Chapter 7
Kencan Dengan Sang Dewi
Hari ini, sehari sebelum kencan, aku sedang mempersiapkan diri untuk besok.
Lalu aku menyadari situasi yang tak terduga...
"Aku tidak punya baju yang pantas untuk dipakai..."
Ke tempat kerja paruh waktu dengan jersey.
Jalan-jalan santai juga pakai jersey.
Ya, aku baru sadar kalau aku tidak punya baju yang layak.
Jelas tidak baik pakai jersey untuk kencan dengan Rin... Aku paham setidaknya itu.
Lagipula, aku tidak bisa membuat reputasi Rin jatuh dengan berjalan bersamanya dalam penampilan jersey yang cupu.
Karena itulah aku datang kesini untuk memilih baju...
"Aku tidak mengerti..."
Aku mengambil baju di depanku, membentangkannya dan mencoba menyesuaikan dengan tubuhku.
Lalu aku bertatapan dengan diriku di cermin.
Ya, berapa kali pun aku lihat, aku tetap tidak mengerti... Apakah cocok atau tidak.
"Mana yang harus kubeli... Sial"
Aku mengambil sebuah kemeja dan memeriksa label harganya.
Tertulis "3000 yen", tapi aku sama sekali tidak tahu apakah ini mahal atau murah.
Ditambah lagi penjaga toko terus-terusan menghampiriku... Aku ingin memilih dengan tenang sendirian.
Yah, walaupun sebenarnya aku juga tidak bisa memilih sih.
Kalau tahu begini, seharusnya aku membeli satu atau dua baju dari dulu, dan rajin mempelajarinya dari majalah.
Ngomong-ngomong, Riakami tidak ada hari ini. Kalau dia ada, pasti bisa jadi penasihat yang bagus, tapi kalau aku memakai baju yang dipilihkan olehnya keesokan harinya, pasti akan terasa memalukan. Karena itu, aku harus memilih sendiri.
Ini kesempatan saat Rin sedang ada urusan!
"Hahh..."
Yah, walaupun aku sudah bertekad, yang keluar hanya helaan nafas.
"Lho? Towa, lagi ngapain?"
"Salah orang."
Aku membalikkan badan dari suara yang kukenal itu, dan bergegas pergi—
"Oi, jangan kabur!"
Bahuku digenggam kuat dan aku gagal melarikan dah.
Tunggu, kuat sekali... Inikah kekuatan riajuu yang sempurna...
"Lho? Hari ini Wakamiya tidak ada ya.”
"Yah gitulah. Lagian aku tidak selalu bersama Ri... Wakamiya-san kan? Katanya dia ada urusan hari ini.”
"Hmmm.”
"Kenichi dan Fuji-san lagi kencan kan? Jangan pedulikan aku, bersenang-senanglah.”
"Berdua doang tidak selalu berarti kencan lho.”
"...Ya. Kami memang... Sering bareng di akhir pekan..."
Dua orang yang penampilannya modis seperti hendak diwawancarai di jalanan. Wah, keren sekali...
Sementara aku, pria mencurigakan berpakaian jersey yang sedang memilih-milih baju...
Inikah yang disebut kesenjangan sosial.
"...Tokiwagi-kun lagi ngapain?"
"Kayak yang kau lihat, memilih baju.”
"Towa?"
"Ya..."
Dia memperhatikanku dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan seksama.
Lalu mereka berdua menjatuhkan bahu mereka seolah kecewa.
"Kotone, kita punya tugas.”
"...Kenichi. Aku juga berpikir begitu.”
"Ada apa sih kalian berdua..."
Kenichi dan Fuji-san menunjukkan ekspresi serius seolah telah memutuskan sesuatu. Mereka saling bertatapan dan mengangguk.
Apakah ada sesuatu yang mendorong mereka?
"...Aku bakal bersiap di rumah. Nanti kita bertemu lagi ya.”
"Oke! Mengerti.”
Fuji-san berlari pergi meninggalkan Kenichi. ....Larinya cepat juga ya.
"Nah, ayo kita pilih baju~"
"Pilih baju... Jangan-jangan, untukku?"
"Tentu saja! Ini kencan spesial, jadi kita harus memilih baju yang bagus!"
"...Ya.”
Dia menunjukkan senyum ikemen yang segar kepadaku dan mengacungkan jempol.
"Nah Towa... Menurutmu, apa yang paling penting dalam fashion?"
"Kemeja... Ah tidak, celana? Yah, sekitaran itu kam?"
"Kamu sama sekali tidak mengerti ya~ Yang pertama itu, alas kaki. A-las ka-ki!"
"Maksudmu sepatu? Sepatu olahraga aja cukup kan. Kalau musim panas ya sandal."
"Eh..."
"Kenapa kamu menatapku dengan mata kayak melihat sesuatu yang mengerikan..."
"Ngomong-ngomong, sandal yang kayak ginana?"
"Tentu saja zori kan?"
Kenichi membuka mulutnya lebar-lebar, dan mematung di tempat seolah-olah berubah menjadi batu.
"Kamu tidak apa-apa?" Aku melambaikan tangan di depan mata Kenichi.
"Apa dia mati... Yah, mungkin ini hukuman dari langit. Apakah doa para pria malang di dunia ini akhirnya terkabul?"
"Aku belum mati!"
"Oh, sayang banget."
"Pokoknya, aku mengerti. Yah... serius, ini salahku. Aku benar-benar lupa betapa parahnya kebodohanmu."
"Kata-katamu kejam banget... Tapi, aku tidak menyangkalnya."
Sebenarnya, bahkan aku pun tahu betapa buruknya caraku berpakaian. Lagipula, aku tidak pernah memikirkan untuk pergi keluar dengan seseorang...
"Towa, berapa danamu untuk hari ini?"
"Yah, lumayan. Karena aku kerja sambilan, jadi ada sedikit."
"Oke~ Aku akan memilihkan dalam batas yang wajar!"
"Oh iya, Kenichi."
"Hm? Ada apa? Ayo cepat kita lihat-lihat?"
"Um, terima kasih buat yang waktu itu... Dan buat hari ini juga..."
"Haha, aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan. Ayo, cepat kita pergi!"
Setelah itu, aku terus mencoba baju yang dikatakan "bukan yang ini" berkali-kali, dan pemilihan baju berlanjut sampai sore... Bayanganku di cermin saat itu mengingatkanku pada boneka yang pakaiannya bisa di ganti-ganti.
◇◇◇
"Hei Kenichi. Kenapa aku ada di sini?"
"Kenapa? Kupikir tujuan kita semua sama."
"...Tokiwagi-kun, tolong diam. Kamu membuatku tidak konsentrasi."
"Baik..."
Suara gunting melewati kepalaku. Dan setiap kali melewatinya, rambutku terlepas dari kepala dan berserakan di lantai.
"...Kamu harus merawatnya dengan baik."
"Untunglah rumah Kotone adalah salon kecantikan! Terima kasih sudah meminjamkan tempatnya."
Tangan Fuji-san yang memegang gunting berhenti.
Itu karena Kenichi sedang mengelus kepalanya. Fuji-san menyipitkan matanya seperti merasa geli, tapi pipinya memerah dan meskipun bibirnya cemberut, dia terlihat senang.
"Um, kalian berdua? Bisakah kalian tidak bermesraan di atas kepalaku? Hal kayak gitu di lakuin pas kalian berdua aja."
"'Itu kata-kata yang seharusnya kamu terapkan pada dirimu sendiri.'"
"Wow, kalian sangat kompak ya. Tapi, aku tidak punya pengalaman pengalaman kayak gitu..."
"Orang bodoh mendingan mati aja." "...Lebih baik mati ditendang kuda."
"Kalian benar-benar akrab ya..."
Bahkan hinaan mereka pun sinkron. Apakah pasangan kekasih bisa selaras seperti ini?
Sepertinya mereka mulai pacaran saat Golden Week... tapi mungkin mereka sudah lama berteman.
"...Ngomong-ngomong, Tokiwagi-kun tidak pernah pergi memotong rambut? Potongannya tidak seimbang... Berantakan... Ujung rambutmu menyedihkan."
"Aku cuman memotongnya sendiri sambil melihat cermin. Karena aku amatir, wajar aja kalau hasilnya menyedihkan. Tolong maklumi itu."
"...Motongnya pakai apa?"
"Tentu saja dengan gunting kan? Itu dijual di mana-mana."
"'Hahhh'"
"Kalian berdua menghela napas!?"
"Kotone, kamu sudah mengerti betapa menyedihkannya Towa kan?"
"...Ya. Ini beneran parah banget."
"Apa-apaan tatapan setengah kasihan itu..."
Mereka menatapku dengan mata seolah-olah melihat orang yang menyedihkan.
Mau bagaimana lagi? Aku tidak suka salon atau barbershop karena mereka selalu mengajak bicara, itu menyebalkan...
"...Oh iya. Kenichi, ambilkan itu."
"Oh, yang itu! Aku sudah menduganya, jadi sudah kutaruh di sana~"
"...Benar juga. Fufu, Kenichi memang hebat ya."
"Yah, aku bisa membaca pikiran Kotone sih."
"...Aku juga begitu."
Keduanya saling menatap dengan pipi memerah. Mungkin suasananya akan lebih baik jika aku tidak ada di sini.
"...........Meledaklah kalian."
Aku bergumam sambil menghela napas dan menutup mata.
Aku akan diam dan menunggu sampai selesai...
Lagipula, aku tidak tahan melihat kemesraan mereka. Aku yang melihatnya jadi merasa malu.
"Hei, Towa. Tidak apa-apa tetap menutup mata, tapi tolong dengarkan."
"Ada apa, pasangan bahagia?"
"Besok, bersenang-senanglah."
Karena rasa malu bahwa perasaanku sudah diketahui, aku bergumam "Berisik..." dan dengan sengaja bersikap dingin terhadap Kenichi.
◇◇◇
──Sekitar pukul 8 pagi, yang terbentang di depan mata adalah gelombang manusia yang membentuk antrian panjang.
Aku merasa terpukau dengan banyaknya orang.
Meskipun masih pagi, matahari sudah tinggi dan suhu udara sudah terasa panas. Sinar matahari musim panas menyengat, seolah-olah membakar kulit.
Yah, tubuhku yang panas bukan hanya karena suhu udara sih...
"Towa-kun, orangnya banyak banget ya... Aku tidak tahu akan seramai ini."
"Gitulah."
Aku menjawab singkat dan mengipasi wajahku dengan tangan sambil berkata "Panas".
Sementara itu, Riakami di sampingku memeluk boneka kucing di dadanya, dan terlihat sangat gembira sampai-sampai bersenandung. Meskipun begitu, hari ini dia terlihat sangat dewasa.
Biasanya dia memang tenang dan dewasa, tapi hari ini dengan efek makeup, pesonanya meningkat 50%. Pakaiannya adalah siluet fit and flare dengan sweater yang pas dengan badannya dan rok mengembang, memperlihatkan bentuk tubuhnya dengan sempurna. Kombinasi warna hitam dan lavender terlihat elegan, membuatnya tampak seperti ojou-sama dari keluarga terhormat.
Begitulah, dia terlihat sangat memukau.
Riakami itu tersenyum sambil menunggu antrian masuk dengan riang.
Dia tidak tenggelam dalam keramaian, malah justru menarik perhatian.
Seolah melambangkan hal itu, setiap pria yang lewat di samping Riakami tanpa terkecuali mengalihkan pandangan mereka padanya, bahkan ada yang sampai terpana seolah hatinya telah dicuri.
Yah, pria yang memiliki pacar, telinganya di tarik dan dibawa pergi...
Tidak sulit membayangkan apa yang terjadi selanjutnya. ...Mari kita doakan mereka.
Begitulah, berada di samping Rin membuatku merasa sangat tidak nyaman.
Untungnya, aku senang tidak mendengar suara yang mengatakan "Bukankah pria itu tidak cocok?"... Ini pasti berkat Kenichi dan Fuji-san.
Pakaian, gaya rambut... Dan sebagainya.
Meskipun memalukan karena semuanya sesuai dengan apa yang mereka katakan...
Sambil memikirkan hal itu, aku melirik Rin dari samping. Pandangan kami bertemu dan aku terkejut.
Rin sepertinya memperhatikan bagian kepalaku.
"Ada apa? Ada sesuatu yang mengganggumu?"
"Um, apakah kamu memotong rambutmu?"
"Hee, kamu menyadarinya dengan baik."
"Itu... Sangat cocok untukmu."
"Aku cuman memotongnya karena sudah panjang."
"Fufu. Gitu ya. Aku juga tidak tahu kamu punya pakaian kayak gitu."
Pakaian...
Oh, karena dia membersihkan rumah, dia tahu barang-barangku. Berarti, dia tahu aku membelinya?
Memikirkan hal itu membuatku merasa wajahku memanas.
"...Apakah aneh?"
"Tidak, sama sekali tidak. Malah..."
"Hm?"
"Kamu terlihat keren..."
"O-Oh. Aku tidak menyangka bakal mendapat pujian kayak gitu... Um, terima kasih..."
"Tidak... Aku cuman mengatakan apa yang kupikirkan."
Rin menyembunyikan wajahnya yang memerah ke boneka kucing. Tapi, karena hanya wajahnya yang tersembunyi, telinganya yang memerah masih terlihat.
Lagipula, aku juga merasa malu... Aku tidak menyangka akan dipuji secara langsung seperti itu...
Sampai kami masuk, ada suasana yang sulit dijelaskan antara aku dan Rin. Benar-benar canggung...
◇◇◇
──Sekitar tengah hari
Setelah menaiki beberapa wahana, aku dan Rin berdiskusi di pinggir jalan tentang ke mana kami akan pergi selanjutnya.
Ngomong-ngomong, kami menaiki wahana yang menegangkan dan wahana yang imut seperti dongeng. Ini pertama kalinya dalam hidupku menaiki wahana yang menegangkan, tapi berbeda dengan Rin yang terlihat santai, aku merasa sangat menderita seolah-olah jantungku akan melompat keluar.
Sejujurnya, aku tidak ingin naik lagi. Yah, kalau Rin memintanya, aku akan naik sih... Mau bagaimana lagi.
"Wahana tadi imut ya. Ada kucing ini juga."
"Iya ya~ Aku tidak menyangka akan ada sebanyak itu."
Dia menunjukkan boneka kucing padaku seolah-olah memamerkannya. Sikapnya yang sedikit bersemangat terlihat imut.
"Di wahana tadi, aku jadi bersemangat kayak anak kecil."
"Oh ya? Menurutku kamu terlihat kayak biasanya."
"Tidak kok? Menurutku, semangatku sedang berada di puncaknya."
Meski begitu, tidak terlihat banyak perubahan.
Memang benar dia tersenyum lebih banyak dari biasanya, dan suaranya tidak terdengar datar...
Yah, itu hanya “sepertinya” saja sih.
“Towa-kun, lihat itu. ...Banyak orang berkumpul, kira-kira ada apa ya?”
“Ah, itu...”
Aku mengingat kembali peta taman hiburan dan jadwal acara yang kucatat di kepalaku kemarin.
Kalau acara siang hari──
“Itu parade. Katanya ada pada siang dan malam hari.”
“Aku tidak tahu. Um, Towa-kun tahu banyak ya?”
“Yah, cuman sebatas yang kuketahui aja.”
Ya, hanya sebatas yang kuketahui. Aku sama sekali tidak tahu tentang cerita-cerita karakter di taman hiburan ini. Yang kupunya hanyalah pengetahuan dangkal yang baru kupelajari...
“Jangan-jangan sebenarnya kamu pernah ke sini sebelumnya? ...Bahkan dengan seorang wanita?”
“Bodoh! Mana mungkin. Ini semua cuman kutiru dari Kenichi.”
Aku menggeleng dengan gerakan tangan pada Rin yang menatapku curiga.
Aku tak bisa mengatakan bahwa aku mencari tahu sebelumnya. Itu terlalu memalukan... Kalau kukatakan, akan terkesan seperti aku sangat menantikan hari ini.
“Parade bakal dimulai pukul 11 pagi──”
Pengumuman terdengar melalui pengeras suara di seluruh taman.
Bersamaan dengan itu, banyak orang mulai bergerak menuju lokasi parade.
Kupikir kami akan baik-baik saja karena berada di pinggir, tapi aku sedikit terkejut dengan kerumunan yang di luar dugaan. Sebagian orang yang terburu-buru mencoba mendahului orang di depan mereka dan menerobos ke arah kami.
Mereka tidak melihat ke depan, mungkin karena ada teman di belakang. Mereka hampir menabrak Rin──
Tapi tepat sebelum itu terjadi, aku menarik lengan Rin dan menariknya ke arahku.
Namun, ini jelas salahku... Karena ditarik tiba-tiba, Rin kehilangan keseimbangan dan malah jatuh ke dadaku.
Aroma manis yang lembut tercium. Aroma yang berbeda dari parfum itu menstimulasi hidungku. Meski dia jatuh dengan cukup keras, aku tidak merasakan sakit di dadaku.
Sebaliknya, rasanya lembut seperti bulu.
“...Towa-kun?”
Rin mengangkat wajahnya dan tersenyum padaku.
Syukurlah... Sepertinya dia tidak marah.
Sejenak kata “pelecehan seksual” terlintas di benakku, tapi melihat situasi ini sepertinya tidak apa-apa... Mungkin.
“...Maaf. Karena aku melamun... Um, apakah sakit?”
“Tidak, sama sekali tidak. Justru maaf karena menarikmu tiba-tiba... Rin sendiri tidak apa-apa?”
“Tidak masalah. Malah, terima kasih sudah menangkapku.”
“Ah, aku juga... Terima kasih.”
Rin tertawa kecil “fufu”.
Seharusnya kami sudah bisa menjauh... Tapi entah kenapa tidak ada yang bergerak.
“Mungkin sudah waktunya kita menjauh...”
“Masih banyak orang jadi masih berbahaya... Boleh sebentar lagi?”
“Um...”
Dia menatapku dengan sedikit manja.
Tanpa sengaja, posisi kami seperti aku meminjamkan dadaku padanya. Ditatap dari dekat seperti itu membuatku sangat tidak tenang. Aku memang tidak pernah dekat dengan wanita, benar-benar tidak pernah malah. Jadi jarak sedekat ini buruk untuk jantungku. Apalagi yang menempel padaku adalah gadis yang luar biasa cantik.
Ini semakin gawat...
Karena kami tidak pacaran, rasanya tidak pantas.
Rin sepertinya tidak menyadari posisi ini, dan menunggu orang-orang berlalu dengan ekspresi biasa. Yah, mungkin gadis cantik seperti Rin yang banyak disukai pria tidak akan terguncang hanya karena hal seperti ini. Aku jadi malu sendiri karena terlalu memikirkannya...
Parade dimulai, dan pergerakan orang-orang mulai tenang.
Setelah memastikan itu, Rin melepaskan diri dariku dan berdiri di sampingku.
“Kalau gitu, ayo kita pergi?”
“Yah, baiklah.”
Aku tersenyum kecut melihat sikap Rin yang biasa saja.
Sepertinya hanya aku yang merasa tegang...
Rambut panjangnya melambai lembut tertiup angin. Apakah itu hanya perasaanku saja kalau telinganya yang terlihat di antara rambutnya tampak memerah?
◇◇◇
Waktu berlalu sejak keadaan penuh sesak dengan pengunjung yang berebut posisi terbaik untuk menonton parade, dan suasana mulai tenang. Meski begitu, ini hanya dibandingkan dengan tadi.
Melihat sekeliling, ada orang yang berlari menerobos kerumunan menuju wahana, ada yang bertengkar soal urutan antrean, dan ada juga pasangan yang sepertinya sedang berdebat.
“...Ini kayak lukisan neraka ya.”
Aku menghela napas dalam melihat semua itu.
Sambil menyandarkan siku di meja, aku menikmati jus bergelembung khas taman hiburan dan tekstur tapioka di dalamnya. Benar-benar seperti melihat api di seberang sungai... ya, tempat ini damai dan menyenangkan... Riakami di depanku juga tersenyum kecut melihat sekeliling.
“Kenapa orang-orang bertengkar di tempat yang seharusnya menyenangkan? Padahal bakal lebih baik jika semua orang bisa bersenang-senang bersama...”
“Aku setuju. Yah, mungkin karena mereka tidak punya cukup ketenangan hati? Mereka saling bersikeras dan tidak mau mengalah, hingga akhirnya ‘ya, bertengkar’ gitu.”
“Kupikir kalau mereka menikmatinya, seharusnya bisa lebih tenang...”
Rin menatap pasangan yang bertengkar dengan wajah sedih. Bahunya tersentak saat melihat seorang pria ditampar.
Dia terlihat sedikit imut, seperti kelinci yang ketakutan... Tentu saja, aku tidak mengatakannya.
“Kurasa ketenangan kayak gitu tidak akan muncul.”
“Kenapa gitu?”
“Orang yang biasanya bekerja atau pelajar, pasti sangat menantikan tempat khusus kayak gini pas libur kan? Mereka berpikir ‘Aku akan melepaskan semua stres!’.”
“Memang benar ada sisi kayak gitu... Tapi bukannya justru karena itu mereka pengen bersenang-senang dan menghindari masalah?”
“Yah, aku mengerti maksud Rin. Kalau semua orang bisa berpikir jernih kayak Rin, mungkin tidak akan ada masalah. Sayangnya kenyataannya tidak begitu.”
“Hmm. Kenapa ya... Ini sulit.”
“Singkatnya, karena ‘mereka pengen bersenang-senang paling banyak’. Karena itu mereka mementingkan diri sendiri dan tidak melihat sekeliling. Hasilnya adalah ‘perselisihan’ karena bertindak tanpa berpikir.”
“Gitu ya... Itu masuk akal, keinginan buat bersenang-senang memang wajar...”
“Tepat sekali. Yah, pada akhirnya orang paling menyayangi diri mereka sendiri. Mereka ingin bersenang-senang tanpa banyak berpikir, orang lain jadi nomor dua.”
Aku mengangkat bahu dan mengambil sosis bertulang yang kubeli, lalu mengunyahnya.
Sosis ini disiram saus pedas khusus dan terkenal di taman hiburan ini.
Hmm, enak. Daginya juga lumayan juicy...
Rin tertawa kecil melihatku.
“Ada yang aneh?”
Aku mengerucutkan bibir dan menatapnya dengan tidak puas.
Saat pandangan kami bertemu, Rin tersenyum dan tertawa kecil lagi.
“Tidak, tidak ada apa-apa. Aku cuman terkejut Towa-kun ternyata memperhatikan sekeliling dengan baik, jadi aku tertawa tanpa sadar.”
“Apa-apaan itu... Lagian, bukankannya wajar memperhatikan sekeliling?”
“Benarkah? Kupikir Towa-kun lebih kayak orang yang berpikir ‘Aku tidak peduli dengan sekeliling’.”
“Ah, gitu. Yah, memang aku tidak tertarik, tapi aku tetap memperhatikan sekeliling buat melindungi diri. Akan merepotkan kalau tidak bisa menghindar saat masalah menimpa kita.”
Kalau bisa menghindari masalah sebelum terjadi, itu lebih baik.
Karena kedamaian adalah yang terpenting...
Tapi, kehidupanku belakangan ini dalam arti tertentu sangat kacau.
Meski ingin menghindari, ada keberadaan tidak masuk akal yang menerobos dengan paksa... yah, aku hanya bisa berterima kasih sih.
“Apakah mereka bisa berbaikan?”
“Berbaikan? Pasangan itu?”
Aku menoleh ke arah pasangan yang masih terlihat bertengkar.
Ah, tamparan keras mendarat lagi di wajahnya...
(Tln : kalo di indo dah jadi tontonan warga ini)
“Iya. Semoga pertengkaran ini bisa membuat hubungan mereka semakin kuat...”
“Entahlah. Tapi kudengar kencan di tempat rekreasi kayak gini sering menjadi penyebab putusnya hubungan.”
“A-Aku tidak tahu... Tolong ceritakan lebih detail!”
“O-Oke.”
Entah apa yang membuatnya terkejut, tapi Rin membelalakkan mata dan berkedip beberapa kali.
Lalu dia menatapku dengan serius. Aku terpana dengan tatapan intensnya dan menjawab dengan canggung.
Mungkin Riakami yang baik hati ini tidak ingin pasangan itu putus. Karena itu dia ingin mendengar kelanjutan ceritaku.
“Kamu tahu, untuk bersenang-senang di tempat rekreasi kayak gini pasti ada waktu menunggu atau waktu yang terikat kan? Karena itu, selama waktu itu, orang bisa melihat sisi buruk pasangannya.”
“Sisi buruk kayak gimana...?”
“Hmm... Misalnya, mulai kesal pas menunggu antrean, atau suasana canggung karena terus diam, atau cumam melihat ponsel tanpa memperhatikan pasangan... Yah, kira-kira gitulah?”
“Memang benar, kalau hal-hal kayak gitu terjadi pas kencan yang ditunggu-tunggu... Mungkin bakal sedih ya.”
Rin kembali melihat ke arah pasangan tadi.
Tapi mereka sudah tidak ada di sana, dan sebagai gantinya – sedikit jauh dari tempat tadi, terlihat punggung pasangan yang bertengkar tadi sedang berjalan sambil bergandengan tangan.
Menyadari hal itu, Rin bergumam “Syukurlah” dan tersenyum lembut.
Ekspresi penuh kasih sayangnya sangat mempesona, membuatku memandangi wajah Rin seolah lupa waktu. Ketika dia menyadari dan menoleh padaku, aku terbatuk dan buru-buru memalingkan wajah.
“Tentang pembicaraan tadi...”
“Hm? Tentang putus itu?”
“Iya, benar. Kayaknya tidak perlu khawatir.”
“Um... Ngomongin soal apa?”
“Kupikir, kalau itu Towa-kun dan aku, hal-hal kayak tadi mungkin tidak akan terjadi.”
Aku menyemburkan jus yang sedang kuminum dan terbatuk-batuk.
Melihat keadaanku, dia menatap dengan mata khawatir sambil berkata “Kamu tidak apa-apa?”, dan di tangan kanannya yang terulur ada sapu tangan yang bersih.
“Tidak apa-apa, aku cuman tersedak karena jus masuk ke tenggorokan...”
Aku mengulurkan tangan untuk menolak, tidak ingin mengotori sapu tangannya.
Namun, tangannya menyelinap melewati tanganku yang terulur dan dengan lembut menekankan sapu tangan ke wajahku, menyeka sesuatu.
“Fufu. Towa-kun, ada saus di pipimu lho?”
“...Aku sudah tahu. Aku bermaksud mengelapnya nanti...”
Alasan yang dibuat-buat. Benar-benar seperti anak kecil...
Bahkan aku tidak bisa berterima kasih dengan jujur...
“Oh gitu. Maaf aku melakukan hal yang tidak perlu.”
“Tidak, aku tidak keberatan.”
“Kalau gitu, gimana dengan yang ini?”
Sambil berkata begitu, dia dengan hati-hati menyeka sudut mulutku dengan sapu tangan.
Aku yang tidak siap hanya bisa membiarkannya.
“Nah, sekarang sudah bersih. Jangan-jangan kamu juga sudah menyadari yang ini?”
Melihat ekspresinya yang polos seperti anak nakal, aku hanya bisa mengangkat kedua tangan dan menyerah dengan berkata “Kamu menang”.
◇◇◇
Langit terlihat kosong dan samar.
Seolah-olah ada kabut, pandanganku tidak jelas.
“...Aku benar-benar mengacau.”
Aku bersandar di bangku taman dan menempelkan botol minuman yang sudah sama hangatnya dengan suhu tubuh ke dahiku.
Meski tidak ada gunanya, asal bisa sedikit mengalihkan perhatian itu sudah cukup.
Taman hiburan tempat aku dan Rin berada sangat luas. Hampir tidak mungkin untuk mengunjungi semua wahana dalam satu hari. Jika ingin menikmati semuanya dengan santai, menginap adalah keharusan. Apalagi, sekarang adalah liburan musim panas.
Wahana yang populer tentu saja sangat ramai, bahkan hanya untuk sampai ke tempat tujuan saja sudah melelahkan. Yah, meskipun begitu kami masih bisa bermain cukup banyak dengan mengatur waktu dengan baik.
Sampai saat itu masih baik-baik saja.
Tapi di sini, akibat dari selalu menghindari orang akhirnya muncul.
“Towa-kun. Um, kamu tidak apa-apa?”
“...Maaf.”
Aku hanya bisa meminta maaf.
Aku memelototi sumber masalah di depanku yang telah memberikan pukulan terakhir pada diriku sendiri.
“...Pusing di saat begini, memalukan sekali. Orang-orangnya terlalu banyak.”
Ya, aku pusing karena keramaian. Biasanya aku tidak pernah berada di tengah kerumunan seperti ini.
Interaksi dengan orang lain hanya sebatas kerja paruh waktu, dan tentu saja dalam kerja sambilan pun aku tidak pernah menghadapi orang sebanyak ini.
Karena itu, aku tidak terbiasa dengan tempat yang penuh sesak dengan orang seperti taman hiburan ini... Dan akhirnya pusing karena keramaian. Sungguh memalukan.
“Towa-kun bicara tentang banyaknya orang... Tapi bukannya ini karena terlalu banyak memutar cangkir kopi?”
(Tln : mainan yg di puter pake tangan itu lho, bingung jelasinnya pokoknya gitulah)
“Ugh, itu ada benarnya... Tapi, itu—“
Aku hampir mengatakan “Itu karena Rin bertanya ‘Kira-kira bisa berputar seberapa cepat?’”, tapi aku menelan kata-kataku.
Bagaimanapun, yang memutar adalah tanggung jawabku. Ini adalah tanggung jawabku yang lahir dari pilihanku sendiri. Akulah yang salah karena terlalu bersemangat...
Aku mati-matian menahan rasa mual yang naik sampai ke tenggorokan. Aku tidak bisa mempermalukan diriku lebih dari ini.
Rin mengawasi keadaanku sambil memijat punggungku.
Aku bisa melihat kantong plastik di tas Riakami... tapi sebaiknya aku tidak memikirkannya. Aku tidak mau membayangkan untuk apa dia mempersiapkan itu.
“...Ngomong-ngomong, Rin, kamu terlihat baik-baik aja ya.”
“Aku sedikit pusing, tapi tidak masalah.”
“...Hebat banget.”
Bahkan di saat seperti ini, dia tetap tak terkalahkan seperti biasa.
Apakah ada sesuatu yang tidak dia sukai? Aku sama sekali tidak bisa membayangkannya.
Sepertinya dia bisa menyelesaikan apa pun dengan wajah tenang, tidak peduli apa yang diminta darinya.
“Bukannya sebaiknya kamu berbaring?”
“...Tidak, tidak usah. Di sini banyak orang... Aku tidak mau dilihat dengan tatapan aneh.”
Kadang-kadang ada orang yang dengan santainya berbaring dan tidur di depan umum.
Bahkan di taman hiburan seperti ini. Mereka berbaring di atas tikar piknik yang mereka gelar untuk menunggu parade, tanpa peduli orang-orang di sekitar mereka.
Tapi aku tidak punya keberanian untuk melakukannya di tengah tatapan orang-orang. Jika aku melakukan itu, aku mungkin akan mati karena malu.
“Gitu ya... Kalau gitu, bisakah kamu berjalan sedikit?”
“Ya, sedikit aja...”
Ketika aku mengangguk, Rin tersenyum dan dengan lembut menggenggam tanganku.
Biasanya aku akan berdebar-debar, tapi sekarang aku terlalu mual untuk memikirkan hal itu.
Riakami tetap memegang tanganku, berjalan perlahan sambil memperhatikan keadaanku. Aku mengikutinya dengan langkah goyah, membiarkan diriku dituntun.
Dan tempat Rin membawaku adalah area sungai yang hampir tidak memiliki atraksi.
Satu-satunya wahana yang ada hanyalah kapal yang beroperasi secara berkala, membuat tempat itu sangat sepi.
Terlebih lagi, karena masih ada waktu sampai kapal berikutnya datang, hampir tidak ada orang di sana.
Rin berhenti di depan sebuah bangku di area itu, duduk lebih dulu, lalu berkata dengan ragu-ragu sambil memiringkan kepalanya sedikit,
“Um, silakan kalau kamu mau...?”
Kemudian dia menepuk-nepuk pahanya, mengisyaratkan agar aku berbaring.
“Jangan bilang... kamu menyuruhku tidur di situ?”
“Ya. Kebetulan tidak banyak orang lewat, dan bangku ini cukup besar buat berbaring.”
“...Tapi...”
“Tidak apa-apa, silakan gunakan aja. Tapi... Maaf kalau tidak nyaman...”
Aku mengalihkan pandanganku ke paha Rin yang ramping.
“Kamu tidak bakal menuntutku nanti atau semacamnya kan ..?”
“Tidak akan. Sudahlah, ayo.”
Dia menarik tanganku yang ragu-ragu dengan agak paksa, lalu meletakkan kepalaku di atas pahanya.
--Lembut.
Dia sama sekali tidak gemuk. Malah, dia begitu kurus sampai-sampai aku berpikir tidak sopan bahwa mungkin akan sakit jika tidur di pahanya.
Namun, Hizamakura (bantal paha) terasa lebih berkualitas daripada bantal mana pun yang pernah kualami.
Pandanganku yang tadinya kabur tiba-tiba menjadi jelas, dan rasa pusingku mulai hilang. Sebagai gantinya, jantungku berdebar kencang dan wajahku menjadi panas.
“Kamu boleh tidur sebentar kalau mau. Dan meskipun kamu merasa sudah lebih baik, tolong tetap istirahat untuk berjaga-jaga. Hari ini masih panjang.”
“...Kalau gitu... aku bakal memanfaatkan kebaikanmu.”
“Fufu. Silakan.”
Aku tadinya berniat untuk bangun dan bilang “Pusingku sudah hilang”... Tapi sekali lagi aku kalah cepat darinya, membuatku menghela nafas.
Wajah Rin yang kulihat dari bawah terlihat lembut, seolah-olah seorang malaikat sedang tersenyum.
Aku menutupi mataku dengan lengan, berusaha menyembunyikan wajahku sebisa mungkin.
Sekarang, aku ingin menyembunyikannya sebisa mungkin. Itulah yang kupikirkan.
"Beritahu aku kalau kakimu sakit."
"Baik. Towa-kun juga, beritahu aku kalau tidak nyaman ya?"
"...Tidak masalah."
Dari celah pandanganku yang samar, aku menatap langit yang telah berubah warna menjadi merah jingga.
Apakah warna langit ini... Bisa sedikit menyamarkan warna wajahku?
Pada akhirnya, kami tetap dalam posisi itu selama sekitar satu jam.
◇◇◇
"Sudah gelap ya..."
Saat aku melihat ke langit, lampu sorot dari atraksi bersinar membelah malam yang telah berubah warna menjadi biru tua.
Ketika malam tiba, jenis pengunjung pun berubah, hampir tidak ada lagi keluarga seperti siang hari. Sebagai gantinya, yang bertambah adalah pasangan yang bermesraan. Buktinya, di tempat-tempat yang sepi, terdengar suara percakapan pria dan wanita atau suara menggoda entah dari mana...
Tempat di mana kami berada tadi pun, karena sepi, mungkin telah menjadi tempat bermesraan bagi pasangan.
Ingin rasanya berteriak "Pilih tempat yang tepat!", tapi sulit untuk menghentikan pasangan yang sedang bersemangat.
Banyak orang yang tidak peduli meskipun ada orang lain yang melihat, bahkan yang lebih parah akan memarahi kita dengan berkata "Hah? Ini tempat bagus, jadi jangan ganggu" seolah-olah kita yang salah.
Aku berpikir bagaimana bisa mereka bersikap seperti itu dengan mengabaikan sepenuhnya "rasa canggung" yang mereka timbulkan pada orang-orang di sekitar... Cinta itu buta... mungkin ini yang dimaksud dengan ungkapan itu.
Mungkin ada pemikiran bahwa mengganggu itu tidak sopan... Tapi sayangnya aku tidak punya hak untuk menyalahkan mereka dalam hal ini.
...Karena aku sendiri merasa seperti boomerang dalam hal ini.
Kalau melihatnya, sebaiknya pura-pura tidak melihat saja...
"Kamu sudah merasa lebih baik?"
"Ya."
"Um, jangan memaksakan diri ya? Kalau perlu, aku bakal meminjamkan pahaku lagi."
Rin menepuk-nepuk pahanya, seolah mengatakan bahwa dia siap kapan saja.
"Tidak masalah... Kalau lebih dari ini, mentalku tidak akan kuat."
"Eh, mental... Oh, jadi memang tidak nyaman ya? Maafkan aku..."
"Bukan gitu! Justru sangat nyaman bang-- ah... Pokoknya itu bukan masalah. Aku sangat berterima kasih, sungguh."
"Kalau gitu syukurlah..."
Rin memiringkan kepalanya dengan ekspresi bingung.
Memang benar hizamakura itu sangat nyaman dan tidak ada yang bisa dikeluhkan. Bahkan rasanya seperti layak dibayar.
Tapi, masalahnya adalah melakukan itu di tempat seperti ini.
Meskipun tempat ini sepi, bukan berarti tidak ada orang sama sekali. Jadi tentu saja, ada orang yang lewat...
Dan setiap kali ada orang lewat, mereka menatap kami dengan pandangan "Uwaa--" seolah ingin mengatakan sesuatu.
Terutama, kata-kata "Jangan lihat" dari orang tua yang membawa anak terasa menusuk.
Yah, sepertinya Riakami tidak peduli sih...
"Lagian sebentar lagi parade malam bakal dimulai, jadi tidak ada gunanya istirahat sekarang. Aku sudah pulih lebih dari cukup."
"Tapi, jangan memaksakan diri ya? Kalau kali ini tidak bisa melihatnya, kita bisa datang lagi lain kali."
"Yah, mungkin kita hakal melakukan itu kalau gitu."
Rin tersenyum padaku dan bergelayut di lenganku.
Mungkin karena banyak orang yang lewat... Tapi bukankah dia terlalu dekat?
Musik mulai terdengar di seluruh taman, dan bersamaan dengan itu, wahana yang dihiasi lampu-lampu muncul dari kejauhan, samar-samar terlihat dari tempat kami berada sekarang.
"Towa-kun, lihat! Sudah dimulai!"
Dia menunjuk ke arah cahaya yang terlihat, melompat-lompat seperti anak kecil mencoba melihat parade yang masih sulit terlihat.
Sepertinya dia tidak sabar menunggu parade yang perlahan mendekat.
Terpesona oleh perbedaan sikapnya dari biasanya, aku tanpa sadar memandang Rin... Tapi segera mencubit pipiku sendiri dan mengalihkan pandangan ke arah parade.
Parade di taman hiburan ini disebut "Parade Cahaya" dan sangat populer di kalangan segala usia.
Menurut rumor, ada penggemar yang memiliki tiket tahunan dan masuk ke taman hiburan setiap hari hanya untuk melihat parade ini.
Parade yang sudah mendekat itu, sesuai dengan rumor tersebut, sangat indah dan fantastis hingga membuatmu ingin melihatnya berulang kali.
Lampu-lampu warna-warni, penari dan karakter yang diterangi cahaya.
Setiap gerakan mereka begitu halus dan elegan, membuat mata tak bisa lepas.
“...Indah banget.”
Wajah Rin yang terpesona melihat parade cahaya di hadapannya terlihat sangat serasi, seolah-olah jika dilukis pasti akan laku keras.
Karena terlalu asyik memandangi pemandangan itu, aku benar-benar lengah.
Orang-orang yang ingin melihat parade dari dekat menerobos di antara aku dan Rin, maju ke depan.
Karena desakan yang tiba-tiba itu, aku hampir kehilangan pandangan terhadap Rin.
“Rin!”
Aku mengulurkan tangan ke arah Rin yang hampir hilang di kerumunan.
Aku berhasil meraih tangan Rin, tapi dia terlihat terkejut dengan mata membulat.
“Towa...kun?”
“Maaf, aku refleks memegang tanganmu...”
Aku buru-buru melepaskan tangannya.
Aku sudah melakukannya... Meskipun itu refleks, pasti mengejutkan jika tiba-tiba dipegang oleh seorang pria.
Mungkin saja dia tidak suka. Wajar jika dia merasa jijik dipegang oleh pria yang bukan kekasihnya.
“...Benar juga. Sudah mulai ramai, ayo pulang. Um, maaf soal yang tadi...”
Aku berbalik dan berkata begitu pada Riakami.
Seharusnya aku minta maaf dengan tulus sambil menatap matanya. Tapi entah kenapa aku tidak bisa melakukannya.
Dia selalu baik padaku yang hanya orang biasa.
Aku tidak tahu alasannya, mana mungkin aku mengerti pikiran orang hebat sepertinya.
Justru karena itu, jika aku berbalik dan melihatnya... aku mungkin akan menyadari bahwa dia tidak suka.
Aku merasa waktu menyenangkan yang kurasakan akan berakhir.
Karena itulah aku tidak bisa melihatnya.
Aku melangkah satu langkah ke depan.
Tapi anehnya, aku tidak bisa melangkah lebih jauh.
Ada sedikit beban di punggungku yang mencegahku untuk maju.
“Tunggu.”
Suara jernih Rin menembus keramaian dan masuk ke telingaku.
Aku memutar setengah badanku, dan melihat tangan Rin memegang ujung bajuku.
“...Rin?”
“Kayaknya kamu salah paham, jadi aku pengen menjelaskan. Aku tidak keberatan. Aku cuman terkejut. Itu... karena aku belum pernah... Dipegang erat oleh laki-laki sebelumnya...”
“Oh, gitu...”
Setidaknya dia tidak membenciku, aku diam-diam menghela napas lega.
“Towa-kun, boleh aku minta satu hal...?”
“Boleh, tapi apa permintaanmu?”
“Tanganmu... Biar tidak terpisah... Bolehkah aku menggenggam tanganmu?”
Suaranya semakin pelan di bagian akhir.
Tapi dia menatapku dengan pandangan memohon.
...Mana bisa aku menolak. Yang seperti ini...
“Yah, boleh aja. Biar tidak terpisah... Kalau kamu tidak keberatan denganku...”
“Terima kasih...”
Aku dengan lembut menggenggam tangan yang diulurkannya. Tangan Rin yang menggenggam tanganku ternyata lebih kecil dan ramping dari yang kubayangkan.
“Aku... Pengen datang lagi. Ke sini.”
“Benar juga. Semoga kita bisa datang lagi...”
Kami hanya terpana memandangi cahaya yang lewat di depan kami.
Setiap kali satu cahaya berlalu, rasa sedih semakin menguat.
Aku tidak bisa mengatakan pada siapapun bahwa aku berharap waktu yang kami habiskan berdua ini bisa terus berlanjut.
Ini... Rahasiaku sendiri.
◇◇◇
Parade telah berakhir, dan musik ceria yang tadi menggema kini telah hilang. Sebagai gantinya, musik lembut mengalun di seluruh taman. Ini menandakan berakhirnya waktu seperti mimpi di taman hiburan ini.
Di tengah suasana itu, aku dan Rin berjalan berdampingan, tangan kami yang tadi bergandengan kini telah terlepas.
Aku gelisah membuka dan menutup tanganku berulang kali.
Lalu aku menyentuh tanganku yang kasar berkali-kali, seperti menyentuh bantalan kaki anjing, menyesali hilangnya sensasi tangan yang kesepian.
Tangan perempuan itu lembut ya... Itulah kesan jujurku.
Tapi, ketika aku memikirkannya lagi sekarang – fakta bahwa aku “bergandengan tangan dengan seorang gadis”, dan dalam suasana seperti itu... Membuat wajahku memanas.
Pasti wajahku memerah.
Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Ya, sejak bergandengan tangan, jantungku terus berdebar kencang.
“Ada apa? Apa kamu terluka...?”
Mungkin karena merasakan ada yang aneh dengan sikapku, Rin menatapku dengan khawatir.
Aku segera menggelengkan kepala dan berkata, “Tidak apa-apa. Bukan apa-apa.”
Rin memiringkan kepalanya, terlihat sedikit sedih.
“...Padahal tadi banyak banget orang, tapi sekarang sudah sepi ya.”
“Yah, ini sudah waktunya taman tutup. Tapi karena liburan musim panas, kurasa masih banyak pengunjung yang menginap.”
“Menginap... Oh, ada pilihan kayak gitu ya. Apa kita juga harus mencobanya lain kali?”
“Tidak, tidak. Itu terlalu mahal buat anak SMA kan? Simpan aja itu untuk nanti. Sekarang lebih baik bersenang-senang sesuai usia kita.”
“Begitukah? Menurutku anak SMA juga bisa menginap lho? Lagian kalau kita menabung, kurasa bukan hal yang tidak mungkin.”
“Benarkah? Menurutku tidak perlu memaksakan diri kayak gitu.”
Nikmati saja apa yang bisa kita lakukan. Itu yang paling mudah dan baik. Tidak perlu memaksakan diri...
“Ngomong-ngomong, hari ini menyenangkan banget ya. Ini pengalaman terbaik dalam hidupku.”
“Bukannya itu berlebihan?”
“Sama sekali tidak. Aku belum pernah ke tempat kayak gini sebelumnya, jadi ini menyenangkan bang—“
Langkah kami terhenti saat melihat orang-orang di depan.
Di arah kami berjalan, ada sepasang kekasih yang sedang berpelukan dan berciuman dengan mesra.
Aliran orang-orang di sekitar situ terlihat aneh karena semua orang berusaha menghindari mereka.
Aku menghela napas dan berbalik untuk mengubah arah. Sepertinya Rin juga berpikiran sama, dia menatapku lekat.
Mungkin karena melihat kemesraan pasangan di depan kami, wajahnya memerah.
““...””
Kami saling menatap dalam diam, merasa canggung dan malu.
Lalu Rin menggenggam tanganku dan menyandarkan tubuhnya padaku.
--Haruskah aku mengatakan sesuatu?
Aku tidak tahu. Tentang diriku sendiri, maupun tentang Rin...
Setidaknya, aku tahu dia tidak membenciku.
Aku tidak sebodoh itu...
Tapi aku tidak boleh bertindak tanpa kepastian.
Aku tidak boleh menganggap kasih sayang biasa sebagai cinta yang dalam...
Tapi aku bingung, aku tumpul.
Perasaan itu membuatku tidak bisa memahami jarak antara aku dan Rin.
Sial... Aku tidak bisa menyortir perasaanku.
Kepalaku dipenuhi pertanyaan.
Bodoh! Berpikirlah normal, diriku...
Ini bukan fiksi.
Tidak mungkin ada perkembangan atau masa depan yang dramatis seperti di drama.
Karena itu, tidak mungkin seorang anggota kelompok SSS jatuh cinta pada orang biasa sepertiku.
Kalau dipikir-pikir lagi, aku tidak menemukan alasannya... Malah, sama sekali tidak ada.
Hubungan aneh ini terjadi begitu saja.
Karena sebelum hari itu, aku bahkan belum pernah berbicara dengannya...
Ya... Karena itu, jangan bermimpi, diriku! Jangan lupa... Hal yang paling menakutkan adalah “kesalahpahaman”.
Cukup dengan fakta bahwa aku pernah berada di dekat Riakami.
Aku harus puas dengan itu...
Jika aku tidak bisa puas...
Aku akan senang jika hubungan ini bisa berlanjut sedikit lebih lama. Hanya itu yang boleh kupikirkan.
Tapi, aku tidak boleh berharap lebih dari itu.
Aku menghela napas dan menatap langit gelap tanpa bintang.
Lalu aku menutup mata sejenak, membuat ekspresi.
“Rin, ayo kita datang lagi.”
“Tentu saja.”
Sejenak dia mengerutkan alis, tapi segera tersenyum dan menjawab dengan suara jernih.
Senyuman itu terpatri di kepalaku, dan menusuk hatiku.
◇◇◇
Di kereta pulang, kami berbincang ringan, lalu aku mengantar Rin sampai ke depan rumahnya.
Kadang-kadang dia melirikku seolah mengamati ekspresiku, jadi aku berusaha tersenyum padanya.
Tapi setiap kali aku melakukannya, aku merasa “sakit”.
Mungkin karena aku terlalu memikirkan hal itu, aku jadi sedikit melamun.
Sampai Rin memanggilku, “Towa-kun”, aku bahkan tidak menyadari dia masih di depanku, kupikir dia sudah masuk ke rumah.
“...A-ada apa... Rin?”
Aku terkejut, merasa seolah-olah dia tiba-tiba muncul di depanku.
Dia menatapku dengan mata jernihnya. Tapi kali ini tatapannya tajam dan sedikit menakutkan.
“Sudah kuduga, ada yang aneh...”
“...Apanya?”
“Aneh banget, Towa-kun tersenyum kayak gitu...”
“Bukannya itu keterlaluan?”
Aku tanpa sadar tersenyum getir mendengar dia mengatakan senyumku aneh.
Namun, pada saat yang sama, aku merasa sedikit tertusuk.
“Itu tidak keterlaluan. Karena Towa-kun cuman tersenyum pas menjaga jarak dengan orang lain, kayak pas bekerja paruh waktu...”
“............”
Aku tidak bisa berkata-kata.
Karena dia menebak dengan sangat tepat.
“Aku bisa mengenali ekspresi yang dibuat-buat. Lagian aku tahu. Bahwa Towa-kun itu orang yang kasar, tidak ramah, dan tidak bisa tersenyum dengan tulus.”
“Tidak... Bukan gitu...”
Aku tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Bahkan alasan yang dibuat-buat pun tidak keluar.
“Karena itu, aku sudah memutuskan.”
“Memutuskan...?”
“Ya, tekadku.”
“Tekad”. Sambil berkata begitu, Rin menarik napas dalam-dalam.
“Kayaknya aku terlalu lembut.”
“Terlalu lembut?”
“Jujur aja, aku malu... Aku mengerti bahwa cara setengah-setengah tidak cukup buat meruntuhkan benteng pertahananmu. Karena itu, aku juga bakal membulatkan tekad.”
Aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan sejak tadi.
Tapi jelas ini ada hubungannya denganku. Ada sesuatu yang membuatnya harus membulatkan tekad seperti ini.
Namun aku tidak paham.
Kapan, di momen apa, karena apa dia membulatkan tekadnya, aku tidak tahu.
Mengabaikan kebingunganku, Rin terus melanjutkan kata-katanya.
“Karena itu, ini adalah pernyataan perangku. Meski kurasa Towa-kun yang sekarang tidak bakal mengerti maksudku...”
“...Maaf.”
“Tidak apa-apa. Aku bakal membuatmu mengerti bahwa apapun interpretasimu, kamu cuman akan sampai pada satu jawaban itu.”
Dia menunjukku dengan jari telunjuknya, menyatakan dengan tegas dan gagah.
Lalu, dia meletakkan jari itu di bibirnya dan dengan ekspresi yang begitu menawan hingga membuatku terpesona, dia hanya mengucapkan satu kalimat, “Karena itu, bersiaplah ya?”
Angin hangat yang seolah mengubah aliran waktu berhembus di antara aku dan Rin.
--Sebuah tanda permulaan yang sesungguhnya.
Itulah yang kurasakan.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.