Kaji Daikō no Arubaito o Hajimetara V2 bab 3

Ndrii
0

 Chapter 3

Terpesona Olehnya



Haruto dan yang lainnya tiba di area rumput dan segera bermain dengan bola yang mereka pinjam.

"Cuacanya bagus, luas dan menyenangkan ya," kata Ayaka yang sudah berganti pakaian sambil melihat hamparan rumput di depannya.

Di area rumput, banyak keluarga dan kelompok orang bermain dengan bola atau bersantai di atas tikar piknik dan tenda kecil. Namun karena areanya sangat luas, tidak terasa sesak dan orang-orang bisa menikmati perasaan lapang di bawah langit cerah.

Haruto, Ayaka, dan Ryouta bermain mini game dengan bola sepak yang mereka pinjam.

"Ayo Ryouta-kun, ke sini!"

"Uh! Hiyah! Ah!"

Permainannya sederhana: satu orang menguasai bola, dua lainnya berusaha merebutnya.

Saat ini Haruto yang menguasai bola, dan Ryouta berusaha keras merebutnya. Namun, gerakan bola yang dikendalikan dengan terampil di kaki Haruto sulit untuk direbut.

"Onee-chan, ke sana! Hentikan Onii-chan!"

Ryouta bekerja sama dengan Ayaka untuk mengepung dan menghentikan gerakan Haruto.

"Hup!"

Tapi Haruto berhasil memutar dan lolos dari kepungan mereka.

"Otsuki-kun, kamu terlalu jago," kata Ayaka sambil tertawa melihat aksi Haruto.

"Otsuki-kun anggota klub sepak bola ya?"

"Bukan kok. Hanya karena dari kecil sering bermain seperti ini dengan teman-teman, jadi agak terbiasa saja."

"Rasanya lebih dari sekedar 'agak' lho."

Ayaka tersenyum geli melihat Ryouta yang kewalahan menghadapi keterampilan Haruto mengolah bola.

Karena sepertinya tak bisa merebut bola, Ayaka tersenyum seolah mendapat ide.

"Berarti Otsuki-kun sudah berpengalaman ya, jadi wajar kalau kami dapat handicap kan?"

"Betul juga. Handicap seperti apa yang—Eh!?"

"Hiyah!"

Dengan seruan imut itu, Ayaka memeluk lengan Haruto.

Haruto terkejut karena tak menyangka Ayaka akan terang-terangan menggunakan tangan dalam permainan sepak bola. Tubuhnya menegang merasakan kelembutan menggoda dari lengan yang memeluknya.

"Sekarang kesempatanmu, Ryouta!"

"Ya! Hiyah... Berhasil!!"

Ryouta berhasil merebut bola dari Haruto yang terdiam dan bersorak gembira.

"Ufufu, kita menang ya."

"Tapi, yang tadi itu agak..."

"Tidak boleh? Apa tadi pelanggaran?"

Ayaka sedikit menjauh dari lengan Haruto, memiringkan kepala dan menatap dengan mata memelas. Bagi Haruto, gestur itu justru pelanggaran setara kartu merah.

"Ti-tidak... Bukan tidak boleh..."

Haruto melirik sekilas lengannya yang dipeluk, lalu mengalihkan pandangan sambil bergumam. Melihat reaksinya, Ayaka juga tersipu malu tapi tersenyum senang "Fufufu".

"Onii-chan! Ganti posisi ya!"

"I-iya benar. Baiklah! Aku akan segera merebut kembali bolanya!"

Haruto mengeraskan suaranya untuk menutupi rasa malunya, menanggapi suara riang Ryouta.

Setelah itu, permainan menjadi lebih seimbang karena gerakan Haruto sangat terbatas akibat dipeluk Ayaka.

Setelah itu, mereka juga bermain dengan benda selain bola sepak. Saat matahari berada di puncak, Ayaka berkata sambil menyipitkan mata karena sinar yang kuat.

"Sudah waktunya makan siang?"

"Benar juga. Bagaimana kalau kita gelar tikar piknik di bawah pohon itu?"

Haruto menunjuk tempat teduh yang cocok di dekat mereka.

"Ryouta juga sudah lapar kan?"

"Iya! Mau makan bekal!"

"Aku sudah buatkan karaage dan tamagoyaki kesukaanmu lho, Ryouta-kun."

"Hore!"

Mendengar kata-kata Haruto, Ryouta bersorak gembira dan berlari sekuat tenaga ke tempat teduh.

