Chapter
4
Tolong
bantu kami ya di sini ya ♥
Begitu keluar dari kereta dan melewati gerbang tiket, angin beraroma laut menyelimuti tubuh kami dengan lembut. Karena stasiunnya terletak di tempat yang cukup tinggi, dari sini kami bisa melihat pantai berpasir putih dan laut biru di kejauhan.
"O, cean, view!" teriak Sarugaya sambil melompat dengan satu tangan terangkat ke depan, disusul oleh Mayuko yang meneriakkan terjemahannya.
"Yay, pemandangan laut!"
"Wow, semangat kalian tinggi sekali!" kata Toiro sambil ikut melompat kecil, keluar dari stasiun dan menuju tangga yang mengarah ke pantai. Musim panas, laut, liburan. Dan momen berbagi suasana dengan teman-teman ini membuatku berusaha menyesuaikan diri.
Dengan penuh semangat, aku melangkah keluar stasiun mengikuti mereka. Tapi, tidak ada aksi atau kalimat keren yang bisa kupikirkan, sehingga aku hanya melambaikan tangan tanpa berkata apa-apa, terlihat seperti orang yang terburu-buru tanpa alasan jelas.
Di saat itu, terdengar suara Nakasone dari arah pintu masuk stasiun, yang sibuk dengan ponselnya.
"Bukan ke arah situ, tapi sepertinya ke arah sebaliknya, sedikit mendaki ke arah penginapan."
…Serius, bisa nggak dia bilang lebih awal? Siapa yang akan menanggung rasa malu yang tadi kualami?
Kata-kata Nakasone ternyata juga terdengar oleh teman-teman lain, dan mereka pun berbalik arah sambil mendekat kembali. Kami semua mengikuti arahan dari aplikasi peta yang dibuka Nakasone, berjalan pelan mendaki jalan yang sedikit menanjak.
…Rasanya Nakasone ini seperti penjaga kelompok, ya? Tak kusangka. Kukira dia tipe orang yang sedikit ceroboh.
Setelah sekitar lima menit berjalan, akhirnya kami melihat penginapan yang dimaksud di ujung tikungan. Bangunan tiga lantai dengan tembok kayu dan kisi-kisi yang memberikan kesan tenang. Di dekat pintu masuk, terlihat ukiran bulan sabit besar pada dinding kayunya. Bangunan ini tampaknya cukup baru, mengingatkanku pada gaya "Wa-modern" yang pernah kulihat di televisi.
TLN : Wa-modern adalah istilah yang menggambarkan gaya arsitektur atau desain interior Jepang yang menggabungkan elemen tradisional Jepang (wa) dengan sentuhan modern
Di pintu masuk tergantung noren berwarna biru muda, dengan jalan masuk berbatu yang mengarah ke dalam. Pada noren itu tertulis "Penginapan Kurage-tei".
TLN : Noren adalah kain pembatas tradisional Jepang yang biasanya digantung di pintu masuk toko, restoran, atau ryokan (penginapan tradisional Jepang). Fungsinya tidak hanya sebagai dekorasi, tetapi juga sebagai penanda identitas atau simbol tempat usaha tersebut, karena biasanya kain noren akan menampilkan nama, logo, atau simbol yang khas.
"Ini dia," kata Nakasone sambil menurunkan ponselnya dan melihat ke arah penginapan.
"Wah, keren banget! Kita bakal nginep di sini?"
"Super mewah! Gila, kayaknya bakalan jadi pengalaman mahal nih!" kata Toiro sambil celingukan ke sekeliling, sedangkan Mayuko mundur beberapa langkah untuk mengambil foto bangunan itu dengan ponselnya.
Selama masa kerja paruh waktu ini, kami sudah dijanjikan akan mendapatkan tempat menginap gratis. Tapi, tidak kusangka tempatnya semewah ini. Karena bangunannya berada di tempat yang tinggi dan menghadap ke laut, kamar-kamar di sisi tersebut pasti memiliki pemandangan yang tak terhalang hingga ke cakrawala. Membayangkan sebuah kamar beralaskan tatami yang di ujungnya terdapat jendela lebar dengan pemandangan spektakuler membuatku serasa bisa mendengar suara ombak.
"Heh, kayaknya bakal seru nih, Tuan Masaichi," kata Sarugaya sambil melingkarkan lengannya di pundakku. Kali ini, aku setuju dengannya.
Bagaimana kalau ada onsen di sini? Aku sangat ingin mencoba onsen sambil melihat matahari terbit, jadi aku pasti akan bangun pagi-pagi. Meskipun biasanya tidak terlalu antusias soal liburan, aku cukup menyukai onsen. Cukup menyukai atau sebenarnya suka banget?
Menyadari bahwa aku mulai bersemangat sendiri, tiba-tiba noren penginapan terbuka, dan seorang wanita muncul.
"Kalian para pekerja paruh waktu, ya?" tanyanya ragu sambil melihat kami satu per satu.
"Iya, betul!" sahut Toiro sambil mengangkat tangannya, dan wanita itu pun tersenyum lega. Dia melangkah keluar melewati noren dengan getar kaki lembutnya di atas batu-batu kecil. Dengan kimono bermotif burung pipit kecil dan obi berwarna ungu, dia terlihat anggun dengan wajah yang cantik dan rambut yang digelung rapih, mempertegas kecilnya wajahnya.
--Cantik sekali wanita ini.
Tubuhnya mungil, tapi caranya berdiri tegak menampilkan kesan yang anggun. Kalau penginapan ini punya iklan, dia pasti cocok jadi modelnya, pikirku. Wanita itu mendekat, melihat ke arahku, lalu tersenyum lembut.
"Ah, kamu pasti Masaichi-kun, kan?"
Hah?
"Kita pernah bertemu sebelumnya, masih ingat?"
Apa-apaan ini? Aku mengerutkan dahi, bingung. Rasanya ada tatapan penuh tanya dari teman-temanku.
Apa mungkin aku kenal wanita secantik ini? Tapi, aku sama sekali tidak ingat.
"Mungkin sudah sekitar delapan… sembilan tahun lalu? Tapi aku langsung mengenalimu. Kamu mirip Seri-chan, terutama di bagian mata," katanya, menyebut nama kakakku, yang langsung membuatku tersadar.
"…Mungkinkah, Anda adalah pemilik penginapan Miyauchi?"
"Jangan panggil aku pemilik, kedengarannya terlalu formal. Namaku Koharu, panggil saja Koharu-san, lebih imut, kan?"
Koharu-san berkata demikian sambil tersenyum lagi dengan lembut.
Miyauchi Koharu. Nama ini pernah diceritakan kakakku. Dialah pemilik penginapan yang membuka lowongan kerja paruh waktu kali ini. Hanya saja, tak pernah terpikir olehku kalau wanita anggun ini adalah orang yang sangat dihormati Serina dari masa mudanya yang penuh kenakalan... Sama sekali tak terlihat. Dari tatapannya yang bingung sambil memiringkan kepala, wanita ini hanya terlihat murni "baik," tanpa tanda-tanda nakal atau rebel. Jadi, saat pertama kali wajahnya muncul dari balik noren, aku tak pernah menduga kalau dialah sosok pemilik penginapan yang kudengar dari cerita.
Keempat teman lainnya tampaknya tidak menyadari kebingungan yang kurasakan dan mulai berbicara dengan Koharu-san dengan santai.
"Maaf ya kami datang dengan jumlah sebanyak ini. Se-chan bilang aku bisa ajak teman-teman juga, tapi jadi banyak begini… semoga tidak masalah, ya?"
“Tidak apa-apa kok, sebenarnya masih kurang orang juga. Oh, kamu pasti Toiro-chan, ya? Seri-chan sudah cerita soal kamu. Dia bilang, ‘jaga adik manisku baik-baik,’” kata Koharu-san dengan senyum lembut.
“Benarkah? Haha, terima kasih,” balas Toiro sambil tertawa sedikit malu mendengar kata “jaga baik-baik,” yang mungkin bagiku berarti hal yang berbeda—mungkin lebih mirip ‘pelatihan keras’ dalam istilah halusnya.
"Terus terang, aku belum banyak pengalaman kerja part-time. Mohon bantuannya selama empat hari ke depan," ucap Nakasone yang kemudian melangkah maju dan membungkuk dengan sopan.
“Tenang saja, semua akan diajari dengan teliti. Semangat, ya. Ayo, berikan yang terbaik,” kata Koharu-san sambil melemparkan senyum manis yang membuatnya tampak seperti memasukkan hati dalam kata-katanya.
“A-aku akan berusaha keras!”
Nakaone, yang sebelumnya tampak gugup, tampak lega dan tersenyum lebih tenang mendengar sapaan hangat dari Koharu-san. Tapi untukku, senyum dan “berikan yang terbaik” itu lebih terdengar seperti ucapan “yoroshiku”—yang dituturkan dalam gaya keras, khas ‘yankee’. Tampaknya aku memang sudah terkena penyakit parah.
Meski sekarang Koharu-san tampak tiada unsur yankee sama sekali, aku penasaran—mungkin dia sudah berubah dalam beberapa tahun terakhir, atau mungkin dia termasuk jenis karakter kuat yang kelihatannya biasa saja, tapi sebenarnya gila?
Saat aku sedang memikirkan hal itu, Sarugaya mengangkat tangannya sambil berseru, “Hai, hai! Koharu Onee-san, apakah kau mengenal si brengsek Masaichi ini?”
Hei, panggilanku itu terdengar penuh dendam, ya? Santai saja, aku bahkan tak pernah punya hubungan sekecil apapun dengan wanita cantik ini. Bahkan, aku tidak ingat pernah bertemu dengannya sama sekali, jadi tak ada alasan untuk merasa iri.
“Pernah sekali, ya. Saat aku masih SMA, aku terluka di tangan. Untuk merawat lukaku itu, aku dibawa ke rumah kakak Masaichi-kun. Saat itu aku sempat bertemu dan berkenalan dengan Masaichi-kun.”
Koharu-san lalu menatap ke arahku dengan senyum lembut seakan ingin berkata, “Nostalgia, ya.”
Namun, di kepalaku sekarang ingatan itu berputar dengan cepat, dan kenangan yang terkubur pun mulai muncul ke permukaan.
… Ternyata memang benar, aku pernah bertemu dengannya. Mungkin waktu itu. Malam itu, kakakku tiba-tiba membawa seorang perempuan yang terluka, dan kebetulan aku berada di ruang tamu. Kakakku memintaku untuk menyiapkan handuk sementara dia membawanya ke kamar mandi untuk membersihkan darah di tangannya.
Perempuan itu berambut pendek dan masih mengenakan seragam sekolah. Tidak pernah terbayang kalau sekarang dia bisa terlihat seanggun ini.
Lalu aku mengingat alasan perempuan itu terluka.
“Wah, kayaknya tulangnya kena, ya. Siapa sangka jendela mobil sekeras itu,” katanya santai.
Kalau dipikir-pikir, banyak hal yang mengganjal di sini. Pertama-tama, apa yang sedang dia hadapi sampai harus berkelahi dengan jendela mobil? Lalu, kalau ada luka sayatan, apakah itu berarti dia berhasil memecahkan jendelanya? Seberapa kuat kepalan tangannya?
Bahkan ucapan seperti itu terasa sangat konyol. Ditambah lagi, dia mengayunkan tangannya yang terluka seakan-akan itu bukan masalah besar. Sepertinya aku ingat sosok ini bukan sebagai orang yang lemah melainkan karakter “kuat” yang agak berbahaya.
Meskipun ingatan itu kembali, sekarang aku malah semakin khawatir. Namun, melihat dia sekarang adalah pemilik penginapan dan toko tepi pantai, aku hanya bisa berharap dia sudah berubah.
Saat aku sedang tenggelam dalam pikiran ini, suara ceria Mayuko terdengar di telingaku.
“Wah, penginapan ini bagus sekali! Terima kasih sudah menyediakan tempat menginap yang indah ini.”
Aku memperhatikan reaksi Koharu-san yang sepertinya mengalihkan pandangannya ke samping dengan ekspresi getir di wajahnya.
“Waktu mendengar suara kalian saat datang tadi, aku merasa bersalah karena tempat pertemuan kita agak jauh dari stasiun. Mungkin seharusnya aku menjemput kalian langsung dari sana,” ucapnya dengan sedikit menyesal.
“Hah?” Mayuko berkedip bingung, memiringkan kepalanya sedikit ke samping.
"Bangunan ini adalah gedung baru yang dibangun dua tahun lalu, tapi
selama musim panas, penuh dengan pengunjung. Jadi, kali ini kalian akan menginap di gedung lama… di bangunan yang di sana. Maaf kalau kalian jadi berharap lebih," kata Koharu-san sambil membungkuk, lalu melirik ke arah kiri. Mengikuti arah pandangannya, kami juga melihat ke arah sana.
Di ujung lereng sempit sekitar lima puluh meter ke atas, terlihat bangunan kayu dengan atap genteng yang jelas-jelas sudah cukup tua. Aku sempat berpikir bahwa itu terlihat retro, namun papan nama " Kurage-tei" yang berkarat dan miring terlihat dari jalan, memberi kesan yang berbeda.
“Wah, nuansa Jepang banget. Waaah-hu~,” kata Toiro dengan suara senang yang jelas-jelas dibuat-buat. Sangat kentara.
“Lagipula, kita menginap gratis, jadi tidak apa-apa sama sekali. Terima kasih banyak. Ng… tidak ada hantu, kan?”
Seperti biasa, sebagai perwakilan, Nakasone menunjukkan sisi dewasanya. Tapi, khawatir tentang hantu setelah melihat bangunannya itu lumayan tidak sopan juga. Apakah dia tipe yang percaya pada hal-hal gaib?
“Ah, dalamnya bersih, kok. Kalau teman-temanku datang main, mereka juga menginap di sana. Dan kalau aku pulang kemalaman, aku juga sering menggunakan kamar di sana. Selain itu, kalian bisa menggunakan fasilitas mandi dan ruang makan di gedung baru, jadi kalian hanya perlu tidur di sana. Maaf merepotkan, ya,” jelas Koharu-san.
“Baiklah! Aku ingin tanya sesuatu yang penting. Apakah mandinya campur, nih?” tanya Sarugaya sambil tertawa konyol, dan para gadis langsung memelototinya.
“Hmm, sayangnya tidak ada pemandian campur di sini. Tapi, bagaimana kalau coba mandi di laut? Di sana tidak ada pembatasan laki-laki atau perempuan. Tapi kalau ada gadis telanjang mandi di laut saat malam, mungkin dia memang hantu,” Koharu-san menanggapi sambil tersenyum licik.
Sepertinya dia sudah paham bagaimana cara menghadapi Sarugaya. Sangat meyakinkan.
"Hm, bagaimana ya, kalau hantunya wanita yang sesuai dengan tipeku…," Sarugaya bergumam.
"Bukan itu masalahnya!" Mayuko langsung menyelanya, dan kami semua tertawa.
Pembicaraan tentang gedung lama dan baru berakhir, lalu setelah mendengarkan penjelasan singkat tentang pekerjaan, kami pun menuju ke gedung lama Kurage-tei, tempat kami akan menginap mulai malam ini.
☆
Ada apa dengan kamar bergaya Jepang ini? Kenapa rasanya
menenangkan sekali?
Aku rebahan di atas tatami sambil memandangi serat kayu di langit-langit, sambil merenung. Di rumahku sendiri tidak ada ruangan bergaya Jepang. Rumah kakek-nenek yang kukunjungi setiap tahun memang punya satu ruangan seperti ini, tapi ada boneka Jepang yang menakutkan di sana, jadi aku jarang masuk ke sana. Sejujurnya, kehidupanku bisa dibilang jarang berinteraksi dengan tatami.
Namun, kenapa rasanya menenangkan begini? Apakah ini naluri yang tertanam dalam gen Jepangku?
Kami menghabiskan waktu santai di kamar yang sudah disiapkan sampai tiba waktu untuk bekerja. Karena makan siang sudah kami selesaikan di kereta, kami punya waktu luang untuk bersantai.
Anehnya, meskipun sedang berada di penginapan, rasanya seperti berada di kamar sendiri. Saking melamunnya, aku sampai mendengar suara familiar dari konsol permainan yang menyala atau suara tombol kontrol yang ditekan.
"Akhirnya selesai! Ternyata TV lama ini masih bisa berfungsi, syukurlah!" kata Masaichi.
Aku menoleh ke arah suara itu. Di atas tatami, ada konsol permainan dengan menu tampak di layar TV.
…Yup. Ini benar-benar terasa seperti di rumah.
“Membawa konsol permainan sampai ke sini, ya?”
Saat aku berkata begitu, Masaichi tersenyum tipis.
“Ya jelaslah. Toiro kan juga ingin main pas selesai kerja nanti?”
“Yah, itu sih benar. Tapi aku tidak menyangka kamu benar-benar membawanya.”
“Lumayan berat, lho. Harus hati-hati juga biar tidak terbentur. Pas dibilang kita akan menginap di gedung lama, aku sempat khawatir, ada TV-nya atau nggak?”
“Ya ampun, terima kasih banyak, ya.”
Aku sangat menghargai usaha kerasnya ini. Berkat dia, aku jadi punya hiburan untuk malam ini. Bayangan menghabiskan satu hari tanpa main game sedikit pun terasa begitu menyiksa. Pasti akan terasa kurang lengkap.
Selain itu, bermain game di penginapan seperti ini menambah kesan liburan yang tidak biasa.
“Lagi pula, beruntung kita dapat kamar yang sama, ya.”
Aku berkata santai sambil pipiku masih menempel di tatami.
“Bener banget. Berkat itu, hidup otaku-ku bakal lancar. Aku bawa yang bisa dimainkan offline,” jawab Masaichi sambil mengeluarkan kaset-kaset game dari tasnya.
Rasa nyaman seperti di rumah yang aku rasakan sekarang ini, mungkin karena ada Masaichi di kamar yang sama. Entah itu karena dia benar-benar peduli padaku, atau hanya iseng saja, katanya Masaichi sudah bilang pada Koharu-san kalau kami ini pasangan dan harus ditempatkan di kamar yang sama.
Namun, kamar berdua antara laki-laki dan perempuan sering memancing banyak asumsi.
“Mazono, kalau kamu berbuat macam-macam ke Toiro— tunggu, ini malah boleh nggak sih? Mereka kan pasangan, berarti sah-sah saja… Eh, beneran boleh, ya?” ujar Urara.
“Toiro, hubungan kalian sampai mana sih? Kalian sudah begituan? Aduh, tidak boleh tuh,” kata Mayuko, menambah canggung suasana.
Meski biasanya obrolan antar perempuan seperti ini biasa saja, karena Masaichi ada di dekat kami, rasanya sangat memalukan.
‘Aku, aku nggak bakal ngapa-ngapain! A-aku akan main ke kamar kalian berdua, deh,’ jawabku cepat-cepat, berusaha menghindari obrolan itu.
Tapi sekarang, semakin aku mengingatnya, rasanya makin malu. Sial!
Agak mengejutkan bahwa Sarugaya-kun tidak mengatakan hal-hal kotor seperti biasanya, malah mengatakan, "Tanpa Masaichi, aku bakal sendirian di kamar," dengan nada sedih, yang sedikit menggelikan.
"Untuk kalian berdua, kami sudah siapkan kamar yang spesial," ujar Koharu-san, lalu mengantar kami ke kamar paling ujung di lantai tiga gedung lama.
Kami berjalan melewati lorong berkarpet merah, dan ketika pintu kayu terbuka, jendela di depan kami memancarkan biru laut yang cerah. Laut terasa begitu dekat, seakan-akan ruangan luas itu adalah pantai dan ombak bisa saja menerjang masuk. Di atasnya, terbentang langit yang bersih tanpa awan, dalam dan luas.
Kekhawatiran Masaichi ternyata tidak beralasan. Kamar itu tidak hanya memiliki televisi, tetapi semua fasilitas di gedung lama masih terawat dengan baik. Semua terawat dengan sangat rapi, meja yang dipoles hingga berkilau, lantai tatami yang bersih tanpa debu, bahkan pot antik di sudut ruangan pun terlihat mengilap. Koharu-san menjelaskan bahwa ruangan ini dulunya adalah kamar dengan tarif termahal, dan masih dirawat secara berkala agar tetap layak bagi tamu-tamu khusus.
"Padahal, pengen banget main game dulu sih," kataku sambil malas-malasan berbaring.
"Benar juga, tapi waktunya hampir tiba," balas Masaichi sambil melirik jam di ponselnya.
Kami dijadwalkan mulai bekerja pukul satu siang, setelah Koharu-san menjelaskan bahwa kami akan bekerja di luar jam sibuk untuk hari pertama ini. Sekarang pukul setengah satu, jadi kami masih punya waktu untuk bersantai sedikit, tapi datang terlambat di hari pertama jelas bukan pilihan. Akhirnya, aku pun perlahan bangkit dari lantai.
"Hei, di pipimu ada bekas tatami yang jelas banget," kata Masaichi sambil menunjuk wajahku.
"Aduh, gimana nih? Bisa ilang gak ya sebelum kerja?"
"Itu karena kebanyakan santai sih. Coba pijat-pijat dikit, mungkin bisa hilang."
"Oh, mungkin ya!"
Sambil memijat pipi, aku berjalan menuju sudut kamar, di mana kaus seragam kerja kami tersimpan dalam kotak kayu berlapis pernis, yang dulunya mungkin digunakan untuk menyimpan yukata tamu. Aku mengambil salah satu kaus, berwarna hitam dengan leher bulat, dan tulisan "Kurage-tei" di bagian belakang menggunakan font bergaya kaligrafi Jepang.
Tanpa menoleh, aku bilang, "Oke, aku ganti baju sekarang ya."
Masaichi, yang sedang mengutak-atik kontroler sambil menatap layar televisi, langsung mengalihkan pandangannya ke arah jendela dan bahkan berbalik badan, memberiku ruang untuk berganti. Biasanya, saat aku mengganti baju di kamar Masaichi, dia juga berbalik begitu sadar bahwa aku sedang bersiap untuk berganti baju. Namun kali ini terasa berbeda, mungkin karena kami berada di tempat yang tidak biasa dan belum terbiasa dengan situasinya.
--Rasanya aneh, ya.
Aku ingat Koharu-san bilang hanya bagian atas yang perlu diganti, jadi aku mengambil celana pendek dari tas dan mulai melepas gaun yang sedang kupakai. Saat aku menarik gaun itu ke atas, entah kenapa aku merasa tak biasa. Kami memang sering bertemu dan sering berada di ruangan yang sama, tapi ternyata, mengganti baju di tempat baru seperti ini agak membuatku gugup. Perasaan malu ini terasa baru dan berbeda dari biasanya.
Sambil memeluk kaus kerja di dadaku, aku berpikir, --Mungkinkah ini yang dirasakan pasangan-pasangan biasa?
Rasa deg-degan ini, sensasi aneh di punggung yang mulai menyebar hingga wajahku memerah, mungkin itulah yang dinamakan ketegangan awal sebuah hubungan. Aku menoleh sedikit, dan melihat Masaichi tetap membelakangiku, menunggu dengan sabar.
Jika dia berbalik dan melihatku seperti ini, bagaimana ya rasanya? Membayangkannya saja membuat perutku terasa kaku dan tubuhku merinding. Hanya pakaian dalam, seharusnya tidak masalah, tapi… kurasa ini perasaan yang normal untuk sepasang kekasih yang baru menjalin hubungan. Dan dengan pemikiran itu, aku membiarkan diriku menikmati sensasi aneh ini sejenak tanpa bergerak -- secara tak sadar berhenti hanya untuk merasakannya.
*
--Kenapa aku malah berhenti bergerak?
Apa… apa dia menyadarinya!?
Dengan wajah yang menegang, aku tetap diam di tempat, merasa keringat dingin mulai keluar di punggungku. Kenapa begini jadinya!?
Ketika Toiro mulai berganti baju, entah kenapa suara lirih gesekan pakaiannya terdengar lebih mencolok dari biasanya. Ruangan baru, suasana penginapan, dan kami berdua saja di tempat yang asing membuatku semakin sadar akan kehadirannya. --Aneh, ini hanya perasaanku saja atau bagaimana?
Aku mencoba untuk tenang dengan menghela napas sambil menatap ke arah jendela.
Saat itulah aku melihat sesuatu dari sudut mataku.
Dalam pantulan di layar televisi, tampak sosok Toiro sedang mengganti baju. Tepat ketika dia mengangkat gaunnya, aku melihat sosoknya dengan pakaian dalam berwarna putih, duduk dengan kaki tertutup di atas tatami.
--O,Oi, seriusan...
Aku buru-buru mengalihkan pandangan ke arah laut. Tak kusangka akan ada jebakan semacam ini. Suara gesekan pakaian masih terdengar, tampaknya Toiro tidak menyadarinya. Aku melirik sekali lagi ke arah itu, tepat saat Toiro sedang berusaha melepaskan gaun dari atas kepalanya. Punggungnya yang melengkung dengan indah terlihat, ada lekukan kecil yang entah bagaimana masih eksis meski dia suka makan camilan. Meski hanya dari pantulan layar TV, kulitnya tampak putih dan sehalus sutra.
—Tunggu, kenapa aku malah nonton kayak orang biasa aja?!
Sekali lagi aku memandangi laut. Seharusnya pemandangan yang indah ini mampu menenangkan pikiranku, tapi sama sekali tak terproses di otak.
Biasanya, saat Toiro ganti baju di kamarku, aku otomatis membalikkan badan. Itu sudah jadi kebiasaan sejak lama. Tapi entah kenapa kali ini rasanya ada yang lain, pikiranku jadi terfokus padanya.
—Kenapa sih aku malah tertarik banget ke arahnya sekarang?
Aku berusaha keras memalingkan mata, menekan kuat otot-otot di
sekitar mata untuk tetap melihat ke samping. Lalu aku menghela napas ketika menyadari sesuatu.
Toiro, yang tergambar di layar TV, diam mematung seakan menutupi dadanya dengan T-shirt yang akan dipakainya. Apa dia sadar aku sempat mengintip? Rasanya badan jadi panas dingin tak karuan, dan keringat dingin mengalir di punggungku.
—Eh, ini aneh.
Biasanya kalau ketahuan, Toiro pasti langsung berkata sesuatu, mungkin sambil tersenyum nakal dan bilang, "Oh, mau lihat tubuh pacarmu yang imut, ya?" Lagipula, kalau cuma pakaian dalam seharusnya dia nggak merasa malu. Sudah sering dia berguling di tempat tidur dan rok tersingkap, bahkan sering juga minjam T-shirt-ku yang kebesaran hingga bagian lehernya longgar.
Lalu kenapa kali ini dia malah membeku? Dan kenapa juga aku jadi diam-diam mengintip Toiro yang sedang ganti baju?
Mungkin sekitar lima belas detik berlalu. Saat aku masih merenungkan hal ini, Toiro melanjutkan ganti bajunya. Tak lama kemudian, dia memanggil dari belakang.
"Maaf ya, lama nungguin," katanya.
Aku menoleh, dan melihat Toiro tersenyum sambil mengipasi
wajahnya dengan tangan.
“Wah, panas banget hari ini, ya. Pasti di luar lebih parah. Aku mesti olesin sunblock ini, nih.”
Keningnya terlihat berkeringat. Aneh, padahal ruangan ini sangat sejuk dengan AC menyala.
"Haruskah aku juga pakai sunblock? Kalau perlu, kita bisa beli lagi nanti."
“Oh, tenang aja, pinjam punya aku! Harus banget pakai! Cowok kan nggak pakai makeup, jadi sinar UV langsung ke kulit tuh. Bisa bikin noda dan kerutan. Lagipula, kamu kalau kena matahari, kan jadi merah bukan hitam? Lebih bagus berhati-hati!”
Aku menerima sunblock yang dipinjamkan Toiro dengan penuh terima kasih. Sambil diajari cara memakainya, aku mulai mengoleskannya di lengan.
Toiro tak menyinggung soal kejadian saat ganti baju tadi. Pada akhirnya, mungkin kejadian itu hanyalah keberuntunganku mendapat momen "lucky perv" dan tidak akan dibahas lebih lanjut.
Aku menghela napas pelan, dan menutup mata sejenak. Bayangan Toiro yang terpantul di layar TV masih tertinggal jelas dalam benakku.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.