Nee, Mou Isso Tsukiacchau? Osananajimi Chap 2 V2

Ndrii
0

Chapter 2

Musuh Pasangan Sementara, Sang Fabulous




Dua hari sebelum ujian akhir semester.


Aku tipe yang santai dalam menghadapi ujian, tidak panik atau terburu-buru. Meski begitu, aku tetap berusaha memahami materi dari setiap pelajaran dan melengkapi pemahamanku dengan mengerjakan soal latihan. Semua itu sudah jadi kebiasaanku sejak SMP, dan bukan tanpa alasan aku diterima di SMA swasta terkenal ini. Karena itulah, meski suasana kelas penuh keluh kesah saat jam istirahat, aku tetap bisa santai.


"Ya ampun, bahasa Inggris susah banget! Levelnya naik drastis sejak SMP, kan?"

"Enggak, yang lebih parah itu bahasa Jepang klasik. Apa gunanya baca ini nanti?"

"Udah, aku nyerah kali ini. Mau tidur aja!"

"Silahkan kalau mau tidur, padahal nanti malam mau begadang kan?"


— Hah! Teruslah meronta dan putus asa, dasar kacung-kacung ujian.


Aku tersenyum sedikit sinis sambil menopang dagu, bersyukur telah berusaha keras selama ini, jadi merasa sedikit lebih unggul tidak masalah, kan?

"Yo, Tuan Masaichi! Waktu belajar itu makin kerasa efektif, ya, kalau udah dapet momen pencerahan? Yah, walaupun harus persiapan dua jam sebelumnya, sih!" 


Suara yang muncul tiba-tiba itu datang dari satu-satunya teman laki-laki di kelasku yang akrab denganku, Sarugaya.


"Kedengarannya sia-sia kalau butuh dua jam buat masuk mode belajar efektif, bukan?"


"Apa yang kau ucapkan, Tuan! Aku ini jago dalam setiap persiapan, mulai dari pemilihan ‘teman setia’ yang menemani, sampai memuaskan hati!"


"...Aku nggak ingin tahu lebih lanjut."


"Simpanlah riwayat pencarian. Perjalanan mengenang masa lalu bisa memberi inspirasi, dan barangkali, ‘anak laki-lakiku’ kembali semangat!"


"Kau lebih baik gunakan waktumu untuk belajar, tahu."


"Tenang, kan ada pelajaran olahraga. Nilai fisik bisa bantu dongkrak total skor."


Aku hampir saja menghela napas, benar-benar tak habis pikir dengan kebodohan Sarugaya. Di saat itu, sebuah suara lain yang riang dan penuh percaya diri terdengar.


“Baiklah, jadi hari ini kita pulang dulu dan kumpul lagi jam lima sore! Ayo bermain sepuasnya sebagai penyegaran dari belajar!”


Itu suara Nakasone Urara, yang merupakan pemimpin para gadis di kelas kami. Sepertinya dia sedang mengajak teman-temannya dalam grup, seperti Toiro, Kaede, dan Mayuko. Selain Nakasone yang memang mencolok, aku tahu nama teman-teman Toiro ini karena dia pernah bercerita tentang mereka, jadi aku lebih mengingat nama mereka daripada nama keluarganya.


Sarugaya mengangguk dan memberikan analisisnya, 


“Hmm, kalau mereka bisa bersenang-senang ramai-ramai sebelum ujian seperti ini, sepertinya mereka sudah siap.”


Namun, ada sedikit hal yang berbeda di balik itu. Aku sudah mendengar rencana hari ini dari Toiro sebelumnya.


“Kami mau merayakan ulang tahun Mayu-chan. Karena itu hari ulang tahunnya, kami mau rayakan pas hari ini juga. Tapi karena ujian sudah dekat, hanya makan malam saja. Besok aku akan mampir ke tempatmu,” katanya.


Mayu-chan yang dimaksud pasti Mayuko, temannya di grup. Dan kalau dilihat, pemeran utama hari ini tampaknya adalah si Mayuko sendiri yang menyambut teman-temannya sambil berseru, 


“Yah, yah, teman-teman semua, maaf mengganggu kesibukan kalian! Hadiah cukup kasih sayang untuk Mayuko-chan saja, ya!”


Dia tersenyum ceria dengan sepasang gigi taring yang terlihat setiap kali tertawa, dengan rambutnya yang pendek bergaya twintail berwarna milk tea bersemu merah muda yang bergerak menggemaskan saat ia berbicara.


Sambil mendengarkan cerita Toiro, aku hanya menjawab “Oke,” tetapi aku tetap khawatir dengan satu hal saja.


Nakasone, dia benar-benar anak yang polos dan konyol, apa dia tidak apa-apa kalau tidak belajar?


Terbayang di benakku beberapa perkataan anehnya di masa lalu, dan aku tak bisa menahan diri membayangkan wajah Nakasone yang berlinang air mata akibat hasil ujiannya yang buruk. Yah, dia memang orang yang baik karena masih menyempatkan diri merayakan ulang tahun temannya di tengah waktu ujian. Tapi aku masih penasaran dengan hasil ujiannya nanti, mungkin nanti aku bisa menanyakannya diam-diam pada Toiro.



Malam itu, aku belajar sendirian untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu. Setelah makan malam, aku duduk dengan fokus menghadap buku sejarah Jepang.


Tanpa terasa, jarum jam meja di mejaku sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku menghela napas, mengangkat wajah dari buku, dan memutar leherku yang kaku.


Meski jendela sudah kubuka dan kipas angin menyala, kamar ini masih terasa sedikit pengap. Kaos tipis yang kupakai sudah agak lembap oleh keringat. Tampaknya musim untuk menyalakan pendingin udara akan segera tiba. Aku menghela napas panjang, bangkit dari kursi, lalu mematikan kipas angin dan mendekati remote AC yang tergantung di dinding. Kutekan tombol pendingin, dan kuatur suhunya menjadi dua puluh delapan derajat.


Saat hendak kembali duduk setelah menutup jendela, ponselku bergetar, memberi tanda ada pesan masuk.


Aku melihat layar ponsel itu tanpa banyak berpikir, dan saat melihat siapa pengirim pesannya — jantungku berdetak kencang hingga terasa menggetarkan tubuhku.


Pengirimnya adalah Toiro.


――『Sampai kapan permainan cinta palsu ini akan berlanjut』


Membaca ulang kalimat itu, tubuhku terasa membeku seolah ada es yang menyebar cepat dari dalam, membuat seluruh tubuhku menggigil dingin. Aku tak bisa mengerti apa yang terjadi. Otakku tak bisa memprosesnya. Tanpa rasa bingung atau terkejut, aku hanya berdiri mematung, menatap kata-kata itu seperti tersiram hujan deras musim panas yang tak terduga. 


Bzzzt, bzzzt, teleponku bergetar. Ternyata ada panggilan masuk. Sambil menatap nama yang muncul di layar, aku dengan ragu mengetuk tanda panggilan masuk.


『Maaf, Masaichi! Bisa keluar sebentar sekitar 20 menit lagi?』  


Suara Toiro yang tergesa-gesa terdengar di telingaku.



Malam itu tak berangin, hawa panas menguap dan memenuhi udara. Aku keluar karena merasa tak bisa tinggal diam, meskipun mungkin akan lebih baik jika aku menunggu di dalam. Suara serangga yang tak kukenal terus-menerus berdengung di sekitar. Saat aku menunggu di depan pintu, tepat 20 menit kemudian, di ujung jalan gelap permukiman ini, aku melihat sosok Toiro berlari ke arahku. Aku merasa khawatir, karena dia terlihat terlalu terburu-buru. Saat sampai di depanku, Toiro membungkuk, menempatkan tangan di lututnya, dan terengah-engah.


Dengan topi hitam beraksen usang, T-shirt abu-abu bergaya vintage yang sedikit kusam. Dari ujung bawah bajunya yang panjang, terlihat kakinya yang putih dan ramping. Sepatunya yang sedikit kasar berwarna hitam dan tas selempang berbahan jaring semuanya dari merek yang sama.  


"Kau baik-baik saja?" tanyaku sambil mengusap punggungnya dengan lembut.


"Yahaha," jawabnya dengan tawa yang agak malu-malu, lalu mengangkat wajahnya. Saat ia melepas topinya, rambut cokelatnya berkilauan terkena cahaya lampu jalan.  


"Sudah lama aku nggak berlari, mungkin itu sebabnya jadi terengah-engah," katanya.  


"Kau tak perlu memaksakan diri. Aku kan sudah mendengar sedikit dari telepon tadi," ujarku.


"Eh, eh, ini harus dijelaskan dengan benar! Mungkin kita perlu rapat taktis sedikit. Pokoknya, benar-benar maaf soal pesan yang aneh tadi," katanya sambil kembali menundukkan kepala.  


"Nggak apa-apa. Itu bukan dari kamu, kan? Itu ulah Mayuko," kataku.


Dari telepon tadi, aku mendapat penjelasan singkat. Katanya, Mayuko merebut telepon Toiro, lalu mengirim pesan itu sambil berlari-lari dan bercanda.  


"Benar, benar sekali! Aku benar-benar lengah," katanya.


"Itu tipikal kelakuan si Mayuko, kan? Gadis yang terlihat kekanakan,"  


"Haha, memang begitu! Dia suka mengganggu orang. Penampilannya juga kecil dan lucu. Tapi dia tahu batasannya, jadi semua orang menyukainya," jawab Toiro.


"Tahu batasan...?" Meskipun aku tak marah, aku memang terkejut menerima pesan seperti itu. Aku berpikir, bagaimana jika pasangan lain menerima pesan seperti itu? Bisa saja berakhir dengan perpisahan. Saat aku memikirkan itu, Toiro di depanku menampilkan ekspresi sedikit pahit.  


"Kali ini situasinya agak berbeda. Masaichi, kamu tahu tentang Fabulous Nakamura?"  


"F-Fabulous siapa!?" aku terkejut mendengar nama yang tak kukenal ini.


"Jadi, dia adalah seorang peramal yang sering tampil di TV dan majalah akhir-akhir ini." Toiro menelusuri layar ponselnya dan menunjukkan gambar orang itu padaku.  

"…Aku tidak kenal. Rambutnya seperti burung tropis saja," gumamku sambil melihat pria di layar itu. Dengan kacamata besar berbingkai hitam dan rambut berwarna-warni, hijau, kuning, biru muda, dan merah, penampilannya sangat mencolok.  


"Rambutnya yang unik itu jadi tren besar, loh. Fabulous-san ini biasanya tidak punya toko tetap dan mengembara berkeliling negeri untuk belajar. Beberapa hari terakhir, dia ada di kota ini, dan ternyata Mayu-chan adalah penggemar beratnya—bahkan menyebutnya sebagai ‘Fabulous-sama'. Jadi dia sangat ingin pergi," kata Toiro, sambil melirik ke arah jalan di sebelah kiri.


Mungkin dia ingin kami berjalan menuju taman di ujung jalan. Aku mengerti, karena waktunya sudah malam, sebaiknya kami berbicara di tempat yang lebih nyaman seperti bangku taman. Aku mengangguk dan berjalan menuju taman, sementara Toiro melangkah ringan dan sejajar di sampingku.


"Sebenarnya rencananya cuma makan malam, tapi akhirnya kami semua pergi kesana."  


"Aku mengerti. Kau juga diramal?" tanyaku.  


"Iya! Aku diramal, tapi... dari situlah masalahnya dimulai."  


"Masalah?"


Aku mengulangi kata itu, dan Toiro mengangguk serius. Ketika kami sampai di taman, kami duduk di bangku, dan Toiro mulai menjelaskan lagi.


"Fabulous-san itu utamanya meramal soal cinta. Metode ramalannya sih gampang, Dia nanya-nanya soal zodiak, misalnya Virgo, atau apakah kamu kidal. Sambil nanya begitu, dia pakai tarot atau lihat bola kristal. Mirip sama peramal-peramal biasa, deh.”  


"Oh, begitu."

 

Karena aku gak tahu peramal pada umumnya itu pakai teknik apa aja, aku cuma bisa mengangguk samar-samar. 


“Kamu kan tahu aku punya pacar? Jadi aku minta diramal soal kelanjutan hubunganku dengan dia. Eh, sebenernya itu Mayu-chan yang tiba-tiba bilang, ‘Tolong dong lihat apakah hubungan dia dengan pacarnya akan berjalan baik,’ gitu deh.”  


Lalu, Toiro menatapku sambil menyeringai, jelas-jelas ingin aku bertanya hasil ramalannya. 


“Ramalan itu kan, paling cuma itu-itu aja. Dia ngomong hal-hal umum yang bisa berlaku ke siapa aja, tapi gayanya kayak sebuah wahyu dari Tuhan, biar kelihatan meyakinkan. Itu kan yang namanya efek Barnum atau efek Forer, kan?”  


“…Masaichi, itu gak boleh kamu bilang di depan cewek, lho.”  


Soalnya entah kenapa cewek suka banget sama ramalan. Di sisi lain, cowok kebanyakan gak suka, atau setidaknya gak tertarik. Aku juga sama aja, sih. Sama sekali gak ada minat atau kepercayaan pada ramalan.


Sebelumnya.  


“Eh, tau gak, Fabulous-san bilang apa? Pasti bikin kamu kaget.”  


“…Apa? Kalau kamu bilang gitu, aku jadi penasaran juga.”  


Terus aku ingat lagi, Toiro bilang ini masalah yang jadi awal mula semuanya, dan aku menelan ludah, jantungku berdebar.


Toiro pelan-pelan mengucapkan hasil ramalan itu.  


“‘Pacarmu… Aku gak bisa lihat bayangan pasangan kamu…’ gitu katanya.”  


“…Itu maksudnya…”  


“Iya. Mungkin aja Fabulous-san bisa lihat hubungan kita yang palsu ini.”  


“Eh… Beneran bisa begitu?”  


Aku benar-benar kaget.


Hubunganku dengan Toiro hanyalah hubungan sementara, atau bisa dibilang kita cuma berpura-pura pacaran. Dia bisa tahu itu hanya dengan melihat Toiro sendiri, tanpa aku ada di situ? Hebat banget… Eh, apa peramal memang punya kekuatan supranatural begitu? Beneran?


“Aku juga sebenernya jadi deg-degan. Tapi, gak mungkin aku bisa ngaku, jadi aku tetap bilang aku punya pacar, kok. Aku bahkan nunjukin fotomu di HP ke dia, sambil ngomong, ‘Ini lho pacarku,’ biar tetep bisa diramal. Ngomong-ngomong, kita katanya cocok banget lho. Seneng gak?”  


“Kalau sampai Fabulous-san bilang kita gak cocok, pasti kita bakal putus, kan? Untung aman, aman!”  


“Wah, kamu langsung jadi pengikutnya, ya!?”  


Soalnya, habis diliatin kehebatannya, gimana gak percaya, coba…?


“Terus, masalahnya itu datang setelahnya. Karena omongan Fabulous-san soal ‘gak kelihatan bayangan pasangan’ itu, Urara-chan sama Kaede-chan sih cuma nganggepnya itu ramalan biasa, tapi Mayu-chan jadi curiga sama kita.”  

“Oh iya, dia kan fans berat Fabulous-san. Pasti dia percaya banget, ya?”  


“Percaya? Dia malah udah kayak obsesif gitu. Dia langsung ngomong, ‘Hubungan kalian tuh gimana sih sebenarnya? Aku bakal ungkap semua rahasianya!’ Kayaknya dia bakalan nguntit kita atau bahkan ngikutin kita diam-diam. Soalnya, dia orangnya bener-bener berani dan nekat.”  


“Serius…? Rahasia? Ini kok malah aku dibilang kayak penjahat, ya?”  


“Iya, bener banget. Dan waktu aku lengah, HP-ku diambil dia, trus dia baca chat kita.”  


Toiro menghela napas panjang, bahunya merosot, kelihatan capek.


Kelihatannya, ada orang yang malah mencurigai hubungan kami secara serius.  


“Oh ya, Mayu-chan itu bakal ikut kerja sambilan di musim panas ini, yang kamu kenalkan ke aku. Urara-chan juga ikut. Tapi Kaede-chan gak bisa ikut karena dia mau menghabiskan waktu sama cowok yang dia suka.”  


“Oh, ya. Gak bisa lengah, ya.”  


“Bener, deh. Aku udah lumayan pusing. Makanya, pas liburan ini, kita 

harus benar-benar lebih meyakinkan dalam peran kita sebagai pasangan, makanya aku pengen ngomong sama kamu soal itu.”  


“Gitu ya. Berarti kita harus lebih hati-hati, ya.”  


“Iya. Ingat waktu itu, kita dibilang kayak sahabat dekat dan gak ada kesan pacaran, kan? Jadi, kita harus lebih kelihatan kayak pasangan sungguhan.”  


“Pasangan sungguhan, ya…”


Aku harus benar-benar serius, nih. Kalau sampai kebongkar, situasinya bakal kacau banget. Kalau cuma hubungan percintaan biasa yang Toiro harus atur, mungkin aku masih bisa bantu. Tapi masalahnya ini bukan cuma sekadar itu.


Waktu pelajaran luar sekolah kemarin, kita benar-benar sudah menunjukkan diri sebagai pasangan. Bisa dibilang, kami sudah mendeklarasikan diri sebagai pasangan di depan teman-teman. Tapi dari sudut pandang Toiro, itu juga sama aja artinya dengan menipu teman-temannya. Mereka mungkin bisa mengerti kalau dijelaskan, tapi aku gak yakin hubungan kami akan tetap sama setelah itu.


Dengan situasi yang makin rumit ini, aku makin sadar akan beban dari hubungan palsu ini. Kami harus merahasiakan ini dengan sangat rapi.


Selama musim panas ini, aku harus lebih waspada dan hati-hati.  

—Tetap di rumah sambil main game memang paling aman, deh.



—Apa aku malah bikin masalah lagi, ya?


Sambil melihat wajah Masaichi yang serius di sebelahku, aku, Kurumi Toiro, merenung.  


Entah kenapa, aku selalu datang membawa masalah buat Masaichi. Tapi Masaichi itu baik, dia selalu hadapi masalah itu dengan serius.  


Masaichi tidak sadar kalau aku sedang menatapnya. Dia berpikir dengan sungguh-sungguh, seolah masalah ini adalah masalahnya juga. 

 

“Untuk sekarang, mungkin aku akan di rumah sampai hari liburan kerja nanti. Kalau aku keluar dan gak sengaja ketemu Mayu-chan, bisa runyam jadinya. Pasti dia bakal banyak nanya ini itu. Dan lagi, cuaca lagi panas, kan? Jadi, bisa aja kalau kita bilang pacaran di rumah setiap hari.”  


Begitu aku mengusulkan itu, Masaichi langsung mengangkat wajah dan melihat ke arahku.  


“Oh! Aku juga barusan mikirin itu! Ternyata paling aman tuh emang di rumah main game, ya!”  

“Oh, kebetulan sekali ya, Masaichi-san. Gimana kalau kita main RPG klasik di sini aja?”  


“Setuju banget, Toiro-san! Di kamar udah ada game yang ceritanya bikin nangis, penuh teka-teki seru juga.”  


“Wah, keren! Kalau gitu kita manfaatin keadaan aja buat bersenang-senang!”  


Kami berdua tersenyum licik dan bersalaman dengan kepalan tangan.  


Selama ada Masaichi, situasi kayak gini pun bisa kuhadapi dengan senang. Rasanya aku jadi makin gak sabar menanti liburan musim panas ini.  


Sebenernya aku sempat kepikiran pengen jalan-jalan ke tempat yang lebih terasa musim panas bareng Masaichi, tapi ya sudah, tak apa. Sebagai gantinya, aku bakal buat kenangan berharga di liburan kerja sambilan nanti.  


Waktu itu, aku khawatir banget saat Mayu-chan kirim pesan yang aneh-aneh. Tapi sepertinya itu cuma kekhawatiran berlebihan. Sekarang semuanya kembali normal seperti biasanya.  


Senang rasanya Masaichi yang jadi pasangan sementara ini.  


Entah kenapa aku merasa bahagia dan sedikit menunduk, kepalaku 

bertumpu di bahu Masaichi.  


“Eh? Kenapa?”  


Masaichi yang tadinya memandang ke depan, kini menoleh ke arahku.  


“Hmm… aksi pacaran?”  


Aku segera menegakkan tubuh, lalu kembali sedikit menyandarkan kepala. Ada aroma menenangkan dari pakaian rumahan yang dipakai Masaichi.  


“Jadi pacar tuh ya kayak gini?”  


“Iya dong. Ini serangan sandaran kepala pacarnya.”  


“Kok malah jadi serangan!?”  


Melihat reaksi Masaichi yang sedikit bercanda seperti biasa, aku hanya bisa tertawa kecil.  


Memang aku bilang ini ‘aksi pacaran’, tapi bukan berarti aku benar-benar berniat begitu. Aku cuma ingin menyandarkan kepala, seperti ketika kita bercanda di kamar. Mungkin karena gak ada yang melihat kami, aku jadi berani melakukan ini, meski aku sendiri gak tahu harus menyebutnya apa.  

“Eh, panas nih. Gimana kalau kita balik ke kamar? Mau belajar buat ujian, kan? Aku bantu tes kamu.”  


“Oh, oke. Ayo, coba saja kalau kamu bisa!”  


Sambil merentangkan tubuh, aku kembali berpikir.  


Senang rasanya Masaichi yang jadi pacar sementaraku.  


Dan aku sungguh beruntung memiliki Masaichi sebagai teman masa kecilku—
















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !