Chapter 2
Kehidupan Yang Berubah Dengan Sang Dewi
Perubahan.
Itu datang tiba-tiba pada suatu hari. Namun, perubahan selalu didahului tanda-tanda dan memiliki sebab.
Dengan kata lain, bukan kebetulan, melainkan keniscayaan.
Perubahan tidak akan terjadi tanpa ada sesuatu yang memicunya.
...Ya, tanpa ada sesuatu pemicu.
"Selamat datang! Silakan pesan!"
Seperti biasa, aku melayani pelanggan dengan senyum profesional.
Mungkin terdengar aneh jika aku yang mengatakannya sendiri, tapi aku cukup percaya diri dalam melayani pelanggan.
Memasang senyum, berakting... Ah, sungguh pekerjaan paruh waktu yang menyenangkan.
Aku tidak perlu menunjukkan perasaan asli, dan menghadapi pelanggan yang menyebalkan pun tidak masalah selama aku dibayar.
Jadi selama bekerja, aku tidak menunjukkan sedikitpun kemalasan seperti biasanya. Jika aku serius bekerja, gajiku akan naik. Jauh lebih bermanfaat daripada belajar.
Namun..., senyumku saat ini mungkin sedikit terlihat dipaksakan.
Tidak, ini pasti bukan senyum lebarku yang biasa, melainkan jelas sekali senyum yang dibuat-buat. Senyum "bertahan dengan sekuat tenaga". Penyebabnya adalah--
"Hmm, aku pesan burger set A, kentang ukuran L, dan teh lemon."
Suara jernih yang baru saja kudengar semalam...
Ya, yang memesan di hadapanku ini adalah sang Riakami, Wakamiya Rin. Wakamiya yang baru saja kuantar semalam, entah kenapa sekarang ada di dalam restoran ini.
Aneh. Semuanya terasa aneh.
Dia datang karena kebetulan?
Atau dia punya tuntutan tertentu?
Dia datang untuk membungkamku agar tidak membocorkan soal kebaikanku semalam?
Aku tidak tahu. Dia hanya melihat ponselnya, tidak menatapku. Ah, mungkin saja dia tidak mengenaliku yang memakai seragam dan topi kerja, dan dia datang ke sini untuk makan biasa.
Fuhh... Ya, kurasa begitu.
Wakamiya hanya memesan seperti biasa, jangan berpikir yang tidak-tidak--itu hanya akan membuatku lelah.
Ini bukan urusanku, jangan dipikirkan... Ya, begitu.
Aku menarik nafas kecil dan memperbaiki ekspresiku.
"Terima kasih! Jadi burger set A, kentang ukuran L, dan minumannya teh lemon, benar?"
"Ya, itu pesananku."
"Baik, totalnya 550 yen!"
Wakamiya membayar lalu membawa nampannya dan duduk di dekat jendela.
Aku berusaha untuk tidak menatapnya, tapi dari tempatku di kasir, dia berada dalam jarak pandangku, jadi aku tidak bisa tidak melihatnya. Ah tapi dia pasti akan segera pergi setelah makan...
--Satu jam kemudian
Wakamiya membuka buku pelajaran dan serius mengerjakan sesuatu.
Buku teks yang tebal itu pasti matematika ya?
Seperti dugaanku, murid teladan bisa belajar di mana saja.
Restoran ini sama sekali bukan lingkungan yang cocok untuk belajar.
Ada musik yang diputar dan murid lain yang ribut di sini. Tapi dia masih bisa berkonsentrasi belajar, itu memang bakat.
--Dua jam kemudian
"Tolong dua donat dan kopi. Ukuran yang paling kecil."
"Baik, ukuran S! Silakan pilih rasa donatnya."
"Hmm... Dua-duanya rasa original aja."
"Totalnya 350 yen."
"Ah, boleh aku minta tambahan gula dan susu? Masing-masing dua?"
"Baik, dua gula dan dua susu! Siap!"
"Terima kasih."
--Dua jam kemudian lagi
"Okyaku-sama (pelanggan), ini sudah waktunya untuk murid SMA pulang..."
Pada akhirnya, Wakamiya terus belajar sampai batas waktu murid diperbolehkan berada di sana, yaitu pukul 22.00.
Dan aku, yang diminta oleh pemilik toko, terpaksa menegurnya... begitulah situasinya.
“Eh? Tokiwagi-san, kamu bekerja paruh waktu di sini ya... Tapi jam segini... Ah, aku melakukannya lagi.”
“Apa sih yang kamu lakukan hari ini sama kemarin...”
Seperti yang kupikirkan kemarin, dia memang agak ceroboh ya... Bahkan sampai lupa aku bekerja di sini... Apa aku tidak punya sedikitpun eksistensi sampai dilupakan begitu? Ini sedikit menyakitkan...
“Aku akan menelepon dulu...”
Déjà vu... Sekali lagi aku melihat tubuh Wakamiya bergetar saat dimarahi di telepon.
“Maaf... Tokiwagi-san, bolehkah aku meminta bantuanmu lagi kayak kemarin?”
“Ya, boleh...”
Sepertinya kali ini dia dimarahi lebih keras dari kemarin.
Melihat tatapannya yang berkaca-kaca, aku tidak bisa menolak permintaannya.
Tidak, memang tidak mungkin aku bisa menolaknya kalau ekspresinya seperti itu...
◇◇◇
Keesokan harinya setelah insiden dengan Wakamiya.
Aku memandangi ke luar dengan mulut mengunyah roti yang kubeli di konbini, sambil menikmati waktu istirahat makan siang. Di lapangan, aku melihat anak-anak asyik bermain sepak bola dan anak-anak populer duduk di bangku mengobrol. Bahkan di dalam kelas, aku melihat anak-anak populer itu tertawa riang.
Salah satu dari mereka yang berada di pusat kelompok itu melihatku, lalu menyeringai dan berjalan menghampiriku. Dia duduk di depanku dan memulai percakapan.
“Huam, Towa, hari ini kamu kelihatan lebih ngantuk dari biasanya.”
“Aku tidak ingin mendengar itu sama orang yang menguap.”
Aku menatap Kato Kenichi, teman sekelasku atau lebih tepatnya pemjahat, duduk di depanku sambil meregangkan tubuh.
Memang seperti yang dia katakan, aku benar-benar hampir tidak bisa menahan kantuk.
Penyebab utamanya mungkin karena jam tidurku jadi terlambat. Jika aku pulang dari kerja paruh waktu lebih larut, maka aku akan tidur lebih larut juga. Selama aku masih bekerja, ini tidak bisa dihindari.
Karena itu, aku jadi mengantuk di sekolah dan tidak bisa fokus mendengarkan pelajaran sama sekali. Yah, meskipun sejak awal aku juga jarang memperhatikan sih...
Tapi Kenichi sampai bilang “lebih dari biasanya”, mungkin kami memang sudah berteman lama. Ngomong-ngomong soal berteman, kami cuman sekelas saja dari SD sampai SMA.
Kami tidak pernah pergi bermain bersama ke suatu tempat. Hanya teman lama yang tidak akrab.
Kenichi adalah orang yang bisa bergaul dengan siapa saja tanpa membeda-bedakan, semacam bola komunikasi. Dia punya banyak kenalan dan selalu berada di pusat perhatian dengan topik pembicaraan yang tak pernah habis. Sementara lawan bicaraku hanyalah Kenichi dan... guru, itu pun hanya saat aku dimarahi.
Jarak pertemananku dengan orang-orang seperti Kenichi yang ada di grup A di sekolah memang sangat berbeda.
Ah iya, sama seperti Wakamiya sang Riakami, dia juga cukup terkenal di angkatan kami.
Sudah harusnya seperti itu.
Dia ceria, tampan, pintar, atletis... Dan juga baik hati.
Apa dia manusia sempurna?
Ada pepatah “Langit tidak memberi dua kali,” tapi kalau dipikirkan, itu pasti bohong. Justru aku diberi terlalu banyak berkah!
Yah, orang seperti itulah yang selalu menyeringai dan menghampiriku setiap istirahat.
Entah kenapa dia selalu melakukan ini, padahal dia tidak perlu repot-repot meninggalkan kelompoknya.
Mungkin karena persahabatan buruk kami sudah begitu lama?
“Ngomong-ngomong Kenichi, boleh aku tanya sesuatu?”
“Hm? Ya boleh aja. Tumben kamu mau bertanya ke padaku, Towa.”
Kenichi memiringkan kepalanya, tapi wajah mengantuknya tadi sudah hilang sepenuhnya. Malah sepertinya dia bersemangat, matanya berbinar-binar.
“Hmm... Ngomong-ngomong, gimana kabar hunganmu dengan pacarmu akhir-akhir ini?”
“Wah! Pembicaraan soal pacar nih!! Asik, asik!”
“Ah iya, iya, soal pacar...”
Melihat semangat Kenichi yang semakin meninggi, aku terpaksa mengerutkan dahiku. Lagian, wajahnya terlalu dekat!
Sepertinya orang-orang di sekitar juga tertarik mendengar pembicaraan Kenichi. Yah, kalau itu gosip soal ikemen dan pacarnya, wajar sih kalau jadi perhatian.
Sebenarnya ada alasan khusus mengapa aku mengangkat topik ini. Ada sesuatu yang sangat mengganjal pikiranku.
“Hubunganku dengan pacarku baik-baik aja kok! Bahkan kemarin kami juga jalan bareng!”
“...Jalan? Kamu yakin kemarin?”
“Lho? Apa aku ngomong yang aneh ya? Ah! Kalau tidak percaya, aku bisa tunjukin buktinya nih!”
Kenichi lalu mengeluarkan ponselnya dari saku seragam dan mulai memainkannya sambil bersiul.
“Nah, ini yang kenarin kufoto...”
Banyak juga ya fotonya sampai susah mencari yang kemarin.... Memang beda ya kalau sudah jadian. Ngomong-ngomong, foto yang ada di ponselku cuman screenshot layar utama yang tidak sengaja ke ambil.
“Ini dia! Lihat nih fotonya!”
“Oh iya, terima kasih.”
Aku melihat foto itu sesuai saran Kenichi.
“Eh... pacarmu itu Fuji-san ya?”
“Iya dong! Imutkan fotonya!! Waktu itu dia lagi seneng banget habis mencetak strike pertamanya di bowling. Nah, ini fotonya beberapa detik kemudian.”
Dari senyum lebar jadi tampang datar lagi seperti biasa. Fuji-san memang keliatan cool sih kalau di sekolah. Cool tapi imut gitu. Dan auranya juga agak mengusir orang lain yang ingin msndekatinya.
Tapi gap ini... jujur saja, aku jadi tertarik padanya.
“Gap-nya luar biasa ya.”
“Kan? Makanya aku suka gap-nya ini. Oh iya, foto ini rahasia ya, udah aku sensor duluan kok!”
“Oke, oke.”
Aku sekedar mengangguk-angguk saja. Yah, mau bagaimana lagi, percuma juga nanti.
Semua yang di sekitar sini sudah mendengarnya, cepat atau lambat juga pasti Fuji-san bakal tahu soal foto ini.
Dasar Kenichi...
“Ngomong-ngomong Kenichi, fotonya buruan dipindah tempat aja. Kalau masih mau nyimpen...”
Aku memberi saran sambil merasa bersalah sudah mencuri dengar pembicaraan mereka. Semoga masih sempat...
“Makasih sarannya. Tapi tenang aja, datanya udah ada di komputer rumahku kok.”
Kenichi lalu membisikkan dengan suara pelan sambil menyeringai ke arahku. Ah, dia memang sengaja menyebarkan gosip ini ya.
Dengan begitu, kalau Fuji-san nanti mendengar gosipnya, dia akan berpikir “Sudah kuhapus fotonya dari ponselnya, jadi aman.”... Licik juga ya si Kenichi ini.
“Terus, sejak kapan sih kamu jadian sama Fuji-san? Soalnya aku denger gosip kalau kamu lagi deket sama orang lain.”
“Sekitar bulan Mei kali ya. Katanya sih GoW Magic gitu! Gosip yang kamu denger itu tidak benar, cuman isu.”
“Gitu ya?”
“Iya, tidak benar kok. Aku sama Wakamiya Rin tidak pacaran. Ngobrol biasa sih iya.”
Nah, inilah yang ingin aku tanyakan pada Kenichi.
[Kato Kenichi dan Wakamiya Rin berpacaran]
Gosip ini sudah beredar sejak lama. Kalau ternyata itu benar, aku berniat menjelaskan dan minta maaf soal kemarin hari. Nanti kalau kebongkar malah repot, apalagi kalau sampai bermusuhan dengan Kenichi si ikemen grup A. Paling buruk yang bisa terjadi adalah timbul kesalahpahaman “aku mendekati pacarnya”... Syukurlah ternyata itu hanya isu belaka.
“Cie cie, Towa? Naksir Wakamiya ya? Yaudah berjuanglah, aku dukung kok!”
“Tidak, bukan gitu. Aku cuman penasaran sama gosipnya aja kok.”
“Oh gitu. Oh iya, katanya Wakamiya sekarang lagi jomblo lho?”
“Ah begitu. Ngomong-ngomong, kenapa kamu senyum-senyum aneh begitu...? Jangan bercanda, aku serius. Lagian, walau untuk ikemen seperti Kenichi mungkin bisa, tapi buat orang biasa kayak aku gini mustahil kan?”
“Kamu masih aja merendah.”
“Orang biasa harus rendah diri, kalau tidak gimana bisa bertahan hidup.”
“Hahaha. Tapi, meski begitu aku mendukungmu kok, Towa!”
“Ya ya...”
Aku tersenyum masam melihat Kenichi yang nyengir memamerkan giginya.
Namun, senyumnya seketika lenyap begitu melihat sosok yang tertangkap pandangannya.
“...Kenichi, kemari sebentar.”
“Eh, tunggu!? Kotone!?”
“Selamat jalan~”
Aku melambai pada sahabatku itu dengan senyum pelayanan yang kulatih saat kerja paruh waktu.
“Tega banget~!”
Kulihat Kenichi yang merengek ditarik pergi oleh pacarnya. Aku mengikuti mereka dengan pandangan.
Namun, aku refleks mengalihkan pandangan begitu menyadari ada sosok lain di pintu masuk.
“...Rin, bantu aku mengajari si bodoh ini. Aku akan mendidiknya.”
“Kotone-chan. Menggunakan kekerasan itu tidak baik lho? Sebaiknya bicara baik-baik dengan penuh kesabaran...”
“...Kepada anak yang tidak mau patuh, kadang kekerasan juga perlu.”
“Tidak mau! Aku akan menjadikan foto ini sebagai hartaku!”
Melihat kelakuan sahabatku yang menyedihkan itu. Tapi jika itu hanya akting, aku malah kagum dengan usahanya yang begitu membara.
Aku memandangi perdebatan ketiga orang itu dari samping.
Sekilas tadi aku merasa bertatapan dengan Wakamiya, tapi...mungkin hanya khayalanku saja.
◇◇◇
Seusai sekolah, seperti biasa aku pergi bekerja paruh waktu.
Namun berbeda dari biasanya, hari ini aku harus menghadapi “keluhan”.
“Keluhan”
Mendengar kata itu, apakah semua orang akan merasa panik? Di zaman sekarang, dimana istilah “pelecehan pelanggan” sudah ada, kita jadi lebih sensitif terhadap keluhan. Dan orang yang bekerja paruh waktu sepertiku tidak bisa menghindari “keluhan”.
Dulu aku pernah mendapat keluhan “Kentangnya dingin”. Waktu itu aku hanya bisa meminta maaf terus-menerus, sebuah memori yang pahit. Yah, sejak saat itu aku jadi lebih berhati-hati dalam menghadapi keluhan. Jadi keluhan tidak selalu buruk, ada sisi positifnya juga untuk meningkatkan diri. Tapi mungkin itu hanya berlaku jika kita bisa menerimanya dengan bijak.
“Tokiwagi-san. Kamu mendengarkanku? Aku datang untuk menyampaikan keluhan padamu.”
Jadi, begitulah aku menerima keluhan.
Ngomong-ngomong, Wakamiya tidak menyampaikannya sambil berhadap-hadapan di konter. Dia mengatakannya begitu aku keluar dari pintu belakang seperti biasa. Dia tidak mengganggu pekerjaanku, karena dia orang yang serius.
Aku tertangkap basah begitu keluar dari pintu belakang seusai bekerja. Tidak heran setelah beberapa hari, aku jadi sudah terbiasa melihat Wakamiya disana saat keluar.
Aku mencoba menerka alasan mengapa Wakamiya marah padaku.
Sejak pertama bertemu, dia selalu datang ke restoran ini setiap hari. Hari ini pun sikapnya seperti biasa...
Dia memesan set dan donat seperti biasa, lalu belajar.
Tidak ada yang berubah dari biasanya.
Kemungkinannya, apa ada masalah dengan pelayananku...?
Tidak, waktu itu tidak ada yang janggal, malah menurutku pelayananku sempurna. Tapi ya... kalau kuingat-ingat lagi, sepertinya memang sudah beberapa hari ini Wakamiya terlihat tidak senang...
Jadi bukan karena pelayananku saat bekerja ya?
Aku melirik Wakamiya sekilas.
Tidak ada kesan malu-malu seperti biasanya yang seakan berkata “Tolong bungkuskan lagi”. Kali ini tatapan matanya lebih tajam dari biasanya.
Gawat, aku tidak bisa menahan keringat dinginku...Inikah yang disebut merasakan pandangan ular? Aku menelan ludah.
“Err, aku mau tanya dulu, keluhannya tentang pelayananku? Kalau itu, menurutku tidak ada masalah...”
“Bukan gitu”
Sepertinya tidak begitu. Aku menggelengkan kepala, lalu memikirkan kembali alasan mengapa dia marah.
“Hmm...”
Kesimpulannya – aku sama sekali tidak mengerti.
Pada dasarnya, seseorang seusiaku = belum pernah memiliki pacar. Tidak, bahkan lebih dari itu... Aku, seorang laki-laki yang hampir tidak pernah bergaul dengan perempuan sampai sekarang, tidak memiliki “kemampuan untuk memahami hati wanita” atau keterampilan tingkat tinggi semacam itu.
“Hari ini aku berbeda dari biasanya, kamu mengerti?”
“Aku marah padamu, kamu mengerti?”
Itu adalah kalimat templat yang sering diucapkan oleh perempuan......
Mana aku tahu! Aku ingin berteriak dengan suara lantang.
Lagian, apapun jawabanku atas pertanyaan ini, pasti akan dibalas dengan “Bukan begitu”.
Atau mungkin “Ya, tapi...” Yah, intinya – aku tidak bisa. Aku menyerah. Tidak ada yang terlintas di pikiranku.
“Kayaknya kamu memang tidak mengerti ya...”
“Maaf”
“Tidak apa-apa. Tokiwagi-san, kamu mengabaikanku kan? Setelah sekolah...”
“Ah... Mungkinkah kamu memanggil namaku...?”
“Ya, aku memanggilmu tapi kamu mengabaikanku.”
Saat aku mengingatnya, ketika aku terburu-buru pergi bekerja paruh waktu, aku seperti mendengar seseorang memanggil namaku dari belakang... Kupikir itu hanya salah dengar, ternyata Wakamiya yang memanggilku.
“Ternyata beneran di panggil ya... Aku kira cuman salah dengar doang”
“Padahal aku memanggilmu dari jarak yang cukup dekat... Aku tidak menyangka kamu mengira itu salah dengar”
Wakamiya menatapku dengan tatapan tajam. Pipinya yang sedikit menggembung terlihat imut, membuatku ingin mengelus pipinya tapi aku menahan keinginan itu.
“Jarang ada yang memanggil diriku. Jadi, aku tidak mau menoleh dan terlihat terlalu memusatkan perhatian pada diriku sendiri, atau menciptakan suasana canggung.”
“Saat Tokiwagi-san mengabaikanku, aku terjebak dalam suasana canggung itu sendirian...”
“Ah, soal itu aku minta maaf. Aku tahu itu salah.”
Aku menundukkan kepala dengan tulus.
Suasana canggung saat diabaikan memang sulit untuk ditahan. Aku sangat mengerti karena sering mengalaminya. Meskipun agak menyedihkan...
“Setidaknya kamu bisa memberi sedikit reaksi, kan? Kamu sama sekali tidak bereaksi sehingga aku sampai berpikir ‘Mungkinkah salah orang?’”
“Gitu, namaku aja jarang di panggil. Yang memanggilku cuman Kenichi, orang lain memanggilku dengan ‘Hei’ atau ‘Hei kamu’...”
“Ah... Kayaknya aku menanyakan hal yang tidak seharusnya kutanyakan”
“Tidak perlu memasang wajah canggung begitu. Aku sudah terbiasa, itu sudah menjadi hal biasa bagiku”
“Mau saputangan?”
“Tidak perlu. Aku tidak menangis kok”
“Gitu ya”
Wakamiya lalu memasukkan saputangannya kembali ke dalam tas.
Jadi dia mengira aku menangis? Aku tidak sesentimental itu kok. Jadi tidak masalah sama sekali. Aku cukup kuat mental untuk bisa berteriak “Menjadi jones itu hebat!” di jalanan. Tentu saja aku tidak akan melakukannya...
“Apa pun alasannya, aku minta maaf karena telah mengabaikanmu”
“Tidak apa-apa. Aku sudah mengerti alasannya, dan aku akan lebih berhati-hati mulai sekarang”
“Ngomong-ngomong, ada urusan apa kamu memanggilku?”
“Bukan urusan penting sih...”
“Gitu ya”
Aku memang penasaran, tapi sepertinya dia tidak terlalu ingin membahasnya, jadi aku tidak akan mendesaknya lebih jauh.
Yah, selain itu, ada sesuatu yang harus kukatakan padanya. Itu lebih penting.
“Ah, ya. Ada satu nasihat untukmu, Wakamiya-san.”
“Nasihat? Apa itu?”
“Jangan pernah mengajakku bicara di sekolah”
“Kenapa?”
Dia menelengkan kepalanya, seolah tidak mengerti apa yang ingin kukatakan. Benar-benar ceroboh...Sungguh.
“Kalau tersebar rumor aneh tentangmu dengan laki-laki yang tidak kamu sukai, itu pasti tidak enak kan? Lagian, aku sudah sering mengantarmu sampai dekat rumahmu. Cepat atau lambat, pasti akan ada yang melihat kita.”
“Aku mengerti... Memang benar...”
“Ya, gitulah. Kalau kamu sudah paham, mulai sekarang—“
“Tidak perlu,” Wakamiya memotong perkataanku sebelum aku menyelesaikannya.
Tatapan matanya tajam, aku bisa merasakan sesuatu yang mirip dengan amarah.
“Aku tidak peduli dengan rumor apapun.”
“Tapi...”
“Kalau yang bersangkutan bilang tidak masalah, seharusnya tidak ada masalah. Lagian...”
“...Lagian?”
“Donat di...Donat di tempat ini. Aku tidak bisa membayangkan tidak bisa memakannya lagi, itu sangat menyedihkan.”
“Hah?”
Suara bengong keluar dari mulutku setelah mendengar pernyataan tak terduga dari Wakamiya.
Dan kemudian, perlahan-lahan sesuatu muncul dari dalam diriku—
“Pffft, hahaha”
Aku tertawa tanpa sadar. Siapa sangka dia mengatakan akan merindukan makanannya.
Daripada merasa rendah karena kalah dari makanan, ucapan kerakusan Wakamiya justru menggelitik rasa humorku hingga aku tak bisa berhenti tertawa.
“Ke-kenapa kamu ketawa!?”
“Aku tidak menyangka kamu akan menyebut itu. Memang benar, kamu selalu memesannya setiap kali ke sini, jadi aku menyadarinya.”
“Tidak bisa dipungkiri kalau aku jadi menyukainya!”
“Hahaha. Aku setuju soal itu. Yah, kalau kamu memang sebegitu sukanya dengan donat, lain kali aku akan mengajarimu cara menikmati donat khas dari tempat ini.”
“Benarkah!? Aku menantikannya!”
Suaranya sangat bersemangat. Sangat berbeda dengan nadanya yang datar saat pertama kali bertemu.
“Tapi Wakamiya-san, kamu harus lebih memperhatikan waktu agar aku tidak perlu mengantarmu pulang terus. Orang tuamu pasti tidak suka kalau kamu pulang terlambat terus kan?”
“Aku akan mengingatnya.”
“Itu kata-kata orang yang tidak mengerti tapi bilang mengerti.”
“Ah, benar juga ya.”
Wakamiya tersenyum kecil. Senyumnya yang membuatku terpana secara alami melunakkan wajahku.
Hubungan yang kukira akan segera berakhir sepertinya masih akan berlanjut.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.