Ore no Ie ni Nazeka Gakuen no Megami-sama ga Iribitatte Iru Ken Chap 6

Ndrii
0

Chapter 6

Urusan Sang Dewi 




Suara yang terdengar dari telepon yang kuangkat, yang kupikir adalah morning call dari Wakamiya, adalah suara menyebalkan dengan nada tinggi yang berkata "Ohayou gozaimasu~!"


Aku ingin sekali melempar telepon itu, tapi sayangnya aku terlalu mengantuk untuk bergerak. Ini adalah cara terburuk untuk bangun.


"...Ada apa sih pagi-pagi begini?"


Aku mengeluh pada teman terburukku di seberang telepon.


["Ayo ayo~ walaupun pagi, ini sudah jam 9 lho? Sudah waktunya bangun!"]


"Hah?"


Mendengar kata 'jam 9', tiba-tiba kepalaku langsung sadar sepenuhnya. Bersamaan dengan itu, keringat dingin mulai membasahi dahiku. Aku buru-buru melihat jadwal shiftku.


"Apa ini... Ternyata libur ya. Tumben banget..."


Aku menghela nafas lega melihat huruf "libur" di jadwal shiftku. Hampir setiap hari aku bekerja paruh waktu tanpa istirahat, tapi kadang-kadang ada hari di mana manajer restoran tidak memasukkanku ke dalam shift dengan berkata "Istirahatlah".


Biasanya, aku tahu kapan hari libur itu terjadi, jadi aku tidak pernah panik seperti ini. Tapi kemarin...


Itu adalah hari di mana aku berusaha paling keras dalam hidupku. Ya, hari di mana aku bekerja paling keras, sehingga aku sama sekali lupa tentang jadwal shiftku. Sepertinya aku terlalu sibuk sampai-sampai lupa kalau hari ini libur kerja paruh waktu.


["Oi, moshi moshi! Jangan diam aja~"]


"Oi, moshi moshi! Jangan diam aja~"


Entah kenapa suara menyebalkan dari telepon terdengar bergema. Aku memiringkan kepala karena fenomena aneh ini. 


Apakah ponselku rusak? Kalau begitu akan sangat merepotkan untuk memperbaikinya.


Dan Dan Dan


Terdengar suara ketukan di pintu. Baik pengantar paket maupun Wakamiya tidak akan mengetuk seperti itu. 


Jadi kalau begitu--


"...Kenichi. Mau kubukakan?"


["Ya! Tolong ya!"]


"Ya! Tolong ya!"


Aku menghela nafas mendengar suara dari telepon dan pintu, lalu membuka pintu depan. Yang muncul dalam pandanganku adalah sosok pria tampan dengan senyum cerah.


Di tangannya ada peralatan bersih-bersih dan kantong sampah, jelas apa tujuannya datang kemari.


"...Kenapa kamu datang ke sini?"


"Ayo ayo~ rumah Towa itu kan kotor? Waktu ngobrol kemarin, aku berpikir 'Bukannya sudah waktunya untuk membersihkannya?' Kamu boleh berterima kasih lho?"


"Tapi jangan datang tanpa ngasih tau dulu dong. Apalagi pagi-pagi di hari Minggu..."


"Kalau aku memberi tahu dulu, nanti aku tidak bisa melihat koleksi rahasiamu kan? Aku pengen tahu seleramu juga."


"Aku tidak punya koleksi kayak gitu... Jadi, apa alasan sebenarnya?"


"Aku cuman pengen mencoba melakukan 'Serangan mendadak ○○' sekali saja."


"Ngerepotin aja..."


Aku tersenyum kecut melihat Kenichi tertawa 'hahaha'.


Sebenarnya, dia mungkin datang karena khawatir padaku yang hidupnya berantakan. Dari dulu dia selalu memperhatikan timingnya untuk datang atau menelepon... mungkin karena kami teman lama.


Yah, meskipun aku bersikap sinis, dia tetap datang tanpa peduli. Dalam hal ini, dia mirip dengan Wakamiya, tipe yang tidak pernah mengubah dirinya sendiri. Bukan hanya penampilannya, tapi karena kepribadiannya juga baik, mungkin itulah sebabnya Kenichi selalu dikelilingi banyak orang.


...Meskipun kadang-kadang dia terlalu ikut campur.


"Kalau gitu, aku masuk ya~"


"...Masuklah sesukamu. Tapi tidak ada apa-apa di sini."


"Ah~ tidak ada apa-apa katamu, rumah Towa itu kan kayak gudang sampah... kan?"


Kenichi membatu setelah beberapa langkah memasuki pintu masuk.


Mulutnya terbuka lebar seperti orang bodoh, dan peralatan bersih-bersih di tangannya jatuh berserakan di lantai dengan suara keras.


"Apa-apaan iniiiii!?"


Kenichi berteriak.


Dasar pengganggu tetangga. Yah, meskipun sebenarnya tidak ada tetangga di sebelah sih...


"...Reaksimu berlebihan. Apakah ini sesuatu yang sangat mengejutkan?"


"Tentu saja mengejutkan! Apa-apaan ini!? Kamarmu jadi bersih banget gini!"


"Kadang-kadang kamarku juga bisa bersih kan."


"Kamar yang biasanya kayak habis dimasuki maling, sekarang jadi sebersih ini, tentu saja aku terkejut! Bahkan ini bukan cuman bersih biasa, tapi sudah level nyaman untuk ditinggali! Ini sih kayak disulap!"


"Inilah yang disebut keahlian seorang ahli."


Kenichi memandang sekeliling kamar dengan mata berbinar-binar seperti anak kecil yang menemukan sesuatu menarik.


Mengabaikan Kenichi yang seperti itu, aku mengambil pakaian yang dilipat rapi dan mulai mengganti pakaian tidurku.


“...Ini gawat. Aku cuman bisa memikirkan satu orang yang bisa melakukan hal kayak gini...”


“Hmm. Gitu ya.”


Aku bergumam dengan nada tidak tertarik, sambil menyodorkan secangkir teh yang baru kutuang kepada Kenichi.


“Yah, minumlah dan tenanglah.”


Kenichi terlihat bingung melihat teh yang kusodorkan. Lalu dia menghela nafas pelan dan bergumam, “Aku jadi tidak punya peran apa-apa di sini.”


Ekspresinya terlihat sedikit sedih, tapi lebih dari itu dia tampak senang entah kenapa.


“Yah, sudahlah soal rumah ini. Aku juga tidak berniat menyelidiki lebih dalam.”


“Apa-apaan sikap ‘Aku sudah tahu semuanya’ itu...”


“Haha. Tidak apa-apa kan? Oh iya, ngomong-ngomong~”


“Hm?”


“Gimana kemarin? Berhasil?”


Aku mengalihkan pandangan dan menjawab singkat, “Yah, berkatmu.”


Aku merasa wajahku sedikit memanas mengingat kejadian kemarin.


“Wah, syukurlah kalau gitu!”


Kenichi tersenyum lebar tanpa beban.


Ngomong-ngomong, aku mencoba meniru senyum ikemen ini saat bekerja paruh waktu.


Tentu saja, ini rahasia dari Kenichi.


“Tapi ya~ Kalau tidak perlu bersih-bersih, hari ini jadi tidak ada yang bisa dilakukan deh.”


“Kamu boleh pulang kalau mau.”


“Kejam banget! ...Kalau gitu, ayo kita rencanakan liburan musim panas qja.”


Kenichi mengeluarkan buku catatan dari tasnya, membalik-balik halamannya, dan membuka halaman yang bertuliskan Juli.


Dari yang kulihat sekilas, buku catatan Kenichi penuh dengan jadwal... Memang hebat orang yang hidupnya sempurna...


“Rencana? Aku skip, aku pengen menghasilkan uang dari kerja paruh waktu selama liburan musim panas.”


“Tidak, tidak, tidak, mana bisa gitu! Ini musim panas tahun pertama SMA lho!? Kanu harus lebih menikmatinya~”


“Ah, musim panas yang benar-benar menghasilkan itu bagus—“


Tok tok tok


Suara ketukan di pintu depan terdengar sampai ke tempat kami duduk. Berbeda dengan Kenichi tadi, ini ketukan yang sopan.


Dan bersamaan dengan itu, ponselku mulai bergetar. ...Betapa buruknya timing ini.


“Kamu tidak membukanya?” tanya Kenichi dengan heran, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat.


“...Mungkin cuman promosi koran.”


“Kalau teleponnya?”


“Bisa kutelepon balik nanti.”


Aku memilih untuk tidak menjawabnya.


Nanti saja aku menelepon untuk minta maaf.


“Pintunya terbuka, permisi. Ah...”


Mata kami bertiga bertemu.


Kenichi tersenyum lebar dan menyapa, “Yo! Wakamiya,” sambil mengangkat satu tangannya.


Menanggapi itu, Riakami itu membungkuk sopan.


“Yang benar aja...”


Aku memegang kepalaku dan menunduk ke meja.


◇◇◇


Situasi saat ini... ruangan kecil ini agak sesak dengan tiga orang.


Dan seharusnya ini situasi yang sangat canggung... tapi Kenichi dan Wakamiya tampaknya tidak terlalu peduli.


Mereka tidak terlihat saling menjaga jarak, bersikap natural seperti biasa.


“Selamat pagi, Tokiwagi-san. Dan Kato-san juga.”


“Yo! Wah~ Aku sama sekali tidak menyangka akan jadi begini.”


“Kenapa Kato-san ada di sini?”


“Aku berpikir sudah waktunya untuk membereskan rumah Towa! Yah, kayaknya itu cuman kekhawatiran yang tidak perlu. Iya kan, Wakamiya?”


“Fufu. Jadi gitu ya.”


Begitulah, mereka mengobrol santai.


Sementara aku hanya bisa menghela nafas.


Hahh, orang yang tidak ingin kuberitahu malah jadi tahu...


“Hei Wakamiya-san, aku pengen kamu ngasih tau aku dulu sebelum datang...”


“Oh begitu? Karena ini hal yang biasa, jadi aku pikir tidak perlu—“


“Tu-Tunggu dulu!”


Aku buru-buru menutup mulut Wakamiya.


Aku bisa merasakan langsung sentuhan bibir Wakamiya di tanganku, tapi tidak ada waktu untuk menikmatinya.


Ya, sudah terlambat...


“Hoo, jadi ini hal yang biasa ya~” Wajah Kenichi dipenuhi senyum lebar.


Mulut Wakamiya yang kututup bergerak-gerak, rasanya agak geli.


Aku menghela nafas dalam dan melepaskan tanganku dari mulutnya.


“...Tokiwagi-san?”


Dia menatapku dengan mata menuduh, pipinya memerah dan menggembung.


Aku melirik ke arah Kenichi meminta bantuan, tapi dia masih tersenyum lebar dan jelas tidak berniat membantu sama sekali.


“Aku rasa tiba-tiba menutup mulut seorang wanita itu tidak pantas... Apa kamu punya pembelaan?”


“...Maaf. Aku kurang peka.”


Aku mengendurkan bahu dan menatap langit-langit rumah yang sudah tua.


Aku pikir Wakamiya seharusnya lebih peduli dengan kata-katanya yang ceroboh... Apakah tidak ada hal yang tidak nyaman jika diketahui... atau hal yang memalukan... Aku merasa tidak ada?


Padahal biasanya orang punya hal seperti itu...


“Ngomong-ngomong Tokiwagi-san, apa kamu sudah sarapan?”


“...Belum sih.”


“Kamu tidak boleh begitu lho? Sarapan adalah sumber energi untuk satu hari penuh.”


“Iya, iya. Aku mengerti.”


“Kalau kamu mengerti, tolong perbaiki gaya hidupmu. Kalau gitu, boleh aku pinjam dapurmu? Tidak apa-apa kalau masakannya sederhana?”


“Ya, silakan gunakan sesukamu.”


Dengan gerakan terampil, dia mulai menyiapkan penggorengan, bahan makanan, dan persiapan memasak.


Kenichi memperhatikan itu sambil mengangguk-angguk kagum.


Lalu, entah apa yang dia pikirkan, dia mendekat ke sampingku dan—


“Dia bakal jadi istri yang baik.”


Dia berbisik di telingaku dengan nada seperti bapak-bapak.


Aku berdehem pelan, dan mengusir Kenichi dengan gerakan tangan seolah-olah dia mengganggu.


“Entahlah. ...Yah, memang benar dia suka mengurus orang, dan aku akui kemampuan memasaknya.”


“Hoho~ Tapi gerakannya cekatan sekali ya. Kayak sudah biasa memasak setiap hari.”


“Hee, Wakamiya-san memang hebat...”


“Kamarmu juga jadi bersih banget. Kayaknya dia sudah sering datang ke sini ya~”


“Hmm...”


“Jangan cuman ‘Hmm...’, akui aja lah.”


Aku mengalihkan pandangan dari Kenichi yang menatapku tajam, lalu melirik sekilas ke arah Wakamiya.


Wakamiya yang menyadari tatapanku tersenyum kecil. Ekspresi yang menarik, tapi saat ini justru msmbuatku lemas.


Ya, melihat itu, Kenichi membuat wajah polos seolah-olah dia baru saja menemukan kisah cinta populer.


“Sudahlah, hentikan...”


“Tidak, tidak~ Sudah tidak mungkin menyangkal lagi lho? Jadi, sebenarnya gimana?”


“Gimana... Kayak yang kamu lihat, aku kayak anjing liar yang diberi makan.”


“Hm? Jadi kamu tidak pacaran dengannya?”


Aku menghela napas mendengar pertanyaan yang meleset jauh.


Salah paham yang parah, hei.


“Tidak. Mana mungkin... Kami berbeda level.”


“Dengan keadaan kayak gini tapi tidak pacaran...”


“Aku tidak tahu keadaan kayak apa yang kamu lihat, tapi hubungan kami tidak kayak gitu.”


“Serius? ...Tidak mungkin.”


Kenichi membuka mulutnya lebar seperti buaya dengan ekspresi tidak percaya. Wajah yang sangat bodoh, merusak penampilannya yang tampan.


“Sebentar lagi makanannya siap, apa Kato-san juga mau makan?”


“Oh, terima kasih! Yah, aku akan ambil sisa Towa aja~”


“Fufu. Aku membuat lebih banyak, jadi silakan ambil juga ya.”


Wakamiya meletakkan makanan di piring dan menatanya di depan kami.


Melihat itu, Kenichi berseru “Ooh” dengan kagum.


Yang disajikan adalah French toast, telur dan ham, ada juga salad, ditambah sup hangat.


Bagaimanapun juga, ini sama sekali tidak terlihat seperti “makanan sederhana” yang Wakamiya katakan tadi. Malah terlihat seperti masakan yang dipersiapkan dengan serius dan penuh semangat.


“Ini hebat banget, Towa!”


“Berisik. Cepat makan aja...”


Aku mengabaikan Kato yang terlalu bersemangat dan mengulurkan tangan ke makanan—tapi dihentikan oleh Wakamiya.


“Kamu harus mengucapkan sesuatu sebelum makan lho?”


“...Aku mengerti. Umm... Itadakimasu.”


“Ya. Silakan, nikmati makanannya.”


Aku mulai melahap makanan dengan penuh semangat dan mengunyahnya.


Kenichi tertawa sambil makan dan berkata, “Kotone tidak bisa membuat ini~”. Mungkin akan menarik untuk memberitahu Fuji-san tentang ini nanti.


Yah, setidaknya itu bisa jadi sedikit balasan.


◇◇◇


Tiga orang di rumah kecil ini agak sesak... Tapi anehnya, aku tidak lagi merasa terbebani.


Udara yang tegang terasa menusuk kulit.


Apakah ini yang disebut situasi tegang? Aku menelan ludah sambil mengamati apa yang akan terjadi pada Kenichi selanjutnya.


... Aku hanya bisa menyesal telah menciptakan situasi seperti ini. Kenapa aku melakukan hal seperti ini hanya karena terbawa suasana...


[“...Jelaskan apa maksudnya ini. Apa-apaan ini?”]


“Tidak, Kotone... Ini persis kayak yang kamu lihat...”


Kenichi duduk bersimpuh mendengarkan suara dingin yang terdengar dari telepon. Kenichi yang tinggi itu terlihat lebih kecil dari biasanya.


[“...Tindakan pengkhianatan. Pantas dihukum mati.”]


Bahkan aku bergidik mendengar suara penuh amarah itu.


Wakamiya sedang membereskan peralatan makan sambil bersenandung, tampak tidak memperhatikan kami. Dia terlihat sangat gembira seperti anak kecil, dan melihatnya membuatku tersenyum tanpa sadar.


Kenichi menatapku dengan pandangan menuduh.


Yah, ini memang salahku sih, jadi mau bagaimana lagi...


“Hei hei, tidak perlu sampai segitunya kan! Lagian, apa ini sesuatu yang perlu dimarahi?”


[“...Kenichi tidak mengerti. Kejahatan berat yang telah kamu lakukan.”]


“Aku kan cuman mengirim foto? Marah hanya karena itu rasanya agak... Ah.”


Kenichi menyadari lidahnya terpeleset dan mengeluarkan suara bodoh.


Wajahnya menegang dan dia bergumam “Gawat”.


[“Aku juga pengen makan masakan Rin~!”]


Suara yang tidak seperti Fuji-san yang biasanya terdengar dari telepon.


Suara seperti anak kecil yang sedang merajuk.


Kenichi tersenyum kecut dan kembali memelototiku. Ngomong-ngomong, akulah yang memotret masakan Wakamiya dengan ponsel Kenichi dan mengirimkannya ke Fuji-san. Dengan tambahan pesan “Masakan untuk Kenichi lebih enak daripada untuk Fuji-san...”


Hasilnya, dia marah dan berkata “...Menggoda orang yang sedang diet dengan foto makanan itu tidak bisa dimaafkan.”


...Bagaimanapun juga, ini salahku.


Aku tidak menyangka balasan ringan seperti itu bisa menjadi masalah besar. Kepalaku sakit memikirkan betapa naifnya aku.


“Tapi, tidak perlu marah cuman gara-gara makanan kan.”

(Tln : dasar cewek :v)


[“Kenichi tidak mengerti! Masakan Rin itu enak banget tahu! Memakannya diam-diam tanpa memberitahuku... apalagi French toast kesukaanku...”]


“Bukan cuman aku yang makan sih...”


[“Tokiwagi-kun boleh aja makan... tapi Kenichi tidak boleh.”]


“Eeh...”


Kenapa aku boleh... Oh, dia suka French toast ya.


Kenichi menatapku meminta bantuan, jadi aku mengalihkan pandangan ke Wakamiya seolah menyerahkan tongkat estafet.


Wakamiya yang menyadari tatapanku tersenyum kecil dan mendekat ke ponsel.


Lalu, seolah memberikan pertolongan dalam situasi ini—


“Kotone-chan, gimana kalau kubuatkan? Aku masih punya bahannya.”


Dia berkata demikian.


Perhatian yang sempurna.


[“...Benarkah?”]


“Tentu saja. Tapi, tidak apa-apa kalau buat makan siang?”


[“Hore! Aku sangat sayang Rin!”]


Lalu telepon ditutup.


Aku mendengar suara imut yang membuatku berpikir ‘Siapa itu barusan?’... tapi yah, anggap saja aku tidak mendengarnya.


Ya, demi kehormatan Fuji-san.


Ngomong-ngomong, sepertinya Riakami ini berniat tinggal sampai siang ya. Aku sangat berterima kasih sih.


Aku melirik Kenichi yang sekarang terpinggirkan, dia sedikit gemetar sambil memukul-mukul meja.


“Maaf ya, Kenichi... Aku sedikit kelewatan.”


Aku menundukkan kepala pada Kenichi.


Aku telah mencampuri urusan pasangan dan hampir membuat mereka bertengkar. Meskipun bukan pertengkaran hebat, tetap saja ini perbuatan buruk.


Kenichi mencengkeram bahuku dengan kuat.


Bahuku secara alami menegang, tubuhku kaku seolah mengantisipasi apa yang mungkin terjadi selanjutnya.


“Towa, kamu benar-benar hebat.”


Aku terkejut mendengar kata-kata yang tak terduga itu.


“Yah~ Berkatmu, aku bisa melihat sisi langka Kotone, aku sangat berterima kasih! Biasanya dia malu-malu dan tidak menunjukkannya.”


“Eh, tapi... Bukannya kalian bertengkar?”


“Hm? Kami tidak bertengkar kok? Itu cuman semacam kebiasaan atau bisa dibilang keakraban kami? Hubunganku dan Kotone tidak akan rusak cuman karena hal semacam itu.”


“Kamu keren banget, Kenichi...”


Tampan. Baik kepribadian maupun penampilan. Dan juga kepercayaan diri untuk mengatakannya dengan tegas.


--Keren dalam segala hal.b


Jujur saja, aku bahkan merasa iri. Yah, tidak ada gunanya menginginkan sesuatu yang tidak kumiliki...


Tapi aku merasa sangat kesal ketika dia mengacungkan jempol dan berkata “Gap moe itu yang terbaik!”


Dia juga tersenyum cerah yang menyebalkan...


“Kato-san. Ada satu hal yang kupikirkan, apakah Kotone-chan tahu alamat rumah Tokiwagi-san?”


“Ah... Dia pasti tidak tahu...”


Setelah itu, telepon dari Fuji-san yang tersesat berdering dan Kenichi terburu-buru pergi menjemputnya.


◇◇◇


Rumah kecil ini bertambah padat dengan bertambahnya orang... Fuji-san yang matanya sedikit memerah bergabung, dan suasana di dalam rumah menjadi seperti kumpulan riajuu di sekolah plus satu orang pengikut.


Tentu saja, pengikutnya adalah aku...


Ngomong-ngomong, Fuji-san menempel erat di samping Kenichi, memamerkan kemesraan mereka pada kami.


Aku merasa sedikit canggung melihat pemandangan itu, jadi aku tidak bisa menatap langsung...


Aku merasa gelisah, kadang menatap langit-langit, kadang melirik Wakamiya yang entah kenapa duduk di sampingku. Dari luar, aku pasti terlihat seperti pria yang mencurigakan.


Bahkan selama makan siang, situasinya tidak berubah. Aku berharap mereka bisa memikirkan perasaan orang yang melihat.


Inilah kenapa pasangan yang mesra itu... Aku hanya bisa menghela napas.


“Nah, karena kita sudah kenyang, ayo kita tentukan rencana musim panas! Iya kan, Towa!”


“Huh? Kenapa tiba-tiba?”


Aku memiringkan kepala mendengar usulan Kenichi yang tidak ada hubungannya.


“...Kamu belum dengar dari Rin?”


“Aku sudah memberitahunya,” kata Fuji-san.


Aku menekan pelipisku, mencoba mengingat.

Kalau tidak salah...


“...Mungkinkah, festival musim panas?”


“Tepat sekali! Kamu ingat dengan baik ya, Towa. Kukira kamu sudah lupa lho?”


“Aku masih ingat janji. Yah, meskipun sampai sekarang aku masih berpikir kamu akan bilang ‘Sebenarnya ini cuman kejutan’ atau ‘Tentu saja ini cuman bercanda’ pada hari H-nya.”


“Kamu pesimis banget~”


Kenichi menatapku dengan pandangan hangat seperti melihat orang yang menyedihkan. Ditambah lagi, Fuji-san mengangkat bahu seolah-olah kecewa.


...Ugh. Apa-apaan perasaan diremehkan ini...


“Jadi, festival musim panas yang kalian rencanakan itu di mana? Meskipun aku cuman pelengkap, karena sudah janji aku akan datang dengan benar.”


“Pelengkap? Aku cuman—“


“...Kenichi.”


Fuji-san menarik lengan baju Kenichi, menatapnya dengan mata tidak puas seolah-olah menyampaikan sesuatu.


Kemudian, Kenichi tiba-tiba terlihat terkejut dan menggaruk pipinya dengan canggung.


“Yah~ Maaf ya, Towa. Kami membuatmu repot.”


“...Maaf ya, Tokiwagi-kun.”


“Ah... Tidak masalah, aku tidak keberatan.”


Aku memiringkan kepala melihat sikap mereka yang sedikit panik. Aku melirik Wakamiya juga, tapi dia hanya tersenyum kecil. Sebenarnya ada apa?


“Yah, pokoknya festival musim panas itu yang diadakan awal Agustus ya. Jadi jangan ambil shift kerja paruh waktu saat itu ya?”


“Aku mengerti.”


“Aku ingatkan dulu, alasan ‘Aku tidak bisa datang karena tiba-tiba diminta bantuan’ tidak diterima.”


“...Aku tidak akan melakukan itu.”


“Tokiwagi-san? Ada jeda aneh dalam kata-katamu lho?”


Aku mengalihkan pandangan dari Wakamiya yang menatapku curiga dengan mata menyipit.


Dia bisa menebak pikiran yang sekilas terlintas di kepalaku... Aku menghela napas dan mengangkat satu tangan.


“Aku benar-benar tidak akan melakukannya. Aku bersumpah.”


“Yah, kalau Towa melanggar janji... Saat itu aku akan serahkan sisanya pada Wakamiya.”


“...Kurasa itu ide bagus.”


“Serius? Kalau gitu aku benar-benar harus datang... Aku tidak tahu apa yang akan diminta.”


“Tokiwagi-san, apa yang kamu pikirkan tentangku...”


Wakamiya menggembungkan pipinya dan berpaling dengan cemberut.


Melihat tingkahnya itu, hatiku tergerak dan aku terdorong untuk mengulurkan tangan ke pipinya yang terlihat lembut itu.


Tepat sebelum aku melakukannya, aku merasakan tatapan dan segera menarik kembali tanganku.


Dua orang yang duduk di depanku memperhatikan kejadian itu dengan seksama.


“...Tidak, kupikir ada kotoran di pipinya.”


“Hmm...”


Aku menghela napas melihat reaksi mereka berdua yang jelas-jelas tidak percaya dengan alasan yang spontan keluar dari mulutku.


Aku melakukannya.... Aku melihat sesuatu yang tidak ingin aku lihat.


 “Ada apa, Tokiwagi-san?”


 “Tidak, tidak ada apa-apa kok… Apa yang kamu lakukan, Wakamiya-san?”


  Sebelum aku menyadarinya, Riakami, yang selama ini menatapku, mendekat ke arahku.


  Jika dia mendekat, dia akan dapat mendengar detak jantungku yang semakin cepat.


  Aroma manis yang berbeda dari parfum Wakamiya menstimulasi lubang hidungku, membuat jantungku semakin berdebar kencang.


 “Tidak peduli apa yang aku katakan, kamu mengulurkan tanganmu, jadi kupikir kamu pengen menyentuhku. Jadi... Kalau kamu tidak keberatan...”


  Pipi Wakamiya memerah, dan aku hanya bisa menahan napas saat melihatnya berbicara dengan malu-malu.


 Seolah berkata, “Sentuh pipiku,” dia mendekatkan wajahnya ke tubuhku agar aku bisa menyentuhnya dengan mudah.


 “Etto... Serius?”


 “Ya… Anu, itu tidak akan berkurang…”


 “Tapi….Tidak, itu terlalu…”


 “Bukannya rugi kalau kamu menolak di situasi ini?”


 “Kalau gitu... Sesuai kemauanmu.”


  Aku menyentuh pipinya dengan jari telunjukku.


  Kulit segar dan elastis. Aku menusuknya beberapa kali untuk memeriksa rasanya.


  Sesekali, dia mengeluarkan suara “nnn” dengan suara yang menawan, dan aku akan terkejut.


 Gawat...ini bikin ketagihan...


 “Gimana?”



“…Lumayan jauh sebelumnya.”


 Aku mengatakannya sendiri dan memberikan jawaban yang aku tidak begitu mengerti.


 Aku mengipasi wajahku dengan tanganku dan meminum teh dingin dalam satu tegukan. Meski begitu, rona merah di tubuhku tak kunjung hilang.


 "Tidak~ kamu menunjukannya."


 "...Aku yang melihatnya jadi nalu."


 "Berisik……"


  Aku mengutuk dengan suara rendah.


──Sekitar sore hari


Kenichi dan Fuji-san pulang, membuat kamar yang sempit menjadi luas. Seharusnya, menjadi luas itu hal yang menyenangkan, tapi... Entah kenapa ada perasaan yang tidak puas.


Pada akhirnya, rencana musim panas tidak begitu ditentukan, selain festival musim panas hanya ada “Ayo pergi makan sesuatu”.


Dengan kata lain, ini penundaan, atau terus terang saja, sama saja dengan tidak ada rencana.


Yah, kalau tidak ada apa-apa, aku hanya akan terus bekerja paruh waktu, jadi tidak masalah.


Menjadi siswa pekerja! Meskipun bersemangat seperti itu hanya akan sia-sia...


“Sunyi ya,” kata Wakamiya.


“...Karena tadi berisik, sekarang jadi lega.”


“Fufu. Tapi, wajahmu terlihat agak kesepian lho?”


“...Bukan. Aku cuman menikmati wabi-sabi di kamar yang menjadi sunyi... Tidak ada maksud lain.”

(Tln : “Wabi-sabi” dalam bahasa jepang merujuk pada konsep estetika yang menghargai keindahan dalam ketidaksempurnaan, ketidakabadian, dan kesederhanaan.)


Wakamiya bergumam “Gitu ya” dan tersenyum.


Matanya yang jernih seolah menerawang segalanya, menatapku dengan lembut. Kalau terus bertatapan, rasanya hatiku pun akan terbaca. Aku menghadap ke langit dan menghela napas.


“Mereka berdua sudah pulang... Wakamiya-san tidak apa-apa?”


“Setelah ini ada makan malam, jadi aku tidak pulang.”


“Maaf ya, jadi merepotkan...”


“Jangan dipikirkan. Ini cuman keramahtamahan biasa kok.”


“Gitu ya...”


“Cuman keramahtamahan biasa”... Kalau bertanya pada Wakamiya, biasanya dia menjawab begitu. Keramahtamahan yang berawal dariku, tapi sekarang sudah mencapai level yang tidak bisa kubalas lagi.


Dari pagi sampai malam, dia dengan rajin mengurus segala keperluanku. Adakah sesuatu yang bisa kulakukan untuknya?


Tapi, sebelum membalas, mudah dibayangkan bahwa “hutang” hanya akan membengkak.


Bagaimanapun, setiap hari aku membuat “hutang”... Tentu saja, jumlahnya menumpuk dengan kecepatan luar biasa...


Hahh... Mungkin lain kali aku harus berkonsultasi dengan Kenichi...


“Selain itu, hari ini aku ada urusan dengan Tokiwagi-san.”


“Urusan?”


“Ya. Jadi Tokiwagi-san, setelah makan malam, boleh minta waktunya sebentar?”


“Yah... Boleh aja sih.”


“Terima kasih. Kalau gitu, aku akan minta waktu setelah makan malam ya. Oh iya, kita juga akan belajar, jadi mohon persiapkan diri.”


“Yang benar aja...”


Tubuhku menunjukkan reaksi penolakan terhadap kata “belajar”, tapi melihat Wakamiya yang memasak dengan riang, tanpa sadar bibirku melengkung.


“Yah, tidak apa-apa deh.”


Sambil menunggu masakan selesai, aku bertopang dagu memandangi sosoknya.


    ◇◇◇


“Hei, kenapa Wakamiya-san bisa pintar memasak kayak begini?”


Sambil menikmati makanan penutup setelah makan malam, aku menyuarakan pertanyaan yang tiba-tiba muncul.


Makan malam hari ini adalah ikan, nimono, dan misoshiru. Ditambah ohitashi, sebuah susunan menu yang sangat menyehatkan.

(Tln : cari sendiri, w lagi malas :v)


Kemarin daging. Sebelumnya ikan. Begitu terus, daging dan ikan bergantian menjadi menu utama.


Sejak berhubungan dengan Wakamiya, dia membuatkan makanan hampir setiap hari, tapi sejauh ini tidak ada menu yang berulang.


Yah, meskipun pasti akan berulang suatu saat nanti, tapi tidak berulang sampai sejauh ini sungguh luar biasa.


Padahal masih siswa SMA, dan bukan lulusan sekolah khusus memasak...


Oh iya, ngomong-ngomong aku tetap membayar biaya bahan makanannya.


Bagaimanapun juga, aku tidak ingin menjadi benalu sampai sejauh itu...


“Begitulah. Aku berlatih memasak buat masa depan.”


“Hee. Apa kamu ingin menjadi koki?”


“Bukan gitu. Hanya saja ini pasti akan diperlukan nanti...”


“Hmm.”


Aku melirik Wakamiya yang pipinya sedikit memerah.


Aku tidak mengerti kenapa dia gelisah... Tapi yah, tidak perlu menanyakan hal yang sulit dikatakan.


“Ngomong-ngomong, sejak kapan kamu berlatih?”


“Sejak SD. Kalau tidak salah, sekitar kelas 5. Tapi, mungkin lebih tepat disebut hobi daripada latihan.”


“Memang benar kalau terus menerus bakal menjadi kekuatan. Sejak makan masakan Wakamiya-san, aku jadi benar-benar kehilangan minat untuk makan di luar. Kalau kamu buka restoran, pasti bakal rame banget ya?”


“Fufu, terima kasih. Senang rasanya mendengar kamu berkata begitu. Tapi, membuka restoran itu sulit lho? Tidak bisa cuman dengan bisa memasak doang.”


Aku tanpa sadar tersenyum getir mendengar Wakamiya yang tiba-tiba berbicara sangat realistis di bagian akhir.


Selesai makan makanan penutup, aku meletakkan piring di atas meja. Lalu, aku menatap lurus ke arah Wakamiya yang duduk berhadapan denganku.


“Jadi, urusan yang kamu bicarakan sebelum makan tadi apa?”


“Aku pengen membuat rencana.”


“Kalau gitu, bukannya tadi pas Kenichi dan Fuji-san ada juga tidak apa-apa?”


Mendengar kata-kataku, Wakamiya sedikit menggembungkan pipinya.


“Kalau gitu tidak ada artinya.”


“Hah? Tidak ada artinya?”


“Bukan apa-apa! Yah, karena ini Tokiwagi-san, jadi mau gimana lagi... Untuk sementara, tolong lihat ini.”


Sambil berkata begitu, Wakamiya mengeluarkan sesuatu dari tasnya yang sampai beberapa hari lalu masih ada di tanganku.


Ah, pantas aja tasnya lebih besar dari biasanya.


“Umm... Itu yang kuberikan padamu kan?”


“Ya! Ini kucing kecilnya!”


Boneka kucing yang dipeluk erat di dada Wakamiya.


Wakamiya menunduk sedikit, memandang kucing di pelukannya.


Aku tanpa sadar menahan napas melihat pemandangan yang penuh kasih sayang itu. Kucing yang seolah terjun ke lembah dada...


Pria yang melihat pemandangan ini pasti akan berkata “Kucing, ayo tukar tempat”.


Aku sendiri juga merasakan hal yang sama. Meski tak sedikitpun kutunjukkan di wajah...


“Ada apa dengan itu? Kalau rusak, aku bisa menukarkannya.”


“Bukan gitu! Lagian, meskipun rusak... Aku tidak akan menukarnya. Ini hadiah pertama yang aku terima...”


“Y-yah, kalau gitu tidak apa-apa...”


Tapi, kalau bukan itu, untuk apa dia membawanya?


Aku tidak mengerti... Dia kelihatan menjaganya dengan baik, jadi sepertinya bukan untuk mengeluh.


“Jadi, kapan kita pergi?”


“...Ke mana?”


“Ke markas besar kucing kecil ini!”


“Ah, ke tempat jebakan pasangan itu ya...”


“Umm... Dari hadiah Tokiwagi-san, aku menduga bahwa ‘ini juga termasuk ajakan pergi’, tapi apakah aku salah?”


“Tidak, aku tidak bermaksud sedalam it─”


Wakamiya membeku dengan ekspresi seolah-olah efek suara “gaan” akan terdengar.


Lalu dia menjatuhkan bahunya dan memeluk lututnya.


“...Jadi bukan ya. Aku terlalu cepat mengambil kesimpulan... Sangat memalukan...”


Bagaimana ini...


Mengajak atau tidak? Menunggu atau tidak?


Aku tidak tahu. Ini perkembangan yang tidak kumengerti.


Kalaupun pergi... dua orang saja rasanya...


Kalau Kenichi ada di sini, apa yang akan dia lakukan ya?


Wajah teman nakalku yang tersenyum menyeringai terbayang.


Aku melihat ke tempat Kenichi duduk beberapa jam yang lalu... Lho?


Di sana tergeletak buku catatan Kenichi.


Tidak tahan dengan kecanggungan, aku mengulurkan tangan ke buku catatan itu. Ketika kubuka, dua lembar kertas melayang jatuh dari dalamnya.


Aku mengernyitkan wajah melihat kertas itu dan catatan yang ditempel. Di catatan itu hanya tertulis satu kata “Dasar pengecut”.


Helaan napas keluar dari mulutku, dan aku meremas catatan itu. Kugigit bibir bawahku, lalu sekali lagi melihat kertas itu.


“Ah, Wakamiya-san. Tidak, ini kebetulan, benar-benar kebetulan...”


“...Ada apa?”


Riakami yang dengan lembut mengelus kucing. Itu memang cocok, tapi sekarang rasanya tidak nyaman.


“Saat bersih-bersih, aku menemukan tiket diskon ini. Saat kulihat tanggal kadaluarsanya, ternyata sampai akhir bulan ini. Wah, aku hampir aja menyia-nyiakan kesempatan! Padahal ada dua lembar, tapi aku tidak bisa menggunakannya sendiri!”


Wakamiya membelalakkan matanya melihat tiket diskon yang kupegang.


“Oh! Dan kebetulan, ini tiket diskon untuk tempat yang baru aja kita bicarakan! Kebetulan macam apa ini~. Tapi gimana ya, aku bingung. Aku tidak punya teman untuk pergi bersama, apa ada yang mau pergi ya~”


Aku meletakkan tangan di dahi dan bereaksi berlebihan dengan berkata “Gawat, gawat”.


Seperti badut. Tapi sekarang tidak apa-apa dianggap badut.


Wakamiya terkekeh dan mengusap matanya. Dia terlihat berusaha keras menahan tawa.


“Kalau boleh... Gimana kalau aku yang ikut?”


“Oh, benarkah?! Terima kasih banyak~”


“Dan, kamu tidak perlu memaksakan diri dengan karakter itu lho?”


“...Hahh, berisik.”


Ada hal-hal yang harus dilakukan dengan sangat berlebihan...


Untuk menyembunyikan rasa malu, tidak ada pilihan lain selain memaksakan diri untuk bersemangat. Kalau tidak menimpa perasaan itu... aku bisa mati karena malu.


“Ini janji ya? Jangan sampai lupa lho?”


“Aku tidak akan lupa. Aku tidak punya karakter yang tidak setia kayak gitu.”


“Tidak setia?”


“Ah, bukan apa-apa...”


Aku menyeruput teh dan mendengus pelan.


“Jadi... Wakamiya-san, apakah urusan yang kamu maksud tadi adalah ini?”


“Tidak, soal kucing kecil ini cuman buat konfirmasi...”


“Um... Maaf.”


Mungkin teringat kesalahpahaman tadi, Riakami tersenyum getir.


“Kalau gitu, apa urusanmu yang sebenarnya? Jangan-jangan... ‘Ternyata kita tidak jadi belajar mulai sekarang!’ semacam itu?”


“Lebih tepatnya aku punya usulan. Ah, tapi kita tetap akan belajar lho.”


“...Usulan? Tunggu, kita tetap belajar ya... Yang benar aja.”


Aku menunduk lesu, tapi jujur saja aku senang.


Bukan hanya karena Wakamiya akan membantuku belajar, tapi juga karena akhir-akhir ini aku mulai merasa sedikit menikmati waktu-waktu seperti ini.


Yah, hanya sedikit sih...


“Sebelum mengusulkan, ada yang kupikirkan tentang Tokiwagi-san.”


“Hm?”


Aku melirik ke arahnya yang menunduk menyeruput teh.


Seperti biasa, dia duduk dengan postur yang anggun.


“Aku rasa Tokiwagi-san memang tidak ramah.”


“Wah, kamu langsung ke intinya ya... Yah, memang benar sih...” Kritik langsung yang dilemparkan tanpa basa-basi itu menusuk dadaku.


Terlalu tepat sasaran... Kalau saja bisa kuanggap enteng seperti kerja paruh waktu, tapi tidak semudah itu.


Kalau saja aku bisa bersikap seperti melayani pelanggan di sekolah... Mungkin aku bisa punya satu atau dua teman.


Yah, tapi aku tidak sanggup berakting terus-menerus.


“Jadi aku berpikir.”


“Tentang apa?”


“Apa yang salah, dan gimana caranya biar Tokiwagi-san bisa melakukan percakapan biasa... Menurut pendapatku.”


“Meskipun aku sendiri yang mengatakannya, tapi sifat burukku itu sudah mengakar seperti jamur lho? Kurasa tidak bisa berubah dalam waktu singkat.”


“Memang benar.”


Aku sedikit sedih mendengar dia dengan mudahnya membenarkan kata-kataku.


Yah, tapi lebih baik daripada dia berbasa-basi...


“Karena itu, aku pengen memperbaikinya pelan-pelan.”


“Hah. Sampai kapan?”


“Aku harap setidaknya sampai kamu siap memasuki dunia kerja, sampai kamu sudah bisa diterima di masyarakat. Kalau tetap kayak gini, mencari pekerjaan pun bakal sulit.”


“Itu terlalu jauh ke depan!”


“Aku pengen kamu bisa bekerja dengan baik.”


“Aku masih kelas 1 SMA lho...”


“Perencanaan hidup itu penting lho? Dari situ kita bisa melihat apa yang harus dilakukan mulai sekarang.”


“Kamu benar-benar berpikir jauh ya.”


Merencanakan masa depan saat masih kelas 1 SMA... Biasanya itu tidak mungkin kan?


Kalaupun bisa, paling hanya hal-hal samar seperti “Ini kayaknya bagus~” atau “Itu kayaknya bagus~”. Yah, mungkin karena dia termasuk segelintir orang yang bisa melakukannya, makanya dia bisa jadi manusia sempurna seperti ini...


Sedangkan aku, bahkan masa depan terdekat pun tidak terlihat...


“Wakamiya-san, apa kamu sudah menentukan masa depan... maksudku rencana hidupmu?”


“Ya, aku punya harapan dan keinginan.”


“Hee~ Boleh aku tahu buat di jadiin referensi?”


“Rahasia.”


“Sedikit aja...”


“Rahasia.”


“Oi, kamu benar-benar tidak memberi celah ya...”


Matanya seolah berkata “Aku tidak akan memberitahu apapun”.


Aku menghela napas dan mengangkat bahu.


Percuma saja mencoba memaksanya bicara. Aku sangat paham akan hal itu.


“Tokiwagi-san yang tidak ramah, kaku, dan sama sekali tidak punya keterampilan berhubungan dengan manusia.”


“Cara bicaramu kejam banget...”


“Tapi itu kenyataan kan?”


“Yah, memang benar sih.”


“Tapi kamu juga punya sisi baik,” gumam Wakamiya.


Suaranya cukup pelan sampai hampir tidak terdengar, tapi aku pura-pura tidak mendengar apa-apa.


Jangan memuji. Aku tidak terbiasa...


Aku mendengus dengan ekspresi tidak senang.


“Karena itu, aku pengen menghilangkan ‘gaya tidak ramah Tokiwagi-san yang berusaha menjaga jarak secara paksa’ itu.”


“Menghilangkan... Itu tidak mungkin kan. Sifat dasar seseorang tidak mudah berubah.”


“Tidak begitu kok.”

 

“Tidak, tidak, nilai-nilai dan sifat dasar seseorang tidak bakal berubah kecuali ada dampak yang sangat besar kan? Pengaruh kecil tidak akan mengubah apa-apa.”


“Fufu. Aku sudah menduga Tokiwagi-san bakalan bilang gitu. Dampak memang penting ya?”


“Y-yah... memang benar.”


“Nah, ini usulanku, gimana kalau mulai sekarang kita saling memanggil dengan nama?”


“Eh...”


Aku kehilangan kata-kata mendengar usulan yang tidak terduga.


Pikiranku kacau, dipenuhi pertanyaan “Kenapa?” sehingga tidak bisa berpikir jernih.


“Aku rasa, tindakan memanggil dengan nama dapat menghilangkan satu dinding jarak antara orang. Jadi, ini adalah langkah pertama yang aku usulkan.”


“M-Mungkin ada pemikiran kayak gitu, tapi...”


Tanpa menunggu jawabanku, Wakamiya berkata “Kalau gitu, aku yang mulai duluan ya” lalu menarik napas dalam-dalam.


Dia menatapku lurus dan tersenyum. Senyumnya yang mempesona membuat dadaku berdebar.


“...Towa-kun.”


Riakami yang biasanya percaya diri kini berbisik menyebut namaku dengan suara kecil yang terdengar malu-malu.


Debaran di dadaku semakin kencang, aku merasakan denyut nadiku bertambah cepat.


“Nah, silakan...”


“Tidak, ini terlalu...”


“Silakan.”


Sudah tidak ada jalan untuk melarikan diri.


Aku berdecak dalam hati.


“Um... Rin.”


“Ya...”


Jawabannya bukan dengan suara jernih seperti biasa, melainkan lemah seperti dengungan nyamuk.


Dia terlihat sedikit gemetar, seolah-olah sedang menahan sesuatu.


“”......””


Kami berdua terdiam.


Aku melirik sekilas ke arah Rin, tapi begitu pandangan kami bertemu, kami langsung mengalihkan pandangan.


Lalu, ketika kami sedikit mengangkat wajah, mata kami bertemu lagi, dan sekali lagi kami cepat-cepat mengalihkan pandangan.


──Wajahku terasa panas.


Wajah Riakami memerah, seperti gurita rebus. Mungkin dari sudut pandang Rin, wajahku juga merah padam. Meski tanpa cermin pun aku bisa memahami hal itu.


...Tenanglah, diriku.


Aku berulang kali menarik napas dalam-dalam.


“H-hei. Soal memanggil nama itu... Gimana kalau manggilnya pas kita cuman berdua doang?”


“...Kenapa?”


Dia bersuara dengan nada sedikit sedih.


Lalu dia meletakkan tangannya di lututku, dan menatapku dengan pandangan mendongak.


Matanya yang jernih dan berkaca-kaca menangkap tatapanku dan tidak mau melepaskannya. Kalau aku terus menatapnya, rasanya aku bisa tersedot masuk.


Aku mengalihkan pandangan dari Rin dan menatap lantai.


“Yah, begini. Memanggil nama di depan orang lain itu sulit dilakukan dengan cepat... Maksudku, aku bisa mati karena malu. Jadi... Ginana kalau ini jadi rahasia kita berdua?”


“Rahasia... Rahasia ya.”


Rin meletakkan jari di bibirnya, seolah-olah berpikir sejenak.


“Baiklah. Jadi maksudnya kita tidak saling memanggil nama di luar ya.”


“...Ya, tepat sekali. Jangan sampai keceplosan di luar, ini mutlak lho?”


“Kamu bercanda?”


“Bukan. Aku cuman memperingatkan.”


“Aku mengerti kok. Karena ini rahasia kita berdua.”


Entah kenapa ada penekanan aneh pada kata “rahasia”, tapi... Yah, tidak apa-apa.


Rin tertawa kecil “Fufu” dan tersenyum dengan wajah yang terlihat senang.


“Ya... Gitulah.”


Aku hanya menjawab singkat.


Mungkin dia berpikir aku tidak ramah lagi. Tapi apa boleh buat.


Aku tidak bisa terus melihatnya...


Lalu aku berpura-pura mengubah posisi duduk untuk mengalihkan pandangan dari senyumnya. 
















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !