaka, gaun atau shiromuku?”
(Tln: semacam kimono putih)
“Eh, Mama!? Jangan tanya hal aneh kepada Haruto-kun!”
“Itu bukan hal aneh! Mungkin itu bisa menjadi pendapat yang berguna di masa depan, kan?”
Dengan senyum lebar, Ikue berkata, dan Ayaka langsung memerah dan terdiam.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.