Ore no Ie ni Nazeka Gakuen no Megami-sama ga Iribitatte Iru Ken Chap 4

Ndrii
0

Chapter 4

Perasaan Jujur Sang Dewi 




"Meninggalkan rumah di jam segini..."


Aku bergumam pelan sambil melihat waktu yang terpampang di layar ponselku.


Waktu menunjukkan pukul 06:45 pagi. Satu jam lebih awal dari waktu biasanya aku berangkat ke sekolah.


Setelah menghabiskan akhir pekan yang terasa bagaikan mimpi, hari ini kembali ke sekolah.


Jujur saja, aku tidak suka sekolah dan tidak ingin cepat-cepat pergi ke sana.


Lalu, kenapa aku berangkat sepagi ini?


Alasannya sederhana. Itu hanya karena aku bangun lebih awal...


Yah, lebih tepatnya, aku dibangunkan lebih awal.


Aku menghela nafas melihat nama "Wakamiya Rin" yang tertera di riwayat panggilan di ponselku.


"Jadi ini yang namanya morning call. Aku tidak menyangka akan sesulit ini..."


Pagi hari adalah waktu untuk bermalas-malasan di futon. Itu adalah kebahagiaan tertinggi bagiku.


Namun, morning call tidak mengizinkan kemalasan seperti itu. Tepat saat aku mencoba untuk tidur lagi, panggilan masuk.


Timingnya begitu tepat sampai aku berpikir, "Jangan-jangan aku sedang diawasi?"


Hampir tidak ada kontak yang tersimpan di ponselku. Yang ada hanyalah ayahku, manajer tempat kerja paruh waktu, Kato Kenichi yang memaksa untuk didaftarkan, dan... Wakamiya Rin.


Wajar saja jika kontakku sedikit.


Karena di Grup D, tidak ada komunitas luas atau orang-orang yang perlu dihubungi...


Aku berpikir cukup memiliki yang paling diperlukan saja. Namun, batas minimum dari "yang paling diperlukan" itu berubah kemarin... karena kecerobohan mulutku.


--Tadi malam


"Tokiwagi-san, aku sudah menyiapkan sarapan untuk besok pagi, tolong dimakan ya. Aku membuatnya dengan memperhatikan dashi-nya juga."

(Tln : Dashi adalah kaldu dasar yang digunakan dalam masakan Jepang. Dashi memberikan rasa umami yang kaya dan merupakan elemen penting dalam berbagai hidangan, seperti sup miso, udon, ramen, dan aneka masakan rebus.)


"Oh, terima kasih."


"Tidak masalah, ini bukan apa-apa."


"Besok, kalau aku bangun, aku pasti akan memakaknya."


"Apa maksudnya dengan 'kalau bangun'?"


"Ya kayak yang kukatakan. Aku lemah di pagi hari. Gimana ya, aku sangat merindukan futon... Makanya aku sering terlambat."


"Oh, gitu ya... Kalau gitu, Tokiwagi-san, tolong keluarkan ponselmu."


"Ada apa? Mau mengecek isinya? Tidak ada yang perlu disembunyi..."


Aku hampir mengatakan tidak ada apa-apa, tapi kata-kataku terhenti. ...Sebaiknya kuhapus dulu historynya.


Ya, untuk jaga-jaga.


"Fiuh, kalau gini kayaknya aman untuk diserahkan. Nih, Wakamiya-san."


"Umm, baik, terima kasih."


Wakamiya terlihat bingung tapi tidak mengatakan apa-apa dan mulai mengutak-atik pondelku.


"Dengan begini sudah beres. Ini, kukembalikan."


"Oh... Jadi, apa yang kamu lakukan?"


"Karena kamu bilang tidak bisa bangun pagi, aku pikir untuk membangunkanmu. Dengan kata lain, morning call. Jadi, aku sudah mendaftarkan nomor teleponku."


"Eeh... Tapi aku ingin tidur kayak biasa di pagi hari... Aku bisa makan dengan santai meskipun bangun agak siang..."


Meski mulutku mengeluh, aku mati-matian menahan sudut bibirku yang hampir terangkat.


Untuk pertama kalinya dalam hidupku, kontak seorang gadis ditambahkan... Mana mungkin aku tidak senang.


Tapi, aku tidak boleh menunjukkannya di wajahku. Bagaimanapun, ini hanya kontak dari seorang Riakami yang terlalu peduli... Tidak baik menunjukkan kegembiraan atau harapan yang aneh.

(Tln : mengingatkan lagi kalau ada yang lupa, Riakami, “Real kami” atau bisa di sebut Dewo di dunia nyata)


"Aku tidak bisa mempercayai 'tidak apa-apa' dari Tokiwagi-san."



"Kejam. Tidak perlu bicara sejelas itu..."


"Dengar, tolong pikirkan baik-baik. Menurutmu, situasi apa yang paling menyedihkan?"


“Situasi yang menyedihkan?”


“Hahh, sepertinya kamu tidak mengerti. Yang menyedihkan adalah ketika makanan yang sudah disiapkan tidak dimakan dan akhirnya dibuang. Setiap makanan dibuat dengan perasaan. Rasanya menyakitkan jika itu diabaikan gitu aja. Meskipun makanannya di siapkan langsung di depan mata, itu tidak akan bertahan selama seminggu...”


Itu adalah situasi yang mungkin terjadi. Aku lemah di pagi hari. Dan ketika terlambat bangun, pasti aku akan memilih untuk tidak sarapan.


Selama ini juga begitu. Aku hanya makan jelly, pokoknya hidup dengan sangat malas. Sudah lama aku tidak punya kebiasaan sarapan.


Bahkan sandwich yang kumakan pagi itu pun sudah lama tidak kulakukan...


“Aku pengen apa yang kubuat dimakan. Meskipun itu mungkin adalah egoku.”


“Ego ya... Yah, tidak apa-apa kan?”


“Maaf kalau terkesan memaksa.”


“Tidak, aku justru berterima kasih. Yah, mungkin tidak buruk juga bangun pagi dan makan dengan sehat.”


“Fufu. Aku senang kamu berkata begitu.”


--Begitulah alur pembicaraan kami.


Yah, dengan alur seperti itu, aku tidak bisa bilang “Aku ingin tidur di pagi hari, jadi jangan lakukan morning call.”


Lagipula, aku sudah terlalu banyak dibantu oleh Riakami ini, aku tidak bisa menolaknya lagi... Dalam waktu singkat ini, aku sudah banyak dibantu olehnya...


Oh ya, makanan yang disiapkan, rebusan dan sup miso, sangat lezat dan diperhatikan detailnya.


Di catatan tertulis tentang bumbu, katanya dia menggunakan dashi kombu dan ago. Rasanya mungkin diperhatikan untuk kesehatan, jadi agak hambar, tapi menurutku tidak kalah dengan masakan dari restoran mewah.


“Aku benar-benar beruntung dari pagi hari, serius...”


Aku mengayuh sepeda menuju sekolah.


Dan di persimpangan jalan, aku terhenti karena lampu merah, menatap kosong ke lampu lalu lintas sambil menunggu berubah hijau.


“Tokiwagi-san?”


Suara jernih yang kudengar pagi ini kembali menembus telingaku. Saat aku menoleh ke arah suara itu, di sana berdiri Riakami dengan seragam musim panasnya.


Seragam musim panas, membuatku bingung ke mana harus memandang...


“Wakamiya-san...”


“Syukurlah kamu tidak tidur lagi.”


“Ah, yah... Tentu saja. Wakamiya-san, terima kasih untuk pagi ini...”


Morning call yang berulang kali seperti membangunkan dengan paksa.


Meskipun tidak bisa dibilang bangun yang menyenangkan untuk bisa mengucapkan terima kasih, tapi mengingat soal makanan dan lainnya, sudah pasti aku harus berterima kasih.


...Tapi, kenapa di tempat setengah-setengah begini?


Kukira dia naik kereta ke sekolah, apa dia naik bus?


“Tidak, itu cuman kebetulan doang, jangan dipikirkan.”


Jawabannya kembali dengan suara datar seperti biasa. Ekspresinya tidak berubah, tetap tenang.


“Daripada itu, Tokiwagi-san, selain terima kasih, apa tidak ada hal lain yang ingin kamu katakan?”


“Hm? Seperti puisi perpisahan?”


“Bukan. Salam, sa-lam. Hal yang diucapkan saat bertemu di pagi hari. Ini adalah dasar, lho?”


“Gitu ya?”


“Ya, begitu.”


Wakamiya berdiri di depanku, menegakkan punggungnya.


Sikapnya yang anggun membuatku berpikir dia seperti putri bangsawan.


“Sekali lagi, selamat pagi, Tokiwagi-san.”


“Oh, pagi.”


Keheningan mengalir di antara kami berdua. Wakamiya tersenyum puas kepadaku.


Baiklah, tapi dengan ini salam sudah selesai. Sisanya,


“Kalau gitu, sampai jumpa lain waktu.”


--Salam perpisahan.


Kita pasti akan bertemu lagi di suatu tempat. Toh kita tidak berbicara di sekolah.


Aku meletakkan kakiku di pedal sepeda untuk pergi.


“Tunggu dulu.”


“Eh!?”


Kerah bajuku ditarik dari belakang, dan suara menyedihkan keluar. Kami mengagetkanku dengan menarik tiba-tiba... Aku menatap Wakamiya dengan protes.


Sebaliknya, tatapan Wakamiya padaku juga terlihat tidak puas.


“Bahaya, tahu?”


“Tokiwagi-san? Bukannya aneh kalau kamu pergi duluan dalam situasi ini? Apa kamu bodoh?”


Wakamiya menatapku dengan pandangan sedikit kecewa.


Dia tidak marah. Tapi, aku merasa ada duri di setiap kata-katanya, seolah-olah dia ingin mengatakan banyak hal.


“Dalam pikiranku, lebih baik mengabaikan berangkat sekolah bareng orang terkenal...”


“Aku tidak tahu logika kayak gitu.”


Dia mengerutkan alis dengan tidak senang, terlihat kesal.


“Bukannya kamu akan mengerti kalau sedikit berpikir?”


“Kalau aku mengerti itu, aku tidak akan berada di Grup D.”


“Hahh...”


Kali ini dia menghela nafas besar. Wajahnya sangat kecewa.


“Kalau gitu, ayo berangkat bareng. ...Kayaknya kamu akan mengerti dengan sendirinya.”


“Tidak, aku tidak pernah berpikir begitu.”


“...Begitukah?”


“Ya, karena memang gitu kan...”


Alasan aku tidak berpikir untuk pergi bersama tentu saja karena “Aku tidak ingin menonjol, lebih baik mengabaikan”, tapi lebih dari itu...


“Wakamiya-san naik kereta ke sekolah, kan?”


Aku bersepeda ke sekolah selama hampir satu jam dari rumah. Kalau terburu-buru, bisa sampai dalam waktu sekitar 40 menit... Tapi sebenarnya, dengan kereta lebih dekat, jadi kebanyakan orang yang tinggal di sekitar sini naik kereta.


Tentu saja aku juga punya pilihan untuk naik kereta, tapi mengingat kemudahan bergerak dan penghematan uang... itulah alasan aku memilih bersepeda.


Selain itu, kereta dan tempat ramai membuatku tertekan...


“Memang benar aku naik kereta, tapi?”


“Kenapa kamu menjawab dengan nada bertanya... Kalau naik kereta, kita tidak bisa berangkat bareng, kan? Atau kamu mau aku mengantarmu ke stasiun?”


Tapi, dari tempat kita sekarang ke stasiun, kita harus berjalan berlawanan arah.


Yah, dari sini ada pilihan naik bus juga sih... Yang mana?


Jika ditanya “Bukannya itu kehormatan bisa pergi bersama seorang gadis sampai tengah jalan?”... Memang benar, tapi memutar itu merepotkan.


Meskipun begitu, karena perjalanan ini tidak terburu-buru, kalau diminta... ya, mau tidak mau harus pergi ya.


“Itu akan merepotkan Tokiwagi-san, jadi aku akan pergi lewat jalan yang sama.”


“Tidak, tidak, tidak, dari sini jika berjalan kaki butuh waktu sekitar 30 menit.”


“Memang kalau jalan kaki jaraknya cukup jauh ya.”


Setelah berkata begitu, Wakamiya tersenyum seperti anak nakal dan duduk menyamping di bagian belakang sepedaku. Gerakannya yang imut itu membuat detak jantungku sedikit lebih cepat.


“Ja-jangan-jangan... kamu mau berboncengan?”


“Benar. Gimana menurutmu?”


“Apanya yang gumana... Itu tidak boleh. Akhir-akhir ini peraturannya ketat... Kita bisa dalam masalah kalau ketahuan.”


“Fufu. Tokiwagi-san ternyata cukup serius ya. Tentu saja, aku juga tidak bermaksud begitu.”


Wakamiya bergumam “Hanya saja, situasi seperti ini memang menggiurkan ya” dengan wajah sedikit kecewa. Mungkin dia merindukan adegan berboncengan yang sering ada di manga shoujo.


Hal yang sama berlaku untuk laki-laki, membayangkan seorang gadis duduk di bagasi dan memeluk pinggang kita.


Situasi seperti itu... sulit untuk tidak mendambakannya. Semua orang pasti memimpikannya.


Yah, meskipun hukum tidak mengizinkannya jadi itu tidak mungkin...


“Kalau kamu tidak bermaksud gitu, kenapa tidak turun saja?”


“Kalau aku turun, kayaknya Tokiwagi-san akan kabur.”


“A-aku tidak akan kabur!”


Tajam sekali... Dia tepat sasaran, membuatku gugup.


“Tidak apa-apa kalau kamu mendorong sepeda dengan aku di atasnya, tapi aku lebih suka berjalan kaki ke sekolah kayak biasa.”


Aku bisa melihat dari matanya. ... Ini mata yang tidak akan mundur.


“Hahhh, tidak apa-apa? Ini benar-benar akan memakan waktu lho...”


“Tentu saja. Aku yang mengusulkannya, lagian berjalan baik untuk kesehatan.”


“Gitu ya... Kalau gitu tidak apa-apa. Tapi jangan mengeluh kalau capsk berjalan ya.”


“Aku tidak akan mengeluh. Aku punya stamina yang bagus.”


Dia menunjukkan lengan atasnya yang kecil. Melihat lengan putih yang indah itu, aku tidak yakin dia akan baik-baik saja. Malah, aku lebih khawatir lengannya yang kecil itu akan patah...


Tapi mungkin tidak masalah karena dia bisa berolahraga dengan tubuh kecil ini.


Meskipun menyedihkan, tapi sepertinya dia lebih jago daripada aku...


Aku tidak melihatnya langsung, ini hanya rumor.


“Kalau gitu sebelum berangkat, aku akan memberikan ini biar tidak lupa.”


Wakamiya mengeluarkan sesuatu yang dibungkus sapu tangan segitiga dari tasnya dan meletakkannya di tanganku. Ada sedikit berat dan aroma harum samar yang menggelitik hidung.


“Jangan-jangan ini bekal?”


“Ya. Tolong dimakan pas makan siang. Kotak bekalnya bisa dikembalikan pas pulang kerja paruh waktu hari ini.”


“Kerja paruh waktu... Kamu datang lagi hari ini?”


“Donatnya enak banget, jadi tidak ada alasan untuk tidak datang.”


Menurutku donat itu tidak cukup menarik untuk datang terus-menerus.


Aku menghela napas.


“Baiklah... Ayo berangkat.”


“Ayo.”


Wakamiya turun dari sepeda dan berjalan tepat di sampingku. Langkahnya ringan, sepertinya dia senang.


Rute ke sekolahku yang biasanya membosankan.

Tapi hari ini, jalan yang biasanya terlihat biasa saja entah kenapa terlihat lebih berwarna.


◇◇◇


“Fuuh~”


Setelah pelajaran matematika berakhir, aku menggaris bagian yang tidak kumengerti dalam pelajaran hari ini.


Kegiatan menggaris ini adalah saran dari Wakamiya, untuk nantinya ditanyakan bersama-sama.


“Sebanyak apapun detailnya, jika ada yang membingungkan, tolong digaris. Tidak masalah jika garisnya banyak, yang penting kamu bisa menjelaskan dengan jelas bagian mana yang tidak kamu mengerti.”


Ini adalah perintah dari Wakamiya Rin, atau lebih tepatnya Wakamiya-sensei. Tapi sayangnya satu hal—


“Cuman ada garis... Harusnya aku belajar sedikit.”


Ya, artinya “tidak ada yang kumengerti sama sekali”.


Wajar saja, karena aku sama sekali tidak belajar sejak masuk SMA, tapi...


“Towa!?”


Tiba-tiba bahuku ditepuk dari belakang, membuatku terkejut. Ditambah lagi suara keras di telingaku...


Aku berbalik dengan tatapan tajam ke arah suara itu dan protes.


“...Kamu mengejutkanku. Jangan berteriak di telingaku.”


“Ah, ya, kamu benar. Maaf, maaf!”


Kenichi menggaruk pipinya sambil tersenyum tanpa beban.


Ikemen memang punya bonus untuk setiap gerakannya ya.


Ya, dengan bonus ketampanan itu, senyumnya mudah melewati nilai 100.


“Jadi, ada apa tiba-tiba?”


“Tidak, tidak, justru aku yang ingin bertanya ada apa!”


“Hm?”


Aku memiringkan kepala. Menurutku tidak ada yang perlu ditanyakan Kenichi padaku.


“Hari ini kamu terus fokus selama pelajaran, kan?”


“Ah... Soal itu.”


Aku paham. Karena selama ini aku tidak pernah fokus, wajar saja dia penasaran. Bagiku sih, itu bukan hal yang penting.


“Apa kamu sakit? Atau kamu jadi serius karena dapat peringatan DO!?”


“Kejam banget. Keduanya salah. Aku cuman mulai tertarik belajar doang.”


“Tidak mungkin... Apakah ini pertanda badai akan datang...”


Dia membelalakkan mata dengan ekspresi terkejut.


Sungguh tidak sopan.


“Tidak masalah kan? Tugas utama siswa adalah belajar, jadi tidak ada yang aneh dengan apa yang kukatakan.”


“Semuanya aneh! Ah, aku terlalu kaget sampai hampir bernapas terlalu cepat~”


Kenichi minum air dan mulai bernapas dalam-dalam di sampingku.


Reaksinya berlebihan, dasar...


“Tapi serius, ada apa? Wajahmu kelihatan lebih cerah dibanding sebelum liburan...”


“Tidak ada apa-apa... Sama kayak biasanya aja.”


“Hmm!? Ada sesuatu yang terjadi... Perubahan seperti ini... Apa karena cewek?”


Mungkin karena selama dua hari ini aku makan dengan baik, warna wajahku jadi lebih baik.


Kenichi menatapku lekat-lekat seolah menyelidiki. Dasar ikemen ... Aku berkeringat dingin karena tebakan Kenichi yang tajam.


“Kalau ada yang bilang semua riajuu punya kekuatan super, aku tidak akan ragu percaya.”


“Apa-apaan itu? Kamu mulai bicara aneh... Ah, jadi tebakanku benar?”


“Tebakanmu tidak terlalu jauh. Tapi tidak seindah yang kamu bayangkan.”


Aku sedikit mengelak sambil mengaburkan fakta, tapi Kenichi tersenyum puas.


“Hmm. Tapi pasti ada sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang, yang membuat gaya hidupmu yang berantakan itu membaik, kan?”


“Ya, ya. Begitulah kira-kira.”


“Aku senang. Karena ada yang bisa mengubah Towa yang dulu identik dengan gaya hidup tidak sehat.”


“Ya, ya.”


Aku mendengus dan menjawab sekenanya.


“Wah~ Warna kulitmu berubah, manusia memang bisa berubah ya.”


“Tidak sopan... Ngomong-ngomong Kenichi, apa aku dulu terlihat sangat tidak sehat?”


“Lho, kenapa baru tanya sekarang? Itu sudah jadi fakta umum lho.”


Kenichi menatapku dengan ekspresi tidak percaya. Dia tetap blak-blakan seperti biasa.


“Lihat, Towa kan tidak bisa dibilang berotot ya? Kurus, wajah lesu tanpa semangat hidup. Kalau bukan tidak sehat, apa lagi namanya?”


“Berisik.”


“Haha, jangan cemberut gitu dong! Kamu punya potensi kalau diasah.”


“Jangan bicara hal umum yang bisa berlaku untuk siapa aja.”


Kadang kita baru sadar sesuatu setelah diberitahu orang lain.


Terlihat tidak sehat... Mungkin Wakamiya juga melihatku seperti itu.


Dia gadis yang perhatian. Mungkin dia tidak bisa mengabaikanku yang menyedihkan seperti anak anjing terlantar. Setelah mendengar dari Kenichi, aku jadi paham.


Yah, aku memang sudah menduga hal seperti ini, jadi aku tidak merasa apa-apa.


Ya, tidak merasa apa-apa...


“Satu saran untuk Towa, kalau kamu bisa memasang wajah yang sama kayak pas kerja paruh waktu, pasti akan terlihat berbeda. Biasanya kamu kayak ikan mati tanpa semangat hidup sama sekali.”


“Wajahku memang aslinya begini. Lagian, maksudmu aku harus selalu tersenyum kayak pas kerja gitu?”


“Tepat sekali! Yah, aku tidak memaksa sih... tapi seenggaknya sedikit.”


“Tidak mungkin. Toh aku tidak dibayar untuk itu.”


“Kamu benar-benar menyedihkan ya, Towa...”


Aku mendengar helaan napas di sampingku. Sepertinya dia kecewa lagi.


Aku memalingkan wajah dan memandang ke luar jendela.


Mungkin sebaiknya aku mengabaikan dia dan mulai makan bekalku. Aku lapar...


“Kenichi, apa kamu punya banyak waktu luang sampai mengobrol denganku? Daripada di sini, mendingan kamu pergi makan siang aja sana.”


“Kamu tetap pesimis ya. Padahal aku datang untuk makan bersamamu.”


“Lupain aja soal aku, pergilah makan dengan pacarmu.”


“Argh! Kamu dingin banget, Towa.”


“Aku pengen makan bekal dengan tenang.”


Aku meletakkan kotak bekal di atas meja. Meskipun ini bekal buatan Wakamiya, untungnya ukurannya tidak aneh jika dipakai laki-laki.


Mungkin ini juga bentuk perhatian kecilnya, pikirku sambil tersenyum tanpa sadar.


“Bekal... katamu!?”


“Ya, gitulah.”


“Kalau begitu, tunggu. Hmm. Ah... Oke, kita lakukan itu!”


Entah apa yang terlintas di pikirannya, tiba-tiba dia memegang lenganku dan mengangkat bekalku.


...Aku punya firasat buruk.


“Oke, ayo pergi! Kebetulan kamu bawa bekal, ayo kita makan di halaman!”


“Tidak mau. Aku tidak pengen pergi ke tempat berkumpulnya para riajuu itu.”


“Sudah, ayo ikut aja!”


“Tu-tunggu dulu.”


Dia menarik lenganku dan membawaku keluar kelas.


Aku yang tidak ingin bergerak hanya bisa pasrah diseret oleh Kenichi.


Dia kuat sekali... Apa benar-benar sampai ke halaman...


“Yosh! Sampai!!”


“Hahbb... lenganku sakit.”


Aku hanya bisa menghela napas. Jangan bawa aku ke sarang para riajuu ini...


Saat melihat sekeliling, yang ada hanya pasangan... pasangan lagi, dan kelompok cowok-cewek populer...


“Ah...”


Suara yang keluar tanpa sadar itu, kurasa terdengar cukup bodoh.


Tapi, mataku menangkap sosok yang paling mencolok di halaman... jadi itu tidak bisa dihindari.


“Tokiwagi... san?”


Cahaya yang merembes di antara pepohonan menyinari sosok itu. Pemandangan itu terlihat fantastis, seolah-olah seorang dewi telah turun ke bumi.


Wajar saja. Karena di sana—Riakami berdiri dengan anggun.


Di halaman sekolah ada sebuah pohon besar.

Tidak ada takhayul seperti “Kalau kamu menyatakan cinta di bawah pohon ini, cintamu akan terbalas”. Itu hanya pohon besar yang mencolok di halaman. Bayangkan pohon yang biasa muncul di iklan TV. Di sekitarnya adalah tempat istirahat para siswa, dan populer sebagai tempat makan siang karena suasananya yang santai.


Namun, yang biasanya datang ke halaman ini kebanyakan adalah pasangan atau kelompok campuran laki-laki dan perempuan. Meskipun disebut kelompok, hanya orang-orang dari Grup A, tapi yang paling banyak adalah Grup B...


Di antara mereka, ada kelompok campuran yang mencolok sedang makan siang di bawah naungan pohon dengan alas piknik. Orang-orang di sekitar tampaknya penasaran dengan anggota kelompok itu, mengintip keadaan mereka.


Ada yang penasaran dengan isi pembicaraan mereka. Ada yang tanpa sadar terus melirik. Ada yang terpesona.


Bermacam-macam reaksi. Yah, wajar saja mereka menarik perhatian.


Karena anggota kelompok itu terdiri dari Riakami, gadis cantik yang cool, ikemen sempurna, dan... seorang cowok yang tidak pada tempatnya, total empat orang.


Tatapan terhadap si cowok yang tidak pada tempatnya itu dingin,


“Kenapa dia ada di sana?” “Tidak mungkin kamu kan!” “Siapa dia?”... dan sebagainya. Tidak ada satupun tatapan yang ramah. Kalaupun ada, paling hanya tatapan penasaran.


Jadi, aku sebagai cowok yang tidak pada tempatnya ini berada di posisi yang sangat tidak nyaman. Terutama secara mental.


Hahhh... Jujur, aku ingin cepat-cepat menghilang...


“Aku jadi tontonan... Aku akan membencimu, Kenichi...”


“Hei hei, jangan menatapku kayak gitu! Bukannya ini bagus, dikelilingi gadis-gadis cantik itu keberuntungan lho?”


“Aku bukan orang yang bisa senang cuman gara-gara hal kayak gitu.”


Fuji-san yang duduk di depan Kenichi memerah pipinya dan tersipu malu sambil berkata “...Dibilang cantik”. Karena biasanya dia cool, sosoknya yang sedikit malu-malu jadi terlihat manis. Di sampingnya, ekspresi Wakamiya tidak berubah, dia makan dengan mulut kecilnya...


“Aku, perutku sakit jadi kurasa aku akan ke toilet—“


“Kalau gitu, Tokiwagi-san. Aku akan memberimu obat, silakan gunakan. Obat ini cepat bekerja dan sangat efektif.”


“Ah, terima ka—“


Hei, jangan tutup jalan pelarianku.


“...Oh iya. Aku harus cuci tangan dulu.”


“Ada tisu basah, silakan.”


“Aku lupa bawa minum—“


“Ada air minum lho?”


“............”


Keheningan mengalir antara aku dan Wakamiya.


Pasangan Kenichi melihat interaksi kami dengan terkejut.


Namun, hanya Kenichi yang langsung tersenyum lebar.


“Kalian berdua sangat akrab ya~!”


“Tidak, bukan gitu. Wakamiya-san cuman terlalu siap doang.”


“Yah, memang benar sih! Tapi, tunggu? ...Towa dan Wakamiya sudah saling kenal?”


“Mana mungkin tidak kenal orang terkenal yang memberi sambutan sebagai perwakilan murid baru.”


“Kita saling kenal lho.”


“...Rin mengingat wajah dan nama semua murid kelas satu.”


“Eh, serius? Gilaa! Aku cuman ingat sekitar setengahnya doang~”


“Kamu juga cukup gila,” aku mengomentari dalam hati.


Ngomong-ngomong, aku hanya mengingat sekitar 20% dari teman sekelasku. Ini perbedaan yang sangat besar.


Yah, mungkin perbedaan ini juga menunjukkan perbedaan antara grup A dan grup D.


"Ngomong-ngomong Tokiwagi-san, apakah kamu tidak mau makan bekalmu?"


"Ah, aku mau memakannya... tapi..."


"Apa yang membuatmu ragu? Tidak perlu sungkan, ayo makan bareng!"


"...Kalau tidak cepat, istirahat siang akan berakhir."


Dipaksa oleh tiga orang untuk bergegas, keringat dingin mulai membasahi keningku.


Jika hal yang kukhawatirkan terjadi dan mereka mulai berbicara aneh... Wakamiya juga akan mendapat masalah.


Harusnya dia mengerti hal itu. Harusnya dia mengerti... Karena itu, kumohon, berikan satu cara untuk lolos dari situasi ini. Sebagai manusia sempurna yang pintar, Riakami pasti mengerti.


Aku memberi isyarat mata pada Wakamiya, memohon agar dia memahami perasaanku.


Wakamiya yang menyadari tatapanku, tersenyum sedikit dan mengangguk pelan.


Syukurlah... Ya, ini adalah momen dimana keinginanku tersampaikan--


"Biar aku yang membukanya."


"...Hah?"


"Jika memikirkan efisiensinya, mendingan aku yang membukanya karena aku bisa sekalian menjelaskan makanannya. Itu akan seperti membunuh dua burung dengan satu batu."


"Eh, tunggu sebentar!"


Aku mencoba menghentikannya, tapi Wakamiya sudah melepas ikatan furoshiki dan membuka kotak bekal berwarna biru tua yang ada di dalamnya.


Dan yang terlihat adalah isi yang sehat dan penuh warna. Bahkan dengan sekali lihat, daging dan sayuran tertata dengan seimbang, dan ada detail-detail kecil seperti wortel yang dibentuk menjadi bunga.


-- Benar-benar bekal khas Wakamiya.


"...Kelihatannya enak."


Itu adalah komentar jujur yang keluar tanpa sadar.


Menanggapi itu, Wakamiya berkata "Terima kasih" dengan suara datar seperti biasanya. Ekspresinya tidak berubah, tapi pipinya tampak sedikit memerah.


Namun, karena terlalu terpesona, aku lupa hal penting. Ya, bahwa di sini bukan hanya ada aku dan Wakamiya...


"...Itu, sama persis dengan bekal Rin hari ini?"


"Ah..."


...Gawat, aku lupa kemungkinan itu...


"Ketahuan". Bersamaan dengan kepanikan itu, detak jantungku semakin cepat.


Tenggorokanku terasa kering, dan aku merasa seluruh cairan di tubuhku perlahan-lahan menguap.


"...Nee, bukan begitu?"


"Benarkah...? Kurasa bekal bisa aja mirip..."


Meski mencoba membela diri, aku tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Mungkin inilah yang disebut situasi "skakmat".


"Tidak, tidak! Ini bukan cuman mirip, tapi sama persis!! Selain bekal yang dijual, hampir tidak mungkin isi dan tata letaknya sama persis!"


"Ugh..."


Aku menghela napas dalam dan memandang pohon. Suara dedaunan yang bergerak tertiup angin terdengar seperti sedang menertawakan badut bodoh.


Ah, anginnya terasa enak ya. Hijau yang segar. Hahaha...


"Lagi melarikan diri dari kenyataan?"


"Jangan baca perasaanku dengan tepat gitu."


"Itu terlihat jelas di wajahmu. Tapi, apakah ada sesuatu yang perlu dihindari?"


"Hei, lihat situasinya dong."


"Kita berempat sedang menikmati makan siang bersama, kan?"


"Hahhh... Aku jadi lelah."


"Kalau gitu, hari ini aku akan membuat shogayaki untuk memulihkan kelelahanmu."


"Bukan itu maksudku..."


Aku menghela napas melihat sikap Wakamiya yang sama sekali tidak berniat menyembunyikan apa-apa.


Wakamiya tampak tidak terganggu sama sekali, bahkan sepertinya dia tidak mengerti mengapa aku menunjukkan ekspresi lelah.


Dua orang lainnya memperhatikan interaksi antara aku dan Wakamiya dengan seksama.


Bahkan mata Ken’ichi Berbinar-binar...


“Towa, aku baru kepikiran sesuatu...”


“Hm? Apa?”


“Yah, maaf kalau pertanyaanku terdengar kasar, tapi dengan bekal yang sama dan interaksi kalian berdua...”


Mengabaikan Kenichi yang berbicara dengan nada sok penting, aku mulai memakan bekalku.


Ya, aku sudah bisa menebak arah pembicaraan yang merepotkan ini.


“Kalian berdua, pacaran ya?”


Wajah Kenichi yang menyeringai membuatku kesal setengah mati.


Aku berhenti makan dan menatap tajam ke arah Kenichi.


“Bukan. Kami tetanggaan, cuman itu aja.”


“Kami tidak pacaran.”


Seolah-olah sudah diatur, Wakamiya juga menyangkal. Meskipun itu fakta, mendengarnya diucapkan tanpa perubahan ekspresi membuat perasaanku campur aduk...


Tapi, memang lebih baik dia menyangkal dengan tegas daripada berbicara dengan ragu-ragu di sini... Beberapa siswa lain yang memperhatikan kami tampak sedikit lega.


“Hmm. Beneran cuman itu?”


“Tidak, aku...”


Khawatir dia akan mengatakan sesuatu yang tidak perlu, aku berdehem untuk menghentikan Wakamiya.


Lalu, ketika semua perhatian beralih padaku, aku menghela napas.


“Memang benar, aku menerima makanan dari kebaikan Wakamiya-san. Dan hei, Kenichi, kamu tahu rumahku kan?”


“Ah, yah...”


“...Kenichi, apa maksudnya? Apa sebaiknya aku tidak perlu tahu?”


Kenichi melirik ke arahku. Matanya seolah bertanya, “Gimana ini?”


...Tak ada pilihan lain, aku harus menjelaskannya sendiri.


“Aku akan memberitahumu karena ini bukan sesuatu yang memalukan untuk dibicarakan. Yah, singkatnya rumahku itu apartemen yang sangat bobrok. Dengan kata lain, aku tidak punya uang.”


“...Begitu rupanya.”


Fuji-san mengalihkan pandangannya dengan canggung. Reaksi seperti itu malah membuatku merasa tidak enak...


“Yah, setelah aku menjelaskan sejauh ini, kurasa Kenichi dan Fuji-san yang pintar pasti mengerti.”


“Aku tidak ngerti tuh?”


“...Aku juga tidak mengerti.”


Aku mengangkat bahu dan menghela napas panjang.


“Wakamiya-san yang baik hati kebetulan... ya, benar-benar kebetulan mengetahui keadaanku. Itulah sebabnya aku dibantu olehnya.”


“Hmm... Gitu ya.”


“Apa-apaan ekspresi itu? Kamu tidak percaya?”


“Yah... Kalaupun aku percaya soal bekal itu, mungkin ini sama aja kayak ngasih makan binatang yang malang.”


“Ngasih makan katamu... Yah, itu tidak salah sih...”


“Tapi, gimana dengan belajar? Dari apa yang kulihat, Towa tiba-tiba mulai belajar berkat Wakamiya kan?”


Aku mengunyah tamagoyaki. Sudah kuduga Kenichi akan menanyakan hal itu.


“Yah, belajar itu cuman bonus dari makan. Kalau dipikir-pikir sih gitu, aku tidak bisa cukup berterima kasih atas kebaikan Wakamiya-san. Dia kayak malaikat yang penuh kasih terhadap domba yang tersesat dan menyedihkan.”


“Kamu benar-benar sinis ya...”


“Terserah kamu mau bilang apa. Aku cuman mengatakan fakta.”


“Fakta ya...? Aku tidak percaya.”


“Ini tidak kayak  yang kalian bayangkan. Aku cuman pria menyedihkan yang menerima campur tangan orang lain. Itu situasiku sekarang. Tidak lebih dan tidak kurang... Jadi...”


Aku menarik napas dalam-dalam.


“Hentikan spekulasi aneh kalian, itu akan merepotkan Wakamiya-san.”


Aku menambahkan satu kata, “Menyebalkan.”


Kenichi yang tadinya cengengesan berhenti tertawa dan berubah menjadi serius.


Di sampingnya, entah kenapa Fuji-san menghela napas kecil dengan ekspresi kecewa.


“...Tokiwagi-kun, maaf kalau aku lancang, tapi Rin itu...”


Kring, kring, kring


Bel tanda dimulainya pelajaran berbunyi, memotong kata-kata Fuji-san.


Aku menghela napas dan membereskan bekalku.


“Yah, sampai di sini aja pembicaraannya.”


“O-oi tunggu dulu Towa! Kita belum selesai bicara!”


“Sudahlah, tidak apa-apa. Kita harus cepat ke kelas.”


“Tokiwagi-san, nanti...”


Samar-samar terdengar suara Wakamiya. Aku pergi dari tempat itu tanpa menoleh ke belakang.


Ekspresinya yang sekilas terlihat seperti cemberut...


Apakah hanya perasaanku saja?


◇◇◇


---Menyebalkan.


Rumor menyebar dengan cepat sejak kejadian saat istirahat makan siang. Inilah yang disebut jaringan anak SMA.


Untungnya, sebagian besar rumor hanya mengatakan “Tokiwagi adalah gigolo Wakamiya Rin”, yang tidak sepenuhnya salah.


“Mungkin mereka sebenarnya pacaran?” Rumor ini hampir tidak ada yang membicarakannya.


Sepertinya responsku telah membuat rumor itu menjadi tidak jelas.


Yah, sebagai gantinya, reputasiku sebagai orang yang berkarakter buruk terus menurun seperti saham yang anjlok. Reputasi terburukku berubah menjadi reputasi yang paling buruk. Sepertinya aku akan turun dari Grup D ke Grup E... Mau bagaimana lagi...


Tapi, ada hal yang lebih menggangguku daripada rumor-rumor itu.


Sepulang sekolah, aku bergegas menuju tempat kerja paruh waktuku.


Dan saat melewati gerbang sekolah, Wakamiya memanggilku “Tokiwagi-san”, tapi... aku mengabaikannya.


Ada perasaan bersalah di hatiku. Ini sikap yang tidak pantas terhadap orang yang telah membantuku.


Tapi – “Banyak siswa yang pulang sekolah”, “Hari ini rumor itu menyebar”. Karena dua hal ini, aku harus bersikap dingin terhadap Wakamiya.


Kalau aku bersikap biasa saja, itu akan merepotkannya...


“Selamat sore!”


Aku masuk melalui pintu belakang dan menyapa manajer.


“Ah, Tokiwagi-kun, selamat sore. Hari ini juga mohon bantuannya ya.”


“Aku akan msmbsrikan yang terbaik demi uang.”


“Hahaha, kamu ini jujur banget ya~”


Manajer tertawa sambil mengoperasikan laptop. Sepertinya dia sedang memeriksa jadwal shift kerja paruh waktu.


“Kalau tidak salah hari ini shift pendek ya? Selesai jam 9 malam, benar kan?”


“Ah, manajer. Soal itu, ada yang ingin aku bicarakan...”


“Ada apa?”


“Bolehkah saya pulang satu jam lebih cepat?”


Mata sipit manajer sedikit terbuka, ekspresinya terlihat heran.


“Oh? Tumben. Kukira kamu akan bilang ‘Aku akan bekerja sampai akhir’... Bolehkah aku tahu apa alasannya?”


“Yah, begini. Ujian sudah dekat, jadi aku pengen belajar di rumah...”


“Hmm, gitu...”


Manajer memeriksa jadwal shift sekali lagi. Dahinya berkerut, bergumam “Hmm” sambil berpikir.


“Baiklah. Tergantung situasi pelanggan, tapi hari Senin biasanya tidak terlalu sibuk. Karena ini permintaan darimu yang selalu bekerja keras, kurasa tidak masalah.”


“Terima kasih banyak. Kalau gitu, aku akan ganti baju!”


“Ah, ngomong-ngomong, kayaknya temanmu datang lagi ke sini... Kalau belum mulai kerja, kamu boleh bicara dengannya lho?”


“Baik. Terima kasih. Hari ini... yah, kalau aku lagi pengen, mungkin aku akan melakukannya.”


Aku meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju ruang ganti.


Saat pergi, aku mendengar komentar “Hmm. Apa mereka bertengkar? Dasar anak muda~”, tapi aku akan mengabaikan omong kosong itu.


Satu jam setelah mulai bekerja, Wakamiya yang biasanya duduk di kursi yang sama berdiri dan mengantri di kasir. Karena pada hari kerja di jam ini hanya ada satu kasir yang dibuka, dia pasti akan mengantri di tempatku.


Wakamiya menatapku lekat-lekat. Aku memasang senyum bisnis seperti biasa.


“Apa yang ingin Anda pesan?”


“Dua donat, tolong.”


“Terima kasih banyak!”


Wakamiya memandangku seolah-olah ingin mengatakan sesuatu.


Dia tidak ingin mengganggu pekerjaanku, tapi... sepertinya ada yang ingin dia bicarakan.


Namun,

“Silakan tunggu di sebelah sana.”


Sebagai pekerja, aku memberikan respon yang biasa. Mungkin terkesan dingin bagi orang yang kukenal.


Mendengar kata-kataku, Wakamiya menghela napas pelan. Dan kemudian – dia tidak kembali mengantri di kasir lagi.


--Dua jam kemudian


“Mau balikin kotak bekal aja susah banget...”


Setelah selesai bekerja, aku bergumam sambil berganti pakaian di ruang ganti.


Karena aku sendiri yang mencoba menjaga jarak, sulit bagiku untuk mendekatinya. Aku ingin menunggu sampai situasinya mereda untuk mengembalikannya, tapi... itu keterlaluan...


Aku mengintip sedikit dari pintu belakang, memastikan Riakami tidak ada.


...Tidak ada. Sepertinya dia tidak menyadari bahwa aku akan pulang.


Aku cepat-cepat menaiki sepedaku, dan melaju kencang melalui jalan yang sudah kukenal.


Sudah seminggu sejak terakhir kali aku tidak mendorong sepeda di jalan ini. Meskipun hanya seminggu, entah kenapa terasa sangat nostalgia...


“Apa yang sedang kulakukan...”


Ini adalah pelarianku. Hanya kepuasan diri, pengorbanan diri... ya, hanya keegoisanku semata.


Aku mendongak menatap langit malam yang gelap. Malam yang gelap tanpa bintang, tidak terlihat apa-apa.


Langit yang seolah menggambarkan suasana hatiku.


“...Hm?”


Bukan pemilik apartemen...? Aku merasakan firasat aneh melihat sosok yang berdiri di pintu masuk apartemen.


Dan semakin aku mendekati sosok itu, firasat itu berubah menjadi keyakinan.


“...Tokiwagi-san, aku sudah menunggumu. Aku punya keluhan untukmu.”


Sebuah mobil melewati kami. Dalam cahaya lampu mobil itu, aku melihat sosok Riakami yang menatapku dengan mata jernihnya.


Karena terkejut, kata-kata “...Kenapa” keluar begitu saja dari mulutku.


Malam akhir-akhir ini mulai pengap karena musim panas semakin dekat. Namun, aku tidak merasa panas.


Tatapan dingin dari Riakami di hadapanku seolah menyerap suhu tubuhku.


“Dari ekspresimu, kayaknya dugaanku benar?”


“Dugaan?”


“Dugaan bahwa ‘Tokiwagi-san yang menghindariki akan pulang satu jam lebih awal dari kerja paruh waktunya’.”


“Itu dugaan yang sangat spesifik. Tapi, sama sekali bukan... bukan karena alasan itu.”


“Begitukah.”


--Bohong. Tepat sasaran... dugaan Wakamiya benar-benar akurat.


“Untuk sementara, bolehkah aku masuk ke rumahmu? Bahan makanan yang aku beli bisa rusak.”


“Ah...”


Aku menjawab singkat dan mempersilakan Wakamiya masuk. Wakamiya masuk ke rumah dan mulai memasukkan bahan makanan ke dalam kulkas. Ekspresinya tidak berubah, tapi tekanan dari diamnya terasa menakutkan.


“...Aku akan membayarnya nanti. Tidak enak kalau setiap kali--”


“Kita bisa membicarakan itu nanti. Sekarang, duduklah.”


Dia berkata begitu, duduk di kursi dan memintaku untuk duduk juga. Aku menurut dan duduk berhadapannya.


Wakamiya menyesap tehnya dengan mata tertunduk, lalu perlahan mulai berbicara.


“Kamu tahu kenapa aku marah, kan?”


“Ya, kurasa begitu...”


“Gitu... Ada banyak hal yang pengen kukatakan. Tapi, aku pengen mendengar ceritamu terlebih dahulu. Tolong beritahu aku. Aku yakin kamu tidak akan bersikap kayak gitu tanpa alasan.”


“Tidak ada alasan khusus...”


“Tidak perlu basa-basi, jangan coba-coba melarikan diri, ya.”


Mata Wakamiya seolah berkata “Aku tidak akan membiarkanmu pergi sampai kamu bicara.”


Sepertinya aku tidak bisa kabur... Aku menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan diri untuk berbicara.


“Mulai hari ini... Kita sudahi aja cara bicara seperti ini.”


“Meskipun aku belum mendengar alasannya?”


“Kalau kita terus terlibat lebih jauh, orang-orang bakal berpikir bahwa Wakamiya-san mengenal orang seperti aku.”


“Apakah itu hal yang buruk?”


Wakamiya memiringkan kepalanya, tampak tidak mengerti apa yang kukatakan.


Apakah dia tidak menyadari posisi dan situasinya sendiri?


“Ya, itu buruk. Anak SMA zaman sekarang suka banget membicarakan masalah cinta, kita bisa jadi sasaran empuk. Mungkin bakal muncul rumor kayak ‘Apakah mereka pacaran?’ atau ‘Apakah mereka dekat?’. Kalau itu terjadi, akan merepotkan karena terjadi kesalahpahaman.”


“Merepotkan... ya?”


“Padahal Wakamiya-san sudah berbuat banyak untukku... Aku tidak bisa merepotkanmu lebih dari ini. Karena itu, kupikir lebih baik kita tidak berbicara di depan umum sebisa mungkin.”


Bahkan interaksi singkat saat istirahat siang saja langsung menyebar menjadi rumor. Jika hubungan ini berlanjut, rumor akan berubah menjadi keyakinan. Dan jika rumor terus menyebar, akan hampir mustahil untuk menghilangkannya.


Kita harus melakukan sesuatu sebelum itu terjadi. Karena itulah keputusan ini... Pilihan terbaik.


“Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, aku tidak peduli dengan rumor, tahu?”


“Kalau cuman rumor, mungkin bisa diabaikan. Tapi, kamu tidak suka kalau ditanya langsung atau diganggu terus-menerus, kan? Bersikap canggung juga melelahkan...”


“Memang benar, gangguan terus-menerus itu merepotkan...”


“Kan? Selain itu, misalnya ada seseorang, sebut aja si A. Andai seratus orang mengatakan ‘Si A itu brengsek’. Dan cuman kamu sendiri yang tidak berpikir dia ‘brengsek’. Tapi, terus-menerus mengatakan ‘Si A orang baik’ dan menentang seratus orang itu adalah hal yang mustahil. Tidak mungkin menang melawan kekuatan massa, itu tidak mungkin.”


“Gitu ya... Mungkin memang ada hal yang kayak gitu.”


“Ya, rumor itu menakutkan. Karena itu kita harus memutuskannya sebelum terlambat...”


Sejujurnya aku terlalu bergantung... Pada kebaikan Wakamiya.


Aku sudah terbiasa sendirian.


Kupikir aku menyukai kesendirian... tapi mungkin sebenarnya aku merindukan kehangatan orang lain.


Nyatanya, beberapa hari ini sangat menyenangkan.


Oleh karena itu,


-- Sebelum ketergantungan ini semakin besar.


-- Sebelum perasaan ini membengkak.


-- Sebelum kesalahpahaman semakin cepat.


-- Sebelum aku terlalu menikmati kenyamanan ini.


Aku harus memutusnya... agar tidak menyesal nantinya.


“Agak disayangkan kalau kamu berkata gitu.”


Dia bergumam dengan sedih. Lalu, dia berdiri perlahan dan mendekatiku.


“Aku tidak tahu gimana aku di matamu. Kalau kamu menganggapku sebagai sosok yang sempurna kayak bulan, manusia dari dimensi yang berbeda denganmu...”


“...Hm?”


Aku memiringkan kepala melihat Wakamiya yang sedikit gemetar. Bahkan dari sini aku bisa melihat betapa kuatnya dia mengepalkan tangannya.


“Aku sangat tidak setuju!”


Suara yang penuh amarah keluar dari mulutnya, sesuatu yang tidak pernah kubayangkan dari seseorang yang biasanya berbicara tanpa intonasi.


Terkejut dengan suaranya, tubuhku bergetar.


“Aku bukan orang yang sempurna, juga bukan manusia dari dimensi lain. Aku hanyalah gadis biasa yang berada di tempat yang sama denganmu, Tokiwagi-san. Aku bisa egois, aku punya keinginan kuat, aku bisa memaksakan kehendak, dan aku tidak suka hal-hal yang kubenci.”


“...!?”


Kedua pipiku ditarik, membuatku tidak bisa berbicara dengan jelas meski ingin mengatakan sesuatu.


“Dan aku sendiri yang menentukan dengan siapa aku akan bergaul. Tidak ada ruang untuk penilaian atau reputasi orang lain di sana, dan itu tidak akan mempengaruhiku. Itu murni karena aku melihat dengan mataku sendiri,  aku ingin bersama,  aku ingin berbicara, itulah mengapa aku ada di sini sekarang.”


“............”


“Kalau Tokiwagi-san memaksakan diri untuk meninggalkanku dan mencoba menjauhkan diri dariku, itu akan sia-sia. Aku bakal mengatakan ini dulu sebelumnya.Tolong jangan lakukan itu.”


 “Iya, Tahi!”

(Tln : kata aslinya itu “Iya, tapi!”, tapi karena pipinya mc lagi di cubit jadi ubah aja)


 “Meski gitu, kalau Tokiwagi-san mengubah sikapnya...”


 “Ah, Wa-Wakamiya-san!?”


 “Aku bakal ngelakuin ini di depan umum. Di luar, di sekolah, dan jelas... Di tempat kerja paruh waktumu juga.”


  Tentu saja dia tidak memelukku atau mencoba menciumku.


  Dia hanya meraih lengan bajuku.


  Dia menatapku seolah dia ingin dimanja, dengan air mata mengalir di matanya...


  Jujur saja—kekuatan serangannya sungguh luar biasa.


  Wakamiya biasanya adalah orang yang tenang dan tidak mudah emosi. Sosok iseperti itulah yang dia tunjukkan.


  Mungkin lebih baik mengatakan bahwa dia memikatnya daripada menunjukkannya.



Melakukan ini di depan umum? Bukannya itu sama saja seperti hukuman mati secara virtual!!

  Wakamiya menatapku sambil memegang lengan bajuku, seolah menunggu jawaban.

 "Ah! Sial! Aku tahu, aku tahu. Ini kekalahanku, jadi tolong hentikan... Kalau melakukan ini di depan umum... itu bakal membunuhku."

  Aku mengangkat tanganku dalam posisi menyerah.  ...Wajahku terasa seperti terbakar.

  Saat dia melihat Wakamiya dari samping, pipinya memerah dan dia tersenyum puas.

 "Oke. Kecuali Tokiwagi-san melakukan kesalahan lagi, aku tidak akan melakukannya di depan umum.”

Wakamiya memeriksa reaksiku, lalu segera menahan air matanya dan memasang wajah tenang. Namun, pipinya masih sedikit memerah, seolah-olah dia berusaha menutupinya.

Tapi, menunjukkan air mata dan menahannya dalam sekejap. Aku terkejut dalam hati melihat kemampuan akting Wakamiya yang tinggi dalam melakukan hal seperti itu.

“...Air mata memang senjata wanita, tapi bukammya itu terlalu tidak masuk akal?”

“Menggynakan senjata yang kita miliki itu wajar.”

“Hahh... Wakamiya-san, mungkin kamu bisa jadi artis di masa depan?”

“Aku tidak tertarik menjadi artis.”

“Gitu ya.”

“Lagian, yang tadi itu bukan akting lho? Aku memang benar-benar sedih.”

“...Maaf.”

Aku menundukkan kepala pada Wakamiya yang tersenyum pahit dengan sedikit sedih.

Sejujurnya, aku belum pernah dianggap seserius ini dalam hidupku. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa dia benar-benar berpikir “ingin bersama” dan “ingin berbicara” denganku. Aku tidak tahu apakah dia menganggapku sebagai kekasih atau teman atau apa.

--Bagaimanapun, aku belum pernah mengalaminya sebelumnya.

Tapi jika dia memang berpikir seperti itu, meskipun sedikit, maka tindakanku tadi pasti sangat buruk dan hina.

Aku merasa tidak nyaman dengan pemikiranku sendiri yang dangkal.

Karena itulah, aku tidak bisa tidak bertanya.

“Apa kamu benar-benar tidak apa-apa? Padahal aku sudah berusaha menghilangkan rumor dan kesalahpahaman...”

“Tentu saja. Kalau kamu memikirkan hal itu demi diriku, maka bersikaplah kayak biasanya.”

“Hahhh, baiklah.” Aku tersenyum pahit melihat Wakamiya menjawab tanpa ragu.

Aku meneguk teh yang disajikan Wakamiya dalam sekali teguk.

“...Meskipun begitu, untuk kejadian kali ini. Sikap Tokiwagi-san sangat menyakitiku.”

“Itu... maaf.”

“Ada retakan sebesar crevasse di hatiku lho.”

“Crevasse...”

Aku ingin mengatakan bahwa itu berlebihan, tapi karena kesalahan ada padaku, aku tidak bisa mengatakannya.

Lagipula, bukankah crevasse itu retakan yang katanya tidak bisa diselamatkan kalau jatuh kedalamnya?

Kalau begitu, rasanya tidak mungkin bisa diperbaiki...

“Hati manusia itu mudah banget terluka. Nyatanya, hatiku terluka banget, besar banget.”

“Aku minta maaf...”

“Rasanya aku sudah menjadi barang rusak.”

“Itu memiliki makna yang berbeda!”

Apakah dia sengaja melontarkan pernyataan yang aneh seperti ini untuk melucu?

Tapi, tidak terlihat seperti itu. Jika dia serius, ini agak berbahaya.

“Jadi, kupikir aku perlu mengalihkan perhatian, apa kamu punya ide bagus?”

“Ide ya...”

Aku berpikir keras. Pengalih perhatian, pelepasan stres?

Kalau aku, mungkin bermain game atau melihat uang yang terkumpul di buku tabungan...

Tapi di sini lebih baik memilih yang aman—

“Gimana kalau tidur siang untuk melepas stres?”

“Ditolak.” Jawabannya cepat... Dan suaranya dingin.

“Belanja besar-besaran?”

“Tidak mungkin.”

“Mukbang?”

“Itu tidak masuk akal.”

Kartu as-ku sudah habis... Aku kehabisan ide.

Kalau begitu, hal yang paling tidak mungkin adalah...

“Kalau gitu, gimana kalau kita pergi bermain untuk melepaskan stres?”

“Ayo lakukan itu, Tokiwagi-san.”

“Hah? Eh, aku?”

“Tokiwagi-san, tolong tentukan tanggal dan tempatnya ya? Aku akan menantikannya.”

Pikiranku berhenti sejenak...

Bermain dengan Wakamiya... maksudnya kencan?

Tidak mungkin! Tidak mungkin! Bahkan jika langit dan bumi terbalik, itu tidak mungkin terjadi.

Coba bayangkan. Aku dan Wakamiya berjalan berdampingan...

Kami terlalu tidak cocok, pasti akan terlihat seperti “orang menyedihkan yang menyewa pacar”.

Itu terlalu menyakitkan dalam berbagai hal...

“Hei, tunggu dulu! Kenapa aku juga harus ikut?! Bukannya biasanya kamu ‘bermain’ sama Fuji-san atau teman yang lain?!”

“Memang, itu juga ide bagus.”

Aku diam-diam menghela napas lega karena arah pembicaraan berubah.

Dengan begini aman—

“Tapi, kali ini aku pengen pergi bersama Tokiwagi-san.”

Tidak berhasil...

Aku mencoba sedikit perlawanan.

“Ujian sudah dekat...”

“Kalau begitu, setelah ujian ya. ‘Pesta Perayaan Selesai Ujian’ mungkin bagus.”

“Kerja paruh waktu...”

“Serahkan penyesuaian shift padaku.”

Kenapa dia menutup semua jalan keluarku begini? Aku tak bisa membayangkan bisa menang dalam adu argumen...

“Apakah... ini sudah final?”

“Ya. Sekali aku memutuskan sesuatu, aku tidak akan mengubahnya.”

“Gitu ya...”

Aku bisa merasakan tekad kuat dari mata Wakamiya. Astaga, dia benar-benar keras kepala...

“Nah, karena pembicaraan kita sudah selesai, gimana kalau kita mulai belajar?”

“Eh, sekarang juga!?”

Riakami menatapku dengan tatapan sinis mendengar kata-kataku.

“Kalau tidak sering belajar, materinya tidak bakal melekat di otak.”

“Tapi jujur aja, mood-ku lagi tidak enak untuk belajar sekarang...”

“Mood itu sesuatu yang bisa kamu kendalikan sendiri lho?”

“Aku tidak punya teknik tingkat tinggi kayak gitu...”

“Oh gitu ya... Aku terkejut.”

“Aku yang lebih terkejut.”

Ngomong-ngomong, Wakamiya bisa mengendalikannya ya. Aku kagum dengan fakta itu.

Sepertinya tidak ada yang tidak bisa dilakukan Riakami ya? Sejauh ini aku belum menemukan kelemahannya.

“Kalau gitu, mari kita coba mengendalikannya.”

“Eh, kita akan melakukan sesuatu?”

Pipiku menegang secara alami.

“...Tolong jangan pasang wajah tidak suka yang keliatan jelas gitu. Yah, anggap aja kamu ditipu dan lakuin aja.”

“Hahh, mau gimana lagi...”


Pada akhirnya aku mengikutinya... Yah, meski kutolak, Wakamiya pasti tidak akan menyerah.

“Siap? Pertama, angkat kepalan tangan tinggi-tinggi.”

“Kayak gini?”

Aku mengangkat tangan kananku.

“Terus teriak  ‘Menyala Abangkuh!’”

“Nadanya monoton banget...”

“Aku tidak perlu melakukannya. Tokiwagi-san, tolong lakukan dengan semangat yang membara ya.”

“Serius nih... Abis itu sudah selesai kan?”

“Belum, terus senyum lebar.”

“Hah?”

Suara aneh keluar dari mulutku.

“Tidak paham? ‘Senyum lebar’. Bukan senyum bisnis, tapi senyum polos anak laki-laki yang bersemangat pas lagi olahraga, gitu.”

“Jadi tambah susah aja... Agak sulit membayangkannya, dan rasanya sulit dilakukan.”

“Kamu bisa melakukannya saat kerja paruh waktu, jadi pasti bisa.”

Senyum saat kerja paruh waktu bisa kulakukan karena dibayar. Kalau tidak ada untungnya, aku tak ingin menghabiskan energi untuk hal seperti itu. Tapi, kali ini aku merasa sedikit berhutang pada Wakamiya karena kejadian hari ini...

Hahhh, yang menyebalkan adalah aku harus melakukannya.

“Ayo ayo, cepetan.”

“Cih, aku mengerti.”

Aku menarik napas dalam-dalam.

Ini kerja paruh waktu. Ini kerja paruh waktu. Aku mengulang-ulang kalimat itu dalam hati.

“Menyala abangkuh!”

Aku berteriak dengan senyum segar seolah baru saja memenangkan kejuaraan nasional, dengan volume suara yang mungkin bisa mengganggu tetangga.

Ngomong-ngomong, apartemen ini tidak punya tetangga, jadi tidak masalah...
Tapi ini jadi masalah besar bagi kesehatan mentalku.

“............”

Wakamiya menatapku lekat-lekat dengan senyum menawannya.

Dia hanya melihat tanpa mengatakan apa-apa.

Sial! Wajahku panas!

“...Diammu itu menyakitkan.”

“Tokiwagi-san, kamu manis pas lagi senyum ya.”

“Aku tidak butuh penilaian kayak gitu.”

Aku menghela napas dan mengipasi wajahku dengan tangan.

Mungkin ini yang dimaksud dengan wajah yang terbakar.

Wakamiya melihatku, seolah mengintip wajahku.

“Gimana? Sudah semangat?”

“Apanya yang gimana... Wajahku panas. Cuman itu...”

Aku kembali mengipasi wajahku.

“Sebenarnya tidak harus dengan cara ini sih.”

“Hei, gimana dengan rasa maluku ini?”

“Tapi, kamu jadi semangat kan?”

“Yah, memang sih...”

“Kalau gitu berhasil ya. Nah, ayo kita mulai.”

“Iya iya. Aku mengerti...”

Aku menghela napas dan menatap langit-langit.
Tapi, berlawanan dengan sikapku, hatiku terasa cerah.














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !