Chapter 4
Kebohongan Dan Perasaan Sebenarnya
Di sebuah ruangan di rumah sakit umum.
Haruto berhadapan dengan seorang dokter yang mengenakan jas putih.
"Ini kasus sengatan panas."
"...Ah, sengatan panas ya..."
Mendengar hasil diagnosis, Haruto menghela nafas lega sedikit.
"Beberapa hari terakhir ini memang sangat panas ya."
"Umm... Apakah ada masalah lain?"
"Untuk saat ini tidak ada yang khusus. Kesadaran beliau juga sudah pulih, jadi seharusnya tidak apa-apa. Tapi mengingat usia Nenek yang sudah lanjut, untuk berjaga-jaga bagaimana kalau dirawat inap satu hari besok?"
"Ya, tolong lakukan itu."
Setelah menerima berbagai penjelasan, Haruto memberi hormat pada dokter dan keluar dari ruang konsultasi. Ia lalu menuju ke kamar rumah sakit tempat neneknya berada.
"Nenek, bagaimana keadaanmu?"
Haruto bertanya sambil duduk di kursi bulat di samping tempat tidur neneknya. Sang nenek memandang ke arah Haruto dengan ekspresi menyesal.
"Maaf ya Haruto, sudah membuatmu khawatir."
"Benar-benar lho Nek. Aku pikir jantungku mau berhenti."
"Maaf ya..."
Sepulang mengantar Ayaka ke rumah, Haruto menemukan neneknya tergeletak di dapur dan panik memanggil ambulans. Di dalam ambulans yang melaju cepat, Haruto terus berdoa sambil menggenggam tangan neneknya, hampir tenggelam dalam kekhawatiran.
"Nenek adalah satu-satunya keluargaku yang tersisa."
Mata Haruto bergetar cemas saat mengucapkan itu.
Menyadari perasaan cucunya, sang nenek perlahan menggenggam tangan Haruto.
"Tidak apa-apa, aku masih sehat kok."
"Benarkah?"
"Tentu saja. Aku belum akan meninggalkan Haruto sendirian."
"Ya..."
Mendengar kata-kata neneknya, Haruto menunjukkan ekspresi campuran antara senang dan sedih.
"Ada apa dengan wajah itu?"
Nenek tertawa dengan kerutan wajahnya yang dalam.
"Kalau aku meninggalkan Haruto sendirian sekarang, ayah dan ibumu, juga kakekmu di alam sana pasti akan marah padaku." Nenek menambahkan sambil menepuk-nepuk lembut tangan Haruto yang digenggamnya dengan tangan satunya lagi.
"Lagian, dulu Haruto pernah bilang kan? Katanya akan mengenalkan pacar yang sangat cantik. Sampai aku melihat gadis itu, aku tidak bisa mati dengan tenang."
"Nenek..."
Ucapan candaan Haruto di awal liburan musim panas. Melihat sosok neneknya yang percaya dan menantikan hal itu, hati Haruto bergejolak hebat.
Bagi Haruto yang kehilangan kedua orang tuanya sejak kecil dan kehilangan kakeknya saat akan masuk SMP, nenek adalah satu-satunya keluarga yang tersisa. Ia ingin menenangkan neneknya.
Ingin membuatnya bahagia.
Ingin memenuhi harapannya.
Dengan pemikiran kuat seperti itu, mulut Haruto perlahan terbuka dan kata-kata keluar begitu saja.
"Sebenarnya... Aku... Sudah punya pacar."
Karena terlalu memikirkan neneknya, kebohongan keluar dari mulut Haruto.
"Hari ini juga, sebenarnya aku... Pergi dengan pacarku itu."
Kebohongan Haruto yang tak bisa dihentikan.
Namun, sang nenek sama sekali tidak menduga bahwa cucunya berbohong, dan wajahnya langsung berseri-seri.
"Wah! Benarkah? Jangan-jangan, itu gadis yang pernah pergi nonton film bersamamu?"
"Eh? ...Ah, ya. Benar... gadis itu."
"Begitu ya, begitu ya! Lalu? Seperti apa pacar Haruto itu?"
Melihat neneknya yang tampak sangat tertarik, sosok seorang gadis muncul di benak Haruto.
"Mm... Dia gadis yang sangat manis. Sungguh, terlalu bagus untukku. Rambutnya panjang dan bersinar keemasan saat terkena sinar matahari. Senyumnya juga sangat indah, sifatnya agak polos, tapi dia baik hati dan sangat menyayangi adiknya..."
