Nee, Mou Isso Tsukiacchau? Osananajimi Chap 6 V2

Ndrii
0

Chapter 6

Mode teman masa kecil itu… cukup praktis




Pagi itu, aku membuka mata perlahan, diterpa cahaya terang yang menyelinap dari balik kelopak mataku. 


—Di mana ini?


Kusadari langit-langit yang tampak asing, dan refleks aku menoleh ke samping. Di sana, terlihat rambut cokelat lembut Toiro terhampar di atas futon putih. 


Toiro?


Kesadaranku perlahan-lahan pulih, dan aku langsung terbangun sambil mengingat kembali kejadian semalam. Kami menginap di penginapan tempat kerja paruh waktu ini, dan terakhir yang kuingat, kami sedang saling memijat. Rupanya, kami ketiduran di futon yang sama dengan lampu yang masih menyala.


Situasi pagi seperti ini mungkin akan membuat tokoh utama di manga atau novel ringan merasa kaget dan berpikir, “Ada cewek di sebelahku!?” Tapi, aku bukan tipe yang seperti itu. Aku dan Toiro sudah terbiasa tidur berdekatan di tempat tidur sempit ini, jadi sudah menjadi kebiasaan bagi kami.Dengan perasaan tenang, aku menghela napas perlahan, “Fuu…”



Hah? Pagi… Pagi?!


Aku langsung melirik ke arah jendela. Sinar matahari pagi yang terlalu terang menyelinap melalui celah gorden, dan dengan panik aku mengetuk layar ponselku. Jam di sana menunjukkan pukul 8:40.


Pagi… Astaga. Aku bakal telat kerja paruh waktu!


Tiba-tiba saja, aku merasa ingin menampar diriku yang tadi sempat santai-santai bernapas lega. Dengan buru-buru, aku mengguncang tubuh Toiro yang masih tidur di sebelahku.


"Oi, bangun! Ini sudah pagi! Kita telat! Cepat bangun!"


Keduanya lupa menyalakan alarm ponsel, walau semalam tidur sampai ketiduran. Hari kedua kerja paruh waktu, dan telat? Itu jelas kesalahan besar. Aku bisa membayangkan betapa lembutnya Koharu-san kemarin, tapi mungkin hari ini sisi galaknya akan muncul.


"Astaga, paling tidak aku bakal kehilangan dua atau tiga tulang rusuk."


"Apa-apaan sih, mimpi kayak apa kamu?"


Toiro mengigau seperti sedang mengutip dialog manga. Aku menarik tubuhnya ke posisi duduk, lalu berlari menuju wastafel. Aku mencoba menghitung waktu: satu menit buat ganti baju, satu menit untuk beres-beres, dan lima menit lari ke lokasi kerja. Mungkin masih sempat. Tapi Toiro? Dia masih harus berdandan. Tadi rambutnya penuh dengan rambut kusut. Ini jelas butuh waktu buat dirapikan.


… Ini jelas krisis.


Nggak ada waktu buat sikat gigi. Aku bergegas kembali ke kamar.


"Toiro, cepat bangun—Toiro?!"


Di sana, dia duduk dengan posisi melorot, wajahnya menempel ke bantal lagi.


"Enggak bisa… Berat… Gravitasi bumi terlalu kuat… Aku nggak bisa beradaptasi…"


"Kamu, hari ini nggak boleh tidur lagi! Cepat bangun! Aku beresin barang-barang kamu. Kamu urus hal lain dulu."


"Serahkan padaku… Kamu pergilah…"


"Justru aku yang bakal jadi korban kalau ninggalin kamu di sini!" Aku nggak bisa bayangkan bagaimana pandangan orang-orang kalau aku meninggalkannya. Dan, apa-apaan sih dialog keren itu? Penasaran aku, mimpi apa dia tadi.


"Ini serius, kita bener-bener nggak ada waktu!"


Aku melempar kaus kerja yang sudah dicuci dan disetrika dari penginapan kemarin ke arah Toiro. Akhirnya, dia mulai bangun meski masih setengah sadar. Hari kedua kerja paruh waktu kami dimulai dengan atmosfer penuh kegugupan.



Pukul sembilan pagi, pantai sudah mulai ramai dengan beberapa orang. Ada suara tawa riang dari arah laut, dan beberapa payung mulai berdiri di pasir.


Saat kami berlari, semuanya sudah berkumpul di depan toko. Koharu-san juga terlihat di antara mereka.


"Hei, kalian berdua. Hampir aja telat, ya. Apa kalian terlalu menikmati malam kemarin?" sapa Sarugaya dengan suara yang bikin lelah sejak pagi. Aku mengabaikannya dan langsung menuju ke Koharu-san, membungkuk sambil mengatur napas yang terengah.


"Maaf, kami terlambat! Kami sedikit terlambat keluar."


Di sebelahku, Toiro juga membungkuk dengan sopan. Koharu-san, dengan senyum lembutnya, tetap terlihat seperti biasa.


"Tidak apa-apa. Masih pukul sembilan tepat, jadi kalian masih aman. Selamat pagi," katanya ramah.


"S-Selamat pagi," jawabku, lega.


Entah sembilan tepat itu benar-benar batas toleransi atau tidak, tapi aku bersyukur Koharu-san begitu baik.


"Selamat pagi, Toiro. Cuacanya cerah lagi hari ini, ya," sapanya pada Toiro dengan hangat.


“Kalian berdua lama banget, ya? Aku nggak mau jadi kayak Sarugaya sih, tapi beneran kalian nggak ngelakuin yang aneh-aneh, kan?” 


Dari belakang, Nakasone dan Mayuko menyapa kami. 


“Selamat pagi, kalian berdua!” sapa Toiro balik, memulai percakapan. 


Di saat itu juga, suara lembut terdengar di dekat telingaku dari belakang. 


“Ufufu. Seru sekali, ya—benar-benar masa muda, ya.” Aku menoleh dan melihat Koharu-san berdiri di sana, tersenyum hangat seperti biasa. 


“Tenang saja, aku akan rahasiakan dari Seri-chan, ya?” 

Eh, apa-apaan, kok seram. Wajah tersenyumnya tidak berubah, justru bikin tambah takut. Kok malah sebut-sebut nama anggota keluarga di sini? 


“L-Lagian, ini cuma salah paham kok!” ujarku buru-buru.


“Oh ya? Masa sih?” Koharu-san mencondongkan kepala seolah merasa kecewa.


“Tentu saja! Kami terlalu capek setelah kerja, jadi langsung tidur pulas,” jawabku, berusaha mati-matian menyangkal, meskipun memang tidak ada hal yang perlu dicurigai. Walaupun Koharu-san bilang akan menjaga rahasia, aku tetap merasa ngeri jika dia punya sesuatu untuk mengancam kami.


Koharu-san bergumam sedikit, “Eh, padahal masih muda,” dan, “Masaichi-kun nggak berusaha lebih?” Sumpah, kenapa orang-orang di sini pada suka bahas yang begituan?


Namun, percakapan selesai sampai di situ. Koharu-san bertepuk tangan, lalu menatap sekeliling dengan sikap yang lebih serius.


“Baiklah, sudah waktunya ya. Toko buka pukul 10, jadi sebelum itu, aku akan menjelaskan tugas-tugas yang belum sempat kemarin. Ayo kita masuk ke dalam.”


Kami pun mengikuti Koharu-san dan masuk ke dalam Toko. Hari 

kerja hari ini pun dimulai.



Jam menunjukkan pukul sebelas pagi. Kerja paruh waktu tengah berlangsung.


“Mazono, ambil gelas bir botolan dari senjou!”


Saat baru saja selesai mengelap meja, suara memanggilku seperti itu.


Hah? Senjou? Kalau 'medan perang,' bukankah aku sudah berada di dalamnya sekarang? Banyak pelanggan memanggil dari segala arah, dan aku terus berjalan cepat ke sana kemari. Wah, jadi terkenal itu susah… nggak ada waktu istirahat sama sekali.


“Senjou, maksudnya senjou! Kayaknya gelasnya sudah selesai dicuci.”


Orang yang memanggil tadi, Nakasone, mendekatiku dengan langkah cepat, menjelaskan.


“Oh, maksudnya senjou itu tempat cuci piring, ya?”


“Hah? Apalagi kalau bukan itu?”


Nggak semua orang langsung paham dengan istilah kayak gitu. Sebelum aku sempat menjawab, Nakasone berlalu dengan kesal, “Yaudah, biar aku sendiri aja yang ambil.”


Sebagai gantinya, Mayuko berjalan mendekatiku.


“Maaf ya, aku yang ngajarin kata ‘senjou’ itu. Di tempat kerja biasa, kami memang menyebut tempat cuci piring dengan istilah itu. Mungkin karena Urara-chan dengar, jadinya dia ikut-ikutan bilang begitu.”


“Oh, jadi gitu.” 


Syukurlah. Aku hampir mikir ini kayak game FPS yang penuh medan tempur, khawatir bakal bisa bertahan atau enggak.


“Kalau lagi senggang, Koharu-san bilang kamu boleh istirahat di belakang dan minum air. Mazono-chi, kamu istirahat aja sekarang. Aku bisa handle di sini,” ujar Mayuko sambil melambai, lalu berjalan ke arah pintu masuk. Mayuko ini kelihatan santai dan tetap tenang saat kerja, jadi terlihat berpengalaman.


Sementara itu, aku yang sudah kelelahan menerima tawarannya dengan senang hati. Baru satu jam setelah buka, tapi rasanya tubuhku sudah letih. Ini baru pemanasan sebelum puncak jam makan siang. Gila, baru satu jam berlalu? Kalau main game, beberapa jam bisa lewat tanpa terasa… Kok bisa beda begini, ya?


Aku berjalan melewati dapur dan melewati tirai bambu panjang bergambar pohon kelapa, masuk ke tempat istirahat di belakang, yang bisa dibilang sebagai restorasi point. Seperti burung-burung kecil yang berkumpul di mata air di dalam hutan, tempat ini adalah tempat berkumpul para “pejuang” part-timer yang mencari ketenangan sejenak.


Saat ini hanya ada Nakasone yang duduk di kursi pipa di sudut ruangan, menatapku dengan mata tajam. Apa dia masih kesal soal masalah “senjou” tadi? Wajahnya jauh dari cocok untuk dianalogikan seperti burung kecil di mata air.


“Pas ngambil gelas, Koharu-san bilang aku boleh istirahat dulu,” gumam Nakasone.


“Oh, begitu.” Aku memang sempat heran kenapa Nakasone tiba-tiba ada di sini, padahal tadi ke tempat cuci piring.


“Bukan karena aku lagi malas, ya,” tambahnya sambil melirik ke arahku.


“Aku nggak kepikiran gitu kok.” Aku menggeleng, merasa terkejut bahwa dia merasa perlu menjelaskan. Walaupun terkesan cuek dan keren, ternyata Nakasone diam-diam cukup peduli dengan pendapat orang lain. Memang, Toiro pernah bilang kalau Nakasone sebenarnya nggak sekeras yang terlihat.


“Mungkin ini untuk pencegahan kelelahan akibat panas. Soalnya kalau 

ada yang pingsan waktu kerja, pasti repot. Jadi kita dianjurkan buat sering-sering istirahat,” jelasku, memberi pengertian agar dia tidak merasa terlalu canggung.


Aku membuka kulkas, mengambil sebotol minuman isotonik dua liter, menuangkannya ke dalam gelas kertas, lalu mengembalikan botolnya. Kulkas di sini memang dipenuhi berbagai jenis minuman, bebas dinikmati oleh karyawan.


Dengan segelas minuman di tangan, aku duduk di kursi pipa yang agak lebih rendah, merasa aliran kelelahan perlahan menghilang dari kakiku yang kaku setelah lama berdiri. Hari ini, sebelum mulai kerja, aku belajar banyak hal baru, mulai dari cara mengantar tamu ke meja, mencatat pesanan, sampai mengenali menu camilan dan minuman yang kami jual.


Perkembangan yang cukup besar dibanding kemarin yang hanya mengelap meja—bahkan akhirnya aku sempat juga mengantarkan makanan. Tapi konsekuensinya, kesibukan pun berlipat ganda. Aku harus mulai menentukan prioritas agar bisa menyelesaikan semua tugas tanpa kebingungan. Yah, baru hari kedua kerja jadi ini hal yang wajar, tapi rasa tanggung jawab buat bekerja sebaik mungkin tetap ada di benakku.


Meskipun diizinkan untuk istirahat, aku nggak mau berlama-lama meninggalkan “medan tempur.” Aku menghabiskan minuman di gelas kertas itu dengan cepat. Rasa dingin yang menyegarkan dan manisnya pas, menenangkan setelah beraktivitas fisik. Lama nggak minum minuman isotonik, rasanya cocok banget diminum setelah kerja keras.

Sementara aku mempertimbangkan untuk menambah segelas lagi, tirai tempat masuk ke ruang istirahat tersibak. Toiro muncul, mengintip ke dalam.


“Loh, kalian di sini toh!” katanya, tampak terkejut, lalu masuk dengan langkah antusias.


“Ya, kami istirahat duluan,” jawabku sambil berdiri, menuju kulkas lagi. Aku mengambil soda rasa lemon, menuangkannya ke dalam gelas kertas, dan menyerahkannya ke Toiro.


“Thanks! Aduh, seger banget!” katanya sambil menyesap pelan-pelan, menikmati sodanya.


“Eh, Toiro, kamu minum soda di saat capek begini?” Nakasone meliriknya dengan tatapan heran, seolah tak percaya.


“Nggak apa-apa kok, Urara-chan, justru ini yang bikin seger! Rasa pedasnya di tenggorokan meningkatkan adrenalin dan gula darah, lho!” ujar Toiro dengan bangga, mengacungkan jempolnya.


“Yakin itu ada gunanya?” 


Nakasone masih memandangnya dengan skeptis, tampak ragu-ragu akan teori strategi gula darah Toiro yang penuh percaya diri.


"Terus, karena aku sudah bekerja keras, minum yang manis sedikit 

sepertinya boleh, kan? Maksudnya, dari segi kalori," kata Toiro.


"Oh, jadi kayak makan cokelat setelah belajar, ya? Aku selalu ngabisin satu kotak, lho," jawab Nakasone.


Apa itu benar-benar sama...? Saat aku melontarkan komentar dalam hati, orang yang kupikirkan itu melirik ke arahku.


"Saat Mazono ngasih soda, awalnya aku kira itu semacam gangguan, tahu. Tapi kalian berdua emang tetap cocok aja, ya," kata Nakasone sambil tersenyum.


Aku dan Toiro saling berpandangan. Apakah sikap kami ini tampak seperti pasangan lama lagi?


Alasan Toiro ingin minum soda mungkin berbeda, tapi sejak kecil dia memang selalu ingin minum soda setiap kali selesai bermain di luar. Setiap selesai aktivitas, dia pasti ingin soda. Jadi aku pikir ini akan jadi perhatian kecil yang tepat, tapi mungkin malah jadi kesalahan.


"Apa-apaan sih ekspresimu itu. Aku lagi muji, tahu?" kata Nakasone, menyadari wajah cemberut Toiro.


"Ya, ya, terima kasih. Jadi malu, nih," balas Toiro sambil tertawa kecil.


"Enggak perlu malu juga, sih... Tapi meskipun baru pacaran, suasana 

kalian sudah begini aja, ya—" Nakasone hendak melanjutkan kalimatnya ketika Toiro tiba-tiba menyela.


"Oh, tadi Koharu-san bilang, lho!" seru Toiro, seperti tak ingin Nakasone menyelesaikan kalimatnya.


"Koharu-san bilang, kita boleh selesai setelah jam sibuk siang. Orang-orang dari penginapan akan datang bantu, jadi kita bisa jalan-jalan ke pantai karena ini mumpung lagi di sini. Jadi, habisin ini, terus lanjut semangat kerja, ya!"


Setelah berkata begitu, Toiro langsung menenggak sisa jusnya hingga habis. "Puh," dia menghela napas kecil.


Toiro berusaha mengalihkan pembicaraan untuk menghindari rasa ingin tahu Nakasone, meski agak memaksakan. Untungnya, Nakasone malah tertarik dengan topik baru itu.


"Serius? Asyik! Kita bisa main?"


"Iya, iya! Aku sampai mikir, bawa-bawa baju renang kayaknya enggak bakal kepake."


"Yes! Jadi tambah semangat! Kebetulan aku juga harus balik kerja, terima kasih, Toiro!"


Nakasone berdiri, membuang gelasnya ke tempat sampah, lalu keluar 

dari ruang belakang sambil meregangkan bahunya. Sungguh sederhana orangnya…


Melihat punggung Nakasone menghilang, aku dan Toiro sama-sama menghela napas lega dan melepaskan ketegangan.


"Untung bukan Mayuko."


"Iya, beneran. Kalau Mayu-chan yang ada di sini, mungkin kita bakal ditekan lebih parah, ya."


Di depan Mayuko yang saat ini begitu sensitif soal hubungan kami, kami sama sekali tak boleh lengah. Tapi dibandingkan Mayuko, Nakasone kelihatannya lebih percaya pada kami, atau bisa dibilang, dia mendukung kami. Sebenarnya, jika hanya dibilang cocok, mungkin tak perlu sampai segitunya menyela pembicaraan.


"Pokoknya, ayo semangat terus!"


Toiro berkata sambil sedikit meregangkan tubuhnya dan mengarah ke dapur.


"Mulai dari kerjaan yang ada di depan mata dulu, ya."


Aku juga menghabiskan minuman olahraga yang ada di tanganku dan berdiri.

Saat itulah.


"Wah, kalian semangat, ya. Kalau begitu, ada menu spesial nih, aku mau kalian kerjakan."


Saat kami melihat ke arah suara itu, tampak Koharu-san mengintip dari balik tirai dan melambaikan tangan ke arah kami.


Wajahnya yang tersenyum itu terasa mengerikan, dan kali ini bukan hanya aku yang merasakannya.


"Ja-jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Toiro dengan suara yang sedikit bergetar.


"Fufufu. Itu rahasia, nanti kalian tahu sendiri kalau sudah ke sini."


Kenapa harus dirahasiakan? Aku mulai gemetar ketakutan. Dari awal disebut ‘menu spesial’ saja, perasaanku sudah tak enak.


Tapi, kami adalah pekerja yang digaji. Tak ada pilihan lain selain mengikuti perintah sang pemilik.


Di mana tepatnya aku membuat keputusan yang salah hingga masuk ke jalur ini? Sambil merenungkan semua itu, aku mengikuti Koharu-san.


Setelah mencuci tangan, kami dibawa ke sudut dapur, dekat area pencucian.


Para staf dapur yang katanya adalah karyawan ryokan mulai melirik ke arah kami. Bahkan Sarugaya, yang awalnya melayani tamu, entah sejak kapan ikut terlibat dalam mencuci piring hari ini. Ketika dia melihat kami, dia melambaikan tangannya.


Namun, yang lebih menarik perhatian adalah berbagai bahan makanan dalam jumlah besar yang disiapkan di meja kerja yang dipasang membelakangi tempat pencucian piring itu.


"Ini, ya?"


"Wow, panggung khusus."


Aku dan Toiro berbisik.


"Betul. Aku ingin Masaichi-kun dan Toiro-chan bekerja di sini. Jadi ceritanya begini, saat ini klub rugby universitas sedang mengadakan training camp di ryokan ini, dan mereka meminta camilan yang bisa dimakan saat bermain di pantai. Ternyata, mereka butuh jumlah tiga kali lipat dari jumlah orang yang menginap. Tidak mungkin menolak permintaan tamu yang menginap beberapa hari di sini, tapi kami juga kekurangan tenaga."


Hmm. Aku mengerti situasinya. Memang tidak ada unsur hiburan yang 

disinggung sebelumnya, tapi setidaknya ini pekerjaan yang layak.


Tapi, aku hampir tidak pernah masak sebelumnya...?


Sambil berpikir begitu, aku kembali melihat ke atas meja. Ada roti, sosis, dan bawang merah yang sudah dipotong dan diolah. Lalu, apakah ini salad telur? Juga, ada banyak bumbu.


"Hot dog, ya?"


"Tepat sekali! Mereka hanya minta jumlah yang banyak tanpa terlalu peduli rasa, jadi kami pilih menu yang bisa dibuat massal dan tetap enak. Ini hot dog telur dengan banyak telur dan bawang bombay marinated. Seratus buah."


Pesanan ini memang khas klub rugby, mengutamakan kuantitas di atas kualitas, dan kalori di atas segalanya. Mungkin perempuan di sekitar sini bakal lari sambil menangis.


"Kami juga tidak punya banyak waktu, jadi mohon bantuan kalian berdua. Bagian pelayanan dikelola dengan baik oleh Mayuko-chan, dan sepertinya masih aman sampai puncak tengah hari nanti. Kami mohon kerja samanya."


Koharu-san menunjukkan cara membuat hot dog kepada kami. Langkah-langkahnya tidak sulit, jadi sepertinya tidak akan ada masalah. 

Setelah itu, Koharu-san berkata, "Kalau ada apa-apa, segera panggil saja," lalu kembali ke pekerjaannya.


Aku dan Toiro melangkah maju, menghadap bahan-bahan makanan di depan kami.


"Dia bilang kita tidak punya banyak waktu."


Sambil membuka bungkus roti yang berisi lima buah, aku berbicara kepada Toiro.


"Iya. Tapi kalau pekerjaan yang harus dilakukan di meja seperti ini, meskipun aku belum terbiasa dengan kerja part-time, aku bisa melakukannya dengan segenap tenaga!"


"Ya, aku juga. Bagaimana? Kompetisi?"


"Hmm. Atau, kita bekerja sama dan mencoba mencetak rekor baru."


Kami bisa saja saling bersaing untuk melihat siapa yang membuat lebih banyak, atau bekerja sama untuk mencatat waktu tercepat. Setiap kali hanya ada kami berdua, semuanya selalu menjadi seperti permainan.


Cara ini membuatnya lebih menyenangkan, dan sejujurnya juga lebih efisien. Itulah cara praktis kami sebagai teman masa kecil.

Setelah beberapa saat berpikir, Toiro membuka mulutnya.


"Rekor baru saja! Hari ini, kita adalah rekan kerja di tempat part-time yang sama!"


"Oke, sudah diputuskan."


Kami melihat waktu di jam dinding yang tergantung di atas area pencucian, lalu segera mulai bekerja.


Aku mengambil lima roti dari bungkusnya dan menyusunnya di atas talenan, lalu menggesernya ke depan Toiro. Toiro mengisi roti yang mengalir kepadanya dengan sosis, menambahkan bawang bombay marinated di sampingnya, dan menaruh salad telur di atasnya, lalu mengembalikan roti itu kepadaku. Aku sudah menyiapkan roti lainnya di talenan lain, dan mengopernya lagi ke Toiro. Sementara itu, aku mengambil lima roti yang sudah diisi tadi, dan dengan cepat menggambar garis bergelombang dengan saus tomat dan mustard di atasnya. Lalu, aku membungkus satu per satu dengan plastik, dan selesai.


Kami menaruh hot dog yang sudah selesai di atas palet di gerobak yang diletakkan di samping, dan saat aku selesai menata roti baru di talenan, roti isi berikutnya kembali dari Toiro.


"......Dulu, kita pernah mencoba mencetak rekor di game tembak-menembak scroll horizontal sambil melawan zombie, kan? Berkali-kali."

Aku berkata, dan Toiro berseru, "Ah, ya."


"Itu seru. Di antara game yang dimainkan berdua, itu mungkin yang paling sering kita mainkan?"


"Ya, benar. Nostalgia, ya."


Toiro berada di depan sambil terus maju dengan pistol di tangan, sedangkan aku mengikuti dari belakang sambil mengalahkan musuh yang mendekat. Kami masing-masing secara alami menangani musuh dari berbagai sudut.


Mungkin karena situasi ini mirip dengan itu, ingatan tentang game itu muncul begitu saja.


Sambil menyelingi obrolan ringan seperti itu, kami terus bekerja selama sekitar sepuluh menit, sampai akhirnya botol saus tomat yang sejak awal sudah sedikit mulai mengeluarkan bunyi gembos.


—Wah, habis.


Saat aku berpikir begitu dan menoleh ke samping, ternyata Toiro sudah berjalan menuju kulkas. Dia mengambil saus tomat baru dari dalam kulkas besar untuk keperluan bisnis dan melemparkannya kepadaku. Aku menangkapnya dengan sigap, membuka segelnya, dan segera mengerjakan hot dog di depanku. Toiro kembali bekerja, mengoper roti isi kepadaku tanpa mengurangi kecepatan.

Begitulah, kami terus memproduksi hot dog dari roti dan bahan lainnya di depan kami. Bungkus roti baru perlahan habis, dan akhirnya tiba di bungkus terakhir.


Toiro menyiapkan plastik wrap untukku di akhir, dan aku dengan cepat membungkus hot dog terakhir itu.


“"Selesai!"”


Begitu hot dog terakhir diletakkan di atas palet, kami bersorak bersama. Kami berdua saling menjabat tangan kanan. Saat itu, terdengar tepuk tangan yang bersahutan dari sekeliling. Ketika kulihat, lima orang staf dapur yang ada di sana sedang menatap kami sambil bertepuk tangan.


"Keren, kalian berdua. Kombinasi tadi luar biasa."


"Kaget banget, sih. Bisa buat hot dog sebanyak ini dalam waktu sesingkat itu."


Seorang pria sekitar tiga puluhan yang sedang menggoreng kentang dan seorang gadis yang mungkin mahasiswa yang bertugas di bagian minuman, mengucapkan pujian mereka.


"Wah, luar biasa. Seperti yang diharapkan dari buatan tangan Toiro-chan."


Sarugaya terlihat agak sombong, dan level kesulitan makanan buatan tangan ini sangat rendah sampai-sampai aku bisa melakukannya dengan mudah.


"Eh, sudah selesai? Kaget, nih. Terima kasih banyak!"


Seperti tertarik oleh kegaduhan tadi, Koharu-san kembali dari area tempat tamu, melihat jam, lalu mengalihkan pandangannya ke hot dog yang sudah selesai dibuat. 


Ketika kulihat, jarum menit pada jam dinding sudah berputar sekitar setengah putaran sejak dimulainya tantangan ini. Artinya, kami telah menyelesaikan seratus hot dog dalam waktu sekitar tiga puluh menit.



"Akhirnya selesai juga. Bagaimana hasilnya?"


"Ya, sangat rapi. Sebenarnya, aku sempat berpikir mungkin kalian tidak akan selesai tepat waktu... tapi ini jauh lebih cepat dari perkiraan, bahkan lebih dari dua kali lipat. Bagaimana caranya?"


"Gerakan tangan kalian keren banget! Dan kalian hampir tidak bicara saat melakukannya, bahkan kalau pun bicara, isinya malah obrolan yang sama sekali nggak nyambung sama pekerjaan. Serius, kayak telepati deh!" ujar si abang kentang goreng sambil melapor ke Koharu-san.


"Seriusan! Kalian berdua pacaran, ya? Kompak banget! Udah berapa lama sih pacarannya?"


"Sudah hampir tiga bulan… kira-kira," jawab Toiro, yang langsung disambut dengan suara terkejut.


"Hebat banget! Tapi ini bukan level pasangan baru sih!"


Awalnya, saat mendapat tepuk tangan tadi, ada perasaan puas yang tak terungkapkan, tapi lama-lama aku merasa agak canggung karena mulai jadi pusat perhatian. Dengan Toiro yang juga menampilkan senyum canggung sambil tertawa malu-malu, kami akhirnya mundur dari dapur menuju area tempat tamu.


"Kita tadi kayak pasangan beneran… atau terlalu berlebihan, ya?" 

Ujar Toiro, menunduk sambil memikirkan hal itu dengan wajah sedikit serius.


"Yah, setidaknya kita berhasil membantu kan."


"Benar juga. Yah, syukurlah!" jawab Toiro sambil tersenyum lega.


Saat kami melewati tirai pembatas, aku dan Toiro sekali lagi melakukan high-five kecil.



"Paantaiii!" 


Setelah istirahat makan siang bergantian sambil menghadapi keramaian pengunjung, kami akhirnya dibebaskan dari tugas, seperti yang Toiro janjikan. "Kalau sudah sampai pantai, harus bersenang-senang, atau bakal sial," katanya. Koharu-san tampaknya memang disenangi juga oleh staf lainnya. Sampai-sampai aku hampir lupa dengan reputasi mantan berandalnya. Berbicara dengannya sekarang juga tidak lagi terasa setegang saat pertama kali bertemu.


"Wooo! Pantai!"


Setelah sekian lama, akhirnya ada waktu istirahat. Meski tubuh terasa lelah dan panas matahari meningkatkan risiko dehidrasi, aku sebenarnya ingin bersantai di bawah bayangan payung sambil mengecek hadiah login harian yang kemarin terlewat. Aku menggeser jariku di layar ponsel sambil menyesali baterai yang hanya terisi setengah; kalau sudah di bawah 50%, rasanya jadi agak cemas.


"Hore! Pantai! ...Eh, kok nggak antusias banget sih, Tuan Masaichi?"


...Dasar, Sarugaya di sebelahku berisik dari tadi, dan sekarang mulai menyebut namaku secara langsung.


"Kenapa kamu semangat banget? Nggak capek?"


Aku menoleh sekilas sambil menyingkirkan pandanganku dari layar.


"Hey, gimana bisa nggak semangat? Akhirnya kita bisa melihat… gadis-gadis dengan baju renang mereka."


"Ah, ya, aku sih sudah menduga."


Saat ini, Toiro dan yang lain sedang tidak ada di dekat kami karena mereka pergi ke kamar penginapan untuk berganti pakaian. Aku sendiri sudah memakai celana renang hitam dan kaus T-shirt, sementara Sarugaya hanya mengenakan celana renang dan bertelanjang dada, memamerkan perutnya yang berotot dan tubuh yang terlihat terlatih. 


Dasar Sarugaya, wajahnya ganteng, pandai bergaul, disiplin dalam membentuk tubuhnya, dan mudah berusaha keras dalam segala hal. Seharusnya dia sudah punya pacar, kalau saja dia bukan seorang mesum berat…


"Masaichi-kun, kamu sering meminjamkan light novel padaku, dan ada istilah yang sering muncul, yaitu episode baju renang. Tapi setiap kali sampai di adegan itu, aku selalu merasa ada yang aneh."


"Oh? Kenapa jadi serius begitu?"


Tertarik mendengar nada bicara Sarugaya yang sedikit berbeda, aku memasang telinga.


"Di adegan POV si tokoh utama, saat para gadis muncul, biasanya yang pertama kali digambarkan itu jenis dan motif baju renang mereka. Bukankah itu aneh? Normalnya, orang akan langsung melihat ke dada dulu, kan? Bahkan, sebenarnya hanya dada yang dilihat. Eh, pantat juga sih, tapi ya pasti dada dulu. Kalau bisa, bagian ketiak juga mau dilihat," ucap Sarugaya penuh semangat.


"Yah, yang aneh justru cara berpikirmu," jawabku sambil mendesah.


"Bukan begitu, Tuan. Kenapa orang bisa bersemangat melihat sedikit selipan paha? Jawabannya jelas, kan? Secara singkat, itu karena gadis-gadis berusaha menyembunyikannya. Mereka malu jika terlihat, dan justru itulah yang membuat kita tertarik. Ini hukum alam."


"Itu sih... yah, penjelasan yang umum," 

Aku mengangguk, meski merasa sedikit skeptis.


"Kalau begitu, pasti kamu juga sadar keanehannya. Baju renang itu dibuat untuk dilihat, jadi apa maknanya kalau nggak ada yang disembunyikan? Jadi, tertarik pada bagian yang ada di balik baju renang adalah hal yang wajar. Aku paham kalau mereka memilih baju renang yang mungkin mencerminkan kepribadian atau ingin menarik perhatian pria yang mereka suka. Tapi tetap saja, kalau pria itu juga tertarik pada apa yang ada di balik baju renang, bukankah itu hal yang pasti? Jadi, ya, menurutku, mengutamakan deskripsi baju renang itu agak nggak masuk akal."


Sarugaya berbicara dengan penuh semangat, menggenggam kedua tangannya seakan sedang memberikan pidato penting. Keringat di dahinya berkilauan di bawah sinar matahari.


"Apa-apaan, energi semangatmu soal hal mesum ini luar biasa..."


Sarugaya memang seperti itu, semua pikirannya selalu terhubung ke hal-hal yang aneh. Tampaknya, hari-nya untuk punya pacar masih jauh di depan sana.


Saat aku menatapnya dengan perasaan campur aduk, terdengar suara panggilan.


"Maaf ya, lama nggak? Eh, sebenarnya kita juga nggak janji untuk tepat waktu sih. Tapi para pria, pasti tadi deg-degan sambil nunggu, kan?"

Aku menoleh ke arah suara itu. Mayuko muncul, mengenakan baju renang one-piece hitam dengan garis vertikal di bagian depan dan kancing bernuansa kayu, seolah mirip seragam renang sekolah. Dada kecilnya yang pas dengan tubuh mungilnya memberikan kesan yang sangat cocok. Dari perspektif otaku, justru banyak yang menyukai tipe ini.


Mayuko berdiri dengan tangan di pinggang, tersenyum penuh percaya diri. Di sebelahnya, ada bayangan lain.


"Aduh, sinar matahari bikin mata perih. Ini, walaupun sudah pakai sunblock, pasti masih bakal kebakar. Harusnya aku pakai pelindung lengan," keluh Toiro sambil berusaha menutupi diri dari panas.


Sejujurnya, aku agak terkejut. Sudah bisa ditebak dari seragam yang ia kenakan sehari-hari, tapi sekarang bentuk aslinya benar-benar terlihat. Toiro memiliki dada yang indah, berisi dan terlihat padat, namun tetap lembut ketika ditekan. Kira-kira ukurannya setingkat D? Ia mengenakan bikini berwarna pink pucat dengan sedikit rumbai, tampak sangat seksi namun tetap imut.


"Hebat ya, kalian bisa pakai bikini dengan percaya diri. Aku harusnya juga bawa penutup... ya, matahari dan perut ini agak..." ujar Nakasone.


Aku tanpa sadar menoleh, dan mendapati diriku terpaku. Bahkan Sarugaya di sampingku pun terdiam, seakan kehabisan napas.


Juara. Itu kata yang paling tepat.

Aku sudah tahu kalau Nakasone memiliki dada besar, tapi ini benar-benar beda ketika baju renangnya hanya menutupi sedikit. Dadanya yang seakan menantang gravitasi, ditambah dengan tubuh atletis hasil latihan sehari-hari. Perutnya pun memiliki sedikit otot yang membuatnya terlihat lebih keren. Baju renangnya adalah kombinasi atasan bermotif botani hijau dengan bawahan berbentuk segitiga putih.


--- Pank, pank.


Terdengar suara aneh. Saat aku menoleh, ternyata Sarugaya sedang bertepuk tangan ke arah dada Nakasone seolah sedang memuja dewi. Tali baju renangnya yang menghubungkan kedua cup pun terlihat seperti tali upacara. Aku hampir saja tergoda untuk ikut melakukan penghormatan dua kali tepuk tangan dan satu kali membungkuk.



Saat mendengar suara Nakasone yang berujar "Uh," dengan nada terkejut, aku menyadari kalau tadi, entah kenapa, mataku otomatis tertuju ke dadanya. Apa ini efek dari percakapan aneh dengan Sarugaya sebelumnya? Mata ini seolah memiliki gravitasi sendiri. Lagipula, siapa yang menyangka bisa mengalami adegan bak "episode pantai" dalam anime ini secara langsung? Sulit sekali untuk menolak godaan ini. Kuharap dia bisa memakluminya.


"Pertama-tama, izinkan aku mengucapkan terima kasih. Terima kasih kepada kalian semua karena tidak mengenakan penutup tubuh tambahan," kata Sarugaya sambil membungkuk dalam-dalam ke arah para gadis. …Apa aku juga sebaiknya ikut membungkuk?


"Aku sempat ragu untuk memakainya, mengingat ada si monyet mesum ini," kata Nakasone sambil memutar tubuh untuk menyembunyikan dadanya.


"Ahaha! Ternyata merasa terima kasih tidak buruk juga, ya," ujar Mayuko, yang tampak tak terlalu malu dan tetap berdiri dengan santai sambil tersenyum lebar, menampilkan gigi taringnya.


"Ya ampun, ini sungguh menyenangkan. Lagipula, 'mesum' bukan hanya untukku saja, ini adalah nasib semua pria. Bukankah begitu, Masaichi?" Sarugaya tiba-tiba mengarahkanku.


Astaga, jangan seret aku juga. Dengan cepat, aku mengalihkan pandangan dari dada Nakasone.


Tapi kelihatannya, aksiku tadi sudah keburu tertangkap basah.


"…Masaichi?"


Sebuah suara setengah nada lebih rendah dari biasanya terdengar. Saat aku menoleh, kulihat Toiro menatapku dengan pandangan dingin.


Oh, apakah ini tatapan cemburu seorang kekasih? …Atau sebenarnya ini tatapan jijik sungguhan?


"B-ba, bagaimana kalau kita mulai bermain saja? Ini musim panas, pantai, ayo kita bersenang-senang!" aku mencoba mengalihkan perhatian mereka dengan suara yang dibuat antusias. Saat aku mengangkat tangan sambil berteriak seadanya, hanya Mayuko dan Sarugaya yang ikut berteriak, "Oooh!"


Akhirnya, dengan diriku sebagai "pemimpin," kami pun menuju bibir pantai. Mimpiku untuk menikmati game di bawah bayangan payung hancur saat itu juga.



Sepertinya orang-orang yang punya pacar selalu suka dengan sesuatu yang disebut "hukuman." Aku berbaring di pasir, memandang ke atas, merenungkan sambil terkubur.


Dimulai dari memecahkan semangka, dilanjutkan dengan lomba makan cepat, bendera pantai, hingga lomba renang gaya bebas—setiap permainan selalu diakhiri dengan hukuman. Meski hukuman-hukuman itu tak lebih dari sekadar meniru sesuatu, ditraktir minum, atau bahkan dilempar ke laut, semuanya dilakukan demi memeriahkan suasana.


Pada akhirnya, aku kalah dalam lomba renang dan terkubur di pasir. Meskipun diberi keuntungan karena perbedaan gender, rasanya bahkan tanpa itu pun aku tetap kalah dari Nakasone. Memang, aku tidak terlalu suka olahraga, apalagi berenang.


Meski begitu, karena aku sebelumnya sering menang, aku pasrah menerima hukuman kali ini. Aku tahu bahwa mengeluh atau lari hanya akan merusak suasana. Walaupun sering sendirian, aku tidak sepemarah itu.


Lagipula, tak bisa bergerak karena terkubur begini membuatku tak punya pilihan lain.


Pasirnya sangat panas, cukup membuatku merasa terbakar hanya dengan berdiri. Namun, berbaring di lubang yang baru saja digali ini rasanya sejuk. Jadi, sambil pura-pura berteriak, "Berhenti dong!" aku sebenarnya malah berbaring dengan santai.


"Ayo main voli pantai selanjutnya!" teriak Mayuko.


"Setuju, Pemimpin Mayuko! Nah, hukuman apa lagi yang bakal kita kasih nanti?" Sarugaya langsung antusias menyambut.


"Voli pantai, ya? Ini baru pertama kalinya!" ujar Toiro sambil berpura-pura melakukan smash.


"Disana, kan, lapangannya? Aku juga mau ke toilet, jadi biar aku yang cek dulu apakah kosong," kata Nakasone menawarkan diri untuk mencari peralatan.


"Hehehe, pakai pesonamu itu untuk menawar harga lebih murah, ya!" canda Mayuko.


"Diam, Mayuko-kecil. Siapa juga yang mau melakukan itu," balas Nakasone kesal.


"Menggoda, ya?! Aku juga mau digoda!" celetuk Sarugaya.


Sambil bercanda begitu, mereka semua beranjak menuju payung sebagai titik kumpul.


"H-hey, tunggu dulu! Jangan tinggalkan aku!" seruku panik.


Meski tadinya aku santai, kini aku mulai khawatir. Sedikit demi sedikit, tubuhku terasa dingin di bagian punggung, dan tatapan orang-orang yang lewat terasa menusuk. Ternyata ada juga situasi yang bisa menakutkan meskipun aku terbiasa sendiri.


"Sungguh, kalian semua—"

Tepat ketika aku hendak memanggil mereka lagi, mereka berempat tiba-tiba serempak berbalik.


"Hehehe, cuma bercanda! Kamu takut ya, Masaichi?" goda Mayuko.


"Hukuman-hukuman yang kita berikan nggak kelihatan membuatmu keberatan, malah kelihatan santai aja. Makanya, kami berpikir untuk mencoba sedikit menjahilimu," kata Sarugaya sambil tertawa.


"Maaf, Masaichi. Ayo, bantu kita keluarkan kamu," Toiro ikut tersenyum dan berjongkok untuk membantuku.


"Kalau voli pantainya beneran jadi, aku bakal cek lapangannya dulu ya, sekalian ke toilet," kata Nakasone, tampak sudah kepepet.


…Ternyata aku kena jebakan.


Mukaku memanas setelah mengetahui mereka berhasil melihatku panik. Aku hanya bisa menunggu mereka mengeluarkanku dari pasir, sambil menatap langit yang cerah di atas sana.



Matahari sore yang perlahan tenggelam mulai melukis sekeliling dalam warna oranye, menyelimuti laut dan pasir dengan nuansa senja yang tenang. Cahaya yang terpantul di permukaan air berkilauan lembut, dan pasir pantai seakan terlihat seperti dipakaikan filter sepia. 

Aku duduk sendirian di tepi pantai, menikmati pemandangan ini setelah lelah bermain. Dari posisiku, sedikit menjauh dari garis air, aku bisa merasakan kedamaian yang dihadirkan oleh suara ombak yang teratur. Jika aku merebahkan diri sekarang, mungkin dalam sekejap aku akan terlelap.


Sementara aku terhanyut dalam pikiran, tiba-tiba terdengar suara, 


"Capek ya, Masaichi." 


Itu adalah Toiro yang datang dan duduk di sampingku. Ia duduk dengan posisi memeluk lutut, mengenakan hoodie nylon di atas baju renangnya, mungkin karena mulai agak dingin.


"Capek juga, ya. Yang lain di mana?" tanyaku.


"Sarugaya-kun sih lagi mengikuti kakak perempuan cantik yang baru saja lewat, sampai kami semua sepakat buat membiarkannya aja," jawab Toiro sambil tertawa. "Terus, Urara-chan dan Mayuko-chan lagi didekati beberapa cowok di sana."


Aku memandang ke arah yang dimaksud Toiro. Terlihat Nakasone berdiri dengan tangan disilangkan, tampak kesal, sementara Mayuko malah tertawa kecil melihat situasi itu. Tak lama, ketiga pria yang mendekati mereka menyerah dan pergi dengan tampang kecewa.


"Urara-chan memang nggak suka cowok-cowok yang suka menggoda gitu," kata Toiro sambil tersenyum geli. 

"Mungkin terlihat ramah, tapi kalau soal yang begitu, dia jelas-jelas nggak suka."


Aku mengangguk. 


"Iya, kurasa memang begitu."


Toiro tampak sedikit terkejut.


"Eh? Kamu bisa mengerti juga, ya. Banyak orang mungkin bakal berpikir dia tipe yang mudah diajak pergi."


"Iya, tapi dia nggak seperti itu," jawabku.


Toiro tertawa ringan, lalu beralih menatapku dengan mata yang sedikit menyipit karena silau. 


"Masaichi, terima kasih ya sudah menemani kami main hari ini."


"Ah, nggak perlu terima kasih. Aku juga menikmati hari ini, kok," jawabku. Tapi Toiro menggeleng sambil tersenyum.


"Kalau aku nggak ajak, pasti kamu bakal main game di kamar dengan alasan takut kena sengatan panas, kan?" candanya.

Aku tertawa kecil, merasa dia mengenalku terlalu baik. 


"Ya, ya, kamu mungkin benar. Tapi, aku benar-benar senang ikut serta. Kalau nggak ikut, aku bakal menyesal."


Mata Toiro berbinar mendengar jawabanku. 


"Syukurlah kalau begitu! Nggak sia-sia kita 'curi' waktu kamu." 


Toiro kemudian menambahkan, 


"Dan terima kasih juga buat waktu lomba renang tadi."


"Oh, yang itu ya?" 


Aku sedikit bingung, tapi kurasa aku tahu apa yang ia maksud. 


"Aku hanya kehabisan tenaga, kok. Lagipula, aku memang bukan perenang yang cepat."


Toiro tersenyum, terlihat mengerti. 


"Tetap saja, aku merasa kamu sedikit menahan diri agar aku bisa menang. Terima kasih, Masaichi."


Saat aku duduk di samping Toiro yang tersenyum di bawah sinar matahari sore, aku merasa perasaan hangat yang menyenangkan. Hari yang penuh tawa ini mungkin tidak akan pernah kulupakan.


"Tapi aku benar-benar lambat, lho. Aku bahkan nggak bisa berenang dengan baik waktu pelajaran olahraga, apalagi dengan ombak begini. Dan aku juga nggak mau rambutku terlalu basah... Oh iya, Urara-chan juga sadar kalau kamu sengaja memperlambat saat kembali, tahu?" kata Toiro.


"Serius?" 


Aku tersenyum. Begitulah, Nakasone memang tipe yang memperhatikan sekelilingnya dengan cermat. Mungkin karena akhir-akhir ini kami semakin sering bersama, aku makin menyadari hal itu.


"Jujur saja, hukuman itu cukup berat, jadi aku benar-benar terbantu! Terima kasih!" 


Toiro tersenyum cerah di bawah sinar matahari senja, rambutnya yang biasanya berwarna cokelat kastanye berkilau keemasan. Namun, ada satu hal yang mengganjal di pikiranku; aku tak akan tertipu oleh senyum manisnya.


"Tunggu dulu, bukankah kamu tadi dengan senang hati menaburiku pasir saat hukuman?" tanyaku.


"Eh, ketahuan, ya?" 


Toiro menjulurkan lidahnya dengan gaya main-main. Ah, aku nggak akan membiarkan ini berlalu begitu saja.


"Satu es krim sebagai kompensasi," ujarku.


"Baik, siap laksanakan!" jawab Toiro sambil memberi hormat. Saat seperti ini, dia benar-benar patuh, tapi aku yakin dia juga akan membeli untuk dirinya sendiri dan mengajakku makan bersama nanti.


"Oh ya, Mayuko nggak menyadari itu, ya?" 


Aku penasaran. Sebagai pasangan "sementara," aku sengaja kalah demi menghindarkan Toiro dari hukuman. Jika Mayuko melihat itu, mungkin ia akan menganggap hubungan kami lebih dari sekadar pura-pura.


Toiro menggelengkan kepala. 


"Mayuko-chan nggak bilang apa-apa. Tapi waktu main voli pantai, dia benar-benar mengamati."


"Oh iya, itu. Kami memang agak kacau waktu itu…" Kami sempat bermain voli pantai, dan awalnya aku dan Toiro berpasangan melawan tim Mayuko dan Nakasone. Kami membuat strategi seperti biasa.

"Masaichi, formasi Alpha," kata Toiro.


"Oke, rencana ‘serang total’," jawabku, menggunakan kode yang biasa kami pakai saat main game. Kami dulu sering berlatih untuk mengalahkan CPU dengan setting terkuat, dan kata sandi itu keluar secara refleks.


Mayuko langsung menyela dengan tajam. 


"Hei, ini bukan kemampuan yang bisa didapat dalam sehari, tahu!"


Toiro buru-buru menjelaskan, 


"Oh, akhir-akhir ini kami sering main game berdua, jadi refleksnya kebawa."


"Tapi lihat, kedekatan kalian udah seperti pasangan lama. Sebenarnya kalian ada hubungan apa sih?" tanya Mayuko dengan penasaran yang terus mengawasi kami sepanjang permainan.


"Yah, selama kita nggak membocorkannya, status kita sebagai pasangan sementara nggak akan ketahuan," ujar Toiro dengan senyum lembut.


Meski mungkin takkan terbongkar, tapi aku tahu selama Mayuko terus mengejar kebenaran, tekanan mental akan terus ada, terutama bagi Toiro. 

Mayuko pernah bilang kalau ada sesuatu yang ganjil dengan hubungan kami. Itu mungkin titik masalahnya, dan aku merasa perlu melakukan sesuatu.


Aku melirik ke arah Mayuko yang sedang bercanda dengan Nakasone di kejauhan, tampaknya mereka sedang bercakap-cakap dengan nada yang akrab.


"Kamu nggak perlu berada di sana?" tanyaku.


Toiro menoleh ke arah mereka sekilas, lalu kembali memandang laut. Ia memeluk lututnya erat, seolah membuat tubuhnya lebih kecil.


"Harusnya, ya, aku melakukan sedikit aksi ala pasangan..." gumamnya sambil terus menatap laut.


“...Apa yang ingin kamu lakukan?” tanyaku.


“Hmm... masih mikir,” jawab Toiro sambil termenung. Agak jarang melihatnya begini. Biasanya, dia selalu punya ide dan langsung bilang, ‘Ayo, ayo!’


Aku sendiri juga tak punya usul. Untuk urusan aksi sebagai pasangan, aku biasanya menyerahkannya pada Toiro. Saat aku berpikir sejenak, Toiro kembali berbicara.


“Ini pertama kalinya, ya, kita ke pantai bareng, Masaichi?”

“Ya, benar. Ini pertama kalinya kita main di pantai seperti ini. Biasanya cuma untuk memancing.”


“Oh iya, benar banget!” serunya dengan mata berbinar, mengingat masa lalu kami.


Meski kami tinggal tak jauh dari laut, daerah sekitar kami kebanyakan pelabuhan nelayan atau pemecah ombak, bukan pantai. Dulu, saat SD, aku pernah ikut memancing bersama keluarganya di sana. Kami pernah menangkap ikan dan memasaknya di rumah.


“Kamu dulu takut banget sama cacing umpan itu. Katamu menjijikkan, sampai nggak bisa memasangnya di kail,” Toiro tertawa kecil.


“Itu bentuknya kayak kelabang, kan? Terus berlendir pula… Kamu malah dengan santainya pegang cacing itu.”


Aku langsung teringat bagaimana Toiro mengangkat cacing itu dan mendekatkannya padaku dengan senyum penuh keusilan.


“Sebenernya aku juga jijik, kok. Tapi kamu yang ketakutan jadi kelihatan lucu,” dia tertawa lepas. 


“Jangan mempertaruhkan diri untuk hal yang nggak penting seperti itu…”


“Aku memang nggak suka serangga berkaki banyak,”

Aku mengeluh. Laba-laba masih bisa kutoleransi, tapi lebih dari itu, aku langsung bergidik hanya dengan membayangkannya.


Mendengar jawabanku, Toiro tiba-tiba membuka mata lebar dan menunjuk ke bawah.


“Masaichi! Di sandalmu ada kutu pasir!”


“Itu biasanya di bebatuan, kan?”


“Duh, reaksimu tenang banget, nggak seru deh,” ujarnya sambil memanyunkan bibirnya.


Aku hanya tersenyum tanpa sadar. Dalam obrolan ringan ini, aku merasa nyaman. Lalu, setelah hening sejenak, aku melontarkan sebuah ide yang sempat kupikirkan.


“Soal aksi ala pasangan... gimana kalau kita duduk di sini dan ngobrol seperti ini saja? Lihat deh—”


Aku mengarahkan pandanganku ke sekeliling. Beberapa pasangan lain duduk di pantai, saling bersandar dalam suasana santai, menikmati cahaya matahari senja. Mungkin mereka sedang bercakap-cakap atau menikmati kebersamaan dalam kesunyian.


“...Cukup begitu saja?”

“Kenapa nggak? Lihat pasangan-pasangan di sekitar kita, mereka semua seperti jawaban yang sempurna.”


Toiro melirik ke sekeliling, mengamati pasangan-pasangan di sekitar.


“Bener juga, mereka kelihatan santai.”


“Ya, ada kesan nyaman, kan?” jawabku.


Toiro terkekeh kecil. 


“Tapi, mereka nggak cuma duduk begitu saja, kok.”


Hampir bersamaan dengan ucapannya, aku merasakan sentuhan dingin di punggung tanganku. Kulihat jari-jari Toiro yang ramping kini berada di atas tanganku.


“...Ada apa?” tanyaku.


“Hmm? Cuma sedikit meniru contoh dari yang lain,” jawabnya dengan senyum kecil.


Aku melihat sekeliling, memang, pasangan-pasangan lain tampaknya juga saling menggenggam tangan atau menumpangkan tangan di atas pasir. Ya, kalau begitu, mungkin inilah cara yang benar.


Aku menggenggam jari-jari Toiro. Dia tersenyum, lalu membalas genggamanku dengan erat. Kami duduk bersisian, terkadang saling bercakap-cakap, dan menikmati pemandangan yang perlahan berubah warna di hadapan kami.



















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !