Ore no Ie ni Nazeka Gakuen no Megami-sama ga Iribitatte Iru Ken Chap 5

Ndrii
0

Chapter 5

Ulang Tahun Sang Dewi 




──Waktu menunjukkan dini hari


Irama “Hohohoho” yang terdengar seperti musik melewati telingaku di pagi buta. 

 

Ketika aku melihat ke luar jendela, satu atau dua bintang berkelip dengan cahaya yang samar, seolah akan segera menghilang.


Aku mengusap mataku yang mengantuk karena kelelahan belajar, lalu menuju kamar mandi. Aku membasahi rambutku yang berantakan karena tidur dan menyisirnya dengan sedikit kasar.


“Huamm...”


Aku masih sangat mengantuk... Aku terbangun sebelum menerima morning call dari Riakami.


Sedikit disayangkan... Atau mungkin ada rasa lega karena tidak harus menghadapi tekanan melalui telepon darinya... Entahlah, perasaanku campur aduk.  


“Mungkin ini juga berkat Wakamiya-san...”


Aku melihat wajahku yang terpantul di cermin, lalu mencubit pipiku sendiri.


Seperti yang dikatakan Kenichi, memang warna wajahku tampak lebih baik.


Setidaknya aku tidak terlihat seperti ikan mati.  


“Kemarin... banyak hal terjadi ya.”


Kemarin benar-benar hari yang penuh kejutan.


Pasti itu adalah hari tersibuk dalam hidupku. Aku lelah, tapi juga bahagia. 


Tapi pada saat yang sama, ada semacam kegelisahan menyelubungi tubuhku, yang membuatku merasa tidak nyaman.


Mungkin karena itu aku tidak bisa tidur nyenyak dan terbangun...


“...Aku benar-benar harus berterima kasih.”


Aku mengambil kemeja putih yang tergantung rapi di lemari pakaian. Pasti karena Wakamiya yang merapikannya sehingga tidak ada lecek sedikitpun.


Nah, bagaimana caranya aku membalas budi pada Wakamiya?


Membelikannya donat?  


Tidak, itu tidak cukup. Tapi kalau begitu, apa yang bagus ya? Aku tidak bisa memikirkannya.


──Ayayayay bang joni suka jablay


Saat aku memikirkan hal itu, ponsel di atas meja bergetar. 


Ponsel itu menyala dan menampilkan nama “Wakamiya Rin”.


Aku melihat jam dan menghela nafas kecil, “Fuh”.


“Sudah waktunya ya...”


Morning call darinya selalu tepat waktu. Tidak meleset sedikitpun.


Dia seperti mesin presisi.  


“...Selamat pagi.”

[“Selamat pagi, Tokiwagi-san.”]


Suara jernihnya terdengar di seberang telepon. Suaranya datar, tanpa intonasi.


“Kayak biasa, kamu sangat tepat waktu.”


[“Karena memegang janji adalah prinsipku.”]  


“Kamu benar-benar disiplin.”


[“Tapi, tumben banget kamu sudah bangun sebelum kutelepon? Ada apa?”]


“Yah, sesekali aku pengen bangun sebelum dibangunkan olehmu.”  


[“Oh~”] Terdengar suara tepuk tangan dan decakan kagum dari seberang telepon. Sepertinya Wakamiya terkejut.  


“Yah, aku kadang memang begitu.”


[“Fufufu. Syukurlah kalau gitu. Tapi di sisi lain, aku jadi sedikit sedih juga.”]


“Apa maksudmu?”


[“Karena tugas membangunkan Anda tidak ada lagi, berarti kesenanganku berkurang.”]


“Membangunkanku adalah kesenangan?”  


Aku tidak begitu mengerti kenapa membangunkanku menjadi kesenangan baginya. Tapi mungkin dia merasa sedih karena pekerjaannya yang sudah diputuskannya sendiri sekarang menghilang begitu saja.  


“Tapi kali ini cuman kebetulan doang kok..., jadi tolong bangunkan aku lagi ya...”


[“Tentu saja. Aku akan membangunkanmu dengan tegas.”]


Meski dengan nada datar, entah kenapa aku merasa nada suaranya sedikit lebih bersemangat.


[“Apa kamu sudah sarapan ini?”]  


“Belum.”


[“Gitu ya. Kalau gitu, mau sarapan bareng?”]


“Boleh aja sih...”


Meski aku tidak bisa melihat wajahnya, aku sedikit tersipu. Aku menggaruk pipiku sambil menjawab.  


[“Kalau gitu aku bakal ke sana 30 menit lagi ya.”]


“Baiklah.”


◇◇◇  


Selesai makan, aku memandangi Wakamiya yang mencuci piring dengan pandangan kosong.


Kakinya yang ramping sangat indah. Segar, mengkilap, dan tampak bersih tanpa noda sama sekali.  


Apa yang harus kulakukan untuk mendapatkan bentuk tubuh seperti itu?  


Aku tidak tahu... Rahasia dari kecantikan alami yang bisa disebut sebagai keindahan bentuk ini.


“Maaf membuatmu menunggu lama. Kalau gitu, ayo berangkat ke sekolah.”


“Ah... Tapi kalau jalan kaki, kita tidak akan sempat kan?”


Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lebih.

Dan jika berjalan kaki dari sini, jaraknya cukup jauh sehingga mustahil kami akan tiba tepat waktu.


Lagipula, aku tidak mau menyuruh seorang gadis berjalan kaki sejauh itu.


“Tidak masalah. Hari ini aku naik sepeda.”


“Eh, benarkah? Kamu sudah bersiap-siap ya.”


Riakami naik sepeda? Aku tidak bisa membayangkan dirinya mengayuh sepeda.


Tapi, kalau Riakami berangkat sekolah naik sepeda, orang-orang yang berpapasan dengannya mungkin akan terpesona dan mengikutinya seperti anak-anak yang terkena mantra si peniup seruling Hamelin... Ah, sebaiknya aku tidak memikirkannya lebih lanjut.


“Iya. Jadi kalau seandainya Tokiwagi-san kabur, aku bisa mengejarmu.”


“Aku tidak akan kabur kok. Apa kamu menganggapku orang yang kayak gitu?”


“Waktu itu, dii tempat parkir sepeda kamu mengabaikanku, dan pas kupanggil kamu terus berjalan... Bukannya itu semacam contohnya?”


“...Maafkan aku.”


Ternyata dia masih menyimpan kejadian itu di hati. Aku meminta maaf dengan gestur seolah akan bersujud.  


“Sudah, jangan lakukan hal kayak gitu lagi. Kalau kamu mengulanginya lagi... Aku akan melakukan hal yang sama kayak kemarin tanpa basa-basi lagi.”


“Tolong jangan lakukan itu.”


Aku menghela nafas panjang dan membiarkan bahuku turun lesu.


Kalau dia benar-benar melakukan hal seperti itu, aku akan dibenci seumur hidup oleh para lelaki di sekitarku...


“Tapi, Wakamiya-san naik sepeda itu... bukannya agak janggal ya?”


“Memangnya kenapa? Aku bisa naik sepeda kok.”

“Bukan soal bisa atau tidak bisa naik sepedanya...”


“Terus apa masalahnya?”  


“Yah, untuk seorang gadis... Dengan rok... pasti...”


Aku mengalihkan pandangan dari tatapan Wakamiya.


Lalu terdengar tawa kecil “Fufufu” dari Wakamiya.


“Tidak masalah kok. Sama sekali tidak ada masalah.”


“Benarkah?”


“Iya. Mau aku tunjukkan?”  


“Hah!?”


Sambil berkata begitu, Wakamiya mengangkat sedikit roknya tanpa rasa malu sama sekali.


Aku dengan panik menutup wajahku dengan tangan.


Dan yang terlihat dari celah-celah jari adalah –


“...Celana pendek biru tua...?”


“Tentu saja. Memangnya apa lagi?”


“Hahaha...”


Benar-benar Riakami... Dia benar-benar sempurna dalam menjaga wilayah pribadinya.


Aku merasa lega, tapi juga kecewa, dan merasa kalah.


Itulah perasaan campur aduk yang kurasakan saat ini.



Setelah pagi yang sangat tidak biasa berkeliling bersepeda bersama seorang gadis cantik, Wakamiya dan aku berada di depan kelas. Karena ini jam masuk, lorong dipenuhi orang.

  Seseorang yang sedang mengobrol dengan temannya. Seseorang yang sedang belajar untuk tes kosakata. Seseorang tidur telungkup di meja. Ada berbagai jenis.

  Sementara itu, Riakami inilah yang menarik banyak perhatian.

  Banyak dari mereka yang memiliki mata iri, tapi... Hari ini, tatapan ramah itu berubah menjadi sesuatu yang aneh, dan terlebih lagi, tatapan itu terfokus padaku. Beberapa dari mereka memasang tatapan marah.

──Aku tahu alasannya.

“Kalau tahu kenapa tidak di selesaikan aja?” Mungkin itu yang kalian pikirkan.

Tapi, aku tidak bisa menyelesaikannya.

Lebih tepatnya, ini tidak bisa di selesaikan.

Ya, solusi termudah adalah menjaga jarak dan tidak terlibat dengannya.

Namun, aku tahu itu sia-sia sejak kemarin. Kalaupun hari ini aku mencoba melakukan hal yang sama untuk menyelesaikannya, Riakami pasti akan mencegah semuanya.

Dan, eksekusi publik seperti kemarin mungkin akan terjadi lagi... Aku tidak bisa membayangkan masa depan selain itu.

“Tokiwagi-san, ada apa?”

“Ah, tidak. Aku cuman berpikir betapa sulitnya menjadi Wakamiya-san.”

“Apa maksudmu?”

Wakamiya memiringkan kepalanya dengan ekspresi bingung.

Gestur kecil yang manis itu membuat jantungku berdebar.

“Yah, kamu sangat diperhatikan kan? Aku pikir pasti sulit kalau selalu kayak gitu.”
“Hmm, ya benar. Memang kadang-kadang itu mengganggu, tapi... Sekarang aku tidak terlalu memikirkannya.”

“Jadi kamu sudah terbiasa ya.”

Seperti yang diharapkan dari orang terkenal. Dia pasti sudah terbiasa menjadi pusat perhatian.

Kalau aku berada di posisinya, aku yakin pasti akan mengurung diri di rumah.

Aku akan berteriak, “Tatapan mereka menakutkan!” atau “Jangan lihat akuuu!”

Karena itu, aku tidak bisa membayangkan betapa sulitnya baginya untuk terbiasa dengan situasi ini.

Hal itu membuatku sedikit sedih... Meskipun itu tidak bisa dihindari...

“Bukan berarti aku terbiasa. Terus-menerus menjadi bahan pembicaraan bukanlah hal yang menyenangkan... Tidak ada orang yang tidak merasakan apa-apa ketika melihat orang lain menunjuk dan berbisik, ‘Hei, lihat, itu dia’.”

“Benar juga...”

“Tapi, manusia bisa mengabaikan hal-hal kayak gitu kalau mereka fokus pada hal lain.”

“Ah, aku mengerti. Mungkin memang begitu ya.”

Memang benar, ketika kita berkonsentrasi pada sesuatu, kita cenderung tidak memperhatikan kebisingan di sekitar.

Seperti atlet yang masuk ke dalam “zone” mereka.

Dia pernah bilang “mood bisa dikontrol”, jadi mungkin bagi Riakami, mengatur hal-hal internal seperti itu adalah hal yang mudah.

“Dalam kasusku, akhir-akhir ini aku terlalu fokus memikirkan satu hal sampai tidak memperhatikan hal lain.”

“Oh~ Apa yang membuat Wakamiya-san begitu terpaku? Apakah donat?”

“Aku tidak semaniak itu sama makanan! Y-yah... memang aku suka donat... Tapi...”

Pipi Wakamiya sedikit memerah, dan rasa malu samar-samar terlihat di wajahnya.

Perbedaan dengan sikapnya yang biasa membuatku ikut merasa malu. Biasanya dia tidak menunjukkan emosi sebanyak ini...

“Hmm, kalau gitu apa lagi yang membuatmu fokus?”

“Kalau sekarang, ‘gimana cara meningkatkan nilai Tokiwagi-san’.”

“Sudah berubah jadi guru aja kamu.”

“Selain itu, ‘menyiapkan makanan yang seimbang’. Dan juga, aku tertarik dengan ‘cara mendisiplinkan anak nakal’. Masih banyak hal yang ingin kupelajari.”

“Hei, kenapa kamu melihatku pas bilang itu...”

Dia menatapku dengan mata yang penuh tekad... tapi kurasa dia tidak perlu terlalu bersemangat.

“Aku sudah berjanji akan menanganimu.”

“Kamu memang bilang gitu... Tapi apakah itu serius?”

“Tentu saja serius.”

“Kamu tidak perlu memaksakan diri buat menepati janji itu lho? Lihat, aku ini tidak bisa belajar, jadi kurasa hal yang mustahil tetap mustahil.”

“Menepati janji itu harus. Karena itu, aku akan melakukan apa pun untuk mencapainya.”

Dia mengepalkan tangannya di depan dada, menyemangati dirinya sendiri.

“Yah, jangan terlalu memaksakan diri. Aku juga bakal berusaha sewajarnya bisr tidak menjadi murid yang buruk.”

“Fufufu.”

“...Apa ada yang lucu?”

“Aku cuman merasa geli mendengar Tokiwagi-san bilang ‘sewajarnya’.”

“Hm?”

“Tokiwagi-san sering merendahkan diri, tapi kamu selalu mengerjakan tugas yang diberikan dengan baik, dan dari catatanmu terlihat usaha untuk memahami apa yang diajarkan. Jadi kamu sudah lebih dari ‘sewajarnya’ lho.”

“...Berisik. tetap aja itu sewajarnya...”

“Fufufu. Baiklah, anggap aja gitu.”

Aku memalingkan wajah dan memandang ke luar jendela, melihat para siswa yang berjalan di luar.

Ada juga yang berlari terburu-buru, sepertinya sudah waktunya.

“Kalau gitu, aku akan masuk ke kelas sekarang.”

Mendengar kata-kataku, Wakamiya terkejut dan melihat jam. Lalu dia menghela napas kecil.

“Benar juga, sudah waktunya.”

“Ya, gitulah.”

“Kalau gitu, aku juga akan ke kelas. Tokiwagi-san, jangan tidur pas pelajaran oke?”

“Aku tahu. Sampai nanti.”

“Ya, permisi.”

Dia membungkuk sopan dan pergi. Aku masuk ke kelas tanpa menunggu sampai dia menghilang dari pandangan.

Begitu aku masuk, kelas yang tadinya riuh mendadak hening, dan semua mata tertuju padaku. Hahh... padahal aku bukan tontonan...

Di tengah suasana canggung itu, temanku yang duduk di kursiku menyeringai, terlihat tidak sabar menungguku.

Aku menghela napas dan dengan enggan berjalan ke kursiku.

“Wah, manusia memang bisa berubah kalau ada wanita ya.”

Begitu aku mendekat, Kenichi bergumam dengan pandangan menerawang.

Ekspresi melamunnya itu terlihat keren karena dia tampan, membuatku kesal.

“Kenapa kamu selalu ada di kursiku? Jangan urus aku, sana akrab aja sama pacarmu.”
(Tln : kata “akrab” di sini di rawnya tulisannya “nakayoku” yang bisa bermakna “berhubungan baik” “akrab” “dekat” “akur” “berbaikan” jadi bingung aja mau nulis yg mana soalnya semua rada ga cocok, jadi suka suka klean mau artiin kek mana)

Aku membuka buku pelajaran dan menandai “bagian yang kurasa akan sulit” dengan garis. 

Perintah dari Riakami masih berlanjut.

Hmm. Garisnya lebih sedikit dari sebelumnya. Sepertinya aku mulai bisa merasakan bagian mana yang perlu ditandai dan mana yang mungkin akan sulit. Mungkin karena cara mengajar Riakami yang bagus...

“Akrab... Kami tidak bermesraan kayak, Towa. Sudah pamer dari pagi.”

“Hubungan kami bukan kayak gitu.”

“Benarkah? Tapi tadi pagi aku lihat tiba-tiba Towa dan Wakamiya berdua lho. Aku kaget banget! Apa yang terjadi? Ceritakan padaku dong, gimana awal mulanya?”

“Aku tidak perlu bicara pada pengeras suara berjalan.”

“Kejam!”

Kenichi memang punya banyak kenalan. Hasilnya dari sifatnya yang aktif bersosialisasi, khas anak populer.

Yah, bukan berarti dia ember bocor. Malah menurutku dia cukup bisa diandalkan untuk menjaga rahasia.

Tapi sikapnya yang seolah “tahu segalanya” itu... Membuatku merasa kalah, jadi aku tidak mau cerita.

Hanya itu saja.

Lagipula, aku sendiri juga tidak mengerti.

Kenapa tiba-tiba aku jadi dekat dengan Wakamiya?

Kenapa dia baik padaku?

Memang ada semacam rasa tanggung jawab, tapi tetap saja aku tidak paham.

“Tapi, kalian bersama di malam hari kan?”

“Hah...?”

Aku memasang wajah heran untuk menyembunyikan kekagetanku.

“Ada yang bilang melihat kalian jalan baremg di malam hari.”

“Hmm. Itu pasti cuman kebetulan ketemu pas pulang kerja paruh waktu, terus kami pulang bareng.”

“Oh ya? Dua hari berturut-turut?”

“...Ah. Ya... dua hari berturut-turut...” Aku mengalihkan pandangan dari Kenichi. Aku tidak menyangka kami terlihat dua hari berturut-turut...

“Sudahlah, akuin aja.”

“Kalau tidak ada yang perlu diakui, ya tidak ada yang bisa kuakui.”

“Jangan malu-malu.”

“Aku tidak malu-malu.”

Meski aku mengelak, dia tetap menyeringai.
Ini bukan kesimpulan, tapi prasangka sempurna.

“Keras kepala banget sih. Yah, aku senang ada orang lain yang bisa menghargai kebaikan Towa.”

“Oh gitu. Pokoknya, kamu mengganggu belajarku, sana pergi.”

“Tidak kusangka akan mendengar kata-kata itu darimu... Kekuatan cinta memang luar biasa ya.”

“Dengarkan aku! Dan jangan selalu mengartikan semuanya ke arah sana, dasar otak gula.”

Aku menghela napas dan mulai bersiap untuk pelajaran berikutnya.

Ngomong-ngomong, tentu saja PR-ku sudah selesai. Meski ini pertama kalinya aku mengumpulkan PR sejak masuk SMA... Yah, aku takut pada Wakamiya kalau tidak mengerjakan PR...

“Towa, serius nih... apa yang terjadi kemarin dan hari ini? Bukannya kamu selalu mengelak...?”

“Aku cuman belajar... Bahwa laki-laki tidak bisa menang melawan perempuan.”

Aku menjawab dengan jujur pada Kenichi yang tiba-tiba memasang wajah serius.

Ya, laki-laki pasti tidak bisa menang melawan air mata perempuan...

“Hmm. Yah, menurutku sikapmu kemarin itu ‘tidak oke’, jadi aku senang melihat perubahanmu ini.”

“Soal itu... Maaf ya.”

"Pastikan kamu minta maaf dengan benar pada Wakamiya soal kemarin... Eh, tunggu dulu..."

Kenichi meletakkan tangan di dagunya dan bergumam, berpikir keras.

Aku melanjutkan persiapanku sambil meliriknya.

"Ayo siapkan hadiah!"

"Hah? Kenapa jadi gitu... Aku sudah minta maaf kok."

"Kamu tidak mengerti, Towa. Minta maaf dengan mulut itu mudah. Laki-laki sering berpikir 'Sudah minta maaf kan? Itu sudah cukup,' tapi sebenarnya itu tidak cukup."

Aku tidak mengerti maksud Kenichi. Bukankah biasanya selesai kalau sudah diucapkan?
Aku meletakkan pensilku dan berpikir keras.

"Maksudmu aku harus menyiapkan hadiah permintaan maaf?"

"Ah! Kamu benar-benar tidak mengerti ya. Kalau kamu lakukan itu, dia akan berpikir 'Oh, jadi kamu pikir memberi barang doang sudah cukup?'"

"Hah... Terus aku harus gimana? Apa aku harus minta maaf lagi tanpa memberi apa-apa?"

"Eh... Hahh, aku kasihan padamu. Towa, kamu harus belajar memahami hati wanita dulu."

Kenichi membuat gestur berlebihan seperti komedian Amerika.

Lagipula, mustahil bagiku untuk menjelaskan tentang hati wanita... Pengalamanku tidak cukup untuk memahami itu.

"Jawaban yang benar di sini adalah 'Sampaikan rasa terima kasih, dan siapkan hadiah secara diam-diam untuknya'."

"Bukan minta maaf?"

"Tentu saja lebih baik memberi sesuatu dengan rasa terima kasih daripada minta maaf. Lagian, coba pikir. Apa kamu pikir Wakamiya bakal menerima kalau kamu bilang 'Ini hadiah permintaan maafku'?"

"Benar juga... Kayaknya tidak..." Walaupun aku belum lama mengenal Wakamiya,
tapi kurasa dia akan menolak jika kuberi hadiah permintaan maaf.

Dia mungkin akan berkata "Itu sudah sewajarnya. Aku mengerti perasaanmu yang ingin menjauh waktu itu. Jadi tidak perlu."

Wakamiya sepertinya bukan orang yang menginginkan imbalan atau balasan. Entah kenapa aku merasa begitu.

Pada akhirnya dia mungkin akan berkata "Aku cuman pengen ikut campur aja." Dan selesai begitu saja.

Kalau dipikir-pikir...

"Kenichi, aku baru kepikiran... kurasa dia juga tidak akan menerima ungkapan terima kasih dariku."

Mendengar kata-kataku, Kenichi tersenyum licik.

Wajahnya seolah berkata "Aku menunggu jawaban itu!"

"Wah, Towa! Kamu paham juga ya!"

"Hahh, kalau sudah paham begitu kita kembali ke awal kan. Apa gunanya percakapan kita tadi... Dasar."

"Haha. Maaf maaf!"

Kenichi tertawa riang tanpa beban.

Sial, ketampanannya jadi makin menonjol...

"Tidak, tidak sia-sia kok."

"Jangan bertele-tele... Cepat katakan kesimpulannya."

"Iya iya. Towa memang tidak sabaran ya."

"Bodo amat."

Aku menghela napas. Kembalikan waktuku yang kuhabiskan untuk berpikir "Hadiah apa yang bagus ya?"

"Sudah, jangan marah! Yang kubilang tentang 'rasa terima kasih' dan 'persiapkan diam-diam' itu bukan bohong, dan waktu yang kamu habiskan untuk memikirkannya tidak sia-sia kok."

"Jangan seenaknya membaca pikiranku."

Seharusnya pikiranku tidak semudah itu dibaca...

Tapi Kenichi bisa, dan Wakamiya juga bisa menebak tindakanku...

Apa mungkin tanpa kusadari, cara berpikirku sangat sederhana?

"Pokoknya, kesimpulannya adalah ulang tahun Wakamiya. Berikan hadiah di hari itu."

"Kalau gitu bilang aja dari awal..."

"Benarkah? Kalau aku langsung bilang siapkan hadiah ulang tahun, kamu pasti bakal bilang 'Bukannya itu merepotkan kalau tiba-tiba ngasih? Hal kayak gitu tidak perlu' kan?"

"A-aku tidak akan bilang gitu!"

"Tuh kan, kamu tergagap."

Aku berdecak kesal dan menopang dagu.

"Tapi, 'perlu menyampaikan rasa terima kasih', 'ada hal yang perlu dimintai maaf', dan sekarang kamu tahu tentang 'ulang tahunnya'... Kalau begini, kamu tidak punya pilihan selain melakukannya kan?"

"Cara mengarahkanmu berbelit-belit..."

"Tapi efektif untukmu kan?"

"Mungkin...."

Hahh, jadi selama ini aku hanya menari di telapak tangan Kenichi...

Aku mendongak ke langit-langit dan membiarkan bahuku turun lesu.

"Hahh, aku mengerti. Aku menyerah. Aku benar-benar tidak tahu soal hadiah... Tolong ajari aku banyak hal."

"Oke! Serahkan padaku!!"

Sampai guru datang, aku diajarkan berbagai hal oleh si ikemen yang tersenyum lebar dengan ibu jari teracung.

◇◇◇

Memusingkan. Ya, sangat memusingkan.

Aku melirik seorang gadis cantik yang sedang rajin mengerjakan pekerjaan rumah.

Rambut panjangnya diikat ke belakang, yang disebut ponytail. Aku hampir terpesona melihat tengkuknya yang indah, tapi aku menahan diri.

Hari ini aku yang tidak ada pekerjaan paruh waktu langsung pulang ke rumah...

Tentu saja, Wakamiya mengikutiku. Yah, aku juga sudah tidak berniat untuk kabur, jadi tidak masalah.

Meski tatapan orang-orang sekitar terasa menyakitkan...

Katanya "Hari ini kita bisa belajar banyak".

Dan dengan gerakan terampil, dia mulai membersihkan rumah, mencuci, dan menyiapkan makanan.

Aku sangat berterima kasih.

Meski dalam situasi seperti itu, kepalaku penuh dengan pemikiran tentang suatu masalah.

Aku harus belajar tapi penaku tidak bergerak...

Melihat keadaanku, Wakamiya sepertinya bingung dan menatap wajahku.

"Tokiwagi-san, kayaknya kamu melamun. Apa ada masalah?"

"Ah, aku cuman ngerasa agak capek. Soalnya selama ini aku tidak pernah belajar"

Aku menjawab dengan alasan yang tiba-tiba terpikirkan.

Yah, tidak sepenuhnya salah. Memang benar aku lelah, jadi tidak bohong.

Tapi itu juga bukan isi hatiku yang sebenarnya...

"Kalau gitu, meski agak cepat, ayo kita istirahat. Sekarang aku akan menyiapkan teh dan camilan, jadi silakan duduk dan tunggu."

"Oh, sankyu..."

Aku meregangkan badan dan menghela napas dalam-dalam.

Jadi, apa yang harus kulakukan...

Aku sudah diberitahu banyak hal oleh Kenichi di sekolah.

Tapi... Aku tidak tahu hal penting yaitu "tanggal ulang tahun Wakamiya".

Saat kutanya Kenichi, dia hanya menjawab "Aku tidak tahu. Itu bagianmu untuk berusaha sendiri kan?" sambil nyengir dan tidak memberitahuku.

Dari sikapnya, sepertinya dia tahu... Kalau begitu, kupikir dia bisa memberitahuku...

Ada tiga cara yang terpikirkan untuk mengetahui tanggal ulang tahunnya.

Pertama, bertanya langsung "Wakamiya, kapan ulang tahunmu?"

Kedua, memeriksa dokumen identitas seperti kartu asuransi kesehatan.

Ketiga, melihat buku pelajar (kartu pelajar) yang dimiliki semua siswa.

Sekilas, cara pertama tampak paling mudah... Tapi jika aku bertanya begitu saja, dengan sifatnya yang seperti itu... Dia pasti akan menolak hadiah ulang tahun dengan rendah hati.

Jadi yang perlu kulakukan adalah "mengetahui tanggal ulang tahunnya tanpa ketahuan" dan "memberikan hadiah sebelum ditolak". Aku harus menyelesaikan dua hal ini. Dan tanpa disadari Wakamiya.

Karena itu, pilihan pertama tidak mungkin.

"Ini mustahil... Sungguh."

Aku menundukkan kepala ke meja dan bergumam pelan.

Seharusnya aku bertanya cara yang bagus pada Kenichi...

"Apakah ada soal yang sulit?"

Tiba-tiba ada suara dari belakang, membuatku terkejut.

Wakamiya memiringkan kepala dengan ekspresi bingung, lalu mulai meletakkan teh dan camilan di meja.

Aku mengambil satu kue dan memasukkannya ke mulut.

"Hmm. Yah, lumayan. Tapi sudah terpecahkan, jadi tidak apa-apa.”

"Begitukah? Kalau ada apa-apa, jangan sungkan mengatakannya ya.”

"Iya, kalau ada apa-apa akan kukatakan.”

Jadi, apa yang harus kulakukan...

Untuk mengetahui tanggal ulang tahun Wakamiya, hanya ada pilihan kedua dan ketiga.

Pertama, dalam kasus Wakamiya, dia mungkin tidak selalu membawa kartu identitas. Pasti hanya diambil dari tempat penyimpanan saat diperlukan. Dia pasti memikirkan risiko kehilangan jika selalu dibawa.

Kalau begitu hanya ada buku pelajar... Di sekolahku, buku pelajar memiliki lambang sekolah di belakang dan foto ditempel di depan, dengan kolom tanggal lahir di bagian depan.

Tapi sulit untuk melihatnya.

Aku pernah melihatnya dibawa, tapi sulit untuk meminta melihatnya. Lagipula, rasanya dia tidak akan dengan mudah memperlihatkan sesuatu yang ada foto dirinya.

Foto untuk dokumen identitas biasanya tidak terlalu bagus...

Ekspresi serius dengan wajah datar. Aku juga tidak ingin dilihat.

Ngomong-ngomong, fotoku sendiri adalah foto jelek dengan mata setengah terbuka... harus disegel seumur hidup.

"Memang ada yang aneh.”

"Uwaa!? Aduh!?"

Tanpa kusadari Wakamiya sudah ada di depan mataku, membuatku terkejut dan lututku membentur meja dengan keras. Rasanya nyut-nyutan...

"Kamu tidak apa-apa? Maaf mengejutkanmu..."

Wakamiya kembali mendekat, menatapku dengan khawatir.

Rasa sakit dari lutut yang terbentur dan detak jantung yang kencang bercampur, membuat tubuhku terasa aneh dan panas.

"Tidak, akulah yang harusnya minta maaf. Aku sedikit melamun tadi..."

"...Memang ada yang aneh. Ceritain aja apa pun itu.”

Dia meletakkan tangannya di atas tanganku, matanya yang jernih seolah menerawang semuanya menatapku.

Tatapan itu seolah berkata "Aku tidak akan berhenti sampai kamu bicara".

Hahh, aku lemah terhadap tatapan ini... Aku tersenyum masam dan menghela napas pelan.

"Ini bukan masalah besar sih... Tapi tidak apa-apa?"

"Tentu saja tidak apa-apa. Ceritain aja semuanya.”

"Bukan sesuatu yang perlu dibicarakan secara formal sih... Yah, aku cuman merasa tidak tahu apa-apa.”

"Maksudnya tidak tahu apa-apa?"

"Tentang pelajaran dan hubungan antar manusia, terutama yang kedua. Bahkan tentang Kenichi yang sering kuajak bicara pun, banyak hal yang tidak kuketahui. Terus, setelah kupikir-pikir, aku sadar bahwa aku tidak tahu apa-apa tentang teman-teman sekelasku.”

"Oh, jadi gitu.”

"Yah, aku cuman menyadari hal yang tidak penting.”

Aku mendongak ke langit dan menghela napas. Melihatku seperti itu, Wakamiya tersenyum lembut.

"Menurutku itu bukan hal yang tidak penting lho.”

"Begitukah?"

"Bukannya menyadari sesuatu berarti kamu 'mengetahui' apa yang tadinya tidak kamu ketahui? Menurutku itu aja sudah merupakan kemajuan besar.”

"...Kemajuan?"

"Iya. Kalau tidak sadar, kita tidak akan tahu bahwa kita tidak tahu, jadi kita juga tidak akan berpikir untuk memperbaikinya. Tapi kalau sadar, muncul kesempatan untuk memperbaiki diri, menurutku begitu.”

"Aku mengerti..."

"Kesadaran yang memunculkan pikiran 'sebaiknya begini' atau 'aku ingin tahu lebih banyak' itulah yang mengarah pada pertumbuhan.”

"Gitu ya... Jadi, bisa berpikir kayak gitu aja sudah bagus ya.”

"Menurutku sih gitu. Karena itu, ini untukmu.”

Wakamiya mengeluarkan buku pelajar dari tasnya dan meletakkannya di tanganku. Perkembangan yang tak terduga ini membuatku berdebar, berpikir "Apakah niatku terbaca?"

"Perjalanan seribu mil dimulai dari satu langkah. Kalau mau, lihat punyaku dulu. Ah, tapi sebentar aja ya? Aku tidak pengen kamu melihat fotoku terlalu lama.”

"Oh... Tapi kenapa buku pelajar?"

"Tidak perlu? Kukira kamu mulai 'latihan mencocokkan nama dan wajah orang'..."
(Tln : orang jepang punya kecenderungan tidak tahu wajah dan nama orang walau beda di lingkungan yang sama)

"Ah iya iya. Ya, betul banget."

Aku mengangguk. Mungkin terlihat agak berlebihan.

"Fufu. Tokiwagi-san kayaknya memang sulit mengingat nama orang ya.”

"Yah, memang sulit... Jujur aja, aku hampir tidak bisa mencocokkan nama dan wajah teman sekelas.”

"Apa kamu juga tidak tahu namaku?"

"Kalau nama Wakamiya-san aku tahu... Rin kan?"

Merasa malu untuk menyebut namanya, aku menjawab agak kaku.

"Benar. Huruf kanjinya kayak yang tertulis di buku pelajar ya. Karena sering salah antara 'Rin' yang ditulis '凜' dan '凛', tolong diingat sekalian.”

"Ah, jadi karena itu buku pelajar..."

Aku paham. Jadi latihan mencocokkan nama dan wajah orang versi Wakamiya itu maksudnya mengingat nama... Bahkan sampai kanjinya. Berarti... Apa Wakamiya hafal nama semua siswa satu angkatan sampai kanjinya?

"Tapi tentu saja aku tahu nama Wakamiya-san. Aku kan sudah banyak dibantu.”

Aku melihat foto dan tanggal ulang tahun di buku pelajar yang kuterima dari Wakamiya.

Bahkan foto untuk dokumen identitas pun menarik perhatian. Benar-benar luar biasa.

Nah, tanggal ulang tahunnya...

Saat melihat tanggal ulang tahunnya, aku hampir bersuara "Ah" tapi berhasil menahannya.

Yang benar saja, tidak tertulis...

Ya, di buku pelajar itu ada foto wajah, tapi tanggal lahirnya tidak tertulis.

Kupikir Wakamiya yang berkarakter serius pasti menuliskannya, tapi...

"Ada apa?"

"Tidak, bukan apa-apa.”

Aku membalik-balik buku pelajar, mencari petunjuk di mana pun.

Lalu aku menemukan tanggal yang dilingkari di halaman kalender.

"Ini lingkaran apa?"

"Itu ulang tahun Kotone-chan.”

"Hmm. Kukira itu milik Wakamiya-san.”

"Bukan punyaku.”

"Oh, gitu ya. Ngomong-ngomong, kapan?"

Aku bertanya seolah-olah hanya iseng. Aku berusaha terlihat setenang mungkin.

Dalam hati, jantungku berdebar kencang.

"Umm... Yah, ini tanggalnya..."

Wakamiya memiringkan kepalanya dan menunjuk tanggal. Aku hanya menjawab singkat, "Oh, gitu."

Kemudian, untuk mengalihkan perhatian dari kejadian barusan, aku asal membuka-buka buku pelajar dan bergumam tanpa minat, "Hmm... Banyak juga yang ditulis ya."

Saat melihat foto itu lagi, aku merasa Wakamiya berkata "Cara mengalihkan perhatianmu payah lho?" dan tanpa sadar tersenyum masam.

Sementara itu, entah kenapa pipi Wakamiya memerah dan ia menunduk.

Dan, sepertinya ia sedikit gemetar.

"Wakamiya-san, ada apa?"

"...............Tolong"

Biasanya, suaranya jernih dan mudah didengar.

Tapi sekarang suaranya seperti dengungan nyamuk dan sama sekali tidak terdengar...

"Hm? Etto, aku tidak bisa mendengarmu..."

"Jangan melihat fotoku kayak gitu!"

Dia mengambil buku pelajar dariku dan buru-buru memasukkannya ke dalam tas.

Lalu sambil berkata "Mou!" dia menggembungkan pipinya dan menatapku dengan tatapan protes.

"Tokiwagi-san, kamu jahat"

"...Maaf"

Setelah itu, sebagai hukuman, buku pelajar dilihat dan "foto identitas dengan mata setengah terbuka" yang kusembunyikan terpaksa dilihat oleh Wakamiya.

Begitulah, meskipun ada beberapa rintangan, akhirnya aku berhasil mendapatkan informasi yang kuinginkan.

Yah, untuk mendapatkannya, sejarah memalukan-ku harus terungkap, sih...

Mungkin untuk mendapatkan sesuatu, kita harus kehilangan sesuatu. Ya, aku merasa sedikit lebih bijak sekarang.

◇◇◇

Saat pulang, Wakamiya membungkuk sopan untuk berpamitan. Sambil memandangi punggungnya yang menjauh, aku menghela napas pelan.

Lalu, teringat ulang tahun yang baru saja kudengar, aku memegang kepalaku.

"...Langsung pas selesai ujian ya. Menyebalkan..."

-- Seandainya aku tahu lebih cepat.

Itulah yang sebenarnya kurasakan, tapi setidaknya aku terhindar dari situasi terburuk di mana ulang tahunnya sudah lewat, jadi mungkin aku harus bersyukur untuk itu.

Karena "mengetahui tanggal ulang tahun", gerbang pertama sudah berhasil kulewati.

Nah, selanjutnya adalah hadiah yang diinginkan... ya? Aku sudah menerima saran dari Kenichi tentang apa yang sebaiknya kubeli dan sebagainya.

Intinya adalah:

-- Aksesoris itu tidak boleh.

-- Buket bunga juga tidak boleh karena nanti akan merepotkan.

Begitulah.

Menerima aksesoris dari seseorang yang tidak terlalu dekat. Itu pasti menakutkan.

Orang mungkin akan curiga, "Apakah ada maksud tersembunyi?" Yah, bahkan dari awal, menerima sesuatu dari orang yang tidak terlalu dikenal membuatmu tidak ingin memakainya.

Memang, kalau dari kekasih atau orang yang dekat mungkin tidak apa-apa...

Mengenai buket bunga, setelah menerimanya kamu harus merawatnya dengan benar dan memasukkannya ke dalam vas. Ya, itu merepotkan... Jadi ini juga tidak.

Ngomong-ngomong, rekomendasi aman dari Kenichi adalah barang-barang kecil.

Katanya hand cream atau body scrub bagus.

Tapi, merek apa yang bagus? Aku tidak tahu.

"Hahh... Apa aku harus meminta petunjuk dari riajuu..."

Aku mengambil ponselku dan menelepon Kenichi.

Saat ini, orang seperti aku yang hanya punya satu digit kontak di ponselku, sangat cepat menemukan orang yang dimaksud.

Ini cerita yang menyedihkan, tapi... Bahkan tanpa perlu mencari, begitu dibuka langsung muncul...

"Kenichi,  bisa bicara sekarang?"

["Yo~! Senangnya dapat telepon dari Towa~. Kamu menelepon sekarang berarti tidak bisa menanyakan tanggal ulang tahunnya ya? Jadi kamu mengandalkan aku yang bisa diandalkan ini? Wah! Aku senang, sobat!"]

Suara penuh semangat yang menggema di kepalaku.

"...Kayaknya aku akan tutup teleponnya.”

["Ah! Tung--"]

Aku menekan tombol akhiri panggilan dan menghela napas.

Baiklah, apa aku harus mencari informasi di internet saja. Ini zaman digital, sih.

Ponselky terus berdering di sampingku, menuntut perhatian.

Meski kuabaikan, tetap saja terus berdering, membuatku tidak bisa fokus mencari.

Mau bagaimana lagi... Aku harus mengangkatnya.

["Jangan tutup teleponnya!"]

"Habisnya kamu lebih menyebalkan dari yang kukira.”

["Jahat banget sih, padahal kamu yang menelepon!"]

"Habisnya, kamu langsung semangat begitu di jam segini..."

["Tidak apa-apa kan. Lagian, kamu menelepon karena ada perlu kan? Tidak mungkin Towa menelepon cuman buat mengobrol biasa.]

Riajuu yang tetap tajam seperti biasanya. Dalam hati aku berdecak kesal karena tebakannya yang tepat.

"Kenichi, ulang tahun Wakamiya-san tepat setelah ujian selesai..."

["Oh? Oho-ho? Kamu benar-benar menanyakannya ya!”]

Meski merasa kesal dengan nada mengejek Kenichi, aku menahannya. Mungkin urat-urat di dahiku sudah menonjol.

"...Iya, aku nanya. Ada masalah?"

["Tidak, tidak sama sekali! Yah, kupikir Towa yang pengecut itu pasti tidak akan berani bertanya dan akan merengek padaku."]

"Pengecut katamu? Aku bisa melakukannya kalau mau..."

Yah, kali ini aku memang kebetulan mengetahuinya... Tapi tidak perlu kukatakan pada Kenichi.

["Hmm, gitu ya. Kukira kamu tahu secara kebetulan. Misalnya, ada petunjuk tanggal lahir di kalender buku pelajar atau semacamnya."]

"...Bukan. Ini hasil kemampuan bicaraku..."

Wajahku menegang mendengar komentarnya yang tepat sasaran, membuatku curiga apakah dia seorang esper.

Jangan-jangan dia melihat kejadiannya?

["Haha! Yah, itu tidak penting. Jadi, kamu pengen tahu merek atau rekomendasi hadiah yang bagus?"]

"...Hahhh. Ya, tepat."

Aku tertawa getir melalui telepon. Ah... dia menebak terlalu tepat sampai aku malah ingin tertawa.

["Sebenarnya aku juga tidak terlalu tahu soal merek. Ngomong-ngomong Towa, apa yang kamu rencanakan untuk diberikan? Berdasarkan pembicaraan kita siang tadi."]

"Hmm... Mungkin hand cream Mentholatum?"

["Apa?! Yang obat itu?!"]

"Memangnya tidak boleh? Kupikir itu aman..."

["Serius nih..."]

Aku memiringkan kepala mendengar suara Kenichi yang kecewa.

"Lho, bukannya lebih baik membeli yang ukuran besar... Yang bisa diipakai lebih banyak?"

["Tunggu, tunggu! Ini kan hadiah, seharusnya yang wangi dong!"]

"Oh, gitu ya."

Aku mencatat di kertas yang ada di tanganku.
Jadi harus yang sedikit bergaya ya.

["Gawat... aku tidak menyangka sampai separah ini."]

"Jangan memuji."

["Siapa yang memuji!"]

Terdengar helaan napas "Hahh" dari telepon.

Meski dia kecewa, mau bagaimana lagi karena aku memang tidak memiliki pengetahuan. Selama ini aku tidak pernah punya kesempatan memberi hadiah...

["Ini perlu penanganan segera..."]

"Penanganan?"

["Ya! Untuk mendapat pandangan perempuan, jelas harus tanya perempuan! Jadi kuganti ya."]

"Eh, diganti...?"

["...Halo, Tokiwagi-kun? Ini Fuji."]

Suara dingin menusuk bahkan terdengar melalui telepon. Meski tidak bisa melihat ekspresinya, aku merasa seperti sedang ditatap dengan mata dingin.

"Umm... kenapa Fuji-san ada di rumah Kenichi?"

["...Karena aku pacarnya."]

"Tapi, bukannya ini sudah terlalu malam...?"

["...Karena aku pacarnya."]

"Ah, baik..."

Sepertinya dia tidak akan menjawab apa-apa. Aku mengenyahkan pertanyaan-pertanyaan ke sudut pikiranku.

["...Aku sudah mendengar percakapan kalian dari tadi. Aku tahu banyak hal yang salah, jadi catat baik-baik apa yang akan kukatakan."]

"Oke."

["...Jawabannya 'Ya'. Mengerti?"]

"Ya..."

Menakutkan... Keringat dingin mulai membasahi dahiku.

Fuji-san memang gadis cantik yang cool, tapi aku mungkin tidak akan bertahan lima menit dengannya.

Kenichi memang hebat... Bisa pacaran dengan orang seperti itu...

Setelah itu, pelajaran dari Fuji-san berlangsung selama tiga puluh menit.

    ◇◇◇

── Pulang kerja paruh waktu, kami berjalan berdampingan di jalan yang familiar.

Akhir-akhir ini aku mulai terbiasa berjalan pulang bersama seperti ini setelah kerja paruh waktu.

Di tangan Wakamiya ada kantong kertas untuk dibawa pulang, berisi "Mochi Donut" kreasi baru. Aku tersenyum kecil melihatnya memeluk kantong itu dengan sangat hati-hati.

Apakah dia memang sangat menyukai donat...

Wakamiya yang hampir setiap hari membeli donat, katanya kartu stempel yang diberikan setiap pembelian 200 yen sudah hampir penuh.

Berapa banyak sih! Ingin rasanya aku menegurnya, tapi yah, wajar saja karena dia memesan “donat dan teh” hampir setiap hari.

“Tokiwagi-san, apakah kamu siap untuk ujian besok?”

“Yah, lumayan.”

Wakamiya memiringkan kepalanya sedikit dan tersenyum.

Aku terkejut melihat ekspresinya yang mempesona, tapi aku menjawab dengan datar.

Mungkin suaraku sedikit meninggi.

“Fufu. Syukurlah kalau gitu. Tapi, pastikan kamu mengulang materi sampai akhir oke?”

“Ya, aku tahu. Yah, aku sudah belajar lebih banyak dari biasanya, jadi mungkin bakal baik-baik aja.”

Ini adalah periode di mana aku belajar paling banyak sejak masuk SMA. Itu pasti benar.

Lebih tepatnya, aku dipaksa belajar, tapi aku tidak bisa mengeluh karena setiap hari diajar oleh Wakamiya Rin yang sangat cerdas.

Meskipun kebiasaan belajar ini dipaksakan, kurasa ini cukup bermanfaat. Jika harus membayar untuk les privat, waktu bimbingannya pasti tidak sedikit.

“Jangan lengah, nanti kamu bisa tersandung lho? Lagian, belajar dan ujian itu berbeda, jadi anggapan ‘aku sudah belajar jadi pasti aman’ itu tidak berlaku.”

“Oh, gitu ya?”

Perbedaan antara belajar dan ujian? Kupikir keduanya sama-sama menjawab soal, tapi sepertinya berbeda bagi Riakami ini.

“Ya. Ini cuman pendapat pribadiku, tapi menurutku ‘belajar adalah saat kita boleh salah’ sedangkan ‘ujian adalah saat kita menunjukkan hasil’.”

Sementara aku berusaha memahami kata-kata Wakamiya dengan memutar otak, dia terus berbicara dengan nada yang datar tanpa intonasi.

“Karena itu, soal-soal yang kamu pikir ‘bisa’ harus dijawab dengan benar. Jangan berpikir santai kayak pas belajar biasa dengan sikap ‘yang penting dijawab’. Untuk mendapatkan hasil, kamu harus mengumpulkan jawaban benar secara pasti dan konsisten.”

“...Aku tidak pernah memikirkan hal kayak gitu.”

Aku terdiam, terkejut.

Tapi mungkin karena bisa berpikir seperti itulah Riakami begitu sempurna.

“Selain itu, kurasa sulit bagi Tokiwagi-san untuk menjawab semua soal sekarang, jadi tolong prioritaskan soal dan poin-poin yang kutulis di catatan yang kuberikan tempo hari.”

“Ah ayolah~ Siapa tahu aku bisa dapat nilai sempurna, kan?”

“Belajar tidak semudah itu bisa dikuasai dalam sekejap. Waktu yang kita punya sama sekali tidak cukup untuk mengejar ketertinggalan Tokiwagi-san yang telah membolos selama ini cuman pakai waktu yang kupakai untuk mengajarkanmu.”

“Eh... Serius?”

“Kalau tidak belajar, butuh waktu dua kali lipat untuk mengejarnya lho.”

Aku menundukkan kepala dan bahuku merosot mendengar kenyataan kejam yang disampaikan Wakamiya.

Jadi hutang dari tidak belajar selama ini sangat besar ya...

“Hahh. Sejujurnya... Target kali ini cuman menghindari nilai merah sih. Nilai sempurna itu mimpi yang terlalu jauh.”

“Kalau tidak salah, terakhir kali semua nilaimu merah ya?”

“Aku yakin berada di rangking terakhir di angkatan.”

“...Jangan bangga gitu dong.”

Wakamiya menghela napas dan meletakkan tangan di dahinya dengan ekspresi ‘ya ampun’.

Dia tampak kecewa, tapi mau bagaimana lagi, itu kenyataannya. Semua nilaiku satu digit.

“Um, mungkin kamu sudah tahu... Tapi kalau dapat nilai merah dua kali berturut-turut, kamu harus ikut kelas tambahan sepanjang liburan musim panas lho? Sepanjang liburan musim panas. Kamu mengerti?”

“...Serius?”

“Ya, serius.”

Sungguh mengejutkan... Aku memegang kepalaku.

Empat puluh hari liburan musim panas akan habis untuk kelas tambahan? Itu... Tunggu, mungkin tidak terlalu buruk.

Pasti tidak akan disita seharian penuh, dan aku masih bisa kerja paruh waktu setelahnya.

Sayang sekali aku tidak bisa bekerja seharian penuh untuk menghasilkan banyak uang, tapi...

“...Kamu tidak sedang memikirkan hal yang tidak-tidak kan?”

“T-Tidak kok.”

“Bicara terbata-bata itu bikin curiga.”

Wakamiya menatapku dengan tajam... dia sangat curiga. Atau mungkin, mengingat ini Wakamiya, dia mungkin sudah tahu.

“Aku akan kesulitan kalau kamu mendapat nilai merah...”

“Yah, memang merepotkan kalau murid yang kamu ajari nilainya ancur.”

Aku mengucapkan kata-kata yang sedikit mengejek diri sendiri. Mungkin cara bicaraku agak kasar, dan aku langsung menyesalinya begitu mengatakannya. Tapi Wakamiya tampaknya tidak terpengaruh, dan terus menatapku dengan mata jernihnya. Lalu dia berkata,

“Ini liburan musim panas lho? Apa kamu tidak pengen pergi main?”

...Aku memang ingin main sedikit. Tapi kalaupun main, paling hanya ke game center.

“Yah, mungkin sedikit... Tapi sebenarnya aku berencana untuk kerja paruh waktu hampir sepanjang liburan musim panas.”

Melihat reaksiku, Wakamiya tertawa kecil.

Ekspresi yang sesekali dia tunjukkan itu memiliki daya pikat tersendiri. Sesuatu yang membuatmu terpesona, seperti sihir.

"Kalau kamu mau... Ginana kalau kita pergi ke festival musim panas?"

"Festival...?"

Alih-alih tawaran menarik dari Wakamiya, aku malah meringis mendengar kata "festival".

"Festival". Itu adalah acara untuk riajuu — tempat berkumpul untuk riajuu.

Bersorak-sorai tanpa alasan, makan di kedai yang terlalu mahal, menghabiskan uang untuk lotre yang belum tentu menang.

...Gawat, aku sama sekali tidak ingin pergi.

"Tidak mau ya?"

Wakamiya memegang lengan bajuku, menatapku dengan mata memelas.

Aku menelan ludah melihat sikapnya itu. ...Sial, gerakan itu curang!

"Bukan, itu... Aku tidak terlalu suka festival..."

"Oh gitu ya... Sayang banget."

Melihat Wakamiya yang jelas-jelas kecewa, aku merasa seperti ditusuk di dada.

"Padahal ada Kotone-chan dan Kato-san juga, aku pengen kamu ikut..."

"Eh... Kenichi juga ikut?"

"Iya. Makanya kupikir mungkin Tokiwagi-san juga mau ikut. Lagian, aku tidak pengen mengganggu mereka berdua yang sedang pacaran..."

"Ah, gitu ya. Jadi itu alasannya..."

"Karena itu, aku pengen Tokiwagi-san—"

"Oke, baiklah. Aku akan ikut."

Khas Wakamiya.

Tidak ingin mengganggu mereka berdua... Memang kalau jumlah cowok-ceweknya sama tidak akan canggung sih.

Yah, meski agak segan juga sih pergi bareng orang-orang top di kasta sosial...

"Terima kasih banyak. Nanti kalau sudah ditentukan waktu berkumpulnya, akan kuberitahu ya."

"Oke. Hahh, tapi kalau begini aku harus berhasil di ujian gimanapun caranya ya."

Aku menatap langit berbintang yang bersinar. Berbeda dengan suasana hatiku, langit berbintang itu jernih dan indah.

"Benar juga. Kalau gitu, untuk menyemangati Tokiwagi-san, aku punya satu usulan..."

"Usulan?"

"Gimana kalau di ujian berikutnya, kalau nilaimu di atas rata-rata, akan ada 'hadiah'?"

Hadiah? Itu tawaran yang sangat menyenangkan. Semangatku langsung meningkat.

Yah, meski mungkin akan jadi kegembiraan yang sia-sia...

"Hadiah? Itu... Seperti apa?"

"Hmm... Untuk sekarang aku belum kepikiran, jadi gimana kalau 'apapun yang Tokiwagi-san inginkan'?"

"Apapun... Katamu."

Imajinasi bermunculan di kepalaku... Aku menggelengkan kepala untuk mengusirnya.

Aku terus mengingatkan diriku sendiri "Tidak mungkin ada hal seperti itu".

"Sepertinya kamu sedang berpikir keras, tapi tidak perlu sungkan lho? Tentu saja, kalau hasil ujiannya tidak bagus, tawaran ini batal."

"Hmm..."

"Ayo, bilang aja tanpa ragu-ragu."

Wakamiya mendesakku untuk menjawab.

Aku memantapkan tekad dan membuka mulut.

Di sini aku harus bersikap jantan— "Bo-boleh aku minta makanan Cina?"

"Tentu saja boleh."

Wakamiya langsung menyetujui, lalu berjalan satu langkah di depanku sambil bersenandung.

Aku berjalan di belakangnya dengan perasaan yang sulit dijelaskan.

    ◇◇◇

Ujian semester sebelum liburan musim panas telah berakhir, dan aku kembali ke rutinitas kerja paruh waktu.

Karena hari ini hari libur, restoran ramai dengan pelanggan, dan para pekerja paruh waktu sibuk melayani dengan senyuman.

Aku sedang beristirahat, mengabaikan kesibukan rekan-rekan kerja.

Dan aku sedang membuka hasil ujianku di tempat biasa Wakamiya duduk.

"Kenyataan itu kejam..."

Aku bergumam melihat hasil ujian yang baru dikembalikan.

Meski lebih baik dari sebelumnya, tapi sebelumnya adalah yang terburuk dari yang terburuk, jadi tidak mungkin turun lagi. Dengan kata lain, kalau tidak naik, berarti hanya bertahan di posisi yang sama. Jadi yah, setidaknya naik sedikit. Hanya sedikit...

Hahh... Melihat hasil ujian, helaan napas keluar dari mulutku.

Yah, aku belajar lagi bahwa otak manusia tidak bisa menghasilkan keajaiban semudah itu.

"Setidaknya tidak ada nilai merah, syukurlah."

Aku melirik ke arah suara jernih itu.

Riakami sedang menikmati donat dengan ekspresi bahagia.

Di meja terdapat hasil ujian dan catatannya. Sejauh yang bisa kulihat, hasil ujiannya hanya nilai 100. ...Jadi ini perbedaan antara Riakami dan orang paling bawah ya.

“Maaf ya, padahal kamu sudah mau ngajarin...”

“Tidak apa-apa kok. Menurutku Tokiwagi-san sudah berusaha keras.”

“Tapi kalau hasil dari usaha kerasku cuman segini...”

Nilai-nilaiku nyaris merah semua. Hasilnya jauh dari syarat untuk mendapatkan hadiah yang dijanjikan.

Tapi setidaknya aku bisa menghindari nilai merah dan menikmati liburan musim panas, jadi untuk hal itu aku bersyukur...

“Tokiwagi-san, selama ini kan tidak pernah belajar, jadi dari ‘nol’ sekarang sudah naik menjadi ‘satu’. Kalau dilihat sebagai satu langkah maju, itu tidak buruk kok.”

“Memang sih, tapi...”

“Lagian, akulah yang seharusnya bertanggung jawab. Padahal aku dengan percaya diri mengatakan ‘akan membuatmu mendapat nilai bagus’, tapi nyatanya tidak bisa menghasilkan itu.”

Aku buru-buru menghentikan Wakamiya yang membungkuk sambil berkata “Maafkan aku”.

Para pelanggan di sekitar memandang heran melihat gadis cantik membungkuk seperti itu.

“Dengar ya Wakamiya-san. Kamu sama sekali tidak salah. Penjelasanmu jauh lebih mudah dimengerti daripada guru-guru di sekolah, dan sangat bermanfaat. Tapi kalau aku tidak bisa memanfaatkan itu dengan baik, itu kesalahanku, bukan tanggung jawabmu.”

“Tidak, ini tanggung jawabku.”

“Bukan, ini salahku.”

“Ini salahku.”

Apa-apaan saling lempar tanggung jawab terbalik ini... Dan dia tetap bersikeras tidak mau mengakui.

Benar-benar keras kepala...

Tapi Wakamiya yang berbicara dengan ekspresi sedikit cemberut terlihat agak manis.

“Hahh, ya sudahlah, kita lupakan dulu soal tanggung jawab... Ngomong-ngomong, apa yang sedang kamu lakukan dengan hasil ujianmu? Jangan bilang kamu sedang mengoreksinya?”

Aku menunjuk hasil ujian Wakamiya untuk mengalihkan topik pembicaraan.

Sepertinya dia sedang menulis sesuatu di catatannya...

“Bukan kok.”

“Oh ya, gimana hasil ujianmu kali ini? Sejauh yang kulihat kayaknya sempurna semua.”

“Iya, semuanya nilai sempurna. Untung aku bisa mempertahankan posisi pertama.”

“Wah, selamat ya.”

“Terima kasih banyak.”

Nilai sempurna semua... Bagaimana caranya bisa seperti itu.

Ngomong-ngomong, peringkat dua angkatan sebelumnya adalah Kenichi. Yah, paling-paling Kenichi juga dapat peringkat dua lagi...

“Kalau gitu, kenapa kamu menulis sesuatu di catatanmu? Bukannya kamu tidak perlu melihat hasil ujianmu lagi?”

“Aku sedang menganalisis kecenderungan soal dari guru.”

“Hah?”

“Aku sedang mencatat kecenderungan bagian mana yang diujikan, sumber soalnya, dan sebagainya dari guru yang membuat ujian kali ini.”

“Hahaha... Kamu benar-benar hebat ya.”

Biasanya setelah ujian selesai, siswa ingin bersantai.

Tapi di tengah situasi seperti itu, dia malah mempersiapkan diri untuk ujian berikutnya. Mungkin karena sisi seperti inilah Wakamiya menjadi siswi teladan.

Aku benar-benar kagum dengan usahanya... Aku tidak mungkin bisa melakukan hal seperti itu.

“Tapi ya... karena ujiannya sudah selesai, berarti sesi belajar bersama ini juga berakhir ya... Kalau dipikir-pikir... Rasanya agak sedih.”

Ini hanya gumaman yang tidak sengaja keluar. Tapi mungkin suaraku agak terlalu keras untuk disebut gumaman.

Tapi aku jadi ingin mengeluh. Aku memang tidak suka belajar dan tidak ingin melakukannya.

Namun, akan jadi kebohongan kalau kubilang aku tidak menyukai waktu-waktu itu.

Tidak salah lagi, itu adalah saat-saat yang paling berarti yang belum pernah kualami sebelumnya...

Tapi sekarang ujian sudah selesai, waktu-waktu seperti itu tidak akan datang lagi.

“Um, kenapa kamu memasang ekspresi seperti ‘Sudah berakhir’ gitu?”

Wakamiya memiringkan kepalanya, dengan ekspresi seolah ingin berkata “Apa maksudmu?”.

Aku pun ikut memiringkan kepala.

“...Bukannya sudah selesai?”

“Tentu saja belum. Makanya aku membuat catatan ini.”

“Eh, buat itu...?”

“Kali ini memang waktunya tidak cukup. Karena itu, aku berpikir untuk membuat soal prediksi untuk ujian berikutnya. Sedia payung sebelum hujan, kan?”

Dia sengaja membuat rangkuman catatan untukku? Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku atas ketelatenan Riakami ini.

“Lagian, aku belum puas dengan hasil kali ini. Aku pikir masih ada hal-hal yang bisa ditingkatkan dan diperbaiki. Dan aku sudah berjanji, ‘Saya akan membuatmu mendapat nilai bagus’.”

“Yah, yang perlu diperbaiki itu otakku sih... Eh? Apa maksudmu?”

“Maksudku, aku belum menepati janjiku.”

“Karena itu aku bakal melanjutkannya,” katanya.

Tanpa sadar aku merasa senang. Seperti awan kelabu yang mulai menghilang, begitulah perasaanku.

Bersamaan dengan itu, perasaan lega bahwa hubungan ini akan berlanjut menyelimuti hatiku.

Namun, aku tidak menunjukkannya sedikit pun di wajahku. Aku tidak ingin menunjukkannya.

Karena itu, aku hanya menjawab singkat “Oh, gitu.”

“Jadi kita bakal terus belajar buwt sementara waktu.”

“Tidak apa-apa? Kalau kamu menghabiskan waktu untukku, waktumu sendiri bisa habis lho.”

“Tidak masalah.”

“Nilaimu juga bisa turun lho.”

“Tidak akan turun.”

“Yah, tapi kalau ada kemungkinan kecil—“

“Bukannya hasil ujianku sudah membuktikan bahwa tidak ada kemungkinan kecil kayak gitu?”

Dia menyebarkan lembar-lembar jawaban nilai sempurnanya di hadapanku.

Biasanya orang mungkin akan merasa ini menyebalkan, tapi aku tidak merasa begitu.

Karena bagiku ini seperti bukti untuk meyakinkanku.

“Kalau dengan ini aja masih belum yakin, aku bisa tunjukkan nilai-nilai SMPku juga.”

“Kamu bawa itu juga?!”

“Tentu saja.”

Aku tanpa sadar tersenyum kecut melihat Ria-kami yang menutup semua jalan kaburku dengan sempurna.

    ◇◇◇

Beberapa hari setelah ujian, akhirnya hari ini tiba.

Ya, hari ini sudah datang...

Perasaan dan sensasi asing yang belum pernah kualami membuat asam lambungku seolah naik ke tenggorokan. Entah kenapa perutku juga sakit dan aku merasa mual.

Riakami memandangku dengan khawatir melihat kondisiku seperti ini. Di tangannya tergenggam sesuatu yang tampaknya obat sakit perut. Kenapa aku bisa sampai seperti ini?

Alasannya sangat sederhana — karena hari ini adalah “Ulang Tahun Wakamiya Rin”.

Aku sudah memilih hadiah berdasarkan saran dari si riajuu Kenichi dan Fuji-san, tapi ketika saatnya memberikan hadiah itu, aku jadi gugup. Wajahku pasti juga tegang.

Sejauh ini masih baik-baik saja, Wakamiya datang ke rumahku seperti biasa sepulang kerja paruh waktu.

Tapi...

Kapan aku harus memberikannya?

Waktu yang pasnya itu kayak gimana?

Apa aku harus memberikannya?

Pikiran-pikiran seperti itu berkecamuk di kepalaku, membuatku gelisah.

“Tokiwagi-san, wajahmu pucat lho? Mau kubuatkan bubur? Atau mau minum obat?”

“Aku tidak apa-apa. Tidak masalah.”

Wakamiya menatapku lekat-lekat, mungkin meragukan kata-kataku. Aku tidak bisa terus menatap matanya dan mengalihkan pandangan.

Dari sikapnya, sepertinya dia belum menyadari soal hadiah ini. Biasanya orang akan sedikit sadar kalau ini hari spesial mereka... Tapi dia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda seperti itu.

Aku teringat kata-kata Kenichi, “Kejutan itu penting”.

...Apa sekarang waktu yang tepat?

Aku berdehem untuk memulai pembicaraan.

“...Wakamiya-san, boleh aku bicara sebentar? Ada hal penting yang pengen kusampaikan...”

“Hal penting...?”

Riakami yang selalu duduk dengan postur yang indah, menegakkan punggungnya dan duduk kembali tepat di hadapanku. Kalau dia memakai kimono, mungkin akan tampak seperti seorang nyonya pemilik penginapan.

Detak jantungku begitu kencang, rasanya seperti mau meledak. Aku menghela napas, berusaha menenangkan diri sedikit.

Lalu aku berdiri, mengambil tas kertas yang kusimpan, dan meletakkannya di pangkuan Riakami.

Wakamiya memiringkan kepalanya dengan bingung, menatap tas kertas itu.

Biasanya dia sangat peka, tapi sepertinya dia masih belum menyadarinya.

“...Untukmu.”

Seharusnya aku bisa mengatakan sesuatu yang lebih bagus atau jujur saja bilang “Ini hadiah untukmu”, tapi kata-kata itu tidak keluar dari tenggorokanku. Sebagai gantinya, suaraku malah terdengar kesal.

“Um, ini apa?”

“Hadiah... Ini, hari ini ulang tahunmu kan?”

“Oh benar... Memang benar... Um, aku sangat berterima kasih...”

Wakamiya yang biasanya berbicara dengan nada datar tanpa intonasi, tiba-tiba berbicara dengan terbata-bata.

Melihat sikapnya seperti itu, aku juga jadi merasa canggung.

Kupikir orang sekelas Riakami pasti sering menerima banyak hadiah.

Melihat Wakamiya yang melamun menatap tas hadiah, aku berkata padanya.

“Itu, yah... Ada rasa terima kasih sehari-hari juga, dan kebetulan bertepatan dengan ulang tahunmu. Yah, mungkin merepotkan, tapi terimalah... Oh bukan, biarkan aku memaksakannya padamu.”

Wakamiya tersenyum kecil, pipinya memerah saat ia memeluk hadiah itu dengan penuh perhatian.

Melihat pemandangan itu, aku merasa lega.

Sepertinya kejutan ini berhasil. Aku diam-diam mengepalkan tangan di tempat yang tidak terlihat oleh Wakamiya.

“Saat Tokiwagi-san mulai berbicara dengan ekspresi serius, kupikir...”

“Kupikir...?”

“Kupikir itu bakal jadi pengakuan cinta.”

Aku terbatuk-batuk, “Uhuk! Uhuk!”, lalu meneguk habis teh yang ada di meja.

Kemudian, aku menggelengkan kepala dan menggerakkan tangan untuk menyangkal.

“Bukan gitu! Itu kesalahpahaman, sungguh bukan itu maksudku!”

“Oh, begitu ya...”

Melihat Wakamiya yang jelas-jelas terlihat kecewa, entah kenapa aku merasa tidak nyaman.

“Err... Reaksimu itu membuatku bingung.”

“......”

Wakamiya diam dan menunduk.

Keringat dingin mengalir di dahiku.

“Begini lho! Maksudku itu bukan karena ‘Aku tidak pantas berpacaran dengan Wakamiya-san’. Bukan karena Wakamiya-san yang bermasalah, justru akulah yang bermasalah—“

Seolah untuk menghentikan penjelasanku yang panik, jari Wakamiya menyentuh bibirku.


Lalu saat mata kami bertemu, dia hanya berkata, “Kamu terlalu panik, Tokiwagi-san. Itu cuman bercanda doang.”

Aku berdecak dan memalingkan muka dengan kesal. Dari sudut mataku, kulihat Wakamiya tersenyum dengan tatapan lembut.

“Tapi aku benar-benar terkejut.”

“Ah, memang aku mungkin tidak terlihat kayak orang yang mau ngasih hadiah ya. Apakah itu sangat mengejutkan?”

“Bukan, aku terkejut karena ‘kamu mengingat hari ulang tahunku.”

“Hei, itu tidak sopan.”

Yah, sebenarnya tanpa saran dari Kenichi, aku mungkin tidak bisa melakukan semua ini.

Aku pasti akan ragu-ragu untuk melakukan apapun. Biasanya aku bahkan tidak akan memperhatikan hari ulang tahun. Aku memang tidak peka dan kurang pengalaman dengan perempuan...

Aku benar-benar harus berterima kasih pada Kenichi...

“Tokiwagi-san, bolehkah aku membukanya?”

“Ah... Tapi jangan terlalu berharap, ini bukan sesuatu yang istimewa”

Wakamiya tersenyum kecil lagi, lalu mengeluarkan isi dari tas kertas. Dia melepas pita yang cantik dan membuka kertas pembungkus dengan hati-hati.

Aku menelan ludah dan mengawasi dengan tegang. Perasaan gugup yang aneh memicu kecemasan, membuat jantungku berdebar kencang.

“Ini... Boneka kucing?”

Wakamiya berkata demikian sambil mengangkat boneka itu dengan kedua tangannya, terlihat terkejut. Matanya membulat, berkedip dua kali dengan mata besarnya itu.

“Yah... Ini yang terkenal itu kan? Yang lagi tren... Mungkin ini bukan sesuatu yang Wakamiya-san minati, tapi kupikir tidak ada salahnya sesekali mengikuti tren.”

Ya, ini adalah saran dari Fuji-san. Boneka kucing ini dijual secara eksklusif di taman hiburan yang pernah dikunjungi semua orang. Katanya, di kalangan pelajar sekarang sedang tren untuk membawa boneka ini kemana-mana.

Tentu saja, sangat memalukan bagi seorang pria untuk pergi ke taman hiburan sendirian dan membelinya, jadi aku meminta Kenichi dan Fuji-san untuk membelikannya untukku sebagai “satu permintaan”.

Meskipun aku merasa ini menjadi hutang budi yang besar, tapi apa boleh buat.

Tapi yang membuatku khawatir adalah, apakah dia tidak akan merasa aneh menerima boneka yang imut seperti ini dari seorang pria?

Dengan kecemasan itu, aku diam-diam mengamati reaksi Wakamiya. Dia mengangkat boneka itu tinggi-tinggi seperti mengangkat bayi, dan menatap wajah boneka itu dengan seksama.

“Wakamiya-san? Kalau kamu tidak suka, kamu bisa membuangnya atau menyimpannya di sudut lemari sampai jadi fosil. Atau kalau mau, kamu bisa mengembalikannya padaku.”

Tidak tahan dengan keheningan itu, aku melambai-lambaikan tangan sambil bercanda.

Menanggapi itu, Wakamiya tiba-tiba memeluk boneka itu erat-erat. Seperti anak kecil yang tidak mau mainan kesayangannya diambil.

Lalu dia menatapku dengan tatapan menuduh.

“Aku tidak akan menyerahkan anakku!”

“O-oh. Gitu ya. Syukurlah kalau begitu.”

Aku tersenyum kecut mendengar nada suara Wakamiya yang agak keras.

Sepertinya dalam sekejap, boneka itu telah menjadi kesayangan Wakamiya. Dia memeluknya dengan hati-hati dan menatapnya dengan mata lembut yang membuatku tidak bisa berpaling.

Ekspresi polos yang berbeda dari biasanya itu, mungkin akan membuat siapa pun terpesona – sungguh imut dan menarik. Aku hampir lupa waktu karena terpana.

Melihat ekspresi seperti itu membuatku jadi sadar. Jantungku berdebar seperti ombak. Wajahku terasa panas...

“Curang...” aku menggerutu dalam hati.

Tapi...

Aku senang dia menyukainya.

Itulah perasaan jujurku yang sebenarnya.

“Tokiwagi-san.”

“Ya? Ada apa?”

“Terima kasih banyak.”

“O-oh...”

Aku menggaruk pipiku.

Tidak perlu dikatakan, wajah tersenyum Wakamiya saat itu terus terbayang di kepalaku untuk waktu yang lama.
















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !