Nee, Mou Isso Tsukiacchau? Osananajimi Chap 3 V2

Ndrii
0

Chapter 3

Pasangan Manis dalam Perjalanan




Begitu Obon berakhir, akan jadi lebih sejuk.


Itu sering dikatakan ibuku waktu aku masih kecil. Dulu, saat pagi atau sore hari, aku bisa merasakan angin sejuk yang membuat suasana jadi nyaman. Setiap kali aku merasakan angin itu, aku jadi sedikit sedih karena itu menandakan akhir musim panas.  


Memang, aku ingat itu dengan jelas... tapi sekarang?


“Terbakar… aku terbakar, Masaichi…” 


Hari ini, Obon telah berlalu dan liburan musim panas sudah setengah jalan. Di bawah langit biru yang menyilaukan, aku dan Toiro nyaris mati tersengat panas yang menyengat.  


“Suhu ini terlalu ekstrem... Rasanya kepala pusing, ini bahkan belum jam delapan pagi, kan? Ada apa dengan Jepang…?”  


“Kayaknya aku mau gosong, Masaichi… Aku pengen balik ke rumah…”  


Kami berjalan gontai menuju stasiun. Aku memakai T-shirt abu-abu dengan celana pendek selutut dan topi hitam yang kubeli bareng Toiro. Untuk celana, sebenarnya aku punya beberapa celana panjang yang menutupi sampai pergelangan kaki, tapi itu malah bikin panas, jadi kami beli celana pendek hitam dengan corak kuning geometris lewat toko online.  


“Musim panas ini, coba pakai warna yang cerah sedikit. Atasanmu polos saja, tapi pakai celana bermotif, itu bakal kelihatan stylish. Kaki kamu juga bagus, Masaichi, jadi gak perlu malu buat memamerkannya,” kata Toiro.  


Sementara Toiro sendiri memakai dress putih tanpa lengan, topi jerami, dan sandal dengan sol anyaman yang ringan. Dress itu memiliki siluet indah, pas di pinggang, lalu melayang lembut di bagian rok. Sangat feminin dan sesuai untuk musim panas.  


Tapi meskipun terlihat ringan, kami tetap harus membawa koper untuk menginap empat malam lima hari. Aku bawa tas besar, sedangkan Toiro membawa ransel dan koper kecil. Berat barang bawaan kami semakin mengurangi HP (Health Point) masing-masing.


Sebentar lagi, acara utama liburan musim panas ini akan dimulai: bekerja di rumah pantai. Walau disebut ‘acara utama’, sebenarnya aku tidak yakin ini akan menyenangkan. Pertama, panasnya sudah bikin aku, yang hobi tinggal di dalam ruangan, hampir pingsan.  


“Eh, kira-kira ada AC gak, ya, di rumah pantai itu?”  


“Gak tahu, sih. Tapi biasanya kan itu di luar…”  

“Ya sudah... habislah kita…”  


Sepertinya mental Toiro juga sedang diuji. Dia jarang sekali terdengar selemah ini. Sampai kemarin, kami menghabiskan sebagian besar liburan di dalam ruangan. Kamarku yang nyaman sudah menjadi surga dunia bagi kami, dan segala kebutuhan bisa kami pesan online.  


Setelah berminggu-minggu hidup dengan nyaman seperti itu, kami jadi gak terbiasa dengan dunia luar yang panas ini.  


“Katanya, panas dan dingin cuma sampai hari-hari Higan.”  


Di tengah kesadaranku yang hampir melayang, sebuah peribahasa tiba-tiba muncul di benakku dan aku menggumamkannya. Memang, perubahan iklim ini mungkin adalah akibat dari pemanasan global, tapi sejak dulu, orang bilang panas musim panas akan terus terasa hingga sekitar ekuinoks musim gugur.  


Akhirnya, kami sampai di stasiun. Meski tidak bisa dibilang sejuk, setidaknya kami bisa menghindari panas menyengat di luar, dan kami menghela napas lega.  


“Kita masih punya waktu sebelum waktu janjian. Mending beli tiket dulu.”  


“Iya, yuk.”  


Kami melangkah sedikit ke arah mesin tiket. Sesuai janji, semua anggota yang ikut bekerja akan berkumpul di depan gerbang tiket jam delapan. Kami keluar rumah lebih awal untuk memastikan tidak terlambat, tapi ternyata malah tiba terlalu cepat.  


Pantai tempat kami akan bekerja berada di dekat perbatasan prefektur, jadi kami membeli tiket ekspres untuk sampai ke sana. Pemilik tempat kerja kami bahkan menyediakan biaya transportasi, jadi kami bisa naik kereta cepat. Andai aku pergi sendiri, mungkin aku bakal naik kereta biasa dan uang yang tersisa bisa kupakai untuk beli kartu koleksi.


Menurut Serina, pemilik rumah pantai—seniornya semasa SMA—adalah orang baik yang sangat peduli dengan sesama. Dia selalu siap membantu temannya yang kesulitan. Entah kenapa, aku merasa itu artinya dia orang yang jago berkelahi. Semoga dia juga bisa baik sama kita.  


“Tiket pulang-pergi menuju neraka, nih.”  


Sambil menatap tiket yang baru kubeli, aku bergumam.  


“Kamu bisa balik dari neraka, dong. Harusnya kamu bilang tiket sekali jalan.”  


Saat aku mendapat respons cerdas dari Toiro, tiba-tiba terdengar suara di belakang kami.  


“Wah wah, kenapa kalian kelihatan lemas begitu? Hmm, sepertinya Masaichi kurang tidur, ya? Bayangan bekerja di pantai dikelilingi cewek-cewek cantik berkulit putih lembut atau berwarna cokelat keemasan mungkin bikin kamu gak bisa tidur, kan? Jujur aja, aku juga sama.”  


Kaget, aku mengira yang bicara itu orang aneh. Ternyata, itu Sarugaya yang sedang berdiri di belakang kami.  


“Eh? Kenapa kamu ada di sini?”  


Sarugaya mengenakan kemeja Hawaii kuning bermotif dengan celana pendek, dan rambut panjang bergelombangnya diikat ke belakang. Di sampingnya ada koper hitam, cukup besar untuk empat malam lima hari.  


“Eh, kamu gak tahu? Aku juga ikutan kerja kali ini, mau cari uang tambahan,” jawabnya dengan santai.  


Aku melirik ke arah Toiro yang kemudian mengangguk, seolah menjelaskan sesuatu.  


“Seniornya Se-san bilang, mereka pasti senang kalau ada tambahan tenaga. Aku kira Masaichi sudah tahu dari Sarugaya-kun sendiri…”


Sepertinya Toiro juga sudah mengetahui hal itu. Bukan karena aku menyembunyikannya, hanya saja topik itu belum pernah muncul dalam 

percakapan kami sampai sekarang.


“Kamu yang mengundang dia, Toiro?” tanyaku, lalu bukannya Toiro yang menjawab, tetapi Sarugaya yang membuka mulutnya.


“Bukan begitu, aku sendiri yang meminta. Kebetulan aku mendengar Urara-chan cerita tentang kerja paruh waktu ini. Aku tidak mungkin melewatkan kesempatan ini, jadi aku langsung cari Toiro-chan. Tidak mungkin aku melewatkan kesempatan untuk melihat gadis-gadis cantik dari kelas kita mengenakan baju renang, bukan? Kalau bisa, aku ingin diundang lagi tahun depan agar bisa menyaksikan perkembangan mereka.”


“Hmm?” Toiro mengerutkan kening dengan curiga.


“Aku ingat, katanya kamu kehabisan uang dan sangat butuh kerja...” 


“Ups, salahku nih. Kadang mulut ini bisa bicara tanpa kusadari, jadi bikin masalah saja. Mungkin aku perlu lebih mendisiplinkan diri.”


Sarugaya menepuk-nepuk pipinya sebagai hukuman sambil terkekeh. Namun, Toiro mengabaikannya dan menatap kosong ke depan sambil bergumam pelan.


“Maaf ya, Urara-chan, Mayu-chan... Pelakunya sebenarnya adalah aku…”


Sepertinya Toiro baru saja menyadari kesalahan besar yang ia lakukan dengan menambahkan Sarugaya ke dalam tim kerja paruh waktu kami. Energi Sarugaya dalam mengejar hal-hal mesum seperti ini tidak ada habisnya, jadi aku sudah bersiap-siap untuk mengendalikan dirinya dengan cara apapun jika diperlukan.


“Ngomong-ngomong, bagaimana liburan musim panas kalian? Apakah kalian pergi jalan-jalan? Ini kan musim panas pertama kalian sebagai pasangan. Jangan sampai kalian terkena sengatan panas gara-gara terlalu mesra, ya,” canda Sarugaya sambil mencoba mengalihkan topik pembicaraan.


Kami yang sudah membeli tiket kemudian berjalan menuju tempat berkumpul di depan gerbang tiket sambil mengobrol santai dengan Sarugaya.


“Yah, kami tidak pergi kemana-mana sebenarnya. Soalnya di luar panas sekali, jadi sulit untuk keluar jalan-jalan. Lagi pula, aku juga sudah cukup menantikan pekerjaan paruh waktu ini sebagai semacam liburan,” jawab Toiro.


“Benar, aktivitas kami ya cuma main game atau baca manga di rumah tiap hari,” tambahku.


“Begitu, jadi kalian termasuk pasangan yang lebih suka menghabiskan waktu berdua di rumah, ya? Jangan sampai ‘menumbuhkan’ sesuatu yang lain di rumah, ya!” goda Sarugaya sambil terkekeh.


“Kau ini, bisa nggak sih, berhenti ngomong hal jorok sejak pagi...” balasku kesal.


“Yah, kencan di rumah juga bagus, mungkin malah lebih baik daripada pergi ke taman hiburan,” kata Sarugaya dengan nada serius.


Toiro tampak bingung dan bertanya, “Hm? Kenapa begitu?”


“Katanya, kalau sepasang kekasih pergi ke taman hiburan, mereka akan berpisah. Apalagi kalau naik bianglala. Mungkin karena waktu tunggu dan durasi wahana yang lama membuat suasana jadi canggung, terutama bagi pasangan yang masih baru.”


Aku membayangkan kencan di taman hiburan bersama Toiro… tapi anehnya, sulit untuk membayangkan situasi canggung seperti itu terjadi di antara kami. Justru yang terlintas di pikiranku adalah kami yang sibuk ngobrol tentang game atau anime.


“Kita sepertinya... nggak bakal seperti itu, ya,” kata Toiro sambil memiringkan kepala dan menatapku.


“Ya, pasti baik-baik saja,” jawabku sambil mengangguk yakin.


“Wah, kalian memang serasi sekali. Aura kalian berdua itu seperti pasangan yang sudah lama bersama,” kata Sarugaya sambil menghela napas.


“Serasi sih serasi, tapi kami masih baru pacaran, oke?” jawab Toiro sambil merangkul lenganku dengan manja.


“Waduh, kalian sengaja pamer kemesraan di depan orang, ya? Masaichi, pasti di kehidupan sebelumnya kamu banyak melakukan kebaikan hingga beruntung bisa punya pacar seperti ini,” ujar Sarugaya dengan nada iri.


Perkataannya membuatku sedikit canggung, terutama karena posisiku saat ini sangat dekat dengan Toiro. Saking dekatnya, aku bisa merasakan bagian tubuhnya yang empuk bersentuhan dengan sikuku. 


Namun, sebelum suasana semakin canggung, tiba-tiba terdengar suara dari arah lain.


“Oi, semuanya! Ngapain di situ?”


“Maaf ya, Toiro, aku terlambat… Eh, tapi masih tepat waktu, kan?”


“Oh! Mayu-chan, Urara-chan! Kami sudah menunggu!”


Begitu anggota tim kerja lainnya berkumpul, lenganku pun akhirnya terbebas dari pelukan Toiro.



Akhirnya, kami berlima—aku, Toiro, Sarugaya, Nakasone, dan Mayuko—masuk ke dalam kereta ekspres. Di dalam gerbong yang berisi deretan kursi berdua-dua, aku duduk bersama Toiro, Nakasone duduk dengan Mayuko, dan Sarugaya duduk dengan pria paruh baya yang tidak ia kenal.


Begitu sandaran kursi direbahkan sedikit dan kami mulai merasa nyaman, aliran udara sejuk dari AC di atas membuat kami merasa lega.


“Capek juga ya dari pagi,” kata Toiro sambil tertawa kecil.


“Beneran capek, tapi bagaimana kondisi tubuhmu? Kita masih harus bekerja setelah ini,” tanyaku khawatir.


“Tenang aja, nanti setelah makan, pasti aku segar lagi!” jawabnya ceria sambil mengeluarkan onigiri yang ia beli dari toko di perjalanan. Aku pun ikut mengeluarkan roti isi yang kubawa dari tas. Lalu, meletakkan botol teh di atas jendela, aku menaruh tas besar ke rak di atas kepala.


“Kapan terakhir kali sarapan ya?”


Sambil membuka bungkus roti, aku mengucapkan apa yang terpikir di benakku.  


"Benar juga, kapan terakhir kali ya. Sejak liburan musim panas, biasanya bangun tidur lagi, tidur lagi, sampai siang atau bahkan sampai sore baru bangun. Jadi mulai makan dari makan siang, lanjut ke camilan, makan malam, lalu tengah malam begitu,"  


"Kehidupan yang terlalu merosot ya..."  


"Tapi itu kebahagiaan! Kasur memiliki kekuatan magis yang bisa membuat orang jadi nggak berguna."  


"Sepertinya ada zat adiktif di dalamnya ya."  


"Kasur-tin? Kas-tin!"  


Dia mengatakannya dengan maksud bercanda seperti nikotin, tapi kedengarannya seperti lelucon cabul level rendah. Entah kenapa dia merasa suka dengan nama itu dan terus-terusan mengulangi kata "Futo-chin". Kalau aku peringatkan, pasti suasananya malah jadi aneh, jadi aku hanya menggigit roti dan mencoba mengalihkan percakapan.  


Sejenak kami berdua makan sarapan pagi dalam diam.  


Tak lama kemudian, bel berbunyi dan pintu kereta menutup. Perlahan kereta mulai bergerak. Setelah melewati gedung-gedung komersial, pemandangan berganti menjadi kawasan pemukiman. Lalu, bangunan seperti pabrik mulai terlihat. Setelah melewati jembatan sungai besar, hamparan ladang luas menyambut. Menurut aplikasi jadwal kereta, perjalanan akan memakan waktu sekitar satu jam.  


Saat aku sedang menikmati pemandangan pedesaan yang tenang itu...  


"Hah!?"  


Tiba-tiba aku merasakan tatapan tajam dan langsung menoleh ke arahnya.  


Aura permusuhan!?  


Dari kursi di depan kami, ada sorot mata tajam seperti elang yang menatapku. Begitu aku menoleh, tatapan itu langsung beralih. Namun, sensasi membuat bulu kuduk berdiri tetap tidak hilang.  


"Mayu-chan..."  


Sepertinya Toiro juga merasakan tekanan itu, dia mendesah sambil berbisik.  


"Kita sedang diawasi..."  


Di kursi di depan, rambut ikal dengan gaya twin-tail milik Mayuko terlihat melompat-lompat. Seperti yang Toiro katakan sebelumnya, Mayuko percaya pada kata-kata dari Fabulous Nakamura dan meragukan hubungan antara aku dan Toiro.  


Aku menyadari tatapannya selama ujian berlangsung, tapi kupikir kalau aku diamkan saja, mungkin di liburan musim panas ini dia akan melupakan. Rupanya, aku salah.  


"Di sekolah, kita bisa berpura-pura sibuk saat istirahat dan menghindar, tapi selama perjalanan ini kita nggak bisa melakukannya. Ayo, langsung lakukan rencana kita."  


"Uh, baik..."  


Untuk menghadapi situasi seperti ini, Toiro sudah menyiapkan beberapa strategi 'gerakan pasangan'. Aku belum tahu semua detail rencananya, hanya beberapa hal yang membutuhkan persiapan sebelumnya.  


Toiro mengetik di ponselnya dan memperlihatkan layar padaku.  


"Selama di kereta, kita pakai rencana ini!"  


Dengan suara kecil, dia berkata demikian, dan aku pun melihat layar ponsel yang dia sodorkan.  


"Tingkatkan keakraban dengan kontak fisik untuk menunjukkan bahwa kita pasangan."  

Di aplikasi catatan yang ditunjukkannya, ada kalimat tersebut tertulis.  


"... Kontak fisik?"  


Aku mengerutkan kening, dan Toiro mengangguk dengan yakin.  


"Eh, tapi, kontak fisik itu seperti apa ya?"  


"Yah, kalau untuk anak kecil seperti Masaichi-kyun, mungkin ini sedikit sulit? Tapi tenang saja, Onee-san akan mengajarimu," ujarnya sambil mengangkat telunjuknya dengan penuh percaya diri.  


"Menurut ensiklopedia, kontak fisik adalah cara memperkuat keakraban dengan menyentuh bagian tubuh satu sama lain, untuk berbagi rasa kedekatan dan persatuan. Ini adalah rahasia untuk menjaga keharmonisan pasangan."  


"Wah, Onee-san benar-benar sudah riset habis-habisan ya!"  


"Karena itu!"  


Tanpa mempedulikan komentarku, Toiro tiba-tiba menoleh ke arahku dan meraih tangan kananku dengan kedua tangannya. Lalu, dia menaruh tanganku di atas pahanya yang tertutup rok.  


"... Eh?"  


Sedikit bingung, aku melirik Toiro. Meski hanya meletakkan tangan, tapi aku bisa merasakan betapa lembut dan elastisnya paha itu.  


"..."  


Dia terlihat menegakkan punggungnya dan menggigit bibirnya seakan gugup.  


"Eh, sudah selesai?"  


"Belum! Ayo, silakan sentuh..."  


Sentuh!? Aku menyentuh paha Toiro!?  


Dengan ragu, aku menggerakkan ujung jariku. Ketika aku melakukannya, kain roknya pun sedikit bergeser, dan tubuh Toiro bergetar sesaat.  


"Seperti ini?"  


Ketika aku bertanya dengan canggung sambil menatap wajahnya, aku melihat pipinya yang memerah.  


"Sudah, lepas sekarang..."  


"Eh, bukankah kamu malah menyiksa diri sendiri?"  


Sambil berkata begitu, aku perlahan menarik tanganku dari pahanya.  


Ini situasi macam apa, malah aku sendiri ikut merasa malu.  


"Kalau dipikir-pikir, rasanya aneh ya melakukan hal ini dengan sengaja."  


"Benar juga. Kita biasanya kan memang sering saling bersentuhan."  


Saat bermain game balap bersama, Toiro sering menabrakkan badannya padaku setiap kali belokan, atau saat membaca satu buku komik berdua, bahu kami juga selalu bersentuhan. Bahkan kadang dia tidur di perutku sambil aku main game di HP.  


Tapi kalau dipikir-pikir, mungkin hal-hal itu beda dengan yang dimaksud 'kontak fisik'.


Kalau begini kita jadi canggung, ya... Rasanya agak tegang kalau mau menyentuh orang lain secara sengaja.


"Lalu, gimana nih?"


"Uh, ya... kali ini giliran kamu, Masaichi!"


"Eh, dilempar balik ke aku?"


Kalau orang-orang keren di luar sana mungkin bisa dengan alami melingkarkan tangan di pinggang pasangannya, lalu membisikkan kata-kata manis di telinga. Atau, mungkin mereka akan dengan lembut merangkul kepala pasangannya, mendekatkannya ke dada mereka. Aku pernah melihat adegan seperti itu di film Barat dulu. 


Mungkin, kalau aku melakukannya, Toiro juga tidak akan marah. Di hadapanku ada seorang gadis cantik, ini kesempatan, seharusnya aneh kalau aku tidak melakukan itu, bukan?


"Baiklah…"


Aku berkata demikian, lalu perlahan mengulurkan tanganku ke wajah Toiro.


Dengan lembut, aku menyentuh ujung rambutnya. Bagian dekat lehernya yang berwarna merah seperti dicelupkan warna berbeda. Toiro membelalakkan matanya sedikit, lalu memejamkan matanya sambil tertawa geli. 


Walaupun aku diizinkan untuk melakukannya, aku tidak bisa melakukan gerakan keren semacam itu. Ini batas maksimal yang bisa kulakukan. Tapi, entah kenapa, aku merasa saat ini, kita berdua lebih cocok begini saja.


"Rambut bagian ini agak kering, ya? Mungkin karena sering diwarnai?"


"Masa sih? Tapi ini tetap halus, kok."


Saat aku memeriksa lebih dekat dan meraba rambutnya,jariku tanpa sengaja menyentuh leher Toiro. Bahunya bergetar sejenak, lalu ia terkikik geli seperti merasa terhibur.


"Bahkan kamu, Masaichi, belum pernah menyentuh bagian ini."


"Ya, memang tidak mungkin dalam kehidupan sehari-hari, kan..."


Bagian seperti ini jarang bisa disentuh. Kecuali kalau ada ‘gerakan pasangan’... 


Toiro tampak berserah diri dan menerima sentuhan dariku. Sikapnya terlihat sangat patuh, seolah mempercayakan dirinya padaku. Aku terus bermain-main dengan ujung rambutnya selama beberapa saat.


Saat kami larut dalam suasana seperti ini…


"Heeeh, sok romantis banget, ya kalian."


Tiba-tiba, suara perempuan dengan nada husky yang agak tinggi menyambar kami dari atas.


Terkejut, aku menoleh, dan di atas sandaran kursi kami, tampak Mayuko sedang memandang kami dengan tatapan meremehkan. Rupanya, dia telah duduk di kursi kosong di sebelah Sarugaya setelah si pria dewasa di situ pergi.


"Romantis, katamu? Ini emang begini kok, biasa aja."


Toiro menimpali sambil menempelkan tangannya di lenganku, seperti ingin meyakinkanku. "Benar, kan?" aku pun mengangguk setuju.


"Nggak, kelihatannya tetap mencurigakan. Kayaknya Toiron bukan tipe orang yang suka pamer kemesraan di depan umum, deh. Biasanya, dia lebih tahu batasan."


Aku pikir, Mayuko punya poin di sini. Aku juga setuju, sebenarnya.


Ini cuma akting pacaran sementara. Meskipun aku tak mau terlalu memuji, Toiro adalah tipe yang cukup peduli pada lingkungan sekitar. Ia juga cukup bijak dalam memahami esensi dari sebuah hubungan. Meskipun menganggap skinship penting, dia pasti tidak melihat alasan untuk pamer di depan umum.


Dan, sepertinya dia memanggil Toiro dengan panggilan ‘Toiron’.


"Jangan gitu, dong... Kami memang pacaran, jadi melakukan ini tuh normal!"


Toiro berkata sambil mengaitkan lenganku dengan erat.


"Lagian, kalau nggak pacaran, hubungan ini namanya apa, coba?"


"Hmmm, mungkin hubungan utuk uang?"


"Nggak mungkin! Akhir-akhir ini tiap hari dicurigai terus. Aku sudah kaya orang yang basah kuyup disiram tuduhan!"


"Yah, kamu tidak mengaku sih, Toiron. Makanya aku bakal terus ‘basahin’ kamu."


Sarugaya yang duduk di sebelah Mayuko menoleh dan langsung bertanya, "Basah-basah gimana tuh?!" Tenang, ini bukan seperti yang kau harapkan.


"Tapi, Toiron dan Mazonocchi memang terlihat aneh. Seperti pertukaran budaya beda ras. Semua orang juga pasti merasakannya."


Mayuko tajam menyoroti celah-celah yang kututupi. Ya, memang titik itu yang paling kusoroti dengan hati-hati selama ini. Oh, jadi aku disebut ‘Mazonocchi’, ya.


Saat aku mau menutupi keadaan, Mayuko mengamati aku lekat-lekat sambil bergumam.


"Gaya baju, gaya rambut, cara berdiri, semuanya berubah semenjak kamu sama Toiron, kan? Jadi maksudnya, Toiron ini yang nge-styling Mazonocchi? Entahlah, tapi rasanya ada sesuatu yang misterius di antara kalian."


Aku menutup mulut tanpa bisa membantah. Semua yang Mayuko katakan memang benar adanya. Toiro juga hanya bisa mengelak dengan jawaban "Bukan gitu, kok?"



"Kalian berdua, sudah berapa lama berpacaran?"


Tiba-tiba Mayuko mengalihkan pembicaraan dan bertanya begitu.


"Uh, hm, hampir tiga bulan," jawab Toiro.


Mayuko memejamkan matanya sambil mengangguk-angguk.


"Hm, hm, berarti sebentar lagi mungkin kalian bakal masuk fase jenuh, ya."


"Fase jenuh?"


Sebelum Toiro sempat bertanya, Sarugaya menggumam, "Oh, yang itu ya? Katanya, pasangan pacaran itu bakal menghadapi gelombang tiga bulanan. Terutama pasangan baru, yang mulai melihat keburukan masing-masing, atau mulai capek karena awalnya terlalu lengket. Jadi, kalian berdua nggak ngalamin hal-hal kayak gitu?"


Aku dan Toiro saling pandang, lalu menggeleng.


"Ya ampun, kalian mencurigakan banget."


Mayuko memelototi kami dengan mata penuh selidik. Saat itu, Toiro menyenggol tubuhku dengan sikunya. Kaget, aku menoleh dan melihat Toiro melirik cepat ke arahku, hanya cukup untuk kumengerti. Ini adalah tanda dimulainya "operasi."


Semua ini sudah kami rencanakan sebelumnya. Dengan banyaknya kecurigaan yang Mayuko tunjukkan sejak hari pertama perjalanan, sudah waktunya kami beraksi.


"Ya, kurasa itu tergantung pada tiap pasangan, ya. Bahkan setelah tiga bulan, masih banyak pasangan yang tetap mesra," kata Toiro sambil mengaduk-aduk isi tasnya. Dia mengambil pouch kecil yang biasa dia pakai untuk menyimpan barang-barang kecil dan menarik resletingnya. "Ah," gumamnya pelan.


"Aduh, aku lupa bawa powerbank! Masaichi, kamu punya nggak?"


"Oh, iya, sebentar."


Sesuai skenario, aku juga mengeluarkan pouch yang sudah kusiapkan dari tas. Mayuko langsung bereaksi, "Ah!" 


"Itu… kalian punya pouch yang sama?"


"Oh, iya," jawabku sambil menatap Toiro. Dia pun menatapku sambil berpura-pura tersipu, lalu mengangguk.


"Apa-apaan itu? Bener-bener pakai pouch kembar, dengan inisial nama yang dipertukarkan lagi… Ini benar-benar tingkah pasangan yang sedang dimabuk cinta dan nggak sadar sama lingkungan sekitar."


"Benarkah? Nggak terlalu mikir sampai segitunya, sih."


Mayuko tampak semakin bersemangat, melihat kami dengan ekspresi kagum, seolah kami ini fenomena langka.


"Pasangan yang baru jadian pasti punya keinginan untuk menunjukkan ikatan mereka pada dunia luar. Inisial pada gantungan itu adalah contoh yang khas, meskipun aku nggak nyangka beneran ada yang memakainya."


"Eh, nggak kepikiran sampai segitu, kok." 


Toiro tampak sedikit gugup melihat antusiasme Mayuko yang tiba-tiba. Aku juga merasa seperti sedikit diejek. Ide ini sendiri datang dari Toiro, yang membaca beberapa tips di internet. Kami membeli gantungan huruf "M" dan "T" di toko online, di mana aku membawa "T" dan Toiro membawa "M," untuk menciptakan ilusi bahwa kami ingin selalu membawa inisial satu sama lain sebagai pasangan yang penuh cinta.


Mungkin sebenarnya tidak banyak orang yang pakai cara ini. Aku juga jarang melihatnya. Tapi Toiro, dengan pengalamannya yang minim soal percintaan, hanya mengikuti referensi dari internet.


"Ini, belinya untuk merayakan sebulan jadian. Ini barang favoritku!"


Toiro berkata dengan wajah malu-malu, namun dia dengan percaya diri menjawab Mayuko. Mayuko pun jadi tidak bisa membantahnya.


"Ya, tapi rasanya bukan Toiron banget…"


Saat Mayuko masih mencoba mencari-cari celah untuk mendebat, tiba-tiba seorang mendekat.


"Sudah cukup, Mayu. Mereka kan bilang mereka pacaran, jadi nggak perlu diganggu lagi."


Nakasone muncul dari samping dan dengan santai mengangkat Mayuko dari tempat duduknya.


"Tuh kan, kamu nggak ada malah duduk di kursi orang lain. Ayo, balik ke tempat dudukmu. Orang yang punya kursi ini bisa balik kapan saja. Maaf, Toiro, aku yang akan jaga si kecil ini."


Sambil tersenyum getir ke arah kami, Nakasone menarik Mayuko yang meronta-ronta sambil berteriak, "Aku harus nurut sama kata-kata sang Ratu Fabulous!"


Mayuko diseret pergi seolah-olah kami sedang menyaksikan drama pengusiran di sebuah sekte. Tampaknya, Nakasone berusaha membantu kami. Meski sempat meragukan, sekarang dia sepertinya mengakui bahwa aku benar-benar pacarnya Toiro. Ketika suasana akhirnya menjadi tenang, aku merasa bisa mengendurkan bahu yang tanpa sadar tegang sejak tadi. Kami berhasil melewati situasi ini, jadi aku bersandar di kursi, lega.


Toiro juga menghela napas panjang seolah melonggarkan diri.


"Mayu-chan itu bukan orang jahat, kok," katanya.


"Kelihatannya sih iya, cuma orangnya memang sedikit unik."


Mendengar ucapanku, Toiro terkikik. Lalu dia mendekatkan bibirnya ke telingaku, berbisik pelan.


"Harusnya kita lakuin sekalian? Gaya-gaya pasangan baru yang mulai jenuh."


"Eh, nggak usah repot-repot juga."


"Wah, Masaichi, emangnya kamu bakal kangen kalau aku mulai dingin sama kamu?"


"Oh ya? Kamu yakin mau main-main soal ini? Data permainan RPG-mu itu kan disimpan di konsol rumahku. Kalau kita lagi masa jenuh, nggak bakal ada alasan buat kamu ke rumah, kan?"


"Apa? Sandera? Kamu mau ngapain sama data simpananku?"


"Aku bakal terusin permainannya."


"Jangan, setidaknya cuma grinding level aja, ya!"


Aku membayangkan Toiro yang menikmati ending game dengan penuh kepuasan, tiba-tiba dikejutkan oleh ingatan asing yang muncul di tengah video rekap acara-acara penting di dalam game. Rasanya pasti bikin geregetan. Kami pernah mengalami ini waktu kecil, saat bermain RPG bergantian.


Sementara kami berbincang, pemandangan di luar jendela terus berganti. Ketika aku memandang ke luar lagi, tepat saat itu kereta keluar dari terowongan hijau, membuka pemandangan laut yang berkilauan diterpa sinar matahari musim panas, memenuhi seluruh jendela.

















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !