Chapter
5
Aksi kekasih ini, suatu hari nanti akan menjadi harta yang besar
"Kepada Kakakku yang Terhormat, dalam suasana musim panas yang terik, semoga AC di rumah nyaman. Pekerjaan paruh waktu yang kamu rekomendasikan baru-baru ini ternyata benar-benar ‘hitam’ alias buruk. Aku berharap ketika surat ini sampai padamu, itu bukan surat wasiat. Hormatku."
Sambil membayangkan kata-kata penuh dendam itu untuk kakakku, aku tetap bekerja tanpa henti. Membersihkan meja-meja yang baru saja ditinggalkan pelanggan dengan kain lap, dan mendisinfeksinya. Jika aku tidak cepat, pelanggan berikutnya akan datang tanpa jeda.
… Bukankah mereka bilang akan mengajariku pekerjaan ini di waktu yang lebih tenang?
Rumah pantai yang dikelola oleh keluarga Miyauchi ini beroperasi di sebuah pondok sementara yang dibangun di tepi pantai, dengan sepuluh meja di dalam dan tiga meja di luar. Meski waktu makan siang sudah berlalu, semua meja tetap penuh, bahkan banyak pelanggan memilih membeli makanan untuk dibawa pulang.
Dari luar, pantai penuh dengan orang-orang berbikini. Warna kulit mencolok terlihat di bawah sinar matahari yang menyilaukan, dihiasi oleh parasol-parasol yang tersebar dan warna-warni baju renang yang cerah. Melihat keramaian ini, jelas sekali kenapa bisnis sedang ramai.
Kalian semua, musim liburan itu untuk istirahat, lho! Aku membatin sambil menatap para muda-mudi yang bersenang-senang di pantai, lalu sadar bahwa ucapanku sendiri malah kembali padaku seperti bumerang.
Aku hanya ingin cepat-cepat istirahat di kamar…
"Mazono-chi! Tolong ambilkan duster!"
Saat aku sedang berkeliling di dalam toko setelah selesai membersihkan meja, terdengar suara dari luar. Kulihat Mayuko melambai-lambaikan tangan besar-besar di pintu masuk yang terbuka lebar.
"Duster? Apa itu?"
Aku menoleh dengan bingung, lalu suara lembut terdengar dari belakangku.
"Duster itu yang ini. Ada yang bersih di belakang konter, bisa ambilkan untuk Mayuko?" kata Koharu-san dengan senyum hangat. Senyumnya yang menenangkan ini sangat menolong di tengah kesibukan. Kimono yang dulu dipakainya saat di penginapan sudah dilepas, sekarang dia mengenakan T-shirt kerja yang sama seperti kami. Rambut hitamnya yang biasanya diikat rapi sekarang terurai hingga ke bahunya.
Di tangannya, Koharu-san memegang kain lap bergaris biru dan putih, yang biasa digunakan untuk membersihkan meja.
"Jadi ini yang disebut duster, ya?"
"Betul. Kami menyebutnya kain lap, tapi nama produknya memang kitchen duster."
"Baik, terima kasih. Aku akan segera ambilkan."
Setelah mengucapkan terima kasih, aku berjalan menuju konter di belakang toko. Kain lap yang tadi kupakai kumasukkan ke dalam ember penampungan, lalu mengambil dua kain lap dari kotak baja di atas konter—satu untukku, satu untuk Mayuko.
“Ambil duster? Dasar, duster…” Aku bergumam sendiri, lalu tersentak. Apa-apaan tadi itu, permainan kata konyol? Otakku pasti sudah lelah karena sibuk terus menerus.
Kain lap itu sudah dibasahi sebelumnya, dingin di tanganku. Aku pun berjalan keluar toko.
"Lama banget, Mazono-chi," kata Mayuko dengan tangan di pinggul menungguku.
"Ini dusternya."
"Thanks! Sambil nunggu kamu, aku sudah buang sampah di meja, jadi tinggal dilap aja sekarang. Ini yang namanya hemat waktu, ‘kan?" katanya dengan bangga, sambil langsung mulai mengelap meja. Gerakannya lincah dan cepat, seolah bisa menyelesaikan satu meja dalam sekejap.
Aku berpikir untuk menyerahkan semuanya dan pergi, tetapi aku merasa ada sesuatu yang sedikit mengganjal, jadi aku tetap di tempat. Lalu, aku memulai percakapan dengan Mayuko.
"…Eh, bagaimana kamu bisa tahu kalau kain ini disebut 'duster'?"
Mayuko mengangkat wajahnya, menatapku, dan berkedip. Mungkin dia terkejut karena aku tiba-tiba memulai pembicaraan. Sejujurnya, memulai percakapan langsung dengan pertanyaan mungkin adalah cara yang aneh. Karena aku hampir tidak punya pengalaman memulai obrolan, aku tak tahu cara yang benar.
Mayuko sempat terdiam sambil memandangku, lalu akhirnya mengeluarkan suara seolah dia mengerti sesuatu.
"Oh, Koharu-san menyebutnya kain lap. Tapi di tempat kerjaku biasanya ini disebut duster. Barangnya sih sama saja, hanya namanya yang berbeda, gitu?"
"He, heh. Ternyata kamu punya pekerjaan lain ya. Kerja di mana?"
Aku mencoba mempertahankan percakapan.
"Di restoran. Bagian pelayanan di restoran sushi berputar."
"Oh, pantas saja. Aku merasa kamu cekatan sekali saat membersihkan meja."
"…Kelihatan banget, ya? Kesan sudah terbiasa gitu."
"Ke, kesan sudah terbiasa…? Ah, iya, iya, kelihatan banget."
Sampai di situ, Mayuko kembali menatapku. Tanpa kusadari, dia sudah selesai mengelap meja.
"Ada apa, Mazono-chi?"
"Hm? Ada apa maksudnya?"
"Ya, kenapa kamu repot-repot ngajak aku ngobrol? Soalnya Mazono-chi bukan tipe orang yang suka nyamperin cewek di kelas, kan?"
Mayuko bertanya sambil memiringkan kepala. Tajam sekali. Yah, kalau dia tahu karakterku di sekolah, wajar kalau dia merasa ada yang aneh. Tapi fakta bahwa dia menanyakannya langsung menunjukkan betapa khasnya Mayuko.
"Heh. Jangan-jangan kamu mau menyampaikan ke aku kalau kamu dan Toiron pacaran, ya? Aku nggak tahu apa maksud kalian, tapi serangan semacam itu nggak akan mempan sama aku, tahu? Aku dilindungi oleh Fabulous-sama!"
Mayuko lanjut berandai-andai dengan penuh curiga, membuatku buru-buru menggeleng.
"Serangan apaan sih?! Nggak, aku cuma penasaran, makanya nanya. Lagipula, sekarang bukan teman sekelas, kita kan rekan kerja untuk beberapa hari ke depan?"
Dan soal kata ‘perlindungan’ itu, sepertinya cuma pernah kudengar di gereja dalam game.
Mayuko melihatku dengan tatapan curiga, alisnya berkerut untuk beberapa saat.
"…Cuma penasaran, ya?"
"Iya. Dari kita semua, kamu jelas yang paling cekatan."
"Oh, jadi kamu merasa aku kayak 'emang ada yang pernah ngerjain ini
sebelumnya,' ya? Ya, soalnya tugasnya mirip dengan pekerjaan biasanya."
Meski rasa curiganya belum hilang, obrolan pun berlanjut dengan suasana yang agak ragu-ragu.
"Kamu kelihatannya masih punya banyak energi, ya?"
"Masa, sih? Biasanya di tempat kerja aku berdiri lima jam tanpa istirahat. Lagian, kan, kita baru mulai kerja."
"Ya, benar sih kalau dipikir begitu."
Aku tahu. Ini karena aku saja yang kurang stamina. Selain perjalanan ke sekolah, aku sebisa mungkin mengurung diri di rumah. Ingatan tentang berlari di padang rumput dan pegunungan yang ada dalam pikiranku semuanya berasal dari dunia RPG.
"Yah, daripada aku, anak itu lebih banyak bergerak."
Sambil berkata begitu, Mayuko melirik ke dalam toko. Mengikuti arah pandangannya, aku melihat seorang gadis berambut pirang yang diikat kuncir kuda bergerak cepat ke sana kemari.
"Nakasone, ya."
Aku bergumam, dan Mayuko mengangguk.
"Uraran, kelihatannya dia tegang karena ini pertama kali dia bekerja. Semangatnya kelihatan banget, ya. Kalau pakai spedometer, pasti dia yang paling banyak langkahnya."
Aku sempat merasakan sebelumnya, tapi ternyata Nakasone benar-benar terlihat tegang saat bekerja di sini. Ternyata, gadis paling populer di kelas juga bisa merasa gugup. Kupikir orang-orang yang supel seperti dia pasti jago dalam hal-hal semacam ini.
Tepat saat itu, aku melihat Nakasone membungkukkan badan dengan penuh hormat setelah berbicara dengan seorang pelanggan. Entah kenapa, aku merasa sedikit terhubung dengannya. Ngomong-ngomong, julukan yang diberikan Mayuko pada Nakasone adalah "Uraran."
"Yah, Uraran mungkin bisa berlari ke sana kemari, tapi karena dia sudah terbiasa latihan di klub tenis, dia pasti baik-baik saja. Masalahnya adalah kalian berdua."
Mayuko menunjuk ke arahku dengan dagunya sambil berkata begitu.
"Benar juga…"
Sambil menjawab, aku mengarahkan pandanganku ke arah dalam toko. Sekarang, satu-satunya orang yang masuk dalam istilah 'kalian berdua' bersamaku adalah dia. Dari balik jendela, aku melihat sosoknya di salah satu sudut toko.
Kebetulan, hari ini Sarugaya bertugas di dapur karena pegawai bagian cuci piring yang biasanya bertugas mendadak izin sakit. Biasanya, area dapur yang fokus pada masakan diurus oleh staf tetap, sedangkan bagian pelayanan dipegang oleh pekerja paruh waktu seperti kami. Koharu-san bertugas bolak-balik antara dapur dan pelayanan, mengatur semuanya agar berjalan lancar.
"Kalian berdua mirip, tapi dalam arti yang berbeda," gumam Mayuko sambil melihat ke arah lain.
"Hah?" Aku bertanya, meski bukan karena aku tak mendengarnya; aku hanya ingin tahu maksudnya.
"Oh, pelanggan datang. Ayo kerja."
Sepasang pelanggan baru saja memasuki toko, dan Mayuko segera berlari menghampiri mereka sambil membawa kain lap. Karena kami sedang bekerja, obrolan seperti ini hanya tambahan; wajar kalau pekerjaan jadi prioritas.
Aku berbalik dan bersiap kembali bekerja. Sekilas aku melihat ke jendela, namun sosok Toiro yang tadi terlihat kini tak ada lagi.
Begitu masuk ke dalam toko, aku melihat sekeliling mencari sosok
Toiro. Ternyata, dia masih di sudut toko, hanya saja sekarang sedang berjongkok. Pantas saja tadi tak terlihat dari jendela.
Ada apa dengannya…?
Dengan rasa ingin tahu, aku mendekatinya. Di depan Toiro yang sedang jongkok, tampak seorang anak laki-laki berdiri. Dari arah meja yang ditempati beberapa wanita yang tengah asyik mengobrol, terlihat sebuah kursi kecil yang kosong. Rupanya anak kecil itu adalah pelanggan yang kebetulan sedang bosan dan akhirnya mengobrol dengan Toiro.
"Eh, anak-anak zaman sekarang sudah main game, ya? Oh ya, Kakak ini dulu main game yang bukan versi remake waktu kecil, lho."
"Remake?"
Anak laki-laki berambut cepak dan mengenakan kaos bergambar mobil itu tampak bingung dan memiringkan kepalanya. Sepertinya dia belum paham istilah 'remake.' Mungkin usianya belum sampai sekolah dasar.
"Iya, remake itu membuat ulang sesuatu dari versi lama tapi dengan peningkatan. Dulu ada game yang sama, dan yang kamu punya itu versi barunya."
"Oh gitu. Nggak paham, ah. Kakak kayaknya payah main game."
Toiro… dia sengaja berjongkok untuk menyamakan pandangan, tapi tetap saja kena sindir.
"En, enggak, aku nggak payah, kok! Aku mainin game itu cukup lama, tahu. Anak zaman sekarang serem juga, ya. Kamu umur berapa, sih?"
"Ehm… satu, dua, tiga, empat tahun!"
Anak itu menghitung usia dengan menekuk jarinya satu per satu. Mungkin orang tuanya yang mengajarinya begitu.
"Kakak umur berapa?"
"Hmm? Kakak sih… satu, dua, tiga, empa—"
"Hei, kamu nggak perlu ikut ngitung umur juga!"
Seketika aku tak sengaja menyela. Berapa jari yang akan dia tekuk, coba.
Toiro mengangkat wajahnya dan menatapku, ekspresinya langsung berubah cerah.
"Ah, Masaichi, pas banget datang. Dengar tadi? Aku mau menjelaskan serunya versi original game ini ke anak ini."
"Mau dijelaskan juga nggak akan berpengaruh, dia nggak punya perangkat buat mainin versi aslinya, itu kan game lebih dari sepuluh tahun lalu."
"Oh iya juga ya, lupa."
Saat Toiro sedang bilang, "Lalu gimana dong?", anak laki-laki itu kembali ke ibunya.
“Ah, pelanggan kecil—” kata Toiro, mengulurkan tangan ke arah anak itu.
"Apa yang tadi kamu lakukan? Ngobrolin soal game sama anak kecil begitu," tanyaku.
Sambil melihat anak itu yang sudah berjalan pergi, Toiro bertumpu pada lututnya dan perlahan berdiri.
"Apa? Aku lagi melayani pelanggan, kok. Ngobrol dengan anak kecil tuh susah, ya. Soalnya beda generasi, jadi game yang mereka main juga beda. Terus, buat nyamain pandangan, aku harus jongkok," jawabnya sambil berpura-pura mengusap pinggangnya dengan dramatis. Lalu, dia memutar pandangannya ke sekeliling toko.
“Nah, sekarang pelanggan kecil berikutnya ada di mana, ya?”
“Kamu bilang melayani pelanggan, tapi kayaknya kamu cuma mau
ngobrol soal game sama anak kecil!”
Aku refleks mengomentarinya lagi. Tapi kalau dia bilang ini juga bagian dari pelayanan, susah juga untuk membantah langsung. Ini cara bolos yang cukup tinggi kelasnya. Aku jadi merasa, mungkin dia cuma jongkok untuk mengumpulkan tenaga.
Toiro tersenyum kecil dengan sedikit nada pahit.
“Sebenarnya, jujur aja, aku sedikit capek. Kerja paruh waktu ternyata capek juga, ya.”
“Yah, aku juga bisa mengerti itu. Kakiku mulai terasa kaku kayak tongkat.”
“Aku juga. Selama liburan musim panas kelas satu SMA, sebagian besar waktuku habis di atas tempat tidur, jadi ini benar-benar ujian yang berat,” katanya sambil tertawa pelan.
"Dan juga, Koharu-san bilang, kalau melihat anak kecil, coba ajak mereka bicara. Memang kita bukan staf taman hiburan, tapi setidaknya buatlah mereka punya kenangan indah di pantai ini. Jadi, kupikir ngobrol dengan anak kecil itu bisa jadi cara mengembalikan energi, hehehe."
Begitu rupanya. Jadi, selain sedikit bolos, ternyata itu juga bagian dari tugasnya. Setelah tahu alasannya, sulit rasanya menyalahkannya.
Maaf sudah berpikir buruk.
"Jadi begitu, ya. Tapi kondisi tubuh kamu baik-baik saja?"
“Tenang, sekarang aku udah lebih sehat daripada dulu!”
“Syukurlah.”
Toiro dulu sering sakit-sakitan sejak kecil. Meski kini tubuhnya sudah jauh lebih kuat, kebiasaan melihatnya bolak-balik ke rumah sakit dari kecil membuatku tak bisa menahan rasa khawatir.
“Eh, lihat deh, pelanggan baru di sana sudah meletakkan menu. Mungkin sebentar lagi mereka akan memanggil untuk pesan,” ujarnya sambil melirik ke arah meja dekat konter.
“Kamu udah jago ambil pesanan sekarang? Aku sih baru belajar lap meja doang.”
“Oh, aku sih awalnya cuma lap meja juga, tapi pas kebetulan ada pelanggan yang manggil aku buat pesan, ya udah aku ambil aja pesanannya. Terus aku tanya ke Koharu-san gimana cara mengurusnya, dan dia bilang tinggal sampaikan pesanan itu langsung ke dapur. Jadi bisa dibilang, aku ‘secara alami’ belajar ngambil pesanan?”
Aku hanya menggumamkan “Oh” pelan.Toiro memang cepat belajar,ya.
Padahal Koharu-san bilang untuk membiasakan diri dulu dengan suasana toko hanya dengan mengelap meja… Wah, aku juga harus cepat-cepat mengejar perkembangan ini.
Sambil kami ngobrol, seperti dugaan Toiro, pelanggan di meja dekat konter mulai mengangkat wajahnya, jelas-jelas mencari pelayan. “Aku duluan, ya,” Toiro berkata singkat sambil tersenyum, lalu bergegas mendekati meja itu.
Aku yang tertinggal hanya bisa memperhatikan punggungnya, berharap aku bisa belajar cara mengambil pesanan dengan baik.
Sebenarnya, aku punya satu tujuan dalam bekerja paruh waktu kali ini. Aku ingin menunjukkan kepada teman-teman yang ikut bersamaku, terutama Mayuko, bahwa aku adalah laki-laki yang bisa sepadan dengan Toiro.
Selain berusaha menunjukkan keandalan dalam pekerjaan, aku juga mencoba untuk berbaur dengan para gadis. Seperti yang Toiro bilang sebelumnya, “Senang kalau pacarku bisa akrab dengan teman-temanku juga,” aku ingin mencoba bicara dengan para gadis dan bisa mengobrol normal.
Tapi sampai saat ini, dalam hal pekerjaan, aku masih tertinggal. Meski sudah mencoba mengajak Mayuko bicara, aku merasa belum ada kemajuan yang berarti.
Aku harus berusaha lebih keras. Begitulah tekad yang kupendam dalam hati.
*
—Aku juga pernah berada di masa di mana aku berpikir untuk berusaha lebih keras.
Saat aku memejamkan mata sebentar, pemandangan dari saat kerja paruh waktu tadi berkelebat di pikiranku. Pelanggan yang datang silih berganti, pola kain lap yang bergerak naik turun di depanku, makanan dan minuman ringan yang bolak-balik kuantar dari dapur ke meja pelanggan.
Pada akhirnya, hari itu aku hanya berhasil belajar membersihkan meja dan mengantar pesanan ke meja pelanggan. Tapi, hal itu pun sudah dikuasai oleh rekan-rekan lain; tidak ada yang istimewa dari perkembangan yang kucapai. Di hari pertama bekerja, aku hanya bisa mengerjakan pekerjaan yang muncul di depan mata dengan sepenuh tenaga. Di mana ya, orang yang bilang ingin menunjukkan dirinya bisa diandalkan? Sungguh memalukan.
Kini, karena kelelahan, aku hanya bisa berbaring lemas di atas futon di kamar. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Rasanya aku makan malam yang lezat di penginapan baru ini dan berendam di pemandian air panas yang luas, tetapi begitu rebahan, semua ingatan itu seakan menguap begitu saja… seperti futon yang terbang. Ah, tampaknya pikiranku masih terlalu lelah.
Aku masuk ke dalam futon sambil menyalakan lampu, dan tanpa sadar lima belas menit sudah berlalu. Meskipun tak ada niatan tidur, rasanya kesadaranku sempat menghilang beberapa kali. Sebagai bukti, sekarang Toiro yang tadinya di wastafel kini berbaring di futon sebelah.
Yang kuingat terakhir, dia sedang di wastafel, mungkin mengoleskan toner atau menyikat gigi. Tapi entah sejak kapan dia pindah ke sini. Perlahan, aku bangkit dan menatap wajahnya. Tampaknya dia tertidur nyenyak; napasnya terdengar tenang dan damai.
Dia mengenakan yukata penginapan yang sama denganku. Tonernya sepertinya belum kering sepenuhnya, membuat pipinya yang halus tampak mengilap, dan beberapa helai rambutnya yang basah menempel di sana. Ujung rambutnya menyentuh bibirnya, jadi aku mengulurkan jari kelingking untuk memindahkannya perlahan.
Tiba-tiba, Toiro membuka matanya lebar-lebar.
“Ti-tidak, aku… hanya, rambut! Aku hanya gak mau kamu makan rambut—”
Entah kenapa aku malah terburu-buru memberikan alasan, padahal Toiro sudah langsung bangkit duduk.
“Wah, hampir aja! Aku hampir ketiduran!” katanya, lalu sambil menyatukan kedua tangan di depan wajahnya, dia minta maaf. “Maaf ya!”
“Eh, kenapa kamu minta maaf? Nggak ada yang perlu dimaafin…”
“Lho, bukannya kita mau main game?” jawabnya dengan kepala miring.
“Ah, iya sih, kita memang rencana begitu… Tapi apa kamu gak capek? Besok pagi-pagi juga kita masih ada kerja paruh waktu. Gimana kalau kita gak usah main?”
“Eh, tapi kan aku udah bawa barang-barang gamenya. Ya, meskipun yang bawa sampai sini sih Masaichi,” jawabnya.
Toiro yang sampai ketiduran di futon pastilah juga kelelahan. Dia memang tipe yang selalu perhatian, tapi sebetulnya kita gak perlu terlalu memaksakan diri.
“Udah, gak apa-apa. Nanti kalau kita udah mulai terbiasa sama kerjaan, baru deh main. Soalnya, kalau kita mulai sekarang, bisa-bisa kita terus main sampai pagi, kan?”
“Itu benar juga. Kita pasti bakal terus lanjut sampai pagi, kayak... sampai ‘dunia satu putaran setelahnya’,” katanya sambil tertawa.
Aku dan Toiro biasa menyebut “dunia satu putaran setelahnya” untuk menyebut pagi setelah kita begadang main sampai subuh. Istilah ini diambil dari komik yang kami sukai, dan sejak itu kami jadi terbiasa menggunakannya.
“Besok pagi masih harus kerja, gak lucu kalau sampai kebablasan ‘putaran’ lagi. Malam ini kita istirahat aja, ya,” usulku, sambil jujur mengakui bahwa aku bahkan mungkin gak akan kuat sampai satu putaran penuh.
“Bener juga, ya. Oke, kita istirahat aja malam ini,” katanya setuju.
“Baiklah,” jawab Toiro sambil berguling ke futon, bersiap tidur.
Kapan terakhir kali aku melewatkan satu hari tanpa menyentuh controller dan bermain game? Sambil berpikir demikian, aku bangkit perlahan. Sebelum berbaring lagi, aku ingin sedikit membasahi mulutku yang kering. Aku membuka kulkas kecil dan mengeluarkan sebotol teh dingin yang kubeli di toko penginapan setelah mandi.
Walaupun tubuh terasa lelah, berbicara dengan Toiro tadi membuat kantukku agak mereda. Rasanya waktu juga belum terlalu malam untuk tidur, mungkin masih bisa bersantai sebentar sebelum benar-benar tidur.
Aku meneguk teh, lalu kembali ke futon. Saat itu, kulihat Toiro yang sedang tengkurap tiba-tiba memalingkan wajahnya ke arahku dari atas bantal. Matanya yang bulat tampak cerah dan berkilauan, dan, entah bagaimana, sudut bibirnya sedikit terangkat, seolah menyimpan sesuatu di dalam pikirannya.
—Ah, ini pasti wajah Toiro ketika sedang merencanakan sesuatu…
Tanpa menunggu lebih lama, dia sedikit mengangkat kepalanya dan membuka mulut,
“Gimana kalau, kita main game sebentar aja, yang cepat selesai?”
“Game?” Aku merasa sedikit was-was mendengar kata “game” darinya, sesuatu yang jarang terjadi.
“Toiro, yang biasa kamu sebut ‘game’ ini pasti ada sesuatu, kan?” Aku duduk dan memandangnya, memberi isyarat untuk menjelaskan. Toiro pun bangkit dan tersenyum.
“Game sederhana kok, semacam batu-gunting-kertas dengan sedikit hukuman. Dijamin bisa menghilangkan lelah dari kerja paruh waktu tadi, plus... bisa juga jadi semacam... momen romantis. Nama gamenya, kalau kalah batu-gunting-kertas, kena pijat!”
“Oh,” kataku, menilai idenya. Di saat lelah seperti ini, ide itu memang terdengar menarik.
Namun ada sesuatu yang masih mengganjal bagiku.
“Pijat itu romantis, ya? Bukannya kita juga suka mijat bahu kalau di rumah?”
“Cikcikcik, Masaichi-kun yang polos, yang biasa kita lakukan itu cuma mijat bahu sederhana. Tapi kali ini, yang kalah bakal dapat pijat seluruh tubuh!”
Dengan semangat, Toiro menjelaskan rencananya, tampak senang seperti baru saja menemukan ide brilian. Mungkin dia sedang lelah dan terlalu bersemangat.
Pijat seluruh tubuh, ya? Mungkin memang terasa lebih intim daripada sekadar pijat bahu. Membayangkannya saja, rasanya beda—menyentuh dan memijat area yang biasanya tak tersentuh seperti paha atau punggung bisa memberi kesan romantis. Kegiatan seperti ini memang biasanya hanya dilakukan oleh pasangan, dan bisa menunjukkan kedekatan hati.
Tiba-tiba aku merasa agak gugup, bahkan perutku terasa geli. Aku melirik sekilas paha Toiro yang terlihat sedikit dari balik yukata-nya.
“...Tapi, emangnya kita perlu coba ‘momen romantis’ yang begini?” tanyaku, masih ragu.
“Kamu ini gimana, sih? Pengalaman kayak gini suatu saat bakal jadi kenangan berharga, lho!”
Memang sepenting itu, ya?
“Baiklah, kalau begitu, saatnya batu-gunting-kertas,” ucap Toiro sambil memutar-mutar bahu kanannya, bersiap.
Saat mendengar kata “romantis,” aku sempat membayangkan bahwa akulah yang akan memijatnya. Tapi sekarang aku tak mau kalah begitu saja.
“Kalau Toiro, pasti kamu bakal ngeluarin gunting di babak pertama, kan? Apa kamu yakin gunting yang sudah sering kamu pakai itu masih bisa menang?”
“Heh, mungkin memang begitu, tapi bisa saja itu semua cuma taktik untuk saat ini. Kalau aku malah keluarkan batu, kamu yang terlalu kaku berpikir begitu,” ucapnya sambil tersenyum licik.
Kami saling memasang strategi, masing-masing dengan senyum penuh percaya diri. Kali ini, aku tidak boleh kalah. Soalnya, betisku sudah pegal banget!
““Awalannya batu! Batu-gunting-kertas!””
“Bagaimana tekanannya, Toiro-sama?”
“Bagus sekali, Masaichi. Teruskan.”
Aku mulai dengan memijat bagian bahunya, lalu perlahan berpindah ke punggungnya yang tengkurap. Aku tak tahu posisi titik-titik pijat, juga tak paham tekniknya, jadi aku mencoba menekan dan meraba area sekitar tulang belikat, sambil sesekali bertanya apakah pijatanku nyaman, lalu melanjutkan turun ke bagian bawah.
Melalui lapisan tipis yukata yang dipakainya—hanya berlapis satu camisole di dalamnya—aku bisa merasakan kelembutan kulitnya langsung di ujung jemariku.
Saat aku menekan bagian pinggang, tiba-tiba Toiro mengeluarkan suara yang terdengar sedikit menggoda.
“Yah!” serunya, menggeliatkan pinggulnya.
“Hei, jangan bikin suara aneh begitu,” ujarku, sambil berusaha keras untuk tidak memikirkannya terlalu jauh.
Dia malah tertawa kecil, tampaknya sengaja menggodaku. Kurasa aku harus membalasnya dengan pijatan yang sedikit lebih kuat.
Setelah selesai dengan pinggang, aku memutuskan untuk melewatkan bagian bokong dan langsung berpindah ke paha. Memang pernah beberapa kali tanganku menyentuh bokongnya secara tidak sengaja, atau waktu kecil kami bercanda dan aku menepuknya. Tapi kali ini beda. Meskipun status kami sebagai “pacar,” ini bukan area yang seharusnya aku sentuh. Jadi, aku pun memutuskan untuk menghindarinya.
Namun, saat tanganku berpindah ke pahanya, Toiro kembali mengeluarkan suara yang berbeda.
“Hing!”
Sepertinya lebih seperti suara terkejut kali ini. Aku mencoba memijat pahanya lagi.
“Hyah!” Sekali lagi, tubuhnya tersentak kecil.
“Oh, geli ya?” tanyaku sambil tersenyum.
“Ya, cuma… sedikit…” jawabnya, terputus-putus.
Senyum lebar muncul di wajahku. Ini saat yang tepat untuk membalas candaan tadi. Aku mulai memijat pahanya dengan lebih intens, menggunakan kedua tangan.
“Hyah, ah, tunggu, Masaichi, tunggu!”
Toiro yang semula menggeliat akhirnya menyerah, duduk tegak, “Tunggu, bisa kita hindari area ini? Mungkin pijat di betis saja, ya?”
“Eh, ini bukan soal geli kok, ini pijat, tahan sedikit,” godaku.
Namun, wajah Toiro sedikit memerah, dia mengalihkan pandangannya, tampak malu. “Bukan soal geli sih… cuma, tempat itu... agak memalukan…”
Wajahnya merah, seperti bola lampu menyala. Sontak, aku juga merasa gugup. Kalau dipikir-pikir, aku memang sengaja melewatkan area bokong tadi karena merasa itu bukan sesuatu yang seharusnya aku pijat. Dan sekarang, bagian ini memang cukup dekat dengan area yang sama.
“Ba-baiklah, kalau begitu, aku pindah sedikit ke bawah.” Aku pun memutuskan untuk memijat di area betis. Tetapi, bahkan di sana, tubuhnya terus saja bergerak setiap kali aku menekan ototnya.
“Hah… Hyun…”
Hei, jangan terlalu lebar membuka kaki, yukata-mu nanti tersingkap dan terlihat yang tidak-tidak…
“Hehe, pijatannya enak sih, tapi rasanya seperti kena titik tertentu,” katanya sambil memandangku dengan wajah kemerahan.
“Rasanya seperti hukuman, ya, meskipun kamu yang menang,” candanya sambil tersenyum malu.
“Kalau aku yang menang, aku juga bakal gantian pijat kamu,” kataku sambil tertawa kecil.
“Aaah, itu curang bilangnya setelah kalah! Kalau gitu, pilih satu bagian yang mau dipijat.”
“Tidak, tidak perlu. Aku takut malah jadi geli.”
“Tidak usah malu-malu, Masaichi. Aku janji tidak akan membuatmu geli. Ayolah, ini momen romantis!”
Dia menarik lenganku, dan akhirnya aku pun berbaring di futon.
“Baiklah, betis saja,” kataku.
“Toiro, segera melakukannya dengan antusias, “Betis, siap pijat!”
Jari-jarinya yang ramping terasa menekan betisku. Ini… memang agak geli, tapi lebih dari itu…
“Gimana, enak nggak?” tanyanya.
“Ya, luar biasa. Rasanya lelahku mencair,” jawabku, merasa betisku benar-benar terasa lega.
Pijatannya jauh lebih baik daripada punyaku. Berbeda dengan aku yang hanya asal menekan, dia benar-benar mencari cara yang pas untuk mengendurkan otot.
“Sepertinya aku mulai paham caranya,” katanya sambil tersenyum.
“Oh. Kalau begitu, kapan-kapan aku juga ingin dipijat lagi olehmu.”
Akhirnya kami pun saling memijat kaki kami yang lelah setelah seharian bekerja, saling mencari cara untuk membuat satu sama lain merasa nyaman.
Begitulah malam pertama perjalanan kami bersama yang terus berlanjut dalam kehangatan.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.