Gadis yang muncul di benak Haruto.
Itu adalah Tojo Ayaka.
Haruto menceritakan Ayaka sebagai model pacarnya kepada sang nenek. Sang nenek menerima kata-kata Haruto begitu saja dan tersenyum lebar.
"Begitu ya, kamu sudah menemukan gadis yang baik ya."
Melihat neneknya yang tampak sangat gembira dari lubuk hatinya, Haruto merasa dadanya sesak karena telah berbohong. Namun, di saat yang sama ia juga merasa lega bisa melihat wajah bahagia neneknya.
"Dia benar-benar gadis yang sangat menarik."
Kata-kata itu bukanlah kebohongan.
Bagi Haruto saat ini, Tojo Ayaka adalah gadis yang sangat menarik dan manis. Justru karena itulah, ia merasa bersalah telah seenaknya menjadikan Ayaka sebagai pacar khayalannya dan menceritakannya pada neneknya.
Tanpa mengetahui perasaan cucunya, sang nenek berkata dengan lembut sambil tersenyum.
"Kamu benar-benar mendapatkan pacar yang baik ya."
"Y-ya..."
"Haruto benar-benar jatuh cinta pada gadis itu dari lubuk hatimu ya."
"Eh!?"
Mendengar kata-kata neneknya yang diucapkan dengan penuh makna, Haruto tanpa sadar berteriak kaget.
Melihat reaksi Haruto, sang nenek tersenyum lebar.
"Dari wajah Haruto, terlihat jelas betapa kamu menyukainya."
"Y-yah... Tentu saja aku menyukainya kan? Kami pacaran."
Merasa seolah-olah neneknya bisa melihat segalanya, Haruto memalingkan wajah dan berkata dengan agak kaku sambil menggaruk-garuk pipinya.
Melihat reaksi Haruto, sang nenek terkekeh.
"Benar juga. Kalau begitu, aku akan menantikan saat bisa bertemu dengan pacarmu yang manis itu."
"Ah, itu... Karena kami baru saja jadian, nanti setelah agak lama baru akan kuperkenalkan pada Nenek."
Haruto berkata sambil sedikit mengalihkan pandangannya, dan sang nenek mengangguk sambil tetap tersenyum.
"Baiklah, aku akan menunggu dengan sabar."
"Da-daripada itu! Karena hari-hari panas akan terus berlanjut, aku akan menurunkan sedikit suhu AC agar Nenek tidak terkena sengatan panas lagi."
Haruto berusaha keras mengalihkan topik pembicaraan.
"Katanya sekarang sengatan panas di dalam ruangan juga meningkat. Meski AC menyala, panas dari kompor dapur dan sebagainya bisa terkumpul dan menyebabkan sengatan panas. Jadi Nenek juga harus hati-hati ya."
"Iya iya, aku mengerti. Mulai sekarang aku akan lebih berhati-hati."
"Janji ya? Nenek kan sudah tidak muda lagi. Kali ini karena penanganannya cepat jadi tidak terjadi hal yang serius, tapi dokter bilang kalau sengatan panas tidak segera ditangani bisa mengancam nyawa lho."
Penyebab nenek terkena sengatan panas kali ini adalah kompor dapur.
Terkena panas itu, sang nenek pingsan karena sengatan panas. Setelah pingsan, api kompor mati secara otomatis berkat alat pengaman, tapi kalau saja api itu tetap menyala, mungkin saat ini rumah mereka sudah kebakaran. Kalau sampai terjadi, nenek mungkin tidak akan berbaring di tempat tidur rumah sakit seperti ini.
Membayangkan hal itu, tubuh Haruto bergidik ketakutan.
Sekarang neneknya selamat. Ia harus bersyukur hanya untuk itu saja.
Menepis pikiran-pikiran tidak perlu, Haruto berdiri dari kursinya.
"Kalau begitu Nek, karena jam besuk sudah habis, aku pulang ya?"
"Ya, hati-hati di jalan ya Haruto."
"Ya, Nenek juga istirahatlah dengan tenang hari ini dan besok. Sampai jumpa, aku pulang dulu."
Haruto melambaikan tangan pada neneknya dan meninggalkan kamar rumah sakit.
Keluar dari pintu rumah sakit, Haruto mulai berjalan pulang di tengah malam tropis yang lembab dan panas.
Di bawah langit yang telah gelap sempurna, ia mengingat kembali percakapannya dengan sang nenek tadi.
"Haah~ gawat..."
Haruto menghela nafas panjang.
"Kenapa aku berbohong seperti itu..."
Saat itu ia terlalu memikirkan neneknya sehingga agak kehilangan ketenangan.
Namun, setelah berpikir dengan tenang sambil berjalan di jalan malam, ia menyadari telah mengatakan kebohongan yang cukup parah.
"Juga, aku seenaknya menjadikan Tojo-san sebagai pacar..."
Bukan hanya berbohong pada neneknya, ia juga seenaknya menjadikan Ayaka sebagai model pacarnya.
"Sepertinya besok aku harus bicara jujur pada Nenek."
Berbohong memang tidak baik.
Apalagi ini mungkin bisa menyusahkan Ayaka juga. Sebaiknya ia segera mengaku pada neneknya bahwa itu bohong. Mungkin ia juga harus minta maaf pada Ayaka.
Meski berpikir begitu, Haruto merasa cemas membayangkan reaksi Ayaka jika ia menceritakan hal ini padanya.
"Apa dia akan menganggapku menjijikkan ya... Yah, itu salahku sendiri sih..."
Meski berkata begitu, ketika membayangkan benar-benar dibenci olehnya, dadanya terasa jauh lebih sesak dari yang ia duga.
Haruto teringat kata-kata yang diucapkan neneknya tadi.
"Haruto benar-benar jatuh cinta pada gadis itu dari lubuk hatimu ya."
Saat neneknya berkata demikian, Haruto merasa wajahnya memerah karena malu, namun pada saat yang sama ia juga merasa ada sesuatu yang membuatnya paham.
"Apa aku jatuh cinta pada Tojo-san..."
Haruto bergumam pelan.
"Aku tidak ingin dibencinya."
Saat Haruto mengucapkan kata-kata itu, sebuah pemikiran melintas sejenak di benaknya.
Yaitu, menjadikan kebohongan menjadi kenyataan.
Jika ia menyatakan cinta pada Ayaka dan bisa berpacaran dengannya, ia bisa dengan bangga memperkenalkannya sebagai pacar kepada neneknya.
Namun, Haruto menggelengkan kepala dan menghapus pemikiran itu.
Menyatakan cinta hanya untuk membenarkan kebohongannya sendiri, sebelum membicarakan soal kejantanan, itu sudah sangat rendah sebagai manusia. Menyatakan cinta seperti itu sangatlah tidak sopan terhadap Ayaka.
Pernyataan cinta haruslah dilakukan dengan tulus dan sepenuh hati, bukan dengan membawa niat tersembunyi yang buruk.
Haruto yang memiliki pemikiran seperti itu, bahkan merasa jijik pada dirinya sendiri atas ide yang baru saja terlintas di benaknya.
"Apa aku memang aneh hari ini..."
Siang tadi ia melakukan hal yang hampir tergolong pelecehan seksual terhadap Ayaka, lalu berbohong dengan kejam kepada neneknya. Dan sekarang ia berpikir untuk menutupi kebohongan itu dengan cara apapun.
"Apa aku kelelahan..."
Begitu memikirkan hal itu, entah mengapa tubuhnya terasa berat dan kepalanya pusing serta sedikit sakit.
Hari ini terasa sangat panjang bagi Haruto. Rasanya sudah lama sekali sejak ia sarapan bersama orang tua Ayaka di rumah keluarga Tojo pagi tadi.
"Aku harus cepat pulang dan tidur."
Biasanya, tidak peduli seberapa lelah pun, Haruto tidak pernah melewatkan belajar sebelum tidur, tapi khusus untuk hari ini ia sama sekali tidak bisa fokus untuk belajar.
Dengan langkah yang sedikit goyah, Haruto bergegas pulang.
"Hahaha, jangan-jangan ini yang dinamakan sakit karena cinta..."
Sambil tersenyum sedikit mengejek diri sendiri dan menekan pelipisnya dengan ibu jari untuk meredakan sakit kepala, Haruto terus berjalan menuju rumah di tengah malam tropis.
※
"Apanya yang sakit karena cinta... Ini sih sakit beneran..."
Haruto yang hanya mengangkat tubuh bagian atasnya dari tempat tidur di kamarnya, merasa lesu melihat angka yang ditunjukkan termometer.
38,7 derajat. Benar-benar masuk angin.
"Hahh..."
Haruto menghela nafas panas sambil kembali berbaring di tempat tidur.
Meski berbaring, ia diserang oleh sensasi tubuhnya yang bergoyang-goyang, disertai sakit kepala dan mual.
"Ini mungkin gawat..."
Sambil merasa lemas, Haruto meraih ponsel di samping bantalnya.
Waktu menunjukkan lewat pukul 7 pagi. Ia mengoperasikan ponselnya sambil menahan sakit kepala.
"Untung hari ini libur kerja paruh waktu..."
Dalam kondisi seperti ini, jangankan melakukan pekerjaan rumah tangga, keluar rumah saja sulit.
"Ah, tapi hari ini aku ada rencana pergi ke dojo... Aku harus memberi tahu Kazu-senpai dan Shizuku..."
Meski diserang rasa letih yang membuatnya malas mengoperasikan ponsel, Haruto mengirim pesan kepada Ishigura dan Shizuku, teman-teman dojonya.
(Maaf. Aku masuk angin. Hari ini tidak bisa ke dojo.)
Ishigura dan Shizuku adalah teman dojo Haruto sejak kecil, dan mereka bertiga membentuk grup di aplikasi chat.
Setelah sekitar 10 menit, terdengar suara notifikasi "pikon" dari ppmsel.
(Kamu tidak apa-apa?)
Pertama-tama pesan dari Ishigura tiba. Segera setelahnya, pesan dari Shizuku juga muncul.
(Haru-senpai masuk angin, tumben)
(Sudah lama tidak masuk angin. Mungkin cukup parah.)
(Masuk angin musim panas ya. Kau lengah, Haruto.)
(Benar.)
(Mau aku jenguk?)
(Tidak, ini cuma masuk angin biasa jadi akan sembuh kalau istirahat. Tidak perlu repot-repot menjenguk.)
(Begitu ya, kalau benar-benar parah hubungi saja. Aku akan merawatmu.)
Haruto tersenyum kecil melihat pesan Ishigura yang kasar namun penuh perhatian.
Ngomong-ngomong, Shizuku tidak bereaksi sejak pesan pertamanya. Angka di samping tanda "dibaca" menunjukkan 2, jadi sepertinya dia melihat percakapan itu.
(Terima kasih, Kazu-senpai.)
(Ya.)
Setelah menyelesaikan percakapan itu meski tanpa respon dari Shizuku, Haruto kemudian mengirim pesan kepada Tomoya, sahabatnya.
(Tomoya, kalau besok kau tidak ada rencana, aku ingin meminta tolong sekali seumur hidup.)
Beberapa menit setelah mengirim pesan itu, balasan dari Tomoya tiba.
(Oh? Ada apa?)
Stiker beruang yang memiringkan kepala dengan tanda tanya di atas kepalanya juga dikirimkan.
(Sebenarnya, sekarang nenekku pingsan karena sengatan panas dan dirawat di rumah sakit.)
(Apa itu tidak apa-apa!?)
(Karena langsung dibawa ke rumah sakit, tidak masalah. Rencananya besok keluar rumah sakit.)
(Begitu ya, syukurlah. Jadi? Apa yang ingin kamu minta tolong?)
(Sebenarnya aku juga sedang masuk angin. Kalau besok belum sembuh, bisakah kamu menggantikanku menjemput nenek saat keluar rumah sakit?)
Haruto yang tidak memiliki kerabat yang bisa diandalkan, meminta tolong kepada Tomoya, sahabatnya. Kemudian, telepon dari Tomoya masuk.
Haruto mengetuk ikon telepon yang muncul di layar ponsel untuk menjawab panggilan.
[Kamu bilang permintaan sekali seumur hidup, aku jadi tegang tanpa alasan kan.]
[Yah, menjemput nenek keluar rumah sakit itu level permintaan sekali seumur hidup kan?]
[Kalau untuk sahabat, aku bisa pergi ke rumah sakit berapa kali pun.]
[Kalau begitu, aku malah jadi khawatir nenek terlalu sering masuk rumah sakit.]
Saat Haruto menjawab begitu, terdengar suara tawa Tomoya melalui ponsel.
[Jadi, apakah masuk anginmu tidak apa-apa?]
[Ah, karena sudah lama tidak kena, memang menyiksa, tapi mungkin akan sembuh kalau tidur.]
[Begitu ya, kalau begitu beritahu aku nama rumah sakit dan nomor kamar nenekmu. Menjemputnya sekitar siang hari?]
[Iya, terima kasih ya.]
[Tidak masalah.]
Haruto mengucapkan terima kasih dari hati kepada Tomoya yang dengan senang hati menerima untuk menjemput neneknya, lalu memberitahu nama rumah sakit dan nomor kamar.
[Kalau begitu, aku mengandalkanmu. Aku akan membalasnya nanti.]
[Oke! Aku menantikan balasan yang luar biasa!!]
Haruto merasa bersyukur kepada sahabatnya yang berbicara berlebihan itu, lalu mengakhiri panggilan.
Jika masuk anginnya belum sembuh sampai besok, ia harus menghubungi neneknya juga untuk memberitahu bahwa Tomoya yang akan menjemput menggantikan dirinya. Tapi hari ini, ia akan menahan diri untuk tidak memberitahu neneknya tentang masuk anginnya agar neneknya bisa beristirahat dengan tenang.
Jika masuk angin Haruto belum sembuh sampai besok, akan muncul satu masalah lagi.
Yaitu, masalah tidak bisa pergi untuk bekerja paruh waktu di keluarga Tojo.
Ia tidak tahu penyebab masuk anginnya. Entah karena kelelahan akibat panas berhari-hari, atau karena stres mental yang ekstrem akibat neneknya pingsan.
Namun, jika sekarang Haruto memberitahu Ayaka bahwa ia masuk angin, gadis itu mungkin akan berpikir bahwa penyebabnya adalah karena ganti baju setelah bermain air kemarin.
"Memberikan baju ganti sendiri, lalu malah masuk angin, itu memalukan dan payah sekali ya..."
Haruto menunduk dan menutupi wajahnya dengan satu tangan.
Karena gadis itu baik hati, mungkin dia akan merasa bersalah, berpikir bahwa masuk anginnya adalah kesalahannya.
Tapi, tidak memberi kabar apa pun dan absen dari pekerjaan rumah tangga di keluarga Tojo juga tidak sopan.
“Yah, kalau sembuh sampai besok tidak masalah, jadi sekarang lebih baik berhenti memikirkan hal yang tidak perlu..."
Sambil bergumam begitu, Haruto melempar pondelnya ke samping bantal dan menjatuhkan diri ke tempat tidur. Karena masuk angin, ia sama sekali tidak memiliki nafsu makan, jadi ia memutuskan untuk menutup mata dan tidur.
Saat berikutnya Haruto membuka mata adalah lewat tengah hari.
Mendengar suara interkom dari pintu depan, ia perlahan membuka kelopak matanya yang terasa berat seperti timah.
Apakah hari ini ada jadwal paket yang akan diantar?
Haruto berpikir dengan kepalanya yang masih sakit parah.
Ia yang bahkan merasa berat untuk bangun dari tempat tidur, sempat berpikir untuk pura-pura tidak ada di rumah. Namun, perasaan tidak enak pada kurir mengalahkan pemikiran itu, dan ia perlahan bangun dari tempat tidur. Kemudian, dengan langkah goyah ia berhasil mencapai pintu depan, membuka kunci dan membuka pintu.
Melihat sosok yang berdiri di balik pintu itu, Haruto terkejut.
"Lho? Ada apa, Shizuku?"
Haruto yang mengira itu pasti petugas pos atau kurir paket, sedikit membelalakkan matanya melihat kedatangan orang yang tidak terduga.
"Aku datang untuk menyerang Haru-senpai yang sedang lemah karena masuk angin."
Gadis itu seperti biasa dengan ekspresi minim melempar candaan, mengulurkan kedua tangannya ke depan dan berkata "Gao~" dengan tidak bersemangat.
"Ah, kamu datang menjenguk ya. Terima kasih, Shizuku."
Haruto yang sudah terbiasa dengan sikap Shizuku, dengan anggun mengabaikan candaannya.
"Haru-senpai, kamu benar-benar kelihatan menderita ya. Berapa derajat demammu?"
"Umm, saat kuukur tadi pagi sih 38,7 derajat."
“Hoe~ Kalau begitu kamu harus berbaring kan. Cepat kembali ke futon.”
Shizuku segera masuk ke rumah dan mendorong punggung Haruto, mengarahkannya ke kamarnya.
Shizuku yang sudah berteman sejak kecil dengan Haruto, sudah sering berkunjung ke rumahnya dan tentu saja tahu di mana kamarnya berada.
Didorong oleh Shizuku, Haruto kembali berbaring di atas tempat tidur.
“Ngomong-ngomong, bagaimana dengan nenekmu?”
Shizuku yang mengetahui kondisi keluarga Haruto, memiringkan kepalanya karena neneknya tidak ada di rumah.
“Ah, kemarin nenek pingsan karena sengatan panas, sekarang sedang dirawat di rumah sakit.”
“Eh!? Itu serius? Apakah baik-baik saja?”
Bahkan Shizuku yang biasanya tanpa ekspresi pun menunjukkan wajah terkejut.
“Tidak apa-apa, rawat inapnya hari ini hanya untuk berjaga-jaga saja, besok sudah bisa pulang.”
“Begitu ya, syukurlah.”
Shizuku menghela nafas lega, lalu tiba-tiba melihat wajah Haruto.
“Berarti, sekarang di rumah ini hanya ada Haru-senpai?”
“Yah, begitulah.”
“Dan kamu terkena flu yang parah.”
“Parah itu berlebihan, tapi begitulah.”
“Artinya, kamu membutuhkan perawatan dari Shizuku-sama ini ya.”
Shizuku berkata sambil mengangguk-angguk sendiri, sementara Haruto yang berbaring di tempat tidur menggelengkan kepala pelan.
“Tidak usah. Mungkin akan sembuh kalau tidur.”
Menanggapi Haruto yang dengan lembut menolak tawaran perawatannya, Shizuku memasang wajah tanpa ekspresi.
“Haru-senpai, hari ini sudah makan sesuatu?”
“Eh? Ah~ Tidak, aku belum makan apa-apa.”
Haruto yang merasa tubuhnya lesu dan tenggorokannya sakit, sekarang sedang tidak ingin makan apa-apa.
“Aku tidak nafsu makan, nanti kalau sudah sedikit lebih baik dan bisa makan, aku akan membuat sesuatu sendiri.”
“Tidak boleh. Meskipun tidak nafsu makan, kamu harus makan sesuatu yang bergizi.”
Shizuku berkata demikian lalu berdiri.
“Aku akan membuatkan bubur. Aku pinjam dapurnya ya.”
“Tidak usah. Aku bisa melakukannya sendiri.”
“Haru-senpai diam saja dan tidurlah.”
Shizuku menghentikan Haruto yang mencoba bangun.
“Kalau tidak istirahat dengan benar, yang harusnya sembuh pun tidak akan sembuh. Atau kamu tidak suka bubur buatanku?”
Shizuku menatap tajam dengan mata menyipit, membuat Haruto menyerah dan berhenti mencoba bangun.
“Baiklah. Terima kasih, Shizuku.”
“Serahkan padaku. Haru-senpai diam saja dan tunggu bubur spesial Shizuku ya.”
Setelah berkata demikian, Shizuku meninggalkan kamar Haruto.
Setelah itu, saat Haruto setengah tertidur dalam rasa malas yang membuatnya merasa gravitasi bumi menjadi tiga kali lipat, Shizuku kembali membawa nampan dengan panci tanah kecil di atasnya.
“Maaf membuat menunggu. Bubur spesial Shizuku sudah jadi.”
Sambil berkata demikian, ia membuka tutup panci. Lalu, bersama dengan uap, aroma bubur menyebar dan menggelitik hidung Haruto.
“Bubur telur ya, kelihatannya enak.”
“Bisa makan sendiri? Mau kusuapi? Aku akan menyuapimu lho?”
“Tidak, tudak sampai segitunya, aku masih bisa sendiri.”
Haruto menolak tawaran Shizuku sambil menerima bubur itu, lalu mengambil sendok yang sudah disediakan, meniup pelan buburnya sebelum memasukkannya ke mulut.
Bubur dengan kadar garam yang pas itu terasa lembut, sehingga bisa dimakan tanpa menyakiti tenggorokan yang sakit. Saat bubur hangat itu masuk ke perut, barulah Haruto merasakan sedikit lapar.
“Bubur ini enak sekali. Terima kasih ya.”
Ketika Haruto memuji dan berterima kasih dari lubuk hatinya, Shizuku menunjukkan ekspresi sedikit bangga.
“Ini kan bubur spesial Shizuku. Ada ramuan rahasia juga lho.”
“Hee~ Apa ramuan rahasianya?”
Haruto yang sudah merasa jauh lebih baik berkat bubur yang enak, mulai bisa menanggapi candaan Shizuku.
“Aku menambahkan tiga tetes air liurku.”
“Bufu!? Kamu ini!”
Haruto hampir menyemburkan bubur yang ada di mulutnya, tapi berhasil menahannya di detik-detik terakhir.
Melihat reaksi Haruto, Shizuku meski tanpa ekspresi, namun terlihat puas.
“Bohong kok. Mana mungkin aku melakukan hal seperti itu pada orang sakit.”
“...Benarkah?”
“Benar. Atau kamu ingin ada air liurku?”
“Tidak, tidak usah.”
“Muu, jawaban langsung begitu dong, entah kenapa menyebalkan ya.”
Shizuku yang tetap tanpa ekspresi namun dengan terampil menggembungkan pipinya, membuat Haruto menunjukkan wajah lelah.
“Memasukkan air liur ke makanan itu berbahaya kan.”
“Meskipun air liur gadis cantik juga tidak boleh?”
“Tetap tidak boleh.”
“Haru-senpai masih kaku seperti biasa ya.”
“Bukan, ini normal kan.”
Sambil melakukan percakapan yang terasa seperti biasa itu, Haruto menghabiskan bubur buatan Shizuku.
“Terima kasih atas makanannya, enak sekali.”
“Terima kasih kembali. Cukup?”
“Ya, aku jadi cukup kenyang.”
“Begitu ya, syukurlah.”
Shizuku keluar kamar sebentar untuk membereskan panci tanah yang sudah kosong. Lalu, saat kembali ia membawa gelas dan obat.
“Ini Haru-senpai, minum ini lalu tidurlah.”
“Terima kasih, benar-benar membantu.”
Haruto menerima obat flu dari Shizuku, lalu meminumnya dengan air dari gelas.
“Fuuh.”
Saat Haruto yang perutnya sudah kenyang menghela nafas, Shizuku bertanya.
“Apakah masih sakit?”
“Ah, masih sedikit...”
“Perlu minum lagi?”
“Tidak, sekarang sudah cukup.”
“Begitu ya.”
“Ya...”
“Mau kucium?”
“...Kenapa?”
Mendengar pernyataan tiba-tiba dari Shizuku, Haruto yang hampir menutup matanya langsung membukanya lebar-lebar.
“Katanya kalau flu ditularkan akan sembuh kan. Jadi, kalau kucium, flunya akan pindah ke aku dan Haru-senpai akan sembuh, begitu strateginya.”
“Belum tentu flu bisa menular lewat ciuman kan?”
“Kalau begitu, untuk meningkatkan peluangnya, mau french kiss?”
Melihat Shizuku yang bercanda dengan wajah serius, Haruto menunjukkan ekspresi terheran-heran.
“Bukan masalah itu kan.”
“Bukan masalah itu ya?”
“Kalau kamu sampai terkena flu untuk menyembuhkan fluku, itu tidak ada gunanya kan.”
Mendengar kata-kata Haruto, Shizuku meletakkan tangan di dagu dan berpikir sejenak, lalu mengangguk-angguk sendiri sambil berkata.
“Oh, jadi Haru-senpai sedang merayuku ya.”
“Tidak, bagaimana bisa kau mengartikan kata-kataku seperti itu.”
Shizuku merasakan sedikit kelelahan dalam suara Haruto yang menjawab demikian.
“Senpai, berhentilah bercanda dan cepat tidur.”
“Kamu yang harusnya berhenti, dasar.”
Haruto membalas dengan sedikit lemas, dan segera setelah itu ia mulai mendengkur.
Mungkin obat flunya mulai bekerja. Wajah Haruto yang tertidur pulas terlihat sedikit lebih baik dibandingkan tadi.
“Menunjukkan wajah tidur yang tidak berdaya seperti itu, aku benar-benar akan menyerang saat kamu tidur lho, Haru-senpai?”
Shizuku melipat tangannya di samping bantal Haruto yang mendengkur, meletakkan wajahnya di atasnya dan memandangi wajah tidur Haruto.
“Gao~”
Ekspresi Shizuku yang berbisik demikian bukanlah wajah tanpa ekspresi seperti biasanya, melainkan senyuman lembut yang hangat.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.