"Tenaga anak kecil memang menakutkan ya."

"Tidak, menurutku Otsuki-kun juga hebat bisa terus menemani Ryouta tapi masih biasa saja lho?"

Ayaka yang sejak tadi hanya menonton berkata kagum sambil menatap Haruto.

"Ah tidak, aku juga sudah hampir kehabisan tenaga kok."

"Benarkah? Kelihatannya sangat santai lho? Napasmu sama sekali tidak terengah-engah."

Ayaka menatap wajah Haruto dengan pandangan curiga.

"Tentu saja aku tidak bisa menandingi stamina anak TK."

Haruto sedikit mengalihkan pandangan dari Ayaka yang mendekat.

"Nanti sore masih lanjut lagi, apa tidak apa-apa?"

"Kalau makan bekal pasti pulih kok."

"Cepat banget pulihnya."

Setelah percakapan itu, mereka saling tersenyum kecil.

"Onii-chan! Onee-chan! Cepatlah!"

Ryouta yang sudah berada di tempat teduh memanggil mereka berdua sambil melompat-lompat.

"Iya iya, kami segera ke sana."

Setelah menjawab adiknya, Ayaka menatap Haruto dan tersenyum.

"Ayo, Otsuki-kun."

"Baik."

Haruto dan Ayaka berjalan berdampingan menuju Ryouta.


Setelah selesai makan bekal, ketiganya bersantai di atas tikar piknik.

Sinar matahari sangat kuat, terasa membakar kulit. Namun di bawah naungan pohon, panasnya sedikit berkurang. Angin yang kadang berhembus menggerakkan rumput, membuat mereka merasakan musim panas dan hati mereka menjadi lapang.

"Bagaimana kalau siang nanti kita ke area bermain air?" usul Haruto sambil membereskan kotak bekal ke dalam ransel.

"Iya ya. Suhu udara juga sudah naik cukup tinggi."

Panas yang terpancar dari matahari sudah mencapai puncaknya, rasanya sudah tidak mungkin untuk terus bergerak di luar naungan seperti tadi.

"Ah, tapi aku tidak punya baju ganti..."

Ayaka tiba-tiba teringat.
"Oh iya, bajumu dimakan kambing ya."

Baju Ayaka yang ujungnya dimakan kambing menjadi basah oleh air liur, jadi sekarang dia sudah berganti dengan baju untuk bermain air yang dibawanya.

"Aku punya baju ganti untuk bawahan, jadi mungkin aku hanya akan membasahi kaki saja."

"Benar juga. Harus hati-hati jangan sampai terpeleset ya."

"Iya."

Setelah percakapan itu, mereka segera menuju area bermain air.

"Wah... ramai sekali ya..."

"Yah, karena cuaca sepanas ini, semua orang punya pemikiran yang sama."

Ayaka terkejut melihat banyaknya orang di area bermain air. Haruto menanggapi dengan tersenyum kecut.

Area bermain air terdiri dari kolam-kolam kecil dan besar yang tersebar di sana-sini dengan kedalaman sekitar betis orang dewasa, dan di beberapa tempat terdapat air mancur.

Di kolam-kolam itu terutama anak-anak seusia Ryouta bermain dengan riang, tapi ada juga orang tua yang mendampingi dan pasangan yang bermain-main di bawah air mancur.

"Onii-chan, di sana sepertinya kosong?"

Ryouta menarik lengan Haruto, menunjuk tempat yang relatif sepi.

"Benar juga. Kalau begitu, ayo kita main di sana."

"Ya!"

Bersamaan dengan anggukan, Ryouta berlari ke arah kolam dan langsung masuk ke dalam air.

Ryouta yang mengangkat cipratan air besar-besaran berbalik ke arah Haruto dan Ayaka dengan senyum lebar.

"Onii-chan! Onee-chan! Rasanya enak sekali!!"

Melihat Ryouta yang rambutnya meneteskan air dan bermain riang, Haruto dan Ayaka tersenyum dan ikut masuk ke dalam kolam.

"Dingin dan menyegarkan ya."

"Berendam air di tengah musim panas memang yang terbaik."

Di tengah panas yang membakar, dinginnya air yang menyejukkan membuat wajah Haruto dan Ayaka berseri-seri.

Ryouta mendekat dan menyiramkan air yang ditangkupnya ke arah Haruto.

"Onii-chan! Nih!"

"Wah, kamu ini Ryouta-kun. Rasakan balasanku!"

"Uwah! Ahahahaha!"

Ryouta yang disiram balik oleh Haruto terlihat sangat senang dan membalas menyiramkan air.

Haruto dan Ryouta saling bermain air. Ayaka duduk di pinggir kolam, hanya mencelupkan kakinya ke air sambil mengamati mereka berdua dengan gembira.

“Ryouta, hati-hati jangan sampai mengganggu orang lain ya.”

“Iya! Aku mengerti!”

Di kolam itu, selain Ryouta dan yang lain, banyak anak-anak lain juga asyik bermain.

“Kelihatannya segar ya,” kata Ayaka sambil menopang dagu, sedikit menyesali tidak membawa baju ganti, memandangi Haruto dan Ryouta yang bermain dengan gembira. Tiba-tiba, Ryouta melambaikan tangan dengan keras memanggil kakaknya.

“Onee-chan! Air di sini sangat dingin dan enak!”

“Benarkah?”

Ayaka memiringkan kepala, dan Haruto mengangguk menjawab.

“Airnya sangat dingin dan segar, mau mencoba mencelupkan kaki saja?”

“Oh begitu. Baiklah, aku akan mencobanya.”

Ayaka sedikit menggulung ujung celananya lebih tinggi, lalu menghampiri Haruto dan yang lain.

“Wah, benar! Dingin dan menyegarkan!”

“Sepertinya di sini ada saluran air masuknya ya.”

Saat Ayaka dan yang lain terpaku pada air yang dingin dan segar, seorang anak laki-laki yang berlarian di dekat situ tidak sengaja menabrak Ayaka.

“Kyaa!?”

Bersamaan dengan suara “Duk!”, anak laki-laki yang menabrak terjatuh terduduk dan Ayaka kehilangan keseimbangan.

“Bahaya!”

Secara refleks Haruto mengulurkan tangan, berusaha menopang Ayaka.

Namun, karena berada di tempat berair, Haruto tidak bisa menahan pijakan dan ikut kehilangan keseimbangan sambil tetap memegang tangan Ayaka.

Menyadari tidak bisa menghindari jatuh, Haruto menarik tangan Ayaka kuat-kuat, memeluk tubuhnya. Lalu dia membalikkan posisi agar dirinya yang ada di bawah saat jatuh ke kolam.

Keduanya jatuh dengan cipratan air yang besar.

Meski kedalaman airnya tidak terlalu dalam, jika berbaring wajah akan tenggelam.

Haruto yang jatuh dengan posisi di bawah Ayaka segera mengangkat leher, mengeluarkan wajahnya dari air.

“Otsuki-kun! Kamu tidak apa-apa!?”

“Iya, aku tidak apa-...”

Begitu Haruto mengangkat wajah, tepat di depan mata dan hidungnya ada wajah Ayaka yang membelalak kaget dan khawatir.

Haruto kehilangan kata-kata sejenak melihat Ayaka yang berada di atasnya, menindihnya dan menatap khawatir. Entah mengapa.

Alasannya tidak begitu jelas. Namun, saat itu Haruto terpesona oleh gadis bernama Tojo Ayaka lebih dari sebelumnya.

Apakah karena ekspresinya yang menatap khawatir?

Atau karena rambutnya yang basah berkilauan terkena sinar matahari terlihat fantastis?

Ataukah karena kelembutan dan berat tubuhnya dalam pelukan terasa menggoda?

Atau mungkin karena semua hal itu bercampur jadi satu?

Haruto kehilangan kata-kata, hanya terpaku menatap Ayaka.

“...Otsuki-kun?”

Haruto yang tiba-tiba terdiam dan terus menatap Ayaka setelah jatuh. Melihat keadaannya, Ayaka memasang ekspresi khawatir, berpikir mungkin dia terluka di suatu tempat.

“......”


Haruto tidak merespon panggilannya.


Sebagai gantinya, lengan yang memeluk Ayaka sedikit mengencang.


“!? O-Otsuki-kun?”


Ayaka terkejut karena dipeluk lebih erat.


Haruto bisa merasakan tubuh Ayaka menegang dan menekan.


Namun, beberapa detik kemudian.


Tubuh Ayaka tiba-tiba melemas, dan beratnya bertambah di atas Haruto. Seolah terkena sihir, Haruto tidak bisa mengalihkan pandangan dari mata Ayaka yang basah.


Pandangan mereka bertemu, perlahan mendekat.


Tanpa tahu siapa yang memulai, kelopak mata keduanya perlahan mulai turun, saat itu...


“Maaf!!”


Sepertinya ibu dari anak yang menabrak Ayaka.


Seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh mendekat, membungkuk dalam-dalam meminta maaf pada dua orang yang terjatuh bertindihan itu.


“--!”


“!?”


Seketika, Haruto dan Ayaka tersentak menjauh, buru-buru berdiri.


“Ayo! Kamu juga harus minta maaf dengan benar!”


“Ma-maafkan aku...”


Dipaksa ibunya, anak laki-laki itu menunduk lesu meminta maaf pada Haruto dan Ayaka.


“Ah, ti-tidak apa-apa... Kami tidak terluka kok.”


“Kamu tidak apa-apa?”


Ayaka tersenyum ramah, Haruto bertanya lembut pada anak laki-laki yang menabrak Ayaka dan terjatuh terduduk.


“U-um. Tidak apa-apa...”


“Begitu ya, lain kali hati-hati untuk melihat sekeliling saat bermain ya.”


“Iya, maafkan aku.”


“Sekali lagi aku mohon maaf.”


Ibu dan anak itu berkali-kali membungkuk minta maaf sebelum pergi meninggalkan Haruto dan Ayaka.


Setelah mereka pergi jauh, Haruto membuka mulut dengan ragu-ragu pada Ayaka.


“Umm... Tadi itu, anu... maafkan aku.”


“Ti-tidak apa. Kalau Otsuki-kun tidak menarikku, mungkin aku terjatuh dan kepalaku terbentur... Otsuki-kun sendiri tidak apa-apa?”


“Aku, ya. Tidak apa-apa.”


“Begitu ya, syukurlah...”


Keduanya saling melirik sebentar lalu mengalihkan pandangan dalam suasana canggung. Dada Haruto masih berdebar kencang, seolah masih terpengaruh kejadian tadi.


Ryouta berlari mendekat dan menatap keduanya.


“Onee-chan, Onii-chan, tidak apa-apa?”


“Iya, tidak apa-apa kok.”


“Tidak apa-apa Ryouta-kun, terima kasih.”


Mendengar jawaban keduanya, Ryouta terlihat lega lalu berkata melihat baju kakaknya.


“Onee-chan, bajumu jadi basah ya.”


“Ah, iya...”


Ayaka melihat bajunya sendiri, berpikir sejenak, lalu tersenyum pasrah.


“Sudah terlanjur basah, jadi sekalian saja main air sepuasnya.”


“Hore! Ayo main sama-sama Onee-chan!”


Ryouta langsung bersemangat mendengar kata-kata kakaknya. Ayaka juga terlihat sangat senang, mulai bermain ciprat-cipratan air dengan Ryouta.


“Onii-chan juga ayo main bersama!”


“Iya, baiklah.”


Haruto tersenyum melihat wajah polos Ryouta dan mendekat.


Sambil merasakan debaran jantung yang belum pernah dirasakannya sebelumnya, melihat senyum Ayaka yang berkilauan di bawah sinar matahari musim panas, dengan ekspresi polos yang sama.



Haruto dan yang lain bermain sambil basah kuyup dari kepala sampai kaki.


Ayaka yang tadinya menahan diri karena tidak punya baju ganti, sekarang sudah pasrah basah kuyup.


Sambil melirik Ayaka yang asyik bermain dengan adiknya, Haruto merenung tentang tindakannya tadi.


Saat secara refleks memeluk Ayaka yang hampir jatuh, sama sekali tidak ada pikiran buruk.


Dia hanya memikirkan untuk menolong Ayaka. Hanya itu.


Tapi setelah jatuh, tanpa sadar Haruto memeluk Ayaka yang menindihnya dengan erat.


Kalau tidak hati-hati, atau bahkan tanpa perlu hati-hati pun, tindakannya tadi bisa dianggap pelecehan seksual. Jika saat itu Ayaka menjerit dan menampar pipinya, dia tidak bisa protes.


Apakah panasnya musim panas membuatku aneh?


Haruto bertanya pada dirinya sendiri.


Pemandangan yang masih terbayang jelas dan kuat di benaknya. Saat itu, Ayaka tidak terlihat marah.


Rasanya ada suasana yang seolah menerima, seperti melepaskan kekuatan tubuh. Begitu memikirkan hal itu, detak jantung menjadi semakin cepat tanpa bisa ditahan.


Sosok Ayaka yang bisa dibilang fantastis, menggetarkan dada Haruto.


Rambut mengkilap yang bersinar diterpa sinar matahari, dihiasi tetesan air seperti mutiara. Pipi yang memerah, desahan yang keluar dari bibir yang tampak lembut dan penuh. Mata yang berkaca-kaca, seolah bergoyang antara harapan dan kecemasan, menarik pandangan seperti sihir dan tak bisa dilepaskan.


Pemandangan mata itu perlahan mendekat.


Seandainya saat itu tidak ada siapa pun di sekitar mereka.


Seandainya hanya berdua saja.


Mungkin saja...


Tiba-tiba air membasahi wajah Haruto yang mulai memikirkan kelanjutannya.


"Wapuh!"


"Fufufu, Otsuki-kun, lengah!"


Haruto menggelengkan kepala dan mengedipkan mata. Di hadapannya ada sosok Ayaka yang tersenyum gembira.


Setelah menangkap Ayaka dalam pandangannya, Haruto tiba-tiba mengalihkan tatapannya.


Haruto sendiri tak bisa menjelaskan dengan baik mengapa.


Namun, Ayaka saat ini terlihat sangat menarik bagi Haruto, lebih dari sebelumnya.


Haruto memang menyadari bahwa Tojo Ayaka adalah gadis yang sangat manis. Menurutnya, penampilan Ayaka sangat cantik, dan ia paham mengapa tatapan anak laki-laki di sekolah dan pria di jalan terpaku padanya.


Namun, itu hanyalah anggapan bahwa "Tojo Ayaka adalah gadis yang manis", atau mungkin rasanya seperti melihat lukisan dengan nilai seni tinggi.


Dan Haruto juga laki-laki.


Ia suka melihat gadis manis, dan merasa senang bisa berbicara atau berinteraksi dengannya.


Ya, selama ini hanya sebatas "perasaan senang".


Tidak, mungkin lebih tepatnya untuk Tojo Ayaka, ia "berusaha membatasi diri hanya sampai di situ".


Pekerjaan paruh waktu layanan rumah tangga selama liburan musim panas. Untuk memberikan layanan yang baik kepada keluarga Tojo yang menandatangani kontrak tetap. Untuk tidak membawa perasaan yang tidak pantas, Haruto telah memalingkan mata dari pusat hatinya sendiri, berusaha tidak memiliki perasaan khusus terhadap Ayaka.


Namun, sekarang Haruto merasa hal itu sangat sulit. Ia merasa ada perasaan yang tidak bisa ia kendalikan, perasaan senang yang selama ini coba ia hentikan, dan perasaan lain yang bahkan ia sendiri tidak terlalu mengerti, berputar-putar di dalam dadanya.


"Yosh! Aku menangkap Ryouta!"


"Ahahaha! Onii-chan, tolong aku!"


Ayaka dan Ryouta bercanda.


Haruto pun bergabung, berpura-pura "seperti biasa" sambil menyembunyikan perasaan dalam hatinya.


"Nih! Rasakan!"


Haruto merentangkan kedua tangannya lebar-lebar dan menyiramkan air sekuat tenaga ke arah Ayaka dan Ryouta.


"Ahaha! Kamu melakukannya, Otsuki-kun!"


"Padahal aku minta tolong! Onii-chan jahat!"


Keduanya yang disiram air oleh Haruto memprotes sambil tertawa gembira.


"Ryouta, ayo kita bekerja sama untuk mengalahkan Otsuki-kun!"


"Ya! Aku akan membereskan Onii-chan!"


Kakak beradik Tojo yang berapi-api ingin mengalahkan Haruto perlahan mendekat.


"Tidak semudah itu menangkapku."


Haruto tersenyum nakal lalu berlari menghindar dari keduanya.


"Ah! Tunggu! Jangan lari, Onii-chan!"


"Ayo kejar, Ryouta!"


Haruto sesekali menoleh ke belakang sambil berlari menghindari keduanya yang mengejar dengan panik.


Setelah berlari cukup jauh, Haruto memperlambat kecepatannya dan sengaja membiarkan diri tertangkap.


"Aku menangkap Onii-chan!"


"Aku tertangkap. Ryouta-kun, kamu cepat ya."


Haruto dengan lembut mengelus kepala Ryouta yang memeluk pinggangnya.


Kemudian Ayaka pun bergabung, bukan hanya Ryouta.


"Aku juga menangkap Otsuki-kun!"


"Eh!? Tung-!?"


Tidak seperti Ryouta, Ayaka memeluk lengan Haruto erat-erat dari arah yang berbeda. Haruto berteriak kaget karena tindakannya.


Perasaan yang berputar-putar di dada Haruto mulai muncul ke permukaan saat melihat Ayaka yang memeluk lengannya dan tersenyum tanpa beban.


Manis.


Haruto benar-benar berpikir begitu tentang Ayaka.


Perasaan itu bukan hanya tentang penampilannya. Sosoknya yang bermain riang dengan adik kecilnya. Senyumnya yang menyilaukan seperti sekarang. Sikapnya yang berusaha mendekatkan diri dengannya meski dengan pipi yang memerah malu. Semua itu membuat hati Haruto bergejolak.


"Selanjutnya Otsuki-kun yang jadi 'oni' (iblis) ya?"


"Horee! Ayo lari!"


Mendengar kata-kata kakaknya, Ryouta melepaskan pelukannya dari Haruto dan berlari kabur dengan riang.


Tanpa sempat bertanya-tanya sejak kapan berubah menjadi permainan kejar-kejaran, Ayaka berbisik di telinga Haruto.


"Tangkap aku?"


Mendengar kata-kata itu, Haruto terkejut dan menoleh ke arah Ayaka, tapi gadis itu segera melepaskan lengan Haruto dan berlari kabur.


Sesaat sebelum kabur, pandangan mereka bertemu dan Ayaka melirik nakal, membuat dada Haruto berdebar kencang.


Haruto ingin segera berlari sekuat tenaga dan menangkap Ayaka. Namun, ia tidak bisa mengikuti keinginan itu begitu saja, dan akhirnya mengejar Ryouta yang berlari sekuat tenaga.


Haruto berusaha keras mengejar Ryouta, seolah ingin menghindar dari tatapan Ayaka yang terlihat sedikit kecewa.


Setelah itu pun, Haruto terus bermain air sekuat tenaga, seolah ingin mengalihkan perhatian dari pergolakan dalam hatinya.


Akhirnya, setelah bermain air lebih lama dari yang mereka kira, ketiga orang itu keluar dari kolam saat matahari mulai condong.


"Menyenangkan sekali!"


Ryouta berteriak dengan tubuh basah kuyup.


"Ayo, keringkan kepalamu dengan handuk."


Ayaka mengeluarkan handuk mandi dari tas ransel dan memakaikannya di kepala Ryota, lalu Haruto menggosok-gosok kepala anak itu.


"Tojo-san, silakan pakai ini kalau mau."


Sambil mengeringkan kepala Ryota, Haruto menyodorkan kemeja ganti miliknya kepada Ayaka.


"Eh? Tapi ini kan baju ganti Otsuki-kun..."


Ayaka menunjukkan reaksi sedikit ragu.


"Tidak baik bagi wanita membiarkan tubuhnya kedinginan."


"Tapi... memang bajuku dimakan kambing, tapi aku masih punya camisole ganti, jadi kupikir akan baik-baik saja..."


"Tapi kalau bajunya basah, camisole yang baru diganti pun akan ikut basah lho?"


"Hmm..."


Melihat Ayaka yang masih belum mengangguk, Haruto menunjukkan ekspresi sedikit sedih.


"Apa kamu merasa jijik memakai bqjuku? Kalau begitu... Apa boleh buat..."


"Ah, bu-bukan begitu! Bukan itu maksudku!"


Melihat Haruto yang jelas-jelas terlihat kecewa, Ayaka buru-buru menjelaskan.


"Maksudku, kalau aku memakai baju Otsuki-kun, nanti Otsuki-kun harus memakai baju basah kan? Aku merasa tidak enak."


"Tidak apa-apa kok. Dengan cuaca seperti ini, kalau diperas kuat-kuat dengan tangan lalu dipakai, pasti akan cepat kering."


"Benarkah? Tidak apa-apa?"


Ayaka menatap dengan pandangan memohon, dan Haruto mengangguk besar.


"Tidak apa-apa. Sebaliknya, aku akan lebih khawatir dan tidak tenang kalau Tojo-san terus memakai baju basah."


Bagi Haruto, memakai baju kering sendiri sementara membiarkan seorang wanita memakai baju basah yang dingin sangat bertentangan dengan standar kesopanannya.


"Demi diriku juga, tolong gunakan ini."


"...Baiklah, terima kasih ya Otsuki-kun."


Ayaka menerima baju ganti dari Haruto.


"Kalau begitu Ryouta-kun, ayo kita ke ruang ganti bersama untuk berganti pakaian."


"Ya."


Haruto bergandengan tangan dengan Ryouta menuju ruang ganti yang ada di area bermain air. Ayaka pun mengikuti menuju ruang ganti wanita.


Setelah membantu Ryota berganti pakaian di ruang ganti, Haruto memeras bajunya sendiri dengan tangan untuk mengeluarkan air sebanyak mungkin, lalu memakainya kembali.


Merasakan sensasi baju basah yang menempel di kulitnya, Haruto tanpa sadar mengernyitkan wajahnya, tapi segera mengembalikan ekspresinya seperti semula mengingat Ayaka.


Haruto dan Ryouta yang sudah selesai berganti pakaian menunggu Ayaka selesai berganti di depan pintu masuk ruang ganti wanita sambil bergandengan tangan. Ryouta tampaknya kelelahan setelah bermain sejak pagi, kelopak matanya terlihat berat dan kadang-kadang kepalanya tertunduk.


Saat Haruto berpikir mungkin sebaiknya menggendong Ryouta, Ayaka keluar dari pintu ruang ganti.


"Maaf, apa aku membuat kalian menunggu?"


"...Ah, tidak. Sama sekali tidak apa-apa."


Haruto sedikit terlambat merespon.


Ia terpana sejenak melihat sosok Ayaka yang mengenakan bajunya.


Baju itu kebesaran dan longgar untuk Ayaka. Bagian lehernya sangat longgar, dan panjangnya mencapai sedikit di atas lutut.


"Otsuki-kun, karena ukurannya agak kebesaran, boleh aku mengikat bagian bawahnya?"


"Eh? Ah, ya, silakan."


Setelah mendapat persetujuan dari Haruto, Ayaka mengikat bagian bawah baju yang berlebih di sekitar pinggang.


“Bagaimana, cocok?” 


Ayaka tersenyum sedikit malu-malu saat bertanya, membuat Haruto berpikir sejenak sebelum menjawab.


“Aku rasa... Tidak aneh.”


“Syukurlah.”


Meskipun dia yang meminjamkan bajunya, Haruto tidak bisa memuji Ayaka secara langsung dengan mengatakan bahwa baju itu cocok. Dia tidak bisa mengeluarkan kata-kata pujian itu dari mulutnya.


Namun begitu, Ayaka tetap tersenyum malu-malu dengan wajah yang terlihat senang.


“Kalau begitu, ayo pulang.”


“...Ya, mari kita pulang.”


Haruto merasa jantungnya berdetak lebih cepat dan sedikit kesulitan menjawab.


Dalam perjalanan pulang dari Taman Hutan Binatang, Haruto berulang kali mencuri pandang ke arah Ayaka yang berada di sebelahnya.


Melihat Ayaka yang kini mengenakan “kaos pacar” seperti yang sering disebut, entah kenapa membangkitkan perasaan posesif dalam diri Haruto.


Ayaka mengenakan baju yang biasanya dipakai Haruto. Hal ini membuat Haruto merasa seolah-olah Ayaka benar-benar menjadi kekasihnya, sehingga dia menjadi sangat sadar akan keberadaan Ayaka.


Ditambah lagi, Ayaka mengikat ujung baju di sekitar pinggangnya, membuat bagian perutnya terlihat.


Dia tahu seharusnya tidak melihat, tetapi pandangannya terus tertarik ke sana. Haruto berjuang keras dengan perasaan terlarang itu sepanjang perjalanan pulang.


Saat itu, Ryouta sepertinya sudah mencapai batas kantuknya. Dalam perjalanan dari stasiun menuju rumah keluarga Tojo, Haruto meletakkan handuk mandi di punggungnya dan menggendong Ryouta. Hal ini sedikit banyak membantu Haruto mengalihkan pikirannya dari godaan.

Ketika mereka tiba di rumah keluarga Tojo, langit sudah sepenuhnya berubah menjadi senja yang cerah.

"Ryouta-kun, kita sudah sampai di rumah," kata Haruto dengan lembut, sambil menggoyangkan Ryoita yang berada di punggungnya untuk membangunkannya.

"Mmm... mmm, huh? Di mana ini?" Ryouta, yang masih setengah mengantuk, bergumam dengan mata setengah terbuka. Ayaka menjawabnya.

"Kita sudah di rumah. Ayo, turun dari punggung Otsuki-kun."

"…Iya."

Ryouta mengangguk lemah, lalu dengan tergesa-gesa turun dari punggung Haruto.

"Ryouta, Otsuki-kun mau pulang, ucapkan terima kasih dan sampai jumpa."

"...Iya, Onii-chan... terima kasih... sampai jumpa..."

Dengan mata masih setengah tertutup, Ryouta bergumam pelan, membuat Ayaka tersenyum kecut.

"Otsuki-kun, terima kasih sudah menggendong Ryouta."

"Tidak masalah."

"Dan juga, tentang baju ini, nanti akan ku cuci dan kembalikan."

Ayaka berbicara sambil mencubit sedikit kerah baju yang ia kenakan.

"Hari ini sangat menyenangkan. Terima kasih banyak."

"Aku juga senang."

Mereka saling tersenyum. Setelah itu, keduanya terdiam sebentar, saling menatap sejenak.

"…Umm, kalau begitu, sampai ketemu di pekerjaan paruh waktu berikutnya."

"…Iya, sampai jumpa."

Dengan sedikit kecanggungan, mereka saling mengucapkan kata perpisahan.

Rasanya nyaman, namun juga ada rasa malu. Ingin segera pergi, tapi juga ingin tetap di situ.

Dalam suasana yang kompleks tersebut, Haruto akhirnya berbicara.

"Kalau begitu, aku pergi dulu."

"…Iya."

Dengan sedikit melambaikan tangan, Haruto membalikkan badan meninggalkan Ayaka.

Saat dia berbalik, dia merasa sejenak bahwa Ayaka menunjukkan ekspresi sedih, namun dia tidak bisa membalikkan badan untuk memastikan, dan akhirnya dia melanjutkan perjalanannya pulang.

Jarak dari rumah Tojo ke rumah Otsuki memakan waktu sekitar tiga puluh menit berjalan kaki, tetapi tanpa sadar, Haruto sudah sampai di depan pintu rumahnya.

Sepanjang perjalanan, pikirannya terus dipenuhi dengan kejadian hari ini bersama Ayaka, sehingga dia merasa seperti telah berpindah tempat dalam sekejap.

Haruto perlahan membuka pintu depan dan masuk ke dalam rumah. "Aku pulang."

Dia memanggil neneknya dalam rumah yang gelap tanpa lampu yang menyala.

Ketika dia hendak duduk di depan pintu untuk melepas sepatu, Haruto merasakan ada sesuatu yang aneh dan tiba-tiba berhenti.

Ini aneh, ada yang tidak beres.

Matahari sudah hampir sepenuhnya tenggelam, dan rumah sudah sangat gelap. Namun, tidak ada satu pun lampu yang menyala di dalam rumah.

Padahal, hari ini neneknya tidak memiliki rencana untuk pergi ke mana-mana. Seharusnya nenek ada di rumah, tapi kenapa tidak ada lampu yang menyala...?

Pikirannya yang sejak tadi dipenuhi dengan Ayaka kini beralih ke berbagai kemungkinan yang langsung melintas di otaknya. Semua itu adalah prediksi buruk yang membuatnya enggan untuk dihadapi.

"Neeek!!"

Haruto berteriak memanggil neneknya dengan suara panik, sambil melepaskan sepatunya dan berlari dengan cepat.

Tidak ada di lorong.

Tidak ada di ruang tamu!

Tidak ada juga di ruang tengah!

Haruto menahan perasaan paniknya dan berkeliling di seluruh rumah.

Sejak tadi, jantungnya berdegup kencang hingga terasa menyakitkan.

"Haa... haa... Nek!!"

Dengan napas yang terengah-engah, Haruto masuk ke dapur yang berada di ujung ruang tamu. Di sana, dia akhirnya melihat neneknya.

Namun, neneknya terbaring di lantai dapur.

Haruto merasakan seluruh tubuhnya seketika menjadi dingin.

Dia dengan cepat berlari menghampiri neneknya.

”Nenek!!”

Di rumah yang hanya dihuni oleh Haruto dan neneknya, teriakan penuh kesedihan dari Haruto menggema.
















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !