Chapter 3
Sang Dewi Datang Ke Rumah
"Tokiwagi-san, apakah kamu selalu bekerja paruh waktu?"
"Ya, gitulah."
Aku menjawab singkat, lalu mengambil sepotong kentang goreng di hadapanku. Suara Wakamiya masih saja datar, tapi sepertinya pipinya sedikit lebih rileks dari biasanya, mungkin karena moodnya sedang bagus.
Namun, berbeda dengan Wakamiya, batinku tidak tenang sama sekali.
Itu karena entah bagaimana, aku duduk bersebelahan dengan Wakamiya di kursi konter.
Dari orang-orang yang melihat keadaan kami, aku bisa merasakan tatapan yang hampir seperti membunuh, bahkan kata-kata yang terdengar seperti kutukan.
Hahh...aku hanya bisa menghela nafas. Gimana bisa jadi begini?
- Itu terjadi sekitar satu jam setelah aku mulai bekerja paruh waktu.
Aku membersihkan meja, membuang sampah yang sudah penuh, dan membersihkan bagian dalam toko seperti biasa.
Sampai saat itu, semuanya masih sama seperti biasanya. Ya, sampai saat itu....
"Selamat data... ng..."
Seorang pelayan yang hendak menyambut pelanggan yang baru datang terdiam begitu melihat pelanggan tersebut. Meskipun sedang bekerja, dia mematung dengan mulut sedikit terbuka, terpana. Alasannya sederhana - seorang dewi telah turun ke bumi.
Hari itu hari Sabtu, jadi Wakamiya mengenakan pakaian kasual.
Gaun wanpis biru laut dengan kardigan putih, penampilannya sederhana namun sangat cocok untuknya, dengan kecantikan yang tidak seperti remaja SMA pada umumnya.
Karena itu, begitu dia memasuki restoran, seluruh perhatian tertuju padanya. Bahkan ada pria yang sepertinya matanya berubah menjadi bentuk hati.
Dengan kata lain, menyebutnya dewi mungkin bukan hal yang berlebihan.
Tentu saja, dia kan Riakami. Penampilannya yang kasual pun masih memberi kesan sempurna seperti ratu kecantikan.
Yah, sampai di sini masih baik-baik saja...
Wakamiya sering datang ke sini akhir-akhir ini, dan sudah cukup terkenal sampai jadi bahan pembicaraan di tempat kerjaku. Tapi itu hanya sebagai 'seorang pelanggan' biasa. Tidak ada yang tahu kalau akhir-akhir ini aku mengantarnya sampai dekat rumah, atau kalau kami mulai berbicara satu sama lain. Wajar kalau mereka tidak tahu, karena Wakamiya tidak pernah mengajakku bicara di dalam restoran. Jadi rekan kerjaku yang lain juga tidak menyadarinya.
Karena itulah, aku lengah. Aku mengira hari ini pun Wakamiya tidak akan berbicara padaku...
Namun dugaanku meleset.
"Selamat pagi, Tokiwagi-san. Hari ini kamu kerja paruh waktu juga ya?" Dia menyapaku begitu.
"......Eh?"
Aku tidak bisa memahami situasinya sehingga tidak bisa berkata apa-apa.
"Itu tidak baik lho. Membalas sapaan itu prinsip dasar. Kalau disapa, harusnya dibalas. Jadi, sekali lagi, selamat pagi Tokiwagi-san."
"Ah, ya, selamat pagi..."
Aku membalas sapaannya secara refleks. Setelah melihat responku, Wakamiya tersenyum puas.
"Hari ini ksrja paruh waktumu dari pagi ya. Hmm, sampai jam berapa?"
"Jadwalnya sampai jam 6 sore."
"Wah, kebetulan banget. Aku juga akan pulang sekitar waktu itu. Jadi bisakah kamu mengantarku seperti biasa..."
"Ah tidak, tidak perlu kalau sampai jam 6 sore."
"Di dunia ini, siapa yang tahu apa yang akan terjadi? Lagian kedua orang tuaku tipe yang terlalu khawatir. Jadi--"
"Hahh...baiklah, aku mengerti. Kalau gitu tidak masalah. Tidak terlalu merepotkan juga."
"Terima kasih. Kalau gitu nanti ya."
Wakamiya berkata begitu, lalu berjalan menuju tempat duduk yang akhir-akhir ini menjadi tempatnya.
Dan kemudian, aku ditanyai dengan detail seolah sedang diinterogasi. Entah kenapa di tengah-tengah, bahkan manajer restoran juga ikut campur...
“Apa maksudnya ‘kayak biasa’?”
“Apakah dia pacarmu?”
“Siapa nama dewi itu?”
Dan berbagai pertanyaan lainnya... Untuk sementara, aku menjawab dengan ambigu untuk pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab, dan terus menjawab pertanyaan sampai para senior tenang. Ngomong-ngomong, aku baru dibebaskan sekitar satu jam kemudian.
Ini adalah cerita yang kudengar dari senior paruh waktu saat itu...
Sepertinya ada semacam perjanjian tidak tertulis untuk tidak mendekati Wakamiya, tidak ada yang mengajaknya bicara, cukup dengan keberadaannya saja, cukup dengan melihatnya saja mereka sudah puas. Dia telah menjadi sosok yang diagungkan di antara pekerja paruh waktu.
Karena itu, saat aku sedang beristirahat di ruang istirahat, manajer berkata “Jika temanmu datang, kamu bisa istirahat di sana,” dan aku diusir secara paksa dari ruang istirahat. Manajer tersenyum aneh... dari ekspresinya, sepertinya dia memikirkan hal-hal yang tidak-tidak.
Aku menghela nafas, lalu dengan terpaksa menuruti perintahnya dan menghampiri tempat duduk Wakamiya. Wakamiya sendiri mungkin tidak menyangka hal seperti itu akan terjadi. Dia masih duduk di tempat duduknya seperti biasa, dengan bahagia mengunyah donat.
“Eh, lagi istirahat, Tokiwagi-san?”
“Ya, gitulah.”
“Kalau gitu, silakan duduk di sebelahku. Oh, maaf, aku akan menyingkirkan buku-bukuku dulu.”
Wakamiya memasukkan alat belajarnya ke dalam tas, lalu menepuk-nepuk kursi kosong di sebelahnya. Sepertinya dia menyuruhku untuk cepat duduk.
Tatapan para pelanggan padaku menjadi lebih tajam. Bahkan ada yang meremas-remas gelas kertas mereka... Itu yang terjadi tadi, dan masih berlanjut sekarang.
...Hahh, aku hanya bisa menghela nafas.
“Aku... mungkin akan dibunuh hari ini.”
“Um, haruskah kita memanggil polisi?”
“Aku akan dibunuh oleh kebencian dari segala penjuru...”
“Ada masalah...?”
“Ya, yah... ada masalah. Dan masih berlangsung...”
Wakamiya memiringkan kepalanya. Sepertinya dia masih belum menyadari kalau dialah yang berada di pusaran masalah ini.
“Ngomong-ngomong, kenapa tadi kamu bilang ‘kayak biasa’?”
“Hmm, ya. Kalau aku mengatakannya secara langsung, mungkin akan menimbulkan kesalahpahaman. Jadi kupikir lebih baik aku mengatakannya dengan cara yang lebih halus, makanya aku mengatakannya seperti itu... Apakah itu salah?”
“Ah, justru itu memperburuk keadaan. Sungguh efek yang berlawanan.”
“Kalau gitu, haruskah aku bilang ‘hubungan yang direstui orang tua’ dengan terus terang?”
“Kenapa malah jadi gitu!?”
Direstui orang tua!? Apa maksudnya, aku baru mendengar hal seperti itu...
Lagipula, aku bahkan tidak mengenal orang tua Wakamiya kan? Aku tidak pernah bertemu atau bicara dengan mereka.
Palingan aku hanya pernah melihat sekilas saat Wakamiya menelepon orang tuanya.
“Apakah itu juga salah? Ternyata kamu cukup pemilih ya.”
“Jelas salah. Lagian, sejak kapan ada yang kayak begitu? Direstui untuk apa?”
“Um, ya. Bagi orang tuaku, kamu seseorang yang tidak berbahaya yang kebetulan mengantarku pulang. Jadi dengan kata lain, direstui orang tua.”
“Oh, jadi itu maksudmu...”
Entah mengapa aku merasa senang sekaligus sedih... perasaanku campur aduk. Lagipula penjelasannya sulit dimengerti!
“Yah, untuk sementara sebaiknya kita anggap aja aku cuman kenalan tetanggamu biasa, gimana?”
“Aku tidak pandai berbohong, jadi itu sulit.”
“Tapi kamu cukup pandai memberi jawaban ambigu.”
“Tokiwagi-san... apakah kamu mengatakan sesuatu?”
“Tidak, bukan apa-apa.”
Aku meminum jus dan memalingkan wajah. Sepertinya rekan kerjaku mengawasi gerak-gerikku, dan langsung bersembunyi begitu mataku menangkap pandangan mereka.
...Ayolah, kerjakan saja tugasmu.
“Ada satu hal yang membuatku penasaran.”
“Ya?”
“Kamu bekerja paruh waktu hampir setiap hari di hari biasa kan? Jangan-jangan di hari Sabtu dan Minggu juga?”
“Ya, aku tidak punya kegiatan lain. Jadi bukan berarti aku mengambil shift khusus di hari kamu datang, tenang aja.”
“Hah, aku sama sekali tidak curiga kok.”
Wakamiya berkata dengan nada sedikit kesal. Tapi menurutku, seorang perempuan sebaiknya lebih berhati-hati terhadap tingkah laku laki-laki. Karena ada juga laki-laki yang cukup licik, dan tentu saja ada juga yang sangat mengganggu...
Jujur saja, menurutku tidak ada ruginya untuk tetap waspada.
“Aku sempat berpikir... Um, apakah kamu baik-baik aja?”
“Maksudmu tentang aku yang terus-terusan bekerja paruh waktu? Yah, aku baik-baik aja. Aku rasa aku cukup kuat secara fisik.”
“Bukan, aku tidak khawatir soal itu.”
Dalam hati aku berteriak, ‘Khawatirlah sedikit!’
“Yang aku khawatirkan adalah ujian berkala. Dengan bekerja paruh waktu sebanyak ini, kapan kamu belajar?”
“Belajar? Hal seperti itu tidak berguna untuk masa depan dan tidak perlu.”
“Untuk memastikan, gimana hasil ujianmu yang terakhir...?”
“Biasa aja, cuman nilai merah doang.”
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang dingin di punggungku dan bergidik. Ketika aku melihat ke arah Wakamiya, matanya menatapku dengan tatapan sedingin es.
...Apa yang sudah kulakukan? Matanya begitu tajam...
“Aku akan bicara dengan manajer.”
“Hah? Eh, tunggu!”
Wakamiya berkata begitu, lalu berdiri dan pergi entah ke mana dengan kecepatan luar biasa.
--Beberapa menit kemudian
“Tokiwagi-san, aku sudah meminta izin dari manajer untuk mengubah jadwal shiftmu.”
“Apa-apaan sih kamu seenaknya gitu!?”
“Dengan begini kamu punya waktu untuk belajar.”
“Tidak, tidak, cuman gara-gara ada waktu buat belajar bukan berarti aku bisa mendapat nilai bagus dalam ujian! Lagian, sejak masuk sekolah aku belum pernah benar-benar memperhatikan pelajaran.”
“Tidak masalah.”
“Jelas itu masalah besar!”
Bahkan aku tidak ingat dari mana pelajaran dimulai. Meskipun aku sendiri yang mengatakannya, ini benar-benar menyedihkan... Aku benar-benar terjebak dalam hal belajar.
“Tidak apa-apa. Aku akan membantumu.”
“Tidak usah...”
“Baiklah. Kalau gitu, aku bakalan berusaha sebaik mungkin ya.”
“Bukannya percakapan ini aneh!?”
“Tidak aneh kok. Tadi Tokiwagi-san bilang ‘Tidak usah’ kan?”
“Padahal aku bermaksud menolak...”
“Aku tidak menerima penolakan.”
Wakamiya menulis “Belajar dengan Tokiwagi-san” di buku catatannya, lalu menarik panah dari tanggal hari ini sampai hari ujian.
Aku merasa wajahku menegang secara alami, dan sudut bibirku berkedut.
“Hei... jangan bilang kita akan belajar setiap hari...”
“Tentu saja, setiap hari.”
“Aku alergi belajar, kalau belajar sebanyak itu aku bisa mati.”
“Tidak ada alergi yang kayak gitu, jadi tidak apa-apa.”
“Sebelum itu, kalau kamu menghabiskan waktu untuk orang sepertiku, nilaimu bisa turun...”
“Soal itu juga tidak masalah. Aku punya kepercayaan diri.”
Sekali saja aku ingin mengucapkan kalimat itu...
Aku, meskipun mulutku robek, aku tidak akan bisa mengatakan “Aku punya kepercayaan diri”.
“Jadi, untuk sementara kita akan belajar bersama. Aku akan membuatmu mendapat nilai bagus, jadi tunggu aja.”
“Tidak, tapi kenapa harus repot-repot... Kenapa aku?”
“Setelah aku tahu, aku tidak bisa pura-pura tidak tahu. Lagian, ini cuman pengen ikut campur.”
“Ikut campur ya... Sekali lagi aku tanya, apa aku tidak punya hak untuk menolak?”
“Tentu saja aku tidak menerima penolakan. Hari ini kamu selesai kerja jam 6 sore kan? Kita mulai dari hari ini.”
“Mulai hari ini!? Seenggaknya tunggu sampai libur...”
“Aku tidak menerima ‘keberatan’.”
“Serius nih...”
Sekali dia memutuskan sesuatu, tidak ada yang bisa mengubahnya.
Melihat sisi lain dari Riakami ini, aku hanya bisa tersenyum kecut.
◇◇◇
Setelah selesai bekerja paruh waktu, aku dan Wakamiya berjalan bersama di jalan pulang yang sudah mulai familiar.
Wakamiya yang berjalan di sampingku langkahnya tsrlihat lebih ringan dari biasanya. Pasti karena hari ini dia tidak dimarahi orang tuanya. Sepertinya dia selalu dimarahi karena pulang terlambat...
Karena masih sekitar jam 6 lewat, di sisi barat langit biru tua yang cerah masih tersisa sedikit warna merah muda yang lembut.
Pemandangan ini sangat cocok dengan Wakamiya, sampai-sampai aku berpikir jika aku mengambil fotonya dengan latar belakang langit itu, mungkin bisa memenangkan kontes foto. Mungkin inilah yang dimaksud dengan wanita yang fotogenik.
“Sudah jam segini, tapi masih terang ya.”
“Iya benar. Aku pikir pemandangannya cukup indah.”
Di sini, jika aku adalah pria yang pandai, mungkin aku bisa mengatakan satu atau dua kalimat pujian yang memikat untuk Wakamiya.
Tapi, aku hanya bisa menjawab singkat “Ah, ya.”
Mungkin butuh puluhan tahun bagiku untuk bisa mengatakan sesuatu yang lebih baik dalam situasi seperti ini. Yah, tentu saja ada kemungkinan besar aku tetap tidak bisa mengatakannya meski setelah puluhan tahun.
Sungguh menyedihkan...
“Ngomong-ngomong, kita selalu berjalan di jalan yang sama... Apakah kita benar-benar menuju ke rumah Tokiwagi-san?”
“Apa maksudmu?”
“Tidak, aku cuman berpikir mungkin kamu berniat mengantarku pulang dan menghindari masalah belajar itu.”
“Haha, tidak mungkin. Rumahku juga ke arah sini.”
“Oh, aku tidak tahu itu.”
Wakamiya meminta maaf, “Maaf sudah curiga,” dan aku menjawab dengan senyum samar, “Tidak apa-apa.”
Sebenarnya, aku berniat mencoba perlawanan terakhir tapi... sepertinya tidak mungkin.
“Hei, Wakamiya-san, apa kamu benar-benar akan datang ke rumahku?”
“Tentu saja.”
“...Yah, aku ini... laki-laki lho.”
“Aku tahu. Aku tidak pernah berpikir kalau kamu perempuan.”
“Bukan, bukan itu maksudku... Maksudku, masuk ke rumah laki-laki itu... Etto... apa kamu tidak merasa berbahaya?”
“Ah...”
Wakamiya mengeluarkan suara seolah teringat sesuatu, dan pipinya memerah. Sepertinya dia menyadari bahaya dari tindakan yang akan dia lakukan.
“Aku lupa...”
“Oh, begitu, begitu, kamu mengerti. Kalau gitu, belajar bersamanya dibatalkan—“
“Aku lupa membawa bingkisan!”
“Hah? Bingkisan?”
“Iya! Karena aku bakal berkunjung ke rumah Tokiwagi-san yang selalu membantuku, akan sangat tidak sopan kalau aku datang tanpa membawa apa-apa untuk orang tuamu!”
“Itu!? Kenapa jadi gitu!?”
“Ini adalah sopan santun.”
“Aku belum pernah dengar... Lagian, sungguh, bingkisan itu benar-benar tidak perlu lho?”
“Perlu atau tidaknya, aku yang nentuin.”
Benar-benar tidak perlu bingkisan... Tidak ada siapa-siapa di rumah...
Tapi mata Wakamiya seperti mengatakan “Aku tidak akan mundur”... Setelah beberapa hari berinteraksi dengannya, aku menyadari kalau Wakamiya itu tipe yang nekat.
Setelah itu, aku setengah dipaksa pergi ke minimarket, dan di sana Wakamiya membeli bingkisan.
◇◇◇
Apartemen kayu yang dibangun 30 tahun lalu. Lantainya berderit saat diinjak, dan sama sekali tidak ada sinar matahari yang masuk.
Berjarak sekitar 15 menit berjalan kaki dari stasiun, dengan tata ruang 1DK. Biaya sewa 60.000 yen per bulan.
Inilah spesifikasi rumahku.
Ngomong-ngomong, apartemen tinggi yang terlihat dari rumahku adalah tempat tinggal si Riakami, berjarak sekitar 5 menit bersepeda.
...Perbedaannya sangat menyedihkan.
Begitu sampai di rumahku yang menyedihkan ini, entah kenapa Wakamiya terlihat tegang.
Jika berpikir secara normal, mungkin dia tegang karena akan masuk ke rumah laki-laki... Tapi, Riakami ini agak berbeda—
“Ini pertama kalinya aku menyapa orang tua seseorang, jadi aku sedikit tegang.”
“Begitu.”
Aku menghela nafas. Apakah Wakamiya tidak merasa keberatan masuk ke rumah laki-laki?
Jika tidak, aku harus berhati-hati... Yah, aku sedikit khawatir...
“Rumahmu ternyata dekat ya. Tapi... um, rumah yang punya karakter ya.”
“Tidak perlu sungkan, lho? Dibandingkan dengan rumah Wakamiya, rumah ini begitu bobrok sampai-sampai meragukan apakah ini bisa disebut rumah, dan tidak memiloki secuil pun ke indahan.”
Wakamiya tersenyum kecut, lalu mulai mengamati rumah itu dengan seksama. Kemudian, dia memiringkan kepalanya.
“Apakah Tokiwagi-san mungkin tinggal sendirian?”
“Kenapa kamu berpikir begitu?”
“Karena aku tidak terlalu merasakan kesan kehidupan di sini, dan cuman ada satu payung yang diletakkan di dekat pintu masuk.”
“Ah, gitu ya. Kamu cukup tepat, Wakamiya-san memang hebat.”
“Terimakasih.”
“Tapi, jawaban yang benar adalah aku tinggal berdua dengan ayahku. Yah, tapi karena dia hampir tidak pernah ada di rumah, rasanya sudah kayak tinggal sendirian. Jadi pemikiran Wakamiya-san bisa dibilang benar juga.”
“Oh, gitu rupanya. Berarti, kamu melakukan pekerjaan rumah sendirian... Padahal masih siswa SMA, pasti sulit ya. Kalau kayak gitu, berarti kamu tidak punya waktu buat belajar...”
“Yah, begitulah.”
Aku menjawab begitu, tapi sebenarnya aku sama sekali tidak melakukan pekerjaan rumah. Benar-benar tidak ada.
Ini bukan kerendahan hati, tapi fakta.
Satu-satunya hal yang kulakukan di rumah hanyalah “tidur”. Untuk makan, aku membeli roti dan memakannya langsung di depan minimarket, atau kalau makan di rumah pun paling-paling hanya cup ramen.
Meskipun memalukan untuk mengatakannya sendiri, pokoknya aku menjalani hidup yang tidak teratur. Tapi, Wakamiya yang tidak tahu hal itu memasang ekspresi serius sambil meletakkan jarinya di dagu. Kemudian, setelah menarik napas dalam-dalam, dia menatapku dengan ekspresi penuh tekad.
...Aku punya firasat yang sangat buruk.
“Ini pasti takdir... Agar Tokiwagi-san bisa lebih berkonsentrasi pada pelajaran, aku akan membantu!”
“Tidak, beneran tidak perlu.”
“’Tidak perlu’ ya. Baiklah, serahkan padaku.”
“Lagi-lagi pembicaraan ini!? Sudah kubilang tidak perlu-“
“Tidak perlu menjelaskan lebih lanjut. Aku mengerti.”
“Kamu sama sekali tidak mengerti!”
“Kebaikan harus segera di lakukan. Jadi, ayo kita masuk sekarang.”
“Ah, tunggu sebentar.”
Aku lupa. Selama ini, aku hanya bisa menghitung dengan jari berapa kali aku mengundang orang ke rumah.
Karena itulah aku lupa. Bahwa rumahku tidak dalam keadaan yang bisa menerima tamu.
“Tokiwagi-san... ini... apakah ada pencuri yang masuk?”
Wakamiya yang melihat kondisi mengerikan rumahku membelalakkan matanya dan mengusap matanya beberapa kali.
Sepertinya dia tidak percaya dengan pemandangan di depannya.
“Dari awal menang sudah gini...”
“Ini... Tokiwagi-san, gimana cara kamu bisa hidup di sini... Bahkan tidak ada tempat untuk melangkah.”
“Tapi kan ada baju yang jatuh di lantai, jadi bisa berjalan di atasnya kan? Ibaratnya kayak Jalur Sutra.”
“Itu sama sekali tidak lucu.”
“Iya...”
“Pokoknya, ayo kita bersihkan. Hal lainnya bisa ditunda dulu.”
“Tidak perlu, kok.”
“Tidak bisa. Setelah melihat ini, harga diriku tidak bisa membiarkannya begitu aja. Seenggaknya, mari kita bereskan sampai kira-kira bisa di pakai buat hidup normal.”
“Tapi aku tidak punya kantong sampah, jadi kita tidak bisa membuangnya.”
“Jangan khawatir. Aku membawanya.”
“Kenapa kamu membawanya!?”
Aku terkejut dengan persiapannya yang begitu baik. Mengabaikanku yang tercengang, Wakamiya mulai membereskan rumah seenaknya.
Pada akhirnya, kerja besar membersihkan rumah ini selesai setelah pukul 21:00.
◇◇◇
Rasanya menyenangkan ketika ruangan menjadi bersih.
Lantai yang sudah lama tidak terlihat akhirnya menampakkan wajahnya lagi.
Halo, lantaiku. Kita bertemu lagi sejak pindah rumah ya.
“Enaknya!”
Aku mengambil kue dari kotak kue yang sudah sia-sia dan mengunyahnya.
(Tln : sia sia di sini maksudnya kue yg di beli buat ortu MC tapi ga ada orangnya)
Ya, rasanya bisa membuat ketagihan. Dan di depanku, Riakami duduk dengan formal.
Sudah sekitar 30 menit dia dalam posisi itu. Dia tampak sedang mempersiapkan belajar, membolak-balik buku pelajaran dan menulis sesuatu di buku catatannya.
Aku juga mengerjakan tugas yang diberikan Wakamiya satu per satu...
"Ah, itu salah. Pertama-tama, lakukan pembagian khusus."
Suara datar tanpa intonasi bergema di ruangan sempit ini.
"Hahhh..."
Padahal ini pertama kalinya ada gadis di rumahku... Tapi tidak ada rasa deg-degan atau senang sama sekali.
Yah, karena Wakamiya yang mode mengajar itu menakutkan. Dia tidak memberi kompromi sama sekali... Tapi, yah, cara mengajarnya memang bagus sih.
"Menghela napas saat belajar itu dilarang."
"Oh, apa gara-gara ada yang bilang kebahagiaan akan kabur?"
Ada pepatah yang mengatakan bahwa menghela napas akan membuat kebahagiaan kabur. Kalau begitu, karena aku sering sekali menghela napas, mungkin kebahagiaanku sudah kabur semua. Mungkin sudah tidak ada kebahagiaan yang tersisa...
"Itu cuman takhayul. Malah, menghela napas itu baik untuk tubuh."
"Hee, aku tidak tahu. Spesifiknya gimana?"
"Hmm, itu membantu menyeimbangkan sistem saraf otonom, tapi-- ah, tapi sekarang bukan saatnya membahas itu."
"Cih."
"Jangan-jangan Tokiwagi-san, kamu tidak sedang berpikir untuk 'mengalihkan pembicaraan untuk menghindari belajar', kan?"
"Mana mungkin, mana mungkin. Tidak mungkin gitu kan!"
"Itu jelas bangst kelihata.. Tapi untuk sementara, silakan cari tahu tentang menghela napas di lain waktu. Itu tidak ada hubungannya dengan pelajaran kita sekarang."
"Baiklah..."
"Nah, selanjutnya bahasa Inggris. Hari ini kamu tidak boleh tidur sampai hafal 100 kata, lho?"
Aku menjatuhkan kue yang kupegang. Apakah kamu ini iblis...?
Seratus kata dari sekarang itu seperti vonis hukuman mati...
"Hei, padahal sudah selarut ini, kenapa aku masih belajar... Kembalikan waktu tidurku!"
"Selarut ini? Ini baru pukul 22:00 lewat lho? Lagian, kita harus mengejar waktu yang hilang karena bersih-bersih tadi. Tidur itu urusan belakangan."
"Tidak, tidak, bisa di lanjut besok aja kan? Ini sudah tidak wajar."
Seorang gadis yang masih di rumah laki-laki setelah pukul 22:00 malam. Kalau orang tuanya tahu, mereka pasti akan marah dalam situasi seperti ini.
"Tidak masalah. Hari ini aku sudah bilang akan pergi ke rumah teman."
"Itu kan alasan yang biasa dipakai buat menginap di rumah pacar?"
"Kalau dari segi rumah laki-laki, memang sama sih."
"Ngomong-ngomong Wakamiya-san, jangan sembarangan masuk ke rumah laki-laki dong. Apa kamu tidak berpikir kalau situasi ini berbahaya?"
"Tidak, aku pikir tidak ada masalah sama sekali. Aku percaya pada Tokiwagi-san. Lagian--"
"Hmm?"
"Aku percaya diri dengan kemampuanku menilai orang."
Wakamiya menjawab dengan bangga. Proporsi tubuhnya yang sempurna jadi terlihat jelas, membuatku bingung harus melihat ke mana.
Aku senang dia mempercayaiku, tapi... Entah bagaimana rasanya kalau tidak dianggap sebagai laki-laki.
Yah, tapi lebih tidak enak kalau dia terlalu waspada atau sadar dan jadi canggung.
"Tapi ya, kalau dipikir-pikir lagi, kayaknya aku melakukan hal yang cukup berani. Maksudnya, masuk ke rumah laki-laki seumuranku..."
"Kenapa baru sadar sekarang..."
"Jangan-jangan aku dianggap sebagai gadis yang tidak sopan?"
"Kenapa gitu...?"
"Tidak, aku merasa Tokiwagi-san mungkin menganggapku sebagai 'perempuan gampangan yang masuk ke rumah laki-laki tanpa ragu-ragu'."
“Itu tidak mungkin,” kataku sambil meminum teh yang diseduh Wakamiya.
“Tapi Wakamiya-san, laki-laki itu makhluk tidak berguna yang seolah-olah punya dua otak... Kalau kamu lengah, kamu bisa diserang dan tidak bisa protes lho?”
Gadis tercantik di sekolah.
Gadis cantik seperti dewi.
Gadis cantik yang sempurna.
Bersama Wakamiya yang seperti itu, mungkin justru aneh kalau tidak ada yang terpikir hal-hal aneh.
Kali ini kebetulan aku, tapi belum tentu orang lain sama sepertiku.
“Kalau sampai itu terjadi, aku akan menyerah dan menganggap aku tidak punya kemampuan menilai orang. Itu juga pembelajaran.”
Wakamiya menutup mulutnya dengan tangan dan tersenyum lembut.
Gestur itu membuatku berdebar, tapi aku mencubit pahaku sendiri untuk menenangkan diri.
“Tidak, tidak, harga yang harus di bayar buat belajar itu kemahalan.”
“Manusia tidak bisa hidup tanpa mengorbankan sesuatu.”
“Dalam sekali! Tapi sekarang bukan waktunya buat itu. Ini benar-benar tidak bisa diperbaiki lagi.”
“Nah, ayo kita lanjutkan. Ayo, hafalkan, hafalkan!”
“Dengan alur seperti ini!? Pergantian topiknya terlalu kasar, hei.”
Aku menghela napas dan mulai membuka buku kosakata buatan Ria-gami.
-+Satu jam kemudian
“Sudah, tidak bisa lagi. Atau lebih tepatnya, kemampuan menghafalku sudah hilang...”
“Benar juga... Kalau dipaksakan lebih dari ini malah akan tidak akan bisa ya... Mau giman lagi. Kalau gitu, ayo kita akhiri sampai di sini untuk hari ini. Tokiwagi-san, terima kasih atas kerja kerasnya.”
“Ah~ Kayaknya aku demam karena terlalu banyak berpikir.”
Aku minum teh sedikit demi sedikit sambil menundukkan kepala di atas meja. Mungkin ini pertama kalinya dalam hidupku aku menggunakan otak sebanyak ini...
Di sampingku, Wakamiya dengan cekatan bersiap-siap untuk pulang. Tidak ada gerakan yang sia-sia sama sekali.
Saat dia mulai berpikir sampai bertindak sangat cepat ya...
“Karena sisa kue-kuenya bakalan mubazir, maaf Tokiwagi-san. Bolehkah aku minta tolong habiskan?”
“Oke.”
“Kalau gitu, aku akan main lagi lain kali, mohon bantuannya ya.”
“Ah, kalau ada kesempatan ya. Yah, pokoknya terima kasih untuk hari ini.”
“Tidak, sama-sama.”
Aku mengantar Wakamiya sampai dekat rumah, dan langsung pulang tanpa mampir ke mana-mana.
Rumah yang seharusnya jadi sepi karena bersih-bersih, entah kenapa terasa ada udara hangat yang melayang.
Begitulah perasaanku.
--Keesokan harinya, sinar matahari pagi masuk samar-samar melalui jendela, membuat ruangan yang gelap menjadi sedikit terang.
Dari luar jendela terdengar kicauan burung “cik cik, cici”. Aku dalam keadaan setengah tidur, bereaksi terhadap suara yang terdengar dan tanpa sadar menggerakkan tubuh.
“Aduh...!?”
Aku membenturkan kelingkingku ke sudut meja dan menggeliat kesakitan. Padahal sampai kemarin, aku bisa berjalan sembarangan tanpa masalah... Karena berjalan di atas pakaian yang berserakan di lantai itu aman...
Aku menyalakan lampu kamar sambil menahan sakit.
“Jadi bersih ya... Beneran.”
Dari rumah sampah menjadi seperti ini. Mengingat itu membuatku terharu.
Seorang dewi datang ke rumahku, membersihkan, dan belajar bersama.
Hal yang tidak mungkin terjadi selama ini. Kalau ini mimpi, aku ingin cepat bangun – sungguh.
Aku mencubit wajahku sekuat tenaga.
“Sakit.”
Di cermin terlihat diriku yang tampak lesu dengan satu pipi memerah. Wajah yang tidak bersemangat dan terlihat malas. Aku mencuci muka, dan mengambil handuk yang sudah dilipat rapi untuk mengeringkan wajah.
“Dia bahkan mencuci baju... Kapan dia melakukannya?”
Biasanya, orang tidak ingin menyentuh baju yang dilepas dan dibiarkan begitu saja atau baju yang dicuci tapi jadi penuh kerutan.
Tapi aku merasa kagum sekaligus paham kenapa Wakamiya bisa melakukan semuanya dengan santai.
Pantas saja Wakamiya populer.
Benar-benar sempurna dalam arti yang sebenarnya. Kepribadian, kemauan bertindak, dan kemampuannya.
“Lain kali, aku harus berterima kasih padanya...”
Aku meregangkan badan dan memandang alat-alat belajar yang diletakkan di atas meja.
"Meskipun tidak ingin, tapi ayo lakukan..."
-- Tok tok tok
Suara ketukan pintu terdengar seolah-olah menghalangi niatku.
Aku melirik jam.
... Pukul 9 pagi. Mungkinkah pengantar koran?
Aku menggaruk-garuk kepala dan membuka pintu.
"Aku tidak butuh koran--"
"Selamat pagi, Tokiwagi-san. Pagi yang indah ya."
Aku terdiam. Aku menggosok mataku dan menyipitkannya. ... Ini bukan khayalan, ini benar-benar Wakamiya...
"Kayaknya bel pintunya rusak, jadi aku mengetuk pintu. Boleh aku masuk?"
Aku hampir terpesona dengan senyuman Wakamiya, tapi,
"Kenapa kamu ada di sini?"
Aku mengalihkan pandangan dan melontarkan pertanyaan pada Riakami yang berdiri dengan santai di sana.
Siapa sangka aku bisa melihatnya dalam pakaian casual dua hari berturut-turut. Karena pakaian casual, ini momen yang membahagiakan... ah, maaf.
"Bukannya kemarin aku bilang 'lagi'?"
"Biasanya orang akan mengira kalau langsung hari ini."
"Bagiku ini biasa."
Wakamiya menjawab dengan wajah tenang.
Memang definisi "biasa" berbeda-beda tergantung orangnya. Karena itu, tidak ada gunanya berdebat tentang apa itu "biasa" di sini. Bukan karena aku tidak yakin bisa mematahkan argumen Wakamiya. Aku hanya tidak ingin membuang-buang waktu dan tenaga... kira-kira begitulah alasannya.
"Ngomong-ngomong, kamu senggang?"
"Singkatnya, ya, aku senggang."
"Oh, jadi senggang ya..."
"Ya. Ngomong-ngomong Tokiwagi-san, apa kamu digigit serangga? Pipimu agak merah lho?"
"Ah, ini... jangan dipikirkan."
Aku tidak bisa mengatakannya. Mana mungkin aku bisa bilang ini bekas cubitan untuk memastikan apakah ini kenyataan atau bukan.
"Kalau gitu, aku masuk ya. Apa kamu sudah sarapan?"
"Belum, tapi tidak perlu makan juga sih."
Kalau pun sarapan, paling-paling hanya jeli. Pengisian energi 10 detik itu praktis ya.
"Tidak boleh gitu lho? Sarapan adalah sumber energi untuk satu hari, dan tidak baik untuk kesehatan kalau tidak makan."
"Kalau gitu, nanti akan kumakan yang ada aja."
"Nanti? Sekarang sudah jam 9 lho, kalau ditunda nanti sarapan bisa jadi makan siang, tahu?"
"Mau gimana lagi. Kalau gitu, aku makan ini aja."
Aku mengambil roti kering dari persediaan makanan darurat yang kutemukan kemarin.
Enak lho kalau dimakan seperti ini. Pas untuk dimakan sekadar iseng.
"Tokiwagi...san?"
"A-ada yang aneh?"
Wakamiya menatapku dengan tajam seolah-olah marah. Aku jadi agak gentar dengan tatapannya itu.
Tapi, wajah marahnya masih terlihat anggun, ini juga bisa jadi pemandangan yang indah... Saat aku memikirkan hal-hal tidak penting seperti itu, mata Wakamiya semakin menyipit tajam.
"Bukan masalah aneh atau tidak, itu bukan makanan."
"Tapi, aku tidak punya makanan lain selain ini, tahu?"
Karena kemarin sudah dibersihkan, makanan yang sepertinya tidak bisa dimakan sudah dibuang semua, dan satu-satunya yang tersisa hanya roti kering ini.
"Hahhh. Sudah kuduga bakalan gini."
Wakamiya menghela napas dan mengeluarkan kotak makan dari tas jinjing yang agak besar.
"Apa ini?"
"Sandwich. Aku membuat lebih, jadi silakan dimakan."
"...Bolehkah?"
"Ya, jangan sungkan."
Aku menelan ludah. Perutku berbunyi 'guu', seolah-olah mendesak "cepat makan".
"Terima kasih untuk semuanya..."
"Tidak, aku cuman pengen ikut campur aja."
"Begitu ya."
Aku melahap sandwich yang dibawa Wakamiya dengan penuh semangat.
Dan tanpa berhenti sampai habis, aku menikmati berbagai rasa sandwich itu.
...Aku tidak pernah menyangka sandwich bisa seenak ini.
Aku menghabiskan semuanya dalam waktu singkat...
“Terimakasih atas makannya”
“Ya, tidak seberapa.”
Wakamiya menyimpan kotak makannya dan menyeka meja dengan kain yang sepertinya dibawanya. Wakamiya mungkin senang karena aju memakan semua makanannya, bersenandung sendiri dalam suasana hati yang baik.